• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERLINDUNGAN HUKUM, DAN PELANGGARAN WAKTU KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERLINDUNGAN HUKUM, DAN PELANGGARAN WAKTU KERJA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERLINDUNGAN HUKUM, DAN PELANGGARAN WAKTU KERJA

2.1 Pekerja Dan Pelanggaran Waktu Kerja

2.1.1 Pengertian Pekerja

Istilah buruh sangat umum terdengar di dalam dunia perburuhan atau ketenagakerjaan, istilah buruh ini sudah digunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda dan juga karena peraturan perundang-undangan yang lama juga menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda buruh dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu :

1. Buruh Profesional ( White Collar ), yaitu buruh yang menggunakan tenga

otak dalam melakukan pekerjaan.

2. Buruh Kasar ( Blue Collar ), yaitu buruh yang menggunakan tenaga otot

dalam melakukan pekerjaan.1

Buruh, pekerja, dan karyawan adalah seseorang yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan, baik yang berupa uang maupun bentuk lainnya. Pada dasarnya semua istilah tersebut berarti sama namun dalam kultur di Indonesia istilah buruh lebih diartikan kedalam artian

1

(2)

2

pekerja kasar dan rendahan sedangkan istilah pekerja atau karyawan lebih baik karena

menggunakan otak dan bukan otot dalam melakukan pekerjaan.2

Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian pekerja tersebut jelas bahwa tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh.Istilah buruh/pekerja yang sekarang disandingkan muncul karena dalam Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Pekerja menyandingkan kedua istilah tersebut.Munculnya istilah buruh/pekerja yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah menghendaki agar istilah buruh diganti dengan istilah pekerja karena istilah buruh selain berkonotasi pekerja kasar juga menggambarkan kelompok yang selalu berlawanan dengan pihak majikan.Karena itulah pada era Orde Baru istilah serikat buruh diganti dengan istilah serikat pekerja, serikat pekerja pada saat itu sangat sentralistik sehingga mengekang kebebasan buruh untuk membentuk organisasi/serikat serta tidak respons terhadap aspirasi buruh. Pada saat Rancangan Undang-Undang serikat buruh/pekerja diabahas terjadi perdebatan yang panjang mengenai kedua istilah ini, dari pemerintah menghendaki istilah pekerja sementara dari kalangan buruh/pekerja menghendaki istilah buruh, hal ini karena trauma pada masa lalu dengan istilah pekerja yang

2

Herdiansyah Hamzah, 2014, “ Seri Hukum Perburuhan : Antara Buruh, Pekerja, Dan

Karyawan “, Serial Online 23 Januari, URL :

(3)

3

melekat pada istilah serikat pekerja yang pada saat itu pekerja dikendalikan untuk kepentingan pemerintah. Maka digunakan jalan tengah untuk mensejajarkan kedua

istilah tersebut.3

Menurut Payaman Simanjuntak, pekerja/buruh adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus kegiatan rumah tangga atau yang lainnya. Dalam hal ini pekerja/buruh yaitu individu yang sedang mencari atau sudah melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya menggunakan istilah pekerja saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh Dan Pekerja yang menggunakan istilah serikat buruh/pekerja, maka kedua istilah tersebut disesuaikan.

4

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau imbalan dalam

3

Lalu Husni, 2014, op.cit, h.31-32 4

Payaman J. Simanjuntak, 1985, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h.3.

(4)

4

bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.

Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek ) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, pengertian pekerja diperluas yakni termasuk magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak, mereka yang memborong pekerjaan kecuali yang memborong adalah perusahaan, dan narapidana

yang dipekerjakan di perusahaan.5

2.1.2 Pengertian Waktu Kerja

Dalam perjanjian kerja terdapat unsur-unsur, salah satu unsur dalam perjanjian kerja tersebut adalah waktu kerja.Unsur waktu dalam hal ini adalah adanya suatu waktu untuk melakukan pekerjaan dimaksud atau lamanya pekerja melakukan pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja.Waktu kerja merupakan waktu yang ditentukan untuk melakukan pekerjaan.Buruh/Pekerja adalah manusia biasa yang memerlukan waktu istirahat, karena itu untuk menjaga kesehatan fisiknya harus

dibatasi waktu kerjanya dan diberikan hak istirahat.6

Dalam bidang kesehatan kerja salah satu hal utama yang penting untuk dibahas adalah mengenai waktu kerja dan waktu istirahat. Hal tersebut didasarkan

5

Lalu Husni, op.cit , h.46-47. 6

(5)

5

pada tujuan awal yang melatarbelakangi gerakan perlidungan bagi pekerja/buruh pada masa revolusi industri terhadap praktik-praktik eksploitasi berupa jam kerja berkepanjangan. Filosofinya adalah bahwa pekerja/buruh karena statusnya merupakan salah satu faktor produksi, namun demikian pekerja/buruh adalah manusia kodrati dengan segala keterbatasan fisik, psikis, dan harkat martabatnya.Untuk itu,

maka diapandang perlu mengatur waktu kerja dan waktu istirahat bagi mereka.7

1. 7 ( tujuh ) jam 1 ( satu ) hari dan 40 ( empat puluh ) jam 1 ( satu ) minggu

untuk 6 ( enam ) hari kerja dalam 1 ( satu ) minggu.

Pada prinsipnya pekerja/buruh dapat dipekerjakan, namun terdapat pembatasan berupa pengaturan mengenai waktu/jam kerja karena alasan filosofis tersebut. Dalam Undang-Undang Ketenenagakerjaan, pengaturan mengenai waktu kerja terdapat dalam pasal 77 ayat 2 bahwa waktu kerja dilaksanakan dalam dua ketentuan :

2. 8 ( delapan ) jam 1 ( satu ) hari dan 40 ( empat puluh ) jam 1 ( satu )

minggu untuk 5 ( lima ) hari kerja dalam 1 ( satu ) minggu.

Tetapi di sisi lain terdapat pengaturan yang berbeda bagi sektor usaha dan jenis pekerjaan tertentu. Atas pengaturan waktu kerja yang bersifat umum tersebut, masih dimungkinkan adanya pengecualian, berupa kerja pekerja/buruh yang melebihi batas waktu kerja yang diperbolehkan, guna mengakomodir kepentingan dunia usaha apabila ada pekerjaan bertumpuk yang harus diselesaikan. Adapun syarat-syarat yang

7

(6)

6

harus dipenuhi dalam melakukan kerja lembur, yaitu pelaksanaannya hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam per hari atau 14 (empat belas) jam per minggu, dan membayar upah kerja lembur yang menjadi hak pekerja/buruh tersebut.

2.1.3 Pelanggaran Waktu Kerja

Pengertian pelanggaran waktu kerja adalah bahwa perusahaan/majikan yang mepekerjakan pekerja/buruhnya lebih dari waktu kerja yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam pasal 77 ayat 2, dan apabila juga syarat-syarat lembur yang tidak terpenuhi, serta tidak membayarkan upah lembur yang menjadi hak dari pekerja/buruh tersebut, sesuai dengan yang tertera pada pasal 78 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Apabila hal ini dilakukan pada pekerja/buruh yang bergerak pada bidang usaha yang tidak diatur khusus oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan maka perusahaan/majikan tersebut dapat dikatakan melakukan pelanggaran hukum terhadap pekerja/buruh tersebut.

2.2 Perlindungan Hukum

2.2.1 Pengertian Dan Prinsip Perlindungan Hukum

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia perlindungan berasal dari kata lindung, dimana kata lindung ini memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan juga membentengi.Dan juga bisa diartikan sebagai menjaga

(7)

7

merawat dan mencegah.8

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, yang artinya

manusia adalah makhluk sosial atau makhluk yang bermasyarakat, hal itu disebabkan oleh karena tiap anggota masyarakat yang satu memiliki hubungan dengan yang lainnya.Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum dan hubungan hukum.

Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah merupakan suatu bentuk tindakan pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman baik secara fisik maupun secara mental terhadap masyarakat.

9

Setiap hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari setiap kepentingannya, maka dari itu tampil hukum untuk mengatur dan melidungi kepentingan-kepentingan tersebut yang disebut dengan perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.Dapat dikatakan bahwa Perbuaan hukum merupakan setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang akibatnya diatur oleh hukum.Dari perbuatan hukum tersebut timbul adanya hubungan hukum yang merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum.

8

Ebta Setiawan, 2015, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Versi 1.4 Januari 2015, URL :http://www.kbbi.web.id/lindung. Diakses tanggal 6 Agustus 2015

9

(8)

8

perlindungan hukum merupakan gambaran dari fungsi hukum itu sendiri, dimana konsep hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan,

dan kedamaian.10

Pancasila sebagai ideologi dan landasan falsafah negara merupakan landasan dalam prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia.Sedangkan konsep perlindungan hukum di negara barat bersumber pada konsep pengakuan dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia yang tertuang dalam konsep rechtsstaat dan

rule of law.11

Dengan berlandaskan pada Pancasila dan dengan menggunakan konsepsi barat sebagai kerangka berpikir, maka prinsip-prinsip dasar dalam perlindungan hukum adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang bersumber pada Pancasila.Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikaitkan bersumber kepada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intensik melekat pada Pancasila dan seyogyanya memberi warna

serta corak negara hukum yang berlandaskan Pancasila.12

10

Uti Ilmu Royen, 2009, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h.53.

11

Philipus M. Hadjon II, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia “ Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkup Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi”, M2 Print, Jakarta, h.1.

12

(9)

9 2.2.2 Perlindungan Hukum Bagi Pekerja

Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan ketenangan dan kesehatan pekerja agar apa yang dihadapinya dalam pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin, sehingga kewaspadaan dalam menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. Pemikiran-pemikiran itu merupakan program perlindungan pekerja, yang dalam praktik sehari-hari berguna untuk dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menejelaskan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, istirahat, dan cuti. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan fisiknya, sehingga harus diberikan waktu yang cukup untuk beristirahat. Dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni

(10)

Undang-10

Undang Nomor 12 Tahun 1984 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Kerja yang saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pembahasan mengenai perlindungan norma kerja ini meliputi pekerja anak, pekerja perempuan, waktu kerja dan istirahat.

Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntutan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik, dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka perlindungan pekerja ini mencakup :

1. Norma Keselamatan Kerja yang meliputi keselematan kerja yang bertalian

dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara dalam melakukan pekerjaan.

2. Norma Kesehatan Kerja dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang meliputi

pemeliharaan, dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit. Mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja.

(11)

11

3. Norma kerja yang meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang

bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, kerja anak, kesusilan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.

4. Kepada Tenaga Kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita

penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas, ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli

warisnya berhak mendapat ganti kerugian.13

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi tiga macam yaitu :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.

13

G Kartasapoetra dan Rience Indraningsih, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Armico Bandung, Bandung, h. 43-44.

(12)

12

2. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan

usaha kemsyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja.

3. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut

dengan keselamatan kerja.14

Perlindungan pekerja/buruh merupakan faktor utama dalam kesehatan dan keselamatan kerja.Pendekatan tersebut bermula dari meningkatnya dampak buruk

perkembangan doktrin Laissez Faire di Eropa pada abad pertengahan.Doktrin

tersebut mengusung filosofi liberalisasi ekonomi, khususnya di sector industri.Secara garis besar, intervensi pemerintah dalam hubungan ekonomi/industrial tidak diperkenankan. Berkembang pula aksi pengabaian terhadap berbagai peraturan ( perundang-undangan ) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kebebasan untuk berusaha dan bekerja guna mencapai keuntungan yang semaksimal mungkin hanya

dapat dibatasi oleh individu lain melalui mekanisme kompetisi bebas.15

14

Zainal Asikin et.al, 2012, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, h.97. 15

Neil Gilbert, 2002, Transformation of the Welfare State: The Silent Surrender of Public Responsibility, terjemahan Melania Kiswandari, Jakarata, h. 61-67.

(13)

13

Penyusunan dan penertiban undang-undang pertama bidang kesehatan kerja ( arbeidsbeschermingswetten ) bermula di Inggris pada tahun 1802 melalui The Health and Morals of Apprentices Act yang ditujukan bagi para pekerja/buruh anak magang yang dipekerjakan di pabrik dengan jam kerja yang berkepanjangan. Selanjutnya, perkembangan serupa terjadi di Jerman dan Prancis sekitar tahun 1840 serta Belanda setelah tahun 1870. Perlindungan yang diatur adalah perlindungan terhadap kesehatan

kerja ( gezondheid/health ) dan keselamatan atau keamanan kerja ( veiligheid/safety )

dalam menjalankan pekerjaan. Kedua hal tersebut dikembangkan sebagai suatu bidang tersendiri dalam hukum perburuhan, yang menonjolkan intervensi negara dalam bentuk hukum ( peraturan perundang-undangan ). Pada mulanya, peraturan yang disusun hanya berupa pembatasan jam kerja bagi pekerja/buruh anak, kemudian pekerja/buruh remaja dan selanjutnya pekerja/buruh wanita. Dalam perkembangannya, mencakup pula perlindungan bagi pekerja/buruh ( arbeidsbescherming ) pada umumnya terhadap jam kerja yang terlalu panjang serta keadaan perburuhan dan kondisi kerja yang tidak aman. Undang-Undang perlindungan pekerja/buruh pertama, menandai berawalnya hukum perburuhan

dengan memuat aturan-aturan yang disebut sebagai arbeidsbeschermingsrecht.16

Menurut M.G. Rood sebagaimana yang telah dikutip oleh Prof. Dr Aloysius Uwiyono berpendapat bahwa undang-undang mengenai perlindungan pekerja/buruh merupakan contoh hukum sosial yang ciri utamanya secara umum didasarkan pada

16

(14)

14

teori ketidakseimabangan kompensasi.Teori tersebut bertitik tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dengan penerima kerja secara sosial ekonomi tidak sama kedudukannya. Pihak penerima kerja umumnya sangat tergantung pada pemberi kerja, baik dari aspek ekonomi, sosiologis maupun psikologis.Maka hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antar keduanya bertujuan untuk memberikan kompensasi atas ketidakseimbangan yang terjadi dalam bentuk pembatasan-pembatasan. Hukum perlu memberikan hak yang lebih banyak kepada pihak yang lemah ( penerima kerja ) daripada pihak yang kuat ( pemberi kerja ). Hukum bertindak tidak sama bagi para pihak oleh karena latar belakang tersebut. Teori ketidakseimbangan kompensasi yang dianut hukum dapat ditemukan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Jadi, untuk mengimbangi ketidakseimbangan kedudukan maka diperlukan tindakan dari pihak penguasa ( pembentuk undang-undang ) melalui pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pihak agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Hal tersebut dipandang sebagai solusi yang tepat guna terpenuhinya prinsip keadilan sosial daripada membiarkan

ketidakseimbangan tersebut berlangsung terus.17

17

Referensi

Dokumen terkait

(2) Apa saja nilai-nilai karakter yang terdapat dalam proses pembelajaran kimia berbasis integrasi sains dan agama pada materi larutan penyangga kelas XI IPA SMA Islam Sultan

Berdasarkan pada kasus yang terjadi di Kota Denpasar dimana seorang penjabat walikota melakukan mutasi terhadap 2 (dua) orang pegawai ASN yang merupakan pejabat eselon

Penelitian bertujuan untuk me- ngetahui pengaruh penggunaan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum berbasis limbah pangan hotel kering terhadap pertumbuhan dan karakteristik

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh temperatur dan waktu depolimerisasi lateks karet alam sistem dadih (LKASD) menggunakan NaNO2, H2O2 dan Asam

0eluarga merupakan sentral pelayanan keperawatan keluarga karena tenaga yang  paling dekat degan klien di rumah dan yang bisa melakukan pen#egahan penyakit

Dengan demikian, yang menjadi permasalahan adalah apakah kebijakan konversi TKI non-formal ke formal ini sudah sesuai dengan perspektif hukum ekonomi pancasila dan

Suatu kondisi emosional karyawan dengan adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, apabila harapan yang ada pada individu dapat terjadi

Titik dasar teknik (TDT) adalah titik tetap yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai