• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOBOTANI TUMBUHAN PENUNJANG RITUAL/ADAT DI PULAU SERANGAN, BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETNOBOTANI TUMBUHAN PENUNJANG RITUAL/ADAT DI PULAU SERANGAN, BALI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ISBN:978-602-9138-68-9

ETNOBOTANI TUMBUHAN PENUNJANG RITUAL/ADAT

DI PULAU SERANGAN, BALI

Revina Indra Putri

1*

, Jatna Supriatna

1

, Eko Baroto Walujo

2 1

Program Studi Biologi, Program Pascasarjana, FMIPA, Universitas Indonesia

2

Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong

*e-mail: revinaindraputri@gmail.com

ABSTRAK

Tumbuhan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan ritual/upacara bagi masyarakat lokal Pulau Serangan, Bali. Akan tetapi, pengetahuan masyarakat lokal Serangan mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai penunjang ritual/upacara belum terdokumentasi dengan baik. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan penunjang ritual/upacara menurut perspektif masyarakat Serangan. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2012 hingga Januari 2013. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipatif dan inventarisasi bersama informan, serta diskusi kelompok fokus (focus group discussion; FGD). Setidaknya, terdapat 70 spesies dari 37 famili tumbuhan yang dianggap memiliki manfaat sebagai tumbuhan penunjang ritual/upacara. Menurut masyarakat, di antara spesies-spesies tersebut, sepuluh spesies tumbuhan terpenting sebagai penunjang ritual/upacara yaitu nyuh (Cocos nucifera), jepun bali (Plumeria acuminata), pandan arum (Pandanus amaryllifolius), base (Piper betle), sandat (Cananga odorata), pacah (Impatiens balsamina), biu (Musa paradisiaca), bunut (Ficus pilosa), pucuk (Hibiscus rosa-sinensis), dan kembang kertas (Bougainvillea spectabilis). Bentuk upaya konservasi tumbuhan penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat di antaranya yaitu penanaman tumbuhan di wilayah sakral (pura) serta budidaya tumbuhan di pekarangan (natah) rumah masyarakat. Karena setiap kegiatan ritual/upacara agama Hindu di Serangan selalu memanfaatkan tumbuhan, maka kegiatan konservasi perlu terus dilakukan untuk menghindarkan tumbuhan dari risiko kepunahan.

Kata kunci: pengetahuan lokal, etnobotani, tumbuhan, ritual/upacara, Pulau

Serangan

PENDAHULUAN

Etnobotani adalah bagian dari etnoekologi yang berfokus pada tumbuhan (Martin, 1995). Menurut Rifai dan Walujo (dalam Walujo, 2004), etnobotani mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat yang dipelajari dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tumbuh-tumbuhan dalam lingkup hidupnya. Sejak awal peradaban, manusia telah memanfaatkan tumbuhan untuk kebutuhan hidupnya. Salah satu pemanfaatan tersebut ialah pemanfaatan tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan ritual/upacara adat.

Kehidupan masyarakat Hindu-Bali tidak pernah lepas dari kegiatan ritual atau upacara keagamaan.Berbagai upacara

keagamaan yang tergolong dalam Panca Yadnya selalu memerlukan bagian-bagian tanaman (Nala dan Wiratmadja, 1991) sebagai penunjang kegiatannya. Oleh sebab itu, tumbuhan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan ritual/upacara bagi masyarakat Bali. Sejumlah penelitian mengenai tumbuhan sebagai penunjang ritual/upacara telah dilakukan di Bali. Tercatat lebih dari 300 spesies tumbuhan dianggap memiliki manfaat sebagai tanaman upacara di Bali (Sardiana, 2010). Lebih spesifik, di Kabupaten Badung setidaknya terdapat 102 spesies tanaman upacara (Adiputra, 2011). Sementara itu, di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, tidak kurang dari 53 spesies tumbuhan tercatat sebagai tanaman upacara (Sudi et al., 2006).

(2)

Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ISBN:978-602-9138-68-9 Pulau Serangan ialah sebuah pulau

kecil di selatan Bali yang dihuni oleh masyarakat lokal dengan ciri khas nelayan yang kental. Sebagai masyarakat yang heterogen, secara garis besar penduduk lokal Serangan berasal dari etnis Bali dan etnis Bugis (Vickers dan Suwitha, 1992). Proyek reklamasi pulau hingga tiga kali lipat luas Pulau Serangan telah menimbulkan berbagai dampak ekologis (Nakad, 2002; Wisnawa, 2002; Sundra, 2006) yang berimbas pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (Suwarno 2002; Wisnawa, 2002; Woinarski, 2002). Sama halnya dengan masyarakat Bali pada umumnya, masyarakat Hindu-Serangan pun selalu memanfaatkan tumbuhan sebagai penunjang kegiatan ritual/upacaranya. Akan tetapi, pengetahuan mereka mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai penunjang ritual/upacara belum terdokumentasi dengan baik. Padahal, h a l t e r s e b u t p e r l u d i l a k u k a n s e b e l u m pengetahuan tersebut hilang, serta untuk meningkatkan pemahaman akan pengelolaan dan pilihan untuk konservasi pada tingkat lokal dan regional (Dalle dan Potvin, 2004). Informasi mengenai pengetahuan masyarakat itu juga merupakan dasar bagi para peneliti untuk memahami tingkat strategi adaptasi suatu kelompok masyarakat lokal (Walujo, 2009).Terlebih, masyarakat Serangan tengah beradaptasi akibat berbagai perubahan yang terjadi akibat reklamasi. Untuk itu, penelitian etnobotani ini bertujuan untuk mengungkap pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan penunjang ritual/upacara menurut perspektif masyarakat lokal Serangan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama bulan November 2012 hingga Januari 2013 di Pulau Serangan, Kota Denpasar, Bali. Wawancara m e n d a l a m d i l a k u k a n u n t u k m e n g g a l i pengetahuan lokal tentang tumbuhan yang termasuk kategori penunjang ritual/upacara. Observasi langsung dilakukan di lapangan bersama dengan informan kunci untuk menginventarisasi spesies-spesies tumbuhan penunjang ritual/upacara di lokasi penelitian. Kemudian, diskusi kelompok fokus (Focus

Group Discussion-FGD) dilakukan untuk

m e n g g a l i i n f o r m a s i s e c a r a l e b i h komprehensif.

Gambar 1.

Lokasi penelitian. (a) Pulau Bali, (b) Pulau Serangan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Penunjang Ritual/Upacara

Terdapat 70 spesies dari 37 famili tumbuhan yang bermanfaat sebagai sarana upakara bagi masyarakat Hindu-Serangan (Lampiran). Sebagai perbandingan, tidak kurang dari 300 spesies tumbuhan yang lazim dimanfaatkan dalam upakara di Bali (Sardiana, 2010).Untuk habitus pepohonan, menurut Mahendra et al. (2011), terdapat 94 spesies pohon yang dimanfaatkan dalam kehidupan sosial budaya Bali, khususnya dalam kegiatan upacara Hindu, dan 39 spesies di antaranya berada dalam risiko kepunahan.

Li m a f a m i l i t u m b u h a n d e n g a n jumlah spesies terbanyak yaitu Apocynaceae ( 8 s p e s i e s ) , F a b a c e a e d a n M o r a c e a e (masing-masing 5 spesies), serta Malvaceae dan Poaceae (masing-masing 4 spesies) (Gambar 2).

Gambar 2.

Grafik jumlah spesies tumbuhan penunjang ritual/upacara berdasarkan famili.

Adapun representasi spesies tumbuhan penunjang ritual/upacaradituangkan dalam Tabel 1 berikut.

(b)

 

(a) 

(3)

Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ISBN:978-602-9138-68-9 Menurut masyarakat, nyuh (Cocos

nucifera) dianggap sangat penting dalam

kegiatan ritual agama Hindu, karena menurut Sardiana dan Dinata (2010), hampir seluruh bagian tumbuhan nya dapat dimanfaatkan dalam seluruh upacara. Selain sebagai bahan upakara, di Bali, kelapa juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, bahan bangunan dan kerajinan (Danur, 2005; Kriswiyanti, 2013; Pratiwi dan Sutara, 2013).

Di antara spesies-spesies tumbuhan penunjang ritual/adat, banyak di antaranya merupakan tumbuhan berbunga menarik. Dalam agama Hindu, bunga dengan berbagai jenis warnanya memiliki fungsi sebagai simbol kehidupan (sthiti). Misalnya, bunga yang berwarna merah merupakan lambang kemahakuasaan Dewa Brahma (simbol kekuatan untuk memusnahkan alam semesta) dan bunga warna hitam sebagai lambang kemahakuasaan Dewa Wisnu (simbol kekuatan untuk memelihara alam semesta) (Nala, 2004). Bunga dirangkai dalam canang, dipakai sebagai alat sembahyang sehari-hari disamping dupa dan air. Untuk kegiatan ritual yang terkait dengan seni, masyarakat Hindu-Bali di Serangan juga memanfaatkan berbagai macam tumbuhan. Sebagai contoh, daun tumbuhan prasok (Dracaena draco), dimanfaatkan untuk pembuatan ekor barong, kayu tumbuhan bintaro (Cerbera manghas) dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat topeng sidakarya, sedangkan kayu tumbuhan santen(Lannea grandis) dimanfaatkan untuk bahan pembuatan topeng sakral. Pemanfaatan kayu bintaro (Cerbera

manghas) sebagai bahan baku topeng juga

dilakukan oleh masyarakat lokal di Sri Lanka (Pinto, 1986).

Pengetahuan Lokal dan Konservasi Tumbuhan

Berdasarkan inventarisasi, dari 70 spesies penunjang ritual/upacara, setidaknya 49 spesies (70%) terdapat di pekarangan (natah) dan 43 spesies terdapat di wilayah pura (61, 43%). Hal tersebut menunjukkan bentuk upaya konservasi tumbuhan penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat Serangan dengan melakukan penanaman tumbuhan di wilayah sakral (pura) serta budidaya tumbuhan di pekarangan rumah masyarakat. Kesadaran akan arti penting tanaman sebagai sarana

penunjang ritual/upacara juga ditunjukkan dengan adanya usaha pelestarian jenis-jenis tanaman tersebut di wilayah lain di Bali, seperti di Kabupaten Buleleng. Di daerah tersebut, masyarakat menanam jenis-jenis tanaman upakara penting seperti base (Piper betle) dan

pinang (Areca catechu) (Sudi et al., 2006).

Hal-hal yang dipaparkan di atas sesuai dengan kaidah melestarikan alam dalam ajaran Hindu. Berdasarkan kepercayaan Hindu-Bali, tujuan hidup manusia ialah mencapai kebahagiaan lahir batin, yang ditempuh dengan Tri Hita Karana, yakni menjalin keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan alam (Sardiana et al., 2010). Dalam Sarasmuscaya 135, upaya melestarikan atau menyejahterakan alam dalam dinyatakan dalam istilah bhuta hita (Sardiana et al., 2010). Selanjutnya, dalam Bhagawad Gita III 16, bentuk yadnya (pengorbanan) ialah memelihara kesejahteraan alam dengan cara sekala dan

niskala (Sardiana dan Dinata, 2010). Secara

sekala, flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di lingkungan kita dijaga keseimbangan hidupnya dengan upaya nyata, salah satunya ialah dengan tidak membiarkan lahan menjadi lahan tidur tanpa ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Secara niskala, upaya menjaga bhuta hita dilakukan dengan cara melaksanakan upacara yadnya.

Karena setiap kegiatan ritual/upacara agama Hindu di Serangan selalu memanfaatkan tumbuhan, maka kegiatan konservasi perlu terus dilakukan untuk menghindarkan tumbuhan dari risiko kepunahan.Dalam kaitannya dengan konservasi, pekarangan berperan sebagai jendela introduksi dan eksperimen bagi keanekaragaman genetik (Engels, 2001) serta berkontribusi terhadap konservasi biodiversitas pada tingkat ekosistem, spesies, dan genetik (Hodgkin, 2001). Sementara itu, karena wilayah pura dilindungi secara adat, maka tumbuh-tumbuhan yang berada di wilayah itu pun turut terlindungi.

Masyarakat Hindu-Serangan memiliki semacam keyakinan, yaitu tabu atau pantangan untuk menebang pohon-pohon besar dan tua, serta pohon-pohon yang berada di wilayah pura. Pepohonan tersebut diyakini masyarakat sebagai tempat tinggal wong samar (makhluk yang tidak terlihat). Jika memang penebangan mesti dilakukan untuk tujuan tertentu, maka upacara

(4)

adat harus dilakukan. Hal tersebut merupakan bentuk konservasi masyarakat terhadap tumbuhan. Menurut Coehoorn (2009), wilayah sakral dengan sejumlah tabu dan larangannya dapat terlindung dan terhindar dari gangguan manusia yang merusak keanekaragaman hayati. Dengan demikian, pelestarian bentuk larangan adat terhadap suatu kawasan yang dilakukan oleh masyarakat lokal perlu didukung aspek legalitasnya sehingga terhindar dari intervensi akibat pergeseran nilai sosial budaya, tekanan jumlah penduduk, serta tekanan ekonomi (Purwanto dan Munawaroh 2001).

SIMPULAN DAN SARAN

Tidak kurang dari 70 spesies dari 37 famili tumbuhan yang dianggap memiliki manfaat sebagai tumbuhan penunjang ritual/ upacara oleh masyarakat lokal Pulau Serangan. Beberapa di antaranya yaitu nyuh (Cocos

nucifera), jepun bali (Plumeria acuminata), pandan arum (Pandanus amaryllifolius), base

(Piper betle), sandat (Cananga odorata), pacah (Impatiens balsamina), biu (Musa paradisiaca),

bingin (Ficus benjamina), pucuk (Hibiscus rosa-sinensis), dan kembang kertas (Bougainvillea spectabilis). Bentuk upaya konservasi tumbuhan

penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat di antaranya yaitu penanaman tumbuhan di wilayah sakral (pura) serta budidaya tumbuhan di pekarangan (natah) rumah masyarakat. Karena setiap kegiatan ritual/upacara agama Hindu di Serangan selalu memanfaatkan tumbuhan, maka kegiatan konservasi perlu terus dilakukan untuk menghindarkan tumbuhan dari risiko kepunahan. DAFTAR PUSTAKA

Adiputra, N. 2011. Tanaman obat, tanaman upacara, dan pelestarian lingkungan.

Jurnal Bumi Lestari. 11(2). 346—354.

Coehoorn, P. 2009. Cultural landscapes values in former homelands, Eastern Cape, South Africa. MSc. Thesis Forest and Nature Conservation, Department of Forest and Nature Conservation-Policy Group, Wageningen University, Netherlands: x + 78 hlm.

Danur, I.A.S. 2005. Etnoekologi lansekap Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Bali. Pengetahuan dan pengelolaan keanekaragaman jenis tumbuhan oleh

masyarakat Bali Aga. Disertasi Doktor Program Studi Biologi UI, Depok: xiii + 254 hlm.

Dalle, S.P. & C. Potvin. 2004. Conservation of useful plants: an evaluation of local priorities from two indigenous

communities in eastern

Panama. Economic Botany. 58(1): 38—57.

Engels, J. 2001. Home gardens and agrobiodiversity: An overview across region. Dalam: Watson, J. W. & P. B. Eyzaguirre (eds). 2001. Proceedings of the Second International Home Gardens Workshop, 17—19 July 2001, Witzenhausen: 184 hlm.

Hodgkin, T. 2001. Home gardens and the maintenance of genetic diversity.

Dalam: Watson, J. W. & P. B.

Eyzaguirre (eds). 2001. Proceedings of the Second International Home Gardens Workshop, 17—19 July 2001, Witzenhausen: 184 hlm.

Kriswiyanti, E. 2013. Keanekaragaman karakter tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) yang digunakan sebagai bahan upacara Padudusan Agung.Jurnal Biologi. 16(1): 15—19.

Mahendra, M.S., I. M. Sukewijaya, & I.G.A.A.R. Asmiwyati. 2011. Pemetaan pohon bernilai budaya bali yang langkadi Kota Denpasar.Jurnal Bumi

Lestari.(11)1: 66—77.

Martin, G.J. (1995). Ethnobotany. A ‘People and

plants’ conservation manual. World

Wide Fund for Nature. London: Chapman & Hall.

Nala, N. & A. Wiratmadja. 1991. Murdha Agama Hindu. Penerbit Upada Sastra Denpasar.

Nala, N. 2004. Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara Agama Hindu di Bali. dalam ‘Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali.

Nakad, J. 2008. The cost of progress: Failed development and community response on Pulau Serangan. School for International Training. Bali-Indonesia Arts and Culture Program. 44 hlm.

(5)

Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ISBN:978-602-9138-68-9 Pinto, L. 1986. Mangroves of Sri Lanka. Natural

Resources, Energy, & Science Authority of Sri Lanka: 54 hlm.

Pratiwi, F.M. & Sutara, P.K. (2013). Etnobotani kelapa (Cocos nucifera L.) di wilayah Denpasar dan Badung. Jurnal

Simbiosis. 1(2): 102–111.

Rifai, M.A. & E.B. Walujo. 1992. Etnobotani dan pengemabngan tetumbuhan pewarna: Ulasan suatu pengamatan di Madura. Makalah Seminar Nasional Etnobotani

Sardiana, I.K. 2010. Unit pembibitan tanaman ritual (upakara). Majalah Aplikasi

Ipteks Ngayah. 1(1): 13—21.

Sardiana, I.K. & K.K. Dinata. 2010. Studi pemanfaatan tanaman pada kegiatan ritual (upakara) oleh umat Hindu di Bali. Jurnal Bumi Lestari. 10(1): 123— 127.

Sardiana, I. K., W.P. Windia, I.G.N. Sudiana, S.N. Soewandhi, K. Sundra, W. Sudarka, M. W. Sudibya, K.K. Dinata, S.M. Sarwadana & W. Sukersa. 2010.

Taman gumi banten: Ensiklopedi tanaman upakara. Udayana University

Press, Denpasar: xvi + 166 hlm. Sudi, I. M., K. Wirta & P. Sudarsana. 2006.

Inventarisasi dan eksplorasi tumbuhan upacara agama Hindu Bali: 2. Kabupaten Buleleng. Laporan teknik program perlindungan dan konservasi sumber daya alam Kebun Raya Eka karya Bali. 155—162.

Sundra, I.K. 2006. Analisis struktur vegetasi hutan mangrove di kawasan reklamasi Pulau Serangan, Kota Denpasar. Bumi

lestari: Jurnal Lingkungan Hidup. 6(1):

49—53.

Suwarno, N. 2002. Beberapa permasalahan arsitektural Pura Sakenan-Bali pasca

reklamasi Pulau Serangan. Media

Teknik. 1(24): 11—20.

Vickers, A. & Suwitha. P.G. 1992. Serangan

Island and Benoa Bay: A cultural. social and economic description: on behalf of the Illawara Technology Corporation. University of Wollongong for LeProvost Environmental Consultants as part of an environmental study of Serangan and Benoa Bay commissioned by Jones Lang Wooton for the Bali Turtle Island Development Consortium. University of

Wollongong, Wollongong: iii + 73 hlm. Walujo, E.B. 2004. Tumbuhan upacara adat Bali dalam perspektif penelitian etnobotani. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. 29—39.

Walujo, E.B. 2009. Etnobotani: memfasilitasi penghayatan. pemutakhiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan.

Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.).

2009. Keanekaragaman hayati, budaya,

dan ilmu pengetahuan. Prosiding Seminar

Etnobotani IV. LIPI Press. Jakarta: 12 – 20.

Wisnawa, I.M. 2002. Model pemanfaatan Pulau Serangan di Kota Denpasar pasca reklamasi. Tesis Program Magister Universitas Diponegoro. Semarang: xiv + 119 hlm.

Woinarski, L. 2002. Pulau Serangan: Dampak pembangunan pada lingkungan dan masyarakat. Laporan studi lapangan: Universitas Muhammadiyah Malang kerjasama dengan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies, Malang: 43 hlm.

(6)
(7)

Referensi

Dokumen terkait