• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI LITERATUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STUDI LITERATUR"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

STUDI LITERATUR

A. Hakekat Pembelajaran Matematika 1. Pengertian Matematika

Matematika merupakan salahsatu ilmu eksak yang dapat diajarkan kepada siswa dalam satuan pendidikan yang paling rendah. Pada jenjang sekolah dasar (SD) matematika telah diperkenalkan di kelas 1. Berbeda dengan ilmu eksak yang lain, matematika bahkan telah diperkenalkan pada anak usia dini. Matematika bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan yang didapat melalui proses berpikir (bernalar). Ruseffendi (dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2010, hlm. 3) mengatakan bahwa “Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasional (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi, matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran”. Menurut James dan James (dalam Ruseffendi, 1992, hlm. 27)

matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan jumlah konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Menurut Johnson dan Rising (dalam Ruseffendi, 1992, hlm. 28)

matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logik; matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide (gagasan) daripada mengenai bunyi; matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasikan sifat-sifat atau teori-teori yang telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola, keteraturan pola atau ide; dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang dibentuk melalui proses penalaran manusia dari berbagai peristiwa sehari-hari yang diramu dan dibuat menjadi pola berpikir yang terorganisasi dalam bentuk yang lebih baku dan dibentuk dalam suatu kumpulan topik yang saling berhubungan. Matematika merupakan ilmu yang mencakup berbagi bidang pada kehidupan manusia,

(2)

matematika disebut sebagai seni, pengetahuan, dan bahasa sebagai aspek yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia sehari-hari.

2. Hakekat Matematika

1) Matematika sebagai ilmu deduktif

Matematika dipandang sebagai ilmu deduktif karena pembuktian dalil dan teori dalam matematika dibuktikan secara deduktif. Berbeda dengan ilmu lain, seperti dalam ilmu fisika dan biologi, pembuktian yang mutlak dapat dilakukan dengan cara induktif atau eksperimen. Pembuktian induktif adalah pembuktian yang dilakukan dengan melakukan generalisasi berdasarkan contoh-contoh suatu konsep. Menurut Ruseffendi (1992, hlm. 28) “Dalam matematika, mencari kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, yang kemudian generalisasi yang benar untuk semua keadaan tadi harus bisa dibuktikan secara deduktif”. Dengan pembuktian secara deduktif ini, ilmu matematika dipandang sebagai ilmu yang mempunyai kebenaran yang mutlak.

2) Matematika sebagai bahasa, seni, dan ratunya ilmu

Matematika disebut sebagai bahasa karena simbol dalam matematika mempunyai sebuah arti yang sama di dunia internasional. Menurut Ruseffendi (1992, hlm. 35) “Matematika adalah bahasa internasional, karena di setiap saat, di setiap jenjang sekolah dan di setiap negara orang tahu tentunya akan mengerti dengan 3+6 = 9, , log 10 = 1, = 3”. Simbol matematika begitu terkenal hingga pada setiap negara tidak mempunyai penafsiran yang berbeda-beda dan digunakan dengan simbol yang sama. Menurut Ruseffendi (1992) matematika mempunyai sifat yang sama dengan seni, yaitu adanya unsur keterstukturan, keterurutan, dan ketetapan. Selain itu, matematika pun mempunyai keindahan tersendiri layaknya seni. Menurut Ruseffendi (1992, hlm. 37) “Matematika itu disebut ratunya ilmu (Mathematics is the queen of he science), artinya antara lain bahwa matematika adalah bahasa yang tidak tergantung pada bidang lain yang menggunakan simbol dan istilah yang cermat yang disepakati secara universal sehingga mudah dipahami”. Matematika sebagai ratunya ilmu mengindikasikan bahwa matematika adalah ilmu yang kaya sehingga tidak bergantung pada bidang lain.

(3)

3) Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasikan dengan baik Menurut Ruseffendi (1992, hlm. 37) “Matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan penelaahan bentuk-bentuk atau struktur-struktur yang abstrak dan hubungan di antara hal-hal itu”. Bentuk dan struktur yang saling berhubungan menjadikan matematika sebagai struktur yang terorganisasi dengan baik. Salah satu contoh struktur yang saling berhubungan dalam matematika adalah dalam ilmu geometri. Dalam ilmu geometri terdapat unsur tidak terdefinisi, unsur terdefinisi, aksioma, dalil dan teori. Unsur-unsur tersebut disajikan dalam struktur yang terorganisasi dan saling berhubungan satu sama lain. Tanpa adanya unsur tidak terdefinisi, maka tidak akan membentuk unsur terdefinisi.

4) Matematika adalah ilmu tentang pola dan hubungan Menurut Ruseffendi (1992, hlm 40)

matematika disebut ilmu atau telaahan tentang pola dan hubungan, karena dalam matematika kita sering mencari keseragaman supaya generalisasinya dapat dibuat. Dalam mencari pola dan hubungan itu, kita perlu memperhatikan keteraturan, keterurutan, keterkaitan (hubungan), kecenderungannya (menebak dan menduga), sehingga kita dapatkan polanya atau modelnya dari konsep matematika tersebut.

Salah satu contohnya adalah pada pembuktian teorema yang menyebutkan bahwa jumlah sudut dalam segitiga adalah 1800. Untuk membuktikan teorema tersebut adalah dengan menggunakan teorema garis kesejajaran. Sudut dan garis kesejajaran ini mempunyai hubungan dan keterkaitan satu sama lain sehingga dapat menghasilkan suatu konsep matematika. Bahkan menurut Ruseffendi (1992) matematika adalah ilmu tentang hubungan, suatu hubungan tersebut terlihat pada banyaknya keterkaitan satu ide dengan ide lain dalam ilmu matematika.

3. Manfaat Matematika

Manfaat matematika tidak dirasakan oleh segelintir orang saja, baik secara langsung atau tidak langsung, ilmu matematika dapat dirasakan mannfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain berguna bagi seorang siswa, matematika berguna pula bagi negara, warga negara, teknologi, dan untuk matematika itu sendiri. Bagi pelajar, matematika digunakan untuk keperlukan akademisnya. Menurut Ruseffendi (1990a, hlm. 13)

pelajar memerlukan matematika itu untuk: memenuhi kebutuhan praktis dan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, agar mampu mengikuti pelajaran matematika lebih lanjut, untuk membantu memahami bidang studi

(4)

lain, dan agar lebih dapat berpikir logis, kritis, dan praktis, beserta bersikap positif dan berjiwa kreatif.

Seorang siswa memerlukan pengetahuan matematika untuk ketuntasan akademisnya. Hal tersebut bukanlah satu-satunya tujuan matematika diberikan kepada seorang siswa. Seorang siswa yang mendapatkan pengajaran matematika, diharapkan dapat pula menggunakan ilmu matematika yang dimilikinya pada kehidupan sehari-hari.

Menurut Ruseffendi (1990a, hlm. 12)

menjadi warga negara Indonesia yang layak, yang sejajar dengan warga negara lain sudah barang tentu harus memiliki pengetahuan umum minimum. Pengetahuan umumnya itu antara lain adalah matematika. Jadi, matematika itu diberikan di sekolah antara lain untuk menjadi pengetahuan minimum bagi setiap warga negara yang layak itu.

Bagi negara, matematika digunakan dalam bidang pertahanan. Warga negara yang mempunyai intelegensi tinggi dapat membantu negara dalam bidang pertahanan dan kemajuan teknologi. Bahkan menurut Ruseffendi (1990a, hlm. 13)

pada akhir tahun 50-an Amerika Serikat merasa ketinggalan oleh Rusia dalam teknologi, Rusia pada tahun 1957 sudah bisa mengorbitkan Sputnik pertamanya. Karena itu Amerika Serikat membuat proyek secara besar-besaran antara lain dalam pengajaran matematika. Idea matematika modern yang baru tumbuh sebagai kecambah sejak itu diperbesar dan diperluas menjadi proyek raksasa. Sehingga hasilnya, paling tidak teknologinya, itu tidak ketinggalan lagi.

Dari pendapat di atas, terlihat bahwa betapa pentingnya pembelajaran matematika dilakukan dengan baik di tingkat persekolahan. Selain itu, terlihat pula pengaruh sistem pendidikan kepada negara dan perkembangan teknologi. Meskipun pada kenyataannya pengaruh tersebut tidak terlihat secara signifikan, tetapi negara maju seperti Amerika Serikat saja telah membuktikan hal tersebut. 4. Karakteristik Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Karakteristik pembelajaran matematika merupakan salahsatu hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam melakukan pembelajaran matematika di kelas. Dengan mengetahui karakteristik pembelajaran matematika di sekolah dasar, maka guru dapat membentuk situasi kelas yang dapat mendukung terlaksananya pembelajaran matematika yang baik. Menurut Suwangsih dan Tiurlina (2010)

(5)

terdapat beberapa karakteristik dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar, yaitu:

1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang disajikan dalam sebuah pola. Terdapat suatu hubungan dan kesinambungan antaratopik dalam matematika. Hal tersebut berimbas pada pembelajaran yang dilakukan di kelas. Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika menyajikan suatu pembelajaran yang dilakukan dengan menghubungan materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan materi yang akan diajarkan. Hal tersebut sejalan dengan prinsip matematika.

2) Pembelajaran matematika bertahap

Untuk usia anak SD, siswa berada dalam tahap belajar konkret, maka pembelajaran pun harus bersifat konkret. Pembelajaran matematika dilakukan secara bertahap dimulai dengan mengajarkan hal yang mudah, lalu bertahap ke hal yang sulit. Hal yang konkret sebaiknya diberikan sebelum hal-hal yang abstrak. Untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap materi, sebaiknya materi disampaikan secara konkret melalui benda-benda yang nyata, lalu disajikan dalam bentuk gambar dan terakhir dapat disajikan dalam simbol-simbol yang abstrak. 3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif

Pembelajaran matematika di sekolah dasar dilakukan dengan metode deduktif denga menjelaskan suatu konsep matematika yang baku, siswa bisa diajak berpikir mengenai hal-hal konkret yang berkaitan dengan materi. Pembelajaran dapat dilakukan dengan menyajikan atau mencari contoh-contoh terlebih dahulu sebelum mempelajari konsep yang lebih baku.

4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi

Matematika adalah ilmu yang mempunyai sifat kebenaran konsistensi. Kebenaran dalam matematika telah diakui dalam berbagai situasi. Apa yang telah dibenarkan dalam matematika akan tetap dibenarkan dalam situasi lain. Materi yang disampaikan dalam pembelajaran matematika harus mempunyai kebenaran konsitensi, sehingga siswa tidak memahami konsep yang salah.

5) Pembelajaran matematika hendaknya bermakna

Untuk memperdalam pemahaman siswa terhadap materi, maka kebermaknaan dari suatu materi yang dipelajari harus dipahami oleh siswa. Melalui pembelajaran

(6)

bermakna, siswa dapat mempelajari matematika mulai dari proses terbentuknya suatu konsep kemudian penerapan konsep terhadap kehidupan sehari-hari dan pengembangan konsep pada situasi yang baru. Pembelajaran bermakna tersebut dapat bermanfaat untuk mempermudah pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari siswa.

5. Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Ditetapkannya suatu pembelajaran matematika bukan berarti tidak mempunyai tujuan yang jelas. Kurikulum telah menetapkan tujuan pembelajaran matematika sebagai acuan guru dalam melakukan pembelajaran di kelas. Menurut Maulana (2011, hlm. 35) tujuan pelajaran matematika dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Terlihat bahwa tujuan pembelajaran menurut KTSP bukan hanya mengutamakan aspek kognitif saja, tetapi terdapat pula aspek afektif pada poin 5 di atas. Melalui pembelajaran matematika, ternyata siswa harus memiliki sikap menghargai dalam dirinya. Selain itu, tujuan pembelajaran pun harus sampai pada aplikasi materi matematika terhadap pemecahan masalah yang dihadapi oleh siswa pada kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan tujuan dalam KTSP di atas, siswa harus dapat menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi yaitu pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, koneksi, dan penalaran masalah. 6. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika

1) Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di kelas IV SD

(7)

pendidikan SD/MI meliputi aspek sebagai berikut: a) Bilangan

b) Geometri dan pengukuran c) Pengolahan data

Pada penelitian ini, membahas mengenai pembelajaran luas dan keliling jajargenjang. Materi tersebut termasuk pada aspek geometri dan pengukuran. Pokok bahasan dalam materi ini adalah menentukan luas dan keliling jajargenjang serta menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling dan luas jajargenjang.

Berikut ini merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran matematika untuk kelas IV semester 1 yang tercantum di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (Maulana, 2011, hlm. 41) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas IV

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Bilangan

1. Memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah.

1.1 Mengidentifikasi sifat-sifat operasi hitung 1.2 Mengurutkan bilangan

1.3 Melakukan operasi perkalian dan pembagian 1.4 Melakukan operasi hitung campuran

1.5 Melakukan penaksiran dan pembulatan 1.6 Memecahkan masalah yang melibatkan uang 2. Memahami dan

menggunakan faktor dan kelipatan dalam pemecahan masalah

2.1 Mendeskripsikan konsep faktor dan kelipatan 2.2 Menentukan kelipatan dan faktor bilangan

2.3 Menentukan kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dan faktor persekutuan terbesar (FPB)

2.4 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan KPK dan FPB

Geometri dan

Pengukuran 3. Menggunakan

pengukuran sudut, panjang, dan berat dalam pemecahan masalah

3.1 Menentukan besar sudut dengan satuan tidak baku dan satuan derajat

3.2 Menentukan hubungan antar satuan panjang, dan antar satuan berat

3.3 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan satuan waktu, panjang dan berat

3.4 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan satuan kuantitas

4. Menggunakan

konsep keliling dan luas bangun datar sederhana dalam pemecahan masalah

4.1 Menentukan keliling dan luas jajargenjang dan segitiga

4.2 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling dan luas jajargenjang dan segitiga

(8)

Luas = alas x tinggi

Keliling jajargenjang = 2alas + 2sisi miring = 2 (alas+sisi miring) =

2) Jajargenjang

Menurut Nisa dan Yuli (2012) jajargenjang adalah segi empat yang sisi-sisi berhadapannya sejajar dan sama panjang serta sudut-sudut yang berhadapan sama besar, selain itu salah satu sisi yang berhadapannya merupakan pasangan sisi yang miring dari bangun tersebut. Menurut Hidayanti (2013) sifat-sifat jajar genjang adalah:

a) Sisi-sisi yang berhadapan pada setiap jajargenjang sama panjang dan sejajar.

b) Sudut-sudut yang berhadapan pada setiap jajargenjang sama besar.

c) Jumlah pasangan sudut yang saling berdekatan pada setiap jajargenjang adalah 1800.

d) Pada setiap jajargenjang kedua diagonalnya saling membagi dua sama panjang.

Gambar 2.1 Bentuk jajargenjang

Menurut Nisa dan Yuli (2012) luas jajargenjang adalah besaran yang menyatakan jumlah isi pada bagian permukaan jajargenjang. Luas jajargenjang dapat dicari dengan mengalikan panjang alas dengan tinggi suatu jajargenjang. Luas jajargenjang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini:

Menurut Nisa dan Yuli (2012) keliling jajargenjang adalah jumlah dari seluruh rusuk jajargenjang. Keliling jajargenjang dapat dicari dengan menjumlahkan keseluruhan garis terluar dari jajargenjang atau bisa digunakan rumus:

B. Kemampuan Komunikasi Matematis

Menurut Maulana (2011, hlm. 53) kemampuan yang ditargetkan dalam C A B D Alas Tinggi Sis i m ir ing

(9)

kurikulum matematika adalah: a. Pemahaman matematik

b. Pemecahan masalah matematik c. Penalaran matematik

d. Koneksi matematik e. Komunikasi matematik

Penilitian ini dilakukan dengan memfokuskan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pendekatan realistic mathematics education. Menurut Depdiknas (dalam Mardhiyanti, dkk, 2010, hlm. 2) “Kemampuan komunikasi matematis merupakan kesanggupan/kecakapan seorang siswa untuk dapat menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam soal matematika”. Menurut Maulana (2011, hlm. 55) indikator dari kemampuan komunikasi matematis adalah sebagai berikut:

1) Menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika.

2) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik, secara lisan atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar.

3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. 4) Mendengarkan berdiskusi, dan menulis tentang matematika.

5) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.

6) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.

7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Menurut Vermont Department of Education (Mahmudi, 2009, hlm. 3),

Komunikasi matematik melibatkan tiga aspek, yaitu: (1) menggunakan bahasa matematika secara akurat dan menggunakannya untuk mengkomunikasikan aspek-aspek penyelesaian masalah, (2) menggunakan representasi matematika secara akurat untuk mengkomunikasikan penyelesaian masalah, dan (3) mempresentasikan penyelesaian masalah yang terorganisasi dan terstruktur dengan baik.

Menurut LACOE (Los Angeles Country Office of Education) “Komunikasi matematik mencakup komunikasi tertulis maupun lisan atau verbal” (Mahmudi, 2009, hlm. 3). Komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar, tabel, yang menggambarkan proses berpikir siswa. Melalui komunikasi secara tertulis, siswa akan mudah mengingat konsep yang telah disampaikan. Selain itu,

(10)

dengan menulis, siswa akan mengkomunikasikan pemikiran mereka terhadap konsep yang diajarkan. Menurut LACOE (dalam Mahmudi, 2009, hlm. 4) “Cara lain untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematik siswa adalah dengan berdiskusi kelompok”. Diskusi kelompok memungkinkan siswa berlatih untuk mengekspresikan pemahaman, dan mengklarifikasi pemahaman atau ketidakpahaman mereka. Menurut NCTM (dalam Mahmudi, 2009, hlm. 4) “Ketika siswa berpikir, merespon, berdiskusi, mengelaborasi, menulis, membaca, mendengarkan, dan menemukan konsep-konsep matematika, mereka mempunyai berbagai keuntungan, yaitu berkomunikasi untuk belajar matematika dan belajar untuk berkomunikasi secara matematik”.

Pada penelitian ini, terdapat beberapa indikator yang menjadi fokus pengembangan. Indikator tersebut adalah a) menggunakan bahasa matematik untuk mengekpresikan konsep luas dan keliling jajargenjang melalui gambar atau benda dari konsep yang dimaksud dengan jelas, b) mengkomunikasikan pemahaman matematika dengan jelas kepada orang lain dengan menggunakan kata-kata sendiri, baik secara lisan maupun secara tertulis mengenai pemahamannya terhadap konsep luas dan keliling jajargenjang, c) menyatakan peristiwa sehari-hari yang berkaitan dengan luas dan keliling jajargenjang, d) melakukan diskusi kelompok mengenai luas dan keliling jajargenjang.

C. Teori yang Mendukung Pendekatan Realistic Mathematics Education Teori ahli yang mendukung pendekatan realistic mathematics education ini dapat digunakan sebagai acuan guru untuk memahami kondisi siswa yang dihadapi. Berikut terdapat beberapa teori pembelajaran yang mendukung dipergunakannya pendekatan realistic mathematics education sebagai salahsatu pendekatan pembelajaran yang paling efektif untuk dilaksanakan, yaitu:

1. Teori Perkembangan Jean Piaget

Menurut Ruseffendi (dalam Maulana, 2011) teori Jean Piaget menetapkan ragam dari tahap perkembangan intelektual manusia dimulai dari sejak lahir hingga dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap tersebut. Menurut Jean Piaget (dalam Maulana, 2011, hlm. 70) terdapat empat tahap perkembangan mental manusia yaitu:

1) Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).

(11)

3) Tahap operasional konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).

4) Tahap operasional formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa). 1) Tahap sensorimotori

Tahap sensorimotor ini diklasifikasikan oleh Jean Piaget pada rentang umur 0 sampai 2 tahun. Pada tahap ini, manusia masih sangat bergantung pada orang lain terutama terhadap orang-orang terdekatnya. Menurut Maulana (2011, hlm. 70) terdapat beberapa ciri pada tahap sensorimotor ini yaitu:

a) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya. b) Anak berpikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.

c) Anak belajar mengaitkan simbol benda dengan konkretnya, hanya masih sukar. Misal: mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan.

d) Mulai mengotak-atik benda. 2) Tahap pra operasional

Tahap ini diklasifikasikan oleh Jean Piaget pada rentang usia anak 2-7 tahun. Menurut Maulana (2011, hlm. 70) “Pada tahap ini, anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide tersebut masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah dengan objek yang diwakili oleh kata atau istilah tersebut”. Menurut Budhiningsih (2004) tahap prakonseptual ini berada pada usia 2-4 tahun, sedangkan untuk tahap intuitif berada pada rentang usia anak 4-7 tahun atau 8 tahun. Menurut Budhiningsih (2004, hlm. 39) karakteristik tahap prakonseptual ini adalah:

a) Self counter nya sangat menonjol.

b) Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.

c) Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda. d) Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria yang benar.

e) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.

Menurut Ruseffendi, 1991 dan Bybee, 1982 (dalam Maulana, 2011) pada tahap praoperasional, anak telah menunjukan perilaku seperti mengaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya, mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat benda sebenarnya, anak tidak dapat membedakan mana kejadian yang sebenarnya dengan khayalan, sulit memikirkan

(12)

dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak, dan mampu memanipulasi benda.

3) Tahap operasional konkret

Anak tingkat sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret yaitu pada umur sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun. Menurut Budhiningsih (2004, hlm. 38) “Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya”. Menurut Maulana (2011) ciri-ciri dalam tahap ini adalah: (a) anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda konkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak, (b) anak sudah mulai berpikir logis, (c) anak mampu melihat sudur pandang orang lain dan mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, (d) anak mulai senang membuat benda bentukan atau alat-alat mekanis seperti mobil-mobilan dari bambu atau dari kulit jeruk.

Berkaitan dengan pembelajaran matematika, dalam tahap operasional konkret siswa sudah mulai bisa mengembangkan suatu konsep melalui benda-benda yang konkret lalu membuat suatu hubungan dengan hal yang abstrak sehingga pada proses lebih lanjut siswa dapat membentuk suatu konsep matematika yang abstrak. Prosedur tersebut dapat dilakukan dengan pembelajaran realistik matematik. Pendekatan realistik matematik ini dapat memfasilitasi terbentuknya suatu konsep matematika yang dibangun sendiri oleh siswa melalui hal-hal yang konkret. Pembelajaran realistik matematika yang disajikan dapat mengantarkan siswa agar lebih memahami hal-hal yang abstrak melalui hal-hal yang konkret. 4) Tahap operasional formal

Pada tahap ini, manusia berada pada usia mulai dari 12 tahun hingga dewasa. Menurut Maulana (2011, hlm. 75) anak yang berada pada tahap ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a) Anak sudah mampu berpikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi konkret untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.

b) Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang perbuatannya secara objektif dan merefleksikan proses berpikirnya, serta dapat membedakan antara argumentasi dan fakta.

c) Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan suatu perbuatan.

(13)

d) Dapat merumuskan dalil/teori, menggeneralisasikan hipotesis, serta mampu menguji bermacam-macam hipotesis.

2. Teori Vigotsky

Sebenarnya, teori Vigotsky adalah teori yang mengemukakan tentang hubungan pengetahuan seseorang dengan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini, bukan berarti seseorang tersebut tidak mempunyai andil dalam perkembangan pengetahuan yang dimilikinya. Teori Vigotsky ini menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkontruksikan pengetahuannya. Menurut Budhiningsih (2004) konsep-konsep penting teori Vigotsky adalah hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development), zona perkembangan proksimal (zone of proximal development), dan mediasi.

1) Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development) Menurut Vigotsky (dalam Budhiningsih, 2004, hlm. 100),

setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran psikologis di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai intrapsikologis atau intramental).

Hukum genetik ini menyebutkan bahwa lingkungan sosial seseorang akan sangat berpengaruh pada perkembangan kognitifnya. Dalam hal ini, berarti pengaruh hubungan antar individu dengan lingkungan sosial sangat berperan penting dalam perkembangan kognitif seseorang.

2) Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)

Menurut Vigotsky (dalam Budhiningsih, 2004, hlm. 101) “Kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial”. Tingkat perkembangan aktual dapat terlihat pada proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa secara mandiri, sedangkan untuk tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah dengan dibimbing oleh orang dewasa yang mempunyai kompetensi yang lebih tinggi atau dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Jarak antara proses perkembangan aktual dan perkembangan potensial inilah yang disebut sebagai zona perkembangan proksimal. Dalam zona perkembangan proksimal ini, akan terjadi

(14)

proses scaffolding yaitu memberikan dukungan kepada siswa untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri hingga sampai akhirnya siswa dapat menyelesaikan masalah secara mandiri.

3) Mediasi

Menurut Vigotsky (dalam Budhiningsih, 2004, hlm. 102) “Kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologi adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator”. Tanda-tanda atau lambang-lambang-lambang-lambang ini menunjukan asal muasal seseorang. Karena, melalui interaksi sosial yang dilakukan seseorang terhadap lingkungan sosialnya, maka tanda atau lambang yang berada di lingkungan sosial siswa akan melekat pada diri siswa. Menurut Supratiknya (dalam Budhiningsih, 2004, hlm. 103) ada dua jenis mediasi yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif”. Mediasi metakognitif adalah mediasi yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk menyelesaikan suatu permasalan. Sedangkan untuk mediasi kognitif adalah cara mediasi yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat kognitif untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Teori ini sangat berkaitan erat dengan pendekatan RME, karena teori Vigotsky yang menganut aliran kontrukstivisme sejalan dengan dasar filsafat pendekatan RME yaitu konstruktivisme. Siswa diajak untuk mengkonstruksikan materi yang diajakan melalui proses matematisasi dalam pendekatan RME.

3. Teori William Brownell

W. Brownell (dalam Ruseffendi, 1992, hlm. 116) mengatakan bahwa “Belajar matematika harus belajar bermakna dan pengertian”. Belajar bermakna disini berarti pembelajaran matematika harus memberikan kesan baik pada siswa, pembelajaran tidak boleh hanya dilakukan dengan berhitung atau menghafal. Tetapi, penerapan pada masalah sehari-hari siswa harus merupakan bagian dari komponen pembelajaran. Menurut William Brownell (dalam Ruseffendi, 1992) pembelajaran matematika tidak diperoleh dengan hanya menghafal atau berhitung, tetapi materi dapat diperoleh siswa dengan berbuat dan berfikir memperoleh persepsi. Materi yang diperoleh siswa pun tidak boleh disajikan sembarangan, materi harus disajikan dengan memperhatikan kegunaan materi tersebut dalam kehidupan siswa. Brownell (dalam Pitajeng, 2006, hlm. 37) mengemukakan

(15)

bahwa “Kemampuan mendemonstrasikan operasi-operasi hitung secara otomatis dan mekanis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pembelajaran aritmatika adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam situasi kuantitatif”.

Teori William ini mendukung pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilakukan melalui suatu perbuatan dan proses memperoleh persepsi baru. Kebermaknaan dari suatu konsep yang disampaikan pun tidak kalah pentingnya menjadi perhatian William. Dalam pendekatan realistic mathematics education memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan cara penyelesaian masalah yang berbeda-beda, hal tersebut merupakan suatu tahapan untuk melatih siswa berpikir kreatif untuk memperoleh suatu persepsi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Pendekatan realistic mathematics education menyajikan pembelajaran yang berorientasi pada kehidupan realistik siswa, sehingga melalui pembelajaran yang dilakukan sudah jelas bahwa siswa mengetahui keterkaitan antara materi dengan kehidupan sehari-hari siswa.

4. Teori Ausubel

Teori Ausubel ini mengemukakan bahwa pembelajaran bermakna lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran menghafal atau membaca. Teori ini mempercayai bahwa dunia luar akan memberikan makna terhadap pembelajaran, hanya jika berbagai konsep yang berasal dari dunia luar itu telah mampu diubah menjadi suatu kerangka isi oleh siswa (Suyono dan Hariyanto, 2011). Ausubel (dalam Suyono dan Hariyanto, 2011, hlm. 100) berpendapat bahwa

pembelajaran berdasarkan hafalan (role learning) tidak banyak membantu siswa di dalam memperoleh pengetahuan, pembelajaran oleh guru harus sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, pembelajaran haruslah bermakna (meaningful learning) bagi siswa untuk menyelesaikan problem kehidupannya.

Terdapat beberapa kunci pandangan Ausubel (dalam Suyono dan Hariyanto, 2011) yaitu:

1) Teori Subsumsi (Subsumption Theory)

Melakukan subsumsi berarti menghubungkan suatu materi baru ke dalam struktur kognitif seseorang. Materi baru dapat disubsumsikan dengan dua cara

(16)

yaitu:

a) Subsumsi korelatif, pengetahuan baru merupakan perluasan dari pengetahuan yang telah diketahui. Pengetahuan awal siswa akan dikembangkan menjadi pengetahuan baru yang lebih luas dan mendalam.

b) Subsumsi derivatif, pengetahuan baru atau hubungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada, diturunkan dari struktur kognitif yang sudah ada. Pengetahuan yang dimiliki siswa akan dihubungkan dengan konsep lain yang berkaitan, sehingga akan menghasilkan pengetahuan baru yang lebih kompleks.

2) Advanced Organizer

Advanced Organizer adalah suatu pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa dalam mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang terdahulu siswa, dalam rangka mengarahkan pembelajaran kepada pembelajaran bermakna. Menurut Ruseffendi (1990, hlm. 26) “Mengenai memberikan pengulangan atau memberikan dulu garis-garis besar tentang apa yang akan diajarkan kepada siswa sebelum siswa diberikan pelajarannya (Advanced Organizer), cara itu akan membantu dan mengarahkan siswa kepada proses pemahaman”.

Teori ini sejalan dengan prinsip pendekatan RME bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan manusia. Ketika suatu pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari maka pembelajaran yang dilakukan dapat bermakna bagi siswa. Selain itu, subsumsi derivatif sejalan dengan konsep intertwining dalam karakteristik pendekatan RME dengan memperhatikan keterkaitan pengetahuan matematika dengan dengan konsep lain yang saling berhubungan.

D. Pembelajaran dengan Pendekatan Ekspositori 1. Pengertian Pendekatan Ekspositori

Banyak orang yang beranggapan bahwa pendekatan ekspositori adalah metode ceramah. Menurut Sagala (2006, hlm. 78-79),

pendekatan ekspositori menempatkan guru sebagai pusat pengajaran, karena guru lebih aktif memberikan informasi, menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilan dalam memperoleh pola, aturan, dalil, memberikan contoh soal beserta penyelesaiannya, memberikan kesempatan siswa untuk bertanya, dan kegiatan guru lainnya dalam pembelajaran ini.

(17)

Menurut Sanjaya (2006, hlm. 177) “Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi secara optimal”. Penjelasan secara lisan merupakan alat utama untuk menyampaikan materi ajar kepada siswa.

Menurut Sanjaya (2006) dalam strategi pembelajaran ekspositori guru memegang peran yang sangat dominan dalam penyampaian materi ajar. Kemampuan yang difokuskan dalam strategi ini adalah kemampuan akademik siswa.

Dari beberapa pengertian yang disampaikan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan ekspositori adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada peningkatan kemampuan akademik siswa melalui kegiatan demonstrasi atau penjelasan dari guru secara lisan, dan pembelajaran dilakukan dengan berfokus pada penjelasan guru sedangkan siswa bersikap pasif dalam pembelajaran.

2. Langkah-langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Ekspositori

Langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ekspositori dilakukan dengan berpusat pada guru. Menurut Sanjaya (2006, hlm. 183),

Ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori, yaitu: 1) Persiapan (preparation)

2) Penyajian (presentation) 3) Menghubungkan (correlation) 4) Menyimpulkan (generalization) 5) Penerapan (aplication)

Berikut penjelasan dari langkah-langkah tersebut: 1) Persiapan (preparation)

Pada tahap persiapan ini, guru mempersiapkan siswa untuk memulai pelajaran dan untuk menerima materi yang akan disampaikan oleh guru. Dalam mempersiapkan siswa untuk memulai pembelajaran, diharapkan guru dapat memberikan suatu energi yang positif yang dapat memacu motivasi siswa untuk belajar.

2) Penyajian (presentation)

Dalam tahap ini, guru menyampaikan materi ajar secara lisan dengan komunikasi satu arah. Guru lebih banyak menjelaskan materi kepada siswa,

(18)

sedangkan siswa lebih banyak diam dan hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Karena penjelasan dari guru mempunyai peran yang sangat penting, maka dalam penjelasan yang dilakukan harus dapat membantu pemahaman siswa terhadap materi.

3) Menghubungkan (correlation)

Pada tahap ini, kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah menghubungkan materi ajar dengan pengalaman siswa dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa yang berkaitan dengan materi yang sedang diajarkan. Pada tahap ini sebaiknya guru memperlihatkan hubungan antara materi yang sedang diajarkan dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa.

4) Menyimpulkan (generalization)

Tahap menyimpulkan ini bertujuan untuk memahami inti dari materi ajar yang telah disampaikan dalam pembelajaran. Kegiatan menyimpulkan ini dapat dilakukan dengan menyebutkan inti-inti pembelajaran, memberikan pertanyaan mengenai materi ajar agar siswa dapat mengingkat kemabali materi yang telah disampaikan, atau dapat pula dilakukan dengan membuat pemetaan materi yang diajarkan.

5) Penerapan (aplication)

Tahap penerapan ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan materi yang telah diajarkan kepada beberapa permasalah. Permasalahan ini dapat berupa soal matematika yang berkaiatan dengan materi ajar. Tahap penerapan ini dapat dilakukan dengan evaluasi atau dapat pula dilakukan dengan memberikan pekerjaan rumah kepada siswa.

3. Pembelajaran Luas dan Keliling Jajargenjang dengan Pendekatan Ekspositori

Pembelajaran luas dan keliling jajargenjang dengan pendekatan ekspositori ini dilakukan di dalam kelas. Tidak ada kegiatan pembelajaran yang dilakukan di luar kelas dan tidak ada diskusi kelompok selama pembelajaran berlangsung. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah:

1) Tahap persiapan (preparation)

a) Guru mengkondisikan siswa untuk siap belajar dengan mengucapkan salam dan berdo’a secara serempak.

(19)

b) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan langkah pembelajaran yang akan dilakukan.

c) Guru melakukan apersepsi dengan mengaitan materi yang akan diajarkan dengan materi lain yang telah diajarkan pada pertemuan sebelumnya. 2) Penyajian (presentation)

a) Guru menjelaskan materi ajar dengan cara ceramah.

b) Guru mendemonstrasikan asal muasal konsep yang akan disampikan 3) Menghubungkan (correlation)

a) Guru memberikan latihan soal kepada siswa yang berkaitan dengan materi ajar

b) Guru memberikan soal yang mempunyai keterkaitan dengan konsep lain, dan menginstruksikan kepada siswa untuk menyelesaikan soal tersebut bersama teman sebangku

c) Guru menginstruksikan kepada siswa untuk menuliskan penyelesaian soal yang telah ditemukannya

4) Menyimpulkan (generalization)

a) Guru bersama siswa menyimpulkan pembelajaran

b) Guru bersama siswa menyebutkan inti dari materi dan pembelajaran yang telah dilakukan

5) Penerapan (aplication)

a) Guru merefleksi pembelajaran

b) Guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa

E. Pembelajaran dengan Pendekatan Realistic Mathematics Education 1. Pengertian Pendekatan Realistic Mathematics Education

Menurut Maulana (2009a, hlm. 5) “Dalam praktik pembelajaran matematika di kelas, pendekatan realistik sangat memperhatikan aspek-aspek informal, kemudian mencari jembatan untuk menghantarkan pemahaman siswa kepada matematika formal”. De Lange (dalam Maulana, 2009a, hlm. 5) “Mengistilahkan matematika informal sebagai horizontal mathematization, sedangkan matematika formal sebagai vertical mathematization”. Pada tahap matematisasi horizontal, siswa mengidentifikasi konsep-konsep matematika khusus ke dalam konteks yang umum, lalu konsep tersebut dibuat lebih baku dan dinyatakan dalam suatu

(20)

hubungan yang berbentuk rumus dalam matematisasi vertikal. Menurut Tarigan (2006, hlm. 4)

pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan yang diorientasinya menuju kepada penalaran siswa yang bersifat realistik sesuai dengan tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang ditujukan kepada pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah. Dengan berpikir kritis, seseorang dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki pikirannya sehingga dapat membuat suatu keputusan yang lebih tepat.

Menurut Tarigan (2006, hlm 5) “Dalam pembelajaran matematik realistik dimulai dari masalah yang real sehingga siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran secara bermakna”. Pembelajaran matematik realistik diawali dengan penyajian masalah dari guru, kemudian masalah tersebut akan diselesaikan oleh siswa dengan dibimbing oleh guru. Pembelajaran dengan melibatkan siswa akan menciptakan suatu pembelajaran yang lebih bermakna.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan realistic mathematics education adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada proses matematisasi yang dilakukan siswa selama pembelajaran, siswa belajar matematika melalui proses pembentukan konsep yang dilakukan secara mandiri dengan melibatkan kehidupan nyata sebagai asal muasal terbentuknya konsep matematika.

2. Prinsip Pendekatan Realistic Mathematics Education

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan RME harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar pendekatan RME. Menurut Freudental (dalam Maulana, 2009a) terdapat beberapa prinsip RME yaitu.

1) Matematika adalah aktivitas semua manusia.

2) Pelajaran meliputi semua tingkatan tujuan dalam matematika. 3) Situasi alam nyata sebagai titik tolak pembelajaran.

4) Model membantu siswa belajar matematika pada tingkatan abstraksi yang berbeda.

5) Setiap unit dihubungkan dengan unit-unit lainnya. 6) Siswa menemukan kembali matematika secara berarti. 7) Interaksi penting untuk belajar matematika.

(21)

9) Bermacam strategi penyelesaian suatu masalah adalah penting. 10) Siswa tidak harus berpindah secara cepat ke hal yang abstrak.

Matematika terlahir bukan sebagai objek yang terpisah melainkan sebagai suatu ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Pendekatan RME ini menggunakan suatu konteks yang berorientasi pada permasalahan yang banyak ditemui oleh siswa di kehidupan sehari-harinya. Konteks ini, digunakan sebagai titik tolak pembelajaran. Dengan menggunakan kondisi sehari-hari siswa sebagai titik tolak pembelajaran, maka siswa dapat mengetahui kegunaan dari konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Karena untuk apa ilmu pengetahuan itu diajarkan jika tidak mempunyai manfaat bagi kehidupan siswa. Maka dari itu, melalui pembelajaran matematika realistik ini siswa dapat menemukan kembali matematika secara berarti.

Pendekatan matematika realistik memfokuskan kontribusi siswa terhadap pembelajaran. Siswa mengkontruksikan pengetahuan informal yang dimilikinya menuju kepada pengetahuan formal melalui pemodelan. Model dapat menjembatani proses kontruksi siswa dari pengetahuan informal menuju kepada pengetahuan formal. Proses interaksi di kelas sangat dibutuhkan dalam pendekatan RME terutama dalam tahap komunikasi dan representasi.

Masalah yang muncul dalam pembelajaran pun merupakan masalah yang terbuka (open ended problem). Sehingga dapat dikaitkan dengan materi lain. 3. Karakteristik Pendekatan Realistic Mathematics Education

Menurut Treffers (dalam Wijaya, 2012) terdapat lima karakteristik dari pendekatan realistic mathematics education yaitu:

1) Penggunaan konteks

Konteks atau permasalahan realistik adalah suatu keadaan yang merupakan titik awal dari pembelajaran matematika realistik. Konteks tidak harus berupa sesuatu yang nyata, namun konteks bisa disampaikan melalui gambar dan hal lain yang masih dapat dibayangkan oleh siswa. Penggunaan konteks dimaksudkan agar siswa dapat mengubah pola pikir yang konkret ke hal yang lebih abstrak. Dengan konteks, siswa dapat mengembangkan berbagai strategi pemecahan masalah yang ditemukan. Sehingga, siswa dapat mengembangkan sisi kreativitasnya dalam memecahkan suatu permasalahan. Hal tersebut berdampak

(22)

pada peningkatan motivasi siswa untuk lebih berpartisipasi dalam pembelajaran. Fungsi konteks tidak hanya sebagai ilustrasi, namun ditujukan untuk membangun ataupun menemukan kembali suatu konsep matematika melalui proses matematisasi.

2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Dalam pendekatan RME, model digunakan dalam proses matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi untuk menjembatani pengetahuan awal siswa yang konkret menuju kepada pengetahuan matematika yang lebih formal. Model tidak hanya berupa alat peraga, model ini merupakan alat yang tidak terlepas dari proses matematisasi dalam RME. Model ini mengantarkan siswa pada level informal menuju level formal. Terdapat dua model dalam pendekatan RME, yaitu model of dan model for. Model of adalah pemodelan yang dilakukan oleh siswa untuk menggambarkan situasi dalam konteks. Sedangkan model for adalah model yang dikembangkan siswa dalam proses pencarian solusi terhadap permasalahan matematika yang dilakukan secara sistematis.

3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Mengacu kepada pendapat Freudenthal (dalam Wijaya, 2012, hlm. 22) bahwa “Matematika tidak diberikan secara instan melainkan siswa harus diajarkan untuk membangun suatu konsep matematika melalui proses matematisasi”. Siswa memiliki kebebasan untuk menentukan suatu strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan terdapat beberapa alternatif pemecahan masalah yang ditemukan oleh siswa. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika. Ketika siswa diberikan kesempatan untuk memilih dan menemukan solusi terhadap masalah secara bebas, maka hal tersebut dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam menentukan pemecahan masalah melalui metode ilmiah.

4) Interaktivitas

Suatu pembelajaran tidak akan terlepas dari proses interaksi sebagai suatu proses sosial di dalam kelas. Interaksi yang terjadi adalah antara guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan antar siswa di kelas. Dengan mengkomunikasikan hasil kerja atau suatu gagasan di depan kelas, maka akan menciptkan suatu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

(23)

Suatu interaksi yang terjadi di kelas, dapat bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa. Pendidikan tidak hanya memprioritaskan keunggulan siswa dalam aspek kognitifnya saja, namun dalam aspek afektif juga harus diprioritaskan. Dalam hal ini, pendekatan RME dapat pula berperan dalam mengembangkan pendidikan karakter untuk siswa, melalui interaksi sosial yang terjadi di antara siswa ketika bekerja sama menyelesaikan masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu hasil penyelesaian masalah yang dilandasi oleh norma yang berkembang dalam komunikasi matematis.

5) Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika mempunyai suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Begitu pula dengan pembelajaran matematika yang memang dalam penyampaian konsepnya memiliki hubungan dan kesinambungan antar konsep yang satu dengan yang lainnya. Pendekatan RME menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika sebagai hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, diharapkan dalam suatu pembelajaran dapat mengenalkan lebih dari satu konsep yang saling berkaitan secara bersamaan. Sehingga siswa mendapatkan konsep lebih dari satu dalam suatu pembelajaran secara bersamaan. Keterkaitan ini akan memperluas dan memperkaya pengetahuan siswa.

4. Langkah-langkah Pendekatan Realistic Mathematics Education

Menurut Gravemeijer (dalam Tarigan, 2006, hlm 5) “Dalam pembelajaran matematika realistik terdapat lima tahapan yang harus dilalui oleh siswa, yaitu penyelesaian masalah, penalaran, komunikasi, kepercayaan diri dan representasi”. Berikut penjelasan mengenai kelima tahapan tersebut.

1) Dalam tahap penyelesaian masalah, siswa diarahkan untuk mencari cara penyelesaian masalah sesuai dengan proses berpikir masing-masing siswa. Dengan bimbingan guru, siswa diarahkan untuk menemukan ide atau jawaban terhadap masalah tersebut.

2) Tahap penalaran ini siswa diberikan arahan untuk melakukan penalaran terhadap pemecahan masalah yang ditemukan. Siswa diberikan kebebasan untuk menyelesaikan beberapa tugas atau soal melalui metode atau cara yang sudah ditemukannya. Siswa harus dapat mempertanggungjawabkan metode

(24)

pemecahan masalah yang ditemukannya dan harus membuat suatu argumen sebagai penguatan.

3) Tahap komunikasi ini memberikan kesempatan kepada siswa berdiskusi dengan teman sekelasnya mengenai pemecahan masalah yang ditemukan. Siswa dapat mengkomunikasi temuannya kepada teman sekelas. Siswa di kelas bisa saja memberikan sanggahan berupa penerimaan/penolakan terhadap pendapat temannya yang sedang menyampaikan metode pemecahan masalah yang ditemukannya.

4) Tahap kepercayaan diri merupakan tahapan untuk mengembangkan rasa percaya diri siswa. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempersentasikan atau menyampaikan jawaban dari soal yang telah dikerjakannya di depan kelas kepada teman-temannya. Jika terdapat perbedaan jawaban antara siswa yang persentasi dengan siswa lainnya, maka siswa yang melakukan persentasi tersebut dapat menjelaskan dengan sebaik-baiknya dan mempertanggungjawabkan atas jawabannya. Selain itu, siswa juga menyamakan hasil diskusi kelompoknya dengan hasil diskusi kelompok lain.

5) Tahap representasi yaitu tahap yang diberikan guru kepada siswa agar siswa dapat memilih bentuk representasi yang diinginkannya untuk kemudian mereka sajikan dalam penyelesaian masalah pada situasi yang berbeda. Siswa membangun penalarannya dan membentuk kepercayaan diri melalui representasi yang dipilihnya.

5. Kelebihan Pendekatan Realistic Mathematics Education

Menurut Suwarsono (dalam Panji, 2013) terdapat beberapa kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu.

1) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

2) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar namun dapat pula dikembangkan oleh siswa.

(25)

3) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.

4) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dalam usaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). 6. Kekurangan Pendekatan Realistic Mathematics Education

Adanya standar tertentu bagi keberhasilan pendekatan realistik ini justru memunculkan kesulitan tersendiri pada pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan. Menurut Suwarsono (dalam Panji, 2013) kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu.

1) Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya RME. 2) Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut

dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

3) Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

7. Pembelajaran Luas dan Keliling Jajargenjang dengan menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics Education

Tahap pembelajaran tersebut dapat dilakukan melalui penerapan pendekatan realistc mathematics education dalam materi luas dan keliling jajargenjang. Tahap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistic mathematics education pada materi luas dan keliling jajargenjang dilakukan dengan langkah berikut ini: 1) Guru mengkondisikan siswa untuk siap belajar dengan mengucapkan salam

dan berdo’a secara serempak.

2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan langkah pembelajaran yang akan dilakukan.

(26)

3) Guru menyampaikan konteks kepada siswa sebagai titik awal pembelajaran. Konteks yang disampaikan berupa masalah yang berkaitan dengan luas dan keliling jajargenjang yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari siswa. 4) Tahap penyelesaian masalah, siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang disampaikan oleh guru sesuai dengan pemikiran masing-masing. Diharapkan siswa mempunyai pemecahan masalah yang berbeda-beda sesuai dengan pemikirannya masing-masing.

5) Tahap penalaran, siswa memberikan penjelasan lebih rinci mengenai pemecahan masalah yang ditemukan oleh siswa. Siswa memberikan argumen yang kuat terhadap penyelesaian masalah yang ditemukan.

6) Tahap komunikasi

a) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.

b) Setiap kelompok diberikan satu lembar LKS yang berisi masalah yang harus dicari penyelesaiannya.

c) Siswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi mengenai pemecahan masalah yang diberikan.

d) Siswa melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya atau dengan guru. Siswa diperbolehkan untuk bertanya atau memberikan pendapat terhadap penyelesaian masalah.

7) Tahap kepercayaan diri

a) Siswa menyampaikan pemecahan masalah yang ditemukan oleh kelompoknya.

b) Setiap anggota kelompok harus menyampaikan ide secara bergantian. c) Siswa harus menyampaikan argumen yang dapat memperkuat

penyelesaian masalah yang ditemukan.

8) Tahap representasi, siswa diberikan kasus/soal yang serupa namun siswa diberikan kebebasan untuk menggunakan pemecahan masalah yang beragam yang telah ditemukan dalam tahap sebelumnya.

9) Guru mengingatkan kepada siswa untuk lebih teliti dalam menentukan jawaban terhadap kasus yang diberikan.

(27)

F. Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Putri (2013) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa dalam Materi Pecahan”. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan rata-rata hasil pretes dan hasil postes kelas eksperimen dengan menggunakan uji t dan = 5% di uji satu arah, maka hasilnya H0 ditolak dan H1 diterima. Adapun pembelajaran konvensional perbedaan rata-rata dengan menggunakan uji t dan = 5% diuji satu arah, maka hasil H0 ditolah dan H1 diterima. Kedua kelas terjadi peningkatan yang signifikan, namun jika diuji t N-gain dengan = 5% hasilnya 0,00. Jadi kesimpulannya adalah bahwa terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan yang terjadi di dua kelas penelitian, pada kelas ekperimen dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan RME lebih meningkat dibandingkan di kelas kontrol dengan pembelajaran yang menggunakan metode ceramah. Faktor pendukung dari pendekatan RME yaitu kinerja guru yang optimal dan aktivitas siswa yang baik, sedangkan faktor penghambat pembelajaran ini adalah siswa yang lemah dalam materi pecahan, mencari faktor kelipatan persekutuan terkecil, serta siswa yang mengganggu dan kurang memberikan kontribusi yang baik ketika diskusi. Hampir seluruh siswa merespon positif pada pembelajaran yang telah dilakukan, dengan ratrata skor yang diperoleh adalah 4,3 atau 86% siswa.

Nurbaeti (2013) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendekatan Realistic Mathematics Education terhadap Peningkatan Pemahaman Siswa pada Materi Simetri Putar”. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: 1) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi simetri putar, 2) pembelajaran dengan metode konvensional dapat meningkatan pemahaman siswa terhadap materi simetri putar, 3) pemahaman siswa terhadap materi simetri putar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistic mathematics education lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional, 4) secara umum respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan RME cenderung positif.

(28)

Fauzi (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajran Inkuiri untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa pada Pembelajaran Luas Jajargenjang di Kelas IV SDN Cicalengka IV Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung”. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dengan dua siklus, persentase pencapaian indikator dari data studi pendahuluan dan siklus II dapat dikategorikan meningkat. Pada data hasil studi pendahuluan indikator kemampuan menghitung luas jajargenjang sebesar 51,28% dan pada siklus II menjadi 92,30%. Pada indikator kemampuan menghitung tinggi jajargenjang, data studi pendahuluan sebesar 35,89% menjadi 89,74% pada siklus II. Indikator kemampuan menghitung luas jajargenjang hasil studi pendahuluan sebesar 42,30% menjadi 89,74% pada siklus II. Kemampuan menghitung alas jajargenjang, data studi pendahuluan sebesar 30,76% menjadi 88,46% pada siklus II, dan pada kemampuan menghitung luas jajargenjang, data studi pendahuluan sebesar 46,15% menjadi 91,02% pada siklus II. Dengan demikian, penerapan model inkuiri dalam pembelajaran menghitung luas jajargenjang dapat memberikan hasil yang positif terhadap proses pembelajaran dan dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas IV SDN Cicalengka pada materi luas jajargenjang.

G. Hipotesis Penelitian

Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan RME dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi luas dan keliling jajargenjang.

2. Metode konvensional dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi luas dan keliling jajargenjang.

3. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan RME lebih baik dibandingkan pembelajaran dengan metode konvensional dalam meningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi luas dan keliling jajargenjang.

Gambar

Gambar 2.1  Bentuk jajargenjang

Referensi

Dokumen terkait

Share of the Market Method  Share of the Market Method  , dalam metode ini , dalam metode ini perusahaan akan menentukan besarnya perusahaan akan menentukan besarnya target

Kompetensi komunikasi perilaku ritual wisatawan objek wisata makam Pangeran Samodro di Gunung Kemukus bahwa wisatawan/peziarah kebanyakan menggunakan rasionalitasnya,

Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan nilai) atau bentuk informasi

Kelompok pohon meranti, dipterocarp non meranti, komersial lain ditebang dan komersial lain tidak ditebang mempunyai pertumbuhan diameter tahunan rata-rata (MAI) yang relatif

Pengawasan Terhadap Sumber Daya Manusia Yang Dipekerjakan Menurut rekapitulasi penilaian karyawan pada rentangan 56 - < 70 berada pada kategori cukup baik dengan persentase

elvileg bárki fejleszthet, a nagy áruházakba való bekerülés az Apple Store esetében sokkal nehezebb, mint a Google Playbe, ugyanis előbbi esetében szigorú biztonsági

bahwa hasil Pengambilan Keputusan dalam Tabel Rekapitulasi Nilai Kegiatan Audit (EQI- F077) Nomor Urut 161.1 tanggal 03 Desember 2016 menunjukkan CV KHARISMA DUTA UTAMA D/H

Risk aversion atau takut terhadap risiko, perilaku ini menunjukkan jika kenaikan ragam (variance) naik dari keuntungan maka pembuat keputusan tersebut