• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Gambut

2.1.1 Pengertian Tanah Gambut

Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah

hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah

gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peatymuck, mucky).

Menurut Hardjowigeno (1986) gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.

Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) gambut dikelaskan dalam Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung 20% karbon organik, atau

2. Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik

(2)

sebesar :

a. 18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau lebih, atau

b. 12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c. 12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya

mengandung < 60% liat.

2.1.2 Gambut di Indonesia

Di Indonesia gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh penggenangan yang cukup lama (Sabiham, 2006). Barchia (2006), menyebutkan bahwa tanah gambut terjadi di bawah kondisi yang jenuh air seperti daerah depresi, danau dan pantai yang banyak menghasilkan bahan organik yang melimpah oleh vegetasi yang telah beradapatasi dengan kondisi setempat seperti rumput-rumputan, mangrove atau hutan rawa.

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus dan Subiksa, 2008).

2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut

Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan

(3)

Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang (Noor, 2001). Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 2/3 volume, hemik 1/3-2/3 volume dan saprik kurang dari 1/3 volume.

Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah, terutama yang menunjukkan kesuburan (Andriesse, 2003). Kerapatan lindak atau bulk density (BD) tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 g/cm3- 0,20 g/cm3. Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik < hemik < saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut (Noor, 2001).

Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 %, gambut hemik 450-850 %, dan gambut saprik < 450 % (Andriesse, 2003). Di lapangan kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham, 2006).

Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik (irreversible drying). Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang, dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.

(4)

Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan memegang air tinggal sebesar 50% (Rieley et al., 1996 dalam Noor, 2001). Menurut Noor (2001) kering tak balik besar terjadi pada gambut tropik, khususnya gambut rawa. Sebagian pakar berpendapat bahwa penurunan kemampuan gambut yang mengalami kekeringan dalam menyerap air merupakan akibat terbentuknya selimut (coating) penahan air. Coulter (1975) dalam Andriesse (2003) menyatakan bahwa sifat hidrofobik gambut dari gambut kering adalah karena adanya lapisan seperti resin yang terbentuk pada waktu pengeringan.

Sifat lain dari tanah gambut yang penting yaitu sifat kimianya. Sifat dan ciri kimia tanah gambut yang utama antara lain kemasaman tanah, kapasitas tukar kation, C-organik dan kadar abu. Kemasaman (pH) tanah-tanah organik berkaitan dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, alumunium dan hidrogen yang dapat dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lain yang dapat dioksidasi. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik, yang mencangkup sebagian tropika daratan rendah biasanya bersifat masam atau sangat masam dengan kisaran pH sebesar 3-4,5 (Andriesse, 2003). Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1-3,9.

Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut memegang peranan penting dalam pengelolaan tanah dan menjadi penciri kesuburan tanah. Nilai KTK gambut berkisar dari < 50 sampai lebih dari 100 cmol (+) kg-1 bila dinyatakan atas dasar bobot tetapi lebih rendah jika dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 1997). Nilai KTK tanah gambut sangat bergantung pada pH. Andriesse (2003) menyatakan KTK tanah gambut pada pH 7, tanah organik yang mengalami sedikit perombakan mempunyai KTK 100 cmol (+) kg-1, tetapi yang mempunyai tingkat perombakan tinggi tergolong gambut saprik mempunyai KTK sekitar 200 cmol (+) kg-1.

Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan

(5)

besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse, 2003).

Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Radjagukguk (1997) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4%-16,9%. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu sangat dalam (>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (1-3m) berkisar 11%-12% dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001).

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini terus menjadi perhatian serius dari masyarakat global karena pengaruhnya terhadap lingkungan. Pembakaran energi fosil karbon dan konversi hutan hujan tropis menjadi sorotan utama penyebab pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O. Gas-gas tersebut merupakan gas rumah kaca yang utama dari lahan gambut. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 (walaupun dikalikan dengan global warming potensialnya setinggi 21 kali CO2). Dalam mempresentasikan emisi dari lahan gambut, data emisi CO2 sudah cukup bisa digunakan jika pengukuran gas lainnya sulit dilakukan (Hooijer et al., 2006). Barchia (2006) menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton atau 75 % dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui di mana tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepas selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon

reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak

bijaksana, laju pelepasan CO2 dan CH4 dapat meningkat.

Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar kontribusinya terhadap pemanasan global. Konsentrasi alaminya hanya 0,03 % persen di

(6)

atmosfer, namun dapat dimanfaatkan tanaman untuk proses fotosintesis. Bila tanaman dan hewan mati, kandungan karbon akan terlepas dalam bentuk karbon dioksida, demikian pula dengan kegiatan membakar kayu dan bahan bakar fosil. Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai 50% dari berat keringnya bisa berupa bahan organik yang membusuk sebagian. Bahan organik jika terdekomposisi dapat menghasilkan karbon dioksida.

Gas CO2 memiliki waktu urai hingga 50-200 tahun dan memiliki daya tangkap sinar matahari seperti efek rumah kaca. Dari jaman pra industri (tahun 1750-1800), konsentrasi CO2 telah bertambah dari 280 ppmv (part per million volume) menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Saat ini laju penambahan CO2 di atmosfer rata-rata berjumlah 1,8 ppmv. Kehadiran gas CO2 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan suhu permukaan bumi dan IPCC menyarankan agar emisi gas CO2 sekurang-kurangnya 60% dari emisi gas yang dikeluarkan saat ini (Bapppenas, 2004).

2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem. Secara alami gambut berfungsi sebagai penambat karbon, sehingga berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 13-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86% (445 Gt) dari karbon lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50% dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia sebesar 46 Gt (Murdiyarso et al., 2004). Oleh karena itu, pertukaran CO2 dari lahan gambut ke atmosfer sangat mempengaruhi siklus karbon dan terhadap pemanasan global.

Fluks CO2 dari tanah merupakan komponen utama dari siklus karbon global (Raich and Schlesinger, 1992; Houghton, 1995 dalam Melling et al., 2005). Produksi CO2 oleh tanah adalah suatu proses yang dapat dipertukarkan yang disebut sebagai fluks CO2 tanah atau respirasi tanah. Fluks CO2 tanah bervariasi menurut ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, faktor lingkungan

(7)

organik berkaitan dengan besarnya fluks CO2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses biologi seperti absorpsi oksigen dan emisi CO2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer (Handayani, 2009).

Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu :

1. Pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO2. 2. Drainase lahan gambut yang menyebabkan aerasi bahan gambut di samping

oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006).

Kunci utama dari pengembangan pertanian di lahan gambut adalah pengendalian atau pengelolaan air (Sarwani et al., 1994; Sumangat dan Rusdi 1979). Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Tindakan utama yang perlu dilakukan yaitu mempertahankan tinggi muka air. Akan tetapi sebaliknya yang terjadi kebanyakan lahan gambut adalah terjadinya over drainage (pengurasan air). Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam (Agus dan Subiksa, 2008).

Drainase pada perkebunan kelapa sawit berfungsi untuk pertumbuhan akar tanaman dan sebagai akses jalan. Tingginya muka air akibat proses drainase berpengaruh terhadap keadaan oksidasi dan reduksi pada lahan gambut dan berakibat pada laju dekomposisi serta emisi gas CO2. Drainase pada lahan gambut menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Selain adanya proses dekomposisi bahan gambut, respirasi akar tanaman juga mempengaruhi produksi CO2 dari dalam tanah. Sejumlah penelitian tentang tingkat emisi CO2

(8)

hubungannya dengan kedalaman drainase yang dibutuhkan dalam pengelolaan untuk budidaya telah dilakukan, dari sejumlah penelitian yang menggunakan metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber) Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Dari review sejumlah literatur dikemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi 0,91 ton CO2 ha-1 tahun-1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1 cm.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 5.8 sampai Tabel 5.10 dapat dilihat hasil perhitungan total biaya maintenance dan kerugian yang dikeluarkan serta keandalan yang dicapai dari tiap mesin dan

Berdasarkan simpulan, disarankan (1) guru Bahasa Indonesia diharapkan lebih memerhatikan penulisan huruf kapital, tanda koma, tanda titik, dan penulisan kalimat dalam karangan

Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa apabila suatu pernyataan ingin diterima sebagai suatu kebenaran maka pernyataan tersebut harus dapat diverifikasi atau diuji

Riggs (1996) membagi faktor ekologis ke dalam beberapa aspek berikut. Aspek-aspek Alamiah Kehidupan Nasional Faktor-faktor ekologis administrasi negara Indonesia yang

profesi akuntan pemerintah lebih tinggi dibandingkan yang memilih profesi akuntan publik dengan nilai koefisien 1,004 dan signifikan pada 0,031 (p&lt;0,05); artinya

Aplikasi berupa game tentang tata bahasa Inggris ini dibangun dengan meng-implementasikan metode Knuth– Morris–Pratt pada proses koreksi susunan kata dan metode

j. Peserta didik diminta untuk mengamati dan mengidentifikasi struktur DNA seperti pada Gambar 3.5 yaitu struktur molekul DNA dan Gambar 3.6 tentang struktur RNA. Jika

Mahasiswa tidak dapat menjelaskan metode biomol yang digunakan dalam suatu jurnal ilmiah. Mahasiswa