• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi

di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang

Kadiri

R.Bambang Gatot Soebroto(1), Nuffida(1) subrotobambang11@yahoo.com

(1)Lab. Perkembangan Jurusan Arsitektur, FTSP ITS Surabaya

Abstrak

Pusat kerajaan berpindah ke wilayah Timur Jawa, diikuti munculnya arsitektur candi memakai bahan baku baru; dari batu andesit ke bata merah. Bahan baku candi beralih seolah adanya perobahan konsep keabadian. Permasalahannya kalau demikian berakibat berobah pada; pengolahan bahan hingga tektonikanya. Penelitian ini betujuan mengaji konsep keabadian yang berhubungnya dengan tektonika arsitektur candi di Jawa Timur, disandingkan dengan Gereja Puh Sarang di Kadiri. Metodenya Kualitatif; kajian literatur, wawancara, pengamatan langsung lalu dianalisis. Dilakukan analisis tektonikanya, kemudian dibuatkan diagram. Lalu disusun menjadi kritik deskriptif arsitektur. Hasilnya, perobahan konsep keabadian berpengaruh terhadap tektonika candi maupun gereja.

Kata kunci : arsitektur, candi, gereja, keabadian, tektonika

Pendahuluan

Pendahuluan berisikan; latar belakang judul yang penulis ambil yaitu kajian konsep keabadian. Latar belakang mengandung motivasi, konsep, dan tektonika candi. Percandian dibuat memakai batu andesit di wilayah tengah pulau Jawa. Di daerah Timur pulau Jawa muncul candi berbahan baru yakni tanah liat atau bata merah. Batu andesit yang ditambang, dibawa, dibentuk persegi, disusun (membentuk candi), digambar (sesuai arahan pendeta) lalu batu diukir atau ditatah , Tjahjono,(2002). Bahan baku percandian perobahan karena konsep keabadian; batu andesit tak lekang terhadap cuaca – abadi. Batu bata (tanah liat) digali, dibentuk persegi, dikeringkan lalu dibakar dan disusun (mungkin masih di tatah atau ukir). Percandian bata merah tersebut di sandingkan dengan gereja Puh Sarang Kadiri, gereja yang dirancang oleh arsitek Henry Macline Pont. Bagunan yang Memanfaatkan batu-batu bundar, lonjong dan gepeng untuk penataannnya. Batu-batu dipilah dan dipilih kemudian disusun sesuai bentuk menyesuaikan fungsinya. Mcline Pont memanfaatkan tanah liat sekitar dengan membuat berbagai kelengkapan sebuah bangunan gereja; bata untuk dinding altar, tegel untuk lantai gereja, patung serta relief untuk hiasan altar dan genting yang tipis dengan bentuk serta peletakannya yang unik. Beberpa contoh peralihan bahan dalam pembangunan candi, dan gereja Puh Sarang penyandingnya. Kemudian mengkaji Tektonikanya sebagai sentuhan akhir. Pengolahan serta pemanfaatan bahan-bahan pembangun tersebut tidak lepas dari pemakaian peralatan yang aneka ragam dan memungkinkan tidak sama penggunaannya; mengolah batu dan membuat bata merah.

Kemudian permasalahan yang dihadapi tidak mudah mendapatkan literatur yang sebidang jurusannya; di Seni keramik dan tektonika arsitektur, melainkan beberapa jurusan yang berada diluar arsitektur; Sipil, atau Mesin.

(2)

Latar Belakang

Percandian didirikan memakai batu andesit (di Jawa Tengah- candi-candinya dibangun memakai batu andesit). Percandian dibangun disekitar lereng gunung Merapi (gunung berapi) menurut buku

Indonesian Heritage . Bahan bakunya diambil dari dua kawasan; perbukitan Menoreh dan sungai

Progo”, Miksic(2002)

Percandian yang dibangun di wilayah Timur pulau Jawa, masih terdapat candi berbahan batu andesit. Candi-candinya dibuat lebih langsing, tidak ‘tambun’, Priotomo, (2008), akan tetapi sudah muncul bahan lain, yakni bata merah.

Batu andesit bisa bertahan ratusan tahun, berbeda dengan batu merah dibuat memakai tanah liat kemungkinan jauh lebih rapuh, tidak bertahan lama, terkena panas terik, angin maupun hujan. Tektonika hubungannya dengan ‘ketukangan’ Frampton (1995) dalam pembuatan candi. Tukang berhubungan dengan alat-alat kerja yang digunakan. Tektonika adalah kerja sentuhan akhir memakai estetika, tepatnya sebuah upaya tertentu pada sebuah teknologi, atau olah suatu bahan. Batu – batu andesit ditatah kemudian disambung , batu bundar - batu bundar, batu andesit dengan bata merah atau bata merah dengan bata merah. Didalam bukunya Sopandi, Setiadi (2013), Sejarah Arsitektur, sebuah pengantar, di halaman 33,34,35 ‘menumpuk’ batu andesit pada candi dilakukan tektonika berbagai cara sambungan; menggunakan purus, takikan, batu berbentuk ekor burung, menggunakan pasak, dinding pelapis serupa cor beton”. Gereja Puh Sarang Kadiri memakai sentuhan tektonika tampak perpaduan bahannya. Henry Mcline Pont melakukan; pengolahan, pemilihan dan pemanfaatan batuan bulat dan lonjong, kemudian disusun membentuk terasan, gapura, tiang atau kolom, ‘sculpture’ menara lonceng, dinding gereja dan termasuk gua Maria dan Josep. Batu bundar di pilih dan di pilah dengan rinci menyesuaikan bentuk dan fungsi nya. Batu yang kecil setelapak hingga seukuran rantang, disusun sedemikian rupa disesuaikan antara bentuk keadaannya dengan fungsi posisinya. Undak-undak digunakan batu lonjong yang gepeng, untuk dinding ditempatkan pada kolom atau dinding, untuk daerah’kaki’ supaya terlihat berat dibagian bawah digunakan batu seukuran rantang.

Gereja Puh Sarang ini memperlihatkan seni perletakan batu bundar namun tanah liat yang di olah dan dibentuk tidak kalah menariknya. Bata merah dibuat untuk area altar , serta relief- patung dibuat imajiner di tengah-tengah. lantai tegel terrakotta berukuran ;20 cm x 20 cm x tebal 2,5 cm. Relief kisah jalan Salib dibentuk dengan khusus berukuran 30 cm x 40 cm. Genting-genting yang kecil dan tipis, dibentuk dan dipasang dengan cara di ikat pada kawat baja lonjoran. Relief yang diukir secara manual satu-satu dicetak ukuran 20 cm x 20 cm untuk teras ruang utama gereja (muka altar). Genting yang dibuat khusus berukuran kecil, tipis, berukuran 15-20 cm berbentuk penampangnya huruf U, berketebalan lebih kurang 1 cm. Genting tipis ini di pasang memakai ikatan kawat kabel. Bolak balik U, N,U,N dst. Kawat kabel diikatkan ke kawat beton Tu baja lonjoran. Genting yang dibuat berbeda seperti jaman sekarang lebih lebar dan tebal, menggunakan takik untuk mengait pada reng. Genting gereja Puh Sarang berkesan, menggayut atau lendut (serupa tenda terpal komando, milik TNI).

Permasalahan

Batu-batu yang disusun dijadikan sebuah tempat khusus dan disakralkan. Bangunan itu dibuat utuh, tahan cuaca dan lama usianya. Bangunan batu tersebut menjadi saksi untuk dinikmati, dipelajari atau masih bisa dipergunakan sebagai sarana berdoa atau pemujaan.

(3)

Masyarakat generasi berikutnya, dapat merawat sebaik-baiknya dengan mudah. Bencana alam, gunung berapi, tanah longsor atau gempa bumi dapat menimbun, merobohkan atau membuat tidak utuh lagi.

Candi yang terbuat dari tanah liat sesungguhnya tidak berbeda. Bencana alam tertulis diatas tersebut juga dapat merusak keadaan candi. Bata merah yang dibuat seperti perajin sekarang mudah rusak dan hancur tetapi dengan teknik pembuatan yang prima, dapat sekuat batu andesit . Batu andesit diukir, sedangkan batu merah apakah juga dapat diukir? Candi di kawasan Trowulan (candi Ringin Lawang, Bajang Ratu, Tikus, Gentong, Brahu, Kolam Segaran dan masih banyak yang ujud candinya tidak utuh lagi), Sidoarjo (Candi Pari, Dermo dll) , Beji-Pasuruan (Candi Gunung Gangsir), Probolinggo (Candi Jabung), candi bata merahnya penuh berukir yang cukup dalam. Candi bata merah untuk dapat diukir harus memiliki dinding yang cukup padat dan solid.

Candi bata merah pembuatannya berbeda dengan candi batu andesit (seperti di daerah pulau Jawa bagian tengah). Candi Borobudur dibuat setelah dinding candi dibentuk dan di susun berbentuk undak-undak memakai balok-balok batu andesit yang belum berelief alias kosong. Dinding batu andesit digambar dan ditatah diatas, setelah candi berdiri.

Sedangkan candi bata merah (diwilayah Timur pulau Jawa) dibuat dibawah ketika tanah liat dalam keadaan mentah, atau paduan keduanya; candi dibuat memakai bata merah ‘kosongan’, tetapi diberi rongga-rongga. Rongga tersebut diisi relief yang dibuat dibawah: Tanah liat mentah dibentuk, diukir,dikeringkan lalu dibakar. (contoh yang dilakukan pada candi Gunung Gangsir di Beji-Pasuruan). ‘Kosod” adalah teknik menggosok-gosokan antar sesama dinding batu bata merah dicampur air untuk perekat antar bata yang satu dengan bata merah lainnya. Menurut arkeolog Museum Trowulan (ibu Ninies), selain kosod, perpindahan atau peralihan bahan pembangunan candi dari batu andesit ke bata merah adalah karena peralihan ‘konsep keabadian’. Konsep kepercayaan Jawa (Pangudi); membuat memakai batu merah sama halnya penggambaran sosok manusia berasal dari empat unsur; “ api, angin, air dan tanah (Amarah, Supiah, Mutmainah dan Aluamah) Haryono, 2012, Gitanjali, ITS Press, Surabaya”.

Gereja Puh Sarang Kadiri, sebagai penyandingnya tampak keindahan permainan batu kali bulat, maupun lonjong. Komplek bangunan gereja yang dibentuk dan kreasikan sebagai kerangka bebatuan, olahan tanah liat untuk perimbangan kreatifitas tangan bebas terlihat. Bangunan yang dibuat memakai dua tipe bahan memperlihatkan filosofi keabadian disandingkan dengan harmonis. Batu-batu kali yang bulat, lonjong dan gepeng dipilah, klasifikasi, disatukan dan disusun. Benda terrakotta; tegel, relief jalan salib, bata untuk dinding altar, relief serta patung imajiner pada tengah altar dibuat menjadi aksen, berkesan hangat. Atap genteng yang melendut memperlihatkan ke monumentalan kompleks percandian Puh Sarang Kadiri.

Tujuan

Konsep Keabadian dikaji pada karya arsitektur percandian masa silam dengan gereja Puh Sarang Kadiri.

Tektonika arsitektur candi di daerah pulau Jawa sebelah Timur yang disandingkan Gereja Puh Sarang di daerah Kadiri. Peralatan yang dipakai turut berobah akibat peralihan konsep keabadian. Alat untuk membentuk batu Andesit yang keras berbeda untuk pembuatan bata merah yang lebih lunak.

(4)

Manfaat

Batu andesit yang mencerminkan keabadian, segala informasi maupun ajaran ketuhanan, disampaikan untuk masa itu maupun yang akan datang. Candi batu andesit memperlihatkan tentang kekuatan, kekokohan sehingga ajaran yang tereliefkan bisa dicermati lebih seksama. Batu andesit yang berkesan dingin, tidak akrab, dikombinasikan dengan relief yang bentuk dan ukurannya proporsional naturalis. Anatomi yang menyerupai ukuran manusia pada umumnya, ujud wungkul tiga dimensi, menampilkan candi berbatu andesit yang berkesan dingin menjadi berimbang hangat. Sebaliknya candi yang dibangun dari bata merah, adanya warna terracotta yang akrab, berkesan hangat pembuatan reliefnya lebih terlihat menghias dan di gayakan (stilasi) (candi Jabung Probolinggo).

Bahan batu dan hasil olahan tanah liat di bentuk dengan mengkombinasikan, dijejer atau disandingkan, pada karya Henry Mcline Pont; gereja Puh Sarang di Kadiri. Batu bulat yang beraneka ragam dan ukuran, disusun membentuk ‘hiasan’ atau tekstur tersendiri.

Batu andesit yang di tambang, di olah, di angkut, mempergunakan peralatan khusus yang berbeda. Ujud bongkahan dibuat balok persegi terlebih dahulu. Bentuk persegi memudahkan perbandingan ukuran skala, proporsi (contoh pembuatan arca dan lainnya) daripada masih bongkahan. Balok batu tersebut disusun (terlebih dahulu ‘disesuaikan’ dengan memberi sentuhan Tektonika berupa koncian, sambungan batu) membentuk candi kemudian digambar dan ditatah.

Tanah liat yang digali pada daerah tertentu disaring, digemblong (diulet) lalu dibentuk dengan cara cetak seukuran bata Majapahit; 25 cmx 40 cm x 5 cm. Bata Majapahit tersebut dikeringkan, lalu dibakar atau diukir terlebih dahulu sebelum dibakar. Bata kondisi mentah diukir jauh lebih mudah dan ringan; setelah tanah disaring dan dibentuk bata, sebelum kering betul (tapi cukup padat) dilakukan pengukiran, kemudian dilakukan ‘kosod’ (menggosok-gosok permukaan bata dengan bata merah lainnya. Gunanya untuk dapat dilakukan penyambungan tanpa bahan lainnya, kecuali air.

Kajian Pustaka

Candi berbahan batu andesit dan bata merah (tanah liat) perobahan konsep keabadian.

Batu andesit sebagai bahan pembuatan percandian, diambil, digali dibentuk persegi, disusun, digambar, ditatah, sesuai petunjuk pendeta(Tjahjono,2002), tahan cuaca, panas matahari, angin maupun hujan. Batu andesit diambil dari perbukitan Menoreh dan Sungai Progo (Miksic,2002). Percandian yang dibangun di sekitar kota Yogya dan Magelang sesungguhnya berada pada lereng gunung Merapi (Tjahjono,2002). Berbeda percandian di wilayah Timur pulau Jawa, dibangun memakai bahan bata merah. Pulau Jawa bagian Timur diduga lebih banyak persawahan atau tegalan, sehingga tanah liat mudah didapat, tetapi menurut pendapat (Noerwarsito,2017; arkeolog museum Trowulan ibu Ninies,2008) adanya ‘perobahan konsep keabadian’ (bata merah adalah gambaran filosofi spiritual Jawa; terdiri dari unsur tanah-air-angin-api). Hal tersebut juga tertulis dalamm kitab “Gelare Jagad” (2010), spritual Jawa Pangudi- yang berpusat di kota Surabaya. Noerwarsito, (2017) Doktor Arsitektur ITS, ahli struktur, memiliki penelitian dan paten bata tanpa dibakar, menurut penuturannya; “adanya pengambilan tanah liat dari daerah tertentu “(tidak sembarang tempat). Secara logika, candi adalah bangunan khusus; “pemujaan, pendarmaan” dalam Desertasi Soekmono dan ‘makam’Raffles dalam Soekmono (1977), oleh sebab itu bahannyapun musti khusus setidaknya dari daerah tertentu. Percandian jaman kerajaan Majapahit, dibuat memakai bata merah dengan ukuran lebih tebal dan lebar dibanding bata merah jaman sekarang. Sumber tanah liat yang

(5)

Plered Purwakarta, Jawa Barat (daerah Cianting). “Tanah liat juga mengandung mineral-mineral lain yang dapat bertindak sebagai bahan pembentuk bahan gelas waktu dibakar....Penggelasan dan ikatan-ikatan unsur inilah yang memberikan sifat keras bagaikan batu kepada tanah liat yang dibakar itu”,Astuti, Ambar,1997.

Menjejerkan dengan Gereja Poh Sarang (Pohsarang) di Kadiri

Henry Mcline Pont mempelajari reruntuhan kerajaan Majapahit,... mendapat inspirasi dari gambar-gambar bangunan yang terdapat pada relief Candi-candi Majapahit, misal candi Penataran dan Jago. Demikian juga sistem strukturnya, mengeksploitasi kekuatan bambu dalam menahan gaya membujur (longitudinal). Semua itu tergambar pada relief candi, dipakai pada hampir semua bangunan primitif...Altar dan dinding-dindingnya, memakai hiasan, ukiran dan relief bergaya Jawa Sumalyo,Yulianto,1995,....terdapat “makhluk imajiner” pada hampir semua candi di Jawa Timur (perempuan berbadan singa, manusia berkepala hewan di candi Jago, manusia garuda di candi Kidal dan Rimbi), Soebroto,2011. Dibuat juga oleh Mcline Pont dimuka altar, binatang serupa sapi bersayap.

Untuk membangun gereja Puh Sarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Mcline Pont menggunakan juga buruh-buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum. Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi;mulai dari lokasi, tata masa, konstruksi, tata ruang, bahan bangunan, struktur dan tentu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras. Sumalyo,Yulianto,1995. Bangunan biar benda mati namun tidak berarti tak “berjiwa”. Rumah yang kita bangun adalah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oeh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh napsu dan cita-citanya. Rumah adalah CITRA sang manusia pembangunnya. Mangunwijaya, 2009. Dengan upaya yang luar biasa tersebut, bangunan yang dihasilkan diharapkan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Terlebih jika bangunan yang dibuat memang ditujukan untuk menjadi bangunan monumental, yang menyandang makna mendalam-diharapkan dapat diwariskan ke generasi berikutnya- lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan praktik semata. Meskipun manusia adalah makhluk yang fana yang hidup di dunia yang serba sementara, mereka mengharapkan bangunan ciptaan mereka dapat lestari lebih lama dari keberadaan mereka didunia, atau secara ideal adalah “abadinya,” Zeitlos” kata orang Jerman, ...ideal kesempurnaan orang Yunani adalah keabadian...”Mangunwijaya, (2009:417). Arsitektur dapat dipahami dengan baik bila ia dianggap jauh lebih daripada sekedar tempat bernaung dan suatu tanggapan untuk memanifestasikan fungsi. Jadi pengekspresian semua hal lain yang dilakukan bangunan-bangunan dan lingkungan buatan menjadi hakiki dan perlu terjadi. Makin sering kita semua berfikir dengan cara ini, makin mungkinlah hal itu terjadi. Snyder, James S, 1991. Teori-teori Arsitektur pun dirumuskan untuk membangun argumen tentang status ontologis arsitektur sebagai yang ciptaan abadi, cara-cara untuk mencapai keabadian, hingga kemanfaatan dari keabadian bangunan. Bangunan yang dibuat dengan sempurna, adalah yang tak lapuk dan lekang oleh cuaca selamanya Santosa, Revianto Budi, 2017.

Tektonika

“ Teknik membangun candi di Indonesia dikembangkan dengan kekhasannya sendiri. Teknik membangun di Indonesia berbeda dengan Piramida di Mesir Kuno yang menggunakan balok-balok batu besar, juga dengan kuil-kuil Hindu India yang banyak dipahat dari gunung batu yang monolit. Candi-candi di Indonesia menggunakan potongan batu-batu andesit atau batu-batu yang relatif lebih kecil. Sopandi,Setiadi, 2013 Berbeda dengan lubang serupa pada stupa Candi Borobudur yang

(6)

mempertegas simbolisme arupa dari teras Arupadatu, Roesmanto, 1985. Pengamatan penulis; stupa Borobudur berbahan batu andesit mempunyai dua tipe; persegi yang dibentuk serupa limas terpancung ke posisi dalam, sementara sudut-sudutnya dicoak, dan yang berbentuk huruf X, atau silang-silangan tersusun. Bila batu-batu besar tidak mudah bergeser karena bobotnya sendiri, potongan batu-batu kecil memerlukan sistem perekatan supaya tidak mudah runtuh akibat pergeseran”Kosod” menggosokan antara dua bata merah kemudian diberi perekat air, menurut Arkeolog museum Trowulan (ibu Ninies, 2008; Tribinuka, 2015) . Batu-batu kecil tersebut dipotong sedemikian rupa agar saling mengunci apabila dipasang dengan tepat. Sambungan batu menggunakan pen/purus, sambungan batu menggunakan takikan, sambungan menggunakan ekor burung (dove tail),sambungan batu mengunakan pasak,Sopandi,Setiadi, 2013. Macline Pont, memilah dan memilih berbagai tipe batuan bundar dari kali , batu bundar ukuran kecil, gepeng, besar, lonjong, mirip, kontras disendirikan, kemudian disusun, disesuaikan posisinya; untuk tangga pijakan ditempatkan batu gepeng lonjong, untuk batas pagar dipilih bundar bulat, untuk ditempatkan pada menara lonceng ditempatkan bagian bawah yang berukuran besar gepeng lagi melebar. Untuk batu sebesar helm yang menyerupai bulat segi tiga dijdikan aksen pojok pagar. dan seterusnya.“Bangunan Jawa yang berbentuk joglo adalah perkembangan dari bentuk tenda; seni bangun dinding keliling (omwalling architectuur): keampuhan bahan lokal dari segi kemudahan didapat dan murahnya harga bangunan, dasar gotong royong yang menandai proses membangun dan berlingkungan hidup....Gereja yang berdiri di tahun 1936 ini...ungkapan rupa yang total dari teori dan pemikiran Macline Pont. Tentang bambu misalnya, Pont meyakini bahwa dengan pengawetan dan pencanggihan (sophistication) konstruksi tradisional dapat diperoleh bentangan ruang sebesar 12 meter dan tahan puluhan tahun” Prijotomo, (2008);49.

Obyek/Subyek Persoalan

Pembahasan

Abad 9 kegiatan pembangunan percandian berbahan batu andesit di pulau Jawa di bagian tengah sudah tidak ada. Abad 11 di Jawa bagian Timur mulai muncul kegiatan pembangunan percandian,

(7)

langsing tidak ‘tambun’ mengingatkan ‘batu tegak (menhir) di jaman prasejarah’ Prijotomo (2008). Bentuk percandian orientasinya tidak lagi vertikal tetapi menghadap - berlatar belakang ke gunung-gunung (Arjuno dan Penanggungan), gunung-gunung Penanggungan’Mahameru baru’, Munandar (2009) yang memiliki empat puncak mengelilinginya, dipenuhi lerengnya puluhan percandian berbentuk ‘altar berundak’ berbahan bata merah Miksic,(2002).

Masih terdapat percandian memakai batu andesit, berelief, hanya berukuran kecil dan beberapa tidak memiliki puncak bagian ‘kepala’ (kompleks candi Penataran di Blitar bagian muka relief Kisahan, dan bagian belakang, kecuali candi angka tahun yang memiliki puncak), demikian juga candi Tegowangi dan Surwana di Kadiri. Percandian demikian diduga bagian atasnya adalah serupa Meru di Bali. Meru adalah tempat atau area khusus (Utama seperti di Bali). Disamping bentuk percandian tersebut, di wilayah Jawa Timur masih dapat dijumpai percandian utuh; “kepala-badan dan kaki”, (Roesmanto, 1994;Tjahjono, 2002). Sekalipun ukuran percandian Jawa Timur berukuran kecil dan langsing, akan tetapi teknik pengolahan sambungan dan koncian batu tidak terlalu berbeda dengan percandian di Jawa Tengah; “pemakaian pen, purus, batu berbentuk ekor burung”Sopandi,Setiadi (2013). Beberapa percandian batu andesit yang memiliki kepala-badan dan kaki yang paling terlhat utuh dan bagus adalah candi Jawi di Prigen, candi Kidal dekat Tumpang Malang, candi Singhasari (sedikit tidak jelas bagian atasnya, dan di sebagian ahli mengatakan belum selesai).

Percandian bata merah identik dengan kerajaan Majapahit. Percandian dan segala perlengkapan hidup keseharian terjadi varian seperti; tugu batas, batu penghalus, coek serta arca-arca dan sebagainya masih dibuat dari batu andesit, juga bahan gerabah (terracotta), seperti; pipa air pembuangan, tegel, bata, relief, maket candi setinggi 40 cm, bak mandi, guci, pilar, perangkat makan, minum dan lain sebagainya. Melihat sangat banyak perlengkapan keseharian memakai bahan gerabah, tampaknya terjadi pergeseran bahan pembuatan, perlengkapan dari batu ke bahan gerabah (terracotta).

Percandian bata merah dibangun sekitar Trowulan, didekatnya juga terdapat Museum, yang banyak artefak kegiatan keseharian memakai gerabah. Bangunan candi yang akan dibangun oleh seniman Majapahit terlebih dahulu dibuatkan sebuah maket setinggi 40-50 cm dari tanah liat. Makaet candi tersebut diibentuk, dikeringkan, lalu dibakar. Artefak maket gerabah yang ditemukan menunjukan orang-orang Majapahit lebih menghadirkan contoh bangunan ujud tiga dimensi, karena mudah diputar-putar untuk mengamati dari segala arah.

Relief batu andesit dibuat pada dinding candi, menurut Tjahjono,(2002), pembuatan ‘diatas’, saat candi sudah berdiri dalam keadaan kosongan (balok batu andesit). Candi yang dibuat memakai tanah liat atau bata merah, lebih fleksibel; sebagian bahan bata merah dibangun, tetapi disiapkan rongga-rongga (seperti pada candi Gunung Gangsir) kemudian pembentukan dibawah, dari mentah, dibentuk, diukir, ditambal atau tambah (karena masih lunak) dikeringkan lalu dibakar. Relief yang telah jadi dimasukan kedalam rongga-rongga yang telah disiapkan. Apakah pembangunan candi memakai cara seperti bahan batu andesit, dibangun, lalu diukir diatas, kemungkinan seperti itu dapat dilakukan, tetapi bata merah jauh lebih rapuh dibandingkan batu andesit. Batu atau bata yang ditatah pada sebagian kecil dapat memecahkan pada sisi sebelah lainnya. Kalau sudah demikian, candi tidak mendapatkan relief yang utuh tetapi banyak yang rusak dan tidak bisa ditambal lagi. Relief dibuat dibawah lebih leluasa, dan dapat ditukar atau diganti, bila tidak sesuai/buruk.

Batu andesit dan bata menyusunnya jauh berbeda. Batu andesit dibentuk menjadi balok-balok batu, sedangkan bata merah dibentuk selebar bata-khas Majapahit 5-6 cm x 25 cm ; 40 cm.

(8)

Penyatuannya menurut beberapa literatur seperti sekarang masih dilakukan di pulau Bali, teknik Kosod, Tribinuka, (2015). Bata dengan bata digosok-gosokan dicampur sedikit air dan debu hasil kosod an.

Alam itu bernafas, sesungguhnya ia hidup (ada angin, hujan, panas, muncul tumbuhan dari dalam tanah, lumut pada bebatuan) juga kering, layu dan gersang. Apabila disebabkan alam akan kembali lagi dalam siklus hidupnya.

Candi dari batu andesit, bata merah atau gereja (Puh Sarang Kadiri) adalah benda mati, diberi nilai-nilai oleh manusia, di proses, dibuat perlambangan atau simbol-simbol. Bata merah menyimbolkan keadaan manusia yang terdiri dari unsur api, air, tanah dan angin, sehingga candi bata merah sebagai perlambang; manusia melakukan pemujaan kearah gunung-gunung (nenek moyang atau para leluhur). Candi batu andesit atau bata merah yang dibuat manusia sesungguhnya sesuatu yang tangible, tetapi pemberian nilai atau simbol-simbol inilah sesuatu yang intangible, tidak teraba hanya dapat dirasakan.

Alam itu hidup, sementara bangunan akan terpengaruh oleh alam, bisa rusak, ditumbuhi tanaman, atau terkena bencana. Mau tidak mau bangunan harus ada yang menjaga, memelihara, merenovasi-mengganti yang rusak atau aus, supaya tetap tahan. Bangunan yang mengesankan keabadian tergantung ‘keabadian’ perawatannya; orang-orang yang masih memakai atau mempergunakan bangunan itu sejalan dengan keabadian pelestariannya. Adapun upaya-upaya renovasi atau konservasi sebetulnya adalah memperpanjang usia atau memperpanjang keabadian bangunan tersebut. Upaya, perencanaan, cita-cita, sebuah keinginan, adalah (Intangible) sesungguhnya sebuah keabadian.

Kesimpulan

Candi batu andesit dan bata merah, beralihnya menurut arkeolog Trowulan karena perobahan konsep; dari batu yang tahan cuaca ke bata merah yang mudah aus, tetapi bata memiliki filosofi empat simbol unsur manusia; air, api, tanah dan angin.

Bangunan apapun bentuk desainnya, dibuat sedemikian rupa agar kokoh, kuat dan tahan lama, tetapi menghadapi iklim; panas dan hujan, dan ada kelembaban. Selain itu ancaman adanya bencana alam; gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi atau mungkin banjir, serta tangan-tangan manusia yang merusak.

(9)

kelelawar akan menumbuhkan dimana terjatuhnya.

Kalau demikian semua itu dapat disebut alam, yang hidup dan memiliki kehendaknya sendiri. Keabadian tidak terjadi sebab ada yang hidup dan terus hidup, sementara bangunan candi ataupun gereja dari bahan apapun sesungguhnya benda mati akan menghadapi kemauan-kemauan alam. Bagaimana untuk menghindarnya, manusia berupaya memanfaatkan, memakai bangunan tersebut, kemudian melakukan renovasi atau konservasi.

Adanya konservasi yang kesinambungan sesungguhnya menghidupkan upaya-upaya pelestarian atau keabadian bangunan itu.

Candi batu andesit, bata merah ataupun gereja, yang dibuat memakai sentuhan teknologi atau tektonika sehingga bangunan menjadi menarik dan indah. Namun bangunan sesungguhnya benda mati tangible (mampu teraba, nyata)

Sedangkan upaya, cita-cita, supaya bangunan tahan lama adalah intangible, sesuatu yang tidak nyata tetapi berperan menjadikan bangunan abadi selamanya.

Daftar Pustaka

Astuti, A. (1997). Pengetahuan Keramik. Gajah Mada University Pers: Yogyakarta. Hartoko, D. (1984). Manusia dan Seni. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

Haryono. (2012). Gitanjali. ITS Press: Surabaya.

Mangunwijaya. (1988). Wastu Citra. Penerbit Gramedia: Jakarta.

Miksic, J. (2002). Indonesian Heritage, Sejarah Awal, Penerbit Buku Antar Bangsa vol 1, Jakarta.

Munandar. (1993). Kesenian Pada Masa Majapahit, Tinjuan Ringkas, Bidang Kesenian Rupa, Dan Seni Sastra, Makalah Simposium Peringatan 100 tahun Majapahit, Mojokerto Jawa Timur.

Santosa, R.B. (2017).TRUSMI. Berarsitektur yang Tak Abadi. MataBangsa: Yogyakarta. Prijotomo, J. (2008). Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Wastu Lanas Grafika: Surabaya.

Rahadian, P.H (dodo). (1999). Menelusuri Jejak Arsitektur Candi Peninggalan Singosari-Majapahit Melalui Naskah Negarakretagama. Prosiding Simposium Nasional: Surabaya 9-9-99. Arsitektur ITS.

Roesmanto. (1999). Rinupa Rupa-Arupa Arsitektur Nusantara, In Ngawangun Ki Nusantara, Penerbit Unpar: Bandung.

Sopandi, S. (2013). Sejarah Arstektur, Sebuah Pengantar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soekmono. (1977). Candi, Fungsi Dan Pengertiannya, Desertasi Ph.D, Universitas Inodnesia, Jakarta.

Soebroto. (2011). Kajian Estetika Yang Beda Relief Candi Jawa Timur, Tesis Jurusan Arsitektur, FTSP ITS Surabaya.

Sumalyo,Y. (1995). Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia, Gajah Mada University Pers: Yogyakarta. Snyder, James S. (1991). Pengantar Arsitektur. Penerbit Erlangga: Jakarta.

Tjahjono, G. (2002). Indonesian Heritage, Arsitektur, Penerbit Buku Antar Bangsa vol 6: Jakarta. Tribinuka, T. (2015). Konstruksi Bata Merah. Makalah dalam Seminar Nasional di Bali

(10)

Lampiran

Gambar 1,2.Tektonika sambungan batu andesit- candi Borobudur

Gambar 3,4. Candi bata merah; Ringin Lawang dan Tikus- Trowulan

Referensi

Dokumen terkait

Bagi kota tropis seperti di Indonesia tumbuhan atau pohon yang ditanam pada taman dan jalur hijau berfungsi paling tidak untuk mengurangi pencemaran dan pemanasan udara

Analisa bakar dari conto singkapan menghasilkan hidrokarbon rata-rata 40 liter per ton batuan bitumen padat dengan tingkat kematangan rendah yang ditunjukan oleh nilai

Tetapi, Tri Sumaryani tidak hanya menolak permintaan itu, dia bahkan mengadukan masalah ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. 3) Kedatangan Sri Kuncoro dan kawan-kawan

(3) Perangkat Desa Lainnya yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak

Pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan pendapatan nasional suatu negara dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan seberapa besar tingkat produktivitas dari para

pertumbuhan dan perkembangan anak usia bawah lima tahun (balita). Hasil tersebut didukung dengan hasil analisis statistik yang dilakukan dengan menggunakan Regresi

Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh defoliasi sorgum pada pola tanam tumpangsari dengan kacang hijau terhadap komponen hasil kacang

Jumlah dekstran yang terdegradasi merupakan selisih antara kadar gula pereduksi yang terbentuk pada sampel nira yang ditambahkan dekstranase dengan kadar gula pereduksi pada dosis