1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Foot and ankle dibentuk oleh 3 persendian yaitu articulation talocruralis, articulation subtalaris dan articulation tibiofibularis distal. Foot and ankle merupakan struktur sendi yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak tulang, ligamen, otot dan tendon yang berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh. Otot dan ligamen merupakan stabilisator sendi, termasuk dalam sensorimotor (Kisner dan Colby, 2012). Pada komponen sendi foot and ankle ini akan terjadi pergerakan plantar fleksi, dorso fleksi, inversi dan eversi. Fungsi ankle sebagai penyangga berat badan memungkinkan terjadinya cedera pada ankle.
Cedera sprain ankle dapat terjadi karena overstretch pada ligamen complex lateral ankle dengan posisi inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba terjadi saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah, di mana umumnya terjadi pada permukaan lantai/ tanah yang tidak rata. Ligamen pada lateral ankle antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talofibular posterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi. Ligamen calcaneocuboideum yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talocalcaneus yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen calcaneofibular yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi (Chan, 2011).
Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya cedera sprain ankle yaitu kelemahan otot terutama otot-otot disekitar sendi foot and ankle. Kelemahan
atau longgarnya ligamen-ligamen pada sendi foot and ankle, balance ability yang buruk, permukaan lapangan olah raga yang tidak rata, sepatu atau alas kaki yang tidak tepat dan aktivitas sehari-hari seperti bekerja, berolahraga, berjalan dan lain-lain (Farquhar, 2013).
Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance System (NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa sprain ankle di pengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan keterlibatan dalam olah raga. Laki-laki berusia antar 15-24 tahun memiliki tingkat lebih tinggi terkana sprain ankle, dan perempuan usia 30 tahun memiliki tingkat lebih tinggi terkena sprain ankle. Setengah dari semua keseleo pergelangan kaki (58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%), football (9,3%), dan soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase tertinggi sprain ankle adalah selama berolahraga. (Martin et al., 2013). Menurut Junaidi (2013), melaporkan kejadian cedera ankle di Poliklinik KONI Provinsi DKI Jakarta pada bulan September-Oktober 2012 populasi dalam penelitian ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI sebanyak 419 kasus yang merupakan 41,1% dari total kasus cidera yang terjadi.
Cedera sprain ankle memiliki 4 fase: fase initial akut berlangsung 3 hari setelah cedera, respons inflamasi (fase akut) berlangsung 1-6 hari, fibroblastic repair (fase sub akut) berlangsung hari ke 4-10 setelah cedera, fase kronis (maturation remodeling) berlangsung lebih dari 7 hari setelah cedera (Chan keith et al., 2011).
Sprain ankle kronis adalah cedera pada ligamen kompleks lateral yang berlangsung lebih dari 7 hari. Cedera dengan keluhan nyeri, inflamasi kronis dan
ketidakstabilan dalam melakukan aktivitas yang disebabkan terjadinya kelemahan ligamen dan penurunan fungsi termasuk defisit sensorimotor yang dapat menimbulkan terjadinya kelemahan otot sehingga tonus postural dan kekuatan otot menurun dan menurunnya propioceptive, fleksibilitas menurun, stabilitas dan keseimbangan menurun (Catalayud et al., 2014).
Sprain ankle kronis yang berlangsung lama dan tidak ditangani dengan tepat atau tidak melakukan perbaikan maka akan menyebabkan disability. Foot and ankle disability ditandai dengan ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan dan aktivitas fungsional. Adanya kondisi-kondisi dari sprain ankle kronis sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari sehingga menyebabkan foot and ankle disability. Jika hal ini tidak di intervensi dengan baik maka akan terjadi peningkatan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis. Kemampuan aktivitas fungsional foot and ankle yang terganggu meliputi aktivitas berdiri, berjalan dengan normal, pekerjaan yang ringan sampai yang berat, respon dengan pekerjaan rumah, jongkok, aktivitas naik dan turun tangga, dan perawatan/pemeliharaan pribadi, kegiatan hidup sehari-hari, rekreasi dan olah raga. Aktivitas tersebut dapat terganggu dan fungsinya menurun hal itu dinamakan disability (Barr dan Harrast, 2005).
Menurut World Conferedation for Physical Therapy (WCPT) yang dimaksud dengan disability yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas yang
berhubungan dengan kesenangan (hobi). Foot and ankle disability dapat diketahui dengan pengukuran prosedur tetap pemeriksaan fisioterapi pada ankle and foot, dan untuk mengukur intensitas disabilitas dengan FADI (Foot/Ankle Disability index). FADI merupakan kuesioner yang berisi aktivitas pasien yang terdiri dari 26 item yang terdiri dari 4 intensitas nyeri dan 24 aktivitas sehari – hari (Martin, 2013).
Pendekatan fungsional yang dibutuhkan individu dalam aktivitas keseharian, maka diperlukan pendekatan secara komprehensif. Pendekatan fisioterapi di dalam mengatasi sprain ankle kronis diperlukan penanganan yang sejalur dengan kriteria dalam ICF (International Classification of Functioning, Disability and Health) yaitu impairment-based category of ankle stability dan komplemen ICD (International Classification of Disease and Related Problem), yaitu category of sprain of ankle (Barr dan Harrast, 2005). Hal ini seperti tercantum dalam surat Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia no 80 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pekerjaan dan pratek fisioterapi pasal 1 ayat 2 yaitu:
“Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik elektroterapeutik dan mekanik), pelatihan fungsi dan komunikasi. Pengertian di atas, jelas bahwa fisioterapi sangat peduli pada kesehatan manusia, baik secara individu maupun kelompok untuk memaksimalkan potensi gerak yang berhubungan dengan mengembangkan, mencegah, mengobati, dan mengembalikan gerak dan fungsi tubuh seseorang dengan menggunakan
modalitas fisioterapi. Di dalam menanggulangi gangguan fungsi pada sprain ankle kronis di perlukan pendekatan fungsional yang komprehensif melalui pelayanan fisioterapi (Miller, 2011).
Intervensi yang dapat diterapkan pada penanganan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis yaitu dengan terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dapat di gunakan untuk memulihkan otot, ligament, tendon, tulang dan saraf, dengan tujuan untuk meningkatkan ROM, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kemampuan proprioceptive, memulihkan keseimbangan dan control postural, menurunkan foot and ankle disability dan aktivitas sehari-hari akan kembali normal (Kisner dan Colby, 2012).
Pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board merupakan pemberian pelatihan menggunakan papan keseimbangan (wobble board). Pelatihan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board (Wees, 2006). Kelebihan pelatihan proprioceptive dengan wobble board yaitu melatih otot-otot ekstremitas bawah mulai dari panggul sampai foot and ankle secara bersamaan dalam meningkatkan kekuatan otot foot and ankle, proprioceptive, stabilitas, keseimbangan sehingga foot and ankle disability menurun dan aktivitas sehari-hari menjadi normal (Kisner dan Colby, 2012).
Prinsip dari latihan ini untuk meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut
intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang baik (Miller, 2011).
Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot penggerak foot and ankle, sehingga mampu pempertahankan posisi anatomi, tonus otot meningkat, refleks regang meningkat yang dapat mencegah terjadinya cedera ulang, serta memperbaiki stabilitas kaki (Driscoll dan Delahunt, 2011).
Pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam bentuk latihan isotonik dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan kerusakan ligament lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktivasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal, sehingga terbentuk stabilitas yang baik pada ankle, dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis (Driscoll dan Delahunt, 2011).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Apakah pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis? 2. Apakah pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic
resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis?
3. Apakah pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board berbeda dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: 1. Tujuan umum
Untuk membuktikan pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board berbeda dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistanc dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
2. Tujuan khusus
a. Untuk membuktikan pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
b. Untuk membuktikan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah: 1. Manfaat Ilmiah
Melalui ilmiah, penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademi bagi pengembangan Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) tentang konsep penanganan kondisi foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis dengan penanganannya memberikan pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan bagi fisioterapis di rumah sakit atau lahan praktek didalam memberikan pelayanan fisioterapi khususnya pada pasien-pasien sprain ankle kronis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Foot and ankle Disability pada Sprain Ankle Kronis
Sprain ankle kronis merupakan penguluran dan kerobekan (overstrech) trauma pada ligamen kompleks lateral, oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/tanah, dimana umumnya terjadi pada permukaan lantai/tanah yang tidak rata. Ligamen-ligamen yang terkena adalah ligamen talofibular anterior, ligamen talofibular posterior, ligamen calcaneocuboideum, ligamen talocalcaneus, dan ligamen calcaneofibular (Kisner dan Colby, 2012) .
Menurut World Conferedation for Physical Therapy (WCPT) yang dimaksud dengan disability yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas yang berhubungan dengan kesenangan (hobi).
Foot and ankle disability yang disebabkan oleh sprain ankle yaitu segala keterbatasan atau ketiadakmampuan sebagai akibat dari kerusakan struktur jaringan lunak untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dalam batas-batas yang dianggap “normal” bagi manusia.
Sprain ankle kronis akan menimbulkan nyeri, nyeri akibat inflamasi akan meningkat karena kelemahan ligamen sebagai stabilitas pasif (ligamen laxity) dan ketidakseimbangan otot (muscle imbalance) sebagai stabilitas aktif pada ankle
and foot, sehingga kemampuan untuk menyangga tubuh menurun, hal ini akan menyebabkan ketidakmampuan aktivitas fungsional sehari-hari seperti berdiri, berjalan, aktivitas naik turun tangga, bekerja, melakukan pekerjaan rumah dan halaman, rekreasi dan berolahraga, mengemudi mobil dan motor dan lain-lain. Ketidakmampuan aktivitas tersebut yang didefenisikan sebagai foot and ankle disability (Hale dan Hartel, 2005).
2.1.1 Pemeriksaan Foot and Ankle Disability pada Kasus Sprain Ankle Kronis.
Keterbatasan aktivitas fungsional atau foot and ankle disability pada pasien-pasien sprain ankle kronis, sesuai dengan pengukuran yang di cantumkan oleh FADI (Foot/Ankle Disability index). FADI (Foot/Ankle Disability index) bertujuan untuk mengukur intensitas disabilitas pada ankle and foot melalui kuesioner yang berisi aktivitas pasien dengan 26 item pernyataan, terdiri dari: 4 Intensitas nyeri, 22 item aktivitas sehari-hari (Martin et al., 2010).
FADI merupakan laporan khusus untuk mengukur disability yang berkaitan dengan kondisi tertentu dan bagian tubuh tertentu dengan langkah – langkah khusus. FADI pertama kali dijelaskan oleh Martin et al., (1999), digunakan menilai aktivitas sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hale dan Hartel (2005) didapatkan hasil rerata µ1 = 87,1, Standar deviasi σ = 12,1 rerata µ2 = 104,52.
Pasien diminta untuk memilih salah satu pernyataan dengan menandai N/A, pada kotak yang di sediakan. Setiap item dalam skala 0 – 4 dan hasil 0 ( mampu melakukan) sampai 4 (tidak mampu melakukan sama sekali) / 4 item rasa
sakit dari FADI yang mencetak 0 (tidak ada nyeri) sampai 4 (nyeri tak tertahankan). Para peneliti yang merancang skala ini, melaporkan bahwa pengukuran ini lebih akurat dan valid pada pasien dengan kondisi muskuloskeletal ekstremitas bawah (Hale dan Hartel, 2005).
2.2 Anatomi
2.2.1 Struktur Tulang Ankle and foot
Ankle and foot merupakan anggota ekstremitas bawah yang berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh. Di mana terdiri dari 28 tulang dan paling sedikit 29 sendi, yang mana memiliki fungsi utama sebagai membentuk dasar penyangga, sebagai peredam kejut, dan sebagai penyesuaian mobilitas. Ankle dibentuk oleh ujung distal os. Tibia dan os. Fibula (yang kompleks terdiri dari 3 artikulasi: sendi talocrural, sendi subtalar, dan tibiofibular) yang bersendi langsung dengan: Os. Talus paling atas, Os. Calcaneus paling belakang, Os. Navicularis bagian medial, Os. Cuboideus bagian lateral, Ossa. Cuneiforme bagian medial, middel, lateral, Ossa. Metatarsalia 5 buah, dan Ossa. Phalangeal 14 buah (Bonnel et al.,2010). Pada ankle terdiri atas pengelompokan, diantaranya :
a. Fore foot, terdiri dari: Ossa metatarsalia dan Ossa phalangea, pada anterior segmen.
b. Mid foot, terdiri dari : Os. Navicularis, Os Cuboid dan Ossa Cuneiforme, pada middle segmen.
c. Rear foot, terdiri dari: Os, Talus dan Os Calcaneus (Subtalar joint/Talo calcanel joint), posterior segmen.
Gambar 2.1 Ankle and foot joint sebagai stabilisasi pasif Sumber: Atlas anatomi (Atner, 2002)
2.2.2 Persendian kaki 1. Distal Tibio Fibular Joint
Distal tibio fibular joint merupakan syndesmosis joint dengan satu kebebasan gerak kecil. Diperkuat anterior dan posterior tibiofibular ligament dan interroseum membran. Arthokinematik dan osteokinematik adalah gerak geser dalam bidang sagital sangat kecil dan gerak angulasi dalam bidang frontal sebagai membuka dan menutup garpu (Kisner dan Colby, 2012). 2. Ankle Joint (Talo Crural Joint)/Rear Foot
Talocrural, atau tibiotalar, secara fungsional talocrural joint dapat dianggap sebagai synovial hinge joint, dibentuk oleh cruris (tibia dan fibula) dan os. Talus, maleolus medial, dan maleolus lateral. Gerakan-gerakan yang terjadi fleksi dorsal dan fleksi plantar. Arthrokinematik dan osteokinematiknya adalah gerakan dari posisi netral terdiri dari gerakan bidang sagital 28°- 30°
plantar fleksi atau (ROM: 40–500 ) loose –packed position, dorsal fleksi (ROM: 20–300) , close-packed position. Traksi terhadap talus selalu kearah distal. Translasi untuk gerak dorsal fleksi kearah posterior dan gerak plantar fleksi kearah anterior. 1° gerakan melintang (internal rotasi) 9° dan gerakan (rotasi eksternal), dan 4° gerakan bidang frontal (inversi) dan 2° gerak eversi (Kisner dan Colby, 2012)
3. Subtalar Joint (Talo Calcaneal Joint)/Rear Foot
Subtalar joint merupakan jenis sendi plan joint, dibentuk oleh os. Talus dan Calcaneus. Arthrokinematik dan osteokinematik adalah gerakan yang terjadi berupa adduksi (valgus) dan abduksi (varus), yang ROM keduanya adalah hard end feel. Semakin besar posisi kaki dalam fleksi plantar, semakin besar kemiringan varusnya. Diperkuat oleh talocalcaneal ligamen.
Biomekanik sendi subtalar sangat penting dalam stabilitas pergelangan kaki, terutama gerakan inversi dan eversi dalam upaya untuk menjaga kaki stabil di bawah pusat gravitasi (Kisner dan Colby, 2012) .
4. Midtarsal joint (Mid foot) / Inter Tarsal Joint
Midtarsal joint (Mid foot) / Inter Tarsal Joint terdiri dari:
a. Talo calcaneo navicular joint, memiliki cekungan permukaan sendi yang kompleks, termasuk jenis sendi plan joint. Diperkuat oleh plantar calcaneonavicular ligamen.
b. Calcaneo cuboid joint, merupakan plan joint, bersama talonavicularis membentuk transverse tarsal (mid tarsal joint). Diperkuat ligamen spring,
dorsal talo navicular ligamen, bifurcatum ligamen, Calcaneo cuboid ligamen, Plantar calcaneocuboid ligamen.
c. Cuneo navicular joint, navikular bersendi dengan cuneiforme I, II, III , berbentuk konkaf. Cuneiforms bagian plantar berukuran lebih kecil, bersama cuboid membentuk transverse arc. Gerak utama; plantar – dorsal fleksi. Saat plantar fleksi terjadi gerak luncur cuneiform ke plantar.
d. Cuboideocuneonavicular joint, sendi utamanya adalah cuneiform II-cuboid berupa plan joint. Gerak terpenting adalah inversi dan eversi. Saat inversi cuboid translasi ke plantar medial terhadap cuneiform III.
e. Intercuneiforms joint, dengan navicular membentuk transverse arc saat inversi-eversi terjadi pengurangan-penambahan arc. Arthrokinematiknya berupa gerak translasi antar os. tarsal Joint.
f. Cuneiforms I-II-III bersendi dengan metatarsal I-II-III, cuboid bersendi dengan metatarsal IV-V, Metatarsal II ke proximal sehingga bersendi juga dengan Cuneiforms I-III, sehingga sendi ini paling stabil dan gerakannya sangat kecil. Arthrokinematiknya berupa traksi gerak Metatrsal ke distal (Barr, 2005).
5. Metatarso phalangeal dan Inter phalangeal Joint (Fore Foot. a. Metatarso phalangeal Joint.
Distal metatarsal berbentuk konveks membentuk sendi ovoid-hinge dengan gerak: fleksi-ekstensi dan abduksi-adduksi. Maximally lose pack position (MLPP) = Ekstensi 110, close pack position (CPP ) = full ekstensi. Gerak translasi searah gerak angular, traksi selalu kearah distal searah
sumbu longitudinal phalang. Kaki bagian depan berfungsi untuk mobilitas, terutama untuk proses meletakkan kaki saat berjalan. Pada saat berjalan kemungkinan terjadi gerak fleksi dan ekstensi, seperti halnya pada persendian jari kaki (interphalangeal) yang lain.
b. Proximal dan Distal Interphalangeal Joint
Caput proximal phalang berbentuk konveks dan basis distal phalang berbentuk konkav membentuk sendi hinge. Gerakannya adalah fleksi-ekstensi. Maximally lose pack position (MLPP) = Fleksi 100, close pack position (CPP) = full ekstensi Gerak translasi searah gerak angular, traksi selalu ke arah distal searah axis sumbu longitudinal phalang.
Gambar 2.2 Persendian kaki kaki Atlas Anatomi Manusia (Sobotta, 2010)
2.2.3 Arcus kaki
Ada dua arcus, Longitudinal Arc dan Transverse Arc:
1. Longitudinal Arc: merupakan kontinum dari calcaneus dan caput metatarsal.
2. Transverse Arc: bagian proxikmal dibatasi os. Cuboideum, lateral cuneiforme, mid cuneiforme dan medial cuneiforme lebih cekung dan pada bagian distal oleh caput metatarsalia yang lebih datar (Bonnel et al., 2010).
2.2.4 Fascia
Ankle and foot terdapat fascia superficialis dorsum pedis yang terletak di bagian distal retinaculum musculorum extensoren inferius. Fascia ini membentuk fascia cruris dan terbentang ke distal masuk ke dalam aponeurosis extensoris jari-jari. Pada bagian proksimal melekat pada retinaculum musculorum extensor superior dan membentuk penyilangan dengan retinaculum musculorum extensorum inferius hanya dapat dilihat pada diseksi perlahan-lahan dan bagian lateralnya crus proksimal sering tidak ada. Disebelah dalam tendon-tendon musculus extensor digitorum longus yang merupakan lapisan jaringan penyambung fascia profunda dorsum pedis yang padat, kaku dan juga melekat pada batas-batas kaki (Kisner dan Colby, 2012).
2.2.5 Struktur Ligamen Ankle
Ligamen merupakan struktur yang elastis dan sebagai stabilisasi pasif pada ankle and foot joint. Ligamen yang sering mengalami cedera yaitu ligament kompleks lateral kaki antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi, ligamen talofibular posterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inverse, ligamen calcaneocuboideum yang berfunsgsi untuk menahan gerakan kearah plantar fleksi, ligamen talocalcaneus yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen calcaneofibular yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi membuat sendi kaki terkunci pada batas tertentu sehingga tebentuknya stabilitas pada kaki dan ligamen cervical. Selain itu juga terdapat ligamen cuneonavicular plantar, ligamen cuboideonavicular plantar, ligamen intercuneiform plantar, ligamen cuneocuboid plantar dan ligamen interrosea yaitu ligamen cuneocuboideum interossum dan ligamen intercuneiform interrosea. Pada ligamen antara tarsal dan metatarsal terdapat ligamen tarsometatarso dorsal, ligamen tarsometatarso plantar dan ligamen cuneometatarsal interrosea. Diantara ossa metatarsal terdapat ligamen metatarsal interrosea dorsal dan plantar yang terletak pada basis metatarsal (Chook dan Hegedus, 2013).
Gambar 2.3 Sruktur ligamen sebagai stabilisasi pasif. Sumber: Atlas anatomi (Sobotta, 2010)
2.2.6 Struktur Otot dan Tendon Ankle and foot
Otot berperan sebagai penggerak sendi, juga berfungsi sebagai komponen stabilisator aktif yang menjaga integritas sendi dan tulang saat pergerakan. Tendon adalah ujung otot yang melekat ada tulang. fungsinya untuk menghubungkan berbagai organ tubuh seperti otot dengan tulang-tulang, tulang dengan tulang, juga memberikan perlindungan terhadap organ tubuh (2006). M. soleus dan M. gastrocnemius, fungsinya untuk plantar fleksi pedis, otot ini di innevasi oleh N. tibialis L4-L5. fungsinya untuk supinasi (adduksi dan inverse) dan plantar fleksi pedis. M.tibialis anterior dan M.tibialis posterior, otot ini di innevasi
oleh N. peroneus (fibularis) profundus L4-L5, fungsinya untuk dorsal fleksi dan supinasi (adduksi dan inverse) pedis.
M. peroneus longus dan M. peroneus brevis, merupakan pronator yang paling kuat untuk mencegah terjadinya sprain ankle lateral, otot ini di innervasi oleh N. peroneus (fibularis) superficialis L5-S1. Fungsinya untuk pronasi (abduksi dan eversi) dan plantar fleksi pedis, tidak hanya pada ligamen, jaringan lain seperti tendon dapat mengalami cedera, tendon yang sering mengalami cedera pada ankle sprain adalah tendon peroneus longus dan brevis yang berfungsi terhadap gerakan eversi pada kaki (Farquhar, et al 2013).
Gambar 2.4 Struktur otot dan tendon ankle (atlas anatomi) Sumber: Sobotta (2010)
2.3 Patofisiologi Sprain ankle Kronis 2.3.1 Insidensi
Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance System (NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa setengah dari semua keseleo pergelangan kaki (58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%), football (9,3%), dan soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase tertinggi sprain ankle adalah selama berolahraga. (Martin, et al 2013).
Menurut data skunder yang di peroleh Poliklinik KONI Provinsi DKI Jakarta pada bulan September – Oktober 2012 dengan data sekunder, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI. Hasil Penelitian yang diperoleh adalah terdapat kasus cedera sebanyak 85 pada tahun 2009, sebanyak 146 pada tahun 2010, sebanyak 353 pada tahun 2011, dan sebanyak 419 kasus pada tahun 2012. Prevalensi cedera terus meningkat, cedera yang didapati kasus terbanyak adalah sprain ankle (cedera ligamen) sebanyak 41,1 %, bagian tubuh yang mengalami cedera kasus yang terbanyak adalah bagian ekstremitas bawah sebanyak 60% dan yang paling sedikit bagian kepala sebanyak 0,8%. Cedera akut sebanyak 64,4% dan cedera kronis 35,6%. Tempat penanganan kasus cedera , terbanyak dilakukan di KONI DKI Jakarta sebanyak 35,2% dan yang paling sedikit di tangani di Rumah Sakit yaitu sebanyak 8,5% , Setelah cedera sprain ankle maka akan meninggalkan gejala sisa atau cedera ulang antara 55 % sampai 72 %, berasal dari pasien pada 6 minggu sampai 18 bulan, hal ini terjadi karena pasien tidak mencari pengobatan yang professional (Junaidi, 2013).
2.3.2 Etiologi
Sprain ankle disebabkan trauma inversi yang dapat menimbulkan cedera ligament kompleks lateral, kadang di ikuti cedera tendon. Faktor – faktor yang mempermudah terjadinya sprain ankle kronis antara lain, faktor intrinsik dan ekstrinsik, faktor ekstrinsik termasuk dalam kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang salah dan menapak pada permukaan yang tidak rata, faktor intrinsik termasuk kerusakan jaringan penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otot-otot penggerak foot and ankle (muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile foot and ankle. Faktor risiko cedera sprain ankle kronis bisa di sebabkan abnormal foot posture yaitu : pes planus dinamis, pes cavus, flat foot ( Kisner dan Colby, 2012).
2.3.2.1 Tanda dan Gejala
Sprain ankle terjadinya inflamasi akut, sub akut dan kronis. Sprain ankle kronis setelah pasca cedera 4 sampai 7 hari atau lebih yang di tandai: Memar, bengkak disekitar persendian tulang yang terkena, nyeri bila digerakkan atau diberi beban, fungsi persendian terganggu, kelemahan ligamen atau ketidakstabilan fungsional, dan penurunan proprioseptive. Gejala-gejala menyebabkan ketidakmampuan (foot and ankle disability) yang di tandai terjadinya cedera ulang (Chan, 2011).
2.3.3 Proses Patologi
Sprain ankle terjadi adanya cedera berlebihan (overstreching dan hypermobility) atau trauma inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba, ketika sedang berolahraga, aktivitas fisik, saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah
yang tidak rata sehingga hal ini akan menyebabkan telapak kaki dalam posisi inversi, menyebabkan struktur ligamen yang akan teregang melampaui panjang fisiologis dan fungsional normal, terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamen kompleks lateral dan ligamen-ligamen yang terkena yaitu: Ligamen-ligamen yang terkena adalah Ligamen-ligamen talofibular anterior, Ligamen-ligamen talofibular posterior, ligamen calcaneocuboideum, ligamen talocalcaneus, dan ligamen calcaneofibular dan ligamen deltoid yang berfungi sebagai posisi eversi, hal tersebut akan mengakibatkan nyeri pada saat berkontraksi, adanya nyeri tersebut menyebabkan immobilisasi sehingga terjadi penurunan kekuatan otot dan kerterbatasan gerak (Calatayud, et al., 2014).
Kerusakan ligamen dapat menyebabkan instabilitas kaki sehingga mudah terjadinya sprain ulang, atau penyembuhan terhambat , gangguan stabilitas hingga ligamen laxity (pasif stability) dan penurunana fungsi neuromuscular (active stability). Trauma penyebab ligament ditandai melebihi elastisitasnya sehingga terjadi kerobekan mikrokopis hingga makrokopis, akibat kerobekan jaringan lunak yang di ikuti proses inflamasi (Fong, 2009). Pada sprain ankle kronis memiliki 3 derajat sesuai tingkat kerusakannya ( Young, 2005) yaitu:
1) Derajat I, ditandai dengan : ligametum teregang tetapi tidak mengalami kerobekan. Pergelangan kaki biasanya tidak terlalu membengkak, nyeri ringan dan sedikit bengkak namun dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera berulang.
Gambar : 2.5 Derajat I Sprain Ankle.
Tanda panah menunjukan ligament yang mengalami teregang. Sumber : www.adam.com (2014)
Derajat II, ditandai dengan: sebagian ligamen mengalami kerobekan, pembengkakan dan memar tampak dengan jelas, nyeri hebat (aktualitas tinggi), penurunan fungsi ankle (gangguan berjalan) dan biasanya berjalan menimbulkan nyeri.
Gambar : 2.6. Derajat II Sprain Ankle.
Tanda panah menunjukkan ligament mengalami kerobekan sebagian Sumber : www.adam.com (2014)
2) Derajat III, ditandai dengan: ligamen mengalami robekan total, sehingga terjadi pembengkakan dan kadang perdarahan di bawah kulit. Akibatnya pergelangan kaki menjadi tidak stabil dan tidak mampu menahan beban.
Gambar : 2.7 Derajat III Sprain Ankle.
Tanda panah menunjukkan ligament mengalami kerobekan Sumber : www.adam.com (2014)
2.3.4 Patologi Fungsional Disabilitas Ankle and Foot pada kasus Sprain
Ankle kronis
Sprain ankle kronis dapat di ikuti ketidakstabilan foot and ankle. Ketidakstabilan foot and ankle di sebabkan oleh 2 potensial yaitu ketidakstabilan mekanik dan ketidakstabilan fungsional, ketidakstabilan ini akan menyebabkan cedera/sprain berulang pada ankle, cedera/sprain berulang terjadi karena adanya ketidakmampuan atau adanya peningkatan foot and ankle disability ( Dale, 2010). 2.3.4.1 Ketidakstabilan Mekanik
Ketidakstabilan mekanik terjadi sebagai akibat dari perubahan anatomi setelah awal sprain ankle, yang menyebabkan ketidakstabilan. Ketidakstabilan mekanik dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah mekanisme satu atau lebih sendi yang kompleks pada ankle, termasuk: pathologic laxity (kelemahan patologis), gangguan arthrokinematik, radang sinovial dan impingement (Hartel, 2002).
1. Pathologic Laxity ( kelemahan patologis)
Kerusakan ligamen sering menyebabkan kelemahan patologis. Tingkat kelemahan patologis pada ankle, tergantung pada tingkat/derajat kerusakan ligamen pada ligamen lateral. Kelemahan patologis yang paling sering terjadi pada sprain ankle yaitu di talocrural dan subtalar joint (Hartel. 2002).
Ketidakstabilan Talocrural disebabkan oleh cedera pada anterio tallofibula ligament (ATFL), adanya tingkat perubahan/perpindahan (displacement) anterior talus dari tibiofibular yang dapat dilihat dengan pemeriksaan anterior drawer test. Cedera pada calcaneofibula ligament (CFL), juga menyebabkan kelemahan patologis dari subtalar, pada kedua ligament tersebut memudahkan terjadinya cedera ulang dan proses penyembuhan jaringan lunak menjadi terhambat (Hartel, 2002).
2. Arthrokinematic Impairments.
Ketidakstabilan mekanik arthrokinematik ankle terganggu di salah satu dari 3 sendi kompleks. Individu dengan sprain ankle kronis, terjadi perubahan anatomi fibula distal pada posisi anterior dan inferior. Kesalahan posisi fibula dapat mengakibatkan ketidakstabilan, yang menyebabkan sprain ankle berulang.
Hypomobility (berkurangnya gerak), termasuk sebagai penyebab ketidakstabialn mekanik. Arthrokinematik keterbatasan gerak dorso fleksi terjadi setelah sprain ankle akut. Jika sendi talocrural tidak dapat full ROM dorso flexi, sendi tidak akan mencapai closed-pack position selama gerak, oleh karena itu, akan lebih mudah bergerak inverse dan internal rotasi.
Keterbatasan dorso fleksi dalam closed kinetic chain biasanya diimbangi dengan peningkatan pronasi subtalar (Hartel, 2002).
3. Synovial Changes (radang sinovial dan impingement).
Ketidakstabilan mekanik foot and ankle dapat terjadi karena insufficiencies disebabkan oleh hipertrofi sinovial dan impingement. Inflamasi sinovial dan impingement terjadi di dalam talocrural joint dan posterior subtalar joint kapsul. Pasien dengan inflamasi sinovial sering mengeluh nyeri/sakit. Sprain ankle berulang, dapat disebabkan oleh impingement dan jaringan sinovial hipertrofi antara tulang masing-masing pada foot and ankle kompleks (Hartel. 2002).
2.3.4.2 Ketidakstabilan Fungsional
Ketidakstabilan fungsional dapat disebabkan oleh insufficiencies tertentu pada fungsi sensorimotor yang terdiri dari : proprioceptive, kontrol postural, kontrol neuromuskuar, gangguan refleks pada reaksi inversi, rangsangan alpha motor neuron, dan kekuatan otot.
Sprain ankle kronis kondisi terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamen kompleks lateral, sehingga terjadi kerusakan pada struktur penyangga stabilitas ankle. Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor. Pada kondisi ini maka akan terjadi ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut dengan foot and ankle disability (Bonel, et al. 2010).
Foot and ankle disability terjadi adanya penurunan stabilitas ankle (instability). Instability (penurunan stabilitas) terdiri atas dua kelompok yaitu
instability aktif dan instability pasif. Instability aktif adalah dimana struktur kontraktil yaitu tendon dan otot tidak mampu mempertahankan posisi MLPP. Instability pasif adalah terjadinya gangguan pada ‘inert structure’ yang terdiri dari tulang, capsul dan ligament dan accessories movement yang melebihi ROM normal. Instability dari suatu sendi dapat dipengaruhi oleh adanya kelemahan otot, kelemahan oleh ligamen yang berfungsi untuk stabilisasi sendi tersebut dan juga terjadinya sensorimotor deficit, sehingga keadaan ini menyebabkan foot and ankle disability dimana ankle seperti melayang (Dale, 2006).
Ketidakstabilan fungsional disebabkan adanya gangguan keseimbangan pada individu, mechanoreceptors artikular yang rusak mengakibatkan defisit proprioceptive dan gangguan kontrol neuromuskular (Bonnel, et al, 2010).
Gambar 2.8 Proprioception and Neuromuscular Control. CNS (central nervous system) (Hartel, 2002)
Gambar 2.8 menjelaskan adanya umpan balik antara sistem somatosensori, sistem saraf pusat, dan α- dan γ-motoneuron system. Ketidakstabilan fungsional dapat di sebabkan adanya deficit sensorimotor yang terdiri dari :
1. Gangguan Proprioceptive dan sensasi (Impaired Proprioception and Sensation ), gangguan ini terjadi karena adanya perubahan dalam aktivitas
otot-spindle melalui sistem α- dan γ-motoneuron system, pada otot peroneal dan aktivitas artikular mechanoreceptor pada foot and ankle.
2. Impaired cutaneous sensation (gangguan sensasi kulit) melambatnya saraf-konduksi sebagai indikator umum kelemahan saraf peroneal setelah sprain akle.
3. Impaired Neuromuscular-Firing Patterns (gangguan pola neuromuskuler-rekrutmen), adanya gangguan respon refleks otot peroneal pada gerak inversi atau gangguan supinasi, respon peroneal terganggu karena deficit proprioceptive, melambatnya kecepatan saraf-konduksi, atau gangguan sentral dalam strategi neuromuskuler-rekruitmen.
4. Impaired Postural Control (gangguan postural control), defisit kontrol postural dapat di lihat dengan single leg standing/ Romberg test berkisar antara 10 sampai 30 detik, berdiri dengan satu kaki di angkat pada anggota tubuh yang terlibat dan kemudian anggota tubuh tidak terlibat, pertama dengan mata terbuka dan kemudian dengan mata tertutup. Penilaian kontrol postural digunakan untuk membedakan antara pergelangan kaki fungsional stabil dan tidak stabil.
Defisit postural kontrol terjadi karena kombinasi dari gangguan proprioceptive dan kontrol neuromuskular. Pada saat berdiri dengan satu kaki maka ada perubahan dalam strategi postural kontrol, yang mana gerak pronasi dan supinasi ankle and foot joint berupaya menjaga keseimbangan dari gaya gravitasi. Jika ankle and foot kurang efesien melakukan strategi ini, karena
adanya perubahan dalam kontrol saraf pusat ( CNS) akibat disfungsi ankle and foot joint yang di sebabkan terjadinya sprain ankle kronis.
5. Strength Deficits (gangguan kekuatan otot), sprain ankle kronis menyebabkan kelemahan otot, hal ini terjadi akibat kerusakan otot atau atrofi, atau disebabkan oleh gangguan neuromuskuler, yang mana kekuatan gerak pada foot and ankle terganggu/menurun. Jika kekuatan foot and ankle terganggu maka akan menyebabkan aktivitas-aktivitas fungsional terganggu. Foot and ankle disability terjadi akibat dari pathologic ligament kompleks lateral, ketidakstabilan mekanik dan ketidakstbilan fungsional pada sprain ankle kronis (Hartel, 2002).
2.4 Pelatihan proprioceptive dengan Wobble Board
2.4.1 Defenisi Pelatihan propriceptive dengan Wobble Board
Papan keseimbangan atau lebih dikenal di dunia fisioterapi dan olahraga wobble board sebuah alat yang digunakan untuk melatih proprioceptive ekstremitas atas atau bawah (Kisner dan Colby, 2012). Wobble board exercise adalah sebuah papan keseimbangan yang digunakan untuk pengembalian keseimbangan, rehabilitasi, pencegahan cedera, dan terapi fisik baik secara statik maupun dinamik. Pelatihan ini merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip latihan ini ialah meningkatkan fungsi pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Miller, 2011).
Afferent proprioceptive melalui mechanoreceptor, dimana proprioseptif berasal dari kepadatan mechanoreceptors di jaringan seperti kapsul sendi, ligamen, tendon , dan muscles. Afferent proprioseptif memungkinkan kontrol neuromuskular tindakan dinamis memberikan kontribusi untuk stabilitas sendi secara keseluruhan. Sprain ankle kronis ditemukan ketidakstabilan dari sendi ankle dan terganggunya feedback proprioceptive. Agar ankle mempunyai kontrol yang baik, saraf dan otot harus berfungsi secara sinergis. Jika terjadi kekurangan disalah satunya maka akan timbul ketidakstabilan (Miller, 2011).
Proprioceptive adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi keberadaan anggota tubuh dan posisi persendian. Pada sprain ankle kronik terjadinya penurunan dari pada fungsi proprioceptive. Pelatihan dengan wobble board mengambalikan fungsi dari proprioceptive melalui serabut saraf afferen akan membawa respon ke sistem saraf pusat (SSP) yang berperan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh tetap dengan posisi stabil (Sherwood, 2009).
Empat jenis utama dari mechanoreceptors yang membantu dalam proprioception yaitu, termasuk reseptor Ruffini, reseptor Pacinian, Golgi-tendon-organ (GTO), dan muscle spindle. Ruffini dan Pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan pada umumnya terletak di kulit. Reseptor Ruffini dianggap sebagai reseptor statis dan dinamis berdasarkan ambang rendahnya, reseptor ini lambat-mengadaptasi karakteristik. Melalui perubahan impuls tekanan terjadi perubahan tarik statis dan dinamis pada kulit dan sangat
sensitif terhadap peregangan . Reseptor Pacinian, agak cepat beradaptasi, namun reseptor dengan ambang batas rendah yang dianggap reseptor lebih dinamis . Sementara juga sensor tekanan, reseptor Pacinian mendeteksi tekanan berat dan mengenali perubahan percepatan dan perlambatan gerak. Golgi tendon Organ dan muscle spindle mempunyai yang lebih besar untuk mengetahui posisi sendi selama gerak. Pertama GTOs berada di persimpangan musculotendinous dan bertanggung jawab untuk memantau kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban. Terhubung ke satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki ambang batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang meningkat (Sherwood, 2009)
Proprioseptive dibagi dalam empat tipe. Tipe pertama merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak sebagai Lowthreshold, yang secara perlahan mengadaptasikan respon mekanoreseptor untuk merubah tekanan mekanik. Reseptor-reseptor ini aktif dalam segala posisi sendi, bahkan ketika sendi tidak bergerak. Rangsangan dari reseptor berubah-ubah tergantung dari pergerakan sendi.
Tipe kedua merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak sebagai Lowthreshold, yang dengan cepat mengadaptasikan mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan menjadi aktif dengan periode yang singkat, hanya pada awal gerakan untuk memberikan signal pada aselerasi sendi.
Tipe ketiga merupakan suatu reseptor yang peka terhadap proprioceptive adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi rangsangan yang bertindak sebagai high-threshold, yang secara perlahan mengadaptasikan respon mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan hanya aktif ketika terjadi pergerakan yang ekstrim dari sendi (Sherwood, 2009).
Tipe empat adalah reseptor yang tidak aktif dalam keadaan normal, tetapi akan menjadi aktif ketika ketika diperlukan untuk menandai kelainan bentuk dan tegangan mekanik, atau sebagai respon dari beban mekanik langsung dan iritasi akibat bahan kimia. Dengan latihan menggunakan wobble board diharapakan dapat mengambalikan fungsi propioceptive yang telah mengalami kerusakan.
Pemeliharaan dan perbaikan neuromuskuler yang rusak diperlukan pelatihan keseimbangan dengan wobble board dan pelatihan ini merupakan salah satu program dalam strategi menurunkan foot and ankle disability dan pencegahan terjadinya sprain ankle berulang (Miller, 2011). Tujuan dari pelatihan propriocepitve dengan wobble board adalah :
1) Mengambalikan fungsi proprioceptive. 2) Meningkatkan stabilitas dan keseimbangan. 3) Mempertahankan kekuatan otot.
4) Memelihara sistem sirkulasi.
2.4.2 Penerapan/ teknik aplikasi pelatihan proprioceptive dengan wobble board.
Tehnik latihan dengan wobble board. Dalam latihan menggunakan wobble board terdapat beberapa cara, diantaranya adalah :
1. Side-to-side Edge Taps
Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang sakit cepat ditengah wobble board. Lalu setelah berdiri dengan stabil diatas wobble board dengan pelan-pelan gerakan wobble board kearah sisi kiri dan kanan (diawali dengan serong kiri, serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya). Latihan ini dilakukan selama satu menit.
Gambar 2.9: Side-to-side Edge Taps Sumber : Pribadi
Tanggal Pengambilan : 26 Januari 2015
2. Front-to-back Edge Taps
Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini wobble board digerakan kearah depan dan belakang wobble board menyentuh lantai. Latihan ini dilakukan selama satu menit.
Gambar 2.10 : Front-to-back Edge Taps Sumber : Pribadi
Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015 3. Edge Circles
Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang sakit di tengah-tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble board kelantai setelah itu lakukan gerakan memutar searah jarum jam dengan sisi wobble board tetap mnyentuh lantai. Lakukan gerakan ini secara perlahan-lahan dan tidak berhanti selama satu menit.
Gambar 2.11 : Edge Circles
Sumber : Pribadi
4. Counter-Clockwise Edge Circles
Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada latihan ini putarannya berlawanan dengan arah jarum jam.
Gambar 2.12 : Counter-Clockwise Edge Circles Sumber : Pribadi
Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
5. Latihan Berdiri Static
a. Berdiri diatas wobble board b. Menggunakan satu kaki
c. Tahan agar tetap statis selama 1 menit
Gambar 2.13 : Latihan Berdiri Static Sumber : Pribadi
Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
6. Latihan Partial Squat
a. Berdiri diatas papan keseimbangan b. Menggunakan satu kaki atau dua kaki c. Lakukan partial squat 30-45 derajat d. Tahan agar tetap statis selama 1 menit
Gambar 2.14 : Latihan Partial Squat Sumber : Pribadi
Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
Berikut adalah langkah yang digunakan untuk penerapan latihan wobble board di antaranya
1) Berikan penjelasan kepada pasien apa yang akan dilakukan dan tujuan menggunakan wobble board.
2) Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki posisi lutut semifleksi diatas wobble board dan diusahakan jangan sampai jatuh atau menggunakan dua kaki, selama 1 menit.
3) Kemudian terapis menggunakan alat stopwatch untuk mengukur lamanya pasien mempertahankan keseimbangannya.
4) Jika pasien jatuh atau menggunakan kedua kakinya, maka stopwatch diberhentikan dan waktunya dicatat oleh terapis sebagai evaluasi untuk setiap latihan.
5) Latihan ini dilakukan 3 set satu macam tehnik dan setiap set diselingi istirahat selama 30 detik dengan intensitas mudah, dan dilakukan tiga kali seminggu. 6) Dosis
1) Frekuensi : 3 x seminggu 2) Intensitas : 1 set, x 3 set 3) Time : 1 Menit
4) rest : 30 detik
2.4.3 Komponen Bahan Wobble Board
Wobble board adalah papan yang berbentuk lingkaran terbuat dari kayu yang berwarna coklat muda, dan magnet yang melekat yang ada dibawah wobble board. Wobble board merupakan salah satu alat yang di desain secara modern beralas kasar yang berwarna hitam yang melekat pada bagian atasnya.
Gambar 2.15 wobble bord
Sumber : www.sporstinjuryclinic.net
2.4.4 Mekanisme pelatihan propriaceptive dengan wobble board terhadap foot and ankle disability
Pemberian pelatihan proprioceptive dengan wobble board secara intensif akan meningkatkan tingkat keseimbangan dan kestabilan kaki karena berefek
langsung pada sistem musculoskeletal dan neuromuskuler. Pelatihan proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan pada permukaan yang tidak stabil yang dapat merangsang mechanoresptor sehingga mengaktifkan joint sense atau dikenal dengan istilah rasa pada sendi. Joint sense ini sangat berpengaruh terhadap jaringan disekitar kaki yaitu serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) sebab rangsangan yang diterima oleh neuromuscular junction akan mengaktivasi serabut myofibril memerintahkan otot untuk berkontraksi sesuai kebutuhan, disamping itu joint sense akan membagi tekanan sama rata keseluruh area sehingga menginhibisi serabut ekstrafusal untuk mengendalikan tonus otot (Sherwood, 2009).
Pelatihan proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip dari latihan ini ialah meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang baik. Rasio dibalik
permukaan yang tidak stabil mengungkapkan bahwa stimulasi yang tidak konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang diterima oleh otot dan sendi berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan informasi sensoris dan lebih efisien diproses di sistem saraf pusat (Sherwood, 2009).
Efek pelatihan proprioceptive dengan wobble board akan didapat, selama latihan rutin yaitu timbulnya adaptive system merupakan kemampuan tubuh menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga perubahan area secara cepat dapat diantisipasi oleh oleh otot yang bekerja secara sinergis akibat dari telah menerimanya cukup informasi proprioceptive selama latihan di permukaan yang tidak stabil.
Adaptive system dapat terbentuk dengan baik jika latihan dilakukan secara berulang-ulang untuk meningkatkan koordinasi antara sistem muskuloskeletal dengan reseptor agar dapat menerima impuls dari lingkungan semakin baik. Hal ini dilakukan oleh karena pengulangan yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan otak untuk merekam perubahan – perubahan yang ada sehingga tercipta respon sensorimotor yang lebih efisien untuk dikirim ke effektor. Jika kekuatan dan fleksibilitas otot, sendi dan ligamen baik maka dapat dihasilkan respon motorik yang tepat dan benar. Adanya input sensoris (proprioceptive) yang cukup dan diproses di sistem saraf pusat secara tepat membuat sistem adaptive muskuloskelatal yang baik pada akhirnya memberikan peningkatan stabilitas kaki yang dapat menurunkan foot and ankle disability (Miller, 2011).
2.5 Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karete elastic resistance
Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance yang bertujuan untuk mempertahankan massa otot, merehabilitasi dan memulihkan otot dan fungsi tubuh, meningkatkan kekuatan dinamik, meningkatkan stabilitas, endurance dan power otot dengan menggunakan tahanan yang berasal dari external force (Wess 2006).
Karet elastic resistance merupakan karet berwarna dengan merek thera-band salah satu produk terkemuka di dunia. Secara progresif produk thera-thera-band memiliki ketahanan elastisitas dan fleksibilitas yang cukup tinggi untuk rehabilitasi secara professional pada pelatihan para atlit. Hal ini dikarenakan karet elastic resistance dapat di gunakan secara mandiri. Untuk latihan harus di sesuaikan dengan warna karet yang berdasarkan berat karet dan kekuatan otot.
Karet elastic resistance dengan merek thera-band diproduksi dan dikembangkan oleh the hygienic corporation pada tahun 1978 dan sejak memperoleh reputasi internasional dengan terapis, serta pelatih olah raga untuk kualitas dan efektivitas latihan yang di dukung oleh American Physical Therapy Association (APTA). Karet elastic resistance dengan merek thera-band tersedia melalui jaringan internasional, rehabilitasi, latihan dan distributor produk olah raga, dokter dan melalui outlet ritel online. Dalam latihan penguatan otot ada berbagai macam jenis karet elastic resistance diantaranya :
Gambar 2.16: System of Progressive Resistancee Sumber : http://www.isokineticsinc.com/product
Intensitas yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan repetisi maksimal (RM), yaitu beban maksimal yang dapat dilakukan/diangkat selama satu kali gerakan atau kontraksi. Repetisi untuk meningkatkan kekuatan otot repetisi yang harus diberikan adalah 60% sampai 100% dari 1 RM.
Latihan isotonik adalah suatu bentuk latihan dimana adanya kontraksi otot dengan beban konstant dari awal sampai akhir gerakan. Latihan isotonik bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dinamik, endurance otot dan power sehingga dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan menyebabkan meningkatakan aliran darah, mencegah peradangan, dan peningkatan kelenturan jaringan yang dapat menurunkan nyeri (Sherwood, 2009).
2.5.1 Prosedur penerapan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance pada sprain ankle kronis.
1. Teknik Aplikasi
a. Sebelum dilakukan latihan pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang cara melakukan latihan strengthening dengan karet elastic resistance.
b. Selanjutnya posisikan pasien dalam posisi duduk rileks di bed dengan posisi tungkai lurus.
c. Kemudian terapis berdiri di samping pasien. Lalu terapis mengintruksikan pada pasien untuk melawan tahanan karet elastic resisteanc kearah atas-bawah (dorsal fleksi-plantar fleksi), medial-lateral (inverse-eversi) yang diikuti dengan rilaksasi.
2. Dosis
a. Frekuensi : 3x seminggu b. Intensitas : 3 set latihan c. Time : 30 menit d. Repetisi : 10 kali
e. Rest : 30 detik 1set latihan
3. Tehnik Latihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.
a. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic resistantce ke plantar fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah dorsal fleksi.
Gambar 2.17 : Dorsal Fleksi vs Karet Elastic Resistancee (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi)
Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
b. Gerakan ankle ke plantar fleksi dan tahanan karet elastic resistantce ke dorsal fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistantce pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah plantar fleksi.
Gambar 2.18 : plantar fleksi vs. karet elastic Resistancee (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi)
c. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistance eversi , posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah inverse.
Gambar 2.19 : Ankle Iversion vs. karet elastic Resistancee (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi)
Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
d. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance inverse, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistantce pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah eversi.
Gambar 2.20 : Ankle Eversion vs. Resistance Band (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi), Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
2.5.2 Mekanisme pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance terhadap foot and ankle disability.
Penerapan latihan penguatan otot dapat membantu melindungi serta memperbaiki problem yang muncul akibat sprain ankle kronis yang mengakibatkan foot and ankle disability. Instabilitas akan bertambah dengan munculnya kelemahan otot. Otot-otot penggerak kaki dan pergelangan kaki (foot and ankle) merupakan komponen yang penting dalam membantu menstabilisir persendian, sedang kelemahan otot dapat mengakibatkan semakin parahnya cedera (Kisner dan Colby, 2012).
Pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance, dalam bentuk isotonic dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan kerusakan ligament lateral kompleks. Terjadinya ketidakmampuan (foot and ankle disability) akibat dari munculnya kelemahan otot penggerak foot and ankle dapat menyebabkan cedera ulang yang lebih berat ( Driscol dan Delahunt, 2011).
Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance bertujuan untuk mengaktifkan otot-otot stabilator aktif pada ankle and foot, sehingga kekutan otot dapat meningkat, mencegah peradangan, akan meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang sehingga peyembuhan tidak terhambat dan resiko sprain ulang dapat terhindar (Miller, 2011).
Pelatihan penguatan dengan karet elastic resistance akan meningkatkan kekuatan otot terutama otot tonik, tipe I (slow twitch) yang berfungsi sebagai stabilisator yaitu m.gastrocnemius, m.tibialis anterior, m.peroneus longus
sedangkan otot-otot phasik, tipe II (fast twitch) yaitu m.soleus, m.tibialis posterior, dan peroneus brevis (Sherwood, 2009).
Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara kontinue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinnya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya kekuatan otot ini maka ankle akan lebih stabil dan menurunkan foot and ankle disability yaitu mampu melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari (Sherwood, 2009).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Sprain ankle kronis di sebabkan trauma inversi dan plantar fleksi ankle yang tiba-tiba pada ligamen lateral kompleks, kadang diikuti cedera tendon.
Kerusakan ligamen dapat menyebabkan penurunan gerakan dan instabilitas, sehingga mudah terjadinya sprain ulang dan inflamasi ulang, penumpukan serabut kolagen, timbul jaringan fibrous, menyebabkan elastisitas jaringan menurun, penyembuhan terhambat. Jika kondisi ini berlangsung lama gangguan stabilitas hingga ligament laxity (pasif stability) dan penurunan fungsi neuromuscular (active stability). Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor, sedangkan pada ligament merusak mekanoreseptor, yang mengakibatkan penurunan proprioceptive. Proprioceptive yamg meenurun akan diikuti penurunan refleks pada ankle.
Berdasarkan factor-faktor di atas maka akan menyebabkan nyeri dan gangguan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, berjalan, aktivitas naik dan turun tangga, bekerja, pekerjaan rumah dan halaman, rekreasi dan olah raga. Ganggu-gangguan aktivitas tersebut dinamakan dengan Foot and ankle disability.
Foot and ankle disability merupakan ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas
yang berhubungan dengan kesenangan (hobi) Pemilihan intervensi yang tepat sesuai dengan aktualitas dan stadium penyakit, kedalaman jaringan, dan patologi jaringan sangat diperlukan.
Foot and ankle disability pada sprain ankle kronis dapat diturunkan dengan latihan menggunakan wooble board exercise dan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance, karena pada saat latihan akan membuat otot-otot berkontraksi dan ligament terstimulasi.
Pemberian wooble board exercise meningkatkan recruitment motor unit yang akan mengaktivasi golgi tendon dan memperbaiki koordinasi serabut intrafusal dan serabut ekstrafusal dengan saraf afferen yang ada di muscle spindle sehingga dapat merangsang proprioseptive untuk bekerja. Dengan kembalinya fungsi dari proprioseptive maka sendi akan dapat stabil, maka nyeri akan dapat berkurang. Dengan berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan fungsional yang akan menurunkan foot and ankle disability.
Pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam bentuk isotonic dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan kerusakan ligamen lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinnya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya kekuatan otot ini maka ankle
akan lebih stabil dan menurunkan foot and ankle disability yaitu mampu melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari.
Penelitian ini untuk membuktikan manfaat pelatihan proprioceptive dengan wobble board sama baiknya dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
3.2 Konsep Penelitian
iiii
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Sprain ankle Kronis
Foot and ankle Disability
Pelatihan proprioceptive menggunakan wobble Board
1. Meningkatkan refleks propioceptive 2. Meningkatkan keseimbangan 3. Meningkatkan stabilitas Pelatihan Penguatan Otot menggunakan karet Elastic Resistance 1. Meningkatkan kekuatan otot dan tonus 2. Meningkatkan recruitment motor unit
Penurunan
Foot and ankle
Disability
Ankle and foot hypermobile Muscle weaknes Cedera Olah Raga Poor proprioceptive Trauma/ Injury Otot sirkulasi Ligamen Saraf 1. Overstretch 2. Microtear /macrotear 3. Inflamasi kronis 4. Penumpukan kolagen 5. Ligament laxity 6. Stabilitas menurun 1. Spasme , Nyeri 2. Recruitment motorik menurun
3. Kekuatan otot menurun 4. Tonus otot menurun 5. Stabilitas menurun 1. Proprioceptive menurun 2. Reflex menurun 1.Sirkulasi terganggu 2. Nutrisi dan O2 menurun. 3. Penumpukan zat sisa metabolismse
3.3 Hipotesis
1. Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
2. Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. 3. Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board berbeda dengan
pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, untuk melihat perbedaan pemberian antara wobble board exercise dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. Kelompok Perlakuan pertama wobble board exercise dan Kelompok II yaitu pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance. Pengukuran FADI dilakukan pada saat sebelum dan sesudah perlakuan dengan rancangan pre test and post test group design. Adapun bentuk rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan pola sebagai berikut :
R
Gambar 4.1 : Rancangan Penelitian Keterangan : P : Populasi S : Sampel R : Random RA : Random Alokasi P S RA O1 O2 O3 O4 P1 P2 53
O1 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok I sebelum diberikan pelatihan propioceptive dengan wobble board.
P1 : Perlakuan pada kelompok I (pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dengan dosis seminggu 3 kali, 3 set, I set selama 1 menit dalam 6 minggu.
O2 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok I sesudah diberikan pelatihan propioceptive dengan wobble board.
O3 : Hasil pengukuran foot and ankle disabilityindex (FADI) pada kelompok II (kontrol) sebelum diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.
P2 : Perlakuan pada kelompok II pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance dengan dosis seminggu 3 kali , 3 set, selama 30 menit dalam 6 minggu.
O4 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok II sesudah diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Klinik Fisioterapi Apotik Ubekko Pekan Baru. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai Maret 2015 hingga Mei 2015.
4.3 Penentuan Sumber Data
Penentuan sumber data dimulai dari menentukan populasi target yang akan diteliti, kemudian didapat populasi terjangkau, menentukan sampelnya, kriteria eligibilitas, besaran sampel dan teknik pengambilan sampel.