• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Tulisan ini akan membahas, secara khusus, mengenai legitimasi rekayasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Tulisan ini akan membahas, secara khusus, mengenai legitimasi rekayasa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tulisan ini akan membahas, secara khusus, mengenai legitimasi rekayasa artifisial (buatan) fitur alamiahnya, yakni bebatuan dan bebatuan karang yang terdapat di dalam Pasal 121 ayat (3) Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 (baca: KHL 1982) menjadi pulau buatan. Terkait dengan isu tersebut, penulis berpendapat bahwa rezim pulau (Pasal 121 KHL 1982) dan rezim pulau buatan (Pasal 60 KHL 1982) belum bisa memberikan suatu penjelasan definitif terhadap legitimasi rekayasa artifisial tersebut. Untuk menjawab isu tersebut, pada tulisan ini penulis berpendapat bahwa agar rekayasa fitur alamiah dapat disebut sebagai pulau buatan, syarat limitatif yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 harus dimiliki oleh pulau buatan di mana hal ini akan menjadi unsur pembeda yang membedakannya dengan instalasi dan struktur yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) huruf (b) dan Pasal 60 ayat (1) KHL 1982. Isu yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah sebuah perdebatan dilematis tiga isu hukum laut internasional

mengenai pulau1, pulau buatan2, dan bebatuan karang3.

Jika kita memperhatikan substansi yang terdapat di dalam KHL 1982, Pasal 11 KHL 1982 telah memberikan suatu gambaran secara eksplisit mengenai bagaimana

1 Pasal 121 ayat (1) KHL 1982 secara tegas berbunyi: “An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide”. Bisa diperhatikan bahwa agar bisa disebut sebagai suatu pulau, fitur yang berada di laut pertama-tama harus terbentuk secara alami. Bandingkan dengan Pasal 10 Konvensi Laut Territorial 1958

2 Pasal 56 ayat (1) huruf (b) KHL 1982 tidak menjelaskan definisi mengenai pulau buatan (artificial

island) dan perbedaannya dengan struktur dan instalasi.

3 Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 secara tegas berbunyi: “Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of their own shall have no exclusive economic zone or continental shelf.”

(2)

2 KHL 1982 memandang keberadaan pulau buatan. Pasal 11 KHL 1982 sendiri

berbunyi: “For the purpose of delimiting the territorial sea, the outermost

permanent harbour works which form an integral part of the harbour system are regarded as forming part of the coast. Off-shore installations and artificial islands

shall not be considered as permanent harbour works.” Pasal 11 ini

mengemukakan bahwa instalasi-instalasi pelabuhan yang bersifat permanen dan

menjorok ke laut tetap dianggap sebagai bagian dari pantai4 terkecuali Off-shore

installation dan pulau buatan. Dari rumusan Pasal 11 tersebut, kita bisa memberikan suatu kesimpulan bahwa UNCLOS secara tersirat membedakan fungsi dan tujuan pulau buatan dari bagian pantai dan oleh karenanya dia tidak termasuk bagian dari pantai. Dalam bagian ini, Galea memberikan komentarnya terhadap Pasal 11:

Offshore installations and artificial islands are not considered as permanent harbour works. The law at thisinstance makes no distinction between installations and artificial islands but treats them both equally as distinct structures from

permanent harbour works. The use of the word ‘permanent’ is

significant as it implies a distinction between the nature of a temporary structure and permanent works.”5

Selain itu, Colombos memberikan penekanan yang mempertegas bahwa “harbours,

ports, roadsteads” adalah termasuk dalam bagian dari laut pedalaman yang dalam

hal ini mendapat perlakuan yang berbeda dengan laut teritorial di mana negara lain tidak boleh menuntut haknya secara bebas untuk berlayar maupun untuk melakukan

aktivitas tertentu di atasnya.6 Rumusan yang berbeda ini mengindikasikan bahwa

KHL 1982 memperlakukan struktur, pulau buatan, dan pulau secara berbeda.

4 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2014, h. 82

5 Francesca Galea, Artificial Island in the Law of the Sea, Disertasi, University of Malta, 2009h. 40 6 C. John Colombos, International Law of the Sea, Longmans, Green and Co., London, 1967, h. 67

(3)

3 Jika diperhatikan secara saksama, pengaturan mengenai pulau buatan diatur secara terpisah dari rezim kepulauan yang terdapat dalam Bab VIII. Pulau buatan diatur secara eksplisit di dalam Pasal 56 KHL 1982 yang merupakan bagian dari Bab V KHL 1982 yang mengatur mengenai rezim zona ekonomi eksklusif. Pasal

56 Paragraf (1) huruf (b) memberikan kewenangan kepada negara pantai (coastal

state) untuk memiliki yurisdiksi di atas:

Article 56

1. In the exclusive economic zone, the coastal State has: b) jurisdiction as provided for in the relevant provisions of

this Convention with regard to:

i. the establishment and use of artificial islands, installations and structures;

ii. marine scientific research;

iii. the protection and preservation of the marine environment;

Dari hal ini, penulis menyimpulkan bahwa pulau buatan merupakan suatu fitur yang terpisah dari pulau secara keseluruhan karena jika kita memperhatikan prinsip dasar dari pada Zona Ekonomi Eksklusif (baca: ZEE) maka rezim ZEE merupakan solusi yang ditawarkan oleh KHL 1982 untuk menghindari suatu klaim kedaulatan

di atas wilayah yang berlanjutan dari laut teritorial7 dan hal ini berbeda dari pada

doktrin yang digunakan di wilayah laut teritorial. ZEE sendiri merupakan suatu pranata hukum laut internasional yang ditujukan bagi pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam hayati dan non-hayati yang dilakukan oleh negara pantai yang

berdasarkan atas prinsip mare liberum—suatu prinsip hukum laut internasional

yang berasal dari abad ke-17.8 Oleh karenanya, keberadaan pulau buatan sebagai

7 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2014, h. 143-144

8 Dorina Patuzi, The Concept of Economic Exclusive Zone, European University of Triana, Albania, 2015, h. 149

(4)

4 suatu kewenangan yang dimiliki oleh negara pantai untuk membangunnya, pada hubungannya dengan konsep Zona Ekonomi Eksklusif, harus dimaksudkan sebagai

bagian dari perbuatan negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alamnya.9

Di dalam wilayah ZEE, negara pantai yang akan membangun pulau buatan harus memenuhi ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 60 KHL 1982 dengan tetap memperhatikan tanggung jawab negara pantai untuk memancing di perairan tersebut, melindungi ekosistem lingkungan laut, keamanan, dan hak dan kewajiban

negara lain.10 Negara pantai memiliki kewajiban untuk memberikan pemberitahuan

kepada negara tetangganya apabila dia akan membangun pulau buatan, instalasi, atau struktur. Semua instalasi atau struktur yang sudah tidak terpakai lagi atau ditinggalkan harus dimusnahkan oleh negara asal yurisdiksi tersebut berasal. Pemusnahan tersebut tetap harus memperhatikan tanggung jawab negara pantai

terhadap keamanan dan lingkungan ekosistem laut.11 Terkait dengan hal tersebut,

menurut Abaz Niazi, “All countries have right to construct artificial islands in

marine zones and one cannot claim against any country for construction of the artificial installations unless it damages common benefits of other states or doesn’t pay attention to marine environmental laws”12

Selain memiliki kewenangan untuk membangun pulau buatan di atas wilayah ZEE, negara pantai juga memiliki kewenangan untuk membangun pulau buatan di

wilayah Laut Bebas.13 Namun terkait dengan hal itu, Haanapel, dalam Galea,

9 Pasal 56 ayat (1) huruf (a)

10 Abaz Niazi, Artificial Island in Persian Gulf in Convention on Law of Seas and Kuwait

Convention, Issue 5, Global Journal of Science, Engineering and Technology, GJEST Publishing, 2013, h. 25

11 Pasal 60 ayat (3) KHL 1982 12 Abaz Niazi, Op.cit.

(5)

5

menjelaskan bahwa: “There is no national sovereignty on suchislands, but States

building these islands or other installations on the high seas have exclusive jurisdiction there over, a sort of ‘quasi–sovereignty’”14 Galea kemudian

memberikan komentar sebagai berikut: “His assessment is one which attributes a

form of ‘constructed sovereignty’, where theconstruction of a structure on the high seas of whatever nature becomes declarative ofthe sovereignty of a State.” Menurut

Galea, pendapat Haanapel memberikan suatu kepantasan bagi negara pantai untuk mendirikan pulau buatan dan hak bagi negara pantai atas yurisdiksi khusus yang terjadi karena suatu kuasi-kedaulatan di atas laut lepas oleh negara pantai karena pembangunan pulau buatan tersebut.

Meski KHL 1982 secara teknis sudah mengatur kewenangan negara pantai untuk membangun pulau buatan, KHL 1982 tidak mengatur lokasi yang diperkenankan oleh hukum internasional untuk membangun pulau buatan mereka masing-masing. Negara pantai memang diberikan kewenangan untuk itu dan hal inilah yang kemudian penulis amati bahwa pada praktiknya lokasi di mana negara pantai membangun pulau buatan menjadi diskresi masing-masing negara untuk melaksanakannya.

Perbedaan pulau buatan dan pulau secara norma dapat kita perhatikan dalam rumusan Pasal 121 ayat (1) KHL 1982 yang menyatakan bahwa pulau adalah suatu

fitur yang “naturally formed area of land”15 di mana hal tersebut menimbulkan

perdebatan secara doktrin maupun praktis dalam menjawab kedudukan pulau

14 Galea, Op.cit. h. 92

15 Pasal 121 ayat (1) secara tegas berbunyi: “An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide”. Bisa diperhatikan bahwa agar bisa disebut sebagai suatu pulau, fitur yang berada di laut pertama-tama harus terbentuk secara alami. Bandingkan dengan Pasal 10 The Convention on the Territorial Sea and the Contigous Zone.

(6)

6 buatan. Secara hipotetikal, kita dapat menyusun suatu proposisi secara negatif dari hal tersebut dengan menyatakan bahwa jika tidak terjadi secara alami, maka fitur tersebut tidak bisa disebut sebagai pulau. Secara logis maka kita dapat berkesimpulan bahwa pulau buatan bukanlah pulau sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 121 ayat (1) KHL 1982. Konsekuensinya adalah karena pulau buatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai pulau yang terbentuk secara alami, maka pulau buatan tidak dapat menikmati hak yang sama sebagaimana dimiliki oleh pulau alami, yaitu hak-hak maritim yang hanya bisa dikenakan kepada pulau seperti

laut teritorial, zona lanjutan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.16 Pasal

121 ayat (3) KHL 1982 kemudian mengatur mengenai kedudukan “bebatuan

karang”17 dengan menyatakan bahwa, “Rocks which cannot sustain human

habitation or economic life of their own shall have no exclusive economic zone or continental shelf.” Pasal 60 ayat (8) KHL 1982 menegaskan ketidakmampuan pulau

buatan untuk menikmati hak-hak maritim dengan menyatakan: “Artificial island …

do not possess the status of islands. They have no territorial sea of their own, and their presencese does not affect the delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the continental shelf.”

Dibandingkan dengan dua ayat dalam Pasal 121 lainnya, Pasal 121 ayat (3) memberikan rumusan yang disusun secara negatif. Dalam terjemahan bebasnya, apabila bebatuan karang tidak bisa mendukung kehidupan manusia ataupun

16 Pasal 121 para. (2) KHL 1982: “Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the contiguous zone, the exclusive economic zone and the continental shelf of an island are determined in accordance with the provisions of this Convention applicable to other land territory.

17 Demi kepentingan konsistensi tulisan ini, penggunaan istilah “Rocks” akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Bebatuan Karang”. Hal ini dikarenakan KHL 1982 tidak memberikan definisi mengenai “Rocks” dan perbedaannya terhadap istilah “Low Elevation”,

Sedimentary Rocks”, dan “Reefs”. Namun dalam pembahasannya, penulis juga akan menggunakan

(7)

7 mendukung kehidupan ekonominya sendiri maka bebatuan tersebut tidak mendapatan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Dahalan memberikan komentarnya terhadap Pasal 121 ayat (3) dengan menegaskan keberadaan pasal ini

sebagai suatu prinsip hukum baru: “it is a important provision because of its

potential to generate for a 'naturally formed area of land surrounded by water,....above water at high tide' including even tiny island in the middle of the ocean with no other land within 400 nautical miles.”18 Berbeda dengan pemahaman umum terhadap pulau buatan yang secara jelas terbentuk secara buatan, keberadaan Pasal 121 ayat (1) dan (3) ini memberikan sebuah koneksi erat di mana keberadaan Pasal 121 yang mengatur mengenai rezim pulau memberikan batasan untuk melakukan identifikasi fitur-fitur di atas laut yang dapat mengenakan hak maritim sebagaimana diatur dalam KHL 1982.

Secara logika, bahasa yang digunakan di dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982

menegasikan konsep “human habitation” dan “economic life”. Dengan mengambil

dua konsep dari Pasal 121 ayat (3) tersebut maka penulis dapat menyusun sebuah proposisi yang terbaca sebagai berikut: “Bebatuan karang adalah sebuah fitur yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri.” Lalu sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan fitur tersebut, seturut dengan Pasal 121 ayat (3) maka bebatuan karang tidak mendapat hak maritim berupa zona ekonomi eksklusif ataupun landas kontinen. Oleh karenanya proposi tersebut kemudian dibaca sebagai, “Sebuah fitur yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri adalah tidak dapat memiliki hak

18 Wan Siti Abidah Wan Dahalan, et.al, Article 121 of the 1982 Law of the Sea Convention and the

Maritime Delimitation in the Straits of Singapore, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 2009, h. 232

(8)

8 maritim berupa zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.” Dari proposisi yang bertindak sebagai premis penulis, premis keduanya kemudian adalah, “Bebatuan karang adalah fitur yang tidak mampu mendukung kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri” maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam dua premis ini adalah: “Bebatuan karang tidak dapat memiliki hak maritim berupa zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.” Terhadap hal ini, terhadap premis kedua penulis meletakkan sebuah pandangan bahwa wajarlah kemudian apabila kita mempertanyakan atas pertimbangan apa bebatuan karang dapat dinyatakan bahwa

ia tidak mampu mendukung kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya.19

Pasal 121 ayat (3) adalah sebuah prinsip baru yang menjadi sebuah batu sandungan dalam interpretasi mengenai perbedaan mendasar antara pulau dengan bebatuan karang. Terhadap Pasal 121 ayat (3), Romania sudah mengajukan gugatan terhadap ICJ mengenai kemampuan Serpent Island untuk menjadi pulau yang di mana menurut Romania, pulau tersebut tidak mampu dihuni oleh manusia karena populasi ular berbisa yang tinggi dan tidak memiliki cadangan air tawar yang dapat

dikonsumsi oleh manusia.20

Kerancuan yang terjadi oleh karena keberadaan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 oleh karenanya menimbulkan kebimbangan dalam praktik identifikasi fitur-fitur di atas laut. Permasalahan lain yang dapat muncul adalah peletakkan dasar penghitungan laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Selain

Black Sea Cases (Romania v. Ukraina), kasus lain yang juga memiliki kemiripan terkait dengan implikasi yuridis dari kebimbangan identifikasi fitur-fitur di atas laut

19 Erik Franckx, The Enigma of Article 121, Paragraph 3: The Way Forward?, Maritime Issues and United Nations Convention on the Laws of the Sea: Sharing European and Asia Approaches to Territorial Disputes, 4-5 June 2015, Halong Bay, Vietnam, (Selanjutnya disingkat Franckx I), h. 8 20 Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgment, ICJ Reports 2009

(9)

9

adalah South China Sea Arbitration (Filipina v. Cina)21 dan Maritime Delimitation

and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar/Bahrain)22.

Berangkat dari perdebatan yang terjadi pada permasalahan yang berangkat dari pasal 121 ayat (3) mengenai bebatuan karang, penulis berpendapat bahwa hal ini berimplikasi pada praktik pembangunan pulau buatan yang di mana sebuah konstruksi pulau buatan dibangun di fitur-fitur di atas permukaan laut. Tentu saja hal ini kemudian menjadi problematika sendiri mengingat jenis-jenis bebatuan seperti apa yang dimaksud di dalam Pasal 121 ayat (3). Referensi paling dekat untuk memahami kedudukan bebatuan karang ini adalah dengan menghubungkannya

dengan konsep low-tide elevation dalam Pasal 13 KHL 1982 yang menyatakan

bahwa:

A low-tide elevation is a naturally formed area of land which is surrounded by and above water at low tide but

submerged at high tide. Where a lot-tide elevation is situated wholly or partlyat a distance not exceeding the breadth of the territorial sea from the mainland or an island, the low water line on that elevation may be used as the baseline for measuring the breadth of the territorial sea.

Bentuk penghitungan itu sendiri bisa mengikuti bentuk penarikan garis zona

maritim dengan menggunakan metode normal baseline atau straight baseline

tergantung situasi yang dialami oleh masing-masing negara. Namun Pasal 13 KHL 1982 tidak menjelaskan fitur-fitur seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai

low-tide elevation. Berangkat dari pengertian yang sudah dijelaskan dalam Pasal 13 KHL 1982, bebatuan karang yang termaktub di dalam Pasal 121 ayat (3) dapat ditafsirkan, apabila bebatuan karang tersebut berada di atas permukaan laut saat laut

21 South China Sea Arbitration (Philippines v China) (Award)(UNCLOS Arbitral Tribunal, Case No 2013-19, 12 July 2016) (‘Merits Award')

22 Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v. Bahrain), Judgement, ICJ Report 1994

(10)

10 surut dan berada di bawah permukaan laut saat laut pasang maka Pasal 121 ayat (3)

tersebut prima facie adalah fitur yang dimaksud di dalam Pasal 13 KHL 1982.

Proposisi ini adalah argumen yang akan penulis pertahankan dalam tulisan ini dalam usaha penulis untuk memberikan sebuah penafsiran terhadap kedudukan bebatuan karang di dalam KHL 1982 secara jelas.

Apabila kemudian kita berusaha mencari rasionalisasi untuk menjustifikasi pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang, penulis mendapati sebuah masalah. Apabila negara membangun pulau buatan di atas bebatuan karang maka bebatuan karang tersebut tidak berhak memiliki hak zona maritim berupa laut teritorial. Padahal bebatuan karang memperoleh hak menikmati zona laut teritorial. Dan oleh karena bebatuan karang dapat difungsikan sebagai basis penghitungan pengukuran lebar laut teritorial, pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang justru mengacaukan keberadaan hak laut teritorial yang dimiliki oleh bebatuan karang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan tersebut, maka secara terperinci kasus yang akan dikaji dan dianalisis adalah pada hubungan antara rezim pulau buatan dan rezim bebatuan karang. Dari masalah tersebut maka dapat diperoleh rumusan penelitian sebagai berikut:

1. Apa unsur yang dapat melegitimasi rekayasa artifisial atas bebatuan dan

bebatuan karang menjadi pulau buatan?

2. Di zona maritim mana negara pantai memiliki legitimasi untuk

merekayasa fitur bebatuan dan bebatuan karangnya menjadi pulau buatan?

(11)

11

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan pada analisis terhadap keberadaan pulau buatan di atas bebatuan karang adalah:

1. Untuk mengetahui cakupan KHL 1982 untuk memberikan kepastian hukum

dalam rangka kegiatan pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang oleh negara pantai, negara pulau, dan negara kepulauan.

2. Untuk mengetahui apakah bebatuan karang telah kehilangan kedudukannya

sebagai basis penghitungan lebar laut teritorial. D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dilakukan pada analisis justifikasi pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang adalah:

1. Bagi akademik

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang kedudukan pulau buatan dan bebatuan karang di dalam KHL 1982.

2. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengembangan ilmu hukum untuk memahami secara khusus mengenai pulau buatan dan bebatuan karang.

E. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian : Metode penelitian hukum normatif atau metode

penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama penelitian hukum

(12)

12 normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban) negara pantai untuk membangun pulau buatan di atas bebatuan karang.

2. Metode pendekatan:

a. Pendekatan Perjanjian Internasional: pendekatan perjanjian

internasional bertujuan untuk mengamati terikatnya subyek hukum internasional terhadap norma-norma yang telah mengikat para pihak dalam suatu perjanjian internasional. Karena tidak seperti kebiasaan yang membutuhkan waktu untuk terciptanya hak dan kewajiban dan unsur-unsur normatif yang terkesan ambigu, perjanjian internasional mampu memberikan kepastian

dalam penjabaran hak dan kewajiban para pihak .23

b. Pendekatan Kasus: pendekatan kasus bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu

23 Mike McConville & Wing Chong Hui, (ed), Research Method for Law, Edinburgh University Press Ltd, Edinburgh, 2007, h. 183

(13)

13 aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil

analisinya untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.24

c. Pendekatan Konsep: Konsep dalam pengertian yang relevan

adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada ha-hal universal yang diabstraksikan dari ha-hal-ha-hal yang partikular.salah sau fungsi logis dari konsep ialaha meunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktif dan sudt pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata secara tepat dan menggunakannya

dalam proses pikiran25

d. Pendekatan Sejarah: penelitian yang menggunakan metode

pendekatan sejarah bertujuan agar peneliti memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga, atau suatu aturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu

lembaga atau ketentuan hukum tertentu.26

3. Bahan Hukum:

a) Primer:

24Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, h. 302-303

25 Ibid. h. 306. 26 Ibid. h. 318

(14)

14

1982 United Nation Convention on the Law of the Sea (KHL 1982 1982)

b) Sekunder:

Literatur-literatur, jurnal hukum, hasil penelitian dan artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan ini.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dengan cara mengumpulkan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang dikaji.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang telah diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh.

5. Unit Amatan: United Nation on the Law of the Sea 1982

6. Metode Analisis :

Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dan kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara

(15)

15 berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir yang mendasar pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus.

Referensi

Dokumen terkait

HasiJ uji kualitatif dengan reaksi warna menunjukkan adanya aktivitas peredaman radikal bebas yang ditunjukkan dengan memudamya warna ungu larutan DPPH meojadi larutan

keuangan bidang Cipta Karya Kabupaten Musi Rawas untuk.. menjalankan roda pemerintahan, berdasarkan analisis

Maka program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Ahmad Dahlan periode 57 ini difokuskan pada pengelolaan tentang lingkungan dan kesehatan. Program ini bertujuan

[r]

[r]

Perbedaan pengaruh teknik dry-bonding, water wet-bonding dan ethanol wet- bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid terhadap celah mikro. 1.4

Kapolda  Bali  dalam  pelaksanaan  sertijab  tersebut  menyampaikan  bahwa  serah  terima 

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003