• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penetapan Kesahihan dan Kelemahan Hadis dalam al-mustadrak al-hakim Oleh: Siti Aisyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metode Penetapan Kesahihan dan Kelemahan Hadis dalam al-mustadrak al-hakim Oleh: Siti Aisyah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

dalam al-Mustadrak al-Hakim

Oleh: Siti Aisyah ∗

Abstrak

Al-Hakim al-Naisaburi menulis kitab al-Mustadrak 'ala al-Shahihaini

untuk menghimpun dan mengkodifikasikan hadis-hadis yang dikategorikan pada

hadis-hadis shahih tetapi belum sempat termuat dalam kitab shahihaini (kitab

Bukhari dan Muslim). Karena itu, Al-Hakim mencoba mengikuti dan mengaplikasikan kriteria kesahihan periwayatan hadis yang diperpegangi oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam menyusun kitabnya. Sayangnya, terdapat

perbedaan dan "kesenjangan" kualitas hadis yang terdapat dalam kitab shahihaini

dengan kitab al-Mustadrak. Hal tersebut bukan suatu kesengajaan untuk memuat

hadis-hadis yang dinilai lemah oleh sebagian ulama hadis tetapi lebih kepada persoalan belum ada kesempatan mentakhrij hadis-hadis tersebut karena faktor usia. Al-Hakim baru pada tataran pembuatan draft saja. Al-Hakim juga menilai bahwa penentuan kesahihan suatu hadis merupakan persoalan yang bersifat ijtihad sehingga siapapun bisa melakukannya.

Kata kunci: al-mustadrak, tashahul, tasyaddud, sahih, dhaif A.Pendahuluan

Sejarah penulisan dan pentadwinan hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H./720 M.). Salah seorang ulama terkenal di Hijaz dan Syam, Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H./742 M.) merupakan orang pertama yang melaksanakan instruksi pengumpulan hadis dari Umar bin Abdul Aziz tersebut.

Dalam rangka pengumpulan hadis tersebut, para ulama hadis selain melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai wilayah, juga mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap hadis-hadis yang mereka himpun. Karena itu, proses penghimpunan hadis membutuhkan waktu yang relatif panjang yakni sekitar satu abad.1 Implikasinya adalah hasil karya mereka cukup bervariasi baik dari segi kualitas dan jumlah hadisnya maupun metode penyusunannya.

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

1M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), p. 4.

(2)

Penelitian ulama terhadap hadis Nabi itu terutama difokuskan pada hadis-hadis yang berstatus ahad,2 sedang hadis mutawatir3 tidak lagi menjadi obyek penelitian karena tingkat kesahihannya masih dijamin karena berasal dari Nabi s.a.w. Salah satu hadis yang muncul pada abad ke-4 H. adalah al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburiy (321-405 H). Al-Hakim menyusun kitab tersebut sebagai pelengkap terhadap kitab Sahih Bukhari dan Muslim, hanya saja sebagian ulama menganggap al-Hakim terlalu tashahul dalam menerima periwayatan hadis.

Tulisan ini menganalisis metode al-Hakim dalam menetapkan sahih dan tidaknya suatu hadis yang tercantum dalam kitabnya al-Mustadrak. B.Seputar Biografi Al-Hakim

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamdun bin Al-Hakim bin Nu'aim bin Al-Bayyi al-Dabbi al-Thahmani al-Naisaburiy. Beliau lahir di Naisabur pada hari Senin, 13 Rabiul Awwal 321 H. dan meninggal dunia pada bulan Safar 405 H.).4 Dalam bidang hadis, ia lebih dikenal dengan julukan abu Abdillah

al-Hakim al-Naisaburiy, sekalipun ada juga gelar lain seperti Ibnu al-Bayyi atau al-Hakim Abu Abdullah.

Al-Hakim al-Naisaburiy memperoleh pendidikan agama dari ayah dan pamannya sendiri. Pada usia 9 tahun al-Hakim sudah belajar hadis dan semangat pendalaman hadis secara kontinu dilakukan ketika berumur 13 tahun pada Abu Hatim bin Hibban. Hadis-hadis yang diterimanya dari Abu Hatim banyak dituliskannya dalam kitab al-Mustadrak. Selain itu, al-Hakim mengadakan pelawatan ke berbagai daerah5 terutama kota-kota

2Hadis Ahad merupakan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Lihat Mustafa al-Siba'i, as-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri' al-Islami, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1985), p. 150.

3Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat pada setiap tabaqah (tingkat sanadnya) yang menurut tradisi mereka tidak memungkinkan untuk sepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Lihat: jalaluddin Abd Rahman bin Abi Bakar al-Syuyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, Juz II, (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1979), p. 176.

4Abu al-Falah Abd al-Hay bin Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab fi Akhbar Man Zahab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 17.

5Safari Ilmiah mengandung makna yang sangat mendalam di kalangan ahli hadis karena mempunyai beberapa kegunaan, antara lain: a). memperoleh ketelitian yang tinggi, b). mengembangkan ilmu yang diperolehnya, c). memperluas wawasan dan pengetahuan, d). mengembangkan keutamaan dan kesempurnaan dalam kepribadian, e). memperluas hubungan silaturrahmi dan persaudaraan. Lihat: Abu Bakar bin Ahmad bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Rihlah fi Thalab al-Hadis, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1975), p. 114.

(3)

tempat bermukimnya pakar-pakar hadis untuk memperdalam Hadis diantaranya Mekkah, Madinah, Irak, Khurazan, Transoxiana dan Hijaz. Dia bertemu langsung dengan guru-guru sehingga kualitas hadisnya memperoleh kredibilitas yang bagus seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang mensyaratkan adanya pertemuan langsung antara murid dan guru ketika menerima hadis, ini diistilahkan dengan al-liqa'.

Guru-guru Hakim antara lain Muhammad bin Yaqub al-Syaibaniy, Muhammad bin Ahmad bin Balawaih al-Jallab, Muhammad bin al-Qasim al-Atakiy, Abu Ja'far Muhammad bin Ahmad bin Sa'id al-Raziy, Abi Hamid Ahmad Bin Ali bin Hasnawaih, Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Saffar, Ali bin Fadl Saturiy, Muhammad bin Ali al-Muzakkir, Muhammad bin Ya'qub al-A'sham, Ali bin Abdillah al-Hakam, Ismail bin Muhammad Raziy, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Anziy, Muhammad bin Ahmad al-Syaibiy al-Faqih, Abi Ja'far Muhammad bin Muhammad bin Abdillah al-Baghdadiy al-Jamal, Muhammad bin Mu'ammal al-Masarjisiy, Muhammad bin Ahmad bin Mahlub, al-Hasan bin Ya'qub al-Bukhariy, al-Qasim bin al-Qasim al-Yasariy, Abi al-Barr Ahmad bin Ishaq Sabaghiy, Abi Ali Husain bin Ali Naisaburiy al-Hafidz, Ali bin Hamsad al-'Adl, al-Qadhiy Abu Bakar al-Hirriy dan Ibnu Hibban.6 Tampaknya guru-guru al-Hakim memiliki kapabilatas keilmuan

yang bergelar al-Hafidz, al-Qadhiy, al-Faqih dan al-Shufiy. Ibnu Hibban merupakan guru yang paling banyak memeberikan pengaruh keilmuan dibidang hadis terhadap al-Hakim.

Murid-murid al-Hakim juga tidak sedikit misalnya Abu al-Falah bin Ubay bin al-Fawariy, Abu al-A'la al-Wasithiy, Muhammad bin Ahmad bin Ya'qub, Abu Zar al-Hirawiy, Abu Ya'la al-Khaliliy, Abu Bakar al-Baihaqiy, Abu al-Qasim al-Qusyairiy, Abu al-Shalihal Muazzin, al-Zaki abu Hamid al-Bahiriy, Mu'ammal bin Muhammad bin al-Walid, Abu al-Fadl Muhammad bin Ubaidillah al-Astram, Ustman bin Muhammad al-Mahmiy

dan Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Khalaf al-Syairaziy.7

Memperhatikan guru-guru dan murid yang mempelajari ilmu terutama hadis kepada al-Hakim, maka al-Hakim memiliki keluasan ilmu dan ini dibuktikan dengan berbagai karya tulis beliau sekalipun tidak semua karya-karya tersebut tersimpan di berbagai perpustakaan. Karya-karya fundamental al-Hakim diantaranya Takhrij Shahihaini, Tarikh

6Syamsuddin bin Ahmad al-Zahabi, al-Mu'in fi Thabaqat al-Muhadditsin, Cet. I, (Ttp.: Dar al-Sahwat, 1987), pp. 163-164.

7Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, Ma'rifat fi 'Ulumi al-Hadis, Cet. III, (Madinah: Al-Maktabat al-Ilmiyah, 1977), p. 135; Kamal Yusuf al-Juf, Biografi al-Hakim dalam Muqaddimah al-Ihsan bi Taqrib Shahih Ibnu Hibban, Jilid I, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), p. 10.

(4)

Naisaburiy, Fadhail Imam al-Syafi'i, Fadhail al-Syuyukh, amal al-Asyiyat, Tarajum al-Syuyukh, Al-I'lal, Ma'rifat fi 'ulumu al-Hadis, al-Madkhal ila al-Iklil,

al-Muzakkina li Ruwat al-Akhbar, dan al-Mustadrak ala al-Shahihaini.8 Dari

sekian banyak karya tulis tersebut, hanya tiga saja yang masih eksis sampai sekarang yakni Ma'rifat fi 'ulumu al-Hadis, al-Madkhal ila al-Iklil, dan al-Mustadrak ala al-Shahihaini.9

C.Sekilas Tentang Kitab al-Mustadrak

Kitab al-Mustadrak merupakan kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat dalam kitab Bukhari dan Muslim atau memiliki salah satu syarat dari kedua kitab tersebut. Jadi, kitab

al-Mustadrak karangan al-Hakim itu masih menggunakan persyaratan baik

yang ada dalam kitab Shahihaini ataupun salah satu dari keduanya yakni kitab shahih Bukhari atau Shahih Muslim.

Kitab al-Mustadrak terdiri dari 4 jilid, dengan jumlah hadis sebanyak 8690, dipresentasikan dalam 50 pokok pembahasan yang disebut kitab (bab). Halamannya berjumlah sekitar 2561 halaman. Kitab tersebut termasuk kitab al-Jami', yakni kitab yang menghimpun berbagai dimensi ajaran Islam seperti keimanan, sejarah termasuk sejarah para sahabat Nabi s.a.w.10

Kitab tersebut ditulis ketika al-Hakim al-Naisaburiy menjelang usia 52 tahun dengan cara mendiktekan kepada muridnya secara berkala hingga wafatnya. Dapat diduga bahwa tidak sedikit hadis-hadis tersebut tidak didiktekannya kepada muridnya sampai beliau wafat, tetapi hanya melalui

catatan-catatan atau mungkin juga berdasarkan hafalan murid-muridnya.11

Oleh sebab itu, para peneliti hadis menduga bahwa kemungkinan besar banyak hadis yang terdapat dalam kitab al-Mustadrak tidak dikoreksi langsung oleh al-Hakim.

Hadis-hadis yang tercantum dalam kitab al-Mustadrak juga didapati pada kitab-kitab Sunan dan Musnad. Sebagai ilustrasi, hadis "man kuntu

8Mu'dzam Husain, Tazkirah al-Mushannaf, dalam al-Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hafid al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum al-Hadis, (al-Qahirah: Maktabat al-Mutanabbiy, t.th.), p. ha; Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaddistun, (Ttp.: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.t.), p. 424.

9Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Suatu Hadis, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 54.

10Muhammad bin Ja'far al-Kattani, al-Raisalah al-Mustathrafah, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1400 H.), p. 42.

11Anggapan di atas berdasarkan pada sighat yang digunakan dalam meriwayatkan hadis seperti akhbarana (telah membeitahukan kepada kami), tidak menggunakan sighat imlaan (pendiktean) seperti yang terdapat pada jilid IV, p. 349.

(5)

maulahu fa 'Ali maulahu" (Barang siapa yang menjadikan aku sebagai tuannya, maka Ali juga menjadi tuannya). Hadis tersebut tercatat di kitab

al-Mustadrak (jilid III halaman 110), dan ditemukan juga pada kitab-kitab

lain seperti Sunan Turmudzi (hadis no. 3713), Sunan Ibnu Majah (hadis no. 121), Musnad Ahmad bin Hambal (jilid IV halaman 281,368, 370 dan jilid V halaman 110). Kitab Mustadrak juga memuat hadis-hadis yang dikutip dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dengan menggunakan sanad yang berbeda, baik pada tingkat sahabat maupun pada transmisinya sesudah sahabat dan tabi'in. Perbedaannya dengan kitab Sunan dan Musnad adalah hadis-hadis yang tercantum dalam kitab al-Mustadrak telah mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadis yang ditentukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahihaini.12 Namun demikian, pernyataan

tersebut perlu dikaji lebih jauh lagi, sebab pada kenyataannya tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab al-Mustadrak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena al-Hakim diklaim sebagai orang yang tashahul (longgar) dalam menerima suatu periwayatan.

Contoh hadis yang terdapat dalam kitab al-Mustadrak tetapi tidak dikutip dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim adalah hadis tentang seorang laki-laki yang tidak mampu membaca al-Qur'an (sebagai bacaan shalat) dan meminta Rasulullah untuk mengajarkan sesuatu sesuai kemampuannya. Permintaan orang tersebut direspon oleh Rasulullah dengan mengatakan "Bacalah subhanallah, wa alhamdulillah wa la ilaha illallah

wa Allahu Akbar". Hadis tersebut tidak terdapat dalam kitab Shahihaini

tetapi diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, al-Nasai, Ibnu Hibban dan al-Daraquthni.

Selain itu, hadis yang ada dalam al-Mustadrak menggunakan redaksi yang berbeda dengan redaksi kitab Shahihaini, seperti hadis tentang

larangan terhadap seorang perempuan bepergian tanpa muhrim jika

perjalanan tersebut memakan waktu satu malam. Ini menunjukkan bahwa hadis tersebut menggunakan periwayatan secara maknawi.

Sisi lain dari kitab al-Mustadrak adalah sanad yang digunakan oleh al-Hakim tidak digunakan dalam kitab Sahihaini. Dengan demikian, sanad hadis berbeda dengan sanad yang ada di kitab Bukhari Muslim. Sebagai contoh adalah hadis yang berkaitan dengan cara berwudhu' Rasulullah

dengan membasuh setiap anggota wudhu' dua kali. Dalam kitab

al-Mustadrak, sanadnya adalah Abu Hurairah, Abdurrahman al-A'raj,

Abdullah bin al-Fadl al-Hasyimiy, Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, Zaid bin Hibban, Husain bin Ali bin Hasan al-'Amiriy dan Abu al-'Abbas

12Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Beirut: Dar Al-Qur'an al-Karim, 1979), p. 116.

(6)

Muhammad bin Ya'qub, sedangkan dalam Sahih al-Bukhari sanadnya yang digunakan adalah Abdullah bin Zaid, 'Abbad bin Tamim, Abdullah bin Abi Bakar bin 'Amr bin Hazm, Fulaih bin Sulaiman, Yunus bin Muhammad, Husain bin Isa.

Berdasarkan contoh-contoh dan ilustrasi di atas menunjukkan bahwa terjadi kesesuaian atau adanya hubungan antara hadis yang ada dalam kitab al-Mustadrak dengan kitab al-Bukhari misalnya baik dari segi matannya maupun sanadnya.

D.Kandungan dan Status Hadis dalam Kitab al-Mustadrak

Kitab al-Mustadrak karya al-Hakim termasuk katergorisasi kitab

Jami', yakni kitab hadis yang menghimpun berbagai aspek tentang kajian

keislaman dalam ruang lingkup akidah, syariah dan akhlak. Selain itu, kitab tersebut membahas tentang sejarah, tafsir, sirah Nabi dan sahabat serta masalah magazi.

Hadis yang dimuat dalam kitab al-Mustadrak sebanyak 8690 buah, 7248 merupakan talkhis-nya. Perinciannya adalah 251 hadis tentang akidah, 1277 hadis mengenai ibadah, 2519 hadis yang menyangkut halal haramnya sesuatu, 141 berkaitan dengan tarikh Rasulullah s.a.w., 1218 tentang biografi sahabat Nabi, 32 hadis mengenai takwil mimpi, 73 hadis tentang pengobatan, 347 hadis berkaitan dengan huru-hara dan peperangan, 111 hadis menjelaskan kegoncangan hari kiamat, 233 hadis menyangkut peperangan Nabi s.a.w., 974 hadis mengenai tafsir serta 70 hadis mengandung keutamaan amal (fadail al-a'mal).

Kualitas hadis-hadis yang termuat dalam kitab al-Mustadrak bervariasi, yaitu ada yang secara eksplisit menjelaskan bahwa hadis-hadis tersebut memenuhi persyaratan yang ada dalam kitab Shahih Bukhari dan

Muslim, ada juga yang hanya memenuhi salah satu persyaratan dari kedua

kitab tersebut, ada juga mengatakan kesahihannya dari segi sanad saja, bahkan ada hadis yang tidak dijelaskan status atau kualitas suatu hadis.13

Meskipun al-Hakim sudah menentukan penilaiannya tentang status suatu hadis, kadang ulama hadis tidak memberikan legitimasi tentang penilaian tersebut. Implikasinya sebagian kritikus hadis menganggap al-Hakim sebagai sosok ulama hadis yang tidak konsisten dalam menetapkan kriteria yang diperpegangi dalam penilaian kualitas hadis.

Kalau hadis yang ada dalam kitabnya itu memenuhi persyaratan sebagaimana yang ada dalam kitab Shahihaini, maka al-Hakim akan menggunakan ungkapan "hadis ini memenuhi persyaratan dua guru (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tetapi mereka tidak meriwayatkannya"

(7)

ataupun "sesuai dengan syarat shaikhaini". Dalam talkhis al-Zahabi sering diberi inisial huruf "kha" untuk Bukhari dan "mim" untuk Muslim.

Jika hadis yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhari atau Muslim, maka al-Hakim akan mengatakan "hadis ini sesuai dengan syarat Bukhari atau Muslim, tetapi tidak diriwayatkannya". Selain menggunakan peristilahan tersebut, al-Hakim memberi inisial hadis dengan ungakapan "hadis ini shahih sanadnya tetapi Imam Bukhari atau Muslim tidak meriwayatkannya". Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan variatifnya penilaian hadis yang ditulis oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak.

E.Metode Penilaian Kesahihan dan Kedhaifannya Hadis dalam Kitab al-Mustadrak

Penilaian kesahihan dan kedhaifan suatu hadis artinya al-Hakim menyeleksi dan mengkategorikan hadis-hadis dengan menggunakan kriteria dan persyaratan tertentu sehingga suatu hadis dapat dikategorikan pada hadis shahih atau dhaif.14 Pada dasarnya metode al-Hakim dalam

meneliti kualitas suatu hadis tidak berbeda dengan cara yang ditempuh pakar atau ulama hadis lainnya yakni melakukan penilaian terhadap sanad dan matan. Namun, bila ternyata dalam prakteknya terdapat perbedaan dengan ulama lainnya, maka perbedaan itu hanyalah pada kemampuan ijtihad masing-masing ulama hadis. Oleh karena itu, al-Hakim hanya membagikan kualitas hadis itu pada dua dimensi yakni shahih dan dhaif

(lemah).

Dalam menentukan status hadis, al-Hakim mengikuti syarat-syarat yang dipedomani Imam Bukhari dan Imam Muslim, sekalipun harus diakui bahwa terjadi perbedaan pada tataran aplikasinya. Hadis-hadis yang ada dalam kitab Shahihaini termasuk pada peringkat pertama tentang validitasnya, sementara hadis-hadis di kitab al-Mustadrak, menurut penilaian kritikus hadis, jauh dari kualitas hadis yang ada di kitab

Shahihaini. Di antara ulama hadis yang membahas kitab al-Mustadrak

adalah al-Iraqi (w. 806 H) dalam kitabnya Tashih Mudrak 'ala

al-Mustadrak, dan al- Zahabi (w. 748 H) dalam kitabnya Talkhis al-Mustadrak.

Dalam menentukan penilaian terhadap kualitas suatu hadis, al-Hakim berpatokan pada dua prinsip umum yaitu tasyaddud (ketat) dan

tasahhul (longgar). Kedua acuan tersebut berkaitan langsung dengan

pembedaan penilaian rijal hadis yang menjadi konsep dasar al-Hakim

14Persyaratan keshahihan dan dhaifnya suatu hadis bisa dilihat Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1997), p. 97; Nuruddin 'Itr, al-Madkhal ila 'Ulum al-Hadis, (Madinah al-Munawwarah: al-Maktabat al-Ilmiyah, 1972), p. 15.

(8)

ketika menetapkan hadis dalam kitab al-Mustadrak. Kedua metode tersebut sebenarnya bukan hadis kreasi al-Hakim melainkan hasil kreasi ulama sebelumnya yakni Ahmad bin Hanbal (163-241 H) dan Abdurrrahman bin

Mahdi.15 Penggunaan dua standar dalam menentukan kualitas suatu hadis

yakni tasyaddud (ketat) dalam menilai rijal al-Hadis yang berkaitan dengan akidah dan syariah, tetapi tasahhul (longgar) dalam menentukan hadis-hadis selain akidah dan syariah. Dengan demikian, kelihatannya kualitas hadis yang berkaitan dengan akidah dan syariah dapat dijamin kesahihannya, sedangkan hadis selain dari pada itu "masih dipersoalkan" kesahihannya.

Menurut al-Iraqi (w. 806 H), ke-tashahhul-an al-Hakim disebabkan

tasyayyu' (kesyi'ahan) dan juga karena proses penyusunan kitab

al-Mustadrak dilakukan ketika usia lanjut sehingga tidak mudah untuk

mengoreksinya kembali. Bahkan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.)

mengemukakan bahwa ke-tasyahhul-an al-Hakim sebenarnya bukan karena

faktor kesengajaan karena dia baru pada tahapan pembuatan draft

al-Mustadrak dan meninggal dunia sebelum mentakhrijkannya.16 Argumentasi

ke-tasyahhul-an al-Hakim yang disebabkan faktor kesyi'ahannya tidak

memiliki pijakan yang kuat sebab ada ulama lain yang dituduh tasyayyu'

tetapi tidak dituduh tasahhul. Dengan kata lain, tasyayyu' tidah identik dengan tasahhul. Ada juga ulama yang dinilai tasahhul tetapi tidak dituduh

tasyayyu'.

Sebenarnya al-Hakim tidak memudahkan kriteria kesahihan suatu hadis, dan jika kitab al-Mustadrak memuat banyak hadis-hadis lemah hal tersebut dianggap wajar sebab al-Hakim menulis hadisnya masih dalam bentuk draft dan belum ditakhrij dan analisa ulang. Alasan tersebut sesuai dengan pernyataan al-Hakim sendiri "Jika saya mengatakan sesuatu hadis dalam suatu bab, maka perlu ditelaah kembali karena saya sudah tua".

Pernyataan al-Hakim tersebut menunjukkan bahwa dia menyadari akan keterbatasan kemampuannya bila dibandingkan dengan ulama sebelumnya. Juga al-Hakim sebenarnya tidak bermaksud untuk

memasukkan hadis-hadis dha'if di dalam kitab al-Mustadrak, dan

memberikan kesempatan kepada ulama hadis sesudahnya untuk mengkaji dan meneliti ulang hadis-hadis tersebut. Bagi al-Hakim, penentuan kesahihan hadis itu sifatnya ijtihadi, sehingga perbedaan yang terjadi di antara pada kritikus hadis dalam menentukan kesahihan hadis merupakan suatu kewajaran.

15Zainuddin Abd Rahim bin Husain al-Iraqi, al-Taqyid wa al-Idhah: Syarh Muqaddimah Ibnu Shalah, (Ttp.: Dar al-Fikr, 1981), p. 45.

16Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, al-Nukad 'ala Kitab Ibnu Shalah, Cet. I, (Madinah: Al-Majlis al-Ilm, 1984), p. 121.

(9)

F.Penilaian Ulama Terhadap al-Hakim

Penilaian ulama terhadap sosok al-Hakim berbeda-beda yakni memuji dan memberikan apresiasi terhadapnya serta mengkritisi al-Hakim. Pujian dan apresiasi kepada al-Hakim atas kemampuannya di bidang hadis dengan menempelkan gelaran Hakim, Hafidz Kabir, Syaikh

al-Muhadditsin. Selain itu, al-Hakim diakui sebagai seorang imam yang terpuji,

hafidz dan alim dalam berbagai disiplin ilmu serta tsiqah (terpercaya). Pada masanya, tidak sedikit pencari ilmu pengetahuan dari berbagai wilayah mendatanginya dan belajar karena dia satu-satunya ulama kenamaan pada masanya.17

Selain itu, berbagai kritikan juga ditujukan kepada al-Hakim baik kritikan yang menyangkut kepribadiannya maupun karyanya (kitabnya). Muhammad bin Thahir Muqaddasi misalnya, mengatakan bahwa al-Hakim adalah seorang rifdhi khabits (pengikut syiah Rafidah yang jahat), pura-pura Sunni padahal pengikut Ali yang fanatik dan tidak menyukai Muawiyyah. Ulama Syi'ah menganggap al-Hakim sebagai tokoh Syi'ah karena kecenderungannya ke Syi'ah dan selalu menyebut Rafidhah, sedangkan ulama Sunni menyebutnya sebagai tokoh Sunni karena

mengagumi Imam Syafi'I dan bahkan menyusun kitab Fadhail Imam

al-Syafi'i.18

Ketokohan al-Hakim dalam golongan Sunni sangat beralasan karena guru-gurunya pada umumnya adalah dari kalangan Sunni, sebagai hakim di Naisaburi mewakili kelompok Sunni pada masa pemerintahan Bani Saman yang berhaluan Syi'ah Ismailiyah, sedangkan tuduhan dan kritikan yang mendiskreditkan al-Hakim lebih disebabkan karyanya kitab al-Mustadrak

karena memuat hadis-hadis yang membela ahlul bait dan mengatakan sahihnya hadis tersebut padahal ulama lainnya menganggap hadis-hadis itu maudlu' (palsu). Al-Hakim dikritik sebagai orang yang kurang cermat dan sangat longgar dalam menetapkan kualitas suatu hadis terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang bukan prinsipil (furu').

G.Penutup

Salah satu faktor yang mendorong al-Hakim al-Naisaburi menulis

kitab al-Mustadrak adalah untuk menghimpun dan mengkodifikasikan

hadis-hadis yang dikategorikan pada hadis-hadis shahih tetapi belum sempat termuat dalam kitab Shahihaini (kitab Bukhari dan Muslim). Indikasinya adalah dengan menamakan kitabnya dengan al-Mustadrak 'ala

17Mu'dham Husain, Tazkirah, pp. dal-ha

18Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak 'ala al-Shahihaini, Bab Ma'rifat al-Shahabah, Jilid. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), p. 316.

(10)

al-Shahihaini. Selain itu, al-Hakim juga berupaya sedapat mungkin mengikuti kriteria kesahihan periwayatan hadis yang diperpegangi oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Sekalipun demikian, masih juga terdapat perbedaan dan "kesenjangan" kualitas hadis yang terdapat dalam kitab Shahihaini dengan kitab al-Mustadrak. Hal tersebut bukan suatu kesengajaan untuk memuat hadis-hadis yang dinilai lemah oleh sebagian ulama hadis tetapi lebih kepada persoalan belum ada kesempatan mentakhrij hadis-hadis tersebut karena faktor usia. Al-Hakim baru pada tataran pembuatan draft saja. al-Hakim juga menilai bahwa penentuan kesahihan suatu hadis merupakan persoalan yang bersifat ijtihad sehingga siapapun bisa melakukannya.

(11)

Daftar Pustaka

Abdurrahman, M., Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad al-Hakim dalam

Menentukan Suatu Hadis, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000.

Abu Zahw, Muhammad Muhammad, Al-Hadis wa al-Muhaddisun, Ttp.: Dar

al-Fikr al-Arabi, t.t.

al-Asqalani, Al-Nuqat 'ala Kitab Ibnu Shalah, Cet. I, Madinah: Majlis al-Ilm, 1984.

_______, Bulugh al-Maram, Mesir: Dar al-Kutub al-'Arabiyyah, t.t.

al-Baghdadi, Abu Bakar bin Ahmad bin Tsabit al-Khatib. Al-Rihlah fi

Thalab al-Hadis. Cet. I, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, 1975.

al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Al-Mu'in fi Thabaqat

al-Muhaddisin, Cet. I, Ttp.: Dar al- Sahwat, 1987.

_______, Siyar al-A'lam al-Nubala', Cet. VII, Beirut: Muassasat al-Risalah, 1990.

al-Hanbali, Abu al-Falah Abd al-Hay bin Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbar

Man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

al-Iraqi, Zainuddin Abd Rahim bin Husain, Al-Taqyid wa al-Idhah: Syarh

Muqaddimah Ibnu Shalah, Ttp.: Dar al-Fikr, 1981.

al-Kattani, Muhammad bin Jafar, al-Risalah al-Mustathrafah, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1400 H.

al-Naisaburi, Abu Abdillah al-Hakim, Kitab Ma'rifat fi 'Ulum al-Hadis, Cet. III, Madinah: Al-Maktabat al-'Ilmiyah, 1977.

_______,Al-Mustadrak 'ala al-Sahihain, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, 1978. al-Sayyid, Muhammad Mubarak, Manhaj al-Muhaddisin, Cet. II, Ttp.: tp.,

1998.

al-Siba'i, Mustafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Maktabah al-Islami, 1985.

al-Syuyuthi, Jalaluddin 'Abdurrahman bin Abi Bakar, Tadrib al-Rawi Syarh

Taqrib al-Nawawi, Juz II, Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,

1979.

al-Thahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Beirut: Dar al-Qur'an al-Karim, 1979.

(12)

Husain, Mu'zham. "Muqaddimah Ma'rifat 'Ulum al-Hadis" dalam al-Imam Al-Hakim Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah Hafidz al-Naisaburi, Ma'rifat Ulum al-Hadis, Al-Qahirah: Maktabat al-Mutanabbi, t.t.

Ibnu Mandzur, Abi al-Fadl Jamaluddin Muhammad bin Markum al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-'Arab, Jilid XVI, Beirut: Dar Sadir, t.t.

Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

_______, Pengantar Ilmu Hadis, Cet. II, Bandung: Angkasa, 1984.

Itr, Nuruddin, al-Madkhal ila 'Ulum al-Hadis. Madinah Munawwarah: al-Maktabat al-'Ilmiyah, 1972.

_______, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1997.

Ma'luf, Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam, Cet. XXVIII, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.

Referensi

Dokumen terkait