• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADIS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADIS

Oleh: Erha Saufan Hadana* Pendahuluan

Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa Khlafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijriah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut-kemulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam pada ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khattab (w.23 H/644 M). Namum ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.1

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijriah, yakni tahun 99 hijriah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghapal.2

Oleh karena itu permasalahan ini layak untuk dikaji secara menyeluruh, dengan melihat setting historis-nya agar permasalahan ini terpecahkan. Penulis sendiri merasa tertarik untuk membahasnya dikarenakan ini merupakan kali

1

Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 32.

2

(2)

2

pertamanya penulis membuat paper tentang pengumpulan dan kodifikasi hadis. Maka menjadi sebuah keharusan bagi penulis untuk dapat memaparkan sebaik-baiknya.

Pembahasan

A. Pengertian Pengumpulan (Tadwin)

Menurut Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, pembukuan adalah mengumpulkan

shahifah (lembar catatan) yang sudah tertulis dan yang dihafal dalam dada, lalu

menyusunya sehingga menjadi dalam satu buku.3 Sedangkan Menurut Muhammad Zaini, yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah Kepala Negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi saw.4

Sejalan dengan Muhammad Zaini, Ramli Abdul Wahid berpendapat yang dimaksud dengan kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis-hadis atas perintah Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat.5

Para ulama hadis hampir sepakat mengatakan bahwa kodifikasi secara resmi mulai dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah pada tahun 99-101 H. Kodifikasi secara resmi belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun ada shahifah-shahifah yang membuat hadis di zaman Nabi dan sahabat, namun pencatatan itu dilakukan oleh para sahabat dan tabi‟in atas inisiatif mereka sendiri dan untuk kepentingan pribadi masing-masing.6

Pembukuan hadis pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini

3

Syaikh Manna‟ Al Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005), h. 50.

4

Muhammad Zaini, Metode Pemahaman Hadis Dari Masa Ke Masa, (Banda Aceh: Naskah Aceh dan Ar-Rabiry Press, 2013), h. 26.

5

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 103.

6

(3)

3

kemudian banyak dilakukan oleh setelah Az-Zuhri dengan cara yang berbeda-beda. Sebagian besar di antaranya mengumpulkan hadis Nabi yang bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwa tabi‟in. Kemudian para ulama hadis menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.7

Berikut ini beberapa metode pembukuan hadis yang dilakukan oleh ulama hadis yaitu: metode Masanid8, metode Al-Ma’ajim9, metode jawami’10, metode penulisan hadis berdasarkan pembahasan fikih, metode penyusunannya hanya menuliskan hadis-hadis yang shahih, metode tematik, metode kumpulan hadis hukum fikih, metode merangkaikan Al-Majami’11, metode Al-Ajza’12, metode

Al-Athraf13, metode kumpulan hadis-hadis yang masyhur diucapkan di lisan atau tematik, dan yang terakhir adalah metode Az-Zawa’id14.

B.Faktor-Faktor Yang Mendorong Umar Bin Abdul Aziz Mengkodifikasikan Hadis

As-Sunnah yang menjadi sumber hukum kedua bagi syari‟at Islam telah dihafalkan oleh para sahabat yang mendegarkannya dan mereka menyampaikan kepada orang lain, baik kepada sahabat yang tidak turut mendengarkannya, maupun tabi‟in, bahkan kepada para tabi‟ tabi‟in. Setelah masyarakat jazirah Arab menerima Islam secara utuh, para sahabat mulai berpencar-pencar ke berbagai

7

Syaikh Manna‟ Al Qatthan, Pengantar Studi…, h. 53.

8

Al-Masanid, jamak dari sanad, maksudnya, buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadis setiap sahabat secara tersendiri, baik hadis shahis, hasan, atau dhaif. Selanjutnya lihat bukunya Syaikh Manna‟ Al Qatthan, Pengantar Studi…, h. 54.

9

Al-Ma’ajim adalah jamak dari mu‟jam. Adapun menurut istilah para ahli hadis adalah, buku yang berisi kumpulan hadis-hadis yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri, sesuai dengan huruf hijaiyah. Ibid., h. 55.

10

Al-jawami’ jamak dari jaami‟. Sedangkan jawami‟ dalam karya hadis adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Ibid., h. 56.

11

Al-Majami’ jamak majma‟ yaitu setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulkan tersebut. Ibid., h. 61.

12

Al-Ajza’ yaitu setiap kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seseorang perawi hadis, atau yang berkaitan dengan satu permasalahan secara terperinci. Ibid., h. 62.

13

Al-Athraf yaitu setiap kitab yang hanya menyebut sebagian hadis yang dapat menunjukkan lanjutan hadis yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad satu kitab ataupun sanad dari beberapa kitab. Ibid., h. 63.

14

Yang dimaksud dengan Az-Zawa’id adalah karya yang berisi kumpulan hadis-hadis tambahan terhadap hadis yang ada pada sebahagian kitab-kitab yang lain. Ibid., h. 65.

(4)

4

wilayah dan di antara mereka telah banyak yang meninggal dunia. Maka terasalah betapa pentingnya sunnah itu dibukukan dalam suatu bentuk “Dewan Hadis”. Prakarsa yang menggerakkan untuk meneliti dan mengkompilasikan hadis yaitu di bawah Khalifah Umar bin Abdul Aziz tahun 99 H-101 H.15

Telah di ketahui dengan jelas apa yang telah dilaksanakan oleh para sahabat dan tabi‟in mengenai pengumpulan hadis yaitu dengan melawat ke berbagai kota untuk mencari hadis, menolak hadis yang maudhu‟ dan melepaskan hadis-hadis tersebut dari tangan kaum perusak, baik golongan persia, romawi, yahudi dan lain-lain. Dan telah diketahui pula, bahwasanya para sahabat dan tabi‟in membendaharakan hadis Rasulullah di dalam hafalan mereka yang kuat. Mereka tidak memerlukan tulisan-tulisan hadis. Jika ada para sahabat yang menulis hadis, maka hal tersebut mereka lakukan bukanlah karena lemahnya hafalan mereka, melainkan untuk menambah kokohnya ingatan dan hafalan mereka.16

Oleh karena itu terdapat beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk menyelamatkan hadis, antara lain:17

1. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan hadis seperti waktu yang sudah-sudah, kerena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadis dari perbendaraan masyarakat, disebabkan belum didewankan dalam hadis. 2. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara hadis dari

hadis-hadis maudhu‟ yang membuat orang-orang untuk mempertahankan ediologi golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

3. Alasan tidak terdewankannya hadis secara resmi di zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, kerena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al Qur‟an telah hilang, disebabkan al qur‟an telah dikumpulkan

15

Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi Saw Sebagai Sumber-Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 70.

16

Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 69.

17

Abd. Wahid, Epistemologi Ilmu Hadis, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2012), h. 78. Lihat juga, Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi Saw Sebagai Sumber-Sumber Hukum Islam, h. 70-71.

(5)

5

dalam satu mushaf dan sudah merata keseluruh pelosok. Ia telah dihafal diotak dan diserapkan ke dalam hati sanubari beribu-ribu orang

4. Kalau zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah terbayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian pula perang saudara antara orang muslim yang sekian hari semakin menjadi-jadi yang sekaligus berakibat berkurang jumlah ulama hadis, maka pada saat itu konprontasi tersebut benar-benar terjadi.

C. Mengapa Timbul Dugaan Hadis Di Tulis Pada Abad Ke 2 Hijriah?

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa usaha pembukuan hadis dimulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah), melalui intruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghapalnya.18 Seruan khalifah ini disambut positif oleh gubernur yang berkuasa pada saat itu dan membuahkan hasil dengan tampilnya dua pelopor kodifikator, yaitu Muhammad Ibn Hazm (w.117 H) dan Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (w.124 H). Ulama menetapkan al-Zuhri sebagai penyusun kitab hadis pertama. Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama mengenai siapa yang menjadi tokoh utama dalam menyusun kitab hadis di antara mereka.19

Namun Rasyid Ridha berpendapat, boleh jadi orang yang pertama menulis hadis di kalangan tabi‟in abad pertama hijriah dalam bentuk koleksi adalah Khalid bin Mi‟dan al-Himshi (w.103 atau 104 H). Konon, ia sempat bertemu dengan tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat. Sungguhpun demikian, Ridha mengakui bahwa pendapat yang masyhur adalah bahwa orang yang pertama membukukan hadis adalah Ibn Syihab al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul Aziz.20

18

Muhammad Zaini, Metode Pemahaman Hadis…, h. 26.

19

Ibid., h. 27.

20

Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis & Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), h. 55.

(6)

6

Munculnya kitab-kitab al-Mushannaf, menggambarkan bahwa gerakan pembukuan hadis mendapat sambutan hangat dari para ulama. Di antara sekian banyak kitab hadis yang ditulis, hanya kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik yang sampai kepada kita sekarang. Sementara, Muwattha’ ditulis oleh Imam Malik pada pertengahan abad kedua. Karena kitab tertua yang sampai kepada kita itu produk abad ke-2, maka tidak heran kalau timbul kesan bahwa kitab hadis dibukukan pada abad ke-2.21

Menurut al-Khathib, ia berpendapat bahwa ada kemungkinan hadis secara resmi dibukukan pada masa Abd al-Aziz ibn Marwan, Gubernur mesir (65-85 H). Menurut keterangan dari al-Laits bin Sa‟ad, Abd al-Aziz bin Marwan menyuruh katsir bin Murrah, seorang tabi‟in yang sempat berjumpa dengan tujuh puluhan “sahabat Badr” di Hims untuk menulis hadis-hadis Nabi, kecuali riwayat Abu Hurairah, karena hadis ini sudah ada padanya.22

Memang pengalaman sejarah yang menunjukkan bahwa setiap gagasan tidak luput dari kritik dan tanggapan. Sebaik apapun bentuk sebuah gagasan selalu ada orang yang mengkritiknya, dan sebaliknya, sejelek apa pun bentuknya akan ada saja yang mendukung atau bersimpati kepadanya. Gagasan besar seperti kodifikasi resmi yang dilakukan oleh Khalifah tentunya tidak luput dari pengalaman yang demikian.23

Di antara kritik yang menyangkut dengan kodifikasi resmi yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah anggapan bahwa penulisan hadis baru ada pada abad ke-2 Hijriah, dan penulisan hadis yang dilakukan Az-Zuhri hanyalah atas dasar eksploitasi penguasa Bani Umayyah untuk tujuan politik. Ahmad Amin misalnya meragukan terlaksananya penulisan hadis oleh Ibn Hazm atau Az-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul Aziz. Keraguannya timbul karena

21 Ibid., h. 57. 22 Ibid., h. 56. 23

(7)

7

masa pemerintahan Umar begitu singkat dan kodifikasi itu tidak sampai kepada kita.24

Orientalis seperti Goldziher menurunkan satu pasal khusus tentang penulisan hadis-hadis dalam pembahasannya Muhammedanische, yang jilid keduanya diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan bahwa pencatatan hadis dilakukan pada permulaan abad kedua hijriah.25 Sejalan dengan Goldziher, Schacht dan Sprenger menyimpulkan bahwa hadis-hadis Nabi sama sekali tidak ada hingga sekitar pertengahan abad ke-2 Hijriah.26

Masih pada periode abad kedua hijriah, para ulama meningkatkan perhatian sebagai kelanjutan penulisan hadis di berbagai wilayah seperti: Ibn Juraij (w.150 H) di Makkah, Malik bin Anas (w.179 H) di Madinah, Hammad bin Salamah (w.167 H) di bashrah, Sufyan al-Tsauri (w.161 H) di Kufah, Ma‟mar bin Rasyid (w.158 H) di Yaman, Auza‟I (w.157 H) di Syam, Abdullah bin al-Mubarak (w.181 H) di Khurasan, Jarir bin Abd al-Hamid (w.188) di Ray, dan lain-lain.27

Sebagai hasil dari usaha para ulama abad kedua hijriah dalam mengumpulkan hadis adalah dalam bentuk kitab-kitab hadis. Di antara kitab-kitab hadis abad kedua yang terkenal antara lain: Kitab Muwaththa’ karya Imam Malik,

Musnad al-Syafi’iy karya Imam syafi‟iy dan kitab Mukhtalif al-Hadis juga karya

imam Syafi‟iy.28

D. Tuduhan Yang Dilontarkan Kepada Imam Syihabuddin Al Zuhri

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Abdillah ibn Syihab ibn Abdillah ibn Harist ibn Zahrah ibn Kilab ibn Marrah Al Quraisy Al Zuhri. Ia termasuk seorang imam dan ulama Hijaz dan Syam. Ia

24

Ibid.

25

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 40.

26

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 112. Lihat juga bukunya Subhi As-Shalih, h. 40.

27

Abd. Wahid, Epistemologi Ilmu Hadis, h. 79.

28

(8)

8

menerima riwayat dari Abullah ibn Umar bin Khattab, Abdullah ibn Jakfar, Rubaiah ibn Ubad, Al Munawar ibn Makhramah, Abd Al Rahman ibn Azhar, dan masih banyak lagi yang lainnya. Al Bukhari mengatakan bahwa Ibn Syihab Az Zuhri memiliki hadits mencapai 2000 hadits.

Seperti yang sudah penulis paparkan di atas bahwa, Para orientalis terutama seorang Yahudi bernama Goldziher berpendapat bahwa As-Sunnah belum dibukukan, kecuali setelah terjadinya perselisihan antara pengikut Umayyah dengan musuh mereka dari ahlul bait dan pengikut Zubair secara bersamaan. Setiap kelompok membuat hadis untuk memperkuat pendapatnya, dan tidak menjadi hujjah bagi lawannya. Dan pengikut Umayyah dengan kecerdikannya mereka memanfaatkan Imam Az-Zuhri untuk hal itu. Dan tidak hanya terbatas pada pemalsuan hadis-hadis politik bahkan melampaui sampai kepada masalah-masalah ibadah.29

Goldziher tidak menuduh Ibn Syihab Az-Zuhri bekerja sama dengan Bani Umayyah dalam memalsukan hadis kerena motif kejahatan, melainkan atas alasan-alasan stabilitas negara, kendati terkadang ia meragukan hal seperti itu, tapi ia tidak dapat mengelakkan lingkungan resmi yang menekan secara tak menentu.30

Goldziher juga beranggapan Az Zuhri penulis pertama tentang hadits atau hadits-hadits tersebut lebih berasal dari dirinya ketimbang dari generasi sebelumnya. Asumsi ini cukup beralasan, jika tesis ini benar maka mayoritas hadits akan runtuh dengan sendirinya, melihat posisi Az Zuhri sebagi poros ulama pada masanya dan pemegang otoritas tertinggi sebagai perawi hadits. Di sisi lain, Az Zuhri dituduh telah diperalat oleh khalifah. Anggapan di atas tidak cukup beralasan kerena latar belakang Az Zuhri tidak dipakai sebagai pertimbangan bahkan diabaikan sama sekali. Latar belakang Az-Zuhri, dengan kemampuan hafalan yang luar biasa, dia telah menghafalkan Al Qur‟an dalam waktu 80 malam, juga terdapat hadits (hafalannya) yang telah teruji oleh ulama lainnya.31

Bantahan hal tersebut telah disampaikan oleh para peneliti Islam, di antaranya Musthafa As-Siba‟I dan Dr. Yusuf al-„Isy. Bahwa itu adalah bohong

29

Syaikh Manna‟ Al-Qaththa, Pengantar Studi…, h. 38.

30

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 113.

31

(9)

9

dan dusta kepada para khalifah dinasti Umayyah, dan kepada para ulama Islam secara menyeluruh, bertentangan dengan kenyataan yang menjelaskan tentang mereka. Disebutkan oleh Ibnu Sa‟ad dan para ahli sejarah lainnya, ia (Az-Zuhri) adalah ahli ibadah dan takwa sejak masa kecilnya, sehingga orang-orang menjulukinya sebagai “merpati masjid” dan Az-Zuhri beserta sahabatnya dari para ulama, tidak pernah menjadi permainan di tangan seorang penguasa, bahkan mereka dikenal dengan ketakwaan dan izzah mereka dengan Islam.32

Para ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil sepakat bahwa Az-Zuhri adalah seorang yang tsiqah, amanah, dan mempunyai kedudukan yang agung dalam hadis. Sedangkan anggapan Goldziher tentang adanya hubungan dengan Bani Umayyah dan pemanfaatan dirinya dalam pemalsuan hadis demi mengikuti hawa nafsu mereka, hanyalah merupakan tuduhan yang mengada-ada, yang tidak pantas bagi seorang Az-Zuhri dengan segala sikap amanah dan ketakwaannya.33

Penutup

Dari kajian di atas ada beberapa hal yang perlu digarihbawahi. Pertama, Pembukuan pertama kali di lakukan pada masa Umar Bin Abdul Aziz, dikarenakan ada beberapa faktor yang mendorongnya untuk membukukannya yaitu: Banyak para penghafal hadis yang suah wafat, kemauan yang keras untuk memelihara hadis, karena al Quran sudah di mushafkan, dan yang terakhir karena khawatir para penghafal hadis akan lenyap. Kedua, Sebagai buah dari kegiatan ilmiah dan penulisan hadits, muncullah buku-buku hadits susunan para ulama dari abad ke 2 H. kitab-kitab itu muncul dalam waktu yang berdekatan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Ketiga, adanya tuduhan dari orientalis terhadap Ibn Shihab Az zuhri yang meragukan keaslian hadis dikarenakan ia berdusta.

32

Syaikh Manna‟ Al-Qaththa, Pengantar Studi…, h. 38-39.

33

(10)

10

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Wahid, Epistemologi Ilmu Hadis, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2012. Al Faith Suryadilaga, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Teras, 2010.

Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah Perkembangan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Muhammad Zaini, Metode Pemahaman Hadis Dari Masa Ke Masa, Banda Aceh: Naskah Aceh dan Ar-Rabiry Press, 2013.

Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis & Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011.

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Syaikh Manna‟ Al Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Al

Kautsar, 2005.

Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi Saw Sebagai Sumber-Sumber Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995.

Referensi

Dokumen terkait

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, atas limpahan rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktifitas antibakteri isolat bakteri endofit yang diisolasi dari daun Binahong ( Anredera cordifolia (Ten.)) dan melakukan

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah yang penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penelitian ilmiah dan menyusun tesis

Sistem Manajemen Database (DBMS) merupakan software yang banyak digunakan untuk mengolah data, dari pendefinisian database, pengolahan data, perawatan data, sampai dengan

Berdasarkan aspek struktur graf, label relasi antarkonsep dari knowledge graph tidak mengenal makna kata karena mengacu pada delapan binary relationship, sedangkan

Ijtihad kolektif merupakan cara yang sering dilakukan oleh sahabat, ketika akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya (nas al-Qur‟an dan

Yang menjadi factor penghambat Partisipasi politik masyarakat dalam pilgub tahun 2015 di Desa Koha Selatan Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa terdiri dari beberapa