• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pornografi Dalam Ekspresi Dan Apresiasi Seni Rupa (Tinjauan Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pornografi Dalam Ekspresi Dan Apresiasi Seni Rupa (Tinjauan Ontologis, Epistemologis Dan Aksiologis)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

P

ORNOGRAFI DALAM EKSPRESI DAN

A

PRESIASI SENI RUPA

(

TINJAUAN ONTOLOGIS

,

EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS

)

Zulkifli

Fakultas Baha s a dan S eni Unibersitas Negeri Medan

A

BSTRAK

Dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa, pornografi berkembang sejalan dengan kebebasan senimannya. Secara epistemologis pornografi sudah ada semenjak seni rupa prasejah atau primitif, sampai perkembangan seni rupa kontemporer di era postmodern sekarang ini. Dalam realitas sosial dan budaya beberapa kelompok masyarakat di Indonesia, kehidupan yang bernuansa pornografi juga berkembang dan dipertahankan. Oleh sebab itu sulit untuk mengeneralisasikan pornografi dalam pemahaman yang terbatas, karena banyak variabel yang mesti dipertimbangkan, apalagi untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, permasalahan ini harus dilihat secara holistik dan proporsional. Dalam aktivitas kesenirupaan, keselarasan antara kebebasan estetika dengan tanggung jawab moral dan etika harus tetap dijaga.

Kata Kunci: Pornografi, Ekspresi Seni Rupa, Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis

P

ENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Pornografi tahun 2008, pornografi ad alah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pes an lain nya melalui berbagai bentuk media komunika si dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesus ilaan dalam ma syarakat1. Definisi dari rumus an Undang-Undang ini ditanggapi secara

debatable oleh masyarakat. Karena apa yang disebut sebagai pornografi masih bersifat debatable, sangat terbuka untuk dibaha s dalam berbagai pers pektif

keilmuan, khususnya budaya (dalam pengertian etika dan moral),

menyebabkan pernyataan undang-undang ini tidak mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Banyak resistensi muncul sem enjak rancangan undang -undang diwacanakan sampai akhirnya di-undangkan. Kons e kuensi dari kelahiran undang-undang ini sem akin nyata ketika diterapkan, digunakan s eb agai das ar untuk menyatakan suatu aktivita s ma syarakat dinilai sud ah bersifat pornografi dan dianggap melanggar undang-undang, misalnya menganulir karya seni rupa yang akan dipamerkan pada suatu ajang pam eran, at au membatalkan rencana pam eran atau pertunjukan panggung kes enian.

Tidak mudah untuk m engkategorisa sikan aktivitas ma syarakat dalam pem aham an pornografi atau pornoaksi, sulit menggeneralisasikannya, karen a berkaitan dengan perbeda an nilai-nilai; agama, budaya, etika dan adat serta kebias a an ma syarakat. S etiap suku bangs a di Indone sia memiliki perbeda an dalam menanggapi dan mem ahami bagian-bagian tubuh manusia yang

1

(2)

menjadi sumber hasrat, hawa nafsu dan sumber tafsir pornografi. P ad a ma syarakat Bali misalnya, telanjang dada dianggap tidak ada ma s alah, karen a dari dulu perempuan Bali sudah terbias a hanya menutup bagian bawah dada. P erempuan Bali, terutam a ma syarakat tradisinya tidak akan sungkan memperlihatkan bagian dadanya, dan kaum laki-lakinya juga tidak risih melihat perempuan lawan jenisnya telanjang dada. Kondisi seperti ini juga berlansu ng dalam ritual-ritual agama dan budaya ma syarakatnya. Lebih jauh lagi bisa kita lihat pada masyarakat tradisional P apua, yang hanya menutupi sedikit bagian yang sangat vital. Laki-lakinya hanya menggunakan koteka, dan perempuan menggunakan penutup seb atas pinggang. Contoh lain dalam kehidupan ma syarakat dari berbagai suku dan adat tradisional sangat banyak, dengan

NHEHUDJDP DQ EHQWXN GDQ NDGDU ³SRUQRJUDIL´Q\D 'HQJDQ GHPLNLDQ karen a

realitasnya ada dalam kehidupan s ehari-hari beberapa kelompok ma syarakat, tentunya sulit untuk mengen eralisa sikan nya s eb agai pornografi.

Di sisi lain, se andainya tempat dan situasi yang jadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan pornografi dengan yang bukan pornografi, berkaitan dengan memperlihatlan bagian tubuh sensual se s eor ang, juga menimbulkan banyak persoalan. S ecara umum masyarakat mem ah ami bagian tubuh yang menimbulkan rangs angan s eksual hanya boleh dibuka di ruang pribadi atau di tempat yang hanya ada kawan s ejenis. Namun dalam kenyata annya banyak tempat-tempat yang dilegalkan dan sudah dianggap bias a bagi ma syarakat dan khalayak umum untuk membuka dan memperlihatkan sebagian bes ar dari bagian tubuh, misalnya di kolam renang umum, atau pada kegiatan olah raga. P akaian perenang, pes en am, binaragawan, dan hampir semua cab a ng oleh raga memperlihatkan bentuk tubuh dan bagian terbuka dari tubuh orangnya. Dalam olah raga pada prinsipnya s em akin minim pakaian atlitnya s em akin memberi keleluas a a n dan kelincahan untuk bergerak, dan sem akin menguntungkan untuk berkompetisi, walaupun ditampilkan di depan umum. Dengan demikian tempat umumpun sudah bias a m enampilkan nuan s a

³SRUQRJUDIL´ .HWHUEXND DQ ORNDVL GDQ VXD V DQD LQL VHP DNLQ EHED V NHWLND PHGLD

televisi dan internet mem a syarakat. Tayanga n TV dalam berbagai acara s eolah sudah dikem a s agar bisa mengekspos e bagian-bagian tubuh laki-laki dan perempuan untuk dilihat oleh s emua orang dari beragam usia.

Pornografi sem akin sulit dibatasi ketika kebeba s an yang berkaitan dengan memperlihatkan bagian tubuh ini diekplorasi sebagai bagian dari ekspresi kes enian. Ata s nam a kebeba s an berekspresi seniman ingin beb a s berkarya. Apa lagi kalau kita kaitkan pada perkembangan kes enian kontemporer dalam budaya posmodernisme. Seb agaimana dijelaskan; secara umum posmodernisme dalam seni rupa merupakan s ebu ah kons ep yang meragukan berbagai kepa stian yang diakui dalam masyarakat kes enian, dengan pengertian lain postmodernism e membuka berbagai kemungkinan yang s emula dianggap tidak masuk akal, mustahil atau tabu, dan merupakan pejuang keterbukaan yang radikal.2 Dalam keb eb a s an s eni rupa kontemporer-postmodern, menurut pem aham an di atas, keh adiran pornografi tidak menjadi ma s alah.

Lebih jauh, h ampir s emua cabang kes e nian bersinggungan dengan

³UDPEX-UDPEX´ \DQJ GLQ\DWDNDQ GDODP 8QGDQJ-Undang Pornografi. P ad a

2

Emmanuel Subangun, Syuga Derrida, Jejak Langkah Posmodernisme di Indonesia (Yogyakarta: CRI Alocita, 1994),80.

(3)

karya s a stra ma s a lalu sampai sekarang banyak syair-syair yang menuliskan kata-kata bermakna jenis kelamin, bagian-bagian vital tubuh laki-laki dan perempuan, ketelanjangan, serta pers etubuhan. P ada bebe rapa karya s a strawan, sep erti; Rendra, Subagio S a strowardoyo, Goenawan Moham ad, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi A.G. atau Ayu Utami, hal ini bisa kita temui3. Ungkapan yang bernua s an pornografi dalam sa stra berkaitan langsung dengan penguna an baha s a s ec ara prakmatis pada ma syarakat. Dalam pergaulan dan interaksi sehari-hari masyarakat, mengucapkan kata atau baha s a yang berkaitan dengan nuans a pornografi ini sudah menjadi bagian dari humor, untuk membuat sua s an a menjadi rileks dan tidak membos ankan. Malah tidak jarang pembicara dalam forum formal juga meng unakan nuan s a pornografi ini untuk membuat audiennya tidak bos an dan tidak mengantuk.

P ad a beb erapa lirik lagu dari semua jenis musik, dan pada penampilan at au pergelaran s eni tari tradisional sampai kontemporer ungkapa n pornografi sudah bias a kita ketahui. Banyak lirik lagu pop, dangdut, dan jenis lainnya,

terutam a yang menggambarkan romatism e dalam kes en a ngan dan

kegembiraan menggunakan kata-kata berkonotasi ketelanjangan dan

persetubuhan. P en a mpilan tari, terutam a tari kontemporer dan tari yang ditampilkan untuk acara hiburan malam ada yang pena rinya tanp a menggunakan bus an a , alias bugil. Teater tradisional, atau pertunjukan lawak juga menggunakan hal-hal yang bersifat pornogarafi sebagai daya tariknya, misalnya bisa dilihat pada lawakan grup Srimulat. Dalam hal ini, artinya pornografi dan pornoaksi merupakan bagian dari konsep berkes enian yang sudah diakui adanya s em enjak dahulu, yang berkembang pada semua jenis dan ragam kes enian.

Khusus dalam ekspre si dan apresiasi seni rupa, mas alah pornografi memberikan warna pemaham an ters endiri. Dikaitkan dengan istilah pornografi s endiri, sebetulnya s a ngat identik dengan persoalan kes enirupa an, yaitu grafis at au grafika, yang di dalam arti kamus kurang lebih bermakna gambar. Dikaitkan dengan hakekat seni rupa sendiri yang bersifat abadi, diman a bentuk yang terungkap dalam s ebuah karya dari dulu sampai sekarang dapat diketahui untuk dipahami. S eni rupa tidak seperti seni yang lain, yang momennya bisa hilang ditelan waktu, kecuali ada rekam annya. S eni rupa yang apa bila disebut s eb agai pornografi, orang bisa menyimpan dan mengkoleksinya, mus eum bisa merawatnya, sehingga bagaimana visualisa si pornografi dalam seni rupa s em enjak pras ejarah sampai seni rupa kontemporer bisa dilihat sekarang.

P ad a karya s eni rupa primitif, terutam a dalam mengungkapkan karakter laki-laki dalam seni patung adalah melalui visualisasi alat kelaminnya. Makanya hampir semua seni patung primitif dari berbagai suku bangs a di Nus antara dan dunia memberi pene kanan pada penampilan alat kelaminnya, dibanding anggota tubuh lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, secara tersirat, sebagai simbol kesuburan ma s yarakat primitif menggunakan rujukan dari alat kelamin,

\DLWX ³OLQJJD´ VHE DJDL UHSUHV HQWDVL alat kelamin laki-ODNL GDQ ³\RQL´ VHEDJDL

repres entasi alat kelamin perempuan. Kelanjutan s etelah ma s a Primitif, pad a zam an Purba, perwujudan dari ekplorasi kons ep pornografi ini bisa dilihat pad a relief-relief candi, yang merupakan bagian dari perkembangan agam a Hindu dan Budha. Artinya, dalam hal ini secara religius eksplorasi kons e p pornografi

3

(4)

juga merupakan bagian dari ajaran aga ma tertentu, dan menganggap pornografi yang direpres entasikan melalui alat kelamin manusia dalam ketelanjangan m erupakan suatu perwujudan kesucian.

S eb agai perwujudan karya seni rupa religius, juga bisa dilihat pada langit-langit arsitektur Kapel Sistina di Vatikan, dimana Mae stro seni rupa dunia, Michelangelo melukiskan manusia-manusia telanjang dalam jumlah banyak. Michelangelo menyeles aikan lukisan ini selama empat tahun (1508 -1512) at a s perintah P aus Yulius II. Di tempat suci Kristiani ini, di tempat umat kristiani berdoa, Michelangelo melukiskan perempuan telanjang, memperlihatkan dad a dan pantat, serta laki-laki dengan palus yang tidak ditutupi. Walaupun dalam perjalanan waktu lukis an ini pernah diberi penutup, namun P a us Yohan e s P aulus II dalam proyek restorasi Kapel Sistina (1994) meminta agar lukisan tersebut tidak ditutupi. Ia mengatakan bahwa Kapel sec ara istimewa menjadi

³WHPSDW NXGXV EDJL WHRORJL WXEXK PDQXVLD´ 7XEXK WHlanjang manusia adalah

pintu masuk bagi manusia berdos a untuk bersentuhan dengan kekudus an Allah. Dengan melihat tubuh telanjang itu tiap manusia diundang untuk dibeba skan dari kebingunggannya akan arti tubuhnya.4

Dalam perkembangan seni rupa modern Indone sia banyak lukisan yang memperlihatkan ketelanjangan dibuat oleh para s eniman. Tentunya yang membuat atau malahirkan rans angan s ens ual sehingga bisa dikonotasikan dengan pornografi adalah lukisan yang bercorak realis. S alah satu pelukis realis legendaris Indone sia adalah Basuki Abdullah, yang karyanya juga disen angi presiden Soekarno, dimana s ebagian juga mengeksplorasi aspek s en sualitas dengan merepres entasikan ketelanjangan. Hal yang sam a juga berkembang pada pelukis-pelukis realis lainnya, baik yang berk embang sec ara otodidak, maupun yang berkembang di lingkungan akade mik. Karya maha siswa di lembaga akademik seperti Jurus an S eni Rupa ITB Bandung dan ISI Yogyakarta juga banyak yang mengeksplorasi estetika s ensu alitas ini.

Kalau kita am ati keberada an dan perkembangan pornografi dalam berbagai kes enian, dan s ecara khusus dalam seni rupa, tentunya bisa dipahami bahwa pornografi itu se su atu yang nyata adanya sem e njak dahulu s ampai sekarang, yang berkembang s eirama dengan tarikan nafas kehidupan ma syarakat, karena seni adalah cerminan dan repres enta si budaya ma syarakatnya. Namun di sisi lain kita melihat adanya beberapa kasus yang terjadi dalam dunia kes enirupa an, yang menjadikan karya s eni rupa bernuan s a pornografi sebagai ala s an perma s alahan moral, dan dianggap mere s ahkan ma syarakat. Misalnya dalam suatu pam eran seni rupa, ketika diturunkannya karya seni rupa instalasi Pink Swing P ark, karya Agus Suwage dan Davy Linggar dari arena CP Bienalle 2005 di Mus eum Bank Indone sia, dan juga diturunkan seb elum pam eran ber akhir karya fotografi figur Anjasm ara dan Isabel Yahya, yang seb etulnya relevansinya juga ada pada pose -pos e pad a lukisan-lukisan Kahlil Gibran yang menjadi ilustrasi kumpulan puisi sufistiknya yang sudah terkenal.5 S elanjutnya, bagaimana pornografi dalam ekpresi dan apresiasi seni rupa, kita lihat dalam pembaha s an ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

T

INJAUAN

O

NTOLOGIS 4 href=¶http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=ac22031e&cb=INSERT 5

(5)

Apa sebetulnya hakekat dari pornografi dalam ekspresi dan apresia si seni rupa dapat dibaha s berda s arkan pendekatan dan kerangka be rfikir dimensi filsafat ontologi. Dapat disebutkan bahwa ontologi merupakan s alah satu kajian filsafat yang paling kono, beras al dari Yunani, sebagaimana yang terungkap dalam pandangan filsuf Yunani kuno; Thales, Plato, dan Aristoteles. Studi-studi mereka membaha s keb erada an s e su atu yang bersifat kongkrit, yang pad a ma s anya kebanyakan orang belum membedakan antara penampa kan dengan kenyata an. Thales beranggapan bahwa s egala se su atu beras al dari substansi yang sam a, sehingga s e su atu tidak bisa dianggap berdiri sendiri.

,VWLODK RQWRORJLV EHUDV DO GDUL EDKD V D ,QJJULV ³RQWRORJ\´ PHVNLSXQ DNDU

katanya dari baha s a Yunani; on-ontos (ada -kebenaran) dan logos (studi, ilmu tentang). Beberapa pengertian das ar ontologi diantaranya; 1) ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri es ensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada s ecara khusu s. Dalam mempelajari yang ada dalam bentuknya yang abstrak, studi ini melontarkan

SHUWDQ\D DQ VHSHUWL ³DSD LWX ³DGD´ GDODP GLULQ\D VHQGLUL"´ 2) ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang fils afat yang menggeluti tata dan struktur realitas luas, dengan menggunakan kategori-kategori seperti ada at au menjadi, aktualitas atau potensialitas, es e nsi, keniscaya an das ar, bahkan

³\DQJ DGD´ VHEDJDL ³\DQJ DGD´ 2QWRORJL PHUXSDNDQ FDEDQJ ILOVDIDW \DQ DJ

PHQFRED PHOXNLVNDQ KDNHNDW ³DGD´ \DQJ WHUDNKLU 2QWRORJL MXJD

mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanya an,

DS D DUWL ´DGD´ GDQ ³EHUDGD´ 2QWRORJL ELV D MXJD Pengandung pengertian

s ebuah cabang filsafat yang menyelidiki status realitas dan jenis -jenis realitas su atu hal, menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas. Inti dari beberapa pengertian di atas adalah bahwa ontologi mengandung pengeUWLDQ ³SHQJHWDKXDQ WHQWDQJ \DQJ DGD´ 6 Oleh seb ab itu objek kajian ontologi adalah yang ada atau hakekat seluruh realitas.

Ontologi diidentifikasi s eb agai filsafat metafisika, yang disebut juga proto-filsafat atau proto-filsafat yang pertam a, karena mem ang studi tentang yang ad a pada dataran studi filsafat umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Dalam filsafat, pembaha s an ontologi menjadi yang utam a, yaitu membaha s realitas yang merupakan kenyata an yang bisa menjurus pada suatu kebenaran. Re alitas ontologis m elahirkan pertanya an-pertanya an; apakah se s ungguhnya hakekat realitas yang ad a ini?, apakah realita s yang tampak ini sesu atu realita materi saja? Adakah se su atu dibalik realita? Apakah realita ini terdiri dari satu bentuk unsur (monisme), dua unsur (dualis me) atau pluralisme?

Pokok perma s alahan yang menjadi objek kajian filsafat menyangkut tiga s egi, yaitu; 1) logika (ben ar - salah), 2) etika (baik - buruk), 3) estetika (indah - jelek). Ketiga cabang utam a filsafat ini dalam perkembangannya bertambah dengan; 1) hakekat keberada an zat, hakekat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang s emuanya terangkum dalam metafisika, 2) kajian mengen ai organisa si sosial, pemerintahan yang ideal yang terangkum dalam politik. Dari kelima cabang filsafat ini; logika, etika, estetika, metafisika dan politik kemudian berkembang lagi menjadi cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spe sifik yang disebut dengan filsafat ilmu7

6

Idzam Fautanu, Filasafat Ilmu, Teori dan Aplikasi (Jakarta: Referensi, 2012), 120.

7

(6)

Metafisika umum atau yang disebut ontologi dapat mendekati permas alahan hakekat realitas dari dua sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan apakah pernyataan itu tunggal atau jam ak? yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif, atau orang dapat juga mengajukan pertanya an (dalam babak terakhir) apakah yang merupakan jenis kenyata an itu? yang demikian itu merupakan pendekatan s ec ara kualitatif.

Berkaitan dengan bahwas anya estetika bagian dari objek kajian fils afat, gambaran pengalam an estetis manusia dapat dijelaskan seb agai berikut:

1. Sikap estetis bagaimana s eh arusnya? Supaya ada peng alam an es tetis pad a manusia, diperlukan su atu sikap estetis pad a s eniman dan sipengam at, yang dibedakan dengan sikap praktis, atau us aha untuk mem akainya demi s e su atu tujuan lebih lanjut, terlibat secara pribadi, sec ara menyeluruh tapi tanpa m encari pamrih.

2. P erhatian estetis diarahkan kem ana ? P erhatian tidak hanya pada objek fisik tapi juga objek fenomenal, namun dipahami bahwa objek fenomenal itu s ekaligus ditentukan bahkan diciptakan pada s a at pengalam an e st etis itu muncul, bertahan, dan berkembang.

3. Su atu klasifikasi pengalam an-pengalam an estetis. Karena titik pengalam an e st etetis terletak pada pengalam an indrawi, oleh seb ab itu untuk menggolongkan pengalam an estetis didas arkan pada perbeda an panc a indera manusia, sep erti penglihatan (visual arts) dan p endengaran (auditory art), dan indera lainnya.

4. Letaknya karya s eni dimana ? Sudah lama dibedakan bahwa karya s eni berupa karya seni terapan (useful art) dan karya seni murni (fine art), disinilah letaknya dan terjadinya s eni yang indah itu

5. Mengenai arti dan nilai dalam rangka pengalam an estetis. P ertanya annya ad alah apakah wajar dan mungkin menyelidiki arti dari produk dan pengalam an estetis sama dengan taraf kebenaran dan nilai mutu keb aikan? S ec ara empiris justru para s enirupawan enggan ditanya mengen ai arti suatu karya seni atau mengen ai nilai kesusilaan yang ada atau tidak ada dalam karyanya. Oleh sebab itu kecenderungan P engalam an estetis yang s e sungguhnya letaknya bagaikan di luar pengertian berda s arkan aza s -az a s kebenaran, dan diluar penilaian berda s arkan kebaikan yang dianut dalam dunia ilmu dan dunia ke su silaan ma sing-masing.

6. Hubungan antara pengalam an estetis dengan kebenaran dan kebaikan. Dalam filsafat manusia dijelaskan bahwa tindakan-tindakan manusia mengarah pada suatu tujuan. Dengan demikian sec ara singkat ada dua hal

\DQJ ³EHNHUMD VDP D´ GDODP WLQGDNDQ SHQJHPEDQJDQ GLUL PDQXVLD \DLWX

kebenaran (pengen alan) dan kebaikan (penghendakan), yang kedua -duanya terwujud pada taraf rohani dan jasm ani. Dari segi keben aran (pengenalan) terdapat pengetahuan akal budi (rohani) dan pengetahuan inderawi (jasm ani, panca indera), dan dari segi kebaikan (penghendakan) dapat pengarahan kehendak (rohani) dan pengarahan nafsu (jasm ani). Agar suatu kesinambungan pengalam an estetis dapat dicapai perlu kiranya menjau hi s egala sikap mencari untung, mencari hasil, mengejar suatu tujuan.

7. P engalam an estetis dan pengalam an religius. P ertanya annya adalah ap akah pengalam an e st etis manusia mirip atau bahkan sam a dengan pengalam an manusia mengenal yang religius? Dalam beberapa gejala menampakan kemiripan, yang membedakannya adalah dorongan at au

(7)

dinamism e yang termuat dalam pengalam an religius, yaitu kearah yang trens endence.8

Dimensi filsafat ontologis seb agaimana yang dipaparkan di atas akan dirujuk sebagai pertimbangan dan da s ar pemikiran dalam pembaha s a n ma s alah pornografi dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa. S ec ara etimologi, istilah pornografi beras al dari baha s a Yunani (SRUQRJUDSKLDísec a ra harafiah

tulisan tentang atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn", atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku s eksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem/vulgar dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari kons ep-kons ep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacau an pem aham an di kalangan ma syarakat umum. Pornografi dapat menggunakan berbagai media; teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (terma suk animasi), dan suara s ep erti misalnya suara orang yang bernapa s ters engal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau su ara-suara erotik lainnya, sem entara majalah s eringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi.9

S e su ai dengan topik makalah ini permas alahan pornografi juga ad a dalam ekpresi dan apre siasi seni rupa. Keberad a annya dapat kita telusuri pad a s emua cabang kes enirupa an; seni lukis, se ni patung, seni kriya, s eni grafis, fotografi, dan cabang lainnya, dari seni rupa zam an primitif sa mpa i sekarang. Keberada annya juga dap at kita pahami dari perm a s alahan yang muncul, ketika karya s eni rupa dihadapkan dengan aturan, norma, dan hukum yang memiliki otoritas terhadap pornografi. Berda s arkan dimensi filsafat ontologi, pornografi dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa dianggap sudah lazim, se su ai dengan tuntutan kebeb a s an berimajinasi, berfantasi dan berekspresi senimannya. Jim Supangkat kurang-lebih mengatakan; karya s eni rupa yang bernuan s a pornografi, yang menampilkan ketelanjangan, kalau dilihat dari eksplorasi kes enian sudah menjadi konvensi yang lanjut di dalam seni rupa. Artinya bahwa tubuh di dalam artian laki maupun perempuan, itu dilihat seb agai menampilkan vitalitas. Vitalitas itu artinya ad a kekuatan dari dalam yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan, sehingga tubuh yang terbuka, tubuh yang telanjang itu se ring ditampilkan dalam seni rupa, baik melalui lukisan maupun patung. Dalam pengertian bahwa, pada tubuh manusia itu terlihat misalnya, plastisitas tubuh yang s angat biomorfik dan tidak bisa dibandingkan dengan substansi lain. Di dalam seni rupa, kons ep ketelanjangan yang dikaitkan dengan vitalitas mem ang telah dis ep akati. Lain halnya di dalam fotografi, ada kemudian menimbulkan reaksi bila ketelanjangan itu ditampilkan melalui fotografi. Tradisi melukis menampilkan wanita telanjang mempunyai tradisi yang lebih dulu, walaupun fotografi sudah mulai motret telanjang sejak awal fotografi ditemukan. Maka dalam s eni lukis dan seni patung itu, ada jarak antara si pelihat dengan ketelanjangan dalam lukisan. Maksudnya, dia melihat dunia yang lain, artinya betapapun lukisan telanjang itu sa ngat mirip,

8

Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika (Filsafat Keindahan) (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1993), 6-23.

9

(8)

katakanlah sangat realistik, dan kemudian lukisan itu bahkan mengga mbarkan s e s eorang dengan jelas, orang tetap menganggap itu berjarak, dunia yang lain, artinya bukan bagian dari kenyata an. Di dalam fotografi, tidak ada jarak antara pelihat dan si foto itu, karena si foto itu dianggap bagian dari kenyataa an.10

Di dalam ke s enian s ebetulnya sudah hampir tidak ada bata s annya, s eb ab orang kemudian juga bisa mempersoalkan s eks dalam karya, betul-betul sek yang dipersoalkan, dan itu suatu hal yang positif. Jangankan di Eropa at au Amerika, di Jepang banyak seniman-seniman bes ar, dimana konsep da s arnya ad alah mengeksploitasi sek. sek mengandung banyak friksi dalam kehidupan manusia. Apakah ini reproduksi, apakah ini seb etulnya spirit, apakah itu vitality, at au apakah itu pornografi, itu persoalan yang sangat kaya. Dan ketika itu ditampilkan ke masya rakat melalui sebuah karya seni, hal itu mengandung s ebuah perenungan yang s angat kaya. J adi kalau di dalam kes enian, hal-hal s em ac am itu (terma suk di dalam seni rupa), tidak ada batas annya. Oleh seb ab itu menurut Jim Supangkat, karena pornografi sudah menjadi kelaziman dalam ekpresi dan apresiasi seni rupa, makanya dianggap persoalan pornografi menjadi tidak ada dalam s eni rupa.11

S eb agaimana pokok permas alahan yang menjadi objek kajian filsafat, yang menyangkut segi; logika (benar-salah), etika (baik-buruk), dan e stetika (indah-jelek), tentunya persoalan seni rupa cenderung masuk dalam tataran permas alahan estetika, utam anya dalam pros e s penciptaan dan dalam pros e s penikmatannya atau prose s pengapresiasiannya. Namun ketika karya seni dipublikasikan sehingga menjadi komsumsi umum tentunya akan berhadap an dengan pertimbangan etika. Mengingat ukuran dan takaran, se rta pers epsi mayarakat tidaklah sama mengen ai hal-hal yang berbau erotis dan pornografi, tentunya karya seni rupa yang berpotensi dipah ami sebagai yang mengandung

pornografi harus dipertimbangkan tempat dan waktu penampilannya

berda s arkan asp ek etika ini. Kearifan dalam menentukan dan menempatkan ap akah karya s eni rupa yang berbau pornografi sudah mem enuhi pertimbangan etika, s ehingga bisa menjaga pera s a an masyarakat dan

kolompok yang tidak sep ah am, sec ara tidak langsung juga telah

mempertimbangkan a sp ek logika dalam hakekat keben aran seni rupa

³SRUQRJUDIL´

T

INJAUAN

E

PISTEMOLOGIS

Berkaitan dengan as al mula dan bagaimana informasi pengetahuan yang benar dari perkembangan pornografi dalam ekspresi dan apre siasi seni, khususnya s eni rupa, akan dibaha s berda s a rkan dimensi filsafat epistemologi. Dapat disebutkan bahwa epitemologis merupakan cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan, yang mencoba menjawab pertanya an menda s ar; ap a yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang s alah. P ertanya an-pertanya an ini secara praksis ditranslasikan ke dalam ma s alah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya bagaimana mengembangkan s ebu ah teori atau model yang lebih baik dari teori yang lain. S ejalan dengan ini s eb agai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epismologis di fokuskan pad a 10 http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com/2013/05/pornografi-itu-tidak-ada-dalam-seni-rupa.html. 11 http://advertisingfashionfurniture.

(9)

kajian tentang bagaiman a cara ilmu pengetahuan memperoleh keben arannya, at au bagaimana cara mendap atkan pengetahuan yang benar, atau bagaiman a

V HRUDQJ LWX WDKX DSD \DQJ PHUHND NHWDKXL 'HQJDQ GHPLNLDQ NDWD WDQ\D ³KRZ´

menjadi kata kunci dalam upaya men emukan raha sia dibalik kemunculan kons ep-kons ep teoritis. 12

S ec ara epistemologis dapat dijelaskan bahw a pornografi dan pornoaksi mempunyai sejarah yang panjang. Misalnya pornografi dalam karya s eni yang s ec ara seksual bersifat suge stif dan eksplisit sam a tuanya dengan karya s eni yang menampilkan gambar-gambar yang lainnya. Teknologi gambar berupa foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya media fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang maupun gambaran lainnya yang s e cara s eksual bersifat eksplisit.

Awal mulanya sejarah pornografi dan pornoaksi ini adalah dari keberada an s eorang perempuan cantik jelita yang hidup di Negara Yunani, yaitu sekitar abad ke-empat seb elum Masehi, yang bernam a Phyerne, dari

Thespie. Ia seorang hitaerai yaitu perempuan yang hidupnya hanya untuk bersenang-s en ang dengan laki-laki. Hitearai berbeda dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang digunakan dan dibayar setiap hari, dan berbeda pula dengan istri yang dipercayakan untuk mem elihara rumah tangga dan keturunan yang baik.13

Su atu ketika Pheyrne pernah dituduh sebagai sipenggoda para jejaka

Athena. Ketika hendak menjatuhkan hukum an terhadap Phryne, pembela

Phryne yang bernam a Hyperdes mengajukan pembelaan dengan cara meminta

Phryne berdiri di suatu tempat di depan sidang dengan posisi yang dapat dilihat oleh semua hadirin. Phryne melepa skan pakaiannya s atu pers atu hingga tubuh indahnya tampak oleh hakim dan s eluruh yang hadir, dan has ilnya Phryne

dibeba skan dari tuduhan dan hukuman.

P ertunjukan Phryne itulah kemudian merupakan awal dari adegan

pornografi yang kemudian berkembang menjadi striptease show, yang kita kenal s ampai sekarang. Dalam pengertiannya, strip-tease adalah yang dilakukan s ec ara langsung atau tanpa melalui media komunikasi, atau disebut sebagai

pornoaksi. S em entara itu jika strip-tease ditampilkan melalui media dikategorikan s eb agai pornografi.14

Strip-tease show yang dilakukan oleh seorang Hetaerai tersebut tidak berkaitan dengan porne yang berarti pelacur. Namun pada perkembangan s elanjutnya seperti yang terdapat dalam Kamus Baha s a Indone sia kata porne

yang beras al dari kata porne yang berarti cabul.15 S edangkan kata pornografi menurut kamus terse but adalah penggambaran tingkah laku sec ara erotis dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi, sedangkan kata strip-tease

menurut Kamus Bes ar Baha s a Indone sia adalah pertunjukan tarian yang dilakukan oleh perempuan dengan gerakan antara lain dengan menanggalkan pakaiannya satu persatu di hadap an penonton, atau dapat juga berarti tarian telanjang.16 Meskipun rumus an strip-tease ters ebut tidak disertakan tujuan untuk merangs ang nafsu birahi sep erti halnya dengan rumus an pornografi, namun akibat dari stip-tease ini juga s am a-sam a dap at membangkitkan nafsu

12

Idzam Fautanu, 156.

13

Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi (Jakarta: Dewan Pers 1987), 10-11.

14

Baca Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi (Jakarta: Dewan Pers 1987).

15

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 696.

16

(10)

birahi. Berda s arkan pengertian di atas s eben arnya akibat dari striptease dan pornografi sebenarnya tidak berbed a, baik yang ditampilkan secara langsung at au melalui media komunikasi, yaitu sam a-s am a membangkitkan nafsu birahi bagi orang yang melihat atau menontonnya.17

Pornografi dan pornoaksi dapat kita tinjau dari beberapa perspektif; pertam a perspektif social cultural, bahwa ketika membaha s mengenai pornografi maka yang harus diperhatikan adalah mas alah perbeda an sosio budaya, kurun waktu dan tahapan kedewa s a an etis dari orang -orang s ec ara individual dan s eluruh masyarakat. S em entara itu dalam realitasnya terjadi perbeda an yang s angat mencolok antara belah an Barat dan Timur. P erbed a an yang mencolok antara Barat dan Timur dari segi kehidupan sosial, adalah Barat khususnya Benua Eropa mengalami kem ajuan yang s anga t menonjol. S em entara Timur mas yarakatnya identik den gan mem egang teguh tradisi, adat istiadat, dan kultur masing-ma sing, terutam a yang diwarisi dari para leluhurnya. P erspektif ke dua adalah penilaian yang lebih menyoroti pada a sp ek etika. Untuk itu perlu adanya kriteria mengen ai indah, kriteria baik yang lebih mencakup pada ma s alah etis walaupun tekanannya bisa berbeda. Dalam ilmu pengetahuan tekanannya adalah pada a s pek keben aran, dalam arti seni tekanannya pada arti yang indah atau e st etik, dan dalam a sp ek etis tekanannya adalah pad a yang baik. P enilaian yang bijaksana mengen ai ma s alah s eksualitas, kriteria benar dan indah harus diikutsertakan s eb agai landa s an da s ar untuk mencapai suatu penilaian yang bijaksan a. P engalam an manusia dan keben aran agam a, ilmu penget ahuan dapat sangat membantu manusia dalam membuat penilaian etis yang bertanggung-jawab tanpa terjebak membuat larangan-larangan moral yang irrasional.

Dalam kriteria pornografi dan pornoaksi ada keterkaitan denga n teori yang dikemukakan oleh Talcott Person melalui konsep sibernetik, bahwa ad a keterkaitan system budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organis.18 Dengan demikian perubah an pada nilai atau sistem budaya akan berakibat pada perubah an sistem sosial, yang pada akhirnya juga sistem kepribadian dan organism e aksi masyarakat. Melihat perge s eran ters ebut terjadi perbeda an yang sangat signifikan antara ma syarakat Barat dan ma syarakat Timur dalam mem andang kons ep s eks dan pornografi dan pornoaksi.

P ad a sisi lain, berdas arkan tingkatan eksistensi dan pengaruh yang ditimbulkannya sec ara umum pornografi dan pornoaksi dibedakan menjadi beberap a tingkatan, yaitu; pornografi dan pornoaksi normal, pornografi dan pornoaksi bias a dan pornografi dan pornoaksi keras sadistis.19 Sec ara garis be s ar perbeda an tersebut lebih mengacu pad a pengaruh yan g diakibatakan tiga katogari pornografi tersebut. Pornografi dan pornoaksi kera s dapat merangs ang orang bersangkutan untuk s ampai melampiaskan dorongan s eksualnya s ecara brutal kepada orang lain. Pornografi dan pornoaksi ringan umumnya merujuk kepada bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, ad egan-adegan yang s ec ara suge stif bersifat seksual, atau menirukan adegan s eks, sem entara pornografi dan pornoaksi berat mengandung gambar-gambar alat kelamin dalam keada an terangs ang dan kegiatan seksual termasuk

17

Neng Dzubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, 140.

18

Burhan Bungin, Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa

19

(11)

penetrasi. Di dalam industri media hal ini dilakukan klasifikasi lebih jauh sec ara informal. P embeda an ini bisa jadi tidak berarti bagi banyak orang, namun definisi hukum yang tidak pasti dan standar yang berbeda -bed a menyebabkan produs er membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara dan trick yang berbeda-beda pula pula. Mereka pun terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam versi yang berbed a-beda kep ad a tim hukum mereka.20

P em aham an epistemologis dalam ekspresi dan apresiasi seni rup a s eb agaimana dipaparkan di atas dapat kita terima sebagai kenyata a n lahir dan berkembangnya suatu bidang ilmu dan wawas an s eni, atau lahirnya suatu karya s eni. S ebagai makluk yang paling sempurna, manusia diberi banyak kelebihan oleh Tuhan S ang P encipta, salah s atunya adalah potensi otak, yang menggerakkan nalar dan logika manusia, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. S ec ara epistemologis, sejauhmanapun ilmu dan wawas an a s eni bisa berkembang dan sejauhman a kem ahiran s eniman melahirkan karya seni yang agung, dianggap belum akan memberi efek negatif bagi manusia dan kemanusiaan, karena pem ah am an epistemologis dalam filsafat masih memungkinkan eksis dalam kebeba s an nilainya, kecuali kalau sudah disosialisasikan kepada m a syarakat penikmatnya. Namun ketika karya s eni yang sudah diketahui hakekatnya dan dipahami keberada a nya melalui filsafat ontologi dan epistemologi itu disosialisasikan dan diaplikasikan dalam ma syarakat dan lingkungan sosial, barulah banyak hal harus dipertimbangan, karena dalam sosialisa si dan aplikasinya ilmu seni dan karya s e ni, terma suk s eni postmodernism e tidak boleh beba s nilai.

T

INJAUAN

A

KSIOLOGIS

Aksiologis adalah as a s mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang sec ara epistemologis diperoleh dan dis usun. Aksiologi dipahami juga seb agai cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai, seperti etika, estetika, atau agam a. Aksiologis terdiri dari analisis tentang kepercaya an, keputus an, dan kons ep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori das ar aksiologi, yaitu; objektivisme dan subjektivisme. Keduanya beranjak dari pertanya an yang s am a; apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pad a pendapat manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertam a beraliran objektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subjektivis.21

S eorang ilmuan yang mengembangkan ilmunya haruslah memiliki tanggung jawab sosial. Ilmu merupakan ha sil karya pers eorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. S ekiranya ha sil karya itu mem enuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat ters ebut. Atau dengan perkata an lain, pe nciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan pengguna an ilmu adalah bersifat sosial. P eranan sosial inilah

20

Istibsjaroh, menimbang hukum pornografi, pornoaksi dan aborsi dalam perspektif islam

21

(12)

yang menonjol dalam kem ajuan ilmu dimana penemuan seorang ilmuan dapat merubah wajah perada ban, s eprti Neuton atau Thoma s Alfa Edisosn.22

Nilai keguna an ilmu dap at dilihat pada keguna an filsafat ilmu, untuk ap a filsafat ilmu itu digunakan, yaitu: 1) filsafat seb agai kumpulan teori yang digunakan mem ahami atau mere aksi dunia pemikiran; jika se sorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung su atu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudaya an atau sistem ekonomi, politik, maka s ebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. 2) filsafat seb agai pandangan hidup, diman a filasafat dalam posisi yang kedua ini, s emu a teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaks an akan dalam kehidupan. Filsafat ilmu seb agai pandangan hidup gunanya ialah untuk penunjuk dalam menjalani kehidupan. 3) Filsafat s eb agai metodologi dalam mem ec ahkan ma s alah yang kita hadapi di dalam hidup ini. Contoh; bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita kadang tersandung, maka batu itu bermas alah. Kehidupan bisa dijalani dengan enak bila ma s alah itu dapat dis eles aikan. Banyak alternatif untuk bisa menyeles aikan mas alah, mulai dari yang s ed erhan a s ampai yang rumit. Bila cara yang digunakan am at sed erhana m aka bias anya ma s alah tidak terseles aikan sec ara tuntas. P enyeles aian yang detail bias anya dap at mengungkap semua mas alah yang berkembang dalam kehidupan manusia.23

Aktivit a s s e ni rup a m eru p ak a n aktivita s individu al d a n s o si al. Ketika s e nim a n at a u p eru p a m er e n u n g, b erim ajin a si, d a n m e n d a p atk a n in s pir a si d a n k e m u dia n m ul ai m el akuk a n pro s e s b erk arya , d ala m h al ini d a p at di s e b ut b a hwa di a m el akuk a n aktivit a s individu al. Ke tika d al a m pro s e s ini s e nim a n n ya m e mikirka n d a n m e m b a y a n gk a n s e s u at u ya n g b erb a u p orno gr afi d a n k e m u di a n m e n u a n gk a n ny a k e d ala m k arya , a p al a gi pro s e s ini dilakuk a n ny a di d ala m st u dio, at a u b u k a n p a d a t e m p at ya n g t erb uka t e nt unya h al ini tid ak m e nj a di p er s o a lan. S a m a s e p e rti d al a m p e n g e m b a n g a n ilmu p e n g et a h u a n s ela m a tid ak b er s e nt u h a n d e n g a n ek si st e n si or a n g l ain t e nt unya tid ak a d a m a s al a h . N a m u n k etik a s e nim a n at a u p eru p a s e t el a h s el e s ai b erk arya , d a n k arya ny a si a p unt uk di s o si alis a sik a n, p ertimb a n g a n d a n p e mikir a n a k siologi s h aru s dim a s ukk a n. B erb e d a d e n g a n o nt ologi s d a n e pi st e m olo gi s, ak siologi s tid ak m u n g kin b e b a s nilai, m e n ging at o nt ologi s dipahami juga s eb agai cabang fils afat yang berkaitan dengan nilai, s eb agaimana halnya etika, estetika, atau agam a. P a d a h ak eka t ny a k ary a s e ni rup a a d al a h milik d ari s e nim a n at a u p er u p a n y a , d a n h al ini b erl aku k etik a k arya dibu a t, n a m u n k etika ka ry a s e ni rup a s e le s ai, d a n di s o si ali s a sik a n k e m a s y ar ak at, di a aka n m e nj a di milik ma s y ar ak at, d al a m p e n g e rti a n m a s y ar ak at b e b a s m e n g a p r e si a sinya b e r d a s a rk a n a p a ya n g t er u n gk a p p a d a k arya s e ni rup a dim ak s u d. Wa h a n a d a n m e di a s o si alis a si k a rya s e ni rup a ini ut a m a n y a a d al a h m el alui k e gi at a n p a m er a n. Ad a b e b e r a p a j e ni s p a m er a n, ya n g dib e d ak a n b e rd a s a rk a n; tip e p a m er a n, k ar akt er p a m er a n, t e m p o p a m er a n , d a n struktur lok a si p a m er a n.24 22 Jujun S. Suriasumantri, 237. 23 Idzam Fautanu, 204-205. 24

Mikke Susanto. Menimbang Ruang Menata Rupa (Wajah dan Tata Pameran Seni Rupa) (Yogyakarta: Galang Press. 2004)

(13)

Berd a s ark a n jeni s-je ni s p a m er a n s e b a g ai w ah a n a d a n m edi a m e n s o si alis a sik an k a rya s e ni rup a di at a s, t erk ait d e n g a n k arya s e ni rup a ya n g m e n g a n dun g p erm a s al ah a n pornogr afi tentunya d a p at m e nye s u aik annya. S etid aknya b erd a s arka n p etimb a n g a n t em p at, w aktu, lingkung a n (bud aya), d a n k eb er a g a m a n a pr e si ator, k arya s e ni rup a bi s a dip ertimb a n gk a n k etika m e n s o si alis a sik an nya. B erd a s ark a n p e rtimb a n g a n ak siologis, t em p at at a u lok a si p e m aj a ng a n k arya s e ni rup a ya n g b ernu a n s a porn ografi h e nd akl ah ya n g r el ev a n d e n g a n kar akt er a pr e si ator. Tid ak mungkin p em aj a n g a n karya at a u p a m er a n s e ni rup a ya n g b ernu a n s a pornogr afi di lingkung a n s ekol ah, at a u di lingkung a n p e s a ntr e n ya n g s ud a h diket a hui p aling a n ti d en g a n h al -h al ya ng b er sifat pornogr afi. Id e alnya a d al a h p a d a lingkung a n ya n g m ayorita s s et uju, d a n m e miliki ked ew a s a n a pr e si a si t erh a d a p k arya s e ni rup a ya n g m e m p erlih atk an k et e lanj ang a n b a gi an tubuh t ert entu. P a d a s u at u t em p at ya n g p erm a n e n s ekalipun h al ini m e stinya bi s a dijag a, misaln ya p a d a m u s e u m, g al eri s e n i, at a u art shop. Hal ini sud a h diwujudk a n ole h p e n g elola mu s e u m Antonio Blanco di Bali. S e b a gi an k arya Antonio Blanno ya n g b erb a u ponogr afi ditem p atkan p a d a ru a n g khu s u s, ya n g h a nya bol eh dilihat oleh p e n gunjung ya n g s ud a h d ew a s a . Situ a si ini m erup ak a n s e s u at u ya n g h aru s di apr e sia si, m e n ging at B ali s e b et ulnya a d al a h d a er a h ya n g tidak t erlalu m am p erm a s al a hk a n h al -h al ya n g b erb a u pornogr afi, dib a ndingk a n d a er a h lain di Indon e si a. P a d a h al di lu ar m u s e u m Antonio Ba lanco, di m a syar ak a t Bali m em p erlihatka n b a gi a n d a d a tid ak m e nj adi p er s o al an. B a gitu jug a d e n g a n b e b er a p a karya s e ni rup a c e n d er a m at a ya n g diju al di Bali jela s -jel a s m e mvisu alk an al at kel amin laki-laki, d a n dit aw ark a n ditem pat t erbuk a. Artinya a p a ya n g di t er a pk a n p a d a m u s e u m Antonio B al anc o a d al ah s e s u at u ya n g s a n g at m e m p erh atikan k e s elar a s a n a nt ar a fils af at e st etika d e n g a n etika .

Tanggun g jaw a b moral s e nim a n at a u p e rup a s e b a g ai or an g ya n g m e n cipt ak a n k arya, s a m a h alnya d e n g a n s e s e or a n g ya n g m el a hirkan ilmu p e n g et a h u a n, jug a bi s a diwujudk a n d ala m p ertimb a n g a n waktu, yaitu kap a n w aktu ya n g t ep at m e n gg el ar p a m er a n k arya s e ni rup a ya n g b ernu a n s a ³pornogr a fi´. W al aupun tid ak bi s a m e n gcl aim s e pih ak b a hw a s e ni rup a pornogr afi ad al ah tid ak su ci, d a n m e n g a n dun g dos a , n a m u n m e m a n g p erlu dip e rh atikan mom e n -m om e n ya ng m e nj adi p a nt a n g a n d al am a n gg a p a n m a s y ar ak at untuk tid ak m e n gun gk a pk a n h a l-h al yan g b er sifat pornogr afi da n porno ak si. Mis alnya d al am tiap -tiap a g a m a d a n keyakin a n m a syar akat a d a h ari at a u bul a n ya n g di angg a p s u c i, mis alnya R a m a d h a n b a gi um a t Islam, t entunya p a d a bul an ini kegi at a n p a m er a n s e ni rup a ya n g m e m a m erk a n pornogr afi m e stinya tid ak dilak s a n ak a n. H al ini m em a n g bis a diperd e b atk a n, s e b a g aim a n a fils af at ak siologi jug a m e m p ert a nyak a n a p ak a h k eb e n ar a n itu b erg a ntung p a d a p e nd a p at m a nu si a. N am un p ertimb a n g a n s ubj ektivita s d a n obj ektivita s tet a p h aru s m e n gkompromikannya untuk m el ahirkan s olu si ya n g t erb aik.

S el ain kondisi di at a s , kondi si lingkung a n jug a m e nj adi p ertimba n g a n ut a m a, d al am k ait a nnya d e n g a n aktivita s s o si alis a si karya s e ni rup a. Beb er a p a lingkung a n bud aya, a d at istia d at, a g a m a d a n ke p erc aya a n m a syar ak at tid ak bis a m e n erim a h al-h a l yang b erb a u pornogr afi d a n porno ak si. B et a p a p u n s e nim a n at a u or a ng ya n g m e m a h a mi s e ni rup a m e nj el a sk a n b a hw a s e ni rup a a d al a h s e ni, d an tid ak b erk aita n lang s u n g

(14)

d e n g a n m a s al a h etika d a n a g a m a, n a m un p a d a lingkunga n t ert e nt u p e nj el a s a n dim ak s u d m a sih su s a h dit erim a. Or a n g ya n g me n g erti s e ni d a n m e miliki apr e si a si ya n g b aik mungkin s aj a bis a m e n g at a kan b a hw a s e ni tid aklah s e p erti a p a ya n g k a s at m at a s aj a, t et a pi m e nyimp a n m akn a p a d a k e d al am a n p e m a h a m a n nya, at a u d e n g a n istilah lain a d a ya n g m e n g at ak a n s e ni berbohong untuk m e nya m p aik an k eb e n a ran, n a m u n b a gi s e b a gi an ma s y ar ak at d a n lingkung a n b elum te ntu bi s a m e n erim a nya. Ol eh s e b a b itu p etimb a n ga n b erd a s ark a n lingkung a n ini dip erluk an d al am me nyel ar a sk a n ek s pre si e st etis d e n g a n etika ya n g diyakini lingkung a n s ekit arnya. Ap a lagi se ni rup a m erup ak a n s e ni yan g b er sifat ab a di, b ert a h a n d al am w aktu, tid ak s e p erti s e ni t ari at a u s e ni m u sik yan g ak a n hilang d ari p e n glih ata n at a u p e n d e n g ara n s et el a h m e m e n nya b erl alu. S e ni rup a ya n g b er sifat fisik, s el am a tid ak diturunk a n d ari p aj an g a n nya, da n s el am a tid ak dirus ak, t entunya ak a n tet a p a b a di d a n m e nj adi objek t ata p a n ya n g m elih atk a n.

Dal am p erk e m b a n a g a n s e ni rup a t erkini, yaitu s e nirup a kont e m por er po stm od ern m e stinya jug a m e m p ertimba n gk a n nilai etika ya n g a d a di m a syar ak at. W al aupun kod e simbol d ala m kons ensus ma syarakat at au kode kultural itu sendiri juga telah mengalami pendekonstruksian, seb ab ma syarakat telah m e ng al ami p erub ah an la nd a s a n filosofis kare n a m er ek a s e ndiri ber singgung a n d eng an dunia luar atau ma syarakat, diharap an s eniman tidak hanya ingin membuat sens a s i dengan karya yang merayakan p e m b e b a s a n d ari atur an b aku. D al am pilihan k elu ar d ari kaid a h-k aid a h e st etika er a s eb elumnya yang diras akan mengekang, diharapkan s eniman at au perupa tetap mampu menghadirkan perenungan, dan memberikan pencerahan apresiasi kepada m a syarakat. P ada da s arnya karya s eni rupa ad alah ha sil dialektika berkes eni an dengan lingkungan alam dan manusianya, oleh karena itu dalam setiap penciptaan seni harus mampu memberikan dampak bagi masyarakat. S eb agaimana pengembangan ilmu, pengembang an kes enian juga harusnya berdampak sec ara sosial.

Ilmu pengetahuan dan keterampilan yang tidak boleh beba s nilai ibarat dua sisi mata pedang, ada sisi positif dan ada sisi negatifnya, oleh seb ab itu

manusia dituntut untuk bisa menggunakan ilmu pengetahuan dan

keterampilannya dengan baik, khususnya pengetahuan, wawas an dan keterampilan kes enirupa an. S ebagaimana Yasraf Amir memberi penjelas an tentang idiom seni rupa postmodern, yaitu yang berkaitan dengan dekontruksi; bahwa menolak dekonstruksi berarti melenyapkan peluang eksistensial budaya-budaya marjinal, seb aliknya menerima dekonstruksi sec ara total berarti memberi peluang bagi lenyapnya sistem kategori dan tata nilai kebudaya an itu s endiri.25 Tentunya memungkinkan kebeb a s a n dalam s eni rupa postmodern. Yang jelas kebeb a s an s eniman sec ara e stetika, hendaknya didampingi dengan kearifan sec ara etika. Estetika dan Etika sebagai objek kajian filsafat disamping bisa dikaji secara terpisah, namun harus disinergikan dalam aplikasinya, s eb agai perwujudan fils afat aksiologi.

P

ENUTUP

25

Yasraf Amir Piling, Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Tata-Nilai Seni Rupa, 7.

(15)

Pornografi dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa diakui adanya, dan pada hakekatnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan kebeba s an s enimannya. S ec ara epistemologis juga sangat mudah dijelaskan, diman a pornografi sudah ada s em enjak seni rupa pras ejah atau primitif sampai perkembangan s eni rupa kontemporer di era postmodern sekarang ini. Sejalan dengan ini, dalam kehidupan nyata dima syarakatpun kehidupan yang bernuans a pornografi juga berkembang dan dipertahankan, dengan berbagai alas an. Oleh sebab itu sulit untuk mengen eralisa sikan pornografi dalam

pem aham an yang s empit, karena banyak variabel yang mestinya

dipertimbangkan, apalagi merumuskannya dalam bentuk undang -undang yang berlaku bagi semua bentuk pornografi. Dari pada terus larut dalam memperma s alahkan pornografi, khususnya dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa, sebaiknya s emua pihak berus ah a menempatkan perma s alahan ini pad a porsinya, dan tetap bersikap arif terhada p kondisi dan situasi yang ada, kes elaras an antara kebeba s an e stetika dengan tanggung jawab etika hendaknya tetap dijaga.

D

AFTAR

P

USTAKA

Bungin, Burhan. Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa.

Dzubaidah, Neng. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam.

Fautanu, Idzam. Filasafat Ilmu, Teori dan Aplikasi. J akarta: Referensi, 2012. Istibsjaroh. Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi dalam Perspektif

Islam.

Noor, Acep Zamzam. Seni yang Terhukum Karena Tafsir ; Porno.

Piliang, Yasraf Amir. Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Tata-Nilai Seni Rupa. Bandung: Makalah pad a S eminar dan Lokakarya P endidikan S eni Rupa di FSR S -ITB , 12-13 S eptembr 2001.

Pus at P embina an dan P engembanga n Baha s a Indone sia Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. J akarta: Balai Pustaka, 1995, (cet. ke-2).

Rachim, Alex A. Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi. Jakarta: Dewan P ers, 1987.

Subangun, Emm anuel. Syuga Derrida, Jejak Langkah Posmodernisme di Indonesia.

Yogyakarta: CRI Alocita, 1994.

Suban Tukau, Johan. Etika Seksual dan Perkawinan.

Suriasum antri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. J akarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.

(16)

Sutrisno, Muji dan Putranto, Hendar (editor). Teori-Teori Kebudayaan.

Yogyakarta: P en erbit Kanisius, 2005.

Tim Kajian LBH APIK J akarta. Tanggapan atas RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaks, Sebuah Draf Kajian. J akarta: APIK, tt.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

KUHI ¶KWWS DGV NRPSD V DG V FRP QHZ ZZZ GHOLYHU\ FN SKS"Q DF H DPS

;cb=INSERT

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pornografi&oldid=6640294

http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com/2013/05/pornografi-itu-tidak-ad a-dalam-seni-rupa.html.

Sekilas tentang penulis : Drs. Zulkifli, M.Sn. adalah dos en pad a Jurusan S eni Rupa dan s ekarang menjabat s eb agai P embantu Dekan I FBS Unimed.

Referensi

Dokumen terkait

1/28/2018 Syarat Gadai BPKB Dan Kredit Mobil Bekas - Mandiri Pinjaman Dana.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan.. hormonal yaitu terjadi reduksi

Proses belajar mengajar di sekolah dan praktik kerja industri (prakerin) yang merupakan bagian dari PSG harus dilaksanakan secara seimbang agar tujuan pendidikan kejuruan tersebut

Perbedaan efek paparan arus listrik melalui medium air terhadap gambaran histopatologik yang berupa hiperkontraksi otot gastrocnemius ekstremitas kiri depan dengan

Formulir Bimbingan Proposal merupakan formulir kontrol proses pelaksanaan bimbingan dari mahasiswa kepada calon pembimbing proposal. Formulir ini diisi oleh mahasiwa untuk

Dari 75 data yang diperoleh pola kalimat bahasa indonesia sebnyak 72 data yang bisa dianalisis Murid Taman Kanak- kanak (TK) Kalfary Kabupaten Kepulauan Mentawai

Hasil perhitungan uji beda rata-rata pendapatan usahatani padi organik antara peserta SL-PTT dan non peserta SL-PTT diperoleh nilai signifikan lebih dari 0,05