• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA MERUMUSKAN LEARNING ORGANIZATION MELALUI ANALISIS BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DAN BUDAYA ORGANISASI DI RS.MASMITRA PROPOSAL TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA MERUMUSKAN LEARNING ORGANIZATION MELALUI ANALISIS BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DAN BUDAYA ORGANISASI DI RS.MASMITRA PROPOSAL TESIS"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

MERUMUSKAN LEARNING ORGANIZATION MELALUI ANALISIS

BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DAN BUDAYA ORGANISASI

DI RS.MASMITRA

PROPOSAL TESIS

MIRA PUSPITASARI NIM 1306352420

PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(2)

DAFTAR ISI ……….... DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR GRAFIK……….. DAFTAR LAMPIRAN ……… i iii iv v vi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….. 1 1.2 Rumusan Masalah ……… 9 1.3 Pertanyaan Penelitian ……….... 10 1.4 Tujuan Penelitian……….….. 10 1.5 Manfaat Penelitian………...……….. 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian……….……….... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)... 12

2.2 Konsep Budaya ………. 16

2.3.Budaya Keselamatan ……….…. 18

2.4Budaya Keselamatan Pasien ………..… 20

2.5 Budaya Organisasi ………... 29

2.6 Budaya Keselamatan Pasien Bagian Dari Budaya Organisasi………. 35

2.7 Konsep Learning Organizatin (Organisasi Pembelajar)………... 36

2.8 Kesimpulan Tinjauan Pustaka………..……. 36

3 GAMBARAN UMUM RS.MASMITRA 3.1 Sejarah RS.Masmitra... 40

3.2 Visi, Misi, Motto dan Nilai Yang Dimiliki RS.Masmitra... 40

3.3 Profil Rumah Sakit 41 3.4 Jenis Pelayanan 42 3.5 Struktur Organisasi RS.Masmitra 45 3.6 Gambaran Ketenagaan RS.Masmitra 45 3.7 Indikator Pelayanan RS.Masmitra 47 4 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL 4.1 Kerangka Teori Budaya Keselamatan Pasien... 49

4.2 Kerangka Teori Budaya Organisasi ... 50

4.3 Kerangka teori Learning Organization (Organisasi Pembelajar) ... 51

4.4 Kerangka Konsep Penelitian……….. 52

4.5 Definisi Operasional Dimensi Budaya Keselamatan Pasien…………. 53

(3)

5.1 Desain Penelitian ... 56

5.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 56

5.3 Penelitian Kuantitatif………. 56

5.4 Penelitian Kualitatif………..…………...…….. 61

5.5 Etika Penelitian ... 64

DAFTAR PUSTAKA ………

(4)

Tabel 1.1 Data Insiden Keselamatan Pasien Yang Tercatat di

RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013……….……… 8

Tabel 2.1 Tipe Budaya Organisasi………..………….. 32

Tabel 2.2 Profil Budaya Organisasi………..……… 34

Tabel 3.1 Gambaran Ketenagaan RS.Masmitra…...………. 45

Tabel 5.1 Jumlah Sampel Tenaga Klinis………...………... 57

Tabel 5.2 Daftar Informan Penelitian Kualitatif…...……… 61

(5)

Gambar 2.1 Tingkatan Budaya Schein………..…………... 18

Gambar 2.2 Komponen dan Tingkatan Intervensi Organisasi………. 30

Gambar 2.3 Karakteristik Tipe Budaya Organisasi ……… 33

Gambar 2.4 Konsep Budaya Keselamatan (Safety Culture) dalam Budaya Organisasi……….……… 35

Gambar 2.5 Subsystem Learning Organization….……… 38

Gambar 3.1 Struktur Organisasi RS.Masmitra………..……….. 45

Gambar 3.2 BOR (Bed Occupancy Rate) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013………... 47 Gambar 3.3 ALOS (Average Length of Stay) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013……….. 47 Gambar 3.4 TOI (Turn Over Interval) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013….……… 48 Gambar 4.1 Kerangka Teori Budaya Keselamatan Pasien..……… 49

Gambar 4.2 Kerangka Teori Budaya Organisasi………...………….. 50

Gambar 4.3 Kerangka Teori Learning Organization……….……….. 51

(6)

Grafik 1.1 Insiden Keselamatan Pasien yang Tercatat di RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013………...

(7)

Lampiran 1 Lembar Informed Consent…....………. Lampiran 2 Persetujuan Sebagai Responden……….. Lampiran 3 Kuesioner Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit….…… Lampiran 4 Kuesioner Budaya Organisasi…….……….

(8)

1.1 Latar Belakang

Tidak ada satupun dokter atau petugas kesehatan yang ingin mencelakakan pasiennya. Oleh karena itu, Keselamatan Pasien (KP/Patient Safety) menjadi isu penting dan terus menerus disosialisasikan dalam lingkungan pelayanan kesehatan. Isu global ini didukung oleh makin maraknya tuntutan terhadap pelayanan rumah sakit yang berbasis keamanan/keselamatan pasien yang tinggi, yang pada akhirnya mempertaruhkan citra rumah sakit sendiri.

Pada tahun 2000, Institute of Medicine (IOM) mempublikasikan laporan yang sangat mengejutkan dunia kesehatan : ”TO ERR IS HUMAN,

Building a Safer Health System”. Laporan tersebut menjelaskan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event) sebesar 2,9% dimana 6,6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York, KTD adalah sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000 – 98.000 per tahun (Depkes RI, 2006). Angka ini lebih besar dibandingkan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas per tahun di Amerika dan tiga kali lebih besar dibandingkan angka kematian akibat hancurnya menara WTC (Weingart et al, 2000).

Publikasi WHO pada tahun 2004 juga menyatakan adverse event dengan rentang 3,2-16,6% pada rumah sakit di berbagai negara, yaitu : Amerika, Inggris, Denmark dan Australia. Menindaklanjuti penemuan ini, tahun

(9)

2004 WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit (Depkes RI, 2006).

Laporan tersebut menyadarkan banyak pihak, mulai dari masyarakat umum, penyedia jasa kesehatan maupun stakeholders dalam pelayanan kesehatan untuk segera mengambil tindakan dalam meminimalkan terjadinya kesalahan serta dengan segera menyusun rencana perubahan dalam sistem pelayanan agar mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Berdasarkan laporan tersebut, banyak usaha menurunkan angka kesalahan dan meningkatkan KP dengan fokus pada individu bukan pada sistem atau proses (Woodhouse et al, 2004).

Di Indonesia, laporan insiden keselamatan pasien berdasarkan provinsi pada tahun 2007 dilaporkan provinsi DKI Jakarta menempati urutan tertinggi yaitu 37,9% diantara delapan provinsi lainnya (Jawa Tengah 15,9%, D.I.Yogyakarta 13,8%, Jawa Timur 11,7%, Sumatra Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Aceh 1,07% dan Sulawesi Selatan 0,7%) (KKP-RS, 2008). Data tentang KTD diatas menurut Depkes RI (2006) belum terlalu mewakili KTD yang sebenarnya di Indonesia. Data statistik nasional mengenai KTD di Indonesia belum ada namun berdasarkan penelitian-penelitian yang ada dan kasus-kasus yang terjadi, jumlah KTD dapat diperkirakan relatif tinggi (Budiharjo, 2008).

Rumah sakit (RS) merupakan tempat yang sangat kompleks, terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak terdapat alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus-menerus, dimana keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat

(10)

terjadi KTD (Depkes RI, 2006). Yang mana KTD dapat mengakibatkan terjadinya injury atau kematian pada pasien.

Mempertimbangkan misi RS untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien, mengharuskan RS untuk berusaha mengurangi medical error. Maka dikembangkan sistem KP yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada. KP telah menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan di RS berhubungan erat dengan mutu dan citra rumah sakit. KP adalah salah satu komponen kritis dari mutu pelayanan kesehatan.

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman (Depkes RI, 2006). Peningkatan mutu dan keselamatan pasien memerlukan kerja tim yang solid yang merupakan praktik kolaboratif antara komunikasi yang efektif, penyelesaian tugas dan hasil yang akurat dan perumusan tanggungjawab yang jelas. Pemahaman yang realistis terhadap risiko yang melekat pada dunia kedokteran modern memerlukan kemampuan professional untuk bekerjasama dengan semua pihak dalam mengadopsi pendekatan sistem yang proaktif untuk keselamatan dan dijalankan dengan tanggung jawab professional (WHO

Patient Safety Curiculum, 2011).

Meskipun manusia adalah penyebab utama terjadinya kesalahan namun unsur menyalahkan bukanlah cara yang efektif untuk meningkatkan keselamatan pasien (IOM, 2000). Dalam upaya meminimalisir terjadinya

medical error atau KTD yang terkait dengan aspek keselamatan pasien, manajemen RS perlu menciptakan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut dikarenakan banyak rumah sakit yang mengaplikasikan sistem keselamatan yang baik, tetapi pada kenyataannya KTD tetap terjadi.

(11)

Meskipun pada umumnya jika sistem dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya maka KTD dapat ditekan sekecil-kecilnya, namun fakta menunjukkan bahwa sistem tidak dapat berjalan secara optimal jika kompetensi dan nilai-nilai atau budaya yang ada tidak mendukung (Budihardjo, 2008).

Terkait dengan upaya-upaya KP untuk menekan angka KTD di RS, diyakini bahwa upaya menciptakan/membangun budaya keselamatan (safety culture) merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya mencapai KP. Sebagaimana tercantum dalam langkah pertama dari konsep “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” di Indonesia yaitu “Bangun kesadaran akan nilai KP, ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil”. Menurut Cahyono (2008) hambatan yang paling berat dalam penerapan keselamatan pasien adalah bagaimana menciptakan safety culture sebagai fondasi program keselamatan pasien.

Institute of Medicine (IOM) melaporkan bahwa safety culture yang kuat berpotensi untuk meminimalkan kesalahan medis. Agency for Health

Research and Quality/AHRQ (2011) mengatakan bahwa untuk membangun KP, harus ada lingkungan atau budaya yang memungkinkan para profesi di RS untuk berbagi informasi mengenai masalah-masalah KP kemudian melakukan tindakan untuk perbaikan. Permulaan dari proses pengembangan program KP adalah melakukan penilaian terhadap budaya KP. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mengidentifikasi area/unit yang akan dikembangkan, evaluasi program, untuk membuat perbandingan secara internal maupun eksternal dan sebagai dasar pembuatan kebijakan (Nieva, 2003).

(12)

Dengan demikian, budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai bagian dari aspek budaya organisasi, dalam hal ini organisasi manajemen RS. Budaya tersebut dianggap sebagai sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait keselamatan pasien. Budaya KP juga membentuk persepsi dokter dan staf mengenai perilaku yang normal terkait KP di wilayah kerja mereka (Weaver et al, 2013).

Di lingkup organisasi layanan kesehatan, penelitian tentang budaya keselamatan pasien adalah suatu area penelitian yang sedang tumbuh pesat. Di Indonesia sendiri belum banyak institusi pelayanan kesehatan yang melakukan pengkajian budaya keselamatan pasien apalagi yang dikaitkan dengan budaya organisasi. Adalah penelitian yang dilakukan oleh Iriviranty, A (2014) pada sebuah RS ibu dan anak yang mengkaitkan budaya keselamatan pasien dengan budaya organisasi. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa budaya organisasi tipe clan menekankan kolaborasi dengan strategi mutu yang digunakan sebagai acuan untuk perencanaan langkah-langkah pengembangan KP. Sementara sedikit peneliti lainnya melakukan analisa dari dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hamdani, S (2007) pada salah satu RS menjelaskan bahwa dimensi kerjasama dalam unit, dimensi komunikasi tentang kesalahan dan dimensi kerjasama antar unit adalah membudaya kuat. Sementara dimensi staffing, frekuensi pelaporan kejadian dan dimensi respon non punitive untuk kesalahan adalah membudaya rendah. Sedangkan dimensi budaya KP lainnya adalah membudaya sedang (Hamdani S, 2007).

Menurut Ramanujam et al (2005), dalam merespon kebutuhan terhadap peningkatan keselamatan pasien, organisasi pelayanan kesehatan harus membangun strategi untuk menciptakan learning organization (LO)

(13)

dimana setiap partisipan yang ada dalam proses pelayanan, terlibat dalam pembelajaran yang kontinu. Penerapan strategi ini mensyaratkan beberapa perubahan : melakukan desain ulang proses kerja agar kesalahan-kesalahan lebih bisa terlihat, memberikan insentif bagi praktisi yang memberikan informasi tentang kesalahan, menciptakan situasi informal di mana orang merasa aman secara psikologis dalam membicarakan kesalahan-kesalahan mereka dan mendapatkan bantuan satu sama lain serta membangun sistem informasi yang memfasilitasi penyimpanan informasi, penelusuran dan pengkajiannya. Dalam pengertian ini, tantangan dalam keselamatan pasien lebih banyak bersifat organisasi sebagaimana tantangannya dari sisi klinis.

Dalam kaitannya dengan isu KP yang kini menjadi isu aktual di institusi pelayanan kesehatan, peneliti melakukan studi eksplorasi dan wawancara informal di RS.Masmitra. Berdasarkan wawancara informal dengan perwakilan manajemen, dirasakan inisiatif manajemen RS.Masmitra cukup baik dalam merespon hal keselamatan pasien. Ini dapat terlihat dari beberapa kali pengiriman perawat untuk mengikuti pelatihan bertema keselamatan pasien. Adapun hasil wawancara informal dengan perawat rawat inap dan beberapa dokter didapat bahwa di RS.Masmitra telah beberapa kali terjadi insiden keselamatan pasien di ruang rawat inap. Sebagian besar faktor yang berperan adalah lemahnya beberapa bagian dari dimensi budaya keselamatan pasien, seperti masalah komunikasi antar staf, masalah proses serah terima pasien, kurangnya supervisi ataupun masalah dalam hal pengaturan staf. Bahkan beberapa kali terjadi kasus sentinel yang menguras perhatian manajemen karena harus menghadapi ancaman tuntutan hukum dan pemberitaan di media massa. Tentu saja hal ini dapat berdampak pada citra dan reputasi rumah sakit di mata

(14)

masyarakat. Terjadinya insiden tersebut mengindikasikan upaya KP di RS.Masmitra belum berjalan baik. Pengkajian budaya KP dapat merupakan langkah awal yang sangat penting dalam upaya menerapkan KP, dimana diharapkan hasil dari pengkajian ini dapat menjadi dasar penerapan perbaikan mutu dan keselamatan pasien di RS.Masmitra. Konsep LO merupakan konsep yang penting dalam mendukung upaya penerapan program KP. Dengan adanya konsep LO yang baik maka diharapkan akan terjadi perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya KP yang baik. Yang mana sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkah-langkah upaya penerapan KP dalam rangka rencana akreditasi tahun 2015 di RS.Masmitra. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang no.44 tahun 2009 tentang RS, yang mewajibkan akreditasi yang berfokus pada keselamatan pasien.

RS.Masmitra adalah rumah sakit swasta tipe D yang memiliki kapasitas 63 tempat tidur, yang terdiri dari SVIP, VIP, kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Tenaga klinis yang berkolaborasi memberikan asuhan pada pasien terdiri dari tenaga medis (dokter umum dan dokter spesialis), tenaga keperawatan (perawat dan bidan) serta tenaga penunjang medis (staf farmasi, staf laboratorium, staf radiologi, staf fisioterapi dan ahli gizi) yang beberapa diantaranya telah mengikuti pelatihan bertema keselamatan pasien. Sesuai program kerja RS.Masmitra, yang direncanakan akan mengikuti akreditasi pada tahun 2015, dengan demikian sangat perlu untuk segera menata standard pelayanan berbasis keselamatan pasien sesuai persyaratan akreditasi.

Dengan semakin luasnya cakupan pelayanan dan melihat terus meningkatnya angka perawatan di RS.Masmitra, maka tuntutan dalam

(15)

menjamin KP dan memberikan pelayanan yang bebas dari kesalahan pun makin besar. Dari notulen morning report 3 tahun terakhir (tahun 2011, tahun 2012 dan tahun 2013) didapat data KTD yang menunjukkan tren yang makin meningkat ditambah lagi beberapa insiden yang tidak tercatat ataupun terabaikan sehingga hal ini merupakan masalah yang harus segera diatasi.

Tabel 1.1. Data Insiden Keselamatan Pasien yang tercatat di RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013

TAHUN KESALAHAN PENGAMBILAN DARAH KESALAHAN PEMBERIAN OBAT PASIEN JATUH 2011 1 2 1 2012 2 4 1 2013 6 7 1

Sumber : buku laporan morning report

Grafik 1.1. Insiden Keselamatan Pasien yang tercatat di RS.Masmitratahun 2011, 2012 dan 2013

Sumber : buku laporan morning report

Dari uraian di atas, maka alternatif langkah pertama yang mendasar dalam upaya menerapkan standar pelayanan berbasis keselamatan pasien di RS.Masmitra adalah mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien yang ada dan mengetahui gambaran budaya organisasi yang dianut

(16)

kemudian menyusun strategi organisasi untuk menerapkan KP dalam rangka menciptakan learning organization. Langkah ini dirasakan perlu dilakukan karena tantangan utama untuk memperbaiki keselamatan pasien adalah mencapai adanya suatu perubahan budaya (Sandars&Cook, 2007) dan untuk dapat mendukung upaya transformasi tersebut diperlukan sebuah konsep learning organization (Thomsen&Hoest, 2001).

1.2 Rumusan Masalah

Semakin luasnya cakupan pelayanan dan terus meningkatnya angka perawatan di RS.Masmitra maka tuntutan dalam menjamin KP dan memberikan pelayanan yang bebas dari kesalahan pun semakin besar. Hal tersebut didukung dengan makin meningkatnya data insiden keselamatan pasien di RS.Masmitra baik yang tercatat maupun yang terabaikan sehingga segera menerapkan standard keselamatan pasien yang juga merupakan salah satu persyaratan akreditasi merupakan masalah yang harus segera diatasi.

Membangun budaya keselamatan pasien merupakan langkah pertama dan sebagai fondasi dalam penerapan KP. Budaya keselamatan pasien dapat diartikan sebagai bagian dari aspek budaya organisasi yaitu sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait dengan keselamatan pasien. Untuk dapat mendukung upaya transformasi tersebut perlu diciptakan sebuah konsep learning organization. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah belum diketahuinya gambaran budaya keselamatan pasien dan gambaran budaya organisasi sebagai dasar penerapan KP melalui perumusan

(17)

1.3 Pertanyaan Penelitian

 Bagaimana gambaran budaya keselamatan pasien RS.Masmitra?  Bagaimana gambaran budaya organisasi RS.Masmitra?

 Langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk menjadikan budaya keselamatan pasien menjadi budaya organisasi

 Langkah-langkah apa yang dilakukan untuk merumuskan learning

organization?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien dan gambaran budaya organisasi serta menentukan langkah-langkah penerapan keselamatan pasien melalui perumusan learning organization di RS.Masmitra.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi budaya keselamatan pasien RS.Masmitra b. Mengidentifikasi budaya organisasi RS.Masmitra

c. Mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien antar profesi tenaga klinis yang memberikan asuhan pada pasien di RS.Masmitra

d. Menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjadikan budaya keselamatan pasien menjadi budaya organisasi e. Menentukan langkah-langkah untuk merumuskan learning

organization di RS.Masmitra

1.5 Manfaat Penelitian

 Bagi rumah sakit : analisis budaya keselamatan pasien menjadi budaya organisasi sebagai dasar penerapan KP dengan

(18)

merumuskan learning organization dapat menjadi langkah awal dalam proses identifikasi, evaluasi maupun sebagai dasar pembuatan kebijakan program keselamatan pasien di RS.Masmitra.  Bagi peneliti : hasil penelitian ini bermanfaat sebagai acuan dan juga dapat menambah dan memperkaya wawasan peneliti dalam menerapkan program keselamatan pasien di RS tempat peneliti bekerja.

 Bagi peneliti lain : hasil penelitian dapat bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan ataupun sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di RS.Masmitra sejak bulan Agustus sampai dengan September 2014 dengan melakukan survei pada tenaga klinis yang memberikan asuhan pada pasien di RS.Masmitra yang telah bekerja > 1 tahun sebagai karyawan/mitra kerja (untuk mengetahui gambaran budaya keselamatan pasien). Dan melakukan survei pada pimpinan tingkat direksi,

owner, manajer dan kepala unit yang telah bekerja > 2 tahun (untuk mengetahui gambaran budaya organisasi). Kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam untuk menyusun langkah-langkah dalam upaya menerapkan budaya keselamatan pasien menjadi budaya organisasi sebagai dasar penerapan KP dengan merumuskan learning organization di RS.Masmitra. Penelitian didahului dengan wawancara informal dan studi eksplorasi dengan perawat dan beberapa dokter sebagai pengumpulan data dasar dan melakukan uji kuesioner.

(19)

2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi risiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur serta jumlah pasien dan staf RS yang cukup besar merupakan hal potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical error).

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2006).

Safety adalah bebas dari kejadian cedera. Menurut WHO (2000) menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk melindungi pasien dari kerugian karena efek pelayanan kesehatan. The National Patient Safety

Foundation mendefinisikan bahwa patient safety adalah upaya menghindarkan, mencegah dan perbaikan dari kasus adverse outcome atau perlukaan yang disebabkan oleh proses layanan kesehatan.

Menurut IOM keselamatan pasien adalah mengutamakan sistem pemberian perawatan yang mencegah kesalahan (pencegahan kerugian

(20)

pada pasien), belajar dari kesalahan yang terjadi, membangun budaya keselamatan yang melibatkan para profesional tenaga kesehatan, manajemen dan pasien. Sedangkan menurut AHRQ keselamatan pasien didefinisikan sebagai pencegahan bahaya yaitu bebas dari kecelakaan atau hasil dari perawatan medis.

Definisi keselamatan pasien menurut KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) adalah bebasnya pasien dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial/psikologis, cacat, kematian, dan lain-lain) terkait dengan pelayanan kesehatan.

KKP-RS PERSI mendefinisikan KTD (adverse event) adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommission). Sedangkan Kejadian Nyaris Cedera (nearmiss) merupakan suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommission) yang dapat mencederai pasien tetapi cedera serius tidak terjadi, yang disebabkan karena keberuntungan, pencegahan atau peringanan.

Menurut IOM, ada lima prinsip untuk merancang safety system di organissi kesehatan, yaitu : (Kohn et al, 2000)

Prinsip 1 : provide leadership yang meliputi :

 Menjadikan patient safety sebagai tujuan utama/prioritas  Menjadikan patient safety sebagai tanggungjawab bersama

 Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggungjawab untuk

(21)

 Menyediakan sumber daya manusia dan dana untuk analisa error dan redesign system

 Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi ‘unsafe’ dokter

Prinsip 2 : memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan proses

 Design job for safety  Menyederhanakan proses  Membuat standard proses

Prinsip 3 : mengembangkan tim yang efektif

Prinsip 4 : antisipasi untuk kejadian tak terduga dengan pendekatan proaktif, menyediakan antidotum dan training simulasi

Prinsip 5 : menciptakan atmosfer ‘learning’  Menggunakan simulasi

 Mendorong pelaporan kejadian

 Memastikan tidak ada tekanan saat melaporkan kejadian

 Mengimplementasikan mekanisme umpan balik dan belajar dari kesalahan

Adapun tujuan keselamatan pasien dalam Panduan Keselamatan Pasien Rumah Sakit, adalah : (Depkes RI, 2006)

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat

(22)

4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD

Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang disusun mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” meliputi: (Depkes RI, 2006)

1. Hak pasien

2. Mendidik pasien dan keluarga 3. KP dan kesinambungan pelayanan

4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan KP

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan KP 6. Mendidik staf tentang KP

7. Komunikasi merupakan kunci staf untuk mencapai KP

Di Indonesia, kegiatan KP sudah dilaksanakan oleh RS sejak lama namun dalam bentuk elemen-elemennya saja dan bukan merupakan suatu program yang komprehensif. Misalnya telah dilaksanakannya sistem pengendalian infeksi nosokomial, sistem K3 (kesehatan dan keselamatan kerja), manajemen risiko, informed consent, audit medis, review kasus dan evaluasi berbagai program mutu pelayanan lainnya. Jadi, kegiatan KP dalam bentuk sistem yang komprehensif memang baru dimulai sejak tahun 2000-an (Lumenta dalam Hamdani, 2007).

Mengacu pada hal tersebut, maka RS harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan

(23)

tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yaitu : (Depkes RI, 2006)

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.

2. Pimpin dan dukung staf anda. Bangunlah komitmen dan fokus kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di rumah sakit anda.

3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan assessmen hal yang potensial.

4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)

5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien

6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP. Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul

7. Cegah cedera melalui implementasi sistem KP. Gunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.

2.2 Konsep Budaya

Konsep budaya awalnya berkembang dari antropologi sosial pada abad ke-19. Budaya merupakan sebuah konsep yang kompleks yang diartikan

(24)

sebagai kumpulan keyakinan dan nilai tentang bagaimana suatu komunitas seharusnya dalam melakukan tindakan (Kreitner, 2007). Menurut Hofstede (2005) budaya adalah pemikiran kolektif yang membuat perbedaan antara anggota satu kelompok dari kelompok lainnya. Sedangkan menurut Schein (2004) budaya dibentuk dari nilai yang berbeda dan perilaku yang mungkin dianggap panduan untuk keberhasilan.

Menurut Edgar H.Schein dalam Stoner, et al (1996) budaya memiliki 3 tingkatan, yaitu artifact, nilai-nilai yang didukung (espoused value) dan asumsi yang mendasari (underlying assumptions).

 Tingkat l : Artifact. Tingkat ini merupakan dimensi yang paling terlihat dari budaya organisasi, merupakan lingkungan fisik dan sosial organisasi. Anggota organisasi sering tidak menyadari mengenai artefak budaya organisasi mereka, tetapi orang luar organisasi dapat mengamatinya dengan jelas.

 Tingkat 2 : Espoused value (nilai-nilai yang didukung). Semua pembelajaran organisasi merefleksikan nilai-nilai anggota organisasi, perasaan mereka mengenai apa yang seharusnya berbeda dengan apa yang ada. Jika anggota organisasi menghadapi persoalan atau tugas baru, solusinya adalah nilai-nilai.

 Tingkat 3 : Basic underlying assumptions (asumsi dasar). Jika solusi yang dikemukakan pemimpin perusahaan dapat berhasil berulang-ulang, maka solusi dianggap sudah sebagai seharusnya. Asumnsi dasar merupakan solusi yang paling dipercaya sama halnya dengan teori ilmu pengetahuan yang sedang diterapkan untuk suatu problem yang dihadapi organisasi.

(25)

Gambar 2.1. Tingkatan Budaya Schein

Sumber: Schein (1992) dalam Smart, J. C. (2010). Higher Education: Handbook of

Theory and Research: Volume 25. London: Springer.

2.3 Budaya Keselamatan

Industri kesehatan merupakan industri yang penuh risiko, ditambah dengan makin tingginya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan dengan jaminan keamanan yang tinggi, menuntut para ahli mengelaborasi konsep budaya keselamatan dari dunia industri yang dijadikan sebagai dasar pengembangan konsep safety culture di organisasi kesehatan. Menurut Singer (2009) salah satu perbedaannya adalah upaya membangun keselamatan di industri RS lebih difokuskan untuk melindungi pasien dibandingkan personilnya sendiri. Persepsi yang kemudian dibagi diantara anggota kelompok adalah hal ini ditujukan untuk melindungi pasien dari kesalahan pengobatan ataupun dari perlukaan akibat tindakan intervensi. Persepsi ini meliputi kumpulan norma, standard profesi, kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam KP. Budaya ini kemudian akan mempengaruhi ’beliefs’ dan tindakan individu dalam memberikan pelayanan (Blegen, 2006).

(26)

Menurut O’Toole dalam Jianhong (2004) budaya keselamatan (safety

culture) di pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang dikaitkan dengan keselamatan pasien yang secara tidak sadar dianut bersama oleh anggota organisasi. Budaya keselamatan merupakan istilah yang merujuk pada komitmen keselamatan yang dimiliki oleh semua level dalam suatu organisasi dari level terbawah sampai level eksekutif.

Safety culture merupakan bagian terpenting dari budaya organisasi. Menurut ACSNI (Advisory Comittee on The Safety of Nuclear

Installations), 1993 dalam The UK Health and Safety Executive (2005), budaya keselamatan adalah hasil dari nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan kehandalan manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan kepercayaan dengan bertukar persepsi akan keselamatan dan oleh efektifnya langkah-langkah pencegahan.

Terdapat 5 indikator yang mempengaruhi budaya keselamatan (HMRI, 2004 dalam The UK Health and Safety Executive, 2005) :

 Leadership

 Two-way communication

 Employee involvement

 Learning culture

(27)

2.4 Budaya Keselamatan Pasien

2.4.1 Pengertian Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Institut Of Medicine (2000) yang dikutip oleh Nieva (2003) tentang perlunya perubahan budaya untuk menuju sistem kesehatan yang lebih aman :

”The biggest challenge to moving toward a safer health system is

changing the culture from one of blaming individuals for errors to one in which errors are treated not as personal failures, but as opportunities to improve the system and prevent harm

Dijelaskan bahwa tantangan terbesar kearah sistem kesehatan yang lebih aman adalah mengubah budaya dari menyalahkan seseorang karena kesalahan/error yang dianggap sebagai kegagalan individu kearah menjadikannya sebagai peluang untuk memperbaiki sistem dan mencegah cedera. Dapat disimpulkan bahwa mengembangkan budaya keselamatan menjadi salah satu pilar bagi pergerakan KP (Healings et al., 2007).

Dari beberapa sumber, pengertian budaya KP hampir sama dengan budaya organisasi secara umum, yaitu : nilai-nilai/values yang dianut bersama antar anggota organisasi tentang apa yang penting, keyakinan/beliefs tentang bagaimana melakukan sesuatu di dalam organisasi dan interaksi nilai dan keyakinan tersebut dengan unit kerja dan struktur dan sistem organisasi, yang secara bersama-sama menghasilkan norma perilaku dalam organisasi (Schein, 2004). Hanya saja budaya KP lebih spesifik terhadap keselamatan (untuk mempromosikan keselamatan) serta menekankan peran interpersonal, unit kerja dan kontribusi organisasi dalam membentuk asumsi-asumsi dasar bahwa kerja individu dalam organisasi berkembang sepanjang waktu (Singer et al., 2009).

(28)

Berdasarkan nilai dan keyakinan yang dianut bersama tersebut, terbentuk suatu pola perilaku yang terintegrasi dari individu dan organisasi yang secara kontinu mencari upaya meminimalkan hal yang membahayakan pada pasien yang mungkin berasal dari proses penerimaan pelayanan kesehatan.

Suatu budaya KP harus dikenali oleh seluruh anggota layanan kesehatan, diperkuat dan dilatih secara teratur oleh para profesional dan pimpinan organisasi karena pelayanan kesehatan memang mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dan mudah sekali terjadi kesalahan sehingga penanganannya pun berisiko tinggi. Suatu budaya KP yang positif mempunyai aspek-aspek sebagai berikut : (Kirk et al., 2009)

a. Komunikasi berdasarkan kepercayaan dan keterbukaan yang sifatnya mutual

b. Persepsi yang sama tentang pentingnya keselamatan

c. Keyakinan dalam ketepatan dari ukuran-ukuran pencegahan keselamatan

d. Pembelajaran organisasi

e. Komitmen pimpinan dan tanggungjawab eksekutif

f. Pendekatan tanpa menyalahkan (no blame) dan tanpa hukuman (non punitive) terhadap pelaporan dan analisis insiden

Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar. Dalam proses ini diperlukan upaya transformasional yang menyangkut intervensi multi tingkat dan multi dimensional yang terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership

(29)

70%-90 % ditentukan oleh peran leadership dan sisanya (0 % - 30 %) oleh peran managership (Adib, 2012).

2.4.2 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Carthey&Clarke (2010) dalam buku “Implementing Human

Factors in Healthcare ‘how to’ guide” bahwa organisasi kesehatan akan memiliki budaya keselamatan pasien yang positif, jika memiliki dimensi budaya sebagai berikut :

1. Budaya keterbukaan (open culture)

Budaya ini menggambarkan semua staf RS merasa nyaman berdiskusi tentang insiden yang terjadi ataupun topik tentang KP dengan teman satu tim ataupun dengan manajernya. Staf merasa yakin bahwa fokus utama adalah keterbukaan sebagai media pembelajaran dan bukan untuk mencari kesalahan ataupun menghukum. Komunikasi terbuka dapat juga diwujudkan pada saat serah terima pasien, briefing staff maupun morning

report.

2. Budaya keadilan (just culture)

Merupakan budaya membawa atmosfer “trust” sehingga anggota bersedia dan memilki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta melibatkan pasien dan keluarganya secara adil dalam setiap pengambilan keputusan terapi. Perawat dan pasien diperlakukan secara adil saat terjadi insiden dan tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu staf membuat pelaporan secara jujur mengenai kejadian yang terjadi dan menjadikan insiden sebagai pelajaran dalam upaya meningkatkan KP.

(30)

3. Budaya pelaporan (reporting culture)

Budaya dimana staf siap untuk melaporkan insiden atau near miss, sehingga dapat dinilai jenis error dan dapat diketahui kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf serta dapat diambil tindakan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya insiden sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang akan terjadi.

4. Budaya belajar (learning culture)

Setiap lini dari organisasi baik sharp end (yang bersentuhan langsung dengan pelayanan) maupun blunt end (manajemen) menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Organisasi berkomitmen untuk mempelajari insiden yang telah terjadi, mengkomunikasikan kepada staf dan senantiasa mengingatkan staf.

5. Budaya informasi (informed culture)

Organisasi mampu belajar dari pengalaman masa lalu sehingga memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghindari insiden yang akan terjadi karena telah belajar dan terinformasi dengan jelas dari insiden yang sudah pernah terjadi, misalnya dari pelaporan kejadian dan investigasi.

Sedangkan dimensi budaya keselamatan pasien menurut AHRQ (Agency

for Healthcare Research and Quality) dalam buku Hospital Survey on

Patient Safety Culture (HSOPSC) adalah : A. Dimensi Budaya Keselamatan tingkat Unit : 1. Keterbukaan komunikasi

(31)

2. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan

3. Respons non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan 4. Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan

5. Staffing

6. Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan 7. Kerjasama dalam unit

B. Dimensi Budaya Keselamatan Tingkat RS : 1. Dukungan manajemen terhadap upaya KP 2. Serah terima dan transisi

3. Kerjasama antar unit C. Dimensi Outcome :

1. Frekuensi pelaporan kejadian 2. Persepsi keseluruhan tentang KP

3. Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir 4. Tingkat keselamatan pasien

Berikut adalah penjelasan mengenai dimensi-dimensi budaya keselamatan pasien dari AHRQ :

1) Keterbukaan komunikasi

Dengan adanya keterbukaan komunikasi diharapkan staf medis dapat berkomunikasi dengan baik dan benar pada saat serah terima/pengoperan pasien yang meliputi keluhan pasien, terapi yang sudah maupun akan diberikan serta insiden terkait KP jika ada dan juga merasa bebas untuk bertanya kepada yang lebih berwenang. Keterbukaan komunikasi juga harus dilakukan antara manajer dengan staf selain diantara sesama staf untuk peningkatan KP.

(32)

2) Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan

Diartikan sebagai sejauh mana staf diberitahu tentang kesalahan yang dilakukan, menerima umpan balik masukan dari staf dan mendiskusikan upaya untuk mencegah kesalahan tidak terulang kembali.

3) Respons non-punitive (tidak menghukum) terhadap kesalahan

Organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang non

punitive yang tujuannya adalah supaya setiap elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian. Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan (Hamdani, 2007).

4) Pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan

Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi (Kreitner, 2007). Diartikan sejauh mana kesalahan akan membawa perubahan positif yang selalu dievaluasi efektifitasnya sehingga menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan.

5) Staffing

Salah satu prinsip yang direkomendasikan IOM dalam laporannya ”To Err

is Human” (2000) untuk implementasi patient safety di RS adalah mendesain pekerjaan dengan memperhatikan faktor manusia. Ini berarti dalam penataannya harus memperhitungkan jam kerja, beban kerja, rasio

staffing dan juga sistem shift dengan memperhatikan faktor kelelahan, siklus tidur, dan lain-lain. Mendesain pekerjaan untuk safety juga termasuk melakukan training, memberi tugas pada orang yang tepat dan memposisikan seseorang pada posisi yang tepat.

(33)

6) Harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam promosi keselamatan

Diartikan sejauh mana supervisor/manajer mempertimbangkan saran staf untuk peningkatan KP, tidak mengabaikan masalah keselamatan dan memberi penghargaan pada staf yang menerapkan pelaksanaan KP.

7) Kerjasama dalam unit

Diartikan sejauh mana staf saling mendukung satu sama lain dan bekerjasama sebagai sebuah tim untuk pelaksanaan KP.

8) Dukungan manajemen terhadap upaya KP

Diartikan sejauh mana manajemen RS menyediakan budaya kerja yang mempromosikan KP dan berpedoman bahwa KP adalah prioritas utama. 9) Serah terima dan transisi

Diartikan sejauh mana proses serah terima berjalan baik yang memuat penyampaian informasi penting yang berkaitan dengan KP kepada staf lain.

10) Kerjasama antar unit

Diartikan sejauh mana setiap unit dalam RS saling bekerjasama dan berkoordinasi antar unit dengan tujuan yang sama yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien.

11) Frekuensi pelaporan kejadian

Diartikan sejauh mana kesalahan berikut dilaporkan :

 Kesalahan yang diketahui dan dikoreksi sebelum mempengaruhi pasien

(34)

 Kesalahan yang dapat merugikan pasien tetapi tidak terjadi 12) Persepsi keseluruhan tentang KP

Diartikan persepsi dari seluruh staf berkaitan dengan KP termasuk pemahaman tentang prosedur dan sistem yang baik untuk mencegah kesalahan.

2.4.3 Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien

Pengukuran budaya keselamatan pasien dapat dilakukan berdasarkan dimensi yang mendasari ataupun berdasarkan tingkat maturitas dari organisasi dalam menerapkan budaya keselamatan pasien. Dikarenakan belum adanya konsensus mengenai standard pengukuran budaya keselamatan pasien, menyebabkan bervariasinya definisi, konsep maupun dimensi budaya keselamatan pasien. Beberapa organisasi mengembangkan standard pengukuran dengan masing-masing instrumennya, antara lain AHRQ, Stanford dan MaPSaF (Manchester Patient Safety Assesment

Framework). Namun, sejauh ini kuesioner HSOPSC dari AHRQ yang paling banyak direkomendasikan untuk mengukur budaya KP karena telah terjamin validitas dan reliabilitasnya secara internasional (AHRQ, 2011). Pengukuran budaya KP yang dikembangkan oleh AHRQ melalui 12 instrumen seperti yang tercantum dalam 12 dimensi AHRQ yang disampaikan sebelumnya. Stanford mengembangkan instrumen Safety

Attitudes Questionnaire (SAQ) dengan mengidentifikasi 6 elemen budaya KP, yang terdiri dari kerjasama, iklim keselamatan, kepuasan kerja, kondisi stres, persepsi manajemen dan kondisi kerja. Stanford Instrument (SI) menilai budaya KP dari 5 elemen, antara lain organisasi, departemen, produksi, pelaporan dan kesadaran diri. Sedangkan Modified Stanford

(35)

Instrument (MSI) hanya mengidentifikasi 3 elemen yang berpengaruh pada budaya KP yaitu nilai keselamatan, takut/reaksi negatif, persepsi keselamatan. Adapun MaPSaF mengembangkan tingkat kematangan (maturity) organisasi dalam menerapkan budaya keselamatan pasien yang terdiri dari 5 elemen, yaitu : patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan

generatif dimana tingkat maturitas generatif adalah yang paling tinggi dimana budaya KP sudah terintegrasi dengan tujuan RS.

Menurut pengamatan penulis, meski terdapat berbagai macam dimensi/elemen untuk mengukur budaya KP, pada dasarnya bermuara pada 5 dimensi budaya keselamatan, yaitu budaya keterbukaan (open

culture), budaya keadilan (just culture), budaya pelaporan (report culture), budaya belajar (learning culture) dan budaya informasi (informed culture) seperti yang disampaikan oleh Carthey&Clarke (2010).

Pengukuran budaya KP dapat digunakan oleh organisasi kesehatan sebagai alat untuk : (AHRQ, 2012)

 Meningkatkan kesadaran karyawan tentang KP

 Mendiagnosis dan menilai tingkat budaya keselamatan pasien saat ini

 Mengidentifikasi kekuatan dan area-area yang memerlukan penguatan budaya KP

 Menilai trend budaya KP dari waktu ke waktu

 Mengevaluasi dampak budaya dari upaya KP dan intervensi yang dilakukan

(36)

2.5 Budaya Organisasi 2.5.1 Pengertian Organisasi

Schein (2004) mengemukakan bahwa organisasi merupakan koordinasi yang rasional dari beberapa aktivitas sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan, melalui pembagian kerja dan fungsi serta melalui jenjang wewenang maupun tanggung jawab. Robbins (1996) mengartikan organisasi sebagai satuan sosial yang dikoordinasi secara sadar, tersusun dari dua orang atau lebih, berfungsi atas dasar kesamaan persepsi yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Organisasi dibentuk oleh empat komponen utama : (Russel, 2001)  fisik (aspek yang dapat terlihat/visible) dari organisasi

 infrastruktur (sistem dan proses untuk mengarahkan dan mengelola pekerjaan)

 perilaku (aksi dan reaksi karyawan sehari-hari)

 budaya (asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang membentuk perilaku sehari-hari)

Untuk dapat melakukan perubahan pada organisasi, melakukan perubahan pada tingkat fisik (proses, alat, struktur), tingkat infrastuktur (sistem manajemen, penilaian dan reward) dan tingkat perilaku (apa yang dilakukan oleh kelompok dan individu) tidak akan dapat bertahan lama (mempunyai daya tahan yang berumur pendek) apabila tanpa disertai dengan perubahan pada tingkat budaya (nilai, keyakinan dan norma) yang mendasarinya. Hal tersebut dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini :

(37)

Gambar 2.2. Komponen dan tingkatan intervensi organisasi (Russel, 2001)

2.5.2 Pengertian Budaya Organisasi

Sebagai komponen paling dasar dari organisasi, budaya mempunyai kemampuan paling besar dalam mempengaruhi perubahan organisasi, meski disisi lain merupakan komponen yang paling sulit untuk dirubah. Robbins (1996) mengartikan budaya organisasi sebagai sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota dalam organisasi yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lain. Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya. Budaya organisasi adalah pola dasar, asumsi, nilai dan keyakinan bersama yang dianggap sebagai cara berpikir dan bertindak yang tepat dalam menghadapi masalah dan peluang organisasi (McShane, 2003). Budaya organisasi merupakan nilai tak tertulis yang memberikan pedoman, aturan, standar dalam berperilaku baik yang diterima atau tidak oleh setiap pegawai dalam organisasi. Budaya organisasi dapat diukur hanya dengan menanyakannya kepada pegawai. Budaya organisasi merupakan fondasi dari budaya keselamatan pasien (Flemming, 2008).

(38)

Menurut Mc Shane (2003) budaya organisasi memiliki 3 fungsi :

1. Budaya organisasi adalah bentuk yang tertanam dan kontrol sosial yang mempengaruhi bagaimana pegawai mengambil keputusan dan berperilaku.

2. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat orang-orang dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi. 3. Budaya organisasi membantu proses nilai keputusan. Membantu

pegawai mengerti situasi organisasi sehingga mereka dapat menyelesaikan tugas mereka ketimbang menghabiskan waktu mencari tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pegawai dapat berkomunikasi dengan lebih efisien dan bekerjasama dengan baik karena mempunyai model mental yang sama (Flemming, 2008).

2.5.3 Analisis Budaya Organisasi

Salah satu alat ukur yang digunakan untuk menganalisis budaya organisasi dan sudah digunakan sebagai survey internasional oleh banyak peneliti dunia adalah OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument). OCAI merupakan sebuah instrumen pengukuran budaya organisasi berdasarkan Competing Values Framework yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh Kim S.Cameron dan Robert E.Quinn. Instrumen ini merupakan pengembangan teori untuk memahami budaya dan fenomena organisasi (Nummelin, 2006).

(39)

Adapun enam komponen budaya organisasi yang diukur dengan OCAI : 1. karakteristik yang dominan

2. kepemimpinan organisasi 3. manajemen karyawan 4. perekat organisasi 5. penekanan strategis 6. kriteria sukses

Menurut Cameron dan Quin (2011) terdapat 4 tipe budaya organisasi : 1. Tipe Clan

2. Tipe Adhocracy 3. Tipe Market 4. Tipe Hierarchy

Tabel 2.1. Tipe budaya organisasi (Cameron&Quin, 2011)

Clan Sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada perbaikan internal (internal maintenance) dengan fleksibilitas, perhatian pada orang dan sensitivitas pada pelanggan.

Adhocracy Sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada penempatan eksternal dengan derajat fleksibilitas dan individualitas yang tinggi. Market Sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pelayanan

eksternal dengan kebutuhan akan stabilitas dan control

Hierarchy Sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada perbaikan internal dengan kebutuhan akan stabilitas dan kontrol

(40)

Gambar 2.3. Karakteristik tipe budaya organisasi (Cameron&Quin, 2011)

Manfaat analisis budaya organisasi : (OCAI, 2010)

a. Anggota organisasi menjadi sadar akan budaya organisasi saat ini dan budaya organisasi yang diinginkan. Ini akan menyediakan momentum untuk melakukan perubahan

b. Lebih mudah untuk pihak manajemen dalam menentukan langkah-langkah perubahan yang paling efektif

c. Resistensi terhadap perubahan dapat diantisipasi

d. Menyediakan titik awal untuk membuat pekerja mau berubah dan penggunaan kekuatan dan kreativitas mereka untuk lebih mendukung perubahan

e. Menjadi dasar untuk rencana perubahan yang sistematis dan bertahap

f. Perubahan budaya organisasi yang sukses akan merevitalisasiseluruh anggota organisasi. Organisasi akan mendapatkan momentum baru menuju semua perubahan yang positif di dalam organisasi

g. Penilaian OCAI akan menjadi langkah intervensi awal untuk memungkinkan perubahan

(41)

Tabel 2.2. Profil budaya organisasi (Cameron&Quin, 2011)

Komponen Budaya Clan Adhocracy Market Hierarchy

Karakteristik Dominan Tempat yang sangat personal, seperti sebuah keluarga besar, orang-orang berbagi banyak hal dari diri mereka Tempat wirausaha yang sangat dinamis, orang bersedia untuk bertahan dan mengambil risiko Berorientasi pada hasil, fokus pada penyelesaian tugas, orang-orang sangat kompetitif dan berorientasi pada prestasi Terstruktur dan terkendali, prosedur formal lah yang mengatur apa yang harus dilakukan Kepemimpinan Organisasi Mentoring, fasilitatif dan mengayomi Kewirausahaan, inovasi dan berani mengambil risiko Kesungguhan, agresif dan berorientasi pada hasil Koordinasi, pengorganisasian dan efisiensi yang berjalan lancar Manajemen Karyawan Teamwork, kesepakatan dan partisipasi Keberanian mengambil risiko, inovasi, kebebasan dan keunikan Dorongan kuat untuk bersaing, tuntutan yang tinggi dan prestasi

Keamanan kerja, kesesuaian, prediktabilitas dan kemapanan dalam hubungan Perekat Organisasi Loyalitas dan rasa saling percaya, komitmen terhadap organisasi tinggi Komitmen terhadap inovasi dan pengembangan, ada penekanan pada posisi menjadi pemimpin Penekanan pada prestasi dan pencapaian tujuan, agresivitas dan menang adalah tema bersama Peraturan dan kebijakan formal, penting mempertahankan sebuah organisasi berjalan dengan lancar Penekanan Strategis Pengembangan manusia, kepercayaan yang tinggi, keterbukaan dan partisipasi dipertahankan Memperoleh sumber daya baru dan menciptakan tantangan baru, mencoba hal-hal baru dan prospek untuk peluang sangat dihargai Menekankan tindakan kompetitif dan prestasi, mempunyai target yang ketat dan memenangkan pasar merupakan tujuan yang dominan kemapanan dan stabilitas, efisiensi, kontrol dan operasional yang lancar adalah penting

Kriteria Sukses Mendefinisikan

kesuksesan berdasarkan pengembangan sumber daya manusia, kerja sama tim, komitmen karyawan dan kepedulian Memiliki produk yang paling unik atau produk terbaru, organisasi ini bertujuan menjadi

product leader dan

inovator Memenangkan pasar dan memenangkan kompetisi, kepemimpinan market yang kompetitif adalah kunci Mendefinisikan kesuksesan pada efisiensi, pelayanan yang diandalkan, penjadwalan yang lancar dan produksi berbiaya rendah dianggap sangat penting

(42)

2.6 Budaya Keselamatan Pasien Bagian Dari Budaya Organisasi Secara konseptual, dapat kita gambarkan kaitan antara konsep budaya keselamatan dengan budaya organisasi sebagai konsep yang paling luas di dalam suatu organisasi, sebagai berikut :

Budaya Organisasi Iklim organisasi

Budaya Keselamatan

Gambar 2.4 Konsep Budaya Keselamatan (Safety Culture) dalam Budaya Organisasi

Sumber: Currie, 2007

Budaya organisasi merupakan fondasi dari budaya keselamatan pasien (Flemming, 2008). Selanjutnya bagaimana dapat diketahui bahwa budaya KP telah melebur dalam budaya organisasi? Kita dapat mengetahuinya melalui hal-hal berikut : (Sandars, 2007)

1. orang-orang akan melihat bahwa manajemen/pimpinan tim mempunyai komitmen terhadap KP dengan pencegahan bukan dengan hukuman

2. staf yang sehat dan bahagia dipandang sebagai hal yang mendasar untuk pelayanan kesehatan yang lebih aman

3. staf secara serius memperhatikan kondisi kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan rekan-rekannya dan mampu mengetahui jika ada sesuatu yang salah

4. kesalahan dan masalah diantisipasi secara proaktif oleh sistem Safety

(43)

5. staf secara konsisten mampu dikonfrontasi dengan yang lain tentang tindakan yang tidak aman, akan melaporkan kondisi-kondisi yang tidak aman dan akan mempertimbangkan keselamatan dibandingkan efisiensi

6. staf dan manajemen secara konsisten melakukan tindakan-tindakan

remedial

7. keselamatan dilihat sebagai suatu hal yang mendasar dan menarik

Dengan kata lain, suatu budaya KP harus dibangun dimana setiap orang dapat melaporkan KTD/KNC tanpa takut akan dihukum (IOM, 2001). Apabila budaya tersebut menjadi nilai dan persepsi bersama anggota organisasi, maka budaya KP diyakini telah menjadi budaya organisasi. Budaya keselamatan harus ada di setiap bagian di RS, dari tingkat individu hingga tingkat organisasi. Dimensi budaya keselamatan di tiap tingkatan tentunya berbeda satu dengan yang lainnya. Namun keberhasilan budaya keselamatan menjadi budaya organisasi memerlukan keterpaduan dari setiap dimensi tersebut. Dimana setiap RS memiliki karakteristik masing-masing untuk keberhasilan membangun dimensi budaya keselamatan pasien di organisasinya. Oleh karena itu, RS perlu mengetahui dimensi budayanya yang dapat berkontribusi pada keberhasilan program keselamatan pasien di tempatnya (Lestari, 2008).

2.7 Konsep Learning Organization (organisasi pembelajar)

Untuk menghadapi tuntutan pasien akan pelayanan kesehatan berbasis keselamatan yang tinggi, organisasi dituntut untuk melakukan transformasi yang signifikan agar mampu bertahan. Dalam melakukan

(44)

transformasi, suatu organisasi haruslah memiliki kemampuan untuk dapat menjadi organisasi pembelajar (learning organization/LO). Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya lapor dan budaya belajar (Adib, 2012). Dengan demikian untuk dapat melakukan transformasi budaya keselamatan pasien, organisasi pelayanan kesehatan harus memiliki kemampuan menjadi organisasi pembelajar.

Thomsen&Hoest (2001) berpendapat bahwa transformasi dari banyak organisasi menjadi learning organization merupakan jawaban bagi organisasi yang ingin meningkatkan peluang untuk bertahan dan memperkuat posisi mereka di pasar, terutama dalam menghadapi tuntutan pelayanan kesehatan yang berbasis keselamatan yang tinggi.

Marquardt (1996) mendefinisikan LO atau organisasi pembelajar sebagai suatu organisasi yang terus-menerus meningkatkan kapasitasnya dan belajar secara bersama-sama serta melakukan transformasi dirinya untuk menjadi lebih baik, mengumpulkan, mengatur dan menggunakan pengetahuan untuk kesuksesan organisasi. Sementara itu, Senge (1990) mendefinisikan LO sebagai organisasi dimana individu secara terus-menerus memperluas kapasitasnya untuk menghasilkan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola berfikir yang baru dan lebih luas dapat tumbuh subur, dimana aspirasi kolektif bisa dikemukakan secara bebas dan dimana individu secara terus-menerus belajar untuk melihat kesemuanya itu secara keseluruhan.

Marquardt mengemukakan 5 subsistem dari model System Learning

(45)

mendukung dalam membentuk LO agar suatu organisasi dapat melakukan transformasi. Kelima subsistem yang dimaksud, antara lain:

1. Dinamika pembelajaran 2. Transformasi organisasi 3. Pemberdayaan manusia 4. Pengelolaan pengetahuan 5. Aplikasi teknologi

Seluruh subsistem ini sangat erat dan saling mendukung antara satu subsistem dengan subsistem yang lainnya. Kelima subsistem dalam suatu sistem organisasi pembelajar disatukan untuk mencapai dan memelihara daya saing organisasi. Adalah subsistem dinamika pembelajaran yang menjadi pusat dari kelima subsistem LO. Subsistem dinamika pembelajaran ini merupakan titik temu antara empat subsistem lainnya. Proses pembelajaran tidak hanya dapat dilaksanakan pada tingkat individual maupun kelompok/tim saja melainkan juga dilaksanakan pada tingkat organisasional. Lima subsistem LO menurut Marquardt dapat digambarkan sebagai berikut :

(46)

Konsep LO merupakan konsep yang penting dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program KP. Dengan adanya konsep LO yang baik maka diharapkan akan terjadi perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya KP yang baik yang mana sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkah-langkah upaya penerapan KP.

2.8 Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Keselamatan pasien menjadi isu penting yang terus-menerus disosialisasikan di organisasi pelayanan kesehatan karena makin maraknya tuntutan terhadap pelayanan RS yang berbasis keamanan/keselamatan pasien yang tinggi. Sehingga KP merupakan prioritas utama mutu dan citra RS dan juga merupakan komponen kritis dari mutu pelayanan kesehatan.

Upaya membangun budaya keselamatan merupakan langkah awal yang harus dilakukan pada permulaan proses pengembangan KP dengan melakukan penilaian terhadap budaya KP. Dengan adanya sikap, nilai, keyakinan, persepsi, norma, kompetensi dan prosedur terkait KP akan terbentuk persepsi dokter dan staf mengenai perilaku KP di wilayah kerja mereka.

Konsep learning organization merupakan konsep penting dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program KP. Dengan konsep LO yang baik diharapkan akan terjadi kemampuan untuk belajar dari pengalaman yang terjadi sehingga terjadi perbaikan yang berkelanjutan dan akan tercipta budaya KP yang baik yang sangat diperlukan sebagai acuan dalam perencanaan langkah-langkah upaya penerapan KP.

(47)

3.1 Sejarah RS.Masmitra

RS.Masmitra adalah rumah sakit umum swasta tipe D yang mulai beroperasi pada tanggal 4 Oktober 2007. Berawal dari rumah sakit ibu dan anak bernama RSIA Graha Kasih Ibu dan Balita, rumah sakit ini berganti nama menjadi RSIA.Masmitra pada tanggal 5 Maret 2008 dan memberanikan diri mendeklarasikan menjadi rumah sakit umum RS.Masmitra pada tanggal 25 November 2013. Pembangunan fisik dan renovasi di berbagai lini terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi. Rencana awal pembangunan fisik gedung direncanakan untuk 4 lantai tetapi hingga saat ini lantai 3 masih belum beroperasi dan pelayanan dilebarkan menjadi rumah sakit umum dikarenakan kepercayaan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih lengkap lagi.

RSIA Masmitra tumbuh dan berkembang menjadi RS.Masmitra dan akan mengemban ijin tetap operasional sebagai rumah sakit umum pada November 2014 ini. Rumah Sakit ini adalah rumah sakit swasta yang status kepemilikannya adalah perseorangan yaitu H.Ir.Kamidi dengan pengelolaan oleh keluarga.

3.2 Visi, Misi, Motto dan Nilai yang dimiliki RS.Masmitra 3.2.1 Visi

Menjadi rumah sakit pilihan yang memberikan pelayanan terbaik, aman, bermutu tinggi dan inovatif

(48)

3.2.2 Misi

 Menyediakan layanan secara paripurna yang konsisten dan berfokus pada pasien

 Meningkatkan mutu kompetensi individu, tim dan pihak terkait dengan mengedepankan komitmen dan kerjasama secara berkesinambungan

3.2.3 Motto

"Ikhlas dalam Melayani" 3.2.4 Nilai yang dimiliki

 Integritas  Etika  Konsisten  Komitmen  Kerjasama Tim  Pembelajaran

3.3 Profil Rumah Sakit

Nama Rumah Sakit : Rumah Sakit Masmitra

Nama Pemilik : PT. Dharmakarya Indoperkasa

Alamat :Jl.Kelurahan Jatimakmur no.40, kelurahan Jatimakmur, kecamatan Pondok Gede, kota Bekasi

No. telp/ fax : (021) 84971766 / (021) 8483047 No Ijin Operasional : 445.1/Kep.423-BPPT/VIII/2013

(49)

Masa berlaku : 25 November 2014

Jumlah TT : 100 TT (sekarang ada 63 TT) Sifat Ijin : Operasional Sementara

Luas bangunan : 3.736 m2 terdiri dari 4 lantai yaitu :  Lantai I dengan luas 1.475 m2

 Lantai II dengan luas 1.285,75 m2  Lantai III dengan luas 749,25 m2  Lantai IV dengan luas 226 m2 Luas lahan : 3.400 m2

Kapasitas lahan parkir : 50 mobil, 100 motor

3.4 Jenis Pelayanan 3.4.1 Fasilitas Pelayanan

1. UGD : 24 Jam ( dokter 24 jam, bidan 24 jam) 2. Rawat Jalan

a. Poli Dokter Spesialis : - Spesialis Anak

- Spesialis Kebidanan dan Kandungan - Spesialis Penyakit Dalam

- Spesialis Bedah - Spesialis THT - Spesialis Syaraf

(50)

- Spesialis Anestesi b. Poli Dokter Gigi

3. Rawat Inap

a. kelas SVIP dengan jumlah tempat tidur = 1 TT b. kelas VIP dengan jumlah tempat tidur = 5 TT c. Kelas I dengan jumlah tempat tidur = 6 TT d. Kelas II dengan jumlah tempat tidur = 12 TT e. Kelas III dengan jumlah tempat tidur = 24 TT f. Ruang Isolasi dengan jumlah tempat tidur = 4 TT g. Ruang Bayi dengan jumlah tempat tidur = 7 TT h. Ruang Perina dengan jumlah tempat tidur = 2 TT i. Ruang HCU dengan jumlah tempat tidur = 2 TT 4. Laboratorium 5. Instalasi Farmasi 6. Klinik Fisioterapi 7. Kamar Operasi 8. Kamar Bersalin 9. Ambulance 24 Jam

3.4.2 Sarana dan Prasarana

RS.Masmitra memiliki 63 tempat tidur (TT) dan sedang dalam penyelesaian lantai 3 untuk menambah ruangan perawatan agar dapat memenuhi syarat menjadi rumah sakit tipe C dengan jumlah 100 tempat

(51)

tidur. Area RS.Masmitra dimulai dari gerbang masuk, melewati gerai ATM, lobby depan RS, pos satpam lalu melalui pos petugas parkir untuk menuju ke area parkir dan taman. Setelah itu memasuki gedung rumah sakit yang terbagi dalam 4 lantai yaitu:

Lantai I, terdiri dari : ruang UGD, ruang bersalin (VK), ruang operasi, ruangan konsultasi/pemeriksaan dokter spesialis (10 ruangan), ruangan pendaftaran dan customer service, ruangan rekam medik, ruangan instalasi farmasi, ruangan laboratorium, ruangan radiologi, ruangan administrasi/kasir, ruang ganti perawat, ruang tunggu pasien (lobby), ruang fisioterapi, ruang gizi dan dapur, kamar jenazah, toilet, ruang ganti popok dan menyusui, ruang akupuntur dan senam hamil, parkir (mobil dan motor), serta ruang laundry.

Lantai II, terdiri dari ruang perawatan anak, laki-laki dan wanita dewasa yang terbagi menjadi ruang perawatan Aster dan ruang perawatan Belladona. Terdapat juga nurse station perawatan, ruang server dan IT, ruang isolasi dan kamar ganti perawat.

Lantai III (dalam tahap pembangunan) antara lain terdapat ruang HCU dan ruang tunggu pasien beserta keluarganya.

Lantai IV terdiri dari ruang direksi, ruang sekretariat, meeting room, musholla, gudang logistik dan gudang arsip keuangan.

(52)

3.5 Struktur Organisasi RS.Masmitra

Gambar 3.1. Struktur Organisasi RS.Masmitra

Sumber : Bagian sekretariat RS.Masmitra

3.6 Gambaran Ketenagaan RS.Masmitra

Tabel 3.1. Gambaran Ketenagaan RS.Masmitra

NO JENIS TENAGA KARYAWAN TETAP PARUH WAKTU TOTAL

(53)

2. Dokter Obsgyn 1 4 5 3. Dokter Anak 1 4 5 4. Dokter Interna 1 0 1 5. Dokter Gigi 1 6 7 6. Dokter Bedah 1 0 1 7. Dokter Anestesi 1 0 1 8. Dokter THT 1 0 1 9. Dokter Syaraf 0 1 1 10. Apoteker 1 1 2 11. Perawat 25 3 28 12. Bidan 20 0 20 13. Analis laboratorium 3 3 6 14. Ahli gizi 1 0 1 15. Asisten Apoteker 9 0 9 16. Rekam Medis 5 0 5 17. Fisioterapis 1 0 1

18. Office dan security 33 1 34

19. Radiographer 3 0 3

Total 109 23 132

(54)

3.7 Indikator Pelayanan RS.Masmitra

Gambar 3.2. BOR (Bed Occupancy Rate) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013

Rata-rata Pemakaian Tempat Tidur RS.Masmitra pada 3 tahun terakhir sebesar 33,4 % dan mengalami kenaikan cukup signifikan dari BOR 26,8% tahun 2011 menjadi 32,4% di tahun 2012 dan 40,9% di tahun 2013. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata pemakain tempat tidur di RS.Masmitra semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya mutu pelayanan di RS.Masmitra.

Gambar 3.3. ALOS (Average Length of Stay) RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013

Dari gambar 3.3. di atas terlihat bahwa lama rawat inap pasien selama tahun 2011 hingga tahun 2012 rata-rata adalah 2 hingga 3 hari. Hal ini dipengaruhi oleh jenis operasi yang dilakukan kebanyakan adalah operasi

Gambar

Tabel 1.1. Data Insiden Keselamatan Pasien yang tercatat   di RS.Masmitra tahun 2011, 2012 dan 2013
Gambar 2.1. Tingkatan Budaya Schein
Gambar 2.2. Komponen dan tingkatan intervensi organisasi (Russel, 2001)
Gambar 2.3. Karakteristik tipe budaya organisasi (Cameron&Quin, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait