• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH NOMINAL PEKERJA PRODUKSI PADA INDUSTRI KARYA DAN PADAT MODAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN UPAH NOMINAL PEKERJA PRODUKSI PADA INDUSTRI KARYA DAN PADAT MODAL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KELEMBAGAAN DALAM PENENTUAN

UPAH NOMINAL PEKERJA PRODUKSI PADA INDUSTRI

KARYA DAN PADAT MODAL

Joko Susanto

Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta Jl. Lingkar Utara, Condong Catur, Depok, Sleman

E-mail: jk.susanto.68@gmail.com

ABSTRACT

This research investigates the influence of institutional factors on wage levels of the production workers in the labor-intensive and capital intensive industries. The institutional factors include the provincial minimum wage and the union law. The data published by BPS is used in this study. This study use regression analysis based on error correction model. The results show that in the labor-intensive industries, the provincial minimum wage significantly influence the wages level of production workers, while in the capital-intensive industries the provincial minimum wage does not have effect. Meanwhile, the enforcement of union laws have no effect on the wages of production workers both in the labor-intensive and capital-intensive industries.

Keywords: Minimum Wage, Union Law, Labor and Capital-Intensive Industries.

PENDAHULUAN

Masalah pengupahan telah menjadi masalah rumit dan berkepanjangan. Selama ini sebagian besar pekerja merasa belum sejahtera. Untuk itu, seringkali pekerja menuntut kenaikan upah agar kesejahteraannya meningkat. Tuntutan kenaikan upah berpotensi menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Perselisihan tersebut menye-babkan kegiatan perusahaan terganggu. Apabila perselisihan tersebut tidak bisa diselesaikan, maka kedua pihak menghaapi risiko kerugian. Pengusaha merugi karena proses produksi tidak berjalan sehingga tidak ada penerimaan, sedangkan pekerja merugi karena tidak dapat bekerja sehingga tidak ada pendapatan bagi pekerja tersebut (Barutu, 2003). Hal ini justru berlawanan dengan tujuan hubungan

industrial yang berupa peningkatan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha.

Ketidakserasian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha kebanyakan disebabkan oleh ketidakpuasan pekerja terhadap sistem pengupahan yang ada. Masalah hubungan industrial menjadi lebih kompleks karena beberapa perusa-haan masih menggunakan perjanjian kerja (PK), akibat belum memiliki kesepakatan kerja bersama (KKB) atau perjanjian kerja bersama (PKB) (Rahayu, 2002). Komplek-sitas masalah hubungan industrial di Indonesia juga disebabkan faktor kelebihan jumlah pasokan tenaga kerja relatif terhadap permintaannya (labor

surplus). Kelebihan pasokan tenaga kerja

ditandai dengan kelebihan jumlah pencari kerja di atas jumlah lapangan kerja tersedia (Tjiptoherijanto,1993:417). Kele-bihan pasokan tenaga kerja menyebabkan

(2)

rendahnya tingkat upah yang diterima pekerja.

Pemerintah berupaya mengatasi masalah tesebut dengan pemberlakuan ketentuan upah minimum guna mening-katkan kesejahteraan pekerja (Suryahadi et

al., 2003:31). Upah minimum ini besarnya

melebihi tingkat upah pasar. Ketentuan upah minimum merupakan suatu faktor kelembagaan dan diujudkan dalam peraturan upah minimum propinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten (UMK). Ketentuan upah minimum mengakibatkan upah nominal sulit untuk turun di bawah tingkat upah minimum.

Perubahan faktor kelembagaan yang lain adalah perubahan sistem hubungan industrial seiring dengan pengesahan Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Pengesahan undang-undang tersebut menunjukkan perubahan pada sisi kelembagaan dalam wujud pemberian kemudahan bagi pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Sistem hubungan industrial berubah dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu : 2004).

Sistem penentuan upah terdesentrali-sasi cenderung mengutamakan perbaikan upah sehingga dapat meningkatkan utilitas pekerja. Desentralisasi hubungan indus-trial memberikan kekuatan tawar lebih besar bagi serikat pekerja pada saat berunding dengan pengusaha. Kenaikan kekuatan tawar serikat pekerja memung-kinkan adanya kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Tawar-menawar upah yang terdesentralisasi cenderung mengarah kepada stuktur upah egalitarian (Barth dan Zweimuller, 1995). Kondisi ini berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya terdapat satu organisasi pekerja yang dikontrol oleh pemerintah sehingga

tidak ada kekuatan tawar pekerja dalam penentuan tingkat upah (Masyhuri, 1998).

Selanjutnya penelitian ini akan mengkaji pengaruh faktor kelembagaan yang meliputi upah minimum propinsi dan pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja produksi terhadap tingkat upah nominal pekerja produksi industri padat karya dan padat modal. Obyek penelitian ini dibatasi pada upah nominal pekerja produksi karena sebagian besar pekerja pada industri manufaktur baik padat karya maupun padat modal merupakan pekerja produksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor kelembagaan yang meliputi upah minimum propinsi dan pengesahaan undang-undang serikat pekerja terhadap upah nominal pekerja produksi pada industri padat karya dan padat modal.

TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Penentuan Tingkat Upah Nominal

Pelaku ekonomi lebih menyukai penentuan upah dalam nominal daripada riil (Shafir et al., 1997). Upah nominal menunjukkan besarnya pemberian pengusaha kepada pekerja. Sementara itu, tingkat upah riil sering kali bergantung pada faktor-faktor yang berada di luar kemampuan pekerja dan pengusaha. Tingkat upah nominal ditentukan berdasar produktivitas pekerja. Produktivitas pekerja mencerminkan kemampuan pekerja untuk menghasilkan output. Perusahaan yang memaksimumkan laba akan menentukan tingkat upah nominal setinggi penerimaan produk marjinal tenaga kerja (Marginal Revenue Product

of Labor). Penerimaan produk marjinal

tenaga kerja menggambarkan produktivitas pekerja. Fungsi penerimaan produk

(3)

marji-nal tenaga kerja juga merupakan fungsi permintaan tenaga kerja. Sementara itu fungsi penawaran tenaga kerja dihasilkan dari penentuan alokasi waktu antara bekerja dan leisure (McConnell, et al., 2003: 27).

Upah nominal ditentukan melalui suatu mekanisme di pasar tenaga kerja. Pasar tenaga kerja merupakan pertemuan antara permintaan dengan penawaran tenaga kerja. Mekanisme pasar tenaga kerja melalui interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga kerja menentukan tingkat upah nominal dan employment (McConnell, et al., 2003: 169). Keseim-bangan pasar tenaga kerja tercapai pada saat kurva permintaan tenaga kerja berpotongan dengan kurva penawaran tenaga kerja. Jumlah pekerja diminta sama dengan jumlah pekerja yang bersedia bekerja. Apabila tidak ada campur tangan (intervensi) dari luar, maka keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai. Pada kondisi ini tidak terdapat kecenderungan tingkat upah nominal dan employment untuk berubah.

Upah Minimum

Seringkali upah nominal yang dihasilkan melalui mekanisme pasar dipandang terlalu rendah. Untuk itu, pemerintah memberlakukan ketentuan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan tingkat upah pasar agar kesejahteraan pekerja dapat meningkat. Peraturan upah minimum ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar tenaga kerja (Hillier,1991:21).

Ketidakseimbangan pasar tenaga kerja akibat pemberlakuan upah minimum ditandai dengan adanya kelebihan penawaran tenaga kerja. Jumlah pekerja yang bersedia bekerja lebih besar dibandingkan jumlah pekerja yang diminta. Dengan demikian terdapat sejumlah pekerja yang bersedia bekerja pada tingkat upah minimum tersebut,

tetapi tidak mendapatkan pekerjaan yang dicarinya (Pindyck dan Rubinfield, 2001: 300). Hal tersebut menyebabkan sejumlah pencari kerja terpaksa menjadi penganggur.

Peranan Serikat Pekerja

Serikat pekerja berperan memper-juangkan perbaikan kesejahteraan pekerja antara lain melalui peningkatan upah (Bosworth et al., 1996:346). Upaya serikat pekerja untuk meningkatkan upah pekerja dilakukan antara lain melalui tawar-menawar dengan pengusaha agar upah yang dibayarkan melebihi upah pasar. Kekuatan tawar serikat pekerja bergantung antara lain pada jumlah pekerja yang menjadi anggotanya. Semakin besar jumlah anggota suatu serikat pekerja, maka semakin besar pula kekuatan serikat pekerja tersebut, dan sebaliknya.

Sistem hubungan industrial di Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Pengesahan undang-undang tersebut mem-berikan kemudahan dalam membentuk serikat pekerja. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya jumlah serikat pekerja terutama pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001). Sistem hubungan industrial berubah dari sistem yang terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu,2004).

Di sisi lain, kenaikan jumlah serikat pekerja setelah pengesahan undang-undang serikat pekerja ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah anggota, sehingga sejumlah serikat pekerja mengalami kekurangan anggota. Kurang-nya jumlah anggota merupakan masalah besar yang dihadapi serikat pekerja. Se-rikat pekerja yang hanya memiliki anggota kurang dari separo jumlah pekerja dalam

(4)

tempat kerja akan sangat lemah (Apindo, 2006). Hal ini menyebabkan perjuangan serikat pekerja tidak efektif.

Penelitian Terdahulu

Rama (2001:864-881) mengkaji dampak pengenaan upah minimum pada tingkat upah dan employment di Indonesia. Rama (2001) menggunakan alat analisis ekono-metri dengan variabel mencakup upah minimum, produk domestik bruto, jumlah penduduk dan tingkat employment. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengenaan upah minimum mengakibatkan kenaikan upah dan penurunan tingkat

employment. Kenaikan upah minimum

pada awal 1990 mengakibatkan kenaikan upah nominal sebesar 5 sampai 15 persen disertai dengan penurunan employment di perkotaan sebesar 1 sampai 5 persen.

Hasil penelitian yang dilakukan Pedro Portugal (2006: 89-100) di Portugal memperoleh temuan adanya peraturan ketenagakerjaan di negara itu yang melarang penurunan upah nominal. Hal ini mengakibatkan upah nominal bersifat tegar untuk turun. Sementara itu, penelitian Holden dan Wulfsberg (2007) pada beberapa industri manufaktur di negara-negara kerjasama ekonomi dan pembangunan (OECD) menunjukkan bahwa intensitas serikat pekerja dan undang-undang tenaga kerja berpengaruh pada penentuan upah. Kenaikan intensitas serikat pekerja dan semakin ketatnya penerapan undang-undang tenaga kerja menjadikan upah nominal sulit untuk turun.

METODA PENELITIAN Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) periode 1997-2005. Data penelitian ini meliputi upah

nominal pekerja produksi, produktivitas pekerja, dan upah minimum propinsi. Dalam penelitian ini, data industri padat karya mencakup seluruh industri besar dan sedang yang termasuk dalam kelompok industri pakaian jadi. Sementara itu, data industri padat modal mencakup seluruh industri besar dan sedang yang termasuk dalam kelompok industri kimia.

Definisi Variabel Operasional

Berikut akan dijelaskan definisi operasio-nal dari masing-masing variabel. Pertama, upah Nominal Pekerja Produksi (W) adalah keseluruhan pengeluaran upah untuk pekerja produksi industri padat karya maupun padat modal dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per pekerja per bulan. Kedua, produktivitas pekerja (Y) adalah nilai riil barang yang dihasilkan oleh industri padat karya maupun padat modal dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan produktivitas pekerja adalah ribu rupiah per pekerja per bulan.

Ketiga, upah Minimum Propinsi (UMP) adalah upah minimum propinsi DKI Jakarta. Hal ini berdasar pertimbangan bahwa sebagian besar industri yang menjadi obyek penelitian berlokasi di Jakarta dan sekitarnya. Penggunaan variabel upah minimum propinsi (UMP) dikarenakan pada periode penelitian belum ada ketentuan upah minimum sektoral propinsi (UMSP). Satuan Upah Minimum Propinsi adalah ribu rupiah per pekerja per bulan. Keempat, Undang-Undang Serikat Pekerja (UUSP) adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Untuk variabel ini digunakan variabel dummy. Variabel

(5)

2001-2005, dan bernilai 0 untuk periode 1997-2000.

Cakupan Jenis Industri Padat Karya dan Padat Modal

Sesuai dengan publikasi Statistik Industri dari BPS, cakupan industri padat karya meliputi industri pakaian jadi dari tekstil, industri pakaian jadi lainnya dari tekstil, industri pakaian jadi dari kulit, dan industri pakaian jadi lainnya dari kulit. Sementara itu, industri padat modal meliputi industri kimia dasar anorganik khlor dan alkali, kimia dasar anorganik gas industri, kimia dasar anorganik pigmen, kimia dasar anorganik yang tidak diklasi-fikasikan di tempat lain, kimia dasar organik, bahan baku zat warna dan pigmen, kimia dasar organik bersumber minyak bumi, gas bumi dan batu bara, kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus, damar buatan dan bahan plastik, pestisida, cat, pernis dan lak, bahan farmasi, farmasi, kosmetik, perekat dan tinta. Karena obyek penelitian mencakup berbagai macam industri selama periode 1997-2005, maka data penelitian merupakan data panel.

Alat Analisis

Penelitian ini menggunakan model regresi dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square). Hal ini dikarenakan jumlah sampel industri padat karya (pakaian jadi) relatif kecil sehingga tidak dimungkinkan bagi penggunaan metode estimasi lain seperti misalnya

GMM (Generalized Method of Moment).

Selanjutnya model penelitian diujudkan dalam model koreksi kesalahan (Error

Correction Model= ECM) berikut.

it t it k j ij it j it k j ij k j it ij i it u ECT UUSP UMP dY dW           

1 1 0 1      (1) Keterangan: W adalah upah nominal pekerja produksi, Y adalah produkivitas pekerja, UMP adalah upah minimum propinsi, UUSP adalah pengesahan undang-undang serikat pekerja

Koefisien , dan  diharapkan bertanda positif, sedangkan koefisien λ diharapkan bertanda negatif. Dengan melakukan estimasi terhadap persamaan

ECM dengan lag yang tepat, koefisien

parameter estimasi jangka pendek dapat diketahui. Begitu juga koefisien kecepatan penyesuaian (λ = speed of adjustment). Nilai λ menunjukkan besarnya kecepatan nilai upah nominal menuju kondisi equilibrium jangka panjang.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Kuantitatif

Salah satu konsep penting dalam teori ekonometri adalah anggapan stasioneritas variabel-variabel yang diestimasi. Data yang stasioner memiliki kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya. Sementara itu, data yang non-stasioner tidak memiliki kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya. Apabila dua atau lebih variabel tidak stasioner, maka regresi yang menggunakan data tersebut menghasilkan estimator yang bias dan tidak konsisten.

Untuk mengetahui apakah variabel yang diobservasi tidak stasioner atau stasioner digunakan uji akar-akar unit. Selanjutnya uji akar-akar unit dalam penelitian ini menggunakan model Im et

al. (1997). Pengujian ini dilakukan

berdasar rata-rata ADF statistik yang dihitung untuk setiap group dalam panel yang dikenal sebagai t-bar test. Pengujian akar-akar unit Im et al. memiliki small

(6)

pengujian Levin dan Lin pada saat N melebihi T (Im et al., 1997).

Hasil uji akar-akar unit model Im et al. menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam model tidak stasioner pada level. Untuk itu, pengujian dilanjutkan dengan

uji derajat integrasi guna mengetahui pada derajat integrasi ke berapa variabel-variabel tersebut stasioner. Hasil uji derajat integrasi menunjukkan bahwa seluruh variabel stasioner pada derajat integrasi pertama (Tabel 1 dan Tabel 2).

Tabel 1

Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya Berdasar Model Im et al.

Variabel Aras (level) Differensi Pertama

t-statistik Nilai kritis t-statistik Nilai Kritis

W1i,t 1,782 -1,645 -4,214)* -1,645

Yi,t 5,177 -1,645 -6,392)* -1,645

UMPi,t 8,562 -1,645 -1,862)* -1,645 *) menunjukkan signifikansi pada tingkat (α=5% )

Tabel 2

Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal Berdasar Model Im et al.

Variabel Aras (level) Differensi Pertama

t-statistik Nilai kritis t-statistik Nilai Kritis

W2i,t 1,642 -1,645 -2,409)* -1,645

Yi,t -1,523 -1,645 -2,851)* -1,645

UMPi,t 8,562 -1,645 -1,862)* -1,645

*) menunjukkan signifikansi pada tingkat (α=5% ) Tahapan selanjutnya setelah

pengujian akar-akar unit dan derajat integrasi adalah uji kointegrasi. Melalui uji kointegrasi akan diketahui apakah suatu set variabel berkointegrasi ataukah tidak. Pendekatan ini berkaitan dengan kemungkinan adanya hubungan keseim-bangan jangka panjang antar variabel ekonomi seperti yang dikehendaki dalam teori ekonomi. Pengujian kointegrasi mengacu pada model pengujian yang dikembangkan Pedroni (1999).

Hasil pengujian kointegrasi menun-jukkan adanya penolakan terhadap hipotesis H0 yang menyatakan tidak

adanya kointegrasi untuk model panel Philips-Perron statistik dan panel ADF statistik (Tabel 3). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa residual regresi kointegrasi adalah stasioner I(0), sehingga variabel-variabel dalam model berkointe-grasi atau memiliki hubungan keseim-bangan jangka panjang.

(7)

Tabel 3.

Hasil Uji Kointegrasi Pedroni

No. Panel Statistik Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya

Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal

Nilai Kritis Pedroni 1. Panel V-stat -0,016 -1,174 -1,645 2. Panel Rho-stat 0,803 2,043 1,645 3. Panel PP-stat -2,313)* -2,615)* -1,645 4. Panel ADF-stat -1,732)* -2,208)* -1,645 5. Panel Rho-stat 1,810 3,931 1,645 6. Panel PP –stat -2,139)* -2,782)* -1,645 7. Panel ADF-stat -2,003)* -2,954)* -1,645 *) signifikan pada (α = 5% )

Selanjutnya untuk menghindari kesalahan spesifikasi model akibat lag terlalu pendek dan pengurangan derajat kebebasan akibat lag terlalu panjang, maka perlu ditentukan panjang lag yang tepat. Penentuan panjang lag dilakukan berdasar

kriteria Akaike. Hal ini dikarenakan kriteria Akaike lebih unggul dibandingkan kriteria lain (Liew, 2004:1-9). Berdasar kriteria tersebut, panjang lag optimum adalah 2 tahun (Tabel 4).

Tabel 4.

Hasil Penentuan Panjang Lag Berdasar Kriteria Akaike

Panjang Lag

Model Upah Nominal Pekerja Produksi

Industri Padat Karya Industri Padat Modal 1 1 10,687 14,873

1 2 10,385)* 14,821)* 1 3 10,483 14,853 2 2 11,222 15,103 2 3 10,986 15,074

*) panjang lag optimum Hasil Analisis Kualitatif

Model koreksi kesalahan (ECM) memiliki keseimbangan yang tetap dalam jangka panjang antara variabel-variabel ekonomi. Apabila dalam jangka pendek terdapat ketidakseimbangan, maka ECM akan melakukan koreksi pada periode berikutnya. Mekanisme koreksi kesalahan merupakan penyelaras perilaku jangka pendek dan jangka panjang. Melalui mekanisme ini masalah regresi lansung dapat dihindari dengan penggunaan

variabel-variabel difference, tanpa meng-hilangkan informasi jangka panjang akibat penggunaan data difference.

Selanjutnya untuk memilih model yang baik apakah Fixed Effects atau

Random Effects perlu dilakukan pengujian

Hausman. Hasil pengujian Hausman pada model upah nominal industri padat modal menunjukkan nilai F-hitung melebihi nilai F-tabel pada signifikansi (α = 5%), sehingga model yang baik adalah model Fixed

(8)

persama-an upah nominal pekerja produksi industri padat karya hanya bisa diestimasi dengan model Fixed Effects. Hal ini dikarenakan

jumlah paramater yang diestimasi melebihi jumlah unit belah silang. .

Tabel 5.

Hasil Pengujian Hausman

Model Upah Nominal

Pekerja Produksi F-hitung F-tabel 5% Keterangan Model dipilih

Industri Padat Modal 5,140 3,41 F-hitung

signifikan

Fixed Effects

Hasil estimasi model ECM diperoleh melalui estimasi terhadap Persamaan (1). Selanjutnya dilakukan reduksi terhadap paramater-paramater yang tidak signifikan dengan mengaplikasikan uji redundant

coefficient sehingga diperoleh hasil

estimasi yang sederhana. Hasil tersebut dipergunakan sebagai dasar analisis (Tabel 6 dan Tabel 7)

Nilai R2 yang dihasilkan baik model upah nominal pekerja produksi industri padat karya maupun padat modal relatif tinggi. Hal ini mengingat model regresi didasarkan pada variabel diferensi pertama dan bukan variabel-variabel pada level. Dengan demikian variasi upah nominal pekerja produksi industri padat karya dan

padat modal yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel penjelas masing-masing sebesar 59,5 persen dan 43,5 persen.

Variabel produktivitas pekerja (DYi,t)

berpengaruh positif terhadap upah nominal pekerja produksi. Dalam jangka pendek, kenaikan produktivitas pekerja masing-masing sebesar 1 ribu rupiah per pekerja per bulan mengakibatkan kenaikan upah nominal pekerja produksi sebesar 1 rupiah (untuk pekerja produksi industri padat karya) dan 6 rupiah (untuk pekerja produksi industri padat modal). Kenaikan produktivitas pekerja menunjukkan kenaikan kontribusi pekerja sehingga mereka berhak atas upah lebih tinggi.

Tabel 6

Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Karya (Fixed Effects)

Nomor. Variabel Koefisien (ribu rupiah) t-statistik t-tabel (α =5%) 1. C -32.412 -0,665 -1,645 2. DW1i,t-1 0,518 1,560 1,645 3. DY i,t 0,001 1,813)* 1,645 4. DY i,t-2 0,001 0,641 1,645 5. DUMPi,t 1,533 2,282)* 1,645 6. DUMPi,t-2 0,594 0,849 1,645 7. UUSP -6,928 -0,256 -1,645 8. ECT1i,t-1 -0,801 -2,674)* -1,645 Variabel dependen: DW1i,t , R2 = 0,595

(9)

Tabel 7

Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Upah Nominal Pekerja Produksi Industri Padat Modal (Fixed Effects)

Nomor. Variabel Koefisien (ribu rupiah) t-statistik t-tabel (α =5%) 1. C 144,600 1,383 1,645 2. DW2i,t-2 0,169 1,499 1,645 3. DY i,t 0,006 3,011)* 1,645 4. DY i,t-2 -0,001 -0,258 -1,645 5. DUMPi,t 0,792 0,564 1,645 6. DUMPi,t-1 -0,793 -0,255 -1,645 7. UUSP -4,866 -0,094 -1,645 8. ECT2i,t-1 -0,528 -4,476)* -1,645 Variabel dependen: DW2i,t

R2 = 0,435

Selanjutnya, variabel upah minimum propinsi (DUMPi,t) pada model upah

nominal pekerja produksi industri padat karya bertanda positif dan signifikan. Hal ini diduga karena tingkat upah nominal pekerja produksi industri padat karya lebih rendah daripada upah minimum propinsi. Kenaikan upah minimum propinsi menye-babkan pengusaha pada industri padat karya menaikkan tingkat upah nominal pekerja produksi. Sementara itu, variabel upah minimum propinsi (DUMPi,t) pada

model upah nominal pekerja produksi industri padat modal tidak signifikan. Hal ini diduga karena tingkat upah nominal pekerja produksi industri padat modal telah melebihi upah minimum propinsi.

Variabel undang-undang serikat pekerja (UUSP) tidak signifikan baik pada model upah nominal pekerja produksi industri padat karya maupun upah nominal pekerja produksi industri padat modal. Hal tersebut menunjukkan bahwa desentra-lisasi hubungan industrial tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar serikat pekerja. Serikat pekerja lemah. Jumlah serikat pekerja yang berlebihan, pasca pengesahan undang-undang serikat peker-ja, justru kontra produktif bagi

kepenting-an perjukepenting-angkepenting-an serikat pekerja (Apindo, 2006 ).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pada industri padat karya, upah minimum propinsi berpengaruh positif terhadap upah nominal pekerja produksi. Sementara itu, upah minimum propinsi tidak berpengaruh terhadap upah nominal pekerja produksi industri padat modal. Kedua, Pengesahan undang-undang serikat pekerja tidak berpengaruh terhadap upah nominal pekerja produksi baik pada industri pada karya maupun padat modal.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang menjadi saran. Pertama, pemerintah daerah, khususnya yang belum memberlakukan peraturan upah minimum sektoral propinsi, perlu menetapkan upah minimum sektoral propinsi sehingga ketentuan upah minimum dapat

(10)

mencerminkan kondisi setiap industri yang ada di daerah tersebut. Kedua, jumlah serikat pekerja perlu dibatasi agar serikat pekerja tersebut mampu berperan efektif.

Pembatasan jumlah serikat pekerja dapat dilakukan antara lain berdasar jumlah pekerja yang menjadi anggotanya.

DAFTAR REFERENSI

Apindo, 2006. Serikat Pekerja : Perspektif Pengusaha, www.apindo.com. Barth, E. dan Zweimuller, J.1995.

“Relative Wage Under Decentralized and Corporatist Bargaining Systems”.

Scandina-vian Journal of Economics, 97:

369-384.

Barutu, C. 2003. “Hak Mogok Buruh dan Implikasinya Bagi Investasi Asing di Indonesia”, DPN

Apindo, Jakarta.

Bosworth, D., Dawkins, P. dan Stromback, T. 1996.The Economics of the

Labor Market, Addison Wesley

Longman.

Feridhanusetyawan, T. dan Pangestu, M. 2004. “Indonesia in Crisis: An Macroeconomic Perspective”.

Working Pape., CSIS, Jakarta.

Hillier, B. 1991. The Macroeconomic

Debate: Model of the Closed and Open Economy.Basil Blackwell. Holden, S. dan Wulfsberg, F. 2007.

“Downward Nominal Wage Rigidity in the OECD”.Working Paper. European Central Bank, No: 777.

Im, K.S., Pesaran, S.C., dan Shin, Y. 1997. “Testing for Unit Roots in Heterogeneous Panel”. Working

Paper, University of Cambridge.

Liew, V. K. 2004. "Which Lag Length Selection Criteria Should We Employ?." Economics Bulletin, 33:1−9.

Masyhuri.1998. Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Aneka Industri: Perspektif Sosial, www.ekonomi. lipi.go.id

McConnell, C., R., Brue, S. L., dan Macpherson, D. A 2003.

Contem-porary Labor Economics. New

York : McGraw-Hill,

Pedroni, P. 1999. “Critical Values For Cointegration Tests in Hetero-geneous Panels with Multiple Regressors”, Oxford Bulletin of

Economics and Statistics, Special

Issues, 563-70.

Pindyck, R.S., dan Rubinfeld, D. L. 2001.

Microeconomics. New Jersey:

Prentice Hall

Portugal, P.2006. “Wage Setting In The Portuguese Labor Market: A Microeconomic Approach”.

Economic Bulletin, 78: 89-100.

Rahayu, S. 2002.“Hubungan Industrial di Jabotabek, Bandung dan Sura-baya Pada Era Kebebasan Berserikat”, SMERU, Jakarta.

Rama, M. 2001. “The Consequences of Doubling Minimum Wage: The

(11)

Case of Indonesia”.Industrial and

Labor Review, 54: 864-81.

Shafir E., Diamond, P. dan Tversky, A. 1997. “On Money Illusion”,

Quarterly Journal of Economics,

112 : 341-74.

Suharyadi, A., Widyanti, W., Perwira, D. dan Sumarto, S. 2003.“Minimum

Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Sector”. Bulletin of Indonesian

Economic Studies, 39: 29-50.

Tjiptoherijanto, P. 1993. “Perkembangan Upah Minimum dan Pasar Kerja”,

Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 4: 409-424.

       

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh upah dan modal terhadap penyerapan tenaga kerja pada sentra kripik pisang bandar lampung dan pandangan Ekonomi

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) untuk menguji pengaruh upah, insentif dan sistem kerja secara parsial terhadap kinerja pekerja pada

Apakah memang benar adanya hubungan antara variabel tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Investasi, Upah Minimum, dan Nilai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Efektifitas Pelaksanaan Upah Minimum Kota bagi pekerja di Pangkalpinang ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor