• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sampah merupakan buangan berupa bahan padat atau tidak padat yang tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. Sampah merupakan buangan berupa bahan padat atau tidak padat yang tidak"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Umum

Sampah merupakan buangan berupa bahan padat atau tidak padat yang tidak terpakai, pada umumnya berasal dari suatu kegiatan manusia, hewan maupun tumbuh – tumbuhan. Berdasarkan undang – undang tentang pengelolaan sampah UU No. 18 Tahun 2008 disebutkan bahwa definisi sampah adalah sisa kegiatan sehari – hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat.

Sampah yang semakin hari semakin bertambah dan menumpuk disuatu tempat dapat menyebabkan timbulnya polusi dan berbagai macam penyakit, menurunnya nilai estetika lingkungan, serta dapat menurunya nilai sumber daya. Akibat dari tumpukan sampah tersebut serta sistem pengelolaan yang kurang memadai ini dapat menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah Kota/Kabupaten mengenai pengelolaan sampah.

Pengelolaan sampah Kota / Kabupaten terutama di Provinsi Lampung secara umum masih memakai paradigma lama yakni dengan sistem kumpul – angkut – buang. Pengumpulan dan pengangkutan sampah di Kota/Kabupaten

(2)

tersebut masih belum terorganisir dengan baik. Akibatnya semakin banyaknya tumpukan sampah dan semakin besar pula biaya serta berpotensi menimbulkan konflik dan bencana. Kondisi untuk tempat pembuangan akhir di Kota/Kabupaten sebagian besar masih memakai sistem open dumping, dikarenakan keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dll). Akan tetapi sejak diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2008, sistem open dumping sudah tidak bisa dipergunakan, karena akan berpotensi mencemari lingkungan dan digantikan dengan sistem sanitary landfill.

B. Klasifikasi Sampah dan Timbulan Sampah

Sampah dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara tergantung dari kondisi yang dianut oleh kebijakan negara setempat. Penggolongan ini dapat didasarkan atas sumber sampah, komposisi, bentuk, lokasi, proses terjadinya, sifat, dan jenisnya. Penggolongan ini sangat penting dalam penentuan penanganan dan pemanfaatan sampah.

Berdasarkan tingkat penguraian, sampah pada umumnya dibagi menjadi dua macam (Hadiwiyoto, 1983):

a) Sampah organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa – senyawa organik, karena tersusun dari unsur - unsur seperti C, H, O, N, dan sebagainya. Sampah organik umumnya dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme, contohnya sisa makanan, karton, kain, karet, kulit, sampah halaman.

(3)

b) Sampah anorganik, yaitu sampah yang bahan kandungannya bersifat anorganik dan umumnya sulit terurai oleh mikroorganisme. Contohnya kaca, kaleng, alumunium, debu, dan logam lainnya.

Klasifikasi sampah berdasarkan kandungan organik dan anorganik (Tchobanoglous, 1993) :

a) Sampah basah adalah sampah yang mengandung unsur-unsur organik, sifatnya mudah terurai dan membusuk, dan akan menghasilkan air lindi. Sampah golongan ini merupakan sisa - sisa pengolahan atau sisa - sisa makanan dari rumah tangga, hasil sampingan kegiatan pasar.

b) Sampah kering adalah sampah yang mengandung unsur-unsur anorganik, tidak membusuk, tidak mudah terurai, dan tidak mengandung air. Sampah jenis ini terdiri atas:

Sampah mudah terbakar (combustible) seperti kayu, kertas, kain, dan lain-lain.

Sampah tidak mudah terbakar (non combustible) seperti logam, kaca, keramik, dan lain-lain.

c) Abu adalah sampah yang mengandung unsur organik dan anorganik yang berasal dari proses atau kegiatan pembakaran baik pada lingkungan rumah, kantor, atau industri.

Timbulan Sampah

Timbulan sampah bisa dinyatakan dengan satuan volume dan satuan berat. Jika digunakan satuan volume, derajat pewadahan (densitas sampah) harus dicantumkan. Oleh karena itu, lebih baik digunakan satuan berat karena

(4)

ketelitiannya lebih tinggi dan tidak perlu memperhatikan derajat pemadatan. Timbulan sampah ini dinyatakan sebagai:

 Satuan berat: kg/o/hari, kg/m2/hari, kg/bed/hari, dan sebagainya.  Satuan volume: L/o/hari, L/m2/hari, L/bed/hari, dan sebagainya.

Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari hari ke hari, antara satu daerah dengan daerah lainnya, dan antara satu negara dengan negara lainnya. Variasi ini terutama disebabkan oleh perbedaan, antara lain, jumlah penduduk, tingkat hidup masyarakat, musim, iklim, serta cara penanganan makanannya. Beberapa studi memberikan angka timbulan sampah kota di Indonesia berkisar antara 2-3 liter/orang/hari dengan densitas 200-300 kg/m3 dan komposisi sampah organik 70-80%.

Tabel 1. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen – Komponen Sumber Sampah.

Sumber: Standar Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil & Sedang di Indonesia Dept. PU, LPMB, Bandung 1993.

No. Komponen Sumber Sampah

Satuan Volume

(Liter)

Berat (kg) 1. Rumah Permanen /orang/hari 2,25 - 2,50 0,350 - 0,400 2. Rumah Semi Permanen /orang/hari 2,00 - 2,25 0,300 - 0,350 3. Rumah Non Permanen /orang/hari 1,75 - 2,00 0,250 - 0,300 4. Kantor /pegawai/hari 0,50 - 0,75 0,025 - 0,100 5. Toko/Ruko /petugas/hari 2,50 - 3,00 0,150 - 0,350

6. Sekolah /murid/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,020

7. Jalan Arteri Sekunder /m/hari 0,10 - 0,15 0,020 - 0,100 8. Jalan Kolektor Sekunder /m/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,050

9. Jalan Lokal /m/hari 0,05 - 0,10 0,005 - 0,025

(5)

Tabel 2. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota.

No. Klasifikasi Kota Volume

(L/Orang/Hari) Berat (Kg/Orang/Hari) 1. Kota Besar (500.000 – 1.000.000 jiwa) 2,75 – 3,25 0,70 – 0,80 2. Kota Sedang (100.000 – 500.000 jiwa) 2,75 – 3,25 0,70 – 0,80 3. Kota Kecil (20.000 – 100.000 jiwa) 2,50 – 2,75 0,625 – 0,70 Sumber: Standar Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil & Sedang di Indonesia Dept. PU, LPMB, Bandung 1993.

Jumlah timbulan sampah perlu diketahui, agar pengelolaan persampahan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

C. Sistem Pengelolaan Sampah

Tchobanoglous (1977), mengatakan pengelolaan sampah adalah suatu bidang yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan (sementara), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik (engineering), perlindungan alam (conservation), keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap masyarakat.

Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang bersangkut paut dengan pengendalian timbulnya sampah, pengumpulan, transfer dan transportasi, pengolahan dan pemrosesan akhir / pembuangan sampah, dengan mempertimbangkan faktor kesehatan lingkungan, ekonomi, teknologi, konservasi, estetika, dan faktor – faktor lingkungan lainnya yang erat

(6)

kaitannya dengan respons masyarakat.

Menurut UU No. 18 Tahun 2008 pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan meliputi : 1) Pembatasan timbulan sampah.

2) Pendauran ulang sampah. 3) Pemanfaatan kembali sampah.

Sedangkan kegiatan penanganan meliputi : 1) Pemilahan.

2) Pengumpulan. 3) Pengangkutan.

D. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS)

Tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan / pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Mengenai kondisi TPA di Indonesia, berdasarkan data SLHI 2007 (Damanhuri, 1995) sebagian besar merupakan tempat penimbunan sampah terbuka (open dumping) sehingga menimbulkan masalah pencemaran pada lingkungan.

Pada data tersebut menyatakan bahwa 90 % TPA dioperasikan dengan open dumping dan hanya 9 % yang dioperasikan dengan controlled landfill dan sanitary landfill.

(7)

1 . Sistem Pengolahan sampah pada TPA

Pembuangan sampah ke area landfill mempunyai beberapa tipe sistem pengolahan sampah yaitu:

a ) Open Dumping

Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi; dibiarkan terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh. Akan tetapi masih ada Pemda yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dll).

Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti:

 Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll.

 Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan.

 Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul.

 Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor.

(8)

b ) Controlled Landfill

Metoda ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.

Di Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metoda ini diperlukan penyediaan beberapa fasilitas diantaranya:

 Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan

 Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan.

 Pos pengendalian operasional.

 Fasilitas pengendalian gas metan.

 Alat berat.

(9)

c ) Sanitary Landfill

Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internsional dimana penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga sampai saat ini baru dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan. Berdasarkan peletakkan sampah di dalam sanitary landfill, maka klasifikasi dari landfill dapat dibedakan menjadi :

 Mengupas lahan secara bertahap

Pengupasan membentuk parit – parit tempat penimbunan sampah dikenal sebagai metode trench. Metode ini digunakan pada area yang memiliki muka air tanah yang dalam. Area yang digunakan digali dan dilapisi dengan bahan yang biasanya terbuat dari membran sintetis, tanah liat dengan permeabilitas yang rendah (low-permeability clay), atau kombinasi keduanya, untuk membatasi pergerakan leachate dan gasnya.

(10)

 Menimbun sampah di atas lahan.

Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, dilakukan dengan cara menimbun sampah di atas lahan. Cara ini dikenal sebagai metode area. Sampah dibuang menyebar memanjang pada permukaan tanah, dan tiap lapis dalam proses pengisian (biasanya per 1 hari), lapisan dipadatkan, dan ditutup dengan material penutup setebal 15-30 cm. Luas area penyebaran bervariasi tergantung pada volume timbulan sampah dan luas lahan yang tersedia.

Gambar 4. Klasifikasi Landfill Dengan Metode Area.

d) Improved Sanitary Landfill

Improved Sanitary landfill merupakan pengembangan dari sistem sanitary landfill, dilengkapi dengan instalasi perpipaan sehingga air sampah atau Leachate (dibaca :licit) dapat dialirkan dan ditampung untuk diolah sehingga tidak mecemari lingkungan, bila air sampah yang telah diolah tersebut akan dibuang keperairan umum, maka harus memenuhi peraturan yang telah ditentukan oleh Pemerintah RI.

(11)

mengenai buangan air limbah. Pada Improved Sanitary landfill juga dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan Gas yang dihasilkan oleh proses dekomposisi sampah di landfill.

E. Lindi (Leachate)

Lindi (leachate) adalah limbah cair yang dihasilkan ketika air hujan jatuh, mengalir dan meresap kedalam sampah. Air limbah ini membawa material terlarut yang didapat dari sampah yang dilewatinya. Pada umumnya leachate bersifat asam, kaya akan bahan organik yang bersifat asam, mengandung ion sulfat, dan mempunyai konsentrasi logam yang tinggi. Leachate mempunyai bau yang khas yang tidak sedap. Apabila lechate meresap kedalam tanah dan mencemari air tanah maka sumber air di sekeliling landfill akan menjadi tercemar pula (Susilo, 2007).

1) Timbulan Leachate

Tempat pembuangan akhir sampah merupakan salah satu susbsistem dalam sistem pengolahan sampah yang ditimbun di TPA dan mengalami proses pembusukan dalam jangka waktu tertentu sampai bisa berubah menjadi bahan seperti humus. Timbunan sampah yang terletak di TPA, biasanya terdiri dari bahan organik yang dapat terurai karena mengalami proses degradasi menghasilkan zat – zat hara, zat – zat kimia toksik, dan bahan organik sederhana akibat adanya air yang masuk ke dalam timbulan sampah.

(12)

Air tersebut dapat berasal dari air hujan, saluran drainase, air tanah atau sumber lain di sekitar TPA. Pada saat terjadi hujan di lokasi tempat pembuangan akhir, maka air hujan akan masuk dan meresap ke dalam tumpukan sampah yang kemudian membawa zat – zat berbahaya atau limbah cair yang keluar dari timbunan sampah yang dinamakan leacheate. Apabila limpahan tersebut sampai masuk ke dalam badan air yang ada di permukaan akan dapat mengganggu lingkungan sekitar.

Pada TPA yang masih beroperasi, BOD leachate dpat mencapai antara 2000 – 30000 mg/l, COD antara 3000 – 60000 mg/l, TOC antara 1500 – 20000 mg/l, dan PH antara 4,5 – 7,5 (Djoko H Martono).

Namun pada TPA yang sudah beroperasi lebih dari 15 tahun, pada umumnya akan terjadi penurunan kandungan BOD, COD, maupun TOC, bahkan PH dari leachate cenderung mendekati netral dan mempunyai kandungan karbon organik dan mineral yang relatif menurun ( Martin, 1991). Oleh karena itu leachate tidak dapat langsung dibuang ke badan air, karena dapat mencemari air dan mengganggu kesehatan manusia serta keseimbangan ekosistem badan air.

2) Kualitas Leachate

Secara umum kualitas leachate akan bergantung dari beberapa hal yang dapat mempengaruhi antara lain : (Enri Damanhuri, 1995)

 Variasi dan proporsi komponen dari timbunan sampah.

 Keadaan musim dan curah hujan.

(13)

 Penerapan pelaksanaan pola operasional.

 Waktu pelaksanaan sampling.

Sedangkan untuk karakteristik leachate yang khas pada beberapa tempat pembuangan akhir di Indonesia mempunyai karakter asam dan mempunyai nilai COD yang tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan karbon organik yang terkandung melebihi baku mutu efluen limbah cair. Ambang batas kualitas olahan yang diperkenankan dibuang ke badan air penerima diatur oleh masing – masing daerah. Semakin ketat nilai ambang batasnya, maka dituntut efisiensi pengolahan air lindi yang semakin tinggi. Beberapa kualitas hasil olahan yang diharapkan menurut peraturan yang berlaku di Indonesia :

Tabel 3. Beberapa Baku mutu yang berlaku di Indonesia.

Kepmen No. Klasifikasi BODs mg/l COD mg/l pH Σ N Anorganik mg/l SS mg/l Kepmen LH 03/91 Golongan I 20 40 6 – 9 10,88 100 Golongan II 50 100 6 – 9 22 200 Golongan III 150 300 6 – 9 38 400 Golongan IV 300 600 6 – 9 75 500 Kepmen LH 03/98 Kawasan Industri 50 100 6 – 9 - 200 Kepmen LH 112/03 Air Limbah Domestik 100 - 6 – 9 - 100

(14)

3) Kuantitas Leachate

Perkiraan produksi merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam perencanaan untuk menentukan Tempat Pembuangan Akhir. Sehingga nantinya dapat dibuat sistem dan rancangan dalam proses pengumpulan serta pengolahan leachate. Dalam kaitannya dengan perencanaan sarana dan prasarana sebuah TPA, harus mempunyai dua aspek yang dibutuhkan dari sebuah lahan urug, yaitu :

Adanya saluran penangkap dan pengumpul leachate, yang mempunyai skala waktu dalam orde yang kecil (berskala jam) artinya saluran tersebut hendaknya mampu menampung leachate maksimum yang terjadi pada waktu tersebut.

Adanya bangunan pengolahan leachate, yang biasanya mempunyai orde dalam skala hari, dan dikenal dengan debit rata – rata harian.

F. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Lindi Pada TPA Sampah

IPAL adalah salah satu teknologi pengolahan limbah cair yang bertujuan untuk menghilangkan / memisahkan cemaran dalam air limbah sebelum dibuang ke lingkungan sampai memenuhi baku mutu lingkungan. Instalasi pengolahan air limbah memiliki beberapa macam tempat pengelolaan yang berbeda - beda, yakni IPAL berskala domestik / permukiman, IPAL untuk industri, IPAL rumah sakit, IPAL untuk tempat pembuangan akhir (TPA), serta instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT).

Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah domestik

(15)

maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan diperlihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan. IPAL yang baik adalah IPAL yang memiliki kriteria :

 Sedikit memerlukan perawatan.

 Aman dalam pengoperasiannya.

Less biaya energi.

Less product excess (produk sampingan) seperti lumpur atau sludge IPAL.

1. Unit IPAL Pada TPA Sampah

Menurut Aluko et al. (2003) cara pengolahan air lindi yang efektif, murah dan ramah lingkungan adalah pengolahan kimia (netralisasi, oksidasi, flokulasi), filtrasi kerikil (biofilter), bak stabilisasi (bak anaerobik, fakultatif, maturasi) dan wetland. Permasalahan dalam operasional IPAL lindi biasanya adalah pengoperasian yang tidak benar karena tidak mengikuti kriteria standar desain dan SOP (standar operasional dan prosedur) (Aluko, 2003). Berikut ilustrasi Bak stabilisasi dapat dilihat pada Gambar 5.

(www.akvo.org)

(16)

a.) Kolam anaerobik

Menurut Mara (1997), kolam anaerobik biasanya memiliki kedalaman 2-5 m dan menerima limbah dengan beban organik tinggi (biasanya lebih besar dari 100g BOD/m3 hari ekivalen dengan lebih 3000 kg/hari untuk kedaman 3m). Kolam anaerobik berfungsi untuk mengolah cairan yang keluar dari kolam pengumpul yang masih mengandung kandungan BOD relatif tinggi. Proses yang terjadi dalam kolam ini adalah proses anaerobik (tanpa bantuan oksigen), sehingga kedalaman kolam ini dibuat sedemikian rupa dan pada permukaan dibiarkan terbentuk kerak buih sebagai pencegah masuknya sinar matahari ke dalam kolam.

b) Kolam Aerobik

Kolam aerobik, juga disebut sebagai kolam aerobik tingkat tinggi. Kolam ini relatif dangkal dengan kedalaman biasanya berkisar antara 0,3 sampai 0,6 m (1 sampai 2 ft) sehingga memungkinkan cahaya untuk menembus lapisan air hingga bagian dasar kolam. Hal ini menjaga agar DO tersebar di seluruh bagian kolam. Hal ini meransang kinerja ganggang sehingga terjadinya kondisi anaerobik dapat dicegah. DO pada air berasal dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh ganggang atau alga dan oksigen yang berasal dari permukaan kolam.

Bakteri aerobik memanfaatkan dan menstabilkan kandungan organik dalam air limbah untuk memperoleh nutrisi. Waktu tinggal (Hidraulic

(17)

Retention Time) di tambak adalah singkat, yaitu 3 sampai 5 hari.

Penggunaan kolam aerobik biasanya hanya terbatas pada daerah yang beriklim hangat dan cerah, terutama di mana tingkat tinggi penghapusan BOD diperlukan tapi ketersediaan lahan tidak terbatas.

c) Kolam Fakultatif

Kolam fakultatif berfungsi sebagai kolam stabilisasi yang menerima air limbah yang sudah terolah di kolam anaerobik, dan mengalirkan air yang sudah diolah ke selokan kering atau ke kolam maturasi. Kedalaman biasanya 1-2 m (Standar Direktorat PLP PU).

d) Kolam Maturasi / Pematangan

Kolam maturasi / pematangan adalah kolam yang mengolah limbah cair, terutama secara aerobik karena sebagian besar zat organik telah terambil pada unit - unit anaerobik dan fakultatif, sehingga beban organik pada kolam maturasi menjadi rendah. Kolam maturasi menerima efluen yang berasal dari kolam fakultatif dan bertanggung jawab terhadap kualitas dari efluen akhir. Periode tinggal berkisar antara 7-20 hari dengan kedalaman 1-1,5 meter. Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk menghilangkan bakteri atau mereduksi BOD, COD, dan SS (padatan tersuspensi) serta bakteri coli.

e) Biofilter

Proses pengolahan air limbah dengan biofilter secara garis besar dapat dilakukan dalam kondisi aerob, anaerob atau kombinasi anaerob dan aerob. Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya

(18)

oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah. Sedangkan proses kombinasi anaerob dan aerob merupakan gabungan proses anaerob dan proses aerob.

Biofilter berfungsi untuk menampung air dari pengolahan leachate yang berupa bidang rembes atau menyaring efluen. Kolam ini merupakan bangunan pengolah terakhir sebelum air akan dibuang ke Badan Air Penerima (BAP) dengan ketentuan yang dipakai, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kedalaman yang dipakai 2 m, sedangkan bahan terdiri dari batu, kerikil, ijuk, dan pasir.

f) Contructed Wetland

Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat untuk mengolah air limbah domestik, untuk aliran air hujan dan mengolah lindi (leachate) atau sebagai tempat hidup habitat liar lainnya, selain itu constructed wetland dapat juga digunakan untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Wetland dapat berupa biofilter yang dapat meremoval sediment dan polutan seperti logam berat. (wikepedia, 2007). Wetland memanfaatkan spesies tumbuhan tertentu yang toleran dan merupakan tumbuhan lokal dengan biaya yang minimal.

Bentuknya dapat berupa free flowing (aliran bebas) atau sub-surface flow (aliran bawah tanah) yang disesain dengan kemiringan dasar (slope) (1-4%) agar lindi dapat mengalir secara gravitasi keseluruh

(19)

sistem. Sub surface wetland didesain dengan menggunakan lapisan gravel atau batu belah (split) yang diatasnya diberi lapisan pasir sebagai media tanaman tumbuh. Ilustrasi Rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 6.

(EDIS Image Page).

Gambar 6. Rawa buatan aliran permukaan dan aliran bawah tanah.

g) Bak Kontrol / Monitoring

Fungsi dari bak kontrol adalah untuk mencegah adanya padatan yang terbuang ke badan sungai, dan untuk memastikan jika air yang akan dibuang sudah menurun kadar BOD maupun COD. Pada bak kontrol dapat diberikan beberapa ikan kecil pada kolam, agar dapat memastikan apakah efluen yang sudah diproses pada instalasi pengolah lindi mengeluarkan hasil yang memenuhi baku mutu air. Apabila ikan yang terdapat pada kolam sampai mati berarti efluen

(20)

belum bisa dibuang ke badan air penerima karena kadar efluen masih tinggi.

h) Sumur Pantau

Sumur pantau berfungsi untuk mengontrol atau melihat apakah terjadi pencemaran terhadap air tanah atau tidak pada suatu tempat pembuangan akhir sampah dan setelah itu dilakukan uji laboratorium terhadap kualitas air, agar yang berada disekitar TPA dapat digunakan sebagaimana mestinya.

2. Perencanaan kapasitas IPAL a) Perencanaan debit IPAL

Kapasitas rencana IPAL dihitung berdasarkan desain debit air limbah sebagai berikut :

 Debit rata – rata harian (dengan infiltrasi).

 Debit harian maksimum (dengan infiltrasi).

 Debit jam minimum (dengan infiltrasi).

Desain debit tersebut, adalah debit air limbah pada ujung akhir pipa induk yang menuju ke IPAL.

b) Proyeksi debit perencanaan

Kapasitas rencana IPAL di atas diproyeksikan untuk debit perencanaan 20 tahun sesuai periode perencanaan rencana induk.

c) Perencanaan debit pada masing – masing komponen

 Debit rata – rata : hanya pada unit – unit pengolahan kimia dan sekunder (biologi).

(21)

 Debit harian maksimum : hanya pada unit –unit pengolahan primer.

 Debit jam maksimum : pada semua perpipaan unit – unit pengolahan.

3. Perencanaan lokasi IPAL

Hal – hal yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan lokasi IPAL adalah sebagai berikut :

 Lokasi IPAL harus sesuai dengan ketentuan tata ruang.

 Pemilihan lokasi IPAL diujung muara pipa induk harus mempertimbangkan aspek hidrolis dan aspek pembebasan lahan.

 Lokasi IPAL harus merupakan daerah bebas banjir untuk periode ulang 20 tahun.

4. Kebutuhan lahan

i. Kebutuhan lahan untuk IPAL terdiri dari :

 Lahan untuk instalasi dan bangunan penunjang.

Lahan untuk buffer zone (untuk penghijauan).

ii. Kebutuhan lahan untuk instalasi dihitung berdasarkan debit harian maksimum yang diproyeksikan 20 tahun untuk penerapan IPAL berbasis teknologi proses alamiah atau proses biologis yang efisien dalam kebutuhan konsumsi listrik.

iii. Kebutuhan lahan untuk lahan penyangga (buffer zone) minimum harus dipersiapkan seluas 50% dari kebutuhan luas lahan untuk instalasi.

(22)

5. Opsi Teknologi

Beberapa pilihan alternatif teknologi yang diterapkan di Indonesia adalah :

Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi, dan Biofilter (alternatif 1).

Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi, dan Landtreatment / Wetland (alternatif 2).

Kolam Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dengan Aerated Lagoon (alternatif 3).

 Proses Koagulasi – Flokulasi, Sedimentasi, Kolam Anaerobik atau ABR (alternatif 4).

Proses Koagulasi – Flokulasi, Sedimentasi I, Aerated Lagoon, Sedimentasi II (alternatif 5).

G. Baku Mutu Air

Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada dan atau harus ada unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Akan tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001, yaitu :

1) Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air bakti air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2) Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana / sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk

(23)

mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3) Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk imengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4) Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Mengenai klasifikasi mutu air berdasarkan kelas air dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas.

PARAMETER SATUAN KELAS KETERANGAN I II III IV FISIKA Temperatur o C deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 5 Deviasi temperatur dari keadaan almiahnya Residu Terlarut mg/ L 1000 1000 1000 2000 Residu Tersuspensi mg/L 50 50 400 400

Bagi pengolahan air minum secara konvesional, residu tersuspensi  5000 mg/ L

(24)

KIMIA ANORGANIK pH 6-9 6-9 6-9 5-9 Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah BOD mg/L 2 3 6 12 COD mg/L 10 25 50 100 DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum Total Fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5 NO 3 sebagai N mg/L 10 10 20 20 NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka  0,02 mg/L sebagai NH3 Arsen mg/L 0,05 1 1 1 Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium mg/L 1 (-) (-) (-) Boron mg/L 1 1 1 1 Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01

(25)

Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu  1 mg/L

Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe  5 mg/L

Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb  0,1 mg/L Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn   mg/L Khlorida mg/l 600 (-) (-) (-) Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N  1 mg/L

Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)

Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-) Bagi ABAM tidak dipersyaratkan

Belereng mg/L 0,002 0,002 0,002 (-) Bagi pengolahan air minum secara

(26)

sebagai H2S konvensional, S sebagai H2S <0,1 mg/L MIKROBIOLOGI Fecal coliform jml/100 ml 100 1000 2000 2000

Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform  2000 jml / 100 ml dan total coliform  10000 jml/100 ml -Total coliform jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 -RADIOAKTIVITAS - Gross-A Bq /L 0,1 0,1 0,1 0,1 - Gross-B Bq /L 1 1 1 1 KIMIA ORGANIK Minyak dan Lemak ug /L 1000 1000 1000 (-) Detergen sebagai MBAS ug /L 200 200 200 (-) Senyawa Fenol ug /L 1 1 1 (-) sebagai Fenol BHC ug /L 210 210 210 (-) Aldrin / Dieldrin ug /L 17 (-) (-) (-) Chlordane ug /L 3 (-) (-) (-) DDT ug /L 2 2 2 2 Heptachlor dan ug /L 18 (-) (-) (-)

(27)

heptachlor epoxide Lindane ug /L 56 (-) (-) (-) Methoxyclor ug /L 35 (-) (-) (-) Endrin ug /L 1 4 4 (-) Toxaphan ug /L 5 (-) (-) (-) Keterangan : mg = miligram ug = mikrogram ml = militer L = liter Bq = Bequerel

MBAS = Methylene Blue Active Substance ABAM = Air Baku untuk Air Minum Logam berat merupakan logam terlarut

Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO.

Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum.

Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk, parameter tersebut tidak dipersyaratkan

Tanda  adalah lebih kecil atau sama dengan Tanda < adalah lebih kecil

Gambar

Tabel 1. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen – Komponen     Sumber Sampah.
Tabel 2. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota.
Tabel 3. Beberapa Baku mutu yang berlaku di Indonesia.
Tabel 4. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas.

Referensi

Dokumen terkait

PERENCANAAN ULANG TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH PADA TOPOGRAFI EKSTRIM DI DESA NGAGLIK - KOTA BATU.. TUGAS AKHIR

Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Namo Bintang memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara jarak rumah penduduk disekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Namo Bintang

DAMPAK TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH SUKAJAYA TERHADAP KONDISI KESEHATAN MASYARAKAT 'SERTA ASPEK SOSIAL· EKONOMI.. (Studi Kasus TPA Sampah Sukajaya Kecamatan

Demikianlah Berita Acara Pembukaan (download) file II penawaran pekerjaan Penyusunan Detail Engineering Design (DED) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kecamatan

Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di kota Padang- sidimpuan merupakan salah satu sumber pencemar yang memberi- kan kontribusi terhadap penurunan kualitas air

potongan hewan atau sayur-sayuran hasil dari pengolahan, pembuatan dan penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari zat-zat yang mudah menbusuk. b) Sampah Kering

Dengan pengembangan sistem pengolahan sampah terpadu ini, fungsi dari tempat pembuangan akhir sampah pada beberapa tahun mendatang dapat menjadi tidak dominan

Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan setempat