• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II URAIAN TEORITIS"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Penelitian Terdahulu

Rustam (2004) melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Perilaku Birokrasi Terhadap Kualitas Layanan Publik Studi Tentang Pelayanan Kartu Tanda Penduduk di Kotamadya Jakarta Selatan”. Penelitian tersebut melakukan pendekatan kuantitatif dengan unit analisis adalah individu aparat pada Pemerintah Kecamatan Pasar Minggu, dimana salah satu indikator perilaku birokrasi adalah etos kerja. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa perilaku birokrasi berpengaruh terhadap kualitas layanan publik. Penelitian ini mencoba mengkaji tentang perilaku birokrasi terhadap kualitas pelayanan publik di kelurahan. Hasil yang diperoleh adalah terdapat pengaruh antara kedua variabel, dan apabila ingin meningkatkan kualitas pelayanan publik maka perlu memperhatikan perilaku birokrasi.

Kusnan (2004) melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Sikap Iklim Organisasi, Etos Kerja dan Disiplin Kerja Dalam Menentukan Efektivitas Kinerja Organisasi di Garnisun Tetap III Surabaya”. Penelitian tersebut melakukan pendekatan eksplanatif dengan unit analisis adalah individu prajurit dan pegawai sipil organisasi Garnisun Tetap III di Surabaya. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa secara simultan terdapat pengaruh iklim organisasi, etos kerja dan disiplin kerja dalam menentukan efektivitas kinerja. Secara parsial, iklim organisasi, etos kerja

(2)

tidak berpengaruh terhadap efektivitas kinerja, sedangkan disiplin kerja berpengaruh terhadap efektivitas kinerja.

II.2. Teori Tentang Pelayanan Publik II.2.1. Pengertian Pelayanan

Istilah dan konsep pelayanan banyak ditemui dalam berbagai aspek kehidupan manusia dewasa ini. Keragaman istilah dan konsep pelayanan menandakan ketertarikan para ahli untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan konsep pelayanan itu sendiri. Istilah-istilah tersebut antara lain pelayanan umum, pelayanan publik, pelayanan prima, dan lain sebagainya. Berbagai konsep mengenai pelayanan banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti Moenir (2002), menyatakan bahwa: “Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivis orang yang berlangsung”. Pada bagian lain dikatakan bahwa : Pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

Pelayanan itu adalah proses dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia sesuai dengan haknya. Kata umum dalam pelayanan menunjukkan masyarakat, orang banyak, yang punya kepentingan, terjemahan dalam Bahasa Inggris “Publik” kalau dihubungkan dengan kata pelayanan maka menjadi pelayanan umum (public service) atau pelayanan publik. Adapun pengertian pelayanan umum sebagaimana dikemukakan oleh Saefullah (1999) yakni : “Pelayanan umum (public service) adalah

(3)

pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan”.

Lebih lanjut dikatakan bahwa secara operasional pelayanan umum yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu : Pertama, pelayanan umum yang diberikan memperhatikan orang per orang, tetapi keperluan masyarakat secara umum. Dalam pelayanan ini meliputi penyediaan sarana dan prasarana transportasi, penyediaan pusat-pusat kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, pemeliharaan keamanan dan lain sebagainya; Kedua, pelayanan yang diberikan secara orang perseorangan, pelayanan ini meliputi kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pemeriksaan kesehatan, memasuki lembaga pendidikan, memperoleh kartu tanda penduduk dan surat-surat lainnya, pembelian karcis perjalanan, dan sebagainya.

Jadi pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik dibedakan atas pelayanan untuk kepentingan masyarakat secara umum dan pelayanan untuk kepentingan perorangan atau individu.

II.2.2. Jasa Publik dan Pelayanan Publik

Dalam kajian Ilmu Pemerintahan Baru (kybernologi), konsep pelayanan dibedakan secara tegas menjadi dua macam, yaitu : jasa publik dan layanan publik. Menurut Ndraha (2003) bahwa: “Jasa publik adalah produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom; proses produksinya disebut pelayanan publik”. Sedangkan layanan publik adalah hak, kebutuhan dasar dan tuntutan setiap orang, lepas dari suatu kewajiban. Sebagai

(4)

contoh bayi dalam kandungan ibunya wajib dilindungi oleh pemerintah, walaupun sang bayi tidak (belum) dibebani suatu kewajiban. Tatkala ia lahir pemerintah wajib mengakui kehadirannya melalui pemberian akte kelahiran, tanpa diminta-minta dan seharusnya tanpa bayar.

Jasa publik identik dengan pelayanan publik atau pelayanan umum, dan merupakan tanggung jawab pemerintah, pada tingkat kemampuan masyarakat yang cukup, pelayanan tersebut dapat diprivatisasi. Layanan publik adalah layanan perorangan atau individu yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi, melindunginya atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara, oleh karena itu tidak boleh diprivatisasi. Asal usul layanan publik bersumber dari hak azasi manusia, yang digambarkan urutannya sebagai berikut :

Sumber: Ndraha (2003)

Gambar II.1. Asal Usul Layanan Publik (Civil Service)

Layanan publik dapat diartikan sebagai organisasi dan juga sebagai pelayanan (pelayanan publik). Finer dalam Ndraha (2003) menyatakan Civil Service sebagai organisasi pemerintahan, yaitu : “a professional body of officials, permanent, paid, and skilled”. Sedangkan sebagai badan, Civil Service menyelenggarakan pelayanan yang karena sifatnya tidak dapat dipenuhi oleh pasar atau lembaga privat, misalnya lapangan kerja, kesehatan, pendidikan, jalan raya, transportasi. Dengan demikian ia tidak membedakan secara jelas antara publik service dan civil service.

Human right Civil society Civil liberties Civil right Civil services

(5)

Finer dalam Ndraha (2003) mengemukakan karakteristik pelayanan publik yaitu :

1. The urgency of State Service ( pentingnya pelayanan terhadap warga negara) 2. Large-scale Organization (didasarkan pada kebijakan publik pada tingkat

makro)

3. Monopoly and No Price (dimonopoli oleh negara dan tidak-jual beli dalam arti pasar, biaya tidak dibebankan kepada konsumer, tidak diprivatisasi). Finer berpendapat demikian berdasarkan anggapan bahwa pelayanan civil merupakan bagian pelayanan publik.

4. Equality of Treatment (perlakuan yang sama terhadap tiap konsumer)

5. Limited Enterprice (aktor dan aktris pelayanan civil bukanlah pedagang pengusaha yang menuntut imbalan dari konsumer, juga tidak boleh bertindak untuk kepentingan pribadi, juga bukan sinterklas)

6. Public Accountability (pertanggungjawaban kepada publik)

7. “Establishment” or Hierarchy (civil service) terbentuk sebagai sebuah body) 8. Grading of Its Members (pengelompokan dan klasifikasi civil service)

9. Directness of Government (pelayanan yang dikendalikan langsung oleh pemerintah, seringkali teras kaku, oleh sebab itu, aktor dan aktris pemerintahan harus kreatif dan arif)

10. Lack of Ruthlessness (pelayanan yang tulus dalam suasana kebersamaan) 11. Anonymity and Impartiality (tidak bersifat pribadi dan tidak memihak).

Dari penjelasan tesebut, ciri-ciri umum (persamaan) jasa publik dan layanan publik sambil dilengkapi sesuai dengan kondisi Indonesia, sebagaimana ditampilkan pada Tabel II.1.

Selanjutnya Ndraha (2000) juga membedakan layanan publik sebagai berikut : “Layanan publik dapat dibedakan menjadi layanan publik guna memenuhi hak bawaan (azasi) manusia dan layanan publik guna memenuhi hak derivatif, hak berian, atau hak sebagai hukum yang menyangkut diri seseorang”. Sedangkan pada bagian lain dikemukakan bahwa provider layanan publik adalah setiap unit kerja publik, baik yang terdapat jajaran dieksekutif, legislatif, yudikatif, maupun lainnya. Bahkan unit kerja lain yang secara organisasional berada di luar pemerintahan tetapi karena

(6)

tugasnya berkaitan dengan urusan publik. Lebih lanjut Ndraha (2001) mengungkapkan bahwa: ”Layanan publik adalah layanan yang menjadi kewajiban (bukan wewenang) negara. Pemerintah berkewajiban memberi layanan, artinya ia tidak boleh menolak melakukannya dengan alasan apapun”.

Tabel II.1. Jasa Publik dan Layanan Publik

Jasa Publik Layanan Publik

1. Dasar Pasal 33 UUD 1945 Pilihan masyarakat yang bersangkutan

Human right, civil right, constitutional right, convention 2. Status Kewenangan Pemerintah Kewajiban Pemerintah

a. Monopoli pemerintah tetapi dapat diprivatisasikan

Tidak dapat diprivatisasi, monopoli pemerintah b. Tarif serendah-rendahnya, tidak

cari laba

c. Sasarannya masyarakat 3. Sifat a. Consumer menyesuaikan diri

dengan provider. a. Tidak dijualbelikan (no price), pertimbangan kemanusiaan

b. Bisa dipindahtangankan c. Mudah didapat pada saat

diperlukan

b. Sasarannya tiap individu manusia, lepas dari kewarganegarannya

d. Mutu setinggi mungkin c. Provider menyesuaikan diri dengan kondisi consumer d. Tidak bisa

dipindahtangankan e. Harus siap pada saat

diperlukan, seefektif mungkin

4. Provider

a. Badan-badan hukum a. Hanya pemerintah b. Bersumber pada pemakaian

public goods oleh consumer

b. Bersumber pada action dan acting sang aktor.

(7)

Layanan publik merupakan hak dasar dari warga negara dan haknya pemerintah yang memproduksi dan mendistribusikannya. Setiap manusia baik warga negara sendiri maupun warga negara asing, berhak atas layanan publik tanpa dikaitkan dengan suatu kewajiban finansial apapun. Layanan publik adalah layanan perorangan atau individu, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi, melindungi atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara karena itu tidak dapat diprivatisasi. Jasa publik identik dengan pelayanan publik (public service) merupakan tanggung jawab pemerintah. Pada tingkat kemampuan masyarakat yang cukup pelayanan tersebut dapat diprivatisasikan di bawah kontrol legislatif.

Dengan demikian layanan publik adalah proses layanan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diluar urusan militer dan ibadah. Pemerintah adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa layanan publik. Secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah. Hal ini dapat dipahami mengingat pelayanan publik merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.

II.2.3. Dimensi Pelayanan Publik

Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dapat dukur setelah masyarakat menerima dan merasakan pelayanan dan membandingkan dengan harapan sebelumnya. Oleh karena itu dalam pelayanan publik, pelayanan yang berkualitas merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian dari pemerintah, guna

(8)

memberikan kepuasan kepada rakyat. Apalagi pelayanan publik bila dilihat dari keberadaannya merupakan hak dasar dari warga negara dan hanya pemerintah yang memproduksi dan mendistribusikannya. Menurut Ndraha (2003) bahwa: ”Setiap manusia baik warga negara sendiri maupun warga negara asing, berhak atas pelayanan publik tanpa dibebani atau tanpa dikaitkan dengan suatu kewajiban finansial apapun”. Oleh karena itu, pelayanan publik disebut no price. Pelayanan publik 100% dibayar melalui pendapatan negara, yaitu hasil pengelolaan SDA, pajak dan sebagainya. Sedangkan dibagian lain Ndraha mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pelayanan publik dikarenakan pelayanan publik tidak dijual belikan, dimonopoli oleh badan-badan publik (pemerintah, negara) dan tidak boleh diprivatisasikan (diswastakan). Setiap badan publik berfungsi memperoduksi dan mendistribusikan pelayanan publik pada saat diperlukan.

Namun secara spesifik aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengupayakan penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas. Menurut Ndraha (2002) bahwa: ”Jasa pelayanan atau pelayanan publik dipandang sebagai deviden yang wajib didistribusikan kepada rakyat oleh pemerintah dengan semakin baik, semakin tepat waktu, semakin mudah diperoleh dan semakin adil”. Tekanan kepada aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan dalam pelayanan public (publik) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari pelayanan publik dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk mengharapkan pelayanan yang sama pada institusi lain di luar pemerintah.

(9)

Pelayanan publik yang berkualitas bukan hanya mengacu pada pelayanan itu semata, juga menekankan pada proses penyelenggaraan atau pendistribusian pelayanan itu sendiri hingga ke tangan masyarakat sebagai konsumer. Aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan menjadi alat untuk mengukur pelayanan publik yang berkualitas. Hal ini berarti, pemerintah melalui aparat dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat harus memperhatikan aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan.

Lebih lanjut yang merupakan dimensi pelayanan publik dalam penelitian ini adalah kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan. Pelayanan publik yang berkualitas yang diterima oleh masyarakat selama ini dari aparat pemerintahan dilihat dari dimensi-dimensi tersebut. Pengukuran terhadap pelayanan, sepenuhnya berada pada masyarakat yang secara langsung berhadapan dengan aparat pemerintahan yang memberi pelayanan.

II.2.3.1. Dimensi kecepatan

Kecepatan menyangkut produk layanan dan perilaku, dalam arti masyarakat memperoleh apa yang diinginkan dengan cepat, dan tidak membutuhkan waktu yang relative lama. Aparat yang memberikan pelayanan publik harus mempunyai kesiapan merealisasikan kebutuhan masyarakat, tidak ada alasan menunda atau memperlambat pemberian pelayanan, kapanpun masyarakat membutuhkan pelayanan publik pada saat itu pula aparat telah stand by untuk melayani.

(10)

Pelayanan sebagai aktivitas yang berlangsung berurutan dapat diukur dari segi penggunaan waktu. Sehingga kecepatan dari suatu pelayanan yang rutin dapat diambil waktu rata-rata yang diperlukan menyelesaikan suatu rangkaian kegiatan (proses) dan menjadi standar. Littlefield, dkk dalam Moenir (2002) menyatakan bahwa: “Standar waktu dapat ditetapkan pada waktu dilakukan pengukuran kerja, karena memang dalam pengukuran kerja termasuk pengukuran waktu yang diperlukan untuk penyelesaian tahap pekerjaan”.

Dengan standar waktu maka dapat diketahui cepat atau lambatnya pelayanan yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu tertentu, sehingga dapat ditentukan tingkat produktivitas kerja, prioritas pekerjaan, pengaturan beban kerja dan mengantisipasi keadaan serta perencanaan selanjutnya. Pada dasarnya proses pelayanan harus cepat, dan lebih cepat lebih baik.

Pada dasarnya proses pelayanan secara administrative (surat-menyurat) harus cepat dan lebih cepat lebih baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Moenir (2002) bahwa:

Proses penanganan surat keluar harus cepat, hari itu diterima petugas, hari itu juga harus sudah dikirim ke alamat yang bersangkutan, karena kalau tidak cepat akibatnya data berganda yaitu: surat tertumpuk, kemungkinan hilang atau terselip, penanganan masalah menjadi terlambat.

Proses penanganan suatu pekerjaan baik pada tahap-tahap pekerjaan tertentu maupun keseluruhan sangat bervariasi dari segi waktu, artinya ada singkat (cepat) ada pula yang memakan waktu lama (jam, hari, bulan bahkan tahun) tergantung permasalahan dan cara memprosesnya. Pelayanan sebagai proses terdiri dari beberapa perbuatan aktivitas yang dapat diperhitungkan, direncanakan dan ditetapkan standar

(11)

waktunya. Untuk mengetahui waktu diperlukan dalam proses suatu tugas atau pekerjaan (surat-menyurat, Kartu Tanda Penduduk, akte kelahiran dan sebagainya) perlu pengamatan berulang-ulang. Oleh karena itu, melayani berarti aparat berperilaku secara cepat dalam memberikan pelayanan, dan masyarakat tidak berlama-lama menunggu untuk memperoleh pelayanan. Namun demikian aparat harus menyesuaikannya dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Kecepatan dalam hal ini tidak identik dengan pelanggaran terhadap mekanisme dan prosedur yang berlaku, serta bukan pula sebagai pembenaran terhadap praktek-praktek percaloan yang sering dikeluhkan.

II.2.3.2. Dimensi ketepatan

Ketepatan sebagai dimensi pelayanan publik berkaitan dengan kewajiban dan pemenuhan janji, tujuan yang ingin dicapai, sasaran atau obyek yang menjadi fokus perhatian, keinginan atau kepentingan yang ingin diperoleh, prosedur yang dilalui, maupun waktu yang dibutuhkan dalam pelayanan. Menurut Ndraha (2000) bahwa: “Lembaga yang disebut pemerintah terbentuk berdasarkan komitmen dan bila dilihat dari sudut pandang ini maka pemerintahan adalah proses penepatan janji”.

Selanjutnya menurut Ndraha (2002) bahwa: “Janji wajib dipenuhi (penuh, total, lengkap, sempurna), ditepati (tepat persis) dan ditunaikan (tunai, bukan hutang, sebab the stomach doesn’t wait)”. Dalam Bahasa Belanda prestatie (prestasi) berarti penunaian, pelunasan. Seseorang disebut berprestasi jika ia berhasil menepati janji; jika tidak, ia dianggap wanprestatie. Jika ia berprestasi ia bisa mendapat tegenprestatie (imbalan) atau contraprestatie. Jika pemerintahan dianggap sebagai

(12)

proses penepatan atau penunaian janji, maka konsep prestatie dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi kinerja pemerintahan.

Ketepatan dalam pelayanan publik berarti pelayanan yang diberikan oleh aparat kepada masyarakat harus persis sesuai dengan janji. Hal ini dapat dilihat melalui produk dan proses pelayanan. Dari sisi produk, maka pelayanan yang tersedia mesti sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya kalau masyarakat membutuhkan KTP, maka aparat pemerintahan wajib menerbitkan KTP tersebut. Dilihat dari sisi proses maka pelayanan harus memenuhi standar yang ada. Aspek ini terkait erat dengan jadual, tempat, prosedur, persyaratan, dan pembiayaan sesuatu pelayanan.

II.2.3.3. Dimensi kemudahan

Pada umumnya masyarakat menginginkan agar pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah dekat dengannya sehingga mudah diperoleh. Keinginan dekat dengan pelayanan sangat berkaitan dengan masalah distribusi, yaitu bagaimana pemerintah berupaya mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tanpa melewati jenjang-jenjang yang melelahkan, dengan biaya yang semurah mungkin.

Penyediaan pelayanan yang mudah dan biaya yang diminta sesuai tarif dan tidak ada biaya tambahan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang harus mendapat prioritas utama. Gasperz (2001) menyatakan bahwa: ”Pelanggan selalu mengharapkan biaya pelayanan yang lebih murah, selain pelayanan yang semakin cepat dan lebih baik”.

(13)

Penyediaan fasilitas dan informasi pelayanan yang dengan mudah dapat diakseskan akan menimbulkan persepsi yang positif bagi pelanggan terhadap pelayanan yang disediakan. Menurut Kotler (2000) bahwa: ”Persepsi ini akan menjadi penilaian menyeluruh dari pelanggan atas keunggulan suatu pelayanan”. II.2.3.4. Dimensi keadilan

Rasyid (2002) mengemukakan bahwa, ”Dalam fungsi pelayanan pemerintah terkandung tujuan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat”. Pernyataan ini menegaskan seyogianya setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan yang adil dari pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku. Dalam hal pelayanan publik terutama pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada setiap warga masyarakat, rasa keadilan lebih diutamakan karena merupakan salah satu bagian hak azasinya.

Dengan demikian setiap orang merasa dilindungi dan dipenuhi haknya untuk memperoleh pelayanan. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Ichsan (1986) bahwa: ”Pemerintah harus mendasarkan pelayanan yang sama dan merata tanpa melihat ekonomis pelayanan itu”. Pemerintah harus melakukan consistency of statement dalam melakukan pelayanan tanpa memandang siapa, dimana dan bilamana sekalipun pelayanan tidak mendatangkan keuntungan atau manfaat. Rasa keadilan yang mudah tersentuh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sejauh mana pelayanan publik diterima oleh masyarakat secara menyeluruh tanpa memandang asal usul, strata sosial dan ekonomi masyarakat yang dilayaninya.

Hal ini dapat dilihat melalui kegiatan operasional pelayanan seperti siapa yang datang lebih dahulu akan dilayani lebih dahulu juga, dan tegaknya budaya antri diloket pelayanan tanpa ada perantara, semua dilayani dengan prosedur yang sama tanpa kecuali. Dalam kondisi demikian, berarti prinsip keadilan dan persamaan hak

(14)

bagi semua orang dalam masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sudah terpenuhi dengan baik. Kegagalan memberikan pelayanan secara adil kepada masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif dan dalam jangka panjang berakibat pada meningkatnya kecemburuan sosial dan terganggunya integritas sosial.

II.3. Teori Tentang Kehandalan II.3.1. Pengertian Kehandalan

Kehandalan merupakan salah satu dimensi dari pelayanan berkualitas. Pelayanan berkualitas merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi harapan pelanggannya. Pelayanan yang berkualitas lebih menekankan aspek kepuasan konsumen yang diberikan oleh perusahaan yang menawarkan jasa. Keberhasilan suatu perusahaan yang bergerak di sektor jasa tergantung pelayanan yang ditawarkan.

Pelayanan berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan. Pelayanan yang berkualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk selalu memahami dengan seksama harapan-harapan konsumen.

Salah satu cara yang dapat dilakukan pihak manajemen untuk mempermudah pengambilan tindakan perbaikan pelayanan dengan menetapkan standar pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sebagai pedoman dalam melakukan pengawasan. Jika pelayanan tidak memenuhi standar yang ditetapkan, berarti diperlukan perbaikan agar permasalahan yang sama tidak terulang di masa mendatang.

Lupiyoadi (2001) menyatakan: ”Ada lima dimensi pelayanan, yaitu: tangible (bukti fisik), reliability (kehandalan), responsiveness (kejelasan), assurance (jaminan), dan empathy”.

(15)

Reliability atau kehandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.

Menurut Parasuraman (2005) bahwa: reliability adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat (accurately) dan kemampuan untuk dipercaya (dependably), terutama memberikan jasa secara

tepat waktu (ontime), dengan cara yang sama sesuai dengan jadual yang telah dijanjikan dan tanpa melakukan kesalahan setiap kali.

Adapun atribut-atribut yang berada dalam dimensi ini antara lain adalah: a. Memberikan pelayanan sesuai janji

b. Pertanggung jawaban tentang penanganan konsumen akan masalah pelayanan

c. Memberi pelayanan yang baik saat kesan pertama kepada konsumen d. Memberikan pelayanan tepat waktu

e. Memberikan informasi kepada konsumen tentang kapan pelayanan yang dijanjikan akan direalisasikan.

II.3.2. Manfaat Kehandalan

Fokus pada kehandalan layanan secara ekonomis akan bermanfaat. Pada gilirannya peningkatan efisiensi ekonomi lebih besar dari penghindaran terhadap hal-hal yang tidak bermanfaat, kelalaian. Pemahaman yang jelas terhadap kehandalan pelayanan bermanfaat bagi semua pihak di dalam bisnis layanan jasa. Layanan menjadi lebih menguntungkan dengan menawarkan jasa yang menarik kepada pelanggan. Para pelanggan pada gilirannya mempunyai harapan tentang kehandalan

(16)

dari pelayanan yang mereka bayar dan jarang berpikir tentang penyerahan layanan tersebut oleh penyedia jasa.

Menurut Tortorella (2005), “Kepedulian pelanggan adalah tentang apakah mereka dapat mengakses pelayanan yang mereka beli ketika mereka menginginkannya”. Pelanggan memperhatikan apakah mereka dapat melakukan transaksi secara lengkap tanpa gangguan, apakah mereka dapat menutup transaksi ketika mereka sudah selesai. Pelanggan memperhatikan apakah mutu dari transaksi memenuhi harapan mereka kapan saja transaksi terjadi. Semua hal tersebut merupakan kehandalan yang bersinggungan dengan jasa, berfungsi sebagai layanan sepanjang waktu yang ditawarkan oleh penyedia jasa. Kesimpulannya, sekali suatu jasa layanan ditawarkan, kehandalan kesepakatan layanan dengan “sukses penyerahan berulang” merupakan suatu pengalaman kehandalan yang perlu dipertahankan.

Menurut Tortorella (2005), “Kehandalan merupakan salah satu faktor yang penting untuk mempertahankan bisnis jasa.” Produk atau jasa yang tidak dapat menjangkau lebih dari standar kehandalan akan hilang dari pasar, terutama dalam iklim persaingan sekarang. Dalam upaya mencapai tingkat kehandalan, diperlukan suatu pendekatan kepada pelanggan. Dalam komunikasi, energi, ruang, pertahanan, transportasi, dan obat/kedokteran, kehandalan menjadi suatu hak milik yang tertinggi. Tanpa kehandalan dalam produk dan jasa tersebut, pelanggan akan meninggalkannya. Kehandalan mencerminkan jasa layanan dari penyedia berupa "kemampuan untuk melaksanakan jasa layanan yang dapat dipercaya dan teliti". Kehandalan meliputi "melakukan dengan benar saat pertama kali", yang merupakan salah satu komponen yang paling utama dari jasa layanan pelanggan. Kehandalan juga meluas untuk menyediakan jasa layanan seperti dan ketika dijanjikan dan mempertahankan bebas dari kesalahan.

(17)

Fornell et al. (1996) menyatakan bahwa “kepuasan konsumen secara menyeluruh adalah hasil evaluasi dari pengalaman konsumsi sekarang yang berasal dari kehandalan dan standarisasi pelayanan”.

II.4. Teori Tentang Etos Kerja II.4.1. Pengertian Etos Kerja

Istilah Inggris ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental suatu budaya, berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan, kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat. Jadi etos kerja berkaitan erat dengan budaya kerja. Sebagai dimensi budaya, keberadaan etos kerja dapat diukur dengan tinggi rendah, kuat (keras) atau lemah.

Menurut Chong dan Tai dalam Wirawan (2007) bahwa:

Etos kerja sebagai work ethic belief system pertahins to ideas that stress individualism/independence and the positive effect af work on individuals. Work is thus considered good in itself because it dignifies a person. Making personal effort to work hard will ensure success. (Etos kerja mengenai ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh positif bekerja terhadap individu. Bekerja dianggap baik karena dapat meningkatkan derajat kehidupan serta status sosial seseorang. Berupaya bekerja keras akan memastikan kesuksesan).

Selanjutnya Sinamo (2005) menyatakan bahwa: etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral.

Setiap organisasi yang selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos kerja. Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan ”Sebagai sikap yang

(18)

mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Sedangkan kerja, menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan ”Sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang bersifat sakral”.

Dari pengertian etos kerja di atas, maka jika seseorang, suatu organisasi atau suatu komunitas menganut paradigma kerja tertentu, percaya padanya secara tulus dan serius, serta berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, maka kepercayaan itu akan melahirkan sikap kerja dan perilaku kerja mereka secara khas. Itulah etos kerja mereka, dan itu pula budaya kerja mereka.

Menurut Sinamo (2005), ada delapan etos kerja, yaitu: 1. Kerja adalah rahmat

Etos kerja pertama adalah percaya pada paradigma bahwa kerja adalah rahmat, dan karena itu harus disyukuri paling sedikit karena 5 (lima) alasan:

a. Pekerjaan itu sendiri secara hakiki adalah berkat Tuhan, lewat pekerjaan Tuhan memelihara manusia. Dengan upah yang diterima, karyawan dapat menyediakan sandang, pangan untuk keluarganya. b. Karyawan selain menerima upah finansial juga menerima banyak

faktor plus, misalnya jabatan, fasilitas, berbagai tunjangan dan kemudahan.

c. Talenta yang menjadi basis keahlian juga merupakan rahmat yang diberikan Tuhan kepada manusia.

(19)

d. Bahan baku yang dipakai dan diolah dalam bekerja juga telah tersedia karena rahmat Tuhan.

e. Di dalam pekerjaan semua individu terlibat dalam sebuah jaringan antar manusia yang fungsional, hirarkis, dan sinergis yang membentuk kelompok kerja, profesi, korps, dan komunitas.

2. Kerja adalah amanah

Etos amanah lahir dari proses dialektika dan refleksi batin tatkala manusia berhadapan dengan kenyataan buruk di lapangan yang diperhadapkan dengan tuntutan moral dan idealisme di pihak lain. Dalam proses ini terjadi penyentakan-penyentakan perasaan, kejutan-kejutan kejiwaan, dan pencerahan-pencerahan batin yang kemudian mentransformasikan kesadaran manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan selanjutnya melahirkan etos amanah. Dari kesadaran amanah ini lahirlah kewajiban moral yaitu tanggung jawab yang kemudian menumbuhkan keberanian moral dan keinginan kuat untuk:

a. Bekerja sesuai dengan job description dan mencapai target-target kerja yang ditetapkan.

b. Tidak menyalahgunakan fasilitas organisasi.

c. Tidak membuat dan mendistribusikan laporan fiktif. d. Tidak menggunakan jam kerja untuk kepentingan pribadi. e. Mematuhi semua aturan dan peraturan organisasi.

(20)

Kerja sebagai panggilan adalah sebuah konsep yang sangat tua. Dalam tradisi Hinduisme dan Buddhisme konsep panggilan ini disebut darma, yaitu panggilan suci, kewajiban suci, tugas sakral untuk mengerjakan sesuatu. Tujuan panggilan yang terpenting adalah agar manusia dapat bekerja tuntas dan selalu mengedepankan integritas:

a. Setiap orang lahir ke dunia dengan panggilan khusus, yang dilakoni oleh setiap orang terutama melalui pekerjaannya.

b. Agar panggilan berhasil terselesaikan sampai tuntas, diperlukan integritas yang kuat, komitmen, kejujuran, keberanian mendengarkan nurani dan memenuhi tuntutan profesi dengan segenap hati, pikiran dan tenaga.

c. Integritas adalah komitmen, janji yang harus ditepati, untuk menunaikan darma hingga tuntas, tidak pura-pura lupa pada tugas atau ingkar pada tanggung jawab.

d. Integritas berarti memenuhi tuntutan darma dan profesi dengan segenap hati, segenap pikiran, dan segenap tenaga secara total, utuh dan menyeluruh.

e. Integritas berarti bersikap jujur kepada diri sendiri dan bekehendak baik, tidak memanipulasi, tetapi mengutamakan kejujuran dalam berkarya.

(21)

f. Integritas berarti bersikap sesuai tuntutan nurani, memenuhi panggilan hati untuk bertindak dan berbuat yang benar dengan mengikuti aturan dan prinsip sehingga bebas dari konflik kepentingan.

4. Kerja adalah aktualisasi

Aktualisasi diri atau pengembangan potensi insani dapat terlaksana melalui pekerjaan, karena bekerja adalah pengerahan energi biologis, psikologis, dan spritual yang selain membentuk karakter dan kompetensi manusia. Tujuan aktualisasi yang terpenting adalah agar manusia biasa bekerja keras dan selalu tuntas:

a. Tak ada sukses yang berarti tanpa kerja keras.

b. Kerja keras tak lain adalah melangkah satu demi satu secara teratur menuju impian yang diidamkan.

c. Jangan berkecil hati karena menjumpai halangan, karena bahkan batu penghalangpun bisa menjadi batu loncatan menuju keberhasilan. d. Manusia tidak akan pernah memperoleh sesuatu yang besar kecuali ia

mencobanya dengan kerja keras penuh semangat. e. Janganlah menangisi kegagalan, mulailah sekali lagi.

5. Kerja adalah ibadah

Kerja itu ibadah, yang intinya adalah tindakan memberi atau membaktikan harta, waktu, hati, dan pikiran. Melalui pekerjaan, manusia dapat memiliki

(22)

kepribadian, karakter, dan mental yang berkembang, dapat memperkaya hubungan silaturahmi yang saling mengasihi dan menyayangi, membangun rasa kesatuan antar manusia, menghasilkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan.

6. Kerja adalah seni

Kerja sebagai seni yang mendatangkan kesukaan dan gairah kerja bersumber pada aktivitas-aktivitas kreatif, artistik, dan interaktif. Aktivitas seni menuntut penggunaan potensi kreatif dalam diri manusia, baik untuk menyelesaikan masalah-masalah kerja yang timbul maupun untuk menggagas hal-hal baru. Pekerjaan yang dihayati sebagai seni terutama terlihat dari kemampuan manusia berpikir tertib, sistematik, dan konseptual, kreatif memecahkan masalah, imajinatif menemukan solusi, inovatif mengimplementasikannya, dan cerdas saat menjual.

7. Kerja adalah kehormatan

Kerja sebagai kehormatan memiliki sejumlah dimensi yang sangat kaya, yaitu:

a. Secara okupasional, pemberi kerja menghormati kemampuan karyawan sehingga seseorang itu layak memangku jabatan atau melaksanakan tugas tersebut.

b. Secara psikologis, pekerjaan memang menyediakan rasa hormat dan kesadaran dalam diri individu bahwa ia memiliki kemampuan dan mampu dibuktikan dengan prestasi-prestasi yang diraihnya.

(23)

c. Secara sosial, kerja memberikan kehormatan karena berkarya dengan kemampuan diri sendiri adalah kebajikan.

d. Secara finansial, pekerjaan memampukan manusia menjadi mandiri secara ekonomis.

e. Secara moral, kehormatan berarti kemampuan menjaga perilaku etis dan menjauhi perilaku nista.

f. Secara personal, jika pengertian moral di atas dapat dipenuhi, maka kehormatan juga bermakna keterpercayaan (trustworthiness) yang lahir dari bersatunya kata dan perbuatan.

g. Secara profesional, kehormatan berarti prestasi unggul (superior performance).

8. Kerja adalah pelayanan

Tujuan pelayanan yang terpenting adalah agar manusia selalu bekerja paripurna dengan tetap rendah hati. Di dunia bisnis, melayani adalah ikhtiar tiada henti untuk memuaskan pelanggan dengan menyajikan karya-karya yang mengesankan dan produk-produk unggulan. Apabila semua orang bekerja sesuai dengan hakikat profesi dan pekerjaannya, melayani dengan sempurna penuh kerendahan hati, maka setiap orang, dan pada gilirannya seluruh masyarakat, akan bergerak ke tingkat kemuliaan yang lebih tinggi.

Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja, adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi

(24)

dua, yaitu penilaian positif dan negatif. Berpangkal tolak dari uraian itu, maka suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :

a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.

b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.

c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

e. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Sedangkan bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu:

a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.

Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang membangun, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyarat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan

(25)

itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusianya untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya.

Nitisemito (1996) menyatakan bahwa indikasi turun/rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain :

1. Turun/ rendahnya produktivitas 2. Tingkat absensi yang naik/ rendah

3. Labour turnover (tingkat perputaran buruh) yang tinggi 4. Tingkat kerusuhan yang naik

5. Kegelisahan dimana-mana 6. Tuntutan yang sering terjadi 7. Pemogokan

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan etos kerja adalah sikap yang mendasar baik yang sebelum, proses dan hasil yang bisa mewarnai manfaat suatu pekerjaan.

Daya pendorong bagi pendisiplinan jajaran kerja diberikan oleh Herzberg. Dasar bagi gagasannya adalah bahwa faktor-faktor yang memenuhi kebutuhan orang akan pertumbuhan psikologis, khususnya tanggung jawab dan etos kerja untuk mencapai tujuan yang efektif. Herzberg dalam Gibson (1997) menyatakan bahwa: ”Untuk mencapai tujuan organisasi yang baik diperlukan orang yang memiliki kemampuan yang tepat, termasuk etos kerja”.

(26)

Menurut Phale (2003), ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi etos kerja, yaitu: ”faktor religius, faktor budaya, faktor individu, dinamika kelompok, dan faktor organisasi”.

a. Faktor religius

Kepercayaan berperan penting dalam kerjasama kelompok dan memberikan sikap terhadap pekerjaan. Menurut Mafunisa (1998), “agama merupakan suatu sistem kepercayaan dan kelakuan mengenai hal-hal suci yang mempersatukan pengikutnya kedalam beberapa kelompok masyarakat”. Agama menyediakan suatu aturan dan kode komunal untuk dilakukan oleh anggotanya dan menjadi suatu cara tradisional untuk melakukan berbagai hal.

Menurut Elci (2007), bahwa ”berdasarkan sejarah, agama merupakan suatu pemikiran yang secara efektif membentuk kekuatan budaya keyakinan dan bekerja”. Weber (1958) dalam Elci (2007) menyatakan bahwa ”kepercayaan protestan, khususnya Calvinisme, mendorong kerja keras, produktif, disiplin pribadi, hemat, bijaksana dan ketenangan”.

Menurut Phale (2003), bahwa ”dalam agama Islam, pekerjaan adalah tugas bersama antara pemberi kerja dan pekerja. Keduanya terkait dalam suatu istitusi dimana mereka bekerja”. Vadalankar (1979) dalam Phale (2003) menyatakan bahwa ”Islam menghimbau setiap muslim yang mampu dan sehat untuk bekerja dan tidak tergantung pada bantuan, individu atau sistem keamanan negara”. Sukses dalam hidup bukanlah akhir dari tindakan manusia yang telah dilakukan dengan sasaran untuk memastikan kebahagiaan dan kebaikan dalam hidup setelah kematian. Bentuk kehidupan digambarkan dalam suatu pola keteladanan untuk mengenali tugas-tugas dan tindakan masyarakat sehari-hari, yang harus diterima sebagai bagian penting dari agama. Tiap-tiap agama mempunyai ritual tersendiri yang membentuk karakter dan cara hidup dan pelayanan sebagai panduan dasar.

(27)

b. Faktor budaya

Budaya merupakan peristiwa-peristiwa, pertunjukan dan pengalaman dari masa lalu. Dose (1997) menggambarkan ”budaya sebagai total interaktif dari karakteristik masyarakat yang mempengaruhi respon kelompok manusia terhadap lingkungan. Budaya menentukan identitas suatu kelompok”.

Gamble dan Gibson (1999) melakukan riset untuk mengetahui hubungan budaya melalui studi pada teori etika Barat, dan telah mengidentifikasikan perbedaan dan persesuaian antara etika kerja Barat dan Ketimuran. Sebagian besar etika pekerjaan Ketimuran merupakan kualitas kolektif, yang berawal dari filosofi Confucius. Filosofi ini menghormati sebagian besar orang-orang dalam konteks interaksi sosialnya, yang menjelaskan pentingnya kebersamaan dalam etika bekerja Ketimuran. Keselarasan, kesetiaan, kerjasama dan dukungan merupakan hasil yang menonjol dalam sistem kualitas budaya Ketimuran.

Hasil penelitian Ali, Azim dan Falcone (1995) dalam Phale (2007), mengenai etika kerja di Amerika dan Canada menemukan bahwa ”orang Amerika lebih berdedikasi dalam pekerjaan mereka dibandingkan orang Kanada”. Orang Kanada secara nyata menunjukkan lebih tertarik terhadap aktivitas relaksasi. Penelitian ini menemukan bahwa ada perbedaan budaya bahkan didunia barat itu sendiri. Penjelasan terhadap perbedaan etika kerja mengenai relaksasi dan dedikasi berhubungan dengan kekayaan ekonomis orang Kanada yang relatif terdistribusi secara proporsional.

c. Faktor individu

Secara empiris ditemukan bahwa orang-orang yang berorientasi kerja tinggi menempatkan kekuatan secara individu. Menurut Furnharn (1991) dalam Phale

(28)

(2003), riset menyediakan bukti bahwa ”norma-norma bekerja berkorelasi tinggi dengan individualisme”. Individualisme dicirikan sebagai kerja keras, bertanggung jawab, dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya untuk mengendalikan tujuan mereka. Individualisme merupakan dasar etika kerja dan aturan kerja dalam hidup seseorang. Lebih lanjut ditunjukkan bahwa individualisme menyediakan suatu pemahaman yang lebih baik tentang variasi budaya antar negara-negara. Menurut Ali, Azim dan Falcone (1995) dalam Phale (2007), bahwa ”kultur berbeda dalam tingkat mana individualisme dan kerjasama ditegaskan. Individualisme dalam dunia barat berperan untuk kesuksesan dan kinerja organisasi”. Faktor individu terdiri dari persepsi, nilai-nilai kerja, sikap kerja, ekspektasi dan motivasi, kebutuhan, dan demografi.

d. Dinamika kelompok

Menurut Phale (2007), ”dinamika kelompok adalah penting mengingat bahwa isi dari etika kerja yng berfokus pada nilai-nilai cukup luas, yang ditunjukkan dari oleh standard evaluasi dan ukuran-ukuran etika perilaku”. Tidak sama dengan etika, etika kerja tidak secara penuh mewakili aturan dan peraturan, tetapi hubungan dan proses yang menekankan perilaku dengan etika kerja yang diakui. Seseorang dengan etika kerja yang tidak diragukan, cenderung bertindak benar secara etis dalam suatu kelompok dengan pengambilan keputusan yang didasarkan pada etika sebagai prioritas. Hal ini menunjukkan bahwa etika kelompok akan mempengaruhi etika kerja individu dalam kelompok tersebut. e. Faktor organisasi

(29)

Menurut Phale (2007), dari berbagai literatur terdapat kecenderungan bahwa ”individu akan bertindak dengan benar sesuai dengan etik tempat bekerja ditentukan oleh organisasi dan individu”. Bagaimana cara organisasi diatur berpengaruh terhadap etika kerja di dalam suatu organisasi. Kidder (1999) membantah bahwa ”standar etika yang tinggi harus dikembangkan karena kesuksesan organisasi dan masyarakat serta kesejahteraan tergantung pada kekuatan individual dan etika bisnis”.

Individu tunduk untuk melakukan apa yang paling dihormati daripada yang harus ditaati, misalnya program etika kerja. Buller dan Mcenvoy (1999) menemukan bahwa ”faktor penentu mayoritas keputusan yang tidak etis berasal organisasi, khususnya manajer, daripada individu”. Lebih lanjut Sharfman et al., (2000) menyatakan bahwa ”walaupun bentuk organisasi dapat menentukan keputusan yang tak etis, diketahui bahwa etika kerja manajer merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan”. Di dalam suatu lingkungan organisasi dimana etika kerja organisasi kuat dan etika kerja individual sama, etika kerja dengan etika bisnis organisasi berkombinasi sesuai dengan faktor budaya dan sosial. Etika bisnis organisasi mencerminkan persepsi, nilai-nilai, sikap, dan kebutuhan terhadap etika pekerjaan.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam

Mes- kipun di sisi yang lain, reaktualisasi filsafat Islam, khususnya dalam rangka reintegrasi keilmuan di perguruan tinggi Islam menjadi sangat krusial mengingat umat

Guru memberikan materi terkait SPT lewat power point kepada siswa dan memberikan contoh bentuk SPT yang di share screen kepada siswa dan meminta anak untuk menganalisis contoh SPT

Market positioning merupakan proses formulasi competitive positioning untuk suatu produk dengan mendesain detil bauran pemasarannya. Sedangkan product positioning adalah

SPSS digunakan untuk mengukur validitas dan reliabilitas serta melihat keeratan hubungan (korelasi) antar item indikator penyebab waste. Validitas dan reliabilitas

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

“Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematik siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran kontekstual dan strategi

Mencermati bentuk masing-masing produk pemikiran hukum Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa tantangan utama yang dihadapi dalam penerapannya adalah tidak