• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDUNGAN KIMIA DAUN PARE (MOMORDICA CHARANTIA LINN) DAN EFEK ANTELMINTIK TERHADAP CACING LAMBUNG (HAEMONCHUS CONTORTUS RUDOLPHI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KANDUNGAN KIMIA DAUN PARE (MOMORDICA CHARANTIA LINN) DAN EFEK ANTELMINTIK TERHADAP CACING LAMBUNG (HAEMONCHUS CONTORTUS RUDOLPHI)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN KIMIA DAUN PARE (MOMORDICA CHARANTIA LINN)

DAN EFEK ANTELMINTIK TERHADAP CACING LAMBUNG

(HAEMONCHUS CONTORTUS RUDOLPHI)

(Chemical Content of Pare Leaves (Momordica Charantia Linn) and its Anthelmintic Effect on Haemonchus Contortus Rudolphi)

SRI RACHMAWATI1, G. ADIWINATA1, T. B. MURDIATI1danT. SULISTIANINGSIH2

1Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

2Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institute Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta

ABSTRACT

The aim of the activities were to investigate the chemical content of pare leaves (Momordica charantia Linn) extract, and its anthelmintic effect to Haemonchus contortus R in sheep. The fractions of leaves extract ware obtained by continuous extraction of the ground leaves using Soxhlet and n-hexane, metanol, chloroform and water as solvents and used it in sequence. From the identification result, it was found that n-hexane fraction contains terpen, whereas alkaloid was identified in chloroform and methanol fractions, and saponin, sugar and tannin were detected in water and methanol fractions. The antelmintic effect of each fraction of 5% concentration is tested against Haemonchus contortus in an in-vitro test for 6 hours. Haemonchus contortus is a pathogenic parasite, which can infect sheep and goat. The result indicated that n-hexane fraction gave a highest anthelmintic effect with 100% mortality rate of Haemonchus. Methanol fraction gave 90% mortality rate, whereas the mortality of Haemonchus was 23.33% and 13.33% in using chloroform and water fractions. The statistical test indicated that there were significant different of anthelmintic effect of using n-hexane and methanol fractions compare to those chloroform and water fractions. The percentage of eggs worm hatched failed using fraction of chloroform is 89.0%, 88.5% for methanol fraction and 25.9% and 3.8% for using chloroform and water fractions. The statistical test also gave significant different to the failed of egg worm to be hatched by using n-hexane and methanol fractions compared to the chloroform fraction. It is concluded that n-hexane and methanol fractions have a stronger anthelmintic effect compared to those chloroform and water fractions.

Key words: Antelmintic, in–vitro, pare leaves (Momordica charantia Linn), Haemonchus contortus R ABSTRAK

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia dan efek antelmintik ekstrak daun pare (Momordica charantia L) terhadap cacing lambung domba. Fraksi ekstrak daun pare diperoleh dengan cara ekstraksi berkesinambungan dari serbuk daun pare dengan menggunakan alat Soxhlet dan pelarut n-heksana, kloroform, metanol dan air secara berurutan. Hasil penapisan kandungan kimia fraksi n-heksana ditemukan adanya terpen, dalam fraksi kloroform dan metanol terdapat alkaloid, sedangkan dalam fraksi metanol dan air teridentifikasi adanya senyawa saponin, gula dan tanin. Efek antelmintik fraksi dari masing-masing ekstrak daun pare konsentrasi 5% diuji pada cacing lambung dewasa selama 6 jam secara in-vitro. Cacing lambung (Haemonchus contortus R) merupakan parasit patogenik yang umumnya menginfeksi domba dan kambing. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fraksi yang memberikan efek mematikan tertinggi pada cacing dewasa adalah fraksi n-heksana dengan persentase kematian 100%, diikuti fraksi metanol 90%. fraksi kloroform 23,33% dan fraksi air 13,33%. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dari fraksi n-heksana dan metanol terhadap daya mematikan cacing lambung jika dibandingkan dengan fraksi kloroform dan air. Sedangkan persentasi kegagalan menetas telur adalah 89,0% untuk fraksi n-heksana, 88,5% untuk fraksi metanol dan masing-masing 25,9% dan 3,8% untuk fraksi kloroform dan air. Hasil uji statistik juga

(2)

menunjukkan adanya beda nyata dari fraksi n-heksana, metanol dibandingkan dengan kloroform terhadap kegagalan menetas telur Haemuncus contortus. Dapat disimpulkan bahwa fraksi n-heksana dan metanol daun pare mempunyai efek altelmintik yang lebih kuat jika dibandingkan dengan fraksi kloroform dan air.

Kata kunci: Antelmintik, in-vitro, daun pare (Momordica charantia Linn), cacing lambung (Haemonchus contortus R)

PENDAHULUAN

Ternak domba sangat potensial untuk dikembangkan dan mempunyai peranan yang cukup besar bagi tambahan pendapatan petani. Hal ini karena harga bibit domba relatif murah, cepat berkembang dan sewaktu-waktu dapat dijual bila dibutuhkan. Ternak domba selain menghasilkan daging juga menghasilkan pupuk, serta kulitnya dapat digunakan sebagai bahan komoditi ekspor yang cukup berharga. Pengembangan ternak domba dapat dilaksanakan dengan meningkatkan populasi dan produktivitas domba yang telah ada. Namun demikian keberhasilannya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pakan dan penyakit. Menurut BERIADJAJA dan NURHADI, (1995) salah satu penyakit yang sering dijumpai pada ternak domba adalah gangguan endoparasit, dan endoparasit yang sering dilaporkan menyerang domba adalah cacing lambung (Haemonchus

contortus) yang luas penyebaran dan infeksinya dapat mencapai 80% dari populasi.

Cacing lambung adalah nematoda bersifat parasit pada domba. Cacing ini hidup dengan cara melekatkan diri pada dinding abomasum dan menghisap darah hospesnya sehingga menyebabkan anemia. Pada keadaan akut, infeksi cacing lambung dapat menyebabkan domba mengalami oedema dan kematian mendadak (SOULSBY, 1971). Obat tradisional yang mudah didapat dan dimanfaatkan untuk mengobati kecacingan amat dianjurkan mengingat obat yang beredar dipasaran harganya relatif mahal, sulit didapat di daerah dan mungkin menimbulkan residu pada produk ternak yang dihasilkan juga resistensi pada ternak.

Tanaman pare (Momordica charantia L.) merupakan tanaman yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, karena buahnya sering digunakan sebagai sayuran atau lalapan. Varietas tanaman ini bermacam-macam dan dapat ditemukan hampir di setiap daerah. Semua bagian tanaman ini dapat digunakan untuk pengobatan, seperti buahnya dapat dipakai untuk penurunan kadar gula darah, tonikum, penurun panas (antipiretik), penambah nafsu makan, alat kontrasepsi pria dan sebagai obat cacing. Bijinya dapat digunakan untuk obat cacing dan obat luka, sedangkan daunnya dapat digunakan sebagai obat cacing, obat batuk, demam nifas, kencing nanah dan malaria (HEYNE, 1987).

Pada manusia tanaman pare diketahui berkhasiat sebagai antelmintik, antara lain telah dilakukan uji antelmintik dari daun pare terhadap cacing gelang (Ascari lumbricoides) dengan daya bunuh hingga 66,7% (PUSLITBANG FARMASI, 1987). Selain itu emulsi biji pare juga diketahui dapat membunuh cacing lambung hingga 100% dengan kadar 1 g/ml dalam waktu 9 jam (MUCHTAR, 1991).

Untuk mendapatkan senyawa aktif daun pare yang bersifat antelmintik, maka perlu dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut bahan kimia. Ekstraksi sinambung dilakukan dengan menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran berbeda, sehingga akan didapat beberapa fraksi yang masing-masing mengandung zat kimia tertentu. Selanjutnya dengan pemeriksaan fitokimia dapat diketahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam tiap fraksi. Uji efek antelmintik pada tiap fraksi diharapkan dapat menunjukkan fraksi yang mengandung bahan kimia bersifat antelmintik. Makalah ini akan melaporkan kandungan senyawa kimia dalam beberapa fraksi daun pare dan efek

(3)

antelmintik dari fraksi-fraksi tersebut terhadap cacing dewasa dan telur Haemonchus contortus R secara in-vitro.

MATERI DAN METODE

Kegiatan penelitian dibagi dalam beberapa tahapan yaitu pembuatan serbuk daun pare dilanjutkan dengan pembuatan ekstrak, penapisan kandungan kimia dalam ekstrak dan pembuatan sediaan fraksi daun pare, uji penentuan dosis dan percobaan in-vitro terhadap cacing dan telur

Haemonchus, serta analisis data.

Pembuatan serbuk dan ekstrak daun pare

Daun pare setelah dicuci bersih, dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 5 hari, selanjutnya dikeringkan dalam oven 400C selama 2 jam. Daun kering dihaluskan dengan alat penggiling dan disaring dengan alat penyaring berukuran 0,75 mesh. Serbuk ditimbang (150 gram) dan diekstraksi secara berkesinambungan dengan beberapa jenis pelarut, yaitu berturut-turut mulai n-hexana, kloroform, metanol dan air. Ekstrak dalam masing-masing pelarut yang diperoleh kemudian diuapkan pada alat rotavapor suhu 400C hingga diperoleh sediaan ekstrak yang kering. Setelah itu ampas/sisa daun pare diekstraksi kembali dengan pelarut kedua, ketiga dan selanjutnya. Untuk pelarut air, sisa/ampas dipanaskan dalam air dengan perbandingan 1:5 selama 15 menit, yang dihitung setelah air mendidih. Hasil pemanasan kemudian disaring dan filtrat dikeringkan dengan menggunakan alat freeze drying.

Penapisan kandungan kimia dan pembuatan sediaan fraksi

Cara penapisan kandungan kimia daun pare serta metoda uji yang dilakukan dapat dilihat secara skematis pada Gambar 1. Untuk penentuan dosis efektif, dibuat sediaan masing-masing fraksi n-heksana, kloroform, metanol dan fraksi air dalam konsentrasi 1%, 2,5% dan 5% sedangkan untuk pengujian efek antelmintik secara in vitro, sediaan dibuat dalam konsentrasi 5%. Sediaan kering tiap fraksi daun pare dibuat dalam larutan pengemulsi tween 20 dan larutan NaCl 0,9%. Untuk kontrol dibuat larutan NaCl 0,9% dan tween 20 perbandingan 1:5.

Percobaan in-vitro terhadap cacing dan telur Haemonchus contortus

Pengujian awal dilakukan terhadap cacing lambung dewasa dengan menggunakan konsentrasi sediaan fraksi daun pare 1%, 2,5% dan 5% untuk penentuan dosis efektif. Selanjutnya pengujian efek antelmintik dari fraksi-fraksi daun pare tersebut dilakukan secara in-vitro terhadap cacing dan telur Haemonchus yang dibagi ke dalam 5 kelompok dengan ulangan 3 kali. Kelompok tersebut yaitu:

Kelompok I: Cacing dan telur+fraksi n-hexana konsentrasi 5% Kelompok II: Cacing dan telur+fraksi kloroform konsentrasi 5% Kelompok III Cacing dan telur+fraksi metanol konsentrasi 5% Kelompok IV: Cacing dan telur+fraksi air konsentrasi 5%

Kelompok V: Cacing dan telur+larutan kontrol (0,9% NaCl+tween 20)

Pada uji in-vitro dari fraksi-fraksi terhadap cacing dewasa, digunakan sebanyak masing-masing 10 ekor cacing dewasa yang diletakkan pada cawan petri yang telah berisi 10 ml sediaan ekstrak

(4)

Serbuk daun pare + n-heksana

daun pare dan kontrol. Pengamatan dilakukan terhadap adanya cacing mati pada setiap 15 menit jam pertama dan setiap jam pada jam-jam berikutnya sampai 5 jam.

Untuk pengujian in-vitro terhadap telur cacing digunakan sebanyak 50 butir telur. Dengan bantuan mikroskop telur dipindahkan kedalam cawan petri dan kedalamnya ditambahkan 1,5 ml fraksi ekstrak daun pare, selanjutnya diinkubasikan selama 24 jam. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur yang tidak menetas menjadi larva tingkat 1, atau kegagalan menetas telur.

Analisis data

Data cacing yang mati akibat perlakuan dengan berbagai sediaan ekstrak daun pare dianalisa dengan metoda analisis varian (ANOVA) dua arah, yang terdiri dari 2 faktor perbedaan yaitu faktor waktu pengamatan dan perbedaan antar fraksi. Sedangkan data pengamatan terhadap telur yang tidak menetas dianalisis dengan metoda ANOVA satu arah untuk pengujian rata-rata dari seluruh perlakuan. Analisis selanjutnya dengan menentukan nilai BNT (beda nyata terkecil) (STEEL dan TORRIE, 1980).

+ kloroform - Uji terpen (1)

- Uji lemak (2)

Fraksi kloroform serbuk ampas

Uji alkaloid (3)

Uji flavonoid (4) + metanol

Uji antrakinon (5)

Fraksi metanol serbuk ampas

- Uji alkaloid (3) - Uji flavonoid (4)

- Uji antakinon (5) + air

- Uji tanin (6) - Uji saponin (7) - Uji gula (8)

Fraksi air serbuk ampas

- Uji tanin (6) - Uji saponin (7) - Uji gula (8)

Gambar 1: Skema penapisan kandungan kimia daun pare dan metoda uji yang dilakukan

Keterangan:

(1)=Metoda Kromatografi Lapis Tipis (KLT), (HARBORNE, 1987) (2)=Metoda kertas perkamen (PEDROSA, 1978)

(3)=Metoda KLT (STAHL, 1969)

(4)=Metoda perubahan warna (MATERIA MEDIKA INDONESIA, 1989) (5)=Uji Bontrager dan Van Schontetan (MATERIA MEDIKA INDONESIA, 1989)

Fraksi n-heksana

(5)

(6)=Metoda pembentukan endapan (PEDROSA, 1978) (7)=Uji pembuihan (MATERIA MEDIKA INDONESIA, 1989) (8)=Uji Molish (MATERIA MEDIKA INDONESIA, 1989)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perolehan ekstrak dari 150 gram daun pare setelah proses ekstraksi sinambung berturut-turut dari fraksi n-heksana adalah 2,51 gram, dari fraksi kloroform sebesar 18,28 gram, dari fraksi metanol 18,57 gram dan fraksi air 5,8 gram. Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari fraksi-fraksi daun pare tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Fraksi n-heksana memperlihatkan hasil positif terhadap terpen, fraksi kloroform dan metanol memberikan hasil positif adanya alkaloid, selain itu fraksi metanol pun memberikan indikasi adanya tanin, saponin dan gula, seperti halnya pada fraksi air. Cara ekstraksi sinambung ini merupakan prosedur klasik untuk mendapatkan kandungan senyawa organik dari bagian tanaman, namun cara ini tidak dapat digunakan untuk mendapatkan bahan atau zat yang termolabil, karena ekstraksi sinambung dilakukan dengan menggunakan sederetan pelarut dengan cara pemanasan pada alat Soxhlet. Untuk menghindari rusaknya zat yang terekstrak karena pemanasan, maka pelarut yang dipilih harus mempunyai titik didih yang rendah (ROSS dan BRAIN, 1977; HARBORNE, 1987). Dalam memilih pelarut, dipilih pelarut yang memiliki kapasitas optimal dalam melarutkan konstituen tanaman yang berkhasiat dan kemudian dapat memisahkannya dari senyawa lain yang terkandung dalam tanaman tersebut (LIST dan SCHMIDT, 1989).

Tabel 1. Hasil penapisan kimia fraksi daun pare

Fraksi Parameter yang diuji

n-heksana Kloroform Metanol air

Terpen + * * * Lemak - * * * Alkaloid * + + * Flavonoid * - - * Antrakinon * - - * Tanin * * + + Saponin * * + + Gula * * + +

Keterangan: +(positif), -(negatif) dan *(tidak diuji)

Hasil uji pendahuluan untuk menentukan dosis yang akan dipakai menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi 5% dari fraksi-fraksi daun pare tersebut memberikan efek antelmintik terbaik. Hasil pengujian efek antelmintik terhadap cacing dewasa pada konsentrasi tersebut untuk fraksi n-heksana menunjukkan kematian tertinggi (100%) dalam waktu 360 menit. Untuk fraksi metanol, kloroform dan air berturut-turut adalah 90%, 23,33% dan 13,3%, sedangkan untuk kelompok kontrol sampai akhir pengamatan tidak menunjukkan adanya kematian cacing (Tabel 2). Hasil pengujian statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dari fraksi n-heksan dan metanol terhadap daya mematikan cacing lambung jika dibandingkan dengan fraksi kloroform dan air (Tabel 3).

Cacing H. contortus ini merupakan cacing parasit yang amat patogen pada domba, penghisap darah dan ditemukan dalam abomasum (SMYTH, 1976; SOULSBY, 1971). Terdapatnya cacing

(6)

tersebut pada perut domba akan memperlihatkan gejala klinis berupa kehilangan berat badan, anemia dan oedema. Pada domba yang terinfeksi kronik akan dapat ditemukan cacing dewasa sebanyak 100-1000. Jumlah cacing ini akan menyebabkan domba kehilangan darah 5-50 ml per hari. Pada keadaan akut domba akan mengalami anemia, feses berwarna hitam dan keretakan dinding abomasum. Pada keadaan ini akan ditemukan jumlah cacing dewasa sebanyak 1000-10.000 pada perut domba dan domba dapat kehilangan darah 50-200 ml per hari. Sedangkan pada kondisi hiperakut, domba menderita anemia dan dapat terjadi kematian mendadak, karena mengalami kehilangan darah 200-600 ml per hari (REINECKE, 1983).

Tabel 2. Persentase rata-rata kematian kumulatif cacing lambung dewasa (Haemonchus contortus) dari

perlakuan fraksi daun pare pada beberapa waktu pengamatan Fraksi* Waktu (menit)

n-heksana Kloroform Metanol Air Kontrol

0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0 30 0 0 0 0 0 45 0 0 0 0 0 60 0 0 0 0 0 120 0 0 13,33 0 0 180 33,33 0 26,67 0 0 240 56,67 0 43,33 3,33 0 300 96,67 13,33 70 6,67 0 360 100 23,33 90 13,33 0

Keterangan: * Persentase rata-rata hasil dari 3 kali pengamatan

Hasil pengujian statistik efek antelmintik fraksi daun pare berdasarkan % kematian cacing dan kegagalan menetas telur H. contortus disajikan pada Tabel 3. Persentase kegagalan menetas telur menjadi larva tingkat 1 pada penggunaan fraksi n-heksana yaitu sebesar 89,6%, sedangkan pada fraksi metanol, kloroform, air dan kontrol masing-masing adalah 88,5%, 25,9%, 3,8% dan 0,67%. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dari penggunaan fraksi n-heksana dan metanol dibandingkan dengan kloroform terhadap kegagalan menetas telur (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil pengujian statistik efek antelmintik fraksi daun pare berdasarkan pada persentase kematian

cacing lambung H. contortus dan kegagalan menetas telur

Kelompok Fraksi % kematian

cacing dewasa* Kesamaan kelompok # % kegagalan menetas telur* Kesamaan Kelompok # I n-heksana 100 a 89,6 a II Kloroform 23,33 b 25,9 b III Metanol 90.0 a 88,5 a IV Air 13,33 b 3,8 c V Kontrol 0 b 0,67 c

Keterangan: * % kematian cacing dan % kegagalan telur menetas adalah rata-rata dari 3 kali pengamatan

# Indeks huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf P<0,05 antar perlakuan fraksi daun pare

(7)

Cacing H. contortus betina dapat bertelur 5000-10.000 butir per hari. Telur dapat bertahan dalam keadaan cuaca yang buruk tanpa mengalami kerusakan dalam waktu yang lama, demikian juga larva infektif. Telur akan dikeluarkan oleh domba melalui feses dan akan mengalami perkembangan ditanah membentuk larva tingkat 1 (L1). L1 hidup dari memakan mikroorganisme hingga ia matang dan membentuk larva tingkat 2 (L2) yang lebih aktif bergerak dan dapat berenang di air. L2 berkembang menjadi larva tingkat 3 (L3) yang mempunjai selubung. Bentuk L3 ini merupakan larva infektif. Larva ini dapat bertahan hidup sampai 6 bulan. Larva masuk tubuh domba melalui mulut, termakan bersama rumput, kemudian larva masuk kedalam abomasum dan hidup di bagian mukosa, berkembang menjadi cacing dewasa, siap kawin dan menghasilkan kembali telur yang kemudian dikeluarkan bersama feses domba, demikian seterusnya (REINECKE, 1983).Dari hasil pengujian statistik pada Tabel 3, dapat dikatakan bahwa fraksi n-heksana dan metanol daun pare mempunyai sifat antelmintik yang lebih kuat dibandingkan fraksi kloroform dan air, karena kematian cacing dan kegagalan menetas telur memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dalam penggunaan fraksi n-heksana dan metanol dibandingkan kloroform dan air. Sifat antelmintik adalah sifat yang diberikan obat untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh hospes (CROSSLAND, 1971). Beberapa faktor dapat dijadikan ciri bagi sebuah obat antelmintik yang ideal untuk ternak atau hewan diantaranya adalah:

(1). Efektifitas, obat tersebut sebaiknya memiliki daya kerja antelmintik yang cukup tinggi baik pada cacing muda maupun cacing dewasa (JONES, 1982), (2). Indeks terapi yang luas. Antelmintik tersebut hendaknya bersifat toksik bagi parasit tetapi aman bagi hospes (NICHOLAS dan MC

DONALD, 1984), (3). Mudah dalam pemberian dan harga yang murah. Lebih praktis untuk

menggunakan obat yang dapat dicampur dengan makanan, sehingga tidak memerlukan fasilitas atau keahlian lain jika obat harus diberikan secara lain misalnya injeksi, serta murah harganya (JONES, 1982), (4). Obat sebaiknya memenuhi ketentuan Food Drug and Administration (FDA) mengenai residu. Hewan yang diberikan obat tertentu membutuhkan selang waktu sebelum dapat dikonsumsi (JONES, 1982).

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil uji penapisan kandungan kimia didapatkan bahwa ekstrak atau fraksi n-heksana daun pare mengandung senyawa terpen, pada fraksi kloroform dan metanol didapatkan alkaloid, sedangkan senyawa saponin, gula dan tanin teridentifikasi dalam fraksi metanol dan air. Fraksi n-heksana dan metanol daun pare mempunyai efek antelmintik yang lebih kuat dibandingkan dengan fraksi kloroform dan air.

DAFTAR PUSTAKA

BERIAJAYA dan A. NURHADI. 1995. Infeksi Cacing Nematoda Gastro Intestinal Pada Domba di Perkebunan

Karet. Majalah Parasitologi Indonesia. 8(2):7.

CROSSLAND, J. 1971. Lewiss’s Pharmacology 4th ed. Churchill Livingstone, Edinburgh, London: 1242.

HARBORNE, J. B. 1987. Metoda Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Edisi II (terjemahan Padmawinata, S dan Soediro,I). Institut Teknologi Bandung: 1-8.

HEYNE, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: 1802-1803.

JONES, L. M. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 4 th ed. The Iowa State University Press.

(8)

LIST, P. H. dan SCHMIDT, P. C. 1989. Phytopharmaceutical Technology. CRC Press, Boca Raton: 67-180. MATERIA MEDIKA INDONESIA. 1989. Jilid V, Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI,

Jakarta: 116-119; 352.

NICHOLAS, B dan MC. DONALD, L. E. 1984. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 5th ed. The Iowa State

University Prees, Ames: 611-613.

MUCHTAR, I. D. J. 1991. Pemeriksaan Efek Antelmintik Perasan Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia Linn)

Terhadap Nematoda Pada Domba. Skripsi Sarjana Farmasi. Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Indonesia. Depok: 35-41.

PEDROSA, C. O. P. 1978. Phytochemical, Microbiological, Pharmacological, Screening of Medicinal Plant. Acta Manila. University of St. Thomas, Manila: 2-21.

PUSLITBANG FARMASI. 1987. Lap. Penelitian Skrining Efek Antelmitik Beberapa Tanaman Obat 1986/1987.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan , Departemen Kesehatan RI: 15.

ROSS, M. S. F dan BRAIN, K. R. 1977. An Introduction of Phytopharmacy, The Pitman Press, London: 57.

REINECKE, R. K. 1983. Veterinary Helmintology. Butterword , Durban: 77-79.

SMYTH, J. D. 1976. Introduction to Animal Parasitology. Hodder and Stroughton, London: 259-366. SOULSBY, E. J. L. 1971. Helminth, Anthropods and Protozoa. 6th ed. Bailiere Tindall, London: 235-239.

STEEL R. G. D dan J. H. TORRIE. 1980. Principles and procedure of Statistics. A Biometrical Approch. Mc

Grawhill Inc. Book Co. Singapore.

STAHL, E. 1969. Thin Layer Chromatography, A Laboratory Handbook. 2nd ed. Springer Verlag, New York:

Gambar

Gambar 1: Skema penapisan kandungan kimia daun pare dan metoda uji yang dilakukan
Tabel 1. Hasil penapisan kimia fraksi daun pare
Tabel 2. Persentase rata-rata kematian kumulatif cacing lambung dewasa (Haemonchus contortus) dari  perlakuan fraksi daun pare pada beberapa waktu pengamatan

Referensi

Dokumen terkait

Dosen pembimbing sekaligus pembimbing akademik program studi S1 Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, ibu Sulastri, S.Kp., M.Kes

Terutama anak anak kelas 3, mereka akan sebisanya unutk menggunakan bahasa inggris dan ketika tidak bisa u oleh pakai ahasa i do esia ya

Penelitian ini berhasil memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sikap pelanggan terhadap media sosial yang digunakan pemasar

Terdapat hubungan positif yang cukup tinggi antara kelengkapan sumber belajar yang dimiliki siswa dirumah dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran geografi

Semi explains that sociology of literature is not just the picture of the society life in certain era when the author just retells the events of the social life in that era, but

Marketing Public Relations menggunakan Three Ways Strategy (Push, Pull, Pass) yaitu karena strategi ini mencakup bagian Marketing Public Relations yang digunakan oleh

Selain itu didapatkan nilai correlation coefficient (r) sebesar 0,829 yang menunjukan hubungan antara rutinitas pijat bayi dengan perkembangan bayi mempunyai

Oleh karena itu karena banyaknya barang yang dijual dan juga banyaknya para konsumen yang datang, maka penulis akan mencoba membantu mengelola data-data tersebut dengan