SONNY KERAF 2010
T U G I M A N
Program Studi Ilmu Lingkungan UNIVERSITAS RIAU
A. PENGERTIAN ETIKA
Secara etimologis: Ethos (Yunani) yang berarti adat istiadat/kebiasaan. Etika berarti kebiasaan hidup yang baik, yang etis, yang halal dsb. Etika sebagai pedoman dan orientasi perilaku yang baik, yang sesuai dengan norma yang berlaku. Etika merupakan refleksi kritis tentang norma, situasi khusus yang dihadapi, dan paham yang dianut oleh manusia.
1. Etika Teologi
Etika yang bersumber dari kewajiban serta memperhitungkan dampak dari dilaksana-kannya kewajiban. Bentham dalam Sonny Keraf (2010) membagi etika teologi menjadi: a. Egoisme etis, menilai suatu tindakan baik bila berakibat baik bagi pelakunya.
b. Utilitarinisme. Menilai suatu tindakan baik bila berakibat baik (memberi manfaat) kepada banyak orang.
1) Manfaat tertentu 2) Manfaat tertinggi
2. Etika Keutamaan
Etika yang menekankan pada pengembang-an karakter moral seseorpengembang-ang secara kompre-hensif dalam ruang dan waktu.
3. Etika Lingkungan
Disiplin ilmu yang mempelajari norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manu-sia dalam berhubungan dengan alam.
Manusia hidup di alam, manusia dan alam memiliki saling ketergantungan. Oleh karena itu diperlukan etika untuk mengatur hubung-an mhubung-anusia denghubung-an alam.
TEORI ANTROPHOSENTRISME
(Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes, Imanuel Kant). Manusia dianggap sebagai pusat dari sistem alam
semesta. Manusia dan kepentingannya sebagai yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia.
1.
Argumen Antrophosentrisme
a.
Kitab Kejadian pasal 1 ayat 26-28. “Allah
menciptakan manusia secitra dengan
Allah pada hari keenanm sebagai
puncak dari seluruh karya ciptannya”
b.
Tradisi Aristotelian yang dikembangkan
Thomas Aquinas,
“Semua kehidupan
membentuk dan berada dalam sebuah
rantai kesempurnaan”.
Manusia paling
mendekati yang maha sempurna (Allah),
sehingga manusia adalah makhluk
c. Kedudukan manusia lebih tinggi dari
makhluk lain, karena manusia adalah
makhluk bebas dan rasional (the free
and rasional being). Maklhuk lain
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
Etika Instrumentalisme merupakan titik awal penolakan terhadap Etika Instrumentalisme.
a. Prudential Argument:
Kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia tergan- tung dari kelestarian dan kualitas lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penghargaan terhadap keberada-an alam.
b. Intrumental Argument:
1) Alam memiliki nilai, tetapi hanya sebagai alat. Manusia perlu menjaga kelestarian alam.
2) Manusia sebagai wakil tuhan (khalifah) perlu menjaga kelestarian alam.
3).Manusia memilikitanggungjawab moral untuk melayani, menjaga dan melindungi semua mahluk.
1. Teori Lingkungan Hidup yang Berpusat pada Kehidupan.
(Albert Schweitser) Kehidupan adalah hal sakral.
“Saya menjalani kehidupan yang mengnginkan tetap hidup di tengah kehidupan yang
menginginkan tetap hidup”. Orang yang bermoral adalah orang yang tunduk pada dorongan untuk membantu semua kehidupan.
Paul Taylor berkeyakinan:
1) Manusia sebagai anggota komunitas kehidupan. 2) Manusia dan spesies lain saling ketergantungan. 3) Semua organisme adalah pusat kehidupan
dengan nilainya sendiri.
a.
A thing is right when it tends to preserve
the integrity, stability, and beauty of the
biotic community. It is wrong when it
tends otherwise”.
b.
Komunitas kehidupan meliputi manusia,
makhluk hidup lain, serta alam itu sendiri.
3.
Anti Spesiesisme (Peter Singer dan
James Rachels)
Singer mengembangkan teori ini dengan diilhami perjuangan melawan apartheit di Afrika Selatan.
Antrophosentrisme yang menganggap manusia sebagai makhluk tertinggi adalah identik dengan rasialisme makhluk hidup. Teori ini menolak rasisme makhluk hidup. Sesama makhluk hidup (biotis) harus saling menghargai.
a)
Spesiesme radikal: tetap
mengutamakan kepentingan manusia
daripada kepentingan binatang.
b)
Spesiesme lunak: kepentingan vital
binatang lebih diutamakan daripada
kepentingan sepele manusia.
Teori ini mengembangkan teori
biosentrisme. Bahwa yang menjadi pusat
etika bukan saja komunitas makhluk
hidup, tetapi juga makhluk anorganis;
karena sumber keberadaan dan sumber
kehidupan organism adalah alam. Deep
Ecology yang dikembangkan Arne
Naess adalah salah satu penganut teori
ekosentrisme.
1. Platform Aksi
a. Kesejahteraan dan perkembangan
kehidupan mempunyai nilainya sendiri, terlepas apakah berguna bagi
manusia/tidak.
b. Kekayaan dan keanekaragaman
bentuk-bentuk kehidupan memiliki sumbangsih
bagi perwujudan nilai, bernilaai sendiri, dan berkontribusi bagi kehidupan.
c. Manusia tidak berhak mereduksi kekayaan
dan keanekaragaman kecuali untuk kebutuhan vital.
d. Perkembangan kehidupan dan kebudayaan
manusia seiring dengan penurunan jumlah penduduk (?!) yang dibutuhkan oleh
e.
Intervensi manusia terhadap dunia di luar manusia sudah berlebihan dan semakin memburuk.f. Perlu ada perubahan kebijakan untuk
mempengaruhi struktur ekonomi, ideology, dan teknologi.
g. Perubahan ideologi lebih berpijak pada kualitas kehidupan, bukan pada standard kehidupan.
h. Manusia berkewajiban ikut ambil bagian dalam mewujudkan perubahan.
2. Prinsip Gerakan Lingkungan Hidup
a. Hak semua bentuk kehidupan untuk hidup
mrpk hak universal yang harus diperhatikan
b. Prinsip non antrophosentrisme yang hanya
mengutamakan kepentingan manusia.
c. Realisasi diri, manusia merealisasikan dirinya
bukan saja sebagai makhluk social, tetapi juga sebagai makhluk ekologis.
d. Pengakuan dan penghargaan terhadap
keanekaragaman dan kompleksitas
ekologis yang memiliki hubungan simbiosis.
DASAR PERTIMBANGAN HAK AZASI ALAM
Merujuk pada etika biosentrisme dan
ekosentrisme, mudah dipahami bahwa
alam juga memiliki hak azasi yang perlu
dihargai. Dasar pertimbangan hak azasi
alam tersebut adalah:
1. Manusia adalah sebagai “free and equal being” sebagai hak azasi. Dikembangkan
oleh Leopold untuk diterapkan kepada komunitas di luar manusia (alam), yang kemudian menganggap bahwa
lingkungan pun memiliki hak azasi seperti halnya manusia.
2. Manusia sebagai makhluk bermoral,
sehingga manusia adalah sebagai subyek moral memiliki tanggungjawab terhadap alam (khususnya flora dan fauna).
3.
Conatus essendi (James A. Nash) yaitu
dorongan untuk bertahan hidup. Dalam
kaitan ini, manusia sebagai subyek
moral perlu memberikan hak bertahan
hidup bagi makhluk lain.
4.
Paul Taylor dengan hak legal dan hak
moralnya menyatakan bahwa secara
legal alam perlu diberikan pengakuan
hak hidup dan berkembang biak.
Dengan mengadopsi beberapa prinsip hak azasi manusia, Sonny Keraf (2010) mengiden-tifikasi hak azasi alam sebagai berikut:
1. Hak untuk tidak diganggu gugat dan dirugikan.
Alih fungsi lahan, reklamasi, pencemaran dalam berbagai bentuk, usaha pertambangan yang tidak diikuti pemulihan kembali, penggunaan
racun pembunuh gulma, penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama adalah contoh
pelanggaran hak untuk tidak diganggu gugat dan dirugikan.
2. Hak untuk berkembang biak bagi flora
dan fauna. Bahwa flora dan fauna
sebagai makhluk hidup. Untuk
melanjutkan keturunan mereka memiliki
hak berkembang biak. Pengebirian
ternak, mengurung binatang piaraan,
usaha bonsai dan sebagainya bisa
dikategorikan pelanggaranterhadap
hak untuk hidup tersebut.
Ekofeminisme merupakan revolusi cara pandang berupa etika lingkungan hidup yang menggugat dan mendobrak cara pandang dominan dan menawarkan telaah kritis atas semua krisis lingkungan hidup.
Ekofeminisme pertama kali tahun 1974 oleh
Francois d’Eauhome (Perancis) yang merupakan ajakan bagi kaum perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.
1. Feminisme, revolusi cara pandang
Feminisme
merupakan aliran filsafat
yang menggugat cara pandang yang
dominan maskulin, patriarchat, dan
hirarkhis; karena pada dasarnya laki-laki
dan perempuan adalah sama di mata
Tuhan.
2. Jenis-jenis Feminisme
Alison Jaggar (1983) dalam buku
“Feminist Politics and Human Nature”
menggolongkan feminisme menjadi:
a. Feminisme Liberal
Memandang bahwa laki-laki dan
pe-rempuan memiliki harkat dan martabat
yang sama sebagai makhluk yang
bebas dan rasional. Oleh karena itu
perlu diciptakan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang
berbeda dianaggap sebagai
pelang-garan terhadap prinsip moral dan
b. Feminisme Marxis
Perempuan ditindas karena perempuan ditempatkan hanya pada sector domestic yang tidak diperhitungkan di bidang poleksosbud. Laki-laki memiliki kebebasan bekerja di luar rumah justeru karena pengorbanan perempuan. Oleh karena itu feminism Marxis menuntut agar ibu rumah diberi penghargaan secara ekonomis. Pada sisi lain, feminism Marxis menginginkan agar perempuan tidak hanya bekerja di sector domestic.
c. Feminisme radikal dan Sosialis.
Hal yang menyakitkan bagi feminism radikal adalah ketika perbedaan biologis dan seksual antara laki-laki dan perempuan telah dipakai sebagai alasan bagi laki-laki untuk mendominasi, marginalisasi dan menindas kaum perempuan. Untuk menghapuskan hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan menghapuskan stigma tersebut. Untuk itu “revolusi nilai dan
moral” perlu dilakukan sebagaimana Marx
memberikan resep terhadap penghapusan kelas social.
Pemikiran mengenai prinsip etika lingkungan pada dasarnya dilatarbelakangi teori-teori sebelumnya. Teori antrophosentris yang cenderung mendorong sikap eksploatasi manusia terhadap alam. Reaksi dari teori antrophosentris kemudian mendorong lahirnya teori-teori yang mencoba menghargai keberadaan dan hak-hak makhluk selain manusia (biosentrisme) yang kemudian berkembang penghargaan bukan saja terhadap manusia dan organisme, tetapi juga termasuk penghargaan terhadap alam non organis (teori ekologis).
1. Sikap Hormat terhadap Alam (Respect for Nature)
Antrophosentrisme menghormati alam karena kepentingan manusia sangat bergantung pada kelestarian dan integritas alam. Biosentrisme dan ekosentrisme berpandangan bahwa manusia wajib menghargai alam karena manusia merupakan bagian dari alam dan karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap komunitas alam harus saling menghormati. Setiap anggota komunitas ekologi wajib saling menghormati serta menjaga kohesivitas & integritas komunitas ekologis.
Secara ontologis, manusia adalah bagian integral dari alam. Oki manusia sebagai khalifah memiliki tanggungjawab (secara individual maupun kolektif) untuk jaga dan pelihara alam dengan segala isinya. Tgjwb kolektif termanifestasi dalam bentuk “meng-ingatkan, melarang, dan menghukum siapapun yang secara sengaja merusak dan membahayakan eksistensi alam semesta”.
Tanggungjawab mendorong rasa memiliki bersama, sehingga memunculkan kesadaran untuk meme-lihara alam secara bersama. Hal yang sebaliknya terjadi manakala manusia memandang bahwa alam ini tidak ada pemiliknya, sehingga setiap orang akan berlomba-lomba untuk mengeksploitasinya.
Mantan Menteri KLH Emil Salim secara arif menawar-kan konsep, bahwa “alam bukanlah warisan untuk anak cucu, tetapi pinjaman dari anak cucu”. Dengan konsep tersebut mengandung makna bahwa kita wajib mengembalikan pinjaman itu minimal sama baiknya ketika kita menerima pinjaman, syukur bila kita kembalikan dalam keadaan yang lebih baik. Hal tersebut mengandung makna tanggungjawab terhadap kelestarian alam.
3. Solidaritas Kosmis (Cosmic Solidarity)
Manusia bagian dari dan bersama komunitas ekologi lainnya. Menurut pandangan ekofemi-nisme bahwa manusia berkedudukan sede-rajat dengan komunitas ekologi lainnya, maka wajib dikembangkan sikap kesetiakawanan antar komunitas ekologi.
Harmonisasi, keselarasan dan kesetiakawanan untuk tidak merusak dan mengeksploitasi alam secara berlebihan adalah sebagai wujud kesetiakawanan kosmis.
4. Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam (Carying for Nature)
Paradigma ekologisme memandang manusia sebagai bagian dari ekologi bersama dengan alam (biotis maupun abiotis). Hal tersebut diperkuat ekofeminisme yang menganggap bahwa manusia adalah setara dengan komunitas ekologi lainnya. Oleh karena itu manusia harus menyayangi sesama komunitas ekologi.
Alam telah menjadi tempat hidup, sumber kehidupan, penghidupan dan pembentuk budaya manusia. Oleh karena itu manusia wajib memberikan kasih sayang dan peduli kepada lingkungan. Dalam perspektif Deep Ecology (DE), dengan mencintai alam manusia menjadi semakin kaya dan mempresenta-sikan dirinya sebagai pribadi ekologis.
5. Tidak Merugikan (No Harm)
Dengan prinsip menghormati, tanggungjawab, solidaritas, dan kasih sayang, maka manusia memiliki kewajiban dan tanggungjawab “paling tidak untuk tidak merugikan alam” yang tidak perlu. Kearifan local yang dikemas dalam bentuk pengkeramatan alam, tabu merusak alam dan sebagainya adalah bentuk nyata dari tidak merusak alam. Secara konkrit tanggungjawab untuk tidak merugikan alam dapat dilakukan dengan tidak mengeksploitasi secara berlebihan, menjaga, merawat, dan melindungi alam.
6. Hidup Sederhana dan Selaras terhadap Alam (Simple Life and Balance for Nature)
Etika Deep Ecology, dengan hidup sederhana dan selaras dengan alam akan menjadi pengendali manusia untuk tidak memuaskan pemenuhan kebutuhannya yang jumlahnya tidak terbatas secara maksimal sehingga tidak akan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Ketika manusia terjebak mengejar pemuasan kebutuhan dalam rangka mengejar gaya hidup mewah, maka dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya manusia akan semakin intensif mengeksploitasi alam.
Bagaimana dengan kecenderungan gaya hidup sekarang ???!!!
7. Keadilan (Justicefy)
Adil mengandung makna keseimbangan antara hak dan kewajiban, saling menerima dan memberi. Alam telah memberikan sumber daya kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu sangat wajar bila manusia juga memiliki kewajiban kepada alam. Wujud sikap adil manusia terhadap alam adalah memanfaatkan sumber daya secara arif (tidak berlebihan), menjaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas sumber daya alam.
8. Demokrasi (Democracy)
a. Demokrasi menjamin penghargaan terhadap keberagaman dan pluralitas (kehidupan, aspirasi, politik, dan nilai). Pembangunan harus secara komprehensif.
b. Demokrasi menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan memperjuangkan nilai. Demokrasi menentang kebijakan otoriter dan tidak aspiratif. c. Demokrasi menjamin partisipasi dalam
menentukan kebijakan dan peluang memperoleh peluang sama dalam pembangunan.
d. Demokrasi menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi kebijakan public.
e. Demokrasi menuntut akuntabilitas public agar pemegang kekuasaan tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan kekuasaan.
9. Integritas Moral (Moral Integrity)
Menurut Aristoteles, manusia selain dibekali id dan ego (akal dan nafsu), juga dibekali super
ego (moral). Dengan moral manusia mampu
membedakan mana benar/salah, haq/batil, halal/haram, etis/tidak etis, adab/biadab dan sebagainya. Moral bisa bersumber dari nilai agama, adat-istiadat, etika dan sebagainya. Perpaduan moral dari berbagai sumber tersebut diharapkan akan melahirkan kearifan manusia terhadap alam.