• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA INTERPRETASI PUISI SANYUHWA KARYA KIM SOWOL MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIK RIFFATERRE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA INTERPRETASI PUISI SANYUHWA KARYA KIM SOWOL MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIK RIFFATERRE"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

 

UNIVERSITAS INDONESIA

INTERPRETASI PUISI SANYUHWA KARYA KIM SOWOL MELALUI

PENDEKATAN SEMIOTIK RIFFATERRE

MAKALAH NON SEMINAR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Humaniora

RATIH PRATWI WATE

1006777154

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA

DEPOK

(2)
(3)
(4)

INTERPRETASI PUISI SANYUHWA KARYA KIM SOWOL MELALUI

PENDEKATAN SEMIOTIK RIFFATERRE

Ratih Pratiwi Wate

Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

E-mail: wateratih@gmail.com

Abstrak

Puisi merupakan pemikiran dan ekspresi dari diri penyair baik itu tersirat maupun tersurat. Sama halnya dengan puisi Sanyuhwa yang ditulis oleh Kim Sowol. Sekilas puisi ini hanya bertemakan keindahan alam yang menggunakan lambang-lambang seperti gunung, bunga, dan burung. Akan tetapi, ketika dianalisa melalui pendekatan semiotik Riffaterre, dihasilkan kesimpulan bahwa puisi Sanyuhwa ini bukanlah sekadar puisi tentang keindahan alam melainkan terdapat makna tentang siklus kehidupan di dalamnya. Terlebih lagi ketika dilakukannya analisis hubungan intertekstual puisi dengan sejarahnya yang menyimpulkan bahwa puisi Sanyuhwa ini menggambarkan sejarah, peristiwa, dan apa yang dirasakan oleh masyarakat Korea pada tahun 1920-an. Dilakukannya analisis puisi ini agar masyarakat tidak lagi memandang puisi hanya sebagai kata kiasan semata.

Kata Kunci: Puisi Korea, Pengkajian Puisi, Analisis Semiotik, Sanyuhwa, Kim Sowol

Abstract

Poetry is an expression and self thought of poet , either express or implied. Similarly, the Sanyuhwa’s poem written by Kim Sowol. Overview, the poetry is just the natural beauty theme that uses symbols such as mountains, flowers, and birds. However, when analyzed through a Riffaterre‘s semiotic approach, Sanyuhwa resulting conclusion that the poetry is not simply a poem about the beauty of nature, but there is a sense of the cycle of life in it. Even more, when doing analyzes intertextual relationship of poetry to history, Sanyuhwa conclude that the poem describes the history, events, and what is perceived by the people of Korea in the 1920’s. Analysis of this poem is done, so that people no longer think of poetry only as a mere figure of speech.

Keywords: Korean Poem, Poem Assessment, Semiotic Analysis, Sanyuhwa, Kim Sowol

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Saat terjadinya kolonialisasi pada tahun 1920-an di Korea, Jepang sangat membatasi pergerakan Korea dan semakin mengetatkan penjagaannya terhadap Korea. Namun dalam penjajahannya, Jepang tidak lagi menggunakan kekuatan militer. Hal ini dilakukan untuk mencegah memburuknya opini internasional terhadap Jepang. Berbagai aturan diterapkan pemerintah Jepang untuk menahan perlawanan dari Korea. Penerbitan karya sastra dalam media seperti Koran, majalah, serta antologi puisi yang dapat menyalurkan aspirasi dan

(5)

perlawanan masyarakat Korea pun tidak luput dari pendisiplinan bentuk sensor dari Jepang. Jepang menyeleksi makna dari isi puisi dan apabila isi puisi mengandung makna yang dapat membangkitkan semangat nasionalisme, bukan hal yang tidak mungkin jika penyair yang membuat puisi tersebut ditangkap dan dipenjarakan. Oleh karena itu, agar karya mereka tidak diambil paksa oleh pemerintah Jepang, maka para penyair banyak yang menggunakan tema cinta dan estetika alam sebagai simbol dari kritik dan nasionalisme mereka.

Puisi-puisi Kim Sowol yang pada awalnya merupakan curahan hati secara langsung dan tertuang dalam bentuk puisi pun berubah ketika mulai adanya pelarangan yang menghimbau bahwa tidak boleh diterbitkannya puisi-puisi yang menggunakan kata-kata subjektif dan mengandung perasaan secara eksplisit. Maka dari itu, pada tahun 1920, Kim Sowol mulai menerbitkan puisi dengan kata-kata yang objektif, tidak lagi adanya unsure nasionalisme melainkan mengenai cinta dan keindahan alam. Akan tetapi, banyak para pengkaji puisi yang beranggapan bahwa masih tetap melekat curahan hati Kim Sowol pada karya-karya puisinya secara implisit. Salah satu puisi yang terbit pada tahun itu adalah

Sanyuhwa. Puisi yang perbaitnya mempunyai kata-kata yang sering kita dengar dan hanya

terlihat sebagai puisi yang mengangkat unsur keindahan berpuisi. Walaupun kata-kata yang digunakan dalam puisi ini sangatlah sederhana, tetapi telah banyak para pengkaji puisi yang menginterpretasikan ke berbagai macam interpretasi, namun tidak dijelaskan lebih rinci melalui metode seperti apa interpretasi dilakukan. Maka dari itu, pengkajian yang dilakukan kali ini pun bukan semata-mata hanya untuk mengetahui struktur-struktur dalam karya sastra ini. Struktur karya sastra yang diteliti merupaka hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan strukturalisme karena karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks (Pradopo, 2007: 120). Akan tetapi, sudah banyak yang melakukan pengkajian karya sastra melalui pendekatan structural, sehingga menghasilkan struktur-struktur karya sastra tersebut. Lain halnya dengan pengkajian karya sastra melalui pendekatan semiotik yang jarang dilakukan.

Salah seorang kritikus sastra, Michael Riffaterre (1978), dalam bukunya Semiotics of

Poetry menyampaikan metodenya sendiri dalam menginterpretasi teks atau karya sastra, yang

di karya ilmiah ini terfokus pada puisi. Metode atau cara yang disampaikan Riffaterre dalam bukunya adalah pendekatan semiotik yang meliputi 4 tahap, yaitu: (1) puisi itu ekspresi tak

langsung, (2) pembacaan heuristik dan pembacaan retrokatif atau hermeneutik, (3) matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram (Riffaterre, 1978: 13,14-15). Sampai saat ini,

(6)

sehingga membuat penulis juga berkeinginan melakukan interpretasi dengan pendekatan semiotik Riffaterre sebagai tambahan dan sebagai pertimbangan untuk penulis-penulis lain dalam menganalisis karya sastra selanjutnya. Oleh karena itu, karya ilmiah ini akan menginterpretasikan puisi Sanyuhwa karya Kim Sowol dengan menggunakan pendekatan semiotik Riffaterre.

2. Tinjauan Teoritis 2.1 Interpretasi Puisi

Interpretasi puisi merupakan cara memaknai sebuah puisi. Pengertian interpretasi puisi menurut KBBI adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap suatu tafsiran (1998: 157). Sedangkan menurut Olsen dalam Aminuddin (2010: 168) terdapat beberapa kriteria dalam menentukan validitas hasil interpretasi yaitu, kecermatan, keselarasan penafsiran, serta keajegan penafsiran puisi.

2.2 Definisi Puisi dan Semiotik

Puisi adalah salah satu hasil karya sastra. Puisi biasa digunakan oleh ppenyair sebagai media untuk mengekspresikan diri atau menyampaikan pikiran mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah gubahan di bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusu lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusu (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 903).

Pradopo (dalam Adella 2013) menyimpulkan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama (1990: 7). Kesimpulan ini ia ungkapkan setelah mengutip beberapa pengertian puisi menurut beberapa ahli dalam bukunya yang berjudul Pengkajian Puisi:

a. Altenbernd (1970): Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum).

b. Samuel Taylor: Kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya. c. Wordsworth: Puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang

(7)

d. Shelley: Puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat[…]

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda yang mempunyai makna. Konsep semiotik menurut Ferdinan de Saussure menjelaskan bahwa tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Penanda adalah bentuk formal bahasa, sedangkan petanda adalah arti yang ditimbulkan oleh bentuk formal (Sariban, 2009: 44-45)

Konsep semiotik menurut Charles Sander Pierce adalah hubungan antara petanda dengan penanda, yang terdiri dari ikon, indeks, dan symbol. Ikon adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara petanda dan penanda. Indeks adalah tanda yang menunjukan hubungan kausualitas (sebab-akibat). Symbol adalah tanda yang menunjukan tidak adanya hubungan alamiah antara petanda dan penanda (Sariban, 2009: 45-46). Pierce telah menciptakan semiotik agar dapat memecahkan dengan lebih baik masalah inferensi (pemikiran logis). Tanda yang dianalisis dengan pendekatan semiotik ini dapat menghasilkan berbagai makna, tergantung pada interpretasi seseorang terhadap suatu karya sastra.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotik. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya melalui dua tahapan sebagai mana ditawarkan oleh Wellek dan Warren (dalam Hudayat.2007: 62) yaitu analisis intrinsik (analisis mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain seperti yang dikemukakan Abrams (dalam Hudayat.2007: 62) dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu pengarang (ekspresif), semestaan (mimetik), pembaca (pragmatik), dan objektif (otonom).

Sedangkan puisi menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda. Langkah-langkah dalam memahami sebuah puisi menurut Michael Riffaterre ada 4, yaitu: (1)

puisi itu ekspresi tak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti lain, (2) pembacaan heuristik dan pembacaan retrokatif atau hermeneutik, (3) matriks, model, dan varian-varian,

(8)

1. Puisi Merupakan Ekspresi Tidak Langsung

Puisi adalah ekspresi tidak langsung. Dengan kata lain, puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang berbeda. Ekspresi tidak langsung itu disebabkan oleh a) penggantian arti (displacing of meaning), b) penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning), dan c) penciptaan arti (creating of meaning) (Riffaterre, 1978:1-2).

2. Pembacaan Heuristik dan Pembacaan Retrokatif atau Hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6).

Pertama kali, sajak dibaca secara heuristik, yaitu dibaca berdasarkan tata bahasa normatif, morfologi, semantik, dan sintaksis. Pembacaan ini menghasilkan arti sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama (first

order semiotics). Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sajak

atau makna sastra (significance). Oleh karena itu, karya sastra dalam hal ini puisi harus dibaca ulang (retrokatif) dengan memberikan tafsiran (hermeneutik).

Pembacaan retrokatif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung (lihat 1a, -b, -c). Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Riffaterre, 1978:5-6).

3. Matriks, Model, dan Varian-Varian

Untuk memperjelas dan mendapatkan makna sajak lebih lanjut, maka dicari tema dan masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya lebih dahulu (Riffaterre, 1978: 13, 19-21). Matriks itu harus diabstraksikan dari sajak yang dibahas. Matriks itu tidak dieksplisitkan dalam sajak. Matriks itu bukan kiasan. Matriks adalah kata kunci (key words), dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini “mengarah pada tema”. Jadi, matriks bukan tema atau belum merupakan tema, dengan ditemukan matriks nanti akan ditemukan tema.

Matriks itu sebagai hipogram intern yang ditransformasikan menjadi model yang berupa kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi “varian-varian”. Varian merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda, baris atau bait, varian itu berupa “masalahnya”. Dari matriks, model, dan varian-varian ini dapat disimpulkan atau diabstraksikan tema sajak.

(9)

4. Hipogram

Sering kali sajak itu (karya sastra) merupakan transformasi teks lain (teks sebelumnya) yang merupakan hipogramnya, yaitu teks yang menjadi latar belakang penciptaannya. Teks latar penciptaanya itu bisa berupa latar sosial masyarakat, peristiwa sejarah, benda-benda alam dan lain-lain. Dengan adanya hipogram itu, pemaknaan membuat makna sajak menjadi lebih penuh, maka dilakukan analisis metode intertekstual dengan menjajarkan sajak yang dimaknai dengan teks lain yang menjadi hipogramnya.

2.3 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Interpretasi Puisi Sanyuhwa Karya Kim Sowol Melalui Pendekatan Semiotik Riffaterre. Penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data melalui telaah pustaka yang berupa pengumpulan data dan informasi dari sumber tertulis yang memiliki hubungan dengan masalah yang sedang diteliti, yaitu buku, artikel, jurnal, dan sebagainya.

Penelitian ini mempunyai dua sumber data yang menjadi subjek utama dalam meneliti masalah, yaitu sumber data primer yang berupa buku-buku dan berbagai literatur yang berhubungan dengan analisis puisi melalui pendekatan semiotic serta informasi dari dosen. Sumber data sekunder yaitu informasi-informasi tambahan dari media baik cetak maupun elektronik yang sesuai dengan penelitian ini. Data-data yang diperoleh dari lokasi penelitian selanjutnya diolah dengan menggunakan teknik analisis data secara kualitatif, yaitu dengan menjelaskan data dari hasil penelitian dengan kata-kata tertulis.

3. Biografi Kim Sowol dan Puisi Sanyuhwa

Beberapa penyair yang terkenal dan mewakili puisi tahun 1920-an adalah Kim Sowol, Kim Anseo, dan Han Yeongun. Kim Sowol merupakan penyair yang diakui luas sebagai tokoh paling penting dan paling terkenal dalam awal pembentukan puisi Korea modern. Selama awal pertumbuhan sastra modern ini, Kim Sowol menghasilkan syair-syair yang terinspirasi oleh lirik lagu-lagu rakyat yang berirama tradisional dan bercita rasa Korea yang unik. Gaya penulisan Kim Sowol sama dengan para pendahulunya, yaitu Kim Ok dan Joo Yohan. Namun Kim Sowol secara pribadi merintis dimensi-dimensi baru dalam segi isi dan teknik.

(10)

Karya-karya Kim Sowol memuat elemen cerita rakyat, lagu-lagu rakyat, serta menggunakan suara perempuan untuk mengekspresikan sentimen tradisional tentang han, yaitu tetntang penderitaan dalam keterpencilan. Teknik bersyairnya yang inovatif menggunakan “ritme 3 langkah”, symbol suara, bunyi, kalavinka, dan format Tanya-jawab, menghasilkan kelenturan gaya bahasa. Rasa sakit dan penderitaan Kim Sowol tercermin dalam hasil karyanya yang berjudul, Jindallaekkot (Bunga Azalea), Meonhuil (Jauh dari Sekarang), Yejeoneun Michyeo Meollasseo (Aku Tidak Pernah Tahu), Monnijeo (Tak Terlupakan), Jeopdongsae (The Cuckoo), dan Sanyuhwa (Bunga-bunga Pegunungan), yang bertemakan cinta. Ada pula puisi-puisi yang mengangkat tema estetika alam seperti,

Barageondaeneun Uriege Uriui Boseopdaeil Ttangi Isseotdamyeon (Andaikan Ada Tempat

Dimana Kita Bisa Bebas Berjalan), dan Otgwa Babgwa Jayu (Pakaian, Makanan, dan Kebebasan), yang mengungkapkan kepeduliannya terhadap kemiskinan dan kerasnya penderitaan hidup di zaman penjajahan Jepang di Korea.

Kim Sowol lahir dengan nama Kim Jeongshik pada 6 Agustus 1902 di Guseon, Pyeonganbuk-do. Menurut Andrei Lankov, masa kecil Kim Sowol sangat suram dan menyedihkan.

“Kim Sowol was born in 1902 in what is now North Korea. His childhood was coloured by tragedy: Kim Sowol’s father was attacked by Japanese workers who were building a railway near his home. He suffered from a grave mental illness and was treated by the local shamans who resorted to the old ways of “driving the demons out”: the patient was severely beaten and occasionally forced into icy cold water (one must admit: nowadays psychiatrist’s methods are probably not much more efficient, but definitely less violent). (Koreantimes, 2012)

Pada tahun 1915, Kim Sowol masuk ke sekolah menengah Osan. Semua itu adalah berkat bantuan kakeknya yang banyak mengajari Kim Sowol ilmu cina klasik. Di sekolah itu Kim Sowol bertemu dan diajar oleh seorang guru yang merupakan seorang penyair terkenal Korea juga, bernama Kim Ok. Ketika menuntut ilmu di sekolah menengah Osan, Kim Sowol memulai kegiatannya menulis puisi. Pada tahun 1920, Kim Sowol naik ke podium dan mendeklamasikan karya puisinya. Salah satunya adalah Nangineui Bom dari buku koleksi puisi Changjo. Kim Sowol meniti pendidikan selanjutnya di Akademi Paejae dan lulus dari sana pada tahun 1923. Tidak berhenti di situ, di tahun 1923 ia mendaftarkan diri ke Tokyo University of Commerce, tetapi tak berapa lama menarik diri di bulan September di tahun yang sama setelah gempa bumi besar melanda Kanto. Pada tahun 1924, Kim Sowol sibuk beraktivitas dalam suatu perkumpulan bersama Kim Dongin, Kim Chanyeong, Im Janghwa,

(11)

dan banyak yang lainnya dalam perkumpulan Yeongdae (Perkumpulan Generasi Abadi). Pada tahun 1925, Kim Sowol menerbitkan sebuah buku kumpulan puisinya yang terkenal berjudul

Jindallaekkot.

Kim Sowol memang seorang penyair yang berbakat dan terkenal, namun sangat disayangkan bahwa Kim Sowol harus meninggal di usia yang masih muda. Kematian Kim Sowol sendiri masih merupakan kontroversi. Ada pihak yang menyatakan bahwa Kim Sowol meninggal karena overdosis dalam mengonsumsi opium (Mc Cann, 2004: 18) dan ada pula pihak yang menyatakan bahwa Kim Sowol meninggal karena bunuh diri (Lankov,

koreantimes: 2012). Namun fakta yang ada dan disepakati bersama adalah bahwa Kim Sowol

meninggal pada tahun 1932 yang di usianya ke-32 tahun.

Puisi yang berjudul Sanyuhwa karya Kim Sowol ini merupakan sebuah sajak yang sederhana. Puisi ini terdiri dari larik yang diulang-ulang, terdapat 4 bait dan setiap bait memiliki masing-masing 4 larik (Lee, 2003: 352). Salah satu keunikan dari puisi ini adalah bentuknya yang jika dilihat baik-baik akan tercipta kesan cermin. Antara dua bait pertama dan dua bit terakhir terlihat sebagai pantulan yang berbentuk sama.

산에는 꽃피네 꽃이 피네 가을 봄 여름 없이 꽃이 피네 산에 산에 피는 꽃은 저만치 혼자서 피어 있네 산에서 우는 적은 새오 꽃이 좋아 산에서 사노라네 산에는 꽃이 지네 꽃이 지네 가을 봄 여름 없이

(12)

꽃이 지네” (Lim, 2007: 35)

Bunga mekar di gunung Bunga mekar

Musing gugur, musim semi, ataupun musim panas Bunga mekar

Di gunung Di gunung

Bunga yang mekar

Mekar sendirian di tempat yang jauh

Burung kecil yang berkicau di gunung Menyukai bunga

Di Gunung

Sanorane

Bunga gugur di gunung Bunga gugur

Musim gugur, musim semi, ataupun musim panas Bunga gugur (Terjemahan Bebas)

4. Analisis Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi Sanyuhwa – Kim Sowol

Dikemukakan Riffaterre (dalam Pradopo, 2007: 281-281) bahwa puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal yaitu:

1. Penggantian arti (displacing of meaning). 2. Penyimpangan arti (distorting of meaning). 3. Penciptaan arti (creating of meaning).

4.1 Penggantian arti (displacing of meaning)

Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi itu sendiri adalah bahasa kiasan pada umumnya, yang mengiaskan sesuatu dengan yang lain. Dalam puisi ini, penggantian arti terdapat pada

(13)

baris산에는 꽃피네 / 꽃이 피네 yang menyiratkan 산 (gunung) itu dunia, 꽃 (bunga) itu negara Korea, sedangkan 꽃피네 (bunga mekar) berarti negara Korea yang sedang mengembangkan dirinya. Lalu dalam sajak산에서 우는 적은 새오 / 꽃이 좋아yang menyiratkan bahwa 새 (burung) itu bangsa Jepang dan 꽃이 좋아 (menyukai bunga) berarti menyukai Korea. Oleh karena itu, baris dalam sajak ini menyiratkan keinginan bangsa Jepang dalam menguasai Korea yang sedang berkembang itu. Terakhir terdapat kata 꽃이 지네 (bunga gugur) yang menyiratkan kematian negara dan bangsa Korea setelah dikuasai oleh Jepang.

4.2 Penyimpangan arti (distorting of meaning)

Riffaterre mengemukakan bahwa penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.

a. Ambiguitas itu disebabkan karena bahasa puisi mempunyai arti ganda. Dalam

puisi Sanyuhwa karya Kim Sowol ini tidak didapatkannya kata-kata yang memiliki makna atau arti ambigu.

b. Kontradiksi merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok

atau ironi. Paradok adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan. Pada puisi Sanyuhwa ini dalam larik:

피는 꽃은

저만치 혼자서 피어 있네 ….

산에서 우는 적은 새오 꽃이 좋아

Dalam larik 피는 꽃은 / 저만치 혼자서 피어 있네 (bunga yang mekar / ternyata bunga tetap bermekaran walau sendirian dan di tempat yang jauh) dan larik산에서 우는 적은 새오 / 꽃이 좋아 (burung kecil yang berkicau di gunung / menyukai bunga) mempunyai arti yang kontradiktif yaitu walaupun ternyata bunga mekar di tempat yang jauh dan sendirian tetapi tetap ada yang mengetahui keberadaannya dan menyukainya.

c. Nonsense merupakan kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti.

Dalam puisi ini terdapat kata사노라네 (sanorane) yang di dalam kamus tak mempunyai makna. Akan tetapi, penulis mengartikan사노라네 (sanorane) sebagai bunga yang tinggal dan tumbuh di gunung seorang diri.

(14)

4.3 Penciptaan arti (creating of meaning)

Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya adalah (a)

enjambement, (b) sajak, (c) tipografi, dan (d) homologue (Pradopo, 2007: 220).

a. Enjambement, yaitu perloncatan baris dalam sajak, membuat intensitas arti atau

perhatian pada akhir kata atau kata yang diloncatkan ke baris berikutnya.

산에는 꽃피네 꽃이 피네 가을 봄 여름 없이 꽃이 피네 ….. 산에는 꽃이 지네 꽃이 지네 가을 봄 여름 없이 꽃이 지네

Sanyuhwa, (bait 1 dan 4), Kim Sowol Bait pertama ini kemudian diloncatkan pada bait terakhir. Peloncatan bait dilakukan penyair untuk menciptakan suasana yang tragis yang terjadi dalam siklus kehidupan dengan menggantikan kata mekar (피네) menjadi gugur (지네).

b. Sajak menimbulkan intensitas arti dan makna liris, pencurahan perasaan pada sajak.

Berikut kutipannya: 가을 봄 여름 없이 꽃이 피네 …. 저만치 혼자서 피어 있네 …. 가을 봄 여름 없이 꽃이 지네

Sanyuhwa, (bait 1 larik 3-4, bait 2 larik 4, bait 4 larik 3-4 ), Kim Sowol Penggunaan kata-kata di atas menimbulkan makna lirih untuk mengungkapkan hal yang pasti terjadi dalam siklus kehidupan.

(15)

c. Tipografi, yaitu tata huruf dalam sajak yang dapat menciptakan makna. Dalam

puisi Sanyuhwa ini tak terlihat adanya tata huruf yang dapat menciptakan makna tersendiri pada pembaca.

d. Homologue adalah persejajaran bentuk atau persejajaran baris, bentuk yang sejajar

itu menimbulkan makna yang sama. Dalam puisi Sanyuhwa ini dapat terlihat bahwa Kim Sowol menggunakan kesejajaran kalimat atau bait dalam puisinya. Kesejajaran bait ini digunakan untuk menimbulkan persejajaran bentuk. Kesejajaran atau keteraturan ini menunjukkan bahwa Kim Sowol ingin mengungkapkan tentang siklus kehidupan yang akan terus terjadi berulang-ulang dengan cobaan dan masalah yang sama terus-menerus.

4.4 Pembacaan Semiotik Dalam Puisi Sanyuhwa – Kim Sowol

Untuk konkretisasi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan retrokatif (hermeneutic). Pada umumnya bahasa puisi menyimpang dari penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu, kata-kata dapat diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas (Pradopo, 2007:295-296).

a. Pembacaan Heuristik

Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.

Bait Pertama :

산에는 꽃피네 (ternyata bunga mekar di pegunungan) 꽃이 피네 (ternyata bunga bermekaran di gunung) 가을 봄 여름 없이 (tanpa adanya musim dingin, musim semi, dan musim panas pun) 꽃이 피네 (ternyata bunga bermekaran di gunung).

Bait Kedua :

산에 (di gunung) 산에 (di pegunungan) 피는 꽃은 (bunga akan tetap mekar ) 저만치 혼자서 피어 있네 (walaupun bunga berada di tempat yang jauh dari pemukiman masyarakat).

(16)

Bait Ketiga :

산에서 우는 적은 새오 (terdapat burung kecil yang berkicau di pegunungan) 꽃이 좋아

(burung itu menyukai bunga) 산에서 (di pegunungan) 사노라네 (bunga yang mekar dan menetap di pegunungan).

Bait Keempat :

산에는 꽃이 지네 (ternyata di pegunungan itu pula bunga berguguran) 꽃이 지네 (ternyata

bunga pun berguguran) 가을 봄 여름 없이 (walaupun tanpa adanya musim dingin, musim semi, dan musim panas) 꽃이 지네 (bunga pasti akan berguguran).

b. Pembacaan Retrokatif (hermeneutic)

Pembacaan retrokatif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi

Sanyuhwa ini menunjukkan suatu siklus kehidupan yang dikiaskan dengan bunga.

Bait Pertama :

Dalam bait pertama ini diterangkan tentang penciptaan bunga yang akan tetap tumbuh dan mekar, walaupun tanpa adanya musim dingin, musim semi, dan musim panas yang membantunya untuk terus tumbuh.. 산에는 꽃피네 / 꽃이 피네 / 가을 봄 여름 없이 / 꽃이 피네 kata-kata inilah yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan siklus penciptaan bunga. Gaya repetisi digunakan penyair untuk mengiaskan betapa hebatnya suatu penciptaan itu. Bunga-bunga akan tetap mekar jika waktunya telah tiba.

Bait Kedua :

Bait kedua masih menggambarkan tentang penciptaan bunga yang bisa terjadi di mana pun. Baik itu ia hanya tumbuh di pegunungan yang jauh dari pemukiman masyarakat, bunga tetap akan mekar jika saatnya tiba. Kata저만치 혼자서 피어 있네 (ternyata bunga akan tetap mekar, walaupun berada di tempat yang jauh dan sendirian) sengaja diselipkan oleh penyair untuk menciptakan suasana yang memilukan dan betapa hebatnya suatu penciptaan itu.

Bait Ketiga :

Dalam bait ketiga ini menjelaskan bahwa walaupun bunga itu mekar seorang diri di pegunungan atau tempat yang jauh dari pemukiman, pasti ada saja yang menyadari

(17)

keberadaannya, yang dalam bait ini menggunakan simbol burung. Penjelasan ini tertuang melalui pilihan kata 산에서 우는 적은 새오 / 꽃이 좋아 dari sang penyair.

Bait Keempat :

Dalam bait terakhir ini sang penyair berusaha menjelaskan tentang akhir dari siklus kehidupanb sang bunga, yaitu kematian atau gugurnya bunga. Sama seperti halnya dalam bait pertama, bait terakhir ini juga menegaskan bahwa gugurnya bunga pun akan tetap terjadi walau tanpa adanya musim-musim yang datang silih berganti, bunga akan tetap mati atau gugur. Semua itu tertuang dalam baris 산에는 꽃이 지네 / 꽃이 지네 / 가을 봄 여름 없이 / 꽃이 지네.

5. Matriks, Model, dan Varian-varian dalam Puisi Sanyuhwa – Kim Sowol

Untuk membongkar makna sajak supaya mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-kata kuncinya. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo, 2007:299).

Matriks dalam sajak Sanyuhwa adalah ‘siklus kehidupan’ dan ‘apa yang terjadi dalam kehidupan’. Matriks ini ditransformasikan menjadi model ‘가을 봄 여름 없이 꽃이 피네 (walau tanpa adanya musim dingin, musim semi, dan musim panas, ternyata bunga tetap bermekaran)’ , ‘저만치 혼자서 피어 있네 (ternyata bunga tetap akan mekar walau berada di tempat yang jauh dan seorang diri)’, ‘산에서 우는 적은 새오 꽃이 좋아 (burung kecil yang berkicau di gunung itu menyukai bunga yang berada di pegunungan)’ dan ‘가을 봄 여름 없이 꽃이 지네 (walau tanpa adanya musim dingin, musim semi, dan musim panas, ternyata bunga tetap berguguran)’.

Puisi Sanyuhwa, seperti yang telah dijelaskan di awal, terbit pada tahun 1925, yang pada saat itu sedang terjadinya penjajahan Jepang di Korea. Maka dari itu matriks-matriks dalam puisi Sanyuhwa ini bisa juga diartikan sebagai berikut; Gunung atau Pegunungan (산) merupakan dunia, Bunga (꽃) merupakan Negara Korea, dan Burung (새) merupakan Negara Jepang. Matriks ini sebagai hipogram intern lantas ditransformasikan menjadi varian-varian berupa masalah atau uraian dalam sajak:

Varian pertama :

Menggambarkan tentang peristiwa terbentuknya sebuah negara bernama Korea di kancah dunia yang dengan petualangan sejarahnya sendiri berhasil mendirikan suatu negara kesatuan, yaitu Korea (산에는 꽃피네 / 꽃이 피네 / 가을 봄 여름 없이 / 꽃이 피네).

(18)

Varian kedua :

Menggambarkan tentang bagaimana negara Korea yang tak terjamah dunia luar mampu membangun negaranya sediri dan menjadi negara yang cukup makmur pada saat itu (저만치 혼자서 피어 있네). Lalu datanglah bangsa Jepang yang mencium kemakmuran negeri Korea lalu mengaku-aku sebagai saudara se-Asia kepada bangsa Korea yang saat itu menerima kedatangan Jepang dengan suka hati (산에서 우는 적은 새오 / 꽃이 좋아).

Varian ketiga :

Menggambarkan tentang matinya sebuah negara Korea karena penjajahan yang dilakukan Jepang terhadap Korea. Matinya karya-karya asli puisi dari para penyair Korea semenjak terjadinya penjajahan Jepang tersebut. Mati pula satu per satu rakyat Korea demi membela negara, demi Kemerdekaan negara mereka (가을 봄 여름 없이 꽃이 지네).

Dari matriks, model dan varian yang sudah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa tema siklus kehidupan yang disampaikan puisi Sanyuhwa adalah di mana adanya kehidupan di situ pula ada kematian. Di mana ada kemenangan di situ pula ada kekalahan. Kehidupan di dunia memang seperti roda yang terus berputar tanpa menghiraukan pagi dan malam yang silih berganti atau musim-musim yang datang dan pergi. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah berusaha sekuat-kuatnya memberikan yang terbaik dalam kehidupan yang kita jalani ini.

6. Hubungan Intertekstual Puisi Sanyuhwa – Kim Sowol

Prinsip intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar-teks sajak. Sebuah sajak merupakan tanggapan terhadap teks atau sajak-sajak sebelumnya. Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu hipogram. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain (Pradopo, 2007: 300).

Dalam penciptaan puisi Sanyuhwa yang menjadi hipogramnya adalah peristiwa terjadinya penjajahan Jepang di Korea. Penjajahan Jepang itu sendiri berlangsung sejak tahun 1910 sampai tahun 1945. Pada tahun 1920-an, saat puisi Sanyuhwa ini diterbitkan, terjadi pelarangan penerbitan besar-besaran terhadap puisi bertema nasionalisme karena takutnya tentara Jepang terhadap pemberontakan yang akan dilakukan Korea jika tersulut oleh puisi-puisi nasionalis tersebut. Maka dari itu, Kim Sowol menumpahkan segala kesedihannya ke dalam puisi berjudul Sanyuhwa ini.

(19)

Oleh karena itu, bait pertama dan kedua menjelaskan Negara Korea yang masih hidup damai membangun negaranya yang masih terisolasi dari dunia luar. Lalu pada bait ketiga dijelaskan bahwa Jepang mencium kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat Korea dan berkeinginan untuk menguasai Korea seutuhnya. Mereka berpura-pura baik dan mengaku bahwa ingin membatu Korea untuk lebih maju dengan alas an mereka, Jepang, adalah saudara se-Asia dengan Korea. Korea yang memang tak tahu apa-apa mengenai dunia luar pun dengan senang hati menerima kehadiran Jepang. Sampai di bait terakhir, Korea akhirnya sadar apa yang sedang dilakukan Jepang terhadap negaranya. Maka dari itu tertulis bunga yang gugur atau Korea yang sudah gugur, Korea yang mati terjajah oleh Jepang.

7. Hasil Penelitian

Dari analisis puisi Sanyuhwa dengan pendekatan semiotik Riffaterre ini, penulis berhasil mendapatkan interpretasi mengenai dua hal. Pertama, Sanyuhwa merupakan puisi yang menyampaikan tentang siklus kehidupan makhluk hidup, yang dalam puisi diwakilkan oleh bunga. Siklus kehidupan dalam puisi ini terlihat jelas pada bait awal maupun akhirnya yang terdapat kata 피네 (mekar/hidup) dan 지네(gugur/mati). Sedangkan hasil yang kedua, penulis mendapatkan hasil interpretasi yang lebih sempit yaitu runtuhnya negara Korea dalam penjajahan Jepang. Hal ini bisa dibuktikan saat penulis melakukan pencarian mengenai matriks, model, dan varian-varian dalam puisi Sanyuhwa dan melakukan analisis hubungan intertekstual puisi Sanyuhwa dengan sejarah pada tahun puisi tersebut diterbitkan, yaitu tahun 1925, yang merupakan masa-masa penjajahan Jepang sedang berlangsung.

8. Kesimpulan

Puisi merupakan salah satu sarana penyampaian ekspresi penyair. Baik secara tersirat maupun tersurat. Puisi juga selalu berubah-ubah seiring perkembangan zaman. Begitu pula puisi Korea pada tahun 1920-an yang mengalami perubahan karena dilarangnya penerbitan puisi yang secara eksplisit tersampaikan maknanya. Salah satu penyair yang menerbitkan puisi pada tahun itu adalah Kim Sowol.

Analisis semiotik merupakan analisis yang digunakan untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks karya sastra, khususnya puisi. Karena bahasa puisi bersifat padat dan ringkas, maka perlu adanya sebuah teori atau kajian yang menelaah bahasa puisi secara terperinci dan mendalam. Maka dilakukannya analisis semiotik yang diambil dari teori menurut Riffaterre. Diawali dengan melakukan analisis ketidaklangsungan ekspresi puisi yang

(20)

meliputi penciptaan arti, penggantian arti, dan penyimpangan arti. Analisis ini digunakan untuk memahami gaya bahasa dan bentuk puisi, selain itu juga untuk memperkuat pemaknaan puisi secara keseluruhan. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian kata kunci sebagai inti makna keseluruhan puisi dan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan pada tingkat bahasa (heuristic), dan pembacaan pada tingkat makna (hermeneutic). Pembacaan ini dilakukan agar dapat memahami bahasa dan makna puisi secara utuh dan menyeluruh. Pemahaman puisi ini kemudian diakhiri dengan mencari hubungan intertekstual puisi dengan karya atau teks yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui aspek diakronis yang melatari puisi ini diciptakan.

Setelah menganalisis interpretasi puisi sanyuhwa karya Kim Sowol melalui pendekatan semiotik Riffaterre ini dapat diinterpretasikan bahwa Kim Sowol ingin menyampaikan apa yang sedang dan telah dialami masyarakat Korea pada masa Penjajahan Jepang. Dijelaskannya awal mula Korea yang terisolasi dari dunia luar dan mampu membangun bangsanya. Lalu datanglah Jepang yang mengaku-aku sebagai saudara yang baik, yang ingin membantu kemajuan Korea dan tak berapa lama ternyata mulai menjajah Korea perlahan-lahan dan membuat masyarakat Korea tak berkutik. Korea pun menjadi bangsa yang dijajah oleh Jepang dan banyak mengalami keguguran.

Daftar Acuan

김규중, 왕지윤, 한은영. 2010. 국어 교과서 작품읽기 중 1 시. 서울: 창비 출판. (Kim Gyu Jung, Wang Ji Yoon, Han Eun Yeong. 2010. Gugo Gyogwaseo Jakphumilki Jung 1 Si. Seoul: Chang Bi Chulphan). 

김규중, 류원호, 유세진. 2010. 국어 교과서 작품읽기 중 2 시. 서울: 창비 출판. (Kim Gyu Jung, Ryoo Won Ho, Yoo Se Jin. 2010. Gugo Gyogwaseo Jakphumilki Jung 2 Si. Seoul: Chang Bi Chulphan).

김윤식. 2000. 고교생과 함께하는 김윤식 교수의 시 특강 1. 서울: (주)한국문학사. (Kim Yun Sik. 2000. Gogyosaenggwa Hamkkehanun Kim Yun Sikui Si Teukgang 1. Seoul: Hanguk Munhaksa.

오세영. 2007. 한국 현대詩 사. 서울: 민음사. (Oh Se Young. 2007. Hanguk Hyundae Si Sa. Seoul: Min Eum Sa.

오세영. 1996. 한국 근대문학론과 근데시. 서울: 마음사. (Oh Se Young. 1996. Hanguk

(21)

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algesindo.

Fajrini, Annisa. 2013. Cinta dan Harapan dalam Tiga Puisi Karya Han Yongun: Analisis

Tema. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya: Jurnal.

Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hudayat, Asep Yusuf. 2007. Metode Penelitian Sastra: Modul Online. Bandung : Universitas Padjadjaran.

Kasnadi, Sutejo. 2010. Kajian Prosa. Yogyakarta: Pustaka Felicha.

Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa (cetakan ketujuh belas). Jakarta: Gramedia. Kim, J. 1975. Lost Love: 99 Poems by Sowol Kim. Seoul: Pan-Korea Book Coorporation. Korean Foundation. 2010. A History To Open The Future: Modern East Asia History and

Regional Reconsiliation. Seoul: Minimum Ltd.

Kridalaksana. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Lee, Peter H. 2003. A History of Korean Literature. Cambridge: Cambridge University Press. Lim, Chung-Young. 2007. Puisi Buat Rakyat Indonesia: Kumpulan Puisi 25 Penyair Korea.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mc Cann, David R. 2004. The Columbia Anthology of Modern Korean Poetry. New York: Columbia University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Preminger, Alese (ed.) dkk. 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. New Jersey: Pringceton University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rilman, Ronaldus. 2012. Kajian Semiotik Puisi “Isa” dalam Kumpulan Puisi Aku Ini

Binatang Jalang Karya Chairil Anwar. Jakarta: Jurnal.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press. Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera Cendekia. Stanton, Robert. 2007. Teori fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Praktek jual beli sayuran sistem golang yang dilakukan di Pasar Pratin merupakan salah satu proses jual beli sayuran yang sudah dikemas di dalam karung dengan ukuran 60

Temperatur yang dibutuhkan dalam mencairkan bahan-bahan logam biasanya lebih dari 1300 O F.. 2 Mempunyai permukaan yang licin untuk mendapatkan detail dan tepi casting yang

Dibuatmya perjanjian perkawinan setelah perkawinan baik bagi pihak suam istri maupun pihak lain yang terkait dengan harta perkawinan yang telah tercampur, hutang piutang yang

Negara hukum dalam formal (sempit/klasik) adalah negara yang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum, seperti

bahwa terdapat peningkatan penyalahgunaan zat psikoaktif baru yang memiliki potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan dan membahayakan kesehatan masyarakat

Bahan hukum tersier berasal dari kamus dan ensiklopedia yang menjelaskan berbagai peristilahan terkait dengan kasus yang dianalisis oleh penulis, yaitu analisis

Tujuan penelitian ini adalah (1) menghasilkan model untuk meningkatkan kemampuan bangunan pengendali banjir melalui strategi pengendalian debit banjir yang mungkin terjadi

Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai heterosis dan heterobeltiosis 15 hibrida, daya gabung umum, dan daya gabung khusus enam galur murni cabai besar dan cabai