I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan makanan khususnya beras semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini menyebabkan adanya pemenuhan kebutuhan konsumsi beras yang tinggi. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi beras akan terhambat apabila terjadi gangguan dari hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi.
Hawar pelepahmerupakan penyakit penting pada tanaman padi. Penyakit ini merusak pelepah, sehingga untuk menemukan dan mengenali penyakit, perlu dibuka kanopi pertanaman. Penyakit hawar pelepah padi menyebabkan tanaman menjadi mudah rebah, makin awal terjadi kerebahan, makin besar kehilangan yang diakibatkan oleh jamur tersebut. Penyakit ini menyebabkan gabah kurang terisi penuh atau bahkan hampa. Hawar pelepah terjadi umumnya saat tanaman mulai membentuk anakan sampai menjelang panen. Namun demikian, penyakit ini juga dapat terjadi pada tanaman muda. Penyakit disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani, dengan gejala awal berupa bercak oval atau bulat berwarna putih pucat pada pelepahnya. Dalam keadaan yang menguntungkan (lembab), penyakit dapat mencapai daun bendera. Patogen bertahan hidup dan menyebar dengan bantuan struktur tahan yang disebut sklerotium (Puslitbang Tanaman Pangan, 2007).
Pada umumnya penyakit ini berawal saat tanaman mencapai stadium anakan, tetapi dalam keadaan yang cocok, gejala dapat muncul lebih awal pada saat tanaman padi berumur 20 HST (Hari Setelah Tanam). Suhu dan kelembaban tinggi, pupuk nitrogen yang tinggi, dan penanaman varietas yang rentan sangat mendukung perkembangan penyakit di lapangan. Daun yang basah dan kontak antar tanaman dan antar daun mendukung penyebaran penyakit. Patogen juga dapat menyebar melalui air irigasi atau melalui perpindahan tanah saat persiapan tanam. Selain tanaman padi, patogen dapat bertahan pada jeruk, kubis-kubisan, sayuran, kacang-kacangan, waluh, kacang tanah, cabe, wortel, kedelai, kapas,
barley, sledri, tomat, sorgum, gandum, tulip, dan jagung (Suparyono, 2009). Di lapang jamur patogen tumbuhan (termasuk di dalamnya R. solani) memiliki banyak strain. Strain tersebut memiliki tingkat virulensi yang berbeda termasuk pula dalam tingkat kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. R. solani yang menyerang padi pada musim tanam pada tahun 1997 menimbulkan kerusakan sebesar 0,5 ha (kategori tinggi) di Kabupaten Tator, pada tahun 1997-1998 menyebabkan kerusakan sebesar 1 ha (kategori ringan) di Kabupaten Soppeng, saat musim tanam tahun 2000 kerusakan akibat jamur tersebut menyebakan kerusakan sebesar 4 ha di Kabupaten Enrekang dan 11 ha di Kabupaten Tator, serta musim tanam tahun 2001 menyebabkan kerusakan di Kabupaten Luwu sebesar 1 ha (Anonim, 1998;1999;2000;2001 cit. Syatrawati, 2005). Selama ini pengendalian yang dilakukan untuk penyakit damping off hanya dengan menggunakan fungisida.
Pestisida tidak hanya berdampak merugikan pada kesehatan manusia dan lingkungan, tetapi juga pada lahan pertanian dan menyebabkan produk pertanian tidak aman dikonsumsi. Penggunaan pestisida dalam ekosistem pertanian telah mengakibatkan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan yang berdampak pada musnahnya keanekaragaman spesies dalam ekosistem, sehingga dengan adanya dampak yang terjadi, perlu adanya pembatasan atau penggunaan pestisida serta pengendalian secara hayati dalam upaya mengembalikan fungsi ekologis pada suatu agroekosistem.
Penelitian ini penting dilakukan untuk mempelajari karakter biologi isolat jamur R. solani yang telah dikoleksi di lapang, mengevaluasi virulensi dari isolat-isolat R. solani yang telah dikoleksi di lapang, menganalisis hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi dari isolat-isolat R. solani yang telah dikoleksi, dan mempelajari karakter biologi R. solani yang memiliki tingkat virulensi yang rendah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan mendapatkan isolat jamur R. solani yang memiliki hipovirulensi yang dapat dikembangkan sebagai agens pengendali hayati terhadap R. solani yang virulen.
B. Perumusan Masalah
Jamur R. solani merupakan patogen penting pada tanaman dengan kisaran inang yang luas. Hampir semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman perkebunan, dan lain-lain. Di daerah Amerika menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Farr et al., (1989) terdapat 500 inang dari jamur tersebut dan jamur tersebut menyebabkan kerugian besar terhadap semua komoditas tersebut. Jamur ini diketahui menyebar di seluruh dunia.
Jamur R. solani sangat sulit dikendalikan karena mampu bertahan sebagai saprofit di dalam tanah ataupun pada sisa tanaman dalam bentuk sklerotia pada saat tidak terdapat inang dan kerapatan populasi jamur ini di lapang tergantung ada tidaknya tanaman inang yang rentan (Yulianti dan Suhara, 2010). Secara umum, tanaman yang tahan terhadap strain yang paling virulen akan tahan terhadap strain lain (Green dan Kim, 1991 cit. Rustikawati et al., 2006). Strain yang berbeda akan mempunyai tingkat kevirulenan yang berbeda. Penggunaan fungisida harus dipertimbangkan, karena di samping harganya mahal, juga mengakibatkan patogen menjadi tahan terhadap fungisida, dapat menimbulkan ras baru, dan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan permasalahan yang ada rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakter biologi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar telah dikoleksi di lapang?
2. Bagaimana virulensi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi di lapang?
3. Adakah hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi?
4. Bagaimana karakter biologi R. solani asal Daerah Karanganyar yang memiliki tingkat virulensi yang rendah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari karakter biologi isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi di lapang.
2. Mengevaluasi virulensi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi di lapang.
3. Menganalisis hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi dari isolat-isolat R. solani asal Daerah Karanganyar yang telah dikoleksi.
4. Mempelajari karakter biologi R. solani asal Daerah Karanganyar yang memiliki tingkat virulensi yang rendah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jamur Rhizoctonia solani
Jamur R. solani termasuk dalam Phylum Basidiomycota. Bagian vegetatif jamur ini berupa struktur mirip benang yang disebut hifa. Kumpulan dari hifa ini membentuk miselium. Miselium ini dibentuk pada tanaman inangnya maupun pada media buatan dengan ciri-ciri: berwarna putih kecoklatan, mempunyai sekat dolipori, serta sel-selnya multinukleat. Jamur membentuk sel-sel monoliolid dalam susunan rantai bercabang atau kluster. Sel-sel ini kemudian membentuk agregat yang disebut sklerotia, berwarna hitam sampai coklat dengan panjang mencapai 3-5 mm serta tidak membentuk spora aseksual. Jamur R. solani merupakan jamur patogen penting pada
tanaman pertanian dengan kisaran inang luas yaitu hampir pada semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman perkebunan, dan lain-lain serta menyebabkan kerugian besar.
Jamur R. solani termasuk anggota Agonomycetales (Deuteromycetes) dan merupakan fase anamorf (aseksual), sedangkan Thanatephorus cucumeris (Frank) Donk (Basidiomycetes) adalah fase telemorf (seksual). T. cucumeris memiliki warna hialin, hifa multinukleat (Ø 8-12 μm) dengan septum dolipore. Hifa biasanya membentuk cabang pada sudut 90 °, dengan constrictions pada titik asal cabang hyphal. Pembentukan sklerotia dirangsang oleh perubahan suhu yang meningkat tiba-tiba atau akibat dari banjir. Jamur ini tidak teratur (hemispherical), 1 - 6 mm diameter, kumpulan hifa mengumpul menjadi satu untuk membentuk struktur lebih besar membentuk sklerotia yang sangat tahan dan mungkin tetap infektif sampai 21 bulan di tanah kering (Bayer CropScience, 2010).
Ceresini (1999) cit. Muis (2007) menggambarkan cara R. solani menyerang tanaman. Patogen ini tertarik pada tanaman karena senyawa kimia stimulan yang dilepaskan oleh tanaman. Hifa jamur bergerak ke arah tanaman dan melekat pada permukaan luar tanaman. Setelah melekat, jamur terus berkembang pada permukaan luar tanaman dan menyebabkan penyakit dengan membentuk apresorium atau
infection cushion dan melakukan penetrasi ke dalam sel tanaman. Proses infeksi didukung oleh produksi berbagai enzim ekstraseluler yang mendegradasi berbagai komponen dinding sel tanaman, seperti selulosa, kutin, dan pektin. Seiring dengan matinya sel tanaman oleh jamur tersebut, hifa melanjutkan pertumbuhannya dan menyerang jaringan mati, sering kali juga membentuk sklerotia. Inokulum baru dihasilkan pada atau di dalam jaringan inang, dan siklus baru berulang jika substrat baru tersedia.
Jamur R. solani terdiri atas banyak ras patogen yang berbeda dalam hal inang dan jaringan tanaman yang diserang. Beberapa ras menyerang satu jenis tanaman, sedangkan ras yang lain menyerang beragam famili. Sebagai contoh, ras yang menyerang kentang tidak menyerang tanaman crusifera, begitu pula sebaliknya. Ras yang menyerang tanaman serealia berbeda dengan ras yang menyebabkan penyakit pada tanaman leguminosa dan sayuran. Ras yang berbeda juga menyebabkan gejala serangan yang berbeda pada inang yang sama. Populasi Rhizoctonia di lapangan bervariasi dalam hal patogenisitasnya. Ras virulen ringan terdapat pada perakaran gulma yang mungkin merupakan sumber ras virulen bagi tanaman lain. Variasi ini dapat terjadi dengan cara percabangan dan anastomosis hifa multinukleat (Baker dan Martinson, 1970).
Di Indonesia, R. solani merupakan penyakit penting pada kentang yang dikenal dengan nama penyakit rebah kecambah (dumping off) pada pembibitan, busuk akar, busuk pangkal batang, dan busuk umbi (Semangun, 1988). Pada padi menyebabkan penyakit hawar pelepah daun (Purwanti et.al., 1997). Jamur ini juga penyebab penyakit utama pada kapas (Suhara dan Yulianti, 2005). Selain itu, juga menyerang berbagai komoditas penting lainnya seperti kelapa sawit, kentang, tembakau, kacang-kacangan, kubis-kubisan, dan lain-lain (Semangun, 1988). Sampai sekarang belum ditemukan cara pengendalian yang efektif serta ramah lingkungan.
Mekanisme pengendalian terhadap patogen umumnya dengan cara berkompetisi dengan tanaman inang atau dan kemampuannya dalam menghasilkan antibiotik atau dapat pula dengan menghasilkan enzim B-glukanase. Secara
mikroskopis dinding sel R. solani tersusun atas campuran yang kompleks dari polisakarida dan protein. Khitin (β-1,4- N acetyl glucosamine) dan β-1,3-glukosa atau β-1,6-glukosa merupakan bagian terbesar dalam jamur tersebut (Syatrawati, 2005)
Jamur R. solani merupakan jamur tular tanah yang dijumpai di daerah tropis. Patogen ini menyebar melalui saluran air irigasi, bahan tanaman, maupun benih terinfeksi. Jamur tersebut sulit dikendalikan karena mampu bertahan sebagai saprofit di dalam tanah ataupun pada sisa tanaman dalam bentuk sklerotia pada saat tidak ada inang serta kerapatan populasi patogen tersebut tergantung ada tidaknya inang di lapang yang rentan ( Yulianti dan Suhara, 2010)
Genus Rhizoctonia merupakan suatu kelompok besar jamur yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas. Beberapa karakteristik utama R. solani yang disampaikan oleh Sneh et al., 1991 cit. Irawati (2010) adalah jamur tersebut tidak pernah membentuk clamp connection, konidium, dan rhizomorf. Dasar-dasar pengelompokkan ini ke dalam spesies yang meliputi warna miselium (koloni), jumlah inti sel hifa, dan morfologi telemorf.
B. Gejala dan Perkembangan Penyakit Hawar Pelepah Padi B1. Gejala Hawar Pelepah Padi
Gejala serangan Rhizoctonia solani yaitu bibit sakit menjadi layu dan akhirnya mati. Pada tanaman yang sudah berkembang, penyakit menyebabkan bercak besar yang tidak beraturan pada pelepah dan disebut hawar (blight). Pada awalnya, bercak berbentuk lonjong, berwarna hijau keabuan, dan berukuran panjang antara 1-3 cm. Pusat bercak menjadi berwarna putih keabuan dengan tepi berwarna coklat. Dalam keadaan parah bercak dapat terjadi pada daun, termasuk daun bendera. Sklerotium, yang berfungsi sebagai alat penyebaran horisontal penyakit, terbentuk pada atau dekat daerah gejala dan mudah dilepas. Dalam keadaan lembab, miselium tumbuh menutupi pelepah dan menyebar beberapa cm dalam waktu 24 jam. Sebagai patogen terbawa tanah, penyakit biasanya berawal pada daerah pangkal dekat permukaan air. Selanjutnya gejala
dapat ditemukan pada pelepah bagian atas dan pada helaian daun. Gejala yang besar pada permukaan pelepah merupakan penyebab kematian seluruh daun. Tanaman sakit menjadi mudah rebah dan menghasilkan gabah hampa atau gabah setengah isi, terutama gabah yang berada pada pangkal malai (Suparyono, 2009).
Gejala penyakit ini biasanya muncul ketika tanaman berada dalam tahap pertumbuhan dan pembentukan anakan. Bintik kecil muncul pada daun kelopak sekitar 3 inci di atas permukaan air. Bintik-bintik ini membesar dengan cepat di bawah kondisi yang menguntungkan, lebih panjang atas dan lebih kecil daripada luas, dan memiliki pusat-putih keabu-abuan dengan marjin kecoklatan. Jika dilihat lebih jelas, penyakit berlangsung sampai tanaman menyebabkan lesi putih-keabu-abuan pada daun. Lesi mungkin sebanyak-tiga perempat inci dari panjang dan melibatkan seluruh lebar daun. Padi yang sakit memiliki diameter lesi sekitar 1,5 sampai 3 inci dan dapat melebar sampai kanopi daun. Gejala dapat terjadi pada tanaman sangat sakit, khususnya pada varietas unggul. Tingkat keparahan hawar pelepah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu di atas 900C, kelembaban tinggi, dan mendorong penyebaran penyakit hawar (msucares.com, 2007).
Belang daun dan hawar pelepah (BDHP) yang disebabkan oleh
Rhizoctonia solani f. sp. sasakii Exner, (Tel: Thanatephorus sasakii (Shirai) Tu
dan Kimbro) adalah penyakit yang destruktif pada jagung dan dianggap sebagai kendala utama untuk produksi. Patogen ini menyebabkan kerugian pada hasil gabah berkisar 11,0-40,0 per persen (Singh dan Sharma, 1976 cit. Akhtar et al., 2009) . Lal et al. (1985) cit. Akhtar et al., 2009) melaporkan bahwa kerugian dalam hasil gabah sejauh lebih dari 90,0 per persen. Meskipun, laporan variabilitas patogen berdasarkan perilaku anastomosis, budaya dan penampilan morfologi dan patogenisitas yang tersedia (Talbot, 1970; Ogoshi 1987; Chen et
al., 1990; Naiki dan Kanoh, 1978; Wang dan Hsich, 1993 cit. Akhtar et al.,
B2. Perkembangan Jamur R. solani
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara umum tidak terlepas dari gangguan faktor lingkungan biotik, seperti serangan serangga, gulma, jamur, atau faktor lingkungan abiotik yang tidak sesuai bagi tanaman. Gangguan yang ditimbulkan dapat menyebabkan gangguan struktur pada organ, jaringan atau lebih lanjut berakibat pada gangguan fungsi fisiologisnya.
Lingkungan secara umum dapat mempengaruhi perkembangan jamur. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan jamur R. solani diantaranya adalah suhu dan cahaya. Kedua faktor ini dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada perkembangan jamur. Suhu kardinal untuk pertumbuhan Rhizoctonia sp. bervariasi, umumnya berkisar 20-300C, sedangkan kecepatan pertumbuhannya antara 1-100 mm/jam (Parmeter dan Whitney, 1970 cit. Irawati, 2010).
Cahaya biasanya berpengaruh pada proses perkembangbiakan seksual (Sneh et al., 1991 cit. Irawati, 2010). Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan hifa vegetatif jamur biasanya berupa penghambatan ataupun pemicuan pertumbuhannya. Menurut Semangun (1996), jamur umumnya berpigmen hialin (tidak berwarna), jika berwarna berarti jamur tersebut berpigmen, umumnya adalah pigmen melanin yang terikat pada dinding hifa. Cahaya mungkin juga dapat berpengaruh pada konsentrasi produksi pigmen.
Gangguan fungsi fisiologi ini erat kaitannya dengan struktur jaringan atau organ yang bersangkutan. Tanaman yang terinfeksi jamur menunjukkan gangguan pada perkembangan dan struktur jaringan penyusun organ, seperti jaringan pelindung (epidermis), meristem (baik apikal, interkalar maupun lateral), dasar (misalnya parenkim penyusun mesofil daun), dan jaringan pengangkut (xylem dan floem) (Sutic dan Sinclair, 1991 cit. Maryani dan Kasiamdari, 2004). Pada jaringan epidermis, kerusakan yang terjadi dapat berupa perubahan struktur kutikula dan rusaknya sel epidermis (Commenil et al., 1997
inang, misalnya Sclerotinia libertiana untuk menembus jaringan daun melalui epidermis dan stomata, dapat menginfeksi jaringan mesofil (tersusun oleh jaringan parenkim) pada tanaman Phaseolus coccineus dan Vicia faba (Sutic dan Sinclair, 1991 cit. Maryani dan Kasiamdari, 2004). Hal ini dapat berpengaruh lebih lanjut terhadap tebal tipisnya daun dan perkembangan sel mesofil tersebut.
Masuknya jamur ke daun melalui stomata dapat juga menyebabkan penebalan dinding sel dan menguraikan komponen dinding sel, sehingga jamur mampu menembus protoplas dan menginfeksi komponen penyusun sel lainnya. Kerusakan yang terjadi pada jaringan meristem oleh jenis jamur tertentu dapat berakibat tertundanya perpanjangan sel atau jaringan penyusunnya, sehingga meristem akan lebih pendek dibanding meristem yang tidak terinfeksi. Hifa jamur dapat menembus sampai ke jaringan pengangkut, xylem dan floem, akan menggerombol di dalam sel parenkim xylem atau floem dan menyebabkan kematian sel serta menghambat transportasi zat makanan (Sutic dan Sinclair, 1991 cit. Maryani dan Kasiamdari, 2004).
Jamur patogen mengganggu proses fisiologi pada tanaman inangnya misalkan keaktifan pengangkutan air dan mineral dari dalam tanah, fotosintesis atau pengangkutan hasil fotosintesis. Jamur dapat merusak organ tanaman inang seperti pada akar, batang, daun, dan biji (Kendrick, 2000).
Hawar pelepah cenderung lebih destruktif yang menyebabkan kerusakan tinggi pada anakan, dan beberapa varietas nitrogen responsif. Pemberian pupuk nitrogen yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan tajuk padat. Jenis struktur kanopi memiliki kelembaban relatif yang tinggi yang memberikan iklim mikro yang menguntungkan bagi penyebab penyakit hawar pelepah padi. Studi di IRRI menunjukkan bahwa pasokan nitrogen untuk tanaman yang tidak langsung mempengaruhi penyebaran penyakit dengan meningkatkan kontak jaringan dan daun basah di kanopi. Penyemaian dan jarak tanam yang dekat mendukung penyebaran penyakit karena, selain menciptakan iklim mikro yang menguntungkan, itu memungkinkan kontak jaringan dan
jangka waktu yang lebih lama dari daun basah (Rice Knowledge Bank, 2009). Contoh tanaman yang terserang jamur R. solani (gambar1).
1 a. Hawar Pelepah yang menyerang saat tanaman muda
1 b. Gejala hawar pelepah daun yaitu bercak keabu-abuan berbentuk oval memanjang atau elips di antara permukaan air dan daun.
Gambar 1. Gejala serangan R. Solani pada tanaman Padi (Puslitbang Tanaman Pangan, 2007)
Sklerotium adalah bentuk yang dapat dilihat dengan kasat mata pada koloni contohnya pada spesies Aspergilus flavus. Umumnya bentuk sklerotia berbentuk globos/subgloboss berwarna gelap, terletak diantara hifa-hifa yang berfungsi sebagai resting cell untuk mencegah kepunahan. Apabila dalam
keadaan lingkungan yang baik maka sklerotium dapat tumbuh menjadi hifa/miselium/stroma (Gdanjar et al., 2006)
C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Diduga terdapat variasi karakter biologi isolat-isolat R. solani yang menginfeksi tanaman padi di Daerah Karanganyar.
2. Diduga terdapat variasi tingkat virulensi isolat-isolat R. solani yang menginfeksi tanaman padi di Daerah Karanganyar.
3. Diduga terdapat hubungan antara karakter biologi dengan tingkat virulensi isolat-isolat R. solani yang menginfeksi tanaman padi di Daerah Karanganyar.
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai September 2010 yang bertempat di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta pada ketinggian 99 m dpl.
B. Bahan dan Alat 1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bagian-bagian tanaman yang terinfeksi jamur R. solani, buah apel, bibit padi Varietas Membramo, air destilata, alcohol 90%, PDA (Potato Dextrose Agar, tanah steril, parafilm, aquades, pupuk Urea, pupuk kompos.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, termos pendingin, refrigerator, LAF (Laminar Air Flow), otoklaf, jarum inokulasi, mikroskop cahaya, optilab viewer, jarum N, jarum pentul, petridish steril, lampu bunzen, beaker glass, kertas label, dan kapas.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai penelitian eksploratif di lapangan dan dilakukan di laboratorium dan rumah kaca. Uji virulensi pada buah apel dilakukan di Laboratorium sedangkan uji virulensi pada tanaman inang pada padi di lakukan di rumah kaca menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Koleksi isolat-isolat R. solani
Isolat-isolat R. solani dikoleksi dari wilayah endemik jamur R. solani di daerah Karanganyar. Koleksi dilakukan dengan mendatangi wilayah tersebut. Tanaman padi yang menunjukkan gejala hawar pelepah yaitu adanya bercak oval pada pelepah dipotong pada bagian pangkal. Bagian tanaman terutama bagian batang dan pangkal batang diperiksa jika terdapat gejala penyakit yaitu berupa bercak-bercak, luka, atau adanya tdana penyakit berupa sklerotia. Bagian tanaman yang menunjukkan gejala ataupun tanda penyakit tersebut kemudian dimasukkan ke dalam termos pendingin. kemudian sampel-sampel tanaman segera dipindah ke refrigerator bersuhu 40C, untuk selanjutnya dikulturkan di medium PDA.
2. Kultur isolat-isolat R. solani pada medium buatan.
Kultur isolat-isolat R. solani dilakukan di LAF (Laminar Air Flow) menurut cara Streets (1972). Permukaan jaringan yang menunjukkan gejala bercak atau luka disterilkan dengan 90% alkohol. Bagian kecil dari daerah perbatasan antara jaringan tanaman yang sakit dan sehat dipotong, diambil, dan diletakkan di tengah petridish steril berdiameter 90 mm yang mengandung 20 ml PDA (Potato
Dextrose Agar). Preparasi diinkubasikan di rak percobaan di bawah kondisi
stdanard pada 22 – 26 ˚ C selama 7 – 10 hari. Seluruh isolat diberi nomor identitas sesuai dengan identitas pada label saat isolasi dari lapang. Saat kultur berumur 1 minggu dilakukan pemotretan untuk dokumentasi.
Pada saat pemotretan itu pula masing-masing isolat dibuat stok, yaitu dengan cara dikulturkan pada medium regenerasi di dalam petridish berdiameter 4 cm menurut cara Hillman et al., (1990). Pembuatan stok ini dimulai dengan menginokulasikan 3x3x3 mm kubik agar yang diambil dari bagian tepi biakan, kemudian diletakkan di tengah medium yang telah disediakan. Preparasi diinkubasikan di rak percobaan di bawah kondisi standar pada 22 – 26 ˚ C selama 1 minggu. Setelah itu preparasi disimpan di dalam refrigerator bersuhu 4˚ C sebagai stok untuk pengujian-pengujian berikutnya. Masing-masing stok ini diberi
nomor identitas yang sesuai atau diturunkan dari nomor identitas isolat pada medium PDA di atas.
3. Karakterisasi fenotipe isolat-isolat R. solani
Karakterisasi morfologi dilakukan menurut cara Hillman et al., (1990). Percobaan dimulai dengan menginokulasikan 3x3x3 mm3 agar, diambil dari bagian tepi biakan stok berumur 1 minggu, pada bagian tengah petridish berdiameter 85 mm yang mengandung 20 ml PDA. Petridish lalu diinkubasikan di rak percobaan dibawah kondisi standar 22-260C. Biakan diamati pada hari ke 3,5,7, dan 9. Karakter yang diamati dan dicatat adalah: laju pertumbuhan koloni dan fenotip koloni. Isolat-isolat yang diamati jika ditemukan karakter-karakter yang berbeda, misalnya laju pertumbuhan koloni yang ditunjukkan dengan diameter koloni yang lebih kecil, fenotip koloni dengan warna yang lebih gelap atau terang, permukaan koloni yang tidak halus, maka isolat-isolat yang bersangkutan ditdanai atau dipilih dan didokumentasikan. Isolat-isolat tersebut mempunyai peluang besar mempunyai tingkat virulensi yang rendah (hipovirulen). Isolat-isolat terpilih selanjutnya diuji dengan pengujian-pengujian berikutnya yaitu uji virulensi menggunakan buah apel dan bibit padi.
4. Uji virulensi pada apel
Pengujian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan diulang sebanyak tiga kali. Uji virulensi ini menggunakan isolat-isolat hipovirulen terpilih berdasarkan karakterisasi isolat. Isolat-isolat terpilih dilakukan uji virulensi menurut cara Elliston (1985). Buah apel yang sudah masak didesinfeksi dengan 90% alkohol. Ditentukan 4 titik disekeliling buah dengan posisi menyebar seimbang.
Masing-masing titik kemudian diinokulasi dengan isolat-isolat jamur pada bagian yang telah dilukai. Inokulum dimasukkan ke dalam masing-masing luka dengan posisi menghadap ke dalam, lalu ditekan dengan spatula steril sampai terjadi kontak yang sempurna dengan jaringan apel. Bagian yang diinokulasi lalu dibalut dengan parafilm untuk mencegah kering, lalu buah apel diinkubasi di baki
plastik berukuran 35x25x7 cm di suhu ruang. Diameter lesio diukur pada hari ke 3,5,7, dan 9.
5. Pengujian ke tanaman Inang
Pengujian ke tanaman inang ini dilakukan untuk mengetahui intensitas dan presentase serangan R. solani ke inang sesungguhnya. Pemilihan isolat yang akan diujikan berdasarkan hasil uji virulensi pada buah apel. Uji virulensi ke tanaman inang ini dengan Rancangan Percobaan RAL (Rancangan Acak Lengkap).
Dari perlakuan tersebut terdapat 1 kontrol sebagai pembanding yaitu kontrol positif (virulensi tinggi) kemudian tiap batang diulang sebanyak 3 kali dan masing-masing batang diambil ulangan tiap pelepah yang pada akhir pengamatan diambil rata-rata. Pada uji virulensi ini digunakan bibit padi varietas Memberamo dan dilakukan pada padi umur 36 HST. Uji ini dilakukan dengan menginokulasikan isolat-isolat jamur yang telah dipilih dengan menyelipkan potongan inokulasi di antara pelepah padi. Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali setelah inokulasi (MSI) selama satu bulan. Dari hasil uji virulensi ini dapat diketahui isolat-isolat jamur yang menunjukkan tingkat virulensinya lebih rendah (hipovirulen) dibanding kontrol (virulen).
6. Persiapan Media Tanam
Media yang digunakan adalah tanah latosol yang sebelumnya dilakukan sterilisasi dengan autoclaf dengan suhu 1210C dan tekanan 1,5 atm selama 2 jam. Setelah disterilisasi, tanah diletakkan dalam pot berdiameter 20 cm yang sebelumnya yang telah dicampur urea 1 g/tanaman dan 6 g/tanaman pupuk kompos.
7. Pembibitan
Pembibitan tanaman padi yaitu dengan menyemaikan benih dalam wadah persegi yang sebelumnya benih direndam terlebih dahulu selama 24 jam agar terjadi imbibisi benih. Benih yang telah direndam ditanam pada bak persegi yang telah diberi media tanah steril dan campuran kompos dengan perbandingan 1 : 1 dan disemaikan selama 14 hari. Setelah disemaikan bibit padi dipindah ke dalam
media yang telah disediakan. 8. Pemeliharaan tanaman
Penyiraman dilakukan sebanyak 2 kali untuk menjaga kelembaban dan suhu dari tanaman yang telah diinokulasi jamur R. solani agar perkembangan penyakit dapat terjadi.
Pemberian pupuk dilakukan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tanaman yaitu Urea dengan dosis 6 g/tanaman. Pemberian pupuk dilakukan pada saat sebelum tanam, 21 HST, 45 HST, 60 HST, dan 90 HST.
E. Variabel yang diamati
1. Laju Pertumbuhan
Pengamatan laju pertumbuhan jamur R. solani dilakukan dengan mengukur diameter koloni jamur pada petridish berdiameter 90 mm. Data hasil pengukuran laju pertumbuhan di hitung dengan standar deviasi dengan rumus sebagai berikut:
SD = 1 ) ( 1 2  
 n X X2. Karakter Fenotip koloni
Karakter fenotipe koloni isolat jamur tersebut meliputi warna, struktur permukaan dan ada tidaknya hifa udara.
3. Diameter kerusakan pada Apel
Pengamatan dilakukan dengan mengamati besarnya diameter lesio pada apel. Data diameter lesio pada apel dihitung dengan standar deviasi dengan rumus sebagai berikut: SD = 1 ) ( 1 2  
 n X X 4. Intensitas PenyakitPengamatan intensitas penyakit dilakukan dari awal penginokulasian sampai panen, mulai dua minggu setelah inokulasi (MSI). Penilaian untuk
menentukan intensitas penyakit tanaman menggunakan skala 0,1,2,3,4, dan 5 sebagai berikut;
Tabel 1. Skala Intensitas Penyakit Tanaman Nilai skala Gejala bercak
0 Tidak terdapat bercak/sehat 1 1-10% terdapat bercak 2 11-30% terdapat bercak 3 31-60% terdapat bercak 4 61-90% terdapat bercak 5 >90% atau tanaman mati
Kemudian skala intensitas penyakit tanaman dipakai untuk menghitung intensitas penyakit dengan menggunakan rumus:
IP = 100% . ) . ( x V N v n
Keterangan: IP = Intensitas Penyakitn = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala dengan kategori tertentu v = nilai skala dengan kategori gejala tertentu
N = Jumlah tanaman sampel
V = Nilai skala tertinggi kategori gejala
F. Analisis Data
1. Laju pertumbuhan dan Uji Virulensi pada Buah Apel
Data tersebut dianalisis dengan rerata dan standar deviasi yang disajikan dalam bentuk grafik.
2. Uji virulensi ke tanaman Inang
Data uji virulensi pada tanaman inang dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan uji F taraf 5% dan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Koleksi Isolat R. solani di Lapang
Lokasi pengambilan isolat R. solani di lapang yaitu dari Kabupaten Karanganyar. Pengambilan isolat ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gejala yang ditimbulkan oleh jamur tersebut sekaligus mempelajari karakter biologi dan tingkat kerusakannya pada tanaman padi yang nantinya informasi tersebut digunakan sebagai langkah awal dalam menentukan isolat yang hipovirulen maupun virulensi tinggi dan hasil isolasi jamur yang hipovirulen dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati penyakit tersebut.
Gejala yang nampak di lapang yaitu pada pelepah muncul luka nekrotik yang berbentuk elips pada permukaan pelepah dan pada awalnya, bercak berbentuk lonjong, berwarna hijau keabuan, dan berukuran panjang antara 1-3 cm. Pusat bercak menjadi berwarna putih keabuan dengan tepi berwarna coklat. Dalam keadaan parah bercak dapat terjadi pada daun, termasuk daun bendera. Dan jika tanaman yang terserang jamur ini menyebabkan tanaman mudah rebah dan menyebabkan gabah hampa.
Dari informasi yang terdapat di lapang, kemudian dilakukan isolasi terhadap jamur tersebut. Cara isolasi jamur R. solani yaitu dengan mengambil 1/3 bagian tanaman sakit dan bagian yang sehat yang ditumbuhkan dalam media PDA. Dalam media PDA (Potato Dextrose Agar) masih bercampur dengan jamur lain sehingga perlu dilakukan pembiakan murni. Dalam biakan murni dipilih jamur yang diyakini memiliki morfologi dan ciri R. solani. Dari hasil isolasi diperoleh 45 isolat yang kemudian diamati dan di biakkan dalam media PDA.
Hasil isolasi diperoleh 31 isolat yang akan dipelajari karakter biologinya mulai dari warna, laju pertumbuhan, ada tidaknya miselium udara, dan virulensinya terhadap tanaman inang. Dari hasil tersebut akan diketahui bagaimana hubungan antara karakter morfologi terhadap tingkat patogenisitasnya pada tanaman inang dan tingkat kerusakan terendah pada tanaman inang.
B. Karakterisasi Morfologi Isolat R. solani secara Makroskopis
Beberapa R. solani yang bersifat patogen terhadap padi memiliki kemampuan
untuk memproduksi sklerotia yang berdinding luar tebal, sehingga mampu terapung dan bertahan hidup di air. Jamur ini juga bertahan hidup sebagai miselium dengan cara saprofit, yakni mengkolonisasi bahan-bahan organik tanah khususnya sebagai hasil aktivitas patogen tanaman. Sklerotia dan atau miselia yang berada di tanah atau jaringan tanaman tumbuh dan membentuk hifa yang dapat menyerang beberapa jenis tanaman. Patogen ini sangat cocok dengan keadaan struktur tanah yang kurang baik dan kelembapan tanah yang tinggi (Ceresini 1999; CABI 2004 cit. Muis (2007)).
Menurut Yulianti dan Suhara (2010) langkah pertama untuk mengetahui metode pengendalian secara efektif dengan mempelajari bioekologi jamur-jamur tersebut. Kenampakan morfologi ini dapat digunakan untuk pengelompokkan awal terhadap isolat-isolat tersebut. Pengamatan secara makroskopis koloni isolat R. solani dilakukan mulai pada hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah isolasi. Pengamatan makroskopis dilakukan secara langsung dengan melihat perkembangan masing-masing koloni yaitu mulai dari diameter koloni, warna koloni, miselium udara, dan profil koloni. Pengamatan makroskopis ini dilakukan untuk mengetahui karakter isolat yang memiliki virulensi tinggi maupun tingkat virulensi rendah. Hasil pengamatan isolat R. solani disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Karakterisasi Morfologi Isolat R. solani secara Makroskopis Pada Hari ke-3
Isolat Diameter Koloni
(cm)
Warna Koloni Miselium Udara
Profil koloni
P1 7,85 Putih kotor Banyak Seperti cincin dan sudah terbentuk sklerotia, kasar P2 7,90 Putih kotor Banyak Cincin, kasar
P3 8,05 Putih kotor Banyak Sudah terbentuk sklerotia, seperti cincin
P4 7,70 Putih kotor Banyak Seperti cincin, kasar P5 7,30 Putih kotor sedikit Cincin, kasar P6 7,60 Putih kotor Banyak Cincin, kasar
P7 8,20 Putih kotor Sedikit Banyak terdapat sklerotia, kasar
P8 7,65 Putih kotor Banyak Cincin
P9 7,25 Putih kotor Tidak ada Halus seperti mengendap P10 7,25 Putih kotor Banyak Sklerotia mulai muncul
P11 0 - -
-P12 6,30 Putih kotor Banyak Koloni bergelombang tidak beraturan
P13 3,45 Putih hijau Banyak Kasar
P14 8,15 Krem Banyak Cincin
P15 3,65 Putih ditengah hijau
Banyak Kasar
P16 8,25 Putih kotor Banyak Sudah muncul sklerotia, kasar
P17 8,15 Putih kotor Banyak Cincin
P18 7,20 Putih kotor Banyak Cincin sudah terbentuk sklerotia
P19 3,00 Putih hijau Banyak Kasar
P20 7,05 Putih kotor Banyak Kasar
P21 6,5 Putih kotor Banyak Kasar
P22 6,55 Putih kotor Banyak Kasar
P23 7,15 Putih kotor Banyak Kasar, mengendap P25 5,45 Putih kotor Banyak Seperti cincin, kasar
P26 5,70 Putih kotor Banyak Membentuk lingkaran
seperti cincin
P28 4,80 Putih kotor Banyak Kasar, membentuk lingkaran
P29 4,95 Putih kotor Banyak kasar
P31 5,00 Putih kotor Banyak Kasar, membentuk lingkaran P32 2,35 Putih kotor Jarang Kasar, terbentuk lingkaran
gelap terang
P33 5,20 Putih kotor Banyak Kasar, seperti cincin
Kenampakan morfologi ini dapat digunakan untuk pengelompokkan awal terhadap isolat-isolat tersebut. Berdasarkan pada tabel 1, hasil isolasi menunjukkan bahwa terdapat berbagai variasi karakter morfologi isolat jamur R. solani yang kemudian diidentifikasi menurut warna, hifa, dan profilnya. Isolat yang diperoleh berasal dari kabupaten Karanganyar. Dari hasil isolasi diperoleh 45 isolat, yang kemudian dipilih 31 isolat yang diduga merupakan jamur R. solani untuk selanjutnya diidentifikasi. Dari hasil penelitian ini ditemukan keragaman isolat R. solani.
Secara umum warna koloni ke-31 isolat adalah putih kotor. Jika masa inkubasi masing-masing isolat pada media PDA diperpanjang maka warnanya akan cokelat serta akan terbentuk struktur seperti sklerotuim, yaitu stroma. Menurut Holliday, 1989 cit. Irawati (2010) warna koloni dari isolat berhubungan dengan kandungan melanin yang diproduksi oleh isolat. Melanin biasanya tidak berperan dalam pertumbuhan, tetapi berperan dalam meningkatkan daya tahan dan kemampuan berkompetisi khususnya jamur.
Menurut Parmeter dan Whitney (1970) cit. Yulianti dan Suhara (2010), pigmen hifa Rhizoctonia sp. umumnya bervariasi, dengan warna utama coklat. Koloni yang muda pada media buatan biasanya berwarna putih atau mendekati putih, tetapi dengan bertambahnya umur maka koloni akan menjadi coklat tua. Menurut Danersen dan Rasmussen (1996) cit. Irawati (2010), pembentukan skerotium bukan merupakan ciri utama genus Rhizoctonia. Pembentukan sklerotium sering dipengaruhi oleh jenis subtrat tempat jamur ini tumbuh, sedangkan yang selalu terbentuk pada genus
Rhizoctonia adalah sel-sel moniloid yang merupakan prekusor pembentukan
sklerotium. Dari hasil penelitian (tabel1) ini secara umum isolat yang ditumbuhkan dalam PDA membentuk sklerotium.
Hasil pengamatan penelitian (tabel 1) menunjukkan semua isolat mempunyai miselium udara yang banyak. Hal ini sejalan dengan pendapat Sneh et al., 1991 cit. Irawati, 2010, bahwa secara umum jamur-jamur yang ditumbuhkan pada kondisi terang terus akan mempunyai miselium udara yang lebih banyak dibandingkan pada kondisi yang lain. Diduga disebabkan adanya hifa jamur yang tumbuh mengikuti arah
cahaya (fototropi). Cahaya berperan penting dalam pembentukan fase telemorf jamur
Rhizoctonia sp. Sporulasi terjadi pada malam hari dan cahaya diketahui dapat
menstimulasi pembentukkan himenium tapi menghambat pematangan basidium. Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan hifa vegetatif jamur biasanya berupa penghambatan ataupun pemicuan pertumbuhannya. Menurut Semangun (1996), jamur umumnya berpigmen hialin (tidak berwarna), jika berwarna berarti jamur tersebut berpigmen, umumnya adalah pigmen melanin yang terikat pada dinding sel hifa.
Isolat-isolat R. solani yang ditumbuhkan dalam medium PDA memiliki kenampakan koloni yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dari hasil penelitian menunjukkan isolat tersebut memiliki kenampakan yaitu cincin, kasar, dan halus. Hal ini sejalan dengan Snech et al., 1991 cit. Irawati (2010) diduga cahaya mungkin juga dapat berpengaruh pada konsentrasi produksi pigmen. Dengan kedua faktor yang dipengaruhi cahaya tersebut maka jika suatu biakan jamur diperlakukan dengan kondisi cahaya gelap dan terang secara bergantian akan dapat terbentuk kenampakan morfologi koloni yang membentuk lingkaran-lingkaran konsentris gelap-terang. Sehingga lingkaran-lingkaran konsentris yang umumnya terbentuk seperti pada kondisi gelap terus maupun gelap-terang menjadi tidak nampak jelas Dari hasil isolasi ditemukan adanya lingkaran-lingkaran konsentris seperti cincin dengan gelap-terang.
Pengamatan laju pertumbuhan koloni menunjukkan kecepatan tumbuh koloni tiap isolat yang berbeda. Laju pertumbuhan ini dengan menumbuhkan isolat pada media PDA yang diamati dan diukur pada hari 3, 5, 7, dan 9 HSI (Hari setelah Isolasi). Secara umum, pertumbuhan R. solani berlangsung sangat cepat. Satu isolat dapat tumbuh menutupi cawan petri ukuran 90 mm dalam tiga hari. Jamur ini dapat hidup selama beberapa tahun dengan memproduksi sklerotia di tanah dan jaringan tanaman. Hasil pengamatan laju pertumbuhan koloni isolat R. solani disajikan pada gambar 2.
Gambar 2. Diagram Batang Diameter koloni R. solani pada PDA hari ke-3
Hasil penelitian pada tingkat laju pertumbuhan koloni (Gambar 2) menunjukkan masing-masing isolat yang telah diperoleh memiliki keragaman pertumbuhan koloni yang berbeda-beda. Dari hasil pengukuran diameter isolat yang diamati pada hari ke-3 menunjukkan bahwa diameter koloni isolat yang tertinggi terdapat pada isolat P16 sebesar 8,25 cm sedangkan diameter koloni isolat yang terrendah terdapat pada isolat P11 sebesar 0 cm. Menurut Irawati (2010) terdapat hubungan antara karakter morfologi koloni dengan kecepatan pertumbuhan dan tingkat patogenisitas Rhizoctonia. Pengelompokan Rhizoctonia dapat dilakukan berdasarkan kenampakan morfologi koloni, namun hal ini agak sulit dilakukan karena keragaman (variabilitas) spesies ini sangat banyak. Namun dalam penelitian ini hal tersebut belum dapat dibuktikan karena belum diketahui tingkat virulensinya pada tanaman inang.
C. Uji Virulensi R. solani Pada Apel
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit epidemik yaitu tingkat virulensi, jumlah dan macam inokulum yang mendekati inang, daur reproduksi (waktu generasi), lingkungan inokulum terbentuk, ketahanan inokulum terhadap lingkungan, bentuk penyebaran patogen dan potensi inokulumnya (Purnomo, 2010)
Isolat yang telah diidentifikasi secara makroskopis kemudian dilakukan uji virulensi untuk mengetahui tingkat kemampuan isolat jamur R. solani dalam menimbulkan baik gejala maupun kerusakan pada buah apel. Pengujian pada buah apel ini merupakan langkah awal dalam pemilihan isolat yang diduga memiliki tingkat virulensi rendah yang akan diuji pada tanaman inang dan satu isolat yang diduga memiliki tingkat virulensi tinggi yang digunakan sebagai kontrol. Parameter yang diamati adalah diameter kerusakan apel yang ditimbulkan oleh isolat R. solani setelah inokulasi. Pengamatan uji virulensi dilakukan pada hari ke-3, 5, 7, dan 9. Hasil pengujian virulensi pada buah apel disajikan dalam bentuk diagram batang dengan standar deviasi (gambar 3)
Berdasarkan hasil pengamatan kerusakan apel pada hari ke sembilan setelah inokulasi diketahui bahwa isolat jamur R. solani setiap koloni memiliki tingkat kemampuan menginfeksi yang berbeda-beda. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat yang diuji memberikan tingkat kerusakan lesio buah apel tertinggi pada isolat P14 sebesar 2,76 cm serta isolat yang memberikan tingkat kerusakan rendah pada isolat P13, P22, P10, Kontrol, P4, P7, dan P16 masing-masing sebesar 0 cm; 0,1 cm; 0,2 cm; 0,3 cm; 0,3 cm; 0,3 cm; 0,4 cm. Hasil penelitian yang dilakuan beberapa peneliti seperti Pegg (1957), Heale dan Isaac (1965), Boisson dan Lahlou (1982) dalam Hadisutrisno (2004) cit. Syaifudin (2010) menyatakan, bahwa jamur yang dilakukan dengan perlakuan kultur, akan kehilangan patogenisitasnya setelah dipindahkan beberapa kali dalam medium, atau setelah disimpan lama.
Menurut Yunafsi (2002) cit. Syaifudin (2010) menjelaskan bahwa berbagai galur atau asal (isolat) suatu jenis patogen dapat beragam keganasannya (virulensinya), tergantung pada gen yang terkandung di dalam inti atau bahan yang bertindak sebagai inti. Mengingat susunan gen karena berbagai proses dapat berubah, maka demikian pula virulensi pada suatu jenis patogen dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa terjadi karena hibridisasi, heterokariosis dan paraseksualisme. Abdullahi et al., (2005) cit. Syaifudin (2010) menambahkan bahwa daya patogenitas suatu patogen dipengaruhi oleh faktor internal seperti umur dan kondisi fisik patogen serta faktor eksternal seperti iklim, kondisi lingkungan dan tindakan agronomis khususnya pemakaian bahan yang bersifat antifungal dan antimikrobial.
Hasil uji virulensi pada buah apel selanjutnya dipilih 20 isolat yang diduga memiliki tingkat kerusakan terendah dengan satu isolat yang memiliki tingkat kerusakan tertinggi sebagai kontrol yang selanjutnya diujikan pada tanaman inang.
D. Uji Virulensi R.solani Pada Tanaman Inang
Hasil uji virulensi pada buah apel digunakan sebagai langkah awal dalam pemilihan isolat yang diduga memiliki tingkat virulensi yang rendah dibandingkan dengan kontrol positif. Dari hasil uji pada buah apel dipilih 20 isolat yang akan diujikan pada tanaman inang. Uji pada tanaman inang ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan pada tanaman inang yang diakibatkan oleh isolat-isolat jamur R. solani yang telah dikarakterisasi menurut warna, hifa, diameter koloni.
Uji virulensi pada tanaman inang ini dilakukan di Rumah kaca dengan suhu harian rata-rata 250C-400C. Dalam pengujian ini digunakan padi varietas Membramo pada umur 36 HST (Hari Setelah Tanam). Pengujian pada tanaman inang ini dengan menginokulasikan sklerotia pada pelepah padi dengan cara menyisipkan sklerotia tersebut pada pelepah padi dengan cara membuka sedikit pelepah padi kemudian memasukkan gumpalan sklerotia didalamnya sehingga diharapkan terjadi infeksi antara patogen dengan tanaman inang yang diuji. Data hasil uji virulensi pada tanaman inang disajikan gambar 4.
Gambar 4, menunjukkan bahwa isolat yang diuji pada tanaman inang memiliki daya patogenisitas yang berbeda pada masing-masing isolat. Uji pada tanaman inang ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakter morfologi yang dikaitkan dengan tingkat kerusakan pada tanaman uji. Dari hasil pengujian virulensi pada tanaman inang 4 MSI (Minggu setelah inokulasi) diperoleh hasil bahwa pada isolat yang diduga termasuk isolat hipovirulen adalah isolat K+ (P6); P28; P17; P16; dan P26 masing-masing menimbulkan luas bercak sebesar 35,93%; 36,94%; 42,16%; 45,28%; 45,99% sedangkan isolat yang pada awalnya diduga sebagai isolat yang hipovirulen ketika diuji pada tanaman inang memberikan luasan bercak tertinggi yaitu isolat P7 sebesar 56,57%. Hal ini sejalan dengan Wakman (2004) menyatakan bahwa luas serangan suatu penyakit dipengaruhi oleh patogen, inang, dan lingkungan. Patogen dengan kepatogenan tinggi apabila menyerang inang yang peka dengan kondisi lingkungan yang menguntungkan, maka akan memperluas gejala serangan, tetapi apabila salah satu faktor tersebut tidak sesuai, maka terjadinya penyakit akan terhambat.
Menurut Ou (1985) cit. Prayudi (2000) apabila penyakit berkembang sampai ke daun bendera penurunan hasil dapat mencapai 20%. Semakin tinggi intensitas penyakit hawar pelepah daun maka stabilitas hasil akan terganggu. Dan usaha pengendalian penyakit padi yang diakibatkan oleh R. solani Kuhn mengalami kesulitan karena patogen memiliki inang yang sangat beragam dan mampu bertahan lama dalam bentuk sklerotium. Didaerah subtropika seperti Jepang, sklerotium diketahui memiliki peran sebagai alat bertahan dan sebagai sumber inokulum awal (X0) pertanaman berikutnya (Kozaka, 1970; Hasiba dan Mogi, 1975; Hasiba, 1982 cit. Prayugi, 2000). Hal ini dikarenakan pada musim dingin tidak ada bentuk lain patogen selain sklerotium yang mampu bertahan hidup. Pada musim berikutnya, sklerotium muncul ke permukaan tanah sebagai akibat pengolahan tanah dan siap menjadi sumber inokulum awal pertanaman pada musim berikut. Di daerah tropika, bentuk lain selain sklerotium selalu tersedia, sehingga peran sklerotium sebagai sumber inokulum awal pertanaman diduga tidak dominan.
Jamur R. solani yang menginfeksi dinding sel inang menyebabkan gejala lesio pada pelepah yang menyebabkan rebah dan eksudat patogen tersebut terikut aliran pengangkutan air sehingga menyebabkan meluasnya serangan dan meningkatkan intensitas penyakit. Penelitian tersebut sejalan dengan Hadi et al., 1975 dalam Rosnawati, 1991 cit. Winarni et al., 2004, tingginya intensitas penyakit dipengaruhi oleh inkubasi, kepadatan konidium dan kemampuan patogen menyerang berkas pembuluh pada tanaman jahe yang sangat erat hubungannya dengan pengangkutan air dalam tanaman, karena patogen ini berada dalam xilem dan konidiumnya terangkut aliran transpirasi. Cepat lambatnya pengangkutan tersebut juga mempengaruhi cepat lambatnya terjadinya gejala penyakit. Intensitas penyakit disajikan tabel 2.
Tabel 2. Intensitas Penyakit Pada 4 Minggu Setelah Inokulasi (MSI) Isolat Minggu ke-4
K+ 53.33ab K (P1) 65.93 ab P2 63.70 ab P3 60.74 ab P4 65.92 ab P7 73.33 b P16 59.26 ab P17 55.55 ab P18 69.63 ab P20 59.26 ab P21 62.96 ab P22 63.70 ab P23 65.18 ab P25 62.22 ab P26 62.96 ab P28 46.67a P29 62.96 ab P32 62.96 ab P33 69.63 ab P39 62.96 ab
Keterangan: Angka yang dikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas penyakit yang diakibatkan oleh isolat R. solani fluktuatif. Isolat yang diduga hipovirulen memiliki intensitas penyakit yaitu pada isolat K+(P6),P28, P17; P16; dan P26 masing-masing sebesar
53,33%; 46,67%; 55,55%; 59,26%; 62,96% sedangkan isolat P7 yang diduga memiliki virulensi tinggi memiliki intensitas penyakit sebesar 73,33%.
Hasil penelitian terhadap isolat R. solani yang dikarakterisasi secara makroskopis, uji virulensi terhadap apel dan tanaman inang dapat diketahui tingkat virulensi masing-masing isolat. Pada hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa isolat yang mempunyai tingkat virulensi relatif rendah terdapat pada isolat K+(P6), P28, P17, P16, dan P26 yang memiliki karakter biologi antara lain memiliki warna putih kotor, miselium udara banyak, dengan profil koloni seperti cincin atau membentuk lingkaran konsentris, sedangkan isolat yang mempunyai tingkat virulensi tinggi terdapat pada isolat P7 memiliki karakter biologi yaitu warna putih kotor, miselium udara sedikit, dengan profil koloni banyak terdapat sklerotia dan kasar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Isolat-isolat R. solani asal daerah Karanganyar memiliki keragaman karakter biologi (warna, miselium udara, profil koloni, dan diameter koloni).
2. Isolat-isolat R. solani asal daerah Karanganyar memiliki tingkat virulensi yang beragam.
3. Isolat yang termasuk hipovirulen adalah isolat K+ (P6); P28; P17; P16; dan P26 masing-masing menimbulkan luasan bercak sebesar 35,93%; 36,94%; 42,16%; 45,28%; 45,99% pada tanaman inang dan isolat yang termasuk virulen adalah isolat P7 dan menimbulkan luasan bercak sebesar 56,57%. 4. Intensitas penyakit pada isolat K+(P6),P28, P17; P16; dan P26
masing-masing sebesar 53,33%; 46,67%; 55,55%; 59,26%; 62,96% dan intensitas penyakit isolat P7 yang termasuk virulen sebesar 73,33%.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah
1. Perlu dilakukan pengujian lanjutan sampai komponen hasil sehingga dapat diketahui tingkat penurunan hasil dari isolat yang termasuk hipovirulen. 2. Perlu dilakukan pengujian molekuler untuk mengetahui adakah mikovirus
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, J., V. Kumar Jha, A. Kumar dan H.C. Lal. 2009. Occurrence of Bdaned Leaf dan Sheath Blight of Maize in Jharkhdan with Reference to Diversity in Rhizoctonia solani. Asian Journal of Agricultural Sciences 1(2): 32-35, 2009
Baker, R. dan C.A. Martinson. 1970. Epidemiology of diseases caused by Rhizoctonia solani. p.172−178. In J.R. Parmeter, Jr. (Ed.). Rhizoctonia solani: Biology dan Pathology.University of California Press, Barkeley. Bayer CropScience. 2010. Thanatephorus cucumeris (Rice).
compendium.bayercropscience.com. Diakses Tanggal 13 September 2010.
CABI. 2004. Crop Protection Compendium. Dalam Muis, A. 2007. Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani kuhn.) Pada Tanaman Jagung. J. Litbang Pertanian 26 (3).
Ceresini, P. 1999. Rhizoctonia solani, patogen profile as one of the requirements of the course. Soilborne Plant Patogens. NC. State University. Dalam Muis, A. 2007.Pengelolaan Penyakit Busuk Pelepah (Rhizoctonia solani kuhn.) Pada Tanaman Jagung. J. Litbang Pertanian 26 (3).
Danersen, T.F. dan H.N. Rasmussen. 1996. The Mycorrhizal species of Rhizoctonia. In: Sneh, B., S.Jabaji-Hare, S. Neate, dan G. Dijst. Rhizoctonia Spesies: Taxonomy, Molecular Biology, Ecology, Pathology dan Disease Kontrol. KAP. London. 379-390 pp
Elliston, J.E. 1985. Characteristics of dsRNA-free dan dsRNA-containing strains of Endothia parasitica in relation to hypovirulence. Phytopathology 82(2):151-157.
Farr, D.F., G.F. Bills, G.P. Chamuris, dan A.Y. Rossman. 1989. Fungi on Plants dan Plant Product in the United States. APS Press. St.Paul, Minnesota. 1252 pp.
Gdanjar, I., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Hilman, B.I, Shapira, R., dan D.L. Nuss. 1990. Hypovirulence-associated suppresion of host functions in Chryphonectria parasitica can be partially relieved by high light intensity. Phytopathology.80:950-956. Irawati, A. F. Cindra. 2010. Karakterisasi Mikoriza Rhizoctonia Dari Perakaran
Tanaman Vanili Sehat. BPTP Bangka Belitung. mti.ugm.ac.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2010.
Kendrick, B. 2000. The Fifth Kingsom. 3rd Ed. Focus Publishing. R. Pulluns Co. USA. Pp200-216.
Maryani dan R. S. Kasiamdari, 2004. Kenampakan Anatomis Jaringan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Terinfeksi Jamur Mikroskopis. Hal 150-159. dalam L. Soesanto (ed.). Prosiding Simposium Nasional I Tentang Fusarium. Purwokerto.
Msucares.com. 2007. Sheat Blight of Rice. http://mscuares.com. Diakses tanggal 13 September 2010.
Parmeter, J. R., dan H. S. Whitnry. 1970. Taxonomy dan nomenclature of perfect state. In: Rhizoctonia solani, Biology and Pathology. University of California Press. Los Angles.7-19.
Prayudi, B. 2000. Efisiensi Aplikasi Fungisida Untuk Pengendalian Rhizoctonia solani pada Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut. katalog.pustaka-deptan.go.id. Diakses tanggal 23 September 2010.
Purwanti, H., M.K. Kardin, A. Nasution., dan Sutoyo. 1997. Penyakit Hawar Pelepah Daun Padi (Rhizoctonia solani Kuhn): Permasalahan dan Prospek Pengendaliannya di Indonesia. J. Agrobio (1) 2.
Purnomo, B. 2010. Epidemiologi Penyakit Tanaman, Penyakit Endemik dan Faktor-faktor Yang Berpengaruh. blog.unila.ac.id. Diakses tanggal 23 September 2010.
Puslitbang Tanaman Pangan. 2007. Masalah Lapang Hama, Penyakit, dan Hara Pada Padi. www.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 19 November 2009.
Rice Knowledge Bank. 2009. Sheath Blight [Rhizoctonia solani Kuhn]. http://www.knowledgebank.irri.org. Diakses tanggal 13 September 2010. Rustikawati, C. Herison, dan Sudarsono. 2006. Kevirulenan Beberapa Strain
Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.). J. Akta Agrosia Vol 9 (1):12-18.
Semangun, H. 1988. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gajdah Mada University Press. Yogyakarta. 808 hal.
---. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press. Yogyakarta.
Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plants Disease. The University of Arizona Press, USA.
Suhara, C dan T. Yulianti. 2005. Mekanisme Ketahanan Varietas Kapas Terhadap Rhizoctonia solani Penyebab Penyakit Bibit. Prosiding Lokakarya Revitalisasi Agribisnis Kapas Diintregasikan Dengan Palawija di Lahan Sawah Tadah Hujan. Lamongan 8 September 2005.p.125-129.
Suparyono. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi. www.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 23 November 2009.
Syaifudin, A. Karakterisasi Biologi Isolat-isolat Fusarium sp. Pada Benih Kedelai (Glycine max L.) Dari Beberapa Kabupaten Di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Syatrawati. 2005. Pengaruh Kultur Filtrat Gliocladium sp. Terhadap Rhizoctonia solani Untuk Mengendalikan Penyakit Damping-off Pada Jagung. J. Sains dan Teknologi Vol 5 (3):142-146.
Wakman, W. 2004. Fusarium Patogen Pada Tanaman Jagung. Hal 119-127. dalam L. Soesanto (ed.). Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium. Purwokerto.
Winarni, W., E. Pramono, Soedarmono, L. Soesanto. 2004. Uji Kepatogenan Beberapa Isolat Fusarium oxyorum f.sp. Zingiberi Pada Tanaman Jahe Gajah. Hal 128-135. dalam L. Soesanto (ed.). Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium. Porwokerto.
Yulianti, T. dan C. Suhara. 2010 . Patogenisitas Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, dan R. bataticola Dari Beberapa Sumber Inokulum Terhadap Kecambah Wijen (Sesamum indicum L.) www.e-jurnal.perpustakaan.ipb.ac.id. Diakses tanggal 15 Juli 2010.