• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIGRASI DAN PROSES INTERAKSI SOSIAL MIGRAN BATAK (Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru Cabang Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MIGRASI DAN PROSES INTERAKSI SOSIAL MIGRAN BATAK (Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru Cabang Bogor)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

MIGRASI DAN PROSES INTERAKSI SOSIAL MIGRAN

BATAK

(Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga

Dohot Boru Cabang Bogor)

Oleh :

MULIA SLAMAT SINAGA I34050069

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

ABSTRACT

This study is aimed to indentify some factors that encourages Batak migrant doing migration into Bogor City, analyze social interaction process that weaved by Batak migrant in Bogor City, analyze connection between social interaction process with migrant economic and social success. This study is conducted with survey method. The main motivation of Batak migrant doing migration is an economic motive. Batak migrant migrate to Bogor because they have a better economic chances compared to their native place, an opportunities to develop themself wide open as well, and comfotable environtment. These migrants participated in various organization as a form of adaptation in Bogor. Migrant adaptation proccess affect migrant social and economic success. In general, they optimist will have a better life in Bogor.

(3)

RINGKASAN

MULIA SLAMAT SINAGA. Migrasi dan Proses Interaksi Sosial Migran Batak

(Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga dohot Boru Cabang Bogor). Di bawah bimbingan DJUARA P. LUBIS.

Suku Batak adalah salah satu suku dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia. Orang Batak sangat banyak yang bermigrasi. Migrasi terjadi karena kesempatan untuk mengembangkan diri di daerah asal cukup terbatas, baik oleh faktor alam maupun ketersediaan insfrastruktur. Pembangunan yang tidak merata antara daerah dan kota, kesempatan memperoleh pendidikan, dan kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik di daerah tujuan. Hal tersebut menjadi pemicu tingginya mobilitas orang Batak. Mobilitas yang tinggi, semangat serta perasaan ingin tahu yang sangat besar menjadi salah satu faktor yang membuat suku Batak tersebar dimana-mana di Nusantara pun di luar negeri.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong migran Batak melakukan migrasi ke Kota Bogor, (2) menganalisis proses interaksi sosial yang dijalin oleh migran Batak di Kota Bogor, (3) menganalisis hubungan antara proses interaksi sosial dengan keberhasilan migran secara ekonomi dan sosial. Dengan diketahuinya ketiga komponen tersebut maka dapat memberikan gambaran migran Batak marga Sinaga dan proses adaptasi yang dijalani di Bogor.

Populasi yang menjadi subjek adalah keluarga migran Batak yang terdaftar di Parsadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru (PPTSB) cabang Bogor. Populasi diperoleh berdasarkan pencataan yang terdapat pada PPTSB cabang Bogor yang berjumlah 231 keluarga. Dengan menggunakan Rumus Slovin ukuran sampel yang diteliti adalah 70 keluarga. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan sampel random sederhana (simple random sampling). Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan diperoleh langsung dari responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui artikel, Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretariat Punguan Pomparan Toga Sinaga (PPTSB), penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan

(4)

dengan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara kepada responden. Wawancara dilakukan dengan panduan kuesioner yang disusun secara terstruktur. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis deskriptif, Uji Crosstabs, dan Uji Paired Sample t-tes.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa motivasi utama migran Batak dalam melakukan migrasi adalah motif ekonomi, yaitu keterbatasan untuk mengembangkan diri di daerah asal, keterbatasan untuk mengembangkan diri, keterbatasan lapangan pekerjaan. Faktor penarik dari daerah Bogor untuk dijadikan daerah tujuan migrasi adalah Bogor menjanjikan kehidupan ekonomi yang lebih baik dibanding daerah asal, kesempatan untuk mengembangkan diri juga terbuka luas, lingkungan yang nyaman, kualitas udara yang masih sejuk, masyarakat yang ramah sehingga membuat kehidupan lingkungan yang cukup nyaman bagi migran.

Setelah melakukan migrasi ke Bogor, migran memasuki berbagai kelembagaan. Banyaknya kelembagaan yang dimasuki migran sangat bervariasi, berkisar satu hingga lima kelembagaan. Setiap migran tergabung dalam minimal satu kelembagaan. Jenis kelembagaan yang dimasuki adalah organisasi marga, keagamaan, profesi, dan organisasi lingkungan.

Perubahan ekonomi dan sosial migran dari sebelum migrasi hingga awal migrasi rendah, tetapi dari mulai migrasi hingga penelitian berlangsung sudah meningkat lebih tinggi dan harapan kedepan akan terjadi lagi perubahan yang lebih tinggi lagi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa migran PPTSB sangat optimis untuk mencapai kondisi kehidupan ekonomi dan sosial yang lebih baik dimasa yang akan datang.

(5)

MIGRASI DAN PROSES INTERAKSI SOSIAL MIGRAN

BATAK

(Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga

Dohot Boru Cabang Bogor)

MULIA SLAMAT SINAGA I34050069

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini mengesahkan skripsi:

Nama Mahasiswa : Mulia Slamat Sinaga NIM : I34050069

Judul Skripsi : Migrasi dan Proses Interaksi Sosial Migran Batak (Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga dohot Boru Cabang Bogor)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Dosen Pembimbing

Dr. Ir Djuara P. Lubis, MS NIP 19600315 198503 1002

Mengetahui

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP 19550630 198103 1 003

(7)

LEMBAR PERNYATAAN

SAYA MENYATAKAN DENGAN SEBENAR-BENARNYA BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL MIGRASI DAN PROSES INTERAKSI SOSIAL MIGRAN BATAK (STUDI KASUS MIGRAN PARSADAAN POMPARAN TOGA SINAGA DOHOT BORU CABANG BOGOR) ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DENGAN ARAHAN DOSEN PEMBIMBING AKADEMIK, DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.

Bogor, Januari 2012

Mulia Slamat Sinaga I34050069

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Karesek pada 2 Februari 1987. Anak ketiga, dari pasangan suami istri M. Sinaga dan R. br. Limbong. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Simantin II, Simalungun Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Bintang Timur Pematang Siantar dan lulus pada tahun 2002. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Budi Mulia Pematang Siantar dan lulus pada tahun 2005.

Tahun 2005, Penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis kemudian memilih mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dan minor Pengembangan Usaha Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai staf divisi komunikasi dan informasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia periode 2007-2008, ketua OMDA Ikatan Mahasiswa Siantar Sekitarnya periode 2007-2008, anggota divisi Multimedia Himasiera (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) Institut Pertanian Bogor periode 2007-2009, BPC GMKI (Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Bogor periode 2008-2009.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “MIGRASI DAN PROSES INTERAKSI SOSIAL MIGRAN

BATAK (Studi Kasus Migran Parsadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru Cabang Bogor)”.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Papa dan Mama tercinta buat semua nasehatnya, Ramian, Junedi, Mr. Haloho, Dini, Abel, Demessi yang selalu setia menemani dengan doa, kasih sayang, perhatian, semangat dan motivasi yang begitu besar.

2. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS sebagai dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan, waktu, koreksi, pemikiran serta sarannya sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan dengan baik.

3. Sahabat-sahabatku: Sarah YT, HOD 333, KPMers, P43, Nelo’s Fam, dan Holmz yang selalu memberi dorongan dan motivasi yang begitu besar. 4. Teman-teman seperjuangan KPM 42 yang tidak dapat disebutkan satu

persatu atas kerjasamanya selama ini. Sahabat selamanya.... 5. Keluarga Besar PPTSB Cabang Bogor.

6. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama ini. God Bless You All.

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dibidang komunikasi dan pengembangan masyarakat. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.

Bogor, Januari 2012

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Migrasi ... 6

2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi ... 6

2.1.2 Proses Migrasi ... 8

2.1.3 Daerah Tujuan Migrasi ... 10

2.2 Motivasi ... 11

2.3 Interaksi Sosial ... 12

2.4 Konsep Kebudayaan ... 15

2.5 Kebudayaan Masyarakat Etnis Batak Toba ... 16

2.5.1 Sejarah Batak ... 16

2.5.2 Marga dan Sistem Kekerabatan ... 17

2.5.3 Dalihan Na Tolu ... 18

2.6 Kerangka Pemikiran ... 20

2.7 Hipotesis Penelitia ... 23

(11)

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 27

3.1 Metode Penelitian... 27

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.3 Metode Pengambilan Sampel ... 27

3.3.1 Populasi ... 27

3.3.2 Ukuran Sampel ... 28

3.4 Teknik Pemilihan Sampel ... 28

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 29

3.6.1 Analisis Deskriptif ... 29

3.6.2 Crosstabs ... 30

3.6.3 Paired Sample t-tes ... 30

BAB IV GAMBARAN UMUM PARSADAAN POMPARAN TOGA SINAGA DOHOT BORU (PPTSB) CABANG BOGOR DAN RESPONDEN PENELITIAN ... 32

4.1 Bogor Sebagai Daerah Tujuan Migrasi ... 32

4.2 Gambaran Umum PPTSB Cabang Bogor ... 33

4.3 Karakteristik Responden ... 34

4.3.1 Umur ... 34

4.3.2 Tingkat Pendidikan ... 34

4.3.3 Daerah Asal ... 35

4.3.4 Pekerjaan ... 36

BAB V FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK MIGRAN DAN KEHIDUPAN AWAL DI BOGOR ... 38

5.1 Faktor Pendorong Migrasi ... 38

5.1.1 Motivasi Ekonomi ... 39

5.1.2 Motivasi Pendidikan ... 39

5.2 Faktor Penarik Migrasi ... 40

5.3 Kehidupan Awal di Bogor ... 41

(12)

BAB VI PROSES SOSIAL MIGRAN DAN FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA ... 45

6.1 Proses Sosial ... 45

6.1.1 Jumlah Kelembagaan yang Dimasuki ... 46

6.1.2 Jenis Kelembagaan yang Dimasuki ... 46

6.1.3 Kegiatan-kegiatan yang Dilakukan Kelembagaan ... 47

6.1.4 Frekuensi Mengikuti Kegiatan... 49

6.1.5 Status dalam Kelembagaan yang Dimasuki ... 49

6.2 Faktor yang mempengaruhi Proses Sosial ... 50

6.2.1 Jenis Kelamin ... 50

6.2.2 Umur ... 53

6.2.3 Tingkat Pendidikan ... 55

6.2.4 Daerah Asal ... 58

6.3 Hubungan Motivasi Terhadap Proses Sosial ... 60

BAB VII KEBERHASILAN MIGRAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ... 62

7.1 Keberhasilan Sosial Dan Ekonomi ... 62

7.1.1 Keberhasilan Ekonomi ... 62

7.1.2 Keberhasilan Sosial ... 63

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

8.1 Kesimpulan ... 68

8.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Golongan Umur di PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 34 Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat

Pendidikannya di PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 35 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Daerah

Asalnya di PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 36 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Pekerjaan Utamanya di PPTSB Cabang Bogor Tahun

2011 ... 37 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang

Bogor Berdasarkan Faktor Pendorong Utama Migrasi

Tahun 2011 ... 38 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang

Bogor Berdasarkan Faktor Penarik Migrasi Tahun 2011... 40 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang

Bogor Berdasarkan Tempat Tinggal Pertama di Bogor

Tahun 2011 ... 43 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang

Bogor Berdasarkan Kunjungan ke Daerah Asal Tahun

2011 ... 43 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang

Bogor Berdasarkan Banyaknya Kelembagaan yang

Dimasuki Tahun 2011 ... 46 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden di PPTSB Cabang

Bogor Berdasarkan Frekuensi Mengikuti Kegiatan

(14)

Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah Organisasi yang Dimasukinya di PPTSB Cabang Bogor

Tahun 2011 ... 51 Tabel 12. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin dan Jenis

Organisasi yang Dimasukinya di PPTSB Cabang Bogor

Tahun 2011 ... 51 Tabel 13. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin dan

Frekuensi Mengikuti Kegiatan Organisasi yang

Dimasuki di PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 52 Tabel 14. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin dan Status

dalam Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang

Bogor Tahun 2011 ... 52 Tabel 15. Jumlah Responden Menurut Umur dan Jumlah

Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang Bogor

Tahun 2011 ... 53 Tabel 16. Jumlah responden Menurut Umur dan Jenis Organisasi

yang Dimasukinya di PPTSB Cabang Bogor Tahun

2011 ... 53 Tabel 17. Jumlah Responden Menurut Umur dan Frekuensi

Mengikuti Kegiatan Organisasi yang Dimasuki di

PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 54 Tabel 18. Jumlah Responden Menurut Umur dan Status dalam

Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang Bogor

Tahun 2011 ... 55 Tabel 19. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan

Jumlah Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang

Bogor Tahun 2011 ... 55 Tabel 20. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan

Jenis Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang

(15)

Tabel 21. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan Frekuensi Mengikuti Kegiatan Organisasi yang

Dimasuki di PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 57 Tabel 22. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan

Status dalam Organisasi yang Dimasuki di PPTSB

Cabang Bogor Tahun 2011 ... 57 Tabel 23. Jumlah Responden Menurut Daerah Asal dan Jumlah

Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang Bogor

Tahun 2011 ... 58 Tabel 24. Jumlah Responden Menurut Daerah Asal dan Jenis

Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang Bogor

Tahun 2011 ... 58 Tabel 25. Jumlah Responden Menurut Daerah Asal dan Frekuensi

Mengikuti Kegiatan Organisasi yang Dimasuki di

PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 59 Tabel 26. Jumlah Responden Menurut Daerah Asal dan Status

Dalam Organisasi yang Dimasuki di PPTSB Cabang

Bogor Tahun 2011 ... 60 Tabel 27. Hubungan Karakteristik Individu dengan Proses Sosial

Migran dengan Pengujian Menggunakan Chi-square

Test ... 60 Tabel 28. Jumlah Responden Menurut Perbedaan Perubahan Skor

Penilaiannya Terhadap Kondisi Ekonomi dan Kurun

Waktu di PPTSB Cabang Bogor Tahun 2011 ... 62 Tabel 29. Jumlah Responden Menurut Perbedaan Perubahan Skor

Penilaiannya Terhadap Partisipasi Mengikuti Kegiatan Adat dan Kurun Waktu di PPTSB Cabang Bogor Tahun

2011 ... 64 Tabel 30. Jumlah Responden Menurut Perbedaan Perubahan Skor

Penilaiannya Terhadap Partisipasi Mengikuti Kegiatan Lingkungan dan Kurun Waktu di PPTSB Cabang Bogor

(16)

Tabel 31. Jumlah Responden Menurut Perbedaan Perubahan Skor Penilaiannya Terhadap Partisipasi Mengikuti Kegiatan Parsahutaon dan Kurun Waktu di PPTSB Cabang

Bogor Tahun 2011 ... 65 Tabel 32. Jumlah Responden Menurut Perbedaan Perubahan Skor

Penilaiannya Terhadap Partisipasi Mengikuti Kegiatan Keagamaan dan Kurun Waktu di PPTSB Cabang Bogor

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar. 1 Kerangka Pemikan ... 22 Gambar. 2 Tangga Skala Perubahan ... 29 Gambar. 3 Sebaran Kelembagaan yang Dimasuki Responden PPTSB

Cabang Bogor, 2011... 47 Gambar. 4 Peranan dalam Kelembagaan yang Dimasuki Responden

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian untuk Responden ... 73 Lampiran 2. Chi-Square Tests

Karakteristik Individu dengan Proses Sosial ... 82 Lampiran 3. Paired Samples Correlations

Perubahan Skor Ekonomi Responden ... 88 Lampiran 4. Paired Samples Correlations Perubahan Skor Partisipasi

Mengikuti Kegiatan Adat Responden ... 88 Lampiran 5. Paired Samples Correlations Perubahan Skor Partisipasi

Mengikuti Kegiatan Lingkungan Responden ... 89 Lampiran 6. Paired Samples Correlations Perubahan Skor Partisipasi

Mengikuti Kegiatan Parsahutaon Responden ... 90 Lampiran 7. Paired Samples Correlations Perubahan Skor Partisipasi

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup luas dari Sabang sampai Merauke dan dari Mianggas hingga Pulau Rote. Indonesia memiliki tidak kurang dari 400 suku bangsa (Ritonga dkk, 1993). Suku bangsa tersebut terbagi atas berbagai agama, kepercayaan, tingkat ekonomi, latar belakang pendidikan, pengetahuan politik yang sangat berbeda-beda. Nilai-nilai budaya yang terdapat pada masing-masing komunitas menjadi penanda identitas dan penjaga nilai-nilai serta pemersatu antar satu dengan yang lain. Salah satu kekayaan sosial kultural Indonesia adalah Suku Batak.

Suku Batak adalah salah satu suku dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008, “Batak” mempunyai arti petualang, pengembara, sedang “membatak” berarti berpetualang, pergi mengembara. Orang Batak sangat suka mengembara. Mobilitas yang tinggi dan semangat serta perasaan ingin tahu yang sangat besar menjadi salah satu faktor yang membuat suku ini tersebar dimana-mana di Nusantara pun di luar negeri (Naim, 1979).

Riwayat migrasi sudah setua riwayat manusia. Orang mungkin bermigrasi karena terpaksa, diatur atau tidak diatur, berkelompok atau secara perorangan. Sebagai pendorong mungkin keadaan alam (termasuk bencana alam), keadaan politik, keadaan ekonomi atau kelangkaan berbagai fasilitas. Walaupun dalam keputusan bermigrasi berbagai faktor mempengaruhi, secara umum kiranya faktor ekonomi dapat dianggap dominan. Faktor psikologi sosial jelas mengambil bagian pula karena tindakan ini menyangkut suatu pengambilan keputusan yang penting bagi seseorang atau keluarga yang bersangkutan. Bermigrasi sering merupakan keputusan yang begitu penting karena dapat merubah jalan hidup seseorang atau juga kelompok dan keturunan mereka secara fundamental (Singarimbun, 1979

dalam Naim, 1979).

Migrasi terjadi karena kesempatan untuk mengembangkan diri di daerah asal cukup terbatas, baik oleh faktor alam maupun ketersediaan insfrastruktur.

(20)

Pembangunan yang tidak merata antara daerah mereka dan kota, kesempatan memperoleh pendidikan, kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik di daerah tujuan, sehingga membuat mobilitas orang Batak cukup tinggi, salah satunya dengan merantau atau yang biasa disebut migrasi. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk secara geografis, spasial atau teroterial antara unit geografis, sehingga terjadi suatu perubahan tempat tinggal dari tempat tinggal ke tempat tujuan. Migrasi dilakukan dengan melewati batas administrasi suatu daerah atau wilayah dengan tujuan untuk mempertahankan atau memperbaiki kehidupan, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya (Rusli, 1995).

Menurut sensus 1930 suku bangsa Batak merupakan suku yang jumlah migrannya mencapai 15,3 persen dari jumlah penduduk yang bersuku Batak. Suku bangsa Batak yang terdata pada saat itu dan menempati urutan kedua secara persentase dalam hal migrasi penduduk pada suku-suku bangsa utama di Indonesia. Jumlah migran suku bangsa Batak mencapai 140.776 orang dari total 919.462 orang. Cunningham (1958) yang dikutip oleh Naim (1979) memperkirakan bahwa dalam periode tahun 1950-1956 terdapat seperempat juta orang Batak Toba yang bermigrasi ke Pesisir Timur Sumatera Utara. Sampai pada tahun 1960 lebih dari 1 juta orang Batak dari semua daerah di Tapanuli telah bermigrasi ke luar daerah Batak. Castles (1967) juga memperkirakan bahwa tahun 1961 terdapat kira-kira 29.000 orang Batak berdiam di Jakarta, 40.000 sampai 50.000, berada di Jawa (Naim, 1979).

Suku Batak juga tetap membawa budayanya ke daerah tujuan migrasi. Seperti yang disebutkan Siahaan (1982) yang dikutip oleh Daulay (2006) bahwa sekalipun di daerah rantau, suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Proses belajar kebudayaan yang dilakukan migran ini akan berpengaruh terhadap pola sikap, pola tindak dan pola sarana masyarakat migran itu sendiri maupun terhadap penduduk asli setempat, tanpa harus meninggalkan identitas sukunya dan tetap mempertahankan adat-istiadat mereka. Hal ini bisa terjadi karena orang Batak selalu memegang teguh prinsip dalihan na tolu. Dalihan na tolu, sebagai identitas orang Batak akan selalu dihayati kemanapun mereka tinggal, karena dalihan na tolu merupakan hakekat

(21)

interaksi orang Batak dengan lingkungan hidupnya yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Masyarakat dengan etnik tertentu yang melakukan migrasi ke suatu tempat dengan membawa budaya yang berbeda akan mengalami proses belajar kebudayaan, sehingga akan beradaptasi dan belajar menerima kebudayaan penduduk asli begitu juga sebaliknya. Kaum migran akan melakukan strategi untuk dapat beradaptasi di daerah tujuan guna mempertahankan kehidupan dan kelangsungan pekerjaannya. Berbagai macam strategi adaptasi dilakukan oleh berbagai macam kaum migran di daerah tujuannya. Strategi adaptasi yang dilakukan meliputi proses penyesuaian migran terhadap lingkungan sosial yang baru dan strategi adaptasi untuk mempertahankan atau memperbesar kondisi ekonomi (Sjahrir, 1995).

Masyarakat sebagai sistem sosial terbentuk karena adanya interaksi antar individu didalamnya. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial dimulai pada saat itu (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto, 1990).

Melihat realita dan fakta yang ada maka menjadi menarik untuk di kaji tentang “Migrasi dan Proses Interaksi Sosial Migran Batak Toba di Bogor”. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi, proses adaptasi di daerah tujuan dan bagaimana proses interaksi sosial yang terjadi pada migran dalam usaha untuk bertahan dan berhasil didaerah tujuan migrasi.

1.2 Perumusan Masalah

Sebagaimana diketahui bahwa fenomena mobilitas penduduk dari desa ke kota yang terjadi dewasa ini diakibatkan oleh peningkatan kesenjangan kondisi kehidupan antara desa dan kota. Sangat banyak faktor yang mendorong terjadinya migrasi. Hal tersebut juga berpengaruh pada suku Batak, sehingga sebagian masyarakatnya melakukan migrasi kedaerah-daerah yang dianggap menjanjikan. Suku Batak yang melakukan migrasi kedaerah tujuan mau tidak mau harus beradaptasi dengan kebudayaan dan penduduk daerah tujuan maupun dengan

(22)

sesama migran satu suku. Menjadi menarik untuk dikaji proses interaksi sosial yang terjadi pada migran Batak dan pengaruhnya terhadap kebudayaan migran yang terekam lewat perubahan pola sikap, pola tindakan dan kehidupan sosial.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:

1. Mengapa migran Batak melakukan migrasi ke Kota Bogor?

2. Bagaimana proses interaksi sosial yang dijalin oleh migran Batak di Kota Bogor?

3. Bagaimana hubungan antara proses interaksi sosial dengan keberhasilan migran secara ekonomi dan sosial?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk perumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong migran Batak melakukan

migrasi ke Kota Bogor.

2. Menganalisis proses interaksi sosial yang dijalin oleh migran Batak di Kota Bogor.

3. Menganalisis hubungan antara proses interaksi sosial dengan keberhasilan migran secara ekonomi dan sosial.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian mengenai migrasi dan proses interaksi sosial masyarakat migran Batak, dengan harapan akan berguna untuk:

1. Bahan literatur bagi pembaca atau peneliti yang mempunyai minat dan kajian ilmu yang sama sebagai sarana untuk menambah pengalaman dan pemahaman yang lebih seksama mengenai pola migrasi dan proses interaksi sosial migran suku Batak.

2. Memberikan gambaran faktual mengenai proses interaksi sosial migran Batak yang terjalin di Bogor.

3. Menjadi masukan bagi pihak-pihak tekait dalam rangka pemahaman interakasi sosial migran Batak dalam rangka pengembangan toleransi

(23)

didalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan harmonis.

4. Menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dalam merumuskan kebijakan dalam pengelolaan migrasi di Indonesia.

5. Sebagai literatur untuk seni bertahan hidup dan semangat kerjasama yang dapat pembaca terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Migrasi

Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population

mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang mengandung makna

gerak spasial, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 yang dikutip oleh Rusli, 1995). Di dalamnya termasuk gerak penduduk permanen maupun non-permanen. Defenisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik atau negara ataupun batas administrasi atau batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000).

2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi

Menurut Lee (1976) ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: (1) Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2) Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan, (3) Rintangan-rintangan yang menghambat, (4) Faktor-faktor pribadi. Di tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang untuk tetap tinggal, dan menarik orang luar untuk pindah ke tempat tersebut; dan sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut; dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalarn keputusan untuk migrasi. Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak seberapa beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu antara lain adalah mengenai jarak, walaupun rintangan "jarak" ini selalu ada, tidak selalu menjadi faktor penghalang. Rintangan-rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada orang-orang yang hendak pindah. Orang yang memandang rintangan-rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi ada juga yang memandang sebagai hal yang berat yang menghalangi orang untuk pindah. Faktor dalam pribadi mempunyai peranan penting karena faktor-faktor nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum merupakan faktor utama, karena pada akhirnya kembali

(25)

pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut, kepekaan pribadi dan kecerdasannnya.

Lebih lanjut Munir (1985) mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi dalam dua kelompok, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor-faktor pendorong yaitu faktor-faktor yang berasal dari daerah asal, contohnya :

a) Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya masih sulit diperoleh, seperti hasil tambang kayu dan bahan dari hasil pertanian.

b) Menyempitnya lapangan pekerjaan di daerah asal (misalnya: pedesaan) akibat masuknya teknologi yang menggunakan mesin-mesin (capital

intensive).

c) Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama dan suku di daerah asal.

d) Tidak cocok lagi dengan adat, budaya dan kepercayaan di tempat asal. e) Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa

mengembangkan karir pribadi.

f) Bencana alam, banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.

Sementara faktor penarik adalah faktor yang berasal dari daerah tujuan, contohnya:

a) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok.

b) Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. c) Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

d) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan misalnya: iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya. e) Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung.

f) Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik orang-orang dari desa atau kota kecil.

(26)

2.1.2 Proses Migrasi

Migrasi merupakan perpindahan yang memerlukan suatu proses dalam perjalanannya. Selain faktor eksternal berupa faktor pendorong dan fakor penarik, ada pula faktor internal dari dalam diri yang turut serta mempengaruhinya. Menurut Everett S. Lee yang dikutip oleh Munir (2000) ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: (1) Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, (2) Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan, (3) Rintangan-rintangan yang menghambat, (4) Faktor-faktor pribadi.

Motivasi migran dalam melakukan migrasi juga sangat dipengaruhi oleh nilai harapan yang ingin dicapai. De Jong dan Fawcet (1981) dalam Pane (2004) mengatakan bahwa sebagian besar para migran dalam proses pengambilan keputusan migrasi disebabkan oleh faktor-faktor individu dan rumah tangga, norma-norma sosial budaya, sifat perorangan, struktur perbedaan kesempatan antar daerah akan hal kegiatan ekonomi, status sosial harapan seperti penonjolan dalam masyarakat. Intensitas perilaku migrasi dipengaruhi oleh informasi positif dan negatif dari daerah tujuan, nilai harapan serta kendala yang dihadapi oleh setiap individu. Meningkatnya proses migrasi di suatu tempat juga dipengaruhi oleh eksistensi kerabat atau teman yang lebih dahulu bermigrasi kedaerah tujuan.

Faktor pribadi adalah dorongan dari dalam diri migran sendiri hingga sampai pada keputusan untuk melakukan migrasi. Faktor pribadi tersebut menyangkut umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan status perkawinan. Pada dasarnya keputusan individu melakukan migrasi membutuhkan pengakuan dari unit yang lebih tinggi, seperti keluarga dan masyarakat (Sumantri dkk, 2005).

Menurut Fierda (2007) migran Batak marga Aritonang yang melakukan migrasi ke Bogor dilandasi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Faktor pendorong yaitu kondisi daerah asal yang kurang mendukung untuk mendapatkan hamoraon (kekayaan), (2) faktor penarik dari kota Bogor yaitu adanya kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup melalui pendapatan lebih baik, dan (3) misi budayayang ingin dicapai untuk memperoleh hamoraon (kekayaan) melalui peningkatan pendaptan yang diperoleh.

(27)

untuk melakukan migrasi. Seperti hasil penelitian Purba dan Purba (1997)

sebagaimana dikutip oleh Fierda (2007) disebutkan ada empat faktor penyebab

perpindahan penduduk dari dataran tinggi Toba yaitu: (1) Faktor geografis, iklim dan kesuburan tanah. Topografi dataran tinggi Danau Toba menyebabkan hambatan dalam pengembangan usaha pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Musim kering yang membuat masyarakat terancam gagal panen yang dapat membawa pada bahaya kelaparan, (2) Faktor sosial dan demografi, yang dilatarbelakangi oleh dasar pemikiran orang Batak agraris tradisional “suka akan anak berarti suka akan tanah”. Pemikiran ini membuat terjadinya ledakan penduduk yang tidak bisa diimbangi dengan perluasan lahan. (3) Faktor pendidikan, orang Batak cenderung untuk memperoleh pendidikan formal, lalu meninggalkan kegiatan tradisional seperti bertani. (4) Faktor ekonomi, ketidakmampuan lahan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat mendorong orang Batak merantau kedaerah lain agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Tujuan lainnya adalah mencari penghidupan yang lebih mapan di daerah tujuan migrasi.

Kuroda (1965) dalam Ram (1989) mengemukakan bahwa sebab utama perpindahan adalah motif ekonomi walaupun tak jarang pula orang melakukan perpindahan karena alasan lain seperti politik, agama, dan penyakit. Perpindahan penduduk dari desa ke kota pada umumnya adalah untuk memperbaiki taraf hidup karena menurut mereka terdapat kesempatan kerja yang lebih banyak dan lebih baik. Demikian pula perpindahan penduduk dari suatu daerah kedaerah lain, karena da daerah asalnya kurang mungkin memperbaiki taraf hidup. Kekurang-mungkinan ini terutama disebabkan sudah berkurangnya sumber daya alam. Penelitian Mantra (1981) dalam Ram (1989) mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi seseorang untuk berpindah dan menetap di dalam dukuh. Kekuatan yang mendorong orang meninggalkan daerahnya timbul karena adanya perasaan ketidakpuasan penduduk dalam bidang pertanian, kurang kesempatan kerja, dan terbatasnya fasilitas pendidikan.

Hasil penelitian Batubara (2008) menyatakan bahwa faktor ekonomi dan sulitnya lapangan pekerjaan di daerah asal menjadi faktor pendorong utama perpindahan migran Jawa. Pada umumnya migran adalah keluarga petani yang

(28)

berlahan sempit di Pulau Jawa. Hasil panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Ketersediaan peluang kerja dan peluang berusaha dalam bidang pertanian (bidang perkebunan) di Desa Sidojadi merupakan faktor penarik bagi migran untuk pindah ke desa ini. Kehidupan di daerah tujuan migrasi diharapkan lebih baik daripada di daerah asal.

Motivasi migran Batak Mandailing dalam melakukan migrasi, di dorong oleh motif ekonomi, rendahnya pendapatan dan susahnya memperoleh pekerjaan di daerah asal karena terbatasnya lapangan pekerjaan. Selain itu motivasi yang mendorong migran untuk bermigrasi adalah karena dorongan atau ajakan dari kerabat dekat yang lebih dahulu berada di daerah tujuan dan yang terakhir karena ingin melanjutkan pendidikan (Fadhilah, 2007).

2.1.3 Daerah Tujuan Migrasi

Cunningham (1958) dalam Naim (1979) telah memperkirakan bahwa dalam periode tahun 1950-1956 terdapat seperempat juta orang Batak Toba yang bermigrasi ke Pesisir Timur Sumatera Utara. Sampai pada tahun 1960 lebih dari satu juta orang Batak dari semua daerah di Tapanuli telah bermigrasi ke luar daerah Batak. Pada awalnya daerah-daerah yang menjadi tujuan migrasi suku bangsa Batak Toba adalah daerah-daerah yang belum dihuni marga tertentu. Perpindahan yang seperti ini dapat dilihat dari sejarah nenek moyang orang Batak Toba yang hidup berpindah-pindah. Alasan lain adalah unutk memperluas daerah kekuasaan yang akhirnya memperbesar hasangaponnya, pihak yang kalah akan pergi mencari daerah baru.

Perpindahan masyarakat suku bangsa Batak ke Pulau Jawa juga menunjukkan jumlah yang cukup besar, seperti yang diperkirakan oleh Castles (1967) dalam Naim (1979) bahwa tahun 1961 terdapat kira-kira 29.000 orang Batak berdiam di Jakarta, 40.000 sampai 50.000, di antaranya berada di Jawa. Perpindahan etnis Batak ke Jakarta sudah terjadi sejak zaman kolonial. Tahun 1900-an kolonial banyak membawa penduduk untuk dijadikan pembantu di Batavia. Selain karena dibawa oleh kolonial juga karena kehendak sendiri untuk mencari kerja ataupun untuk melanjutkan pendidikan. Selain Jakarta, Provinsi Jawa Barat juga merupakan kota tujuan migran. Seperti data arus migrasi masuk

(29)

ke Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 yang dilansir oleh BPS, ada sebanyak 1.097.021 jiwa migran yang masuk ke Jawa Barat dalam kurun waktu 1995-2000. Dari total jumlah migran yang masuk tersebut, penduduk asal Sumatera Utara yang berdomisili di Jawa Barat berjumlah 43.890 orang (4 persen) dan itu menduduki peringkat kelima dari seluruh penduduk provinsi lain yang kini berdomisili di Jawa Barat.

2.2 Motivasi

Menurut Berelson dan Steiner (1964) dalam Yulianto (1993), motivasi berasal dari kata motive yang berarti suatu perkataan batin yang berwujud daya kekuatan untuk bertindak dan bergerak baik secara langsung atau melalui saluran perilaku yang mengarah terhadap sasaran. Dari kata dasar motive ini lahirlah kata “motivasi” yang berarti dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk berbuat dalam rangka mencapai tujuannya. Motivasi juga diartikan sebagai dorongan kehendak yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan pada diri individu untuk berbuat atau bertindak atau menimbulkan tingkah laku bermotivasi (Fadillah dalam Mugniesyah, 2003). Motivasi adalah semua hal (verbal, fisik, psikologis) yang membuat seseorang melakukan sesuatu sebagai respon (Stevenson, 2001). Menurut Sudarsono (1997) motivasi adalah tenaga yang mendorong seeorang untuk berbuat.

Motivasi merupakan dorongan, hasrat bahkan kebutuhan karena motivasi merupakan latar belakang yang melandasi tingkah laku manusia. Motivasi migran dalam melakukan migrasi juga sangat dipengaruhi oleh nilai harapan yang ingin dicapai. De Jong dan Fawcet (1981) yang dikutip oleh Pane (2004) mengatakan bahwa sebagian besar para migran dalam proses pengambilan keputusan migrasi disebabkan oleh faktor-faktor individu dan rumah tangga, norma-norma sosial budaya, sifat perorangan, struktur perbedaan kesempatan antar daerah akan hal kegiatan ekonomi, status sosial harapan seperti penonjolan dalam masyarakat. Intensitas perilaku migrasi dipengaruhi oleh informasi positif dan negatif dari daerah tujuan, nilai harapan serta kendala yang dihadapi oleh setiap individu. Meningkatnya proses migrasi di suatu tempat juga dipengaruhi oleh eksistensi keluarga atau teman yang lebih dahulu bermigrasi kedaerah tujuan.

(30)

2.3 Interaksi Sosial

Interaksi Sosial adalah titik awal terjadinya peristiwa sosial. Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (1990), Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antar perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang saling bertemu maka interaksi antara mereka berdua telah terjadi. Aktivitas-aktivitas semacam ini merupakan bentuk interaksi sosial. Akibat adanya interaksi antar orang, kelompok, ataupun orang dan kelompok akan menimbulkan pesan dalam pikiran seseorang yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya terhadap seseorang.

Menurut Giliin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (1990), ada dua macam proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial. Proses yang assosiatif yang terbagi kedalam tiga bentuk yaitu: akomodasi, asimilasi, dan akulturasi. Proses disosiatif yang mencakup persaingan dan persaingan yang meliputi kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict).

Akomodasi adalah suatu keadaan keseimbangan atau usaha-usaha mengakhiri pertikaian secara permanen atau sementara diantara pihak-pihak yang berkonflik. Sebagai hasil interaksi sosial, akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dimana terdapat keseimbangan baru setelah pihak-pihak yang berkonflik berbaikan kembali (Soekanto, 1990).

Asimilasi adalah proses sosial yang ditandai dengan usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat diantara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia, mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau masyarakat, maka tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai orang asing (Soekanto, 1990).

Akulturasi diartikan sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadiaan kebudayaan itu. Proses sosial yang

(31)

menjauhkan/mempertentangkan (dissosiatif) diperinci sebagai berikut:

(1) Persaingan adalah suatu proses sosial dimana dua orang atau lebih berjuang dengan bersaing satu sama lain untuk memiliki atau mempergunakan barang-barang yang berbentuk material atau bukan material. Di dalam persaingan tidak ada unsur ancaman atau kekerasan, tidak ada intrik atau saling curiga. Masing-masing pesaing punya jalur sendiri, seperti peserta lomba renang memiliki jalur masing-masing. (2) Kontravensi adalah bentuk antara persaingan dan konflik. Dalam kontravensi ada unsur intrik, misalnya fitnah. Kontravensi ditandai dengan gejala-gejala ketidakpastian mengenai diri seseorang, atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian terhadap pribadi seseorang (Soekanto, 1990).

Konflik adalah proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lain atau lawan berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain atau lawan dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto, 1990).

Menurut Kontjaraningrat (1990) migrasi tentu menyebabkan pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, dan akibatnya ialah individu-individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan kebudayaan asing.

Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (1990) mengatakan bahwa interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial terjadi pada pada saat itu. Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: (1) Adanya kontak sosial (social contact), dan (2) Adanya komunikasi. Kontak sosial sebagai gejala tidaklah selalu berarti hubungan badaniah. Dengan perkembangan teknologi dewasa ini seseorang berhubungan dengan orang lain tanpa menyentuhnya, seperti berbicara dengan orang lain

(32)

melalui telepon, surat, radio dan seterusnya yang tidak memerlukan hubungan badaniah. Bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak.

Menurut Soekanto (1990), ada tiga bentuk-bentuk interaksi sosial, yaitu: kerjasama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Suatu pertikaian mungkin mendapatkan suatu penyelesaian. Mungkin juga penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, proses mana dinamakan akomodasi (accommodation) dan hal ini berarti bahwa kedua belah pihak belum tentu puas sepenuhnya.

Homans dalam Ali (2004) mendefisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.

Shaw dalam Ali (2004) mendefinisikan bahwa interaksi adalah suatu pertukaran antar pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku mempengaruhi satu sama lain.

Penelitian Utomo (2005) menyimpulkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi yang signifikan antara siswa yang menjadi pengurus OSIS dan siswa yang bukan pengurus OSIS di SMU Yayasan Pendidikan Ekonomi Semarang tahun ajaran 2004-2005.

Hasil penelitian Wibisono (2004) menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara interaksi remaja dalam peer group dengan keputusan remaja remaja pada siswa kelas I, II, dan III SMU Unggulan Nurul Islami. Hal ini menunjukkan bahwa didalam pengambilan keputusan para remaja dipengaruhi oleh interaksinya dengan peer group atau kelompok teman sebaya. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan oang lain sehingga manusia pasti hidup berkelompok.

(33)

Pada penelitian terdahulu hubungan sosial ekonomi yang terjalin pada masyarakat migran Batak Toba yang bekerja pada usaha tambal ban di DKI Jakarta, sangat berbeda dengan yang terjadi dengan migran Batak Mandailing. Migran Batak Toba saling membantu setiap kerabatnya tanpa membedakan bentuk bantuan yang diberikan pada hula-hula, dongan sabutuha, boru dalam sistim adat Dalihan Na Tolu. Semuanya sama disebut kerabat. Bentuk bantuan yang diberikan keluarga yang lebih dulu berada di DKI Jakarta merupakan wujud tanggung jawab mereka terhadap migran yang baru datang dari daerah asal. Bentuk bantuan dari kalangan keluarga seperti itu, disamping menunjukkan bahwa migran masih mempunyai hubungan pribadi, sekaligus menunjukkan pula “bantuan berantai” dimana yang mampu akan membantu yang lemah, demikian pula yang lemah apabila sudah kuat akan membantu yang lemah lainnya atau sanak saudaranya yang masih berada di daerah asal dan memerlukan pekerjaan sehingga tercipta pola pemberi bantuan oleh migran terdahulu kepada migran selanjutnya sebagai suatu kesinambungan (Fadhilah, 2007).

2.4 Konsep Kebudayaan

Konsep yang penting dalam proses belajar kebudayaan oleh masyarakat adalah internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Internalisasi merupakan proses panjang sejak seseorang individu dilahirkan menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat nafsu, semua emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Seorang individu dalam proses ini dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam peranan sosial yang ada (Fathoni, 2005).

Ihromi (1999) memberikan tiga anggapan dasar mengenai kebudayaan, yaitu:

a. Kebudayaan dapat disesuaikan, karena jika sifat-sifat budaya tidak disesuaikan dengan lingkungan tertentu, kemungkinan masyarakat tersebut dapat bertahan kecil.

b. Kebudayaan merupakan suatu integrasi yang berarti unsur-unsur atau sifat-sifat yang terpadu menjadi suatu kebudayaan bukan sebuah kebiasaan yang

(34)

terkumpul secara acak, dan kebudayaan yang unsur-unsurnya bertentangan satu sama lain, sukar atau bahkan mustahil untuk dipertahankan.

c. Kebudayaan selalu berubah, tanpa adanya gangguan dari masuknya budaya asingpun, kebudayaan bersifat statis.

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar-manusia dan sebagai wadah segenap perasaan manusia.

2.5 Kebudayaan Masyarakat Etnis Batak Toba 2.5.1 Sejarah Batak

Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat Batak terutama dari para tetua orang Batak Toba bahwa suku bangsa Batak berasal dari dua orang anak manusia ciptaan Mulajadi Nabolon yang dinamakan Siraja Ihatmanisia (laki-laki) dan Siboru Ihatmanisia (wanita). Siraja Ihatmanisia mempunyai tiga orang anak, salah satunya bernama Raja Miokmiok. Raja Miokmiok memiliki anak yang bernama Engbanua dan Engbanua mempunyai seorang anak bernama Raja Bonangbonang. Raja Bonangbonang mempunyai tiga orang anak bernama Guru Tantan Debata, Si Asi dan Si Jau (tidak diketahui identitasnya). Guru Tantan Debata mempunyai seorang anak bernama Siraja Batak. Siraja Batak mempunyai dua orang anak bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Pada Generasi berikutnya Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang anak laki-laki bernama Siraja Biakbiak, Tuan Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja, Malauraja, dan tiga anak perempuan bernama Siboru Pareme, Siboru Anting Sabungan, dan Siboru Biding Laut. Tuan Sariburaja melakukan kawin sumbang (incest) dengan

ibotonya (adik perempuannya) Siboru Pareme dan mempunyai tiga orang anak

bernama Siraja Lontung, Siraja Borbor dan Babiat (Hutagalung, 1926 dalam Purba dan Purba, 1997).

Batak Toba adalah sub suku Batak. Sub suku Batak Toba mendiami wilayah meliputi daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Silindung, daerah Pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran (Siahaan, 1982 dalam Daulay, 2006). Cara hidup keluarga Batak Toba adalah komunal. Hidup dengan cara kekeluargaan dilaksanakan bersama atas pimpinan dan tanggung jawab ayah.

(35)

Dalihan na tolu sebagai nilai budaya suku Batak dapat menghimpun kekerabatan,

baik dilihat dari sudut etnis, keluarga semarga maupun keluarga dari anak laki dan anak perempuan, termasuk kelompok keluarga berdasarkan tempat tinggal (Rajamarpodang, 1992).

2.5.2 Marga dan Sistem Kekerabatan

Pada awalnya nama-nama yang dimliki kakek moyang orang Batak belum merupakan marga. Hubungan sumbang yang terjadi dalam suatu alur keturunan telah mengakibatkan pecahnya hubungan saudara, haha-anggi-iboto. Pada generasi berikutnya barulah muncul istilah marga (Purba dan Purba, 1997). Terbentuknya marga tidak boleh dinilai sebagai sekedar sabagai lahirnya unsur baru, tetapi memasukkan pembaharuan kedalam masyarakat dan kebudayaannya. Perkawinan bukan hanya bertujuan untuk membentuk rumah tangga baru dan pisah rumah dari orangtua, tetapi sebagai sarana untuk mengabadikan marga dari kakek moyangnya.

Menurut Hutagalung (1961) dalam Purba dan Purba (1997) marga berasal dari bahasa sansekerta yaitu warga yang diartikan dengan keluarga, sekaum, satu keturunan yang dalam bahasa Batak dinamakan dengan Sabutuha. Selanjutnya disebutkan, terjadinya marga-marga disebabkan dua hal. Pertama, marga terjadi menurut wilayah kedudukan (parjuguk) yang disebut secara etnologie teritorial dan kedua menurut kelompok keturunan. Dari kedua hal tersebut, yang lebih menonjol bagi suku bangsa Batak Toba adalah garis menurut keturunan (genealogi).

Lahirnya suatu ikatan melalui marga menunjukkan bahwa warga masyarakat dapat dikelompokkan dalam kelompok yang memakai nama kakeknya atau nama orangtuanya sebagai induk satuan kelompok. Dilihat dari sejarah terjadinya, fungsi marga tersebut sangat besar artinya dalam hubungan masyarakat Batak, seperti yang dikatakan Hutagalung (1961) dalam Purba dan Purba (1997) selain berfungsi untuk mengatur, diantaranya agar jangan terjadi perkawinan sedarah, marga juga berfungsi untuk mengatur hubungan-hubungan antara berbagai pihak sebagai akibat kompleksnya hubungan diantara keturunan serta untuk mengurangi konflik dan hal negatif lainnya.

(36)

Dalam praktiknya, hubungan sosial ditinjau dari fungsi marga pada suku Batak Toba dikenal tiga pihak yang selalu berkomunikasi. Pihak pertama disebut “sedarah, sekaum, sabutuha” atau sering disebut “semarga” atau dongan

sabutuha. Kedua adalah pihak keluarga atau marga dari istri yang disebut “paman, hula-hula”, dan ketiga adalah golongan suami dari anak perempuan atau menantu

laki-laki yang disebut “parboruon”. Ketiga pihak diatas merupakan keturunan dari seorang kakek bersama dan merayakan berbagai upacara kekerabatan secara bersama merupakan unsur dalihan na tolu (Simatupang, 1986 dalam Purba dan Purba, 1997). Dengan adanya marga akan memudahkan untuk saling mengenal hubungan dan kedudukan masing-masing pihak. Pada suku Batak yang baru berkenalan biasanya akan saling menanyakan marga, atau dalam bahasa Batak disebut dengan martutur. Hubungan antara semarga adalah hubungan antara abang adik yakni warga yang paling tua dan yang paling muda. Mereka mendapat hak sesuai dengan aturannya dan ini sering disebut dengan manat mardongan

tubu. Pihak paman dan mertua merupakan hubungan yang paling tinggi bagi

orang Batak Toba. Penghormatan terhadap mereka dinilai sebagai Debata na

niida, karena berkat dari pihak hula-hula dinilai paling tinggi sehingga dibuat

aturan dengan somba marhula-hula. Hubungan kepada pihak anak perempuan yaitu pihak boru merupakan pembantu bagi pihak mertua atau paman dalam waktu senang maupun susah sehingga dibuat aturan dengan ungkapan elek

marboru. Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari dalihan na tolu yang sangat

kental pada budaya Batak.

2.5.3 Dalihan Na Tolu

Harahap (2008) dalam paparannya menyebutkan dalihan na tolu merupakan konsep dasar kebudayaan masyarakat Batak yang sifatnya sangat unik. Dalihan na

tolu pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang

disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan, yaitu dongan tubu (pihak “kawan semarga”), hula-hula (pihak “pemberi perempuan”) dan boru (pihak “penerima perempuan”). Sebab itu

(37)

dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat

dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak. Pada zaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di tanah Batak, kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan

tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain

keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan

partubu jumonok dongan parhundul.

Jika diperhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na

jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa

boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk). Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-lembut agar tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hulanya. Namun sebaliknya, bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai

mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah

(somba marhula-hula) (Harahap, 2008).

Dalihan na tolu merupakan suatu bentuk kebudayaan masyarakat Batak

yang mengatur kekerabatan antar individu. Dalihan na tolu merupakan salah satu dan merupakan nilai utama dari inti budaya suku Batak (Daulay, 2006). Dihubungkan dengan status dan peranan etnis Batak Toba yang berlaku dalam kebudayaannya, pada hakekatnya ketiga unsur kekerabatan dalihan na tolu masing-masing membawa sifat khusus (Sihombing, 1986), antara lain:

1) Unsur pertama: Dongan Sabutuha (teman semarga). Untuk dongan

(38)

sabutuha”, karena tidak bisa berpindah-pindah marga, sekalipun

bermusuhan dengan banyak teman semarga.

2) Unsur kedua: Hula-hula (pihak pemberi istri). Filsafat Batak mengenai

hula-hula berbunyi: “sigaton na marlailai do na marhula-hula”. Artinya:

serupa dengan anak ayam yang waktu menentukan jenis kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Harus dipelajari hula-hula bagaimana sifat-sifat serta kemauannya dan hasilnya dipakai sebagai pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka.

3) Unsur ketiga adalah: ”boru” (pihak penerima istri). Boru terbagi menjadi dua yaitu Hela (suami putri ego) dan Bere (anak saudara perempuan ego). Filsafat mengenai “boru” berbunyi “bungkulan do boru”, yang berarti kalau ada perselisihan dengan hula-hula yang membuat keretakan diantara mereka, maka pihak boru yang berkewajiban menghilangkan keretakan itu agar mereka kembali kompak dan bersatu. Boru berkewajiban menolong “hula-hula” nya dalam segala hal, terlebih dalam pekerjaan upacara adat. Tiga tiang tungku mewakili tiga unsur kekerabatan dalam masyarakat Batak, yaitu dongan sabutuha atau suhut, hula-hula serta boru. Dalam kekerabatan suku Batak, suhut, hula-hula, dan boru masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab serta kedudukannya saat pelaksanaan adat. Pada suatu saat, seseorang dapat dikatakan boru namun pada kejadian yang lain ia dapat menjadi suhut atau hula-hula. Marga dalam hal ini berperan dalam menentukan kedudukan seseorang dalam upacara adat (Rajamarpodang, 1992).

2.6 Kerangka Pemikiran

Setiap hal yang dilakukan oleh manusia pasti mempunyai latar belakang yang menjadikannya melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan proses migrasi dan interaksi sosial pasti dilatarbelakangi oleh suatau motivasi yang mendorong individu melakukan hal tersebut. Motivasi bermigrasi merupakan dorongan, hasrat bahkan kebutuhan yang merupakan latar belakang yang melandasi migran untuk mencapai harapan yang ingin dicapai di daerah tujuan migrasi. Migran melakukan migrasi diantaranya dilatarbelakangi oleh motivasi ekonomi maupun motivasi sosial agar kualitas hidupnya lebih tinggi dari yang

(39)

sebelumnya. Selain motif ekonomi dan motif sosial, karakteristik individu juga sangat mempengaruhi individu dalam melakukan migrasi. Karakteristik individu dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, daerah asal, pekerjaan.

Karakteristik individu dan motivasi migran dalam melakukan migrasi akan sangat mempengaruhi yang bersangkutan untuk melakukan interaksi individu di komunitas migran tinggal. Kemampuan migran dalam melakukan interaksi akan menentukan interaksi sosial yang akan dilakoninya, baik itu jumlah, jenis, kegitan-kegiatan dan status pada organisasi yang dipilihnya untuk terlibat sebagai upaya memperluas jaringan sosialnya demi tercapainya keberhasilan ekonomi pun sosial si migran.

Interaksi sosial yang dilakukan individu pada masyarakat dapat dilakukan lewat berbagai cara. Memasuki sebuah organisasi adalah salah satu diantaranya. Pada penelitian kali ini interaksi sosial yang akan didalami meliputi jumlah organisasi yang dimasuki, jenis organisasi yang dimasuki, kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi yang dimasuki, frekuensi mengikuti kegiatan organisasi, status dalam organisasi yang dimasuki. Pada organisasi yang dimasuki ini, individu akan memutuskan langkah-langkah yang harus di lakukan untuk mencapai tujuannya dalam melakukan interaksi. Interaksi sosial yang dilakukan migran akan berperan penting dalam meningkatkan keberhasilan migran secara ekonomi maupun sosial dari sebelumnya yang telah migran capai. Secara ringkas, hubungan variable-variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

(40)

Gambar 1. Kerangka pemikiran Keterangan : Mempengaruhi Motivasi Bermigrasi  Faktor pendorong  Faktor penarik Proses Sosial

 Jumlah kelembagaan yang dimasuki  Jenis kelembagaan yang dimasuki  Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

kelembagaan

 Frekuensi mengikuti kegiatan  Status dalam kelembagaan yang

dimasuki Karakteristik Individu  Jenis kelamin  Umur  Tingkat pendidikan  Daerah asal  Pekerjaan Keberhasilan  Ekonomi  Sosial

(41)

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas dan untuk mengungkap fenomena pola migrasi dan proses interaksi sosial migran Batak sehingga dapat bertahan hidup didaerah tujuan migrasi, maka disusunlah beberapa hipotesa kerja yang merupakan pedoman untuk mendapatkan temuan-temuan pada studi ini. Adapun hipotesa yang diajukan adalah:

1. Motivasi bermigrasi mempengaruhi proses interaksi sosial yang terjalin pada migran Batak.

2. Karakteristik individu mempengaruhi proses interaksi sosial yang terjalin pada migran Batak.

3. Proses interaksi sosial yang terjadi pada migran suku Batak mempengaruhi keberhasilan migran baik secara ekonomi maupun sosial di daerah migrasi.

(42)

2.8 Definisi Operasional

1. Jenis kelamin adalah perbedaan secara biologis responden yang dikategorikan atas laki-laki dan perempuan

a. Perempuan diberi kode 1 b. Laki-laki diberi kode 2

2. Umur adalah lama hidup responden saat pertama kali melakukan migrasi dan pada saat penelitian berlangsung yang diukur dalam satuan waktu. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, usia responden dalam penelitian dikategorikan menjadi dua tingkatan, yaitu:

a. Muda apabila Usia 26-40 tahun b. Tua apabila Usia >40 tahun

3. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti migran pada saat pertama kali bermigrasi dan saat penelitian berlangsung. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi empat tingkatan, yaitu:

a. SD/sederajat diberi skor 1 b. SMP /sederajat diberi skor 2 c. SMU/sederajat diberi skor 3 d. Perguruan Tinggi diberi skor 4

4. Daerah asal adalah lokasi responden ketika dilahirkan. Daerah asal responden digolongkan menjadi dua kategori yang meliputi

a. Di Sumatera Utara diberi kode 1 b. Di luar Sumatera Utara diberi kode 2

5. Jumlah organisasi yang dimasuki adalah banyaknya organisasi yang diikuti oleh migran dan terdaftar sebagai anggota. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, jumlah organisasi yang dimasuki dalam penelitian dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Rendah apabila jumlah organisasi yang dimasuki sebanyak ≤ 1 b. Sedang apabila jumlah organisasi yang dimasuki sebanyak 2-3 c. Tinggi apabila jumlah organisasi yang dimasuki sebanyak > 3

(43)

6. Jenis organisasi yang dimasuki adalah basis organisasi perkumpulan yang diikuti oleh migran. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, jenis organisasi yang dimasuki dalam penelitian dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:

a. Organisasi marga b. Organisasi profesi c. Organisasi keagamaan d. Organisasi lingkungan

7. Kegiatan-kegiatan organisasi yang dimasuki adalah program kerja yang dilakukan organisasi. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, kegiatan-kegiatan organisasi yang dimasuki migran dalam organisasi masyarakat dalam penelitian dikategorikan menjadi empat kegiatan, yaitu:

a. Arisan diberi kode 1 b. Bakti sosial diberi kode 2 c. Seminar diberi kode 3

d. Pelatihan-pelatihan diberi kode 4

8. Frekuensi mengikuti kegiatan yaitu jumlah banyaknya kegiatan yang diikuti oleh migran dalam satuan waktu yang ditetapkan. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, frekuensi migran mengikuti kegiatan dalam penelitian dikategorikan atas:

a. Rendah apabila dalam sebulan terakhir frekuensi mengikuti kegiatan 1-2 b. Sedang apabila dalam sebulan terakhir frekuensi mengikuti kegiatan 3-4 c. Tinggi apabila dalam sebulan terakhir frekuensi mengikuti kegiatan >5 9. Status dalam organisasi yang dimasuki yaitu kedudukan atau posisi migran

dalam struktur organisasi. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, status migran dalam organisasi yang dimasuki dalam penelitian dikategorikan atas:

a. Pembina organisasi diberi kode 1

b. Pengurus harian organisasi diberi kode 2 c. Anggota biasa organisasi diberi kode 3

(44)

10. Pekerjaan yaitu profesi yang dijalankan oleh migran ketika penelitian berlangsung. Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner, pekerjaan dalam penelitian dikategorikan menjadi tiga yaitu:

a. Pegawai negeri sipil b. Pegawai swasta c. Wirausaha

11. Keberhasilan adalah pencapaian-pencapaian yang telah dicapai oleh migran dalam kurun waktu tertentu di daerah migrasi. Keberhasilan ini dikategorikan menjadi:

a. Keberhasilan ekonomi

Keberhasilan ekonomi adalah penilaian responden terhadap kondisi ekonomi yang diukur dengan menggunakan skala 1-10. Keberhasilan ekonomi yang diukur meliputi keberhasilan ekonomi pada saat sebelum melakukan migrasi, pada saat awal migrasi, pada saat penelitian berlangsung dan harapan lima tahun yang akan datang.

b. Keberhasilan Sosial

Kemampuan responden untuk aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Kegiatan sosial yang dimaksud adalah mengikuti acara adat, mengikuti kegiatan keagamaan, mengikuti kegiatan kumpulan marga, dan mengikuti kegiatan lingkungan.

Gambar

Tabel 1.    Jumlah  dan  Persentase  Responden  Berdasarkan
Tabel 11.   Jumlah  Responden  Menurut  Jenis  Kelamin  dan  Jumlah  Organisasi  yang Dimasukinya di PPTSB Cabang Bogor
Tabel 21.   Jumlah  Responden  Menurut  Tingkat    Pendidikan  dan    Frekuensi  Mengikuti  Kegiatan  Organisasi  yang
Tabel 31.  Jumlah  Responden  Menurut  Perbedaan  Perubahan  Skor  Penilaiannya  Terhadap  Partisipasi  Mengikuti  Kegiatan  Parsahutaon  dan  Kurun  Waktu  di  PPTSB  Cabang
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan prestasi akademik pada anak Sekolah Menengah Pertama Santo Thomas

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi diantaranya bibit unggul yang belum tersebar merata dan adanya pola pikir masyarakat Indonesia terhadap tanaman

ceramah sebagai metode utama dan sering dilakukan. Gaya mengajar guru yang sering digunakan oleh guru di SMP Negeri 8 Palu adalah gaya mengajar klasik. Gaya mengajar ini

mempengaruhi corak dan pelakanaan proyek-proyek pembangunan oleh masyarakat atas dasar pandangan yang menguntungkan bagi perbaikan kehidupan mereka, peningkatan

BATUBARA DAN NUKLIR. Penelitian inl mengkaji hasil-hasil studi perbandingan risiko dalam pembangkitan listiik yang pemah dilakukani terutama terhadap jenis pembangkit

Pada unadjusted ternyata kemungkinan untuk keberhasilan penanganan abortus inkomplit yang Puskesmas PONED lengkap lebih besar 3,8 kali dibandingkan dengan Puskesmas PONED

INDUSTRI RUMAH TANGGA PENGOLAHAM BANDENG ASAP D l KABUPATEN SIDOARJO, PROPlNSl JAWA