• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN PELAKSANAAN

LANDREFOM DARI BAWAH (BY LEVERAGE)

5.1. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Banjaranyar II

Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Banjaranyar (khususnya OTL Banjaranyar II) tidak bisa dilepaskan dengan hubungan antar subyek-subyek agraria yang ada di sana. Hubungan ini kemudian akan mempengaruhi pola penguasaan tanahnya, seperti sejarah penguasaan tanah di OTL Banjaranyar II, sistem produksi dan kelembagaannya, dan juga terkait dengan berbagai pihak yang ada di OTL tersebut serta kepentingan-kepentingan yang dibawanya.

Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas, subyek agraria di OTL Banjaranyar II dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (masyarakat lokal), pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis – BPN Ciamis), dan pihak swasta (PT. Mulya Asli). Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam hubungan ini terdapat pihak lain yang ikut terlibat, antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai wadah organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya. Lingkup hubungan agraria yang terjadi di OTL Banjaranyar II, dapat dilihat dari gambar berikut ini:

(2)

Gambar 5.1. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Keterangan:

Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria

Untuk kasus OTL Banjaranyar II ini, hubungan antar subyek dimulai ketika PT. Mulya Asli akan memperpanjang HGU-nya. Namun di tempat itu telah terjadi penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat anggota OTL. Disini pihak pemerintah (BPN) menengahi dengan pemberian Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). 5.1.1. Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan

Awalnya, tanah-tanah di daerah ini merupakan daerah perkebunan dan kehutanan. Salah satu perusahaan yang mengusahakan tanah di desa ini adalah PT. Mulya Asli. Komoditi yang diusahakan oleh PT. Mulya Asli ini adalah komoditas karet. Namun seiring dengan berjalannya waktu perusahaan tidak memanfaatkan tanah yang dikuasainya secara optimal. Di lain pihak masyarakat sekitar membutuhkan tanah untuk menopang kehidupannya, oleh karena itu terjadilah reklaiming10 yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap tanah perkebunan.

Riwayat penguasaan tanah di Desa Banjaranyar dapat dijelaskan bahwa di Desa Banjaranyar terdapat tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang terdaftar atas nama PT

10

Awalnya dalam Penelitian ini digunakan istilah Okupasi namun pada saat penelitian dilakukan muncul keberatan dari para Pendamping SPP. Mereka lebih senang jika istilah Reklaiming digunakan disana. Sebenarnya makna Okupasi dan Reklaiming ini tidak jauh berbeda, jika Okupasi dimaknai sebagai perebutan lahan /penggunaan lahan secara tidak sah, sedangkan reklaiming dimaknai sebagai perebutan “kembali” tanah yang mereka miliki dari pihak lain – dalam hal ini pihak perkebunan.

Pemerintah

Masyarakat PT. Mulya Asli

(3)

Mulya Asli dikenal dengan nama Hak Guna Usaha Nomor 2 Cigayam, yang telah berakhir masa berlakunya. Namun dalam proses perpanjangan HGU, ternyata di dalam tanah perkebunan tersebut telah terjadi penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan adanya penggarapan tersebut maka upaya PT. Mulya Asli untuk mengajukan perpanjangan HGU mengalami kendala. Untuk mempermudah proses perpanjangan HGU tersebut akhirnya PT. Mulya Asli tidak keberatan untuk mepaskan tanah yang sudah digarap oleh masyarakat seluas 69,59 hektar.

Diluar tanah tersebut PT Mulya Asli tetap mengajukan permohonan untuk memperbaharui HGU nya di bekas lokasi HGU sebelumnya

,

setelah dikurangi tanah yang telah dilepaskan menjadi tanah Negara tersebut. Kemudian terbit Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI c.q. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah No: 1281-310.3-D. III tanggal 23 April 2007 (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009) yang menyatakan pelepasan lahan sebanyak 556 bidang (69,59 Ha), yang dibagikan pada masyarakat sebanyak 554 bidang karena dua bidang lainnya dijadikan sebagai kawasan konservasi air. Oleh masyarakat tanah tersebut diusahakan menjadi areal pemukiman dan pertanian.

Lokasi tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai lokasi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dengan pembiayaan melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Setelah dilakukan sertifikasi, sengketa tanah antara Masyarakat dengan PT Mulya Asli menjadi berakhir (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

(4)

5.1.2. Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan

Sebelum terjadi reklaiming oleh masyarakat, seluruh lahan yang ada di kawasan OTL Banjaranyar II ini seluruhnya dikuasai oleh pihak perkebunan PT. Mulya Asli. Namun jauh sebelum itu, menurut pengakuan masyarakat, tanah yang mereka tinggali ini merupakan tanah tidur yang terbengkalai setelah terjadinya bumi hangus yang dilakukan pada masa awal kemerdekaan. Pada tahun 1945, setelah Indonesia merdeka ada Gerakan Pejuang Kemerdekaan yang memerintahkan Desa Cigayam11 untuk membumihanguskan bangunan serta tumbuhan hasil peninggalan Belanda karena ada anggapan bahwa barang peninggalan Belanda hukumnya haram untuk dimiliki bangsa Indonesia. Oleh karena tanahnya adalah kekayaan bangsa Indonesia, maka yang dibumihanguskan adalah tanaman dan bangunan. Bangunan dan sarana infrastruktur seperti jembatan dihancurkan dengan jembatan, sedangkan tanaman-tanaman yang ada diperkebunan karet ditebangi.

Perjuangan pembumihangusan ini terkendala kurangnya tenaga masyarakat, jadi sekitar satu per tiga sisanya tidak ditebang masyarakat. Setelah penebangan selesai dilakukan kemudian para tokoh Pejuang Kemerdekaan 1945 seperti Bapak Uhri dan Bapak Din Samsudin memerintahkan para pemuda untuk menggunakan tanah bekas bumi hangus dengan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian juga pemukiman warga. Bahkan pada tahun 1948, pada masa adanya pemberontakan DI TII, pemerintah menyerukan pada masyarakat yang terganggu keamanannya oleh DI TII supaya di tempatkan di Plak 7 (lokasi tanah sertifikasi sekarang). Sejak saat itu mulai banyak masyarakat yang bermukim disana.

11 Desa Banjaranyar dibentuk pada tahun 1979, jadi pada masa ini nama desa yang digunakan adalah

(5)

Cerita perkebunan Mulya Asli di awali ketika setelah terjadi peristiwa G 30 S (1965), Wiyana (Bekas Kadus Sukanagara, Cigayam) berencana akan meneruskan tanah bekas perkebunan Belanda. Namun ia tidak dapat melakukan permohonan tersebut jika tidak ada dukungan dari warga. Oleh karena itu kemudian ia meminta dukungan dari warga dan kemudian mereka mengadakan perjanjian. Seluruh tanah yang sudah dikuasi nantinya, tanah yang masih ada karetnya akan menjadi miliknya (1/3-nya) sedangkan dua per tinganya yang tidak ada tanaman karetnya menjadi milik masyarakat secara kolektif. Kesepakatan ini dilakukan secara lisan, namun masyarakat membubuhkan tandatangannya. Pembicaraan ini dilakukan di rumah Pak Diwangsa (Bapak kunci daerah ini). Namun kemudian setelah tanah berhasil didapatkan, Wiyana ini ingkar janji, semua tanah yang sudah dikuasai diklaim miliknya seorang. Barulah pada tahun 1980-an terjadi peralih1980-an pemilik1980-an lah1980-an perkebun1980-an menjadi PT. Mulya Asli.

5.1.3. Konflik dan Aksi Perlawanan

Konflik pertanahan di OTL ini sebenarnya sudah terjadi pada kisaran tahun 1962-1963, rakyat/penggarap sudah mulai memperjuangkan tanah, perjuangan tersebut didasarkan UU No. 5 tahun 1960 (Undang-undang Pokok Agraria), bahkan mereka langsung menjalani siding landreform di Pengadilan Negeri Ciamis. Sayang, pada tahun 1965 masyarakat di “PKI”-kan karena pada saat itu yang memperjuangkan tanah di Indonesia kebanyakan dimotori oleh pejuang-pejuang PKI sehingga petani yang memperjuangkan tanah dimasukkan sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia). Pada tahun ini juga para penggarap ditangkapi oleh polisi dan harus menjalani sidang di Ciamis. Mereka disuruh membawa alat-alat yang biasa digunakan untuk menebang tanaman karet. Namun masyarakat mengerti dengan membawa alat tersebut, mereka akan dituduh sebagai penebang karet padahal tanaman yang mereka tebang adalah kaso.

(6)

Setelah kejadian itu, para penggarap dijadikan tahanan politik, paling lama mereka ditahan selama tujuh bulan.

Tahun 1966/1967 masyarakat sudah mulai kembali menduduki tanahnya. Namun bedanya mereka menempati lahan tersebut dengan sistem sewa kepada pihak perkebunan berupa pungutan kerja sebanyak delapan hari kerja per pekarangan rumah. Sedangkan jika menggarap lahan maka sewa yang harus dibayarkan adalah delapan hari kerja per 100 bata. Pada tahun 1968 pihak perkebunan yang “diboncengi” Kodim melakukan peremajaan tanaman dengan menebangi pohon-pohon karet yang sudah tua. Setelah penebangan itu, seluruh anggota yang dicap terlibat PKI diwajibkan untuk menggarap lahan sebanyak ¼ hektar per Kepala Keluarga. Waktu itu lahan tersebut masih dimiliki Perkebunan Karet Nasional (PKN).

Perusahaan berpindah tangan ke PT. Mulya Asli pada kisaran tahun 1980-an, ternyata konflik yang terjadi antara masyarakat dan pihak perkebunan tidak kunjung berhenti. Pada tahun 1999, rakyat membentuk Panitia Pembebasan Tanah pimpinan Bapak Eni Subarna. Perjuangan ini dijembatani oleh Komisi A DPRD Ciamis. Tanah yang diperjuangkan masyarakat pada waktu itu adalah seluruh tanah PT. Mulya Asli, yaitu sebanyak 384 hektar. DPRD memberikan dua pilihan. Pilihan pertama, pihak perkebunan memberikan lahan sebanyak 100 hektar, tanpa ada syarat apa-apa. Pilihan kedua, jika masyarakat tidak mau menerima tanah yang 100 hektar tersebut, maka masyarakat tetap diperbolehkan menggarap tanpa sewaan, boleh menghuni tanpa adanya teror dari pihak perkebunan, namun tidak dimiliki oleh masyarakat. Pilihan inilah yang kemudian diambil oleh masyarakat.

Brimob yang ditunggangi pihak perkebunan mendatangi masyarakat yang tinggal di daerah perkebunan dengan maksud untuk meneror masyarakat (awal tahun

(7)

2000). Masyarakat marah dan mendatangi pihak DPRD untuk meminta pertanggungjawabannya. Kemudian DPRD mendesak Bupati dan Kapolres pada masa itu untuk berkoordinasi menghentikan teror terhadap masyarakat. Upaya ini berhasil. Semenjak itu ekonomi masyarakat meningkat karena tidak ada sewa bagi perkebunan.

Sudah setelah diceritakan sebelumnya bahwa pada tahun 2001 Panitia Pembebasan Tanah mulai masuk SPP. Namun kemudian keluar lagi karena bapak Eni merubah haluan perjuangannya melalui pak Bayu agar lebih cepat. Pak Bayu ini termasuk dalam keluarga besar Bung Karno. Waktu itu Megawati Soekarno Putri masih jadi Wakil Presiden, diharapkan perjuangan bisa melewati “jalan pintas” karena langsung disampaikan pada Wakil Presiden. Setelah dari Pak Bayu, perjuangan dilemparkan ke Pengacara LBH KERIS (Kesejahteraan Rakyat Indonesia) pimpinan Prof. Dr. Tjokrodiningrat. Baru masuk ke pengacara tersebut, penggarap diminta uang Rp. 20 juta untuk biaya operasional menghubungi Menteri Dalam Negeri, BPN Pusat dan lainnya. Oleh karena penggarap tidak memiliki uang sebanyak itu, maka mereka menggunakan aset berharga mereka – tanah. Setelah itu penggarap diminta uang lagi sebanyak lima juta rupiah untuk persiapan sidang.

Garis akhir perjuangan Panitia Pembebesan Tanah mulai terlihat ketika pimpinannya, Eni Subarna, mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Ketika itu, di Desa Ciagayam, ia memiliki sekitar 400 orang anggota, namun yang memilihnya hanya sekitar 200 suara. Pak Eni kalah dalam pemilihan. Setelah itu, perjuangan di bawah pimpinannya benar-benar berhenti. Oleh karena itu pada tanggal 24 Januari 2004 Banjarnyar diterima dan resmi menjadi anggota SPP, dengan nama Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II dengan koordinator Bapak Jahman (Hasil Riset SAINS: Quo Vadis, Mengayun diantara Idealitas dan Realitas, 2010).

(8)

5.2. Sejarah Penguasaan Tanah di OTL Pasawahan II

Berbicara soal pola penguasaan tanah yang terjadi di Desa Pasawahan (khususnya OTL Pasawahan II) tidak bisa dilepaskan dengan hubungan antar subyek-subyek agraria yang ada di sana. Hubungan ini kemudian akan mempengaruhi pola penguasaan tanah di sana, seperti sejarah penguasaan tanah di OTL Pasawahan II, sistem produksi dan kelembagaannya, dan juga terkait dengan berbagai pihak yang ada di kedua OTL tersebut serta kepentingan-kepentingan yang dibawanya.

Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut.

Berdasarkan pernyataan di atas, subyek agraria di OTL Pasawahan II dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (masyarakat lokal), pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis – BPN Ciamis), dan pihak swasta (PT. Cipicung). Meskipun tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam hubungan ini terdapat pihak lain yang ikut terlibat, antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai wadah organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya.

Kasus OTL Pasawahan II, hubungan antar subyeknya dimulai ketika masyarakat yang mengetahui bahwa HGU PT. Cipicung telah habis, berusaha untuk memperoleh tanah guna memenuhi kebutuhannya. Peran pemerintah disini meskipun belum ada upaya nyata, namun kasus PT. Cipicung ini sudah mendapatkan perhatian dan

(9)

direncanakan akan dilakukan program serupa seperti kasus Banjaranyar. Lingkup hubungannya dapat dilihat pada gambar 5.2 berikut ini:

Gambar 5.2. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II Keterangan:

Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria

5.2.1. Sejarah Penguasaan Tanah Skala Luas Oleh Perkebunan

Berbeda dengan kasus di OTL Banjaranyar II, riwayat penguasaan tanah di Desa Pasawahan – khususnya kasus OTL Pasawahan II – belum menemui titik temu. Tanah-tanah yang ada di daerah ini masih berupa Tanah-tanah sengketa. Di OTL Pasawahan II ini sengketa tanah terjadi antara masyarakat anggota OTL Pasawahan II dengan PT. Cipicung. Permasalahan muncul ketika HGU yang dikuasai oleh PT. Cipicung habis pada tahun 1993 namun pihak perusahaan masih menggarap tanah tersebut. Sedangkan masyarakat juga membutuhkan tanah untuk menopang kehidupannya. Riwayat penguasaan tanahnya12 adalah bahwa:

12 Diambil dari laporan sistema s: Di nami ka Tat a Kuasa, Tat a Kel ol a dan Tat a Pr oduksi di DAS Ci tanduy:

Inisia f Rakyat dal am Pemb angunan Sumb er -Sumb er Penghi dupan Ber kel anj ut an. Saj ogj o Ins tute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional tahun 2009. Halaman 26.

Pemerintah

Masyarakat PT. Cipicung

(10)

1. HGU Nomor 1 bekas erfpacht Nomor 158 Desa Pasawahan dan HGU bekas erfpacht Nomor 165 Desa Kersaratu, atas nama Mohammad Suleman, dikuasai dan dimiliki oleh PT. Cipicung Pasawahan.

2. Penguasaan tanah tersebut berdasarkan Jual Beli dari NV. Tambaksari pada Tanggal 6-12-1956 Nomor 31 yang telah berakhir sampai Tanggal 15-8-1986, 17-7-1993 dan 8-9-1990.

Permohonan perpanjangan HGU nya dilakukan pada Tanggal 11-3-1998 Nomor 060/CP/III/1998 dan diperbaharui permohonannya pada Tanggal 3-4-1998 berdasarkan Rekomendasi Bupati Tanggal 10-01-1992 dan Rekomendasi Dinas Perkebunan Tanggal 30-7-1998, serta Fatwa dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat Tanggal 19-3-1998 Nomor 540-2593 (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). 5.2.2. Awal Mula Penguasaan Petani atas Lahan Perkebunan

Sebelum pelaksanaan reklaiming oleh masyarakat, tanah di Desa Pasawahan dikuasai oleh pihak perkebunan swasta. Terdapat dua perkebunan yang beroperasi di Desa Pasawahan ini, yaitu PT. RSI dan PT. Cipicung. PT. Cipicung pada awalnya merupakan perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh pengusaha pemerintah kolonial. Disini pekerja perkebunan diambil dari masyarakat yang tinggal disekitar areal perkebunan.

Setelah peristiwa bumi hangus, berakhirlah penguasaan oleh pihak kolonial. Kemudian PT. Cipicung diambil alih oleh pengusaha lokal dari Tasikmalaya yaitu Eman Dollar. Berbeda dengan penguasaan oleh pemerintah kolonial, pada masa ini masyarakat lokal sudah mulai jarang bekerja sebagai tenaga kerja perkebunan. Sebagian dari mereka lebih banyak memilih bekerja di tanah sendiri, menjadi buruh di tanah

(11)

orang lain atau bekerja di luar desa. Tenaga kerja perkebunan justru lebih banyak di datangkan dari luar desa (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

Luas tanah yang dikuasai oleh PT. Cipicung yang berada di Desa Pasawahan adalah sebanyak 200 hektar13. Komoditas utama yang diusahakan PT. Cipicung adalah tanaman karet. PT. Cipicung sebenarnya memberikan kebebasan kepada masyarakat di sekitar areal perkebunan untuk menggarap di sela-sela pohon karet. Tanaman yang boleh di tanam disana adalah semua jenis tanaman yang tidak mengganggu tanaman karet dan diutamakan tanaman-tanaman jangka pendek seperti umbi-umbian. Hal ini dilakukan karena jika masyarakat menanam tanaman jangka panjang, pihak perkebunan khawatir tanah tersebut kemudian diklaim oleh masyarakat sebagai tanah miliknya. Mengacu pada hasil Riset Sistematis SAINS-STPN tahun 2009, sistem yang diberlakukan untuk petani yang melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Cipicung adalah sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah 80:20, petani mendapatkan bagian 80 persen dari hasil panen sedangkan 20 persen diserahkan kepada perusahaan. Hal ini juga didukung oleh pengakuan salah seorang informan sebagai berikut:

“…ari tangkal kalapa mah ulah, bisi dijadikeun ciri ku anak cucu maneh engkena. Kitu cenah ceuk pa Mandor basa itu….”

(jangan pohon kelapa, takutnya dijadikan tanda – pemilikan tanah – oleh anak-cucumu nantinya. Begitu kata Pa Mandor waktu itu)

5.2.3. Konflik dan Aksi Perlawanan

Tahun 2002 mulailah perjuangan me-reklaim tanah kasus PT. Cipicung ini. Perjuangan dimulai dengan melakukan pengukuran-pengukuran di tanah perkebunan14

13 Data Nominatif Organisasi Tani Lokal Pasawahan II, SPP, tahun 2009 14

Pada tahun ini produksi karet masih berlangsung walaupun HGU PT. CIpicung sudah habis pada tahun 1993. Hal inilah yang – mungkin – dimaksud Agustiana bahwa kasus CIpicung ini akan sangat mudah

(12)

dan melakukan pengkaplingan terhadap tanah-tanah perkebunan serta melakukan penebangan pohon karet milik perkebunan. Para pekerja perkebunan terheran-heran dengan apa yang dilakukan warga. Proses pengkaplingan ini dilakukan secara bersama-sama oleh warga dan kemudian membaginya kepada 200 orang petani anggota OTL. Pada tahun 2003 jumlah petani yang melakukan pengkaplingan bertambah menjadi sekitar 400 orang.

Penebangan yang dilakukan petani ini kemudian diadukan pihak perkebunan ke kecamatan dan kemudian pihak kecamatan yang didampingi pihak kepolisian datang untuk menyelidiki apa yang terjadi. Namun petani membantah telah melakukan penebangan, mereka hanya melakukan pengukuran-pengukuran tanah untuk melakukan sistem tumpang sari dengan pihak perkebunan.

5.3. Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Banjaranyar II

5.3.1. Pengorganisasian Petani

Proses reklaiming di OTL Banjaranyar II ini dimulai pada kisaran tahun 1999/2000 walaupun sebenarnya perjuangan sudah dimulai pada masa awal kemerdekaan. Pada masa ini keran demokrasi mulai terbuka di mana pada tahun-tahun sebelumnya masyarakat berada dibawah rezim Orde Baru yang sangat otoriter. Hal ini membuat peluang masyarakat untuk membentuk organisasi tani sangat kecil, kalaupun ada organisasi tersebut selalu diawasi dengan ketat. Oleh karena itu, sejak runtuhnya rezim otoriter tersebut perjuangan petani akan tanah memperoleh angin segar dan sejak saat itu di desa ini mulai dibentuk Panitia Pembebasan Lahan yang kemudian bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP).

karena perusahaan melakukan tindakan yang tidak sah di mata hukum (illegal). Pada tahun ini pohon-pohon karet masih utuh, kantor masih berdiri, termasuk masih ada para mandor dan Adm-nya pun masih aktif bekerja.

(13)

Fase awal reklaiming tanah HGU PT. Mulya Asli oleh petani di Dusun Sukamaju-Banjaranyar dan Dusun Cigayam-Desa Cigayam mulai terjadi pada tahun 2000. Petani melakukan pengkaplingan terhadap tanah HGU PT. Mulya Asli. Pada saat yang sama, petani membentuk panitia pembebasan tanah untuk petani sebagai langkah menjadikan tanah-tanah HGU PT. Mulya Asli yang direklaiming menjadi hak milik petani atau diredistribusikan pada petani. Proses reklaiming tanah dalam bentuk pengkaplingan berjalan tanpa ada sistem pengaturan yang jelas mengenai penguasaan di tingkat petani. Setiap rumahtangga petani bebas melakukan pengkaplingan di tanah HGU PT. Mulya Asli disesuaikan dengan kemampuannya masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan penguasaan tanah reklaiming di tingkat petani tidak merata. Sebagian petani berhasil menguasai tanah hingga 400-600 bata, namun di sisi lain terdapat petani yang hanya menguasai tanah di bawah 100 bata15.

5.3.2. Upaya dalam Pengaturan, Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan

Kelembagaan produksi yang berkembang pada fase sebelum terjadinya reklaiming didominasi oleh perkebunan karet yang bersifat monokultur oleh PT. Mulya Asli. Tanaman karet dibudidayakan secara intensif melalui manajemen perkebunan. Sarana produksi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan perkebunan karet sebagian besar berasal dari luar desa, seperti pupuk, bibit, pestisida/fungisida, dan peralatan lainnya. Penduduk lokal terlibat dalam kelembagaan produksi perkebunan hanya sebagai tenaga kerja buruh, dan hanya oleh sebagian kecil petani di sekitar areal perkebunan16.

15

Diambil dari laporan sistematis: Dinamika Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi di DAS Citanduy: Inisiatif Rakyat dalam Pembangunan Sumber-Sumber Penghidupan Berkelanjutan. Sajogjo Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional tahun 2009.Halaman 33

(14)

Sebelum adanya perjuangan, masyarakat menggarap tanah perkebunan dengan sistem sewa. Yaitu untuk tanah yang digarap besarnya sewa adalah Rp. 50.000/100 bata tiap tahunnya dan berubah menjadi Rp. 100.000/100 bata pertahunnya pada tahun 1999. Sedangkan untuk tanah perkebunan yang digunakan masyarakat sebagai rumah dikenakan sewa dengan 8 hari kerja/tahun pada perkebunan. Sebelum masa perjuangan, masyarakat disana tidak bebas menanam tanaman yang mereka butuhkan karena dilarang oleh pihak perkebunan. Jenis tanaman yang bisa ditanam di tanah perkebunan ini adalah Singkong, jangung, kacang, padi. Masalah tidak berhenti sampai disana, karena tidak semua masyarakat bisa menggarap tanah tersebut, karena yang bisa menggarap hanya masyarakat yang mempunyai uang.

Bentuk sewa tanah ini dinamakan tumpang sari. Sistem tumpangsari yang dikerjasamakan adalah untuk jenis tanaman yang dalam perkembangannya tidak akan mengganggu tanaman karet sebagai tanaman utama. Beberapa jenis tanaman yang diperbolehkan untuk dikembangkan di dalam areal HGU PT. Mulya Asli antara lain umbi-umbian, singkong, kacang-kacangan, jagung, pisang dan padi. Jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan dalam sistem tumpangsari adalah singkong, jagung dan pisang (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

Sebenarnya tanah yang mereka garap itu bukan merupakan sistem tumpang sari, karena mereka menggunakan tanah yang kosong – tidak seperti tumpang sari. Pada masa itu, masyarakat hanya bisa tunduk pada aturan pihak perkebunan. Bahkan lebih dari itu, menurut pengakuan masyarakat, tanah warisan yang sudah ada SPPT-nya pun ikut diklaim sebagai tanah perkebunan.

Pasca reklaiming terjadi sejumlah perubahan dalam kelembagaan produksi dan distribusi di Dusun Sukamaju. Tanaman karet yang sebelumnya dominan sebagai

(15)

tanaman perkebunan mulai digantikan dengan jenis tanaman yang selama ini biasa dikembangkan oleh petani dalam sistem tumpangsari. Selain itu, petani mulai membudidayakan jenis tanaman jangka panjang seperti kelapa dan albasia. Kedua jenis tanaman ini sebelumnya dilarang ditanam di dalam kawasan HGU PT. Mulya Asli. Penanaman kelapa dan albasia dimaksudkan untuk memberikan keterjaminan jangka panjang pada pendapatan petani dengan memanfaatkan hasil panen dari kedua jenis tanaman tersebut. Kelapa dimanfaatkan buahnya untuk kebutuhan rumah tangga dan dijual pasar lokal. Terdapat beberapa pedagang pengumpul dan penampung yang berada di sekitar Dusun Sukamaju. Mereka biasanya mengambil hasil panen kelapa langsung ke petani yang melakukan panen (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

Albasia dimanfaatkan kayunya untuk kebutuhan pasar kayu, baik di dalam desa maupun luar desa. Sama dengan kelapa, di sekitar Dusun Sukamaju terdapat beberapa sawmill (usaha pemotongan kayu) yang dimiliki oleh orang lokal. Para pemilik sawmill

biasanya melakukan langsung melakukan pemanenan di lahan jika sudah ada kesepakatan harga dengan petani. Saat ini ada mekanisme penjualan kayu albasia yang merugikan petani, yaitu sistem hijon. Dalam sistem ini, pembeli membeli kayu yang baru berumur sekitar dua tahun, dengan harga kayu muda (harga kayu sesuai ukuran saat pembelian). Namun, mereka tidak langsung memanen kayu tersebut, melainkan menitipkannya kepada petani sampai kayu berumur empat – lima tahun, baru kemudian memanennya. Para petani pada umumnya melakukan hal ini saat mereka terdesak secara ekonomi atau saat ada kekhawatiran akan hama ulat bulu yang mematikan pohon albasia (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009).

Jenis tanaman lain yang sudah mulai dikembangkan di daerah ini adalah jenis tanaman kayu, seperti jati dan mahoni. Jati dan mahoni mulai dikembangkan dalam waktu satu hingga dua tahun belakangan. Jati dan mahoni menjadi pilihan setelah

(16)

albasia yang sebelumnya lebih dulu banyak dibudidayakan mengalami permasalahan karena diserang penyakit dan mengkibatkan sejumlah kerugian pada petani. Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan kelembagaan produksi pertanian pra dan pasca reklaiming lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar17.

Tabel 5.1. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar

Kelembagaan Produksi

Pra-Reklaiming Pasca Reklaiming

Pola Tanam • Dominan tanaman karet perkebunan (monokultur). Tanaman semusim hanya ditanam petani penggarap pada sela-sela tanaman karet.

• Polikultur, yaitu

mengkombinasikan tanaman semusim dengan tanaman tahunan/keras dan tanaman buah.

Jenis tanaman • Tanaman monokultur karet

• Tanaman semusim yang biasa dibudidayakan oleh petani antara lain: kacang, jagung, singkong, ada juga yang menanam padi huma

• Tanaman padi sawah.

• Tanaman semusim: singkong, jagung, kacang

• Tanaman buah: mangga, pisang, kedondong

• Tanaman tahunan/keras: albasia (sengon), petai , kelapa, mahoni dan jati

• Tanaman perkebunan; cokelat Sumber : Hasil Penelitian Riset Sistematis 2009 Sains – STPN

5.3.3. Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi

Perjuangan memperoleh hak atas tanah (legalisasi aset melalui sertifikat) yang dilakukan masyarakat OTL Banjaranyar II mencapai keberhasilan pada tahun 2007. Pada tahun ini OTL Banjaranyar II berhasil mendapatkan pengakuan hak atas tanah HGU PT. Mulya Asli. Tanah HGU PT. Mulya Asli yang berhasil didapatkan seluas 69,95 Ha dan diserahkan oleh pihak perusahaan perkebunan melalui pemerintah kepada petani yang tergabung dalam OTL Banjaranyar II. Masyarakat awalnya menyambut baik pemberian sertifikat ini dan kemudian mereka melakukan penataan penguasaan tanah yang dilakukan secara musyawarah. Musyawarah ini dilakukan agar tercapai

(17)

kesepakatan diantara masyarakat terkait dengan luasan tanah yang akan diredistribusikan kepada seluruh petani anggota OTL Banjaranyar II.

Hasil musyarawarah menyepakati proses redistribusi tanah HGU PT. Mulya Asli yang diserahkan kepada petani yaitu: (1) petani anggota organisasi tani lokal yang sudah melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Mulya Asli masing-masing mendapatkan luasan tanah 100 bata, (2) petani anggota organisasi tani lokal yang belum melakukan penggarapan di tanah HGU PT. Mulya Asli mendapatkan tanah seluas 90 bata, (3) pengurus organisasi tani lokal mendapatkan penghargaan dalam bentuk tanah, yaitu untuk pengurus inti (ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara) masing-masing mendapatkan 200 bata. Sedangkan pengurus lain dibawahnya mendapatkan bagian 35-100 bata. Jumlah petani keseluruhan yang mendapatkan redistribusi tanah HGU PT.Mulya Asli adalah 385 KK, yang terdiri dari petani dari Dusun Sukamaju dan beberapa Dusun lain di Desa Banjaranyar dan Desa Cigayam (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Untuk lebih jelasnya, pembagian luasan tanah ini dapat dilihat dari tabel 5.2. berikut ini:

Tabel 5.2. Pembagian Luasan Tanah Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi Tani Lokal Banjaranyar II

Jabatan Luas lahan

Koordinator 300 bata

Sekretaris/bendahara 250 bata

Kelompok 180 bata

Divisi 150 bata

Satgas 150 bata

Tim Inti 130 bata

Anggota biasa 90-100 bata

Kepengurusan wanita 30-50 bata18

(18)

Tanah yang diperoleh ini ada yang langsung dimanfaatkan sebagai tanah pertanian, pemukiman, dan kolam, namun ada juga masyarakat yang membiarkan tanahnya (tidak langsung menggarap) dan bahkan langsung menjualnya karena tanah yang mereka dapatkan itu merupakan tanah mendem atau tanah cadas. Seperti diungkapkan salah seorang warga dalam kesempatan Focus Group Discussion (FGD) berikut ini:

“ …Sabagian aya nu digarap langsung salian nu diimahan, nu dibalongan, itu ieu, ditanami bangsa kalapa, coklat, peuteuy, kadu, bubuahan lah, selain aya kayu-kayuan, jati albasia, mangkit jeung sajaba na. Aya nu langsung, aya oge nu mubah dijual, dijual ka babaturanana. Berdasarkan hak kepemilikan tanah di satupikat bisa dialihtangankan…” “(sebagian ada yang digarap langsung selain yang dibuat rumah, yang dibuat kolam, ditanami kelapa, coklat, petai, durian, selain yang ditanami kayu-kayuan seperti jati, albasia, mangkit dan lainnya. Ada juga yang dijual ke temannya. Berdasarkan hak kepemilikan tanah di sertifikat, (memang) bisa dialihtangankan)”

5.3.4. Upaya Kolektif Lainnya

Saat perjuangan hak atas tanah ini berhasil dilakukan, keberadaan OTL Banjaranyar II ini terancam. Banyak masyarakat yang menganggap perjuangan di organisasi (SPP) ini sudah selesai dengan keluarnya sertifikat hak milik dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Oleh karena itu, minat warga terhadap SPP ini mengalami kemunduran yang signifikan. Hal ini juga diakui oleh koordinator OTL setempat yang mengatakan bahwa masyarakat sudah jenuh dengan organisasi, terlalu banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Selain untuk pajak sertifikat, mereka juga harus membayar pungutan-pungutan yang diminta organisasi untuk keperluan tertentu seperti aksi dan pembangunan sekretariat SPP Ciamis.

(19)

Masyarakat menganggap dengan tanah yang terbatas dan cadas itu, pengeluaran yang harus ditanggung terlalu besar. Penghasilan dari tanah pertanian pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini diperberat dengan tidak adanya perhatian dari SPP Ciamis pada OTL Banjaranyar II ini pasca sertifikasi. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan SPP di OTL Banjaranyar II ini belum memenuhi syarat reforma agraria. Artinya, upaya yang dilakukan SPP ini baru sebatas upaya untuk melakukan penataan pemilikan dan penguasaan tanah saja, tidak lebih dari itu.

5.4. Pelaksanaan Landreform dari Bawah (By Leverage) di OTL Pasawahan II

5.4.1. Pengorganisasian Petani dalam Reklaiming dan Pembagian Lahan

Proses perjuangan di OTL Pasawahan II ini dimulai sekitar tahun 2002. Tidak seperti masyarakat OTL Banjaranyar II yang mereklaim tanah dari awal, sebagian besar masyarakat OTL Pasawahan II ini memulai reklaiming justru dengan bergabung dengan OTL Pasawahan 1 terlebih dahulu yaitu perjuangan melawan PT. RSI pada tahun 1999. Kemudian masyarakat mendapatkan pendidikan terkait dengan hak-hak petani penggarap terhadap tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya. Proses inilah yang kemudian menginisiasi terbentuknya organisasi tani lokal di Pasawahan dalam rangka mendapatkan pengkuan hak atas tanah HGU PT. Cipicung yang masa berlakunya sudah habis sejak tahun 1993. . Uniknya, masyarakat disini baru mengetahui bahwa HGU ini bisa habis. Yang mereka ketahui hanyalah tanah tersebut milik PT dan tidak dapat di ganggu gugat.

Pembagian tanah yang telah dikapling dilakukan berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan petani. Musyawarah tersebut memutuskan bahwa tanah “kaplingan” dibagi menjadi dua jenis, yaitu kapling “luar” dan kapling “dalam”. Pembagian ini berdasarkan letak kaplingan tanah dari jalan raya. Kapling luar berarti tanah tersebut

(20)

dekat dengan jalan utama, luas tanah yang diberikan kepada petani perkaplingnya sebanyak 75 bata. Sedangkan kapling dalam berarti tanah tersebut jauh dari jalan utama, luas tanah yang diberikan kepada petani perkaplingnya sebanyak 175 bata. Jumlah tanah yang dimiliki warga tergantung dari jumlah anggota keluarga yang mempunyai KTP dan memohon tanah.

5.4.2. Upaya-upaya Untuk Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan

Komoditas utama pertanian di desa ini terutama di kawasan OTL Pasawahan II. Setelah diurutkan, ternyata komoditas pertanian utama disini adalah albasia, kelapa, kapulaga, pisang, padi, umbi-umbian (singkong), kopi, petai, kakao, durian, dan sayur-sayuran. Sedangkan hasil ternak yang dominan di daerah ini adalah domba, ayam, dan kerbau. Tentunya hasil ikan dari kolam juga termasuk salah satu hasil ternak yang sangat menjanjikan.

Hasil panen albasia menjadi komoditas yang paling diharapkan oleh masyarakat karena hasil panennya sangat menjanjikan. Ukuran pohon albasia yang terkecil saja (10-14 cm) dihargai sekitar Rp. 350.000 per kubiknya. Dengan masa tanah sekitar 3-5 tahun, tanaman albasia ini bisa dimanfaatkan sebagai “tabungan” oleh masyarakat. Harga jual albasia berdasarkan ukuran dan harga dapat dilihat pada table 5.3. berikut ini:

Tabel 5.3. Harga Jual Albasia Berdasarkan Ukuran dan Harga

Diameter (cm) Harga Jual (Rp)/Kubik

10-14 350.000

15-19 400.000

20-24 550.000

(21)

Hampir semua hasil pertanian ini dijual oleh masyarakat dan hanya sebagian kecil saja yang dikonsumsi sendiri. Sebagai contoh, hasil panen kopi, kapulaga, kelapa, pisang, kakao, gula kelapa, dan albu hampir seluruhnya dijual. Sedangkan padi dan sayuran hampir seluruhnya digunakan untuk konsumsi saja dan hanya 30 persen hasilnya yang dijual.

Tanah yang mereka miliki ditanami oleh tanaman campuran untuk lahan kering. Tanaman yang ditanam tidak lain adalah tanaman-tanaman yang sudah disebutkan di atas. Pola tanam seperti ini terbawa pada saat masa-masa perjuangan di mana pada masa itu para petani dianjurkan untuk menanam tanaman apa saja dulu yang penting sudah terlihat ada garapan di tanaman perkebunan ini.

Kelembagaan produksi dan distribusi sebelum reklaiming di OTL Pasawahan II di dominasi oleh perkebunan karet miliki PT. Cipicung. Namun masyarakat diperbolehkan untuk menanam tanaman di sela-sela pohon karet selama tidak mengganggu tanaman karet sebagai komoditi utama perkebunan. Sistem yang diterapkan ada sistem bagi hasil dengan pihak perusahaan. Jenis tanaman yang boleh ditanam petani adalah tanaman-tanaman jangka pendek seperti pisang dan singkong.

Hasil panen karet yang didapat perkebunan dijual ke luar kawasan desa. Sedangkan hasil panen tanaman yang diusahakan petani hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan subsistennya, hanya sebagian kecil saja yang menjual hasil panennya itupun jika hasil panen berlebih atau ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi.

Setelah proses reklaiming kelembagaan produksi dan distribusi di Pasawahan mengalami perubahan yang signifikan. Tanaman karet yang sebelumnya mendominasi digantikan dengan tanaman perkebunan dan pertanian ala petani. Tanaman karet dianggap tanaman sebagai tanaman yang “haram” dibudidayakan di atas tanah

(22)

reklaiming. Hal ini disebabkan karet dianggap sebagai simbolisasi tanaman perkebunan, bukan tanaman petani (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Meski begitu, masih ada juga petani yang mempertahankan pohon karet untuk dimanfaatkan getahnya dan kemudian dijual.

Kelembagaan produksi pasca reklaim diarahkan pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang. Kebutuhan jangka pendek memungkinkan petani memperoleh hasil panen dari tanaman musiman seperti jagung, kacang, singkong, pisang, cokelat dan sebagainya. Sedangkan tanaman jangka panjang digunakan sebagai “tabungan” yang bisa dipanen dalam jangka waktu tertentu, biasanya 4-5 tahun. Contoh tanaman ini biasanya adalah kayu-kayuan, seperti albasia dan kelapa (Riset Sistematis SAINS-STPN, 2009). Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan kelembagaan produksi pertanian pra dan pasca reklaiming lahan di OTL Pasawahan, Desa Pasawahan.

Tabel 5.4. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar

Organisasi Produksi

Pra-Reklaiming Pasca Reklaiming

Pola Tanam • Dominan tanaman karet perkebunan (monokultur). Tanaman semusim hanya ditanam petani penggarap pda sela-sela tanaman karet.

• Polikultur, yaitu mengkombinasikan tanaman semusim dengan tanaman tahunan/keras dan tanaman buah.

Jenis tanaman • Tanaman monokultur karet

• Tanaman semusim yang biasa dibudidayakan oleh petani antara lain: padi, ubi dan pisang

• Tanaman padi sawah

• Tanaman semusim: singkong, ubi, jagung.

• Tanaman buah: mangga, pisang, kedondong, durian,

• Tanaman tahunan/keras: albasia (sengon), petai, kelapa, mahoni.

• Tanaman perkebunan: cokelat, kopi. Sumber : Hasil Penelitian Riset Sistematis 2009 Sains – STPN

(23)

5.4.3. Upaya-upaya Bersama Untuk Memperoleh Pengakuan dan Legalisasi

Berbeda dengan tanah yang digarap masyarakat di OTL Banjaranyar II, tanah-tanah yang digarap masyarakat OTL Pasawahan II ini adalah tanah-tanah hasil reklaiming yang belum di legalkan (belum ada legalisasi aset). Proses pelegalan lahan atas nama petani melalui redistribusi masih belum dapat dilakukan karena hingga saat ini PT. Cipicung belum melepas HGU agar kembali menjadi tanah Negara.

Kasus Pasawahan sebenarnya proses sertifikasi sudah mulai tahap perencanaan. Bahkan sudah dikaji oleh bagian sengketa Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Ciamis. Hampir semua persyaratan sudah terpenuhi, seperti adanya permohonan dari masyarakat (dalam hal ini SPP – OTL Pasawahan II), tanah tersebut sudah digarap lebih dari 2 tahun bahkan sudah ada yang mendirikan rumah (dihuni). Namun kendala muncul karena PT. Cipicung sebagai pemegang HGU sulit ditemui, sehingga tidak memungkinkan terjadinya koordinasi antara pihak perusahaan dengan BPN – Kantah Ciamis. Pihak BPN tidak dapat begitu saja memberikan hak, meskipun HGU PT. Cipicung tersebut sudah habis masa berlakunya sejak tahun 1993. Seperti keterangan salah satu informan di Kantah Ciamis berikut ini.

5.5. Analisis dan Perbandingan

Apa yang dilakukan masyarakat anggota OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II merupakan upaya untuk mewujudkan landrefom by leverage yang dimaknai sebagai gerakan pembaruan agraria yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan kaum tani atau rakyat pedesaan sendiri. Namun ini sama sekali tidak berarti melawan wewenang pemerintah ataupun hendak menghilangkan peran negara. Dalam hal ini kekuatan dan kemampuan kaum tani justru befungsi sebagai “dongkrak”, sebagai pendorong yang kuat, untuk menggerakkan peran aktif dari pemerintah (Wiradi, 2009b).

(24)

Menurut Sitorus (2006) mengenai tipologi landreform, pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) yang dilaksanakan di kedua OTL ini tergolong landreform tipe integrasi (untuk OTL Banjaranyar II) dan aneksasi (untuk OTL Pasawahan II). Tipe aneksasi ini menjelaskan bahwa reforma agraria dari bawah yang dilakukan merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan ilegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah perkebunan. Sedangkan tipe integrasi menjelaskan adanya kolaborasi antara pemerintah, pihak swasta (perkebunan) dan masyarakat dalam upaya mendistribusi tanah.

Berdasarkan tipologi landreform ini, sebenarnya tidak ada satu tipologi yang mutlak di suatu tempat – khususnya dalam penelitian ini. Sebagai contoh, dalam kasus OTL Banjaranyar II, pada awalnya upaya landreform by leverage yang terjadi disana adalah tipe aneksasi karena masyarakat melakukan tindakan kolektif secara paksadan ilegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah perkebunan. Sedangkan untuk kasus OTL Pasawahan II, memang pada saat ini yang terjadi adalah tipe aneksasi, namun tidak menutup kemungkinan dikemudian hari terjadi kolaborasi antara para pihak yang berkepentingan dalam upaya pemberian tanah pada masyarakat. Jika ini terjadi, maka tindakan berdasarkan tipologi landreform yang diungkapkan Sitorus (2006) berubah menjadi tipe integrasi.

Di kasus OTL Banjaranyar II, reklaim tanah yang dilakukan di tanah perkebunan akhirnya berbuah sertifikat hak milik untuk masyarakat dari BPN setelah pihak perkebunan (PT. Mulya Asli) yang hendak memperpanjang HGUnya setuju untuk melepas tanahnya seluas 69,59 hektar. Disini terjadi kolaborasi antara Negara, pihak perkebunan dan masyarakat OTL untuk menemukan titik temu terhadap masalah yang mereka hadapi. Sedangkan untuk kasus OTL Pasawahan II, reklaim tanah dilakukan terhadap tanah milik PT. Cipicung yang memang sudah habis HGUnya. Meski belum

(25)

mendapatkan sertifikat hak milik, namun pendudukan tanah yang dilakukan masyarakat sudah diakui dan sedang dalam rencana pemberian sertifikat hak milik. Kedua aksi reklaim tanah ini sukses menarik perhatian para aktor, aktor-aktor tersebut antara lain SPP sendiri, LSM dan lembaga riset, DPRD dan Pemerintah Ciamis, serta BPN.

Selain itu, reklaim yang dilakukan masyarakat juga dilakukan untuk mewujudkan salah satu dari empat perspektif reforma agraria menurut Borras dan Mckinley dalam Fauzi (2008) yaitu Peasant/People-Led Landreform. Dalam perspektif ini asumsi utama yang dibangun adalah bahwa Negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit, sementara kekuatan pasar secara mendasar didominasi juga oleh kepentingan elit. Dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil inisiatif untuk menerapkan reforma agraria.

Untuk mewujudkan Peasant/People-Led Landreform ini maka organisasi dalam

hal ini SPP harus melakukan “pengawalan” dan pendampingan terhadap setiap langkah yang dilakukan masyarakat dalam mencapai reforma agraria. Pendampingan yang dilakukan di OTL Banjaranyar II sebenarnya sudah baik karena dilakukan sejak dari fase perjuangan akan tanah hingga saat ini sertifikasi tanah berhasil dilaksanakan melalui PPAN. Namun sayang, pendampingan ini tidak berlanjut pasca sertifikasi. Mereka menganggap perjuangan sudah selesai dengan turunnya sertifikat hak milik, padahal masih banyak hal-hal mendasar yang belum terpenuhi untuk mencapai reforma agraria seperti pendidikan/penyuluhan mengenai cara bercocok tanam yang baik, bantuan modal, ternak, dan distribusi hasil panen.

Begitupun dengan pendampingan yang dilakukan di OTL Pasawahan II, meskipun secara umum masih lebih baik. Di sini, pendampingan juga dilakukan mulai

(26)

dari perjuangan perebutan tanah hingga sekarang di mana sertifikasi akan dilaksanakan. Bahkan di sini telah didirikan sebuah sekolah (SMP Plus Pasawahan dan SMK N 1 Cipaku Kelas Jauh Pasawahan) untuk meningkatkan pendidikan sekaligus sebagai sarana “kaderisasi” di mana kelak di harapkan akan muncul kader-kader SPP yang cerdas dan berkualitas. Lebih dari itu, sekolah ini juga dibuka untuk umum, jadi tidak hanya meningkatkan pendidikan untuk anggota SPP juga untuk masyarakat umum. Namun begitu, pendampingan di OTL Pasawahan II tidak mencakup pendidikan cara bercocok tanam, bantuan modal, ternak dan distribusi hasil panen karena koperasi baru dibentuk dan belum berjalan.

5.6. Peran Aktor-aktor Lain

Upaya untuk mewujudkan reforma agraria yang dilakukan di dua OTL tersebut tidak bisa lepas dari peran-peran aktor lain yang ikut terlibat di dalamnya. Aktor-aktor tersebut turut berperan dalam setiap atau sebagian tahapan pelaksanaan, mulai dari upaya perebutan tanah, pengorganisasian, perlawanan petani, konsolodasi, hingga upaya untuk mewujudkan reforma agraria melalui legalisasi aset. Aktor-aktor ini dapat dibedakan atas aktor yang berasal dari “dalam” dan aktor “luar”

Aktor-aktor “dalam” yang terlibat mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ada beberapa aktor yang dominan dalam upaya untuk mewujudkan reforma agraria di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II. Aktor tersebut antara lain Serikat Petani Pasundan (SPP). SPP ini bisa disebut sebagai aktor utama karena kedua OTL ini merupakan bagian dari SPP. Aktor lainnya yang juga dominan adalah FARMACI, peran mereka sangat dominan dalam upaya-upaya pendampingan masyarakat petani di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II. Pendampingan yang dilakukan mulai dari pengutan organisasi, pendampingan-pendampingan dalam urusan

(27)

hukum, pendampingan dalam memperjuangkan tanah melalui upaya-upaya reklaiming, pendampingan dalam proses produksi dan distribusi hasil pertanian. Meskipun hasilnya belum begitu terlihat. Sebagai contoh, pembangunan koperasi yang dilakukan di OTL Banjaranyar II tidak berjalan sesuai fungsinya, serta belum terealisasinya koperasi di OTL Pasawahan II.

Aktor penting lainnya adalah aktor dari luar. Dengan kepentingan yang berbeda, mereka ikut membangun kedua OTL ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktor-aktor ini antara lain berasal dari LSM maupun lembaga riset maupun pihak pemerintah, seperti: Sajogjo Institut (SAINS), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Aktor-aktor ini melakukan riset untuk memahami dan membantu kedua OTL tersebut dalam upaya mewujudkan reforma agraria. Aktor-aktor ini tidak jarang juga bekerjasama dengan aktor lainnya baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Gambar

Gambar 5.2. Lingkup Hubungan Agraria di OTL Banjaranyar II  Keterangan:
Tabel 5.1.   Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di  OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar
Tabel 5.4. Perbandingan Kelembagaan Produksi Pertanian Pra & Pasca Reklaiming Lahan di  OTL Banjaranyar II, Desa Banjaranyar

Referensi

Dokumen terkait

Argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout sebagaimana dikutip oleh Litvack, et al (1998), menyatakan bahwa pelayanan publik yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi profesional guru terhadap motivasi belajar siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS

Dalam membahas setiap serangan terhadap kriptografi, kita selalu mengasumsikan kriptanalis mengetahui algoritma kriptografi yang digunakan, sehingga satu-satunya keamanan

Menurut Widyastuti dkk (2010) pembekalan pengetahuan kesehatan reproduksi yang diperlukan remaja meliputi : 1) Perkembangan fisik, mental, dan kematangan seksual remaja, yaitu

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) untuk Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Pesantren: Studi Kasus di PKBM

8Hubungan Sosialisasi Kewenangan Tenaga Kesehatan Dalam Menjalankan Praktik Profesi dengan Kualitas Pelayanan Kesehatan Pasien Rawat Inap BPJS Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah

Rekapitulasi hasil sidik ragam dari terhadap perbandingan hasil produksi beberapa galur tanaman buncis tegak (Phaseolus vulgaris l.) hasil introduksi dengan varietas