i
PEMBERIAN TEHNIK RELAKSASI EFFLUERAGE TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. N
DENGAN APPENDICITIS DI RUANG FLAMBOYAN
RSUD SUKOHARJO
Disusun Oleh :
RADETYA PRIMA PERDANA P.12 046
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
i
PEMBERIAN TEHNIK RELAKSASI EFFLUERAGE TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. N
DENGAN APPENDICITIS DI RUANG FLAMBOYAN
RSUD SUKOHARJO
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
RADETYA PRIMA PERDANA P.12 046
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
v
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Pemberian Tehnik Relaksasi Effleurage Terhadap Penurunan Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Ny. N dengan Apendicitis di Ruang Flamboyan RSUD Sukoharjo.”
Dalam Penyusunan Karya Tulis ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. Sekaligus dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. Sekaligus dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
vi studi kasus ini.
4. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
5. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
6. Teman-teman Mahasiswa Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta,
vii
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penulisan ... 3 C. Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apendiksitis ... 5
B. Konsep Asuhan Keperawatan... 12
C. Nyeri ... 22
D. Effleurage ... 32
E. Relaksasi ... 35
BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek Aplikasi Riset ... 40
B. Tempat danWaktu ... 40
C. Media dan Alat yang digunakan ... 40
D. ProsedurTindakan ... 41
E. Alat Ukur ... 41
BAB IV LAPORAN KASUS A. Pengkajian ... 42
viii BAB V PEMBAHASAN A. Pengkajian ... 55 B. Diagnosa Keperawatan ... 58 C. Intervensi ... 61 D. Implementasi ... 65 E. Evaluasi ... 68
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
x
Gambar 2.2Skala numerik ... 30
Gambar 2.3 Skala deskriptif ... 30
Gambar 2.4Kerangka teori ... 38
Gambar 2.5Kerangka konsep ... 39
xi Lampiran 1 Log Book
Lampiran 2 Format Pendelegasian Pasien Lampiran 3 Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah Lampiran 5 Jurnal Pendukung
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Appendicitis adalah peradangan mendadak atau pembengkakan usus buntu (vermiformis apendiks). Sekitar setengah dari semua apendisitis gejalanya adalah sakit rongga perut yang tiba-tiba (disebut abdomen akut) disertai mual, muntah, diare atau konstipasi (Sundaru, 2005).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem pencernaan masih menduduki peringkat pertama yang tinggi sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Penyakit appendicitis merupakan salah satu kelainan yang mengganggu sistem pencernaan. Appendicitis merupakan penyakit radang pada appendiks vermiformis yang terjadi secara akut. Apendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui dengan pasti namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu (Sundaru, 2005).
Insiden penyakit appendicitis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : umur pasien, jenis kelamin, makanan, lingkungan dan faktor daya tahan tubuh. Apendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6-9 cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dihancurkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya apendicitis (radang pada apendiks) (Smeltzer & Bare, 2002).
Salah satu pengobatan yang dilakukan untuk kasus apendicitis adalah dengan melakukan tindakan operasi pengangkatan apendiks atau appendictomy, dilakukanya pembedahan akan menimbulkan luka sayatan yang dapat menyebabkan rasa nyeri pasca pembedahan appendictomy.
Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, bau, rasa, sentuhan, dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita (Lyrawati, 2009).
Pengelolaan manajemen nyeri dapat dilakukan dengan berbagai tehnik antara lain yaitu teknik hipnotis, distraksi, imajinasi terbimbing dan tehnik relaksasi effluerage. Tehnik relaksasi effluerage merupakan tehnik relaksasi dengan melakukan masase daerah sekitar fokus nyeri yang terjadi sehingga otot-otot sekitar menjadi relaksasi. Apabila otot rileks maka kita menempatkan tubuh pada posisi sebaliknya. Otot tidak tegang, tubuh dalam keadaan seimbang, dan keringat berhenti bercucuran (Potter & Perry, 2006).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Sukoharjo ruang flamboyan, penulis memperoleh data hasil wawancara dengan salah satu perawat bahwa kasus apendiksitis selama 2014-2015 sejumlah 129 kejadian. Tetapi teori tentang tehnik relaksasi effleurage ini belum diterapkan oleh rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merasa tertarik melakukan pengelolaan kasus nyeri pada pasien post op dengan menerapkan intervensi tindakan terapi effluerage sebagai bentuk aplikasi riset yang kemudian di
tuangkan dalam bentuk karya tuis ilmiah dengan judul “pengaruh tehnik relaksasi effluerage terhadap penurunan nyerri pada pasien post appendictomy”.
B. Tujuan penulisan. 1. Tujuan umum
Untuk mengaplikasikan tehnik relaksasi effleurage terhadap penurunan nyeri pada pasien Ny. N dengan appendicsitis
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan appendicitis.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan appendicitis.
c. Penulis mampu merumuskan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan appendicitis.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan appendicitis.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan appendicitis. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian tehnik relaksasi effleurage
terhadap penurunan nyeri pada Ny. N dengan appendicitis. C. Manfaat penelitian
1. Bagi pasien
Meningkatkan kegiatan menurunkan nyeri secara mandiri melalui pengelolaan managemen nyeri.
2. Bagi rumah sakit
Sebagai bahan acuan untuk menganalisis peranan perawat untuk memberikan tindakan keperawatan kepada pasien pasca operasi melalui pengelolaan managemen nyeri.
3. Bagi profesi
Mengembangkan metode pengelolaan nyeri pasca operasi dan meningkatkan kesadaran mengembangkan ilmu keperawatan dengan penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tinjauan teori A. Appendicitis
1. Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Pengosongannya tidak efektif, dan lumenya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (Dan L. Longo, Anthony S. Fauci, 2014). Apendik adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal (Smeltzer, Suzane, c. 2001).
Apendiks adalah peradagan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang dilakukan sesegaera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Smeltzer Suzanne, C, 2001).
2. Klasifikasi apendisitis a. Appendicitis akut
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut talah nyeri samar samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat, 2005).
b. Appendicitis kronik
Diagnosis appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dati 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria makroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5% (Sjamsuhidayat, 2005).
c. Appendicitis purulenta (Supurative appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin (Sjamsuhidayat, 2005).
d. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong yang mendorong dilakukan apendiktomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, appendicitis tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut (Sjamsuhidayat, 2005).
3. Etiologi
Appendicitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami appendicitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka pria lebih sering dipengaruhi dari pada wanita, dan remaja lebih sering pada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapapun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun (Dan L. Longo, Anthony S. Fauci, 2014).
4. Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekait (masa keras dari feses), tumor, atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus (Dan L. Longo, Anthony S. Fauci, 2014).
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat menyebabkan peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga menimbulkan nyeri kanan bawah disebut apendiksitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infeksi dinding apendiks yang diikuti dengan gangren yang disebut apendiksitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan appendiks dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya taham tubuh yang menjadi kuarng memudahkan terjadinya perforasi. Pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
5. Manifestasi Klinis
Konstipasi sering mendahului terjadinya divertikulosis sampai beberapa tahun. Tanda-tanda divertikulosis akut adalah iregularitas usus dan intravel diare,nyeri dangkal dan kram pada kuadran kiri bawah abdomen,
dan demam ringan. Mual dan muntah mungkin dijumpai. Pada inflamasi lokal divertikula berulang, usus besar menyempit pada striktur fibrotik, yang menimbulkan kram, fases berukuran kecil-kecil, dan peningkatan konstipasi. Perdarahan samar dapat terjadi, menimbulkan anemia defisiensi besi. Selain itu, terlihat kelemahan dan keletihan (brunner & suddarth, 2005). Menurut (Muhammad jauhar, 2013) manifestasi klinis sebagai berikut :
1) Nyeri kuadran bawah. 2) Demam ringan. 3) Mual-muntah.
4) Hilangnya nafsu makan.
5) Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney.
6) Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan).
7) Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah.
8) Distensi abdomen akibat ileus paralitik. 9) Kondisi pasien memburuk.
6. Komplikasi
Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105 sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi
secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.
Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses (Muhammad jauhar, 2013).
7. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV di berikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomy (pembedahan untuk mengatngkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif (brunner & suddarth, 2005).
Penatalaksanaan bedah ada dua cara yaitu non bedah (non surgical) dan pembedahan (surgical)
1. Non bedah (non surgical)
Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses pasase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada makanan
d. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah refluks nonturnal
2. Pembedahan (surgical)
Yaitu dengan apendiktomi. Operasi dapat dipersiapkan hal-hal sebagai berikut :
Insisi travenal 5 cm atau oblik dibuat diatas titik maksimal nyeri tekan atau massa yang dipalpasi pada fosa iliaka kanan. Otot dipisahkan ke lateral rektus abdominalis. Mesenterium apendikular dan dasar apendiks diikat dan apendiks diangkat. Tonjolan ditanamkan ke dinding sekum dengan menggunakan jahitan purse string untuk meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis.
Kavum peritoneum dibilas dengan larutan tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka sepsis pasca operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).
8. Pemeriksaan diagnostik
Laboratorium : Terdiri dari pemerikssan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukosit) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : Terdiri dari pemeriksaaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.
Jumlah leokosit lebih tinggi dari 10.000/mm3, normalnya 5.000-10.000/mm3. Jumlah netrofil lebih tinggi dari 75%.
Pemberian urine rutin, urinalis normal, tetapi eritrosit atau lekositmungkin ada. Pemeriksaan foto sinar x tidak tampak kelainan yang spesifik.
B. Asuhan keperawatan apendisitis 1. Pengkajian
a. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
b. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan lebih baik dari pada tinggal dilingkungan yang kotor. c. Riwayat kesehatan dahulu
1) Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri bersekitar umbilikus
2) Riwayat kesehatan dahulu
3) Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakasn, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dari hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
d. Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi
Pada appendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
2) Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Penekanan perut kiri bawah akan terasa nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
3) Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
4) Uji psoas dan uji obturator.
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian pada paha kanan di tahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada appendicitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008).
e. Perubahan Pola Fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus appendicitis menurut (Doenges, 2005) adalah sebagai berikut :
1) Aktivitas / istirahat Gejala : Malaise. 2) Sirkulasi
Tanda : Takikardi 3) Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan. Penurunan atau tidak ada bising usus.
4) Makanan/ cairan Gejala : Anoreksia Mual / mutah. 5) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan teralokasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin. Batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau terlentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak. 6) Pernafasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal 7) Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah) f. Diagnosa dan Fokus Intervensi
1) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses ; prosedur invasif infisi bedah.
KH : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/ inflamasi, drainase purulen, eritema dan edema.
Intervensi :
a) Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
rasional : dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonitis
b) Lihat insisi dan balutan. Catatan karakteristik drainase luka/ drein (Bila dimasukan), adanya eritema.
rasional : memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/ atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
c) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik. Berikan perawatan paripurna.
rasional : menurunkan resiko penyebaran infeksi.
d) Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien/ orang terdekat.
rasional : pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas.
e) Ambil contoh drainase bila diindikasikan
rasional : kultur pewarnaan gram dan sensitivitas berguna untuk mengidentifikasikan organisme penyebab dan pilihan terapi.
f) Berikan antibiotik sesuiai indikasi
rasional : mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen.
g) Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan
rasional : dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.
2) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebih, pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik, inflamasi peritonium dengan cairan asing. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cairan dan elektrolit menjadi kuat.
KH : Kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik,tanda vital stabil dan secara individual keluaran urin adekuat.
Intervensi :
a) Awasi tekanan darah dan nadi
Rasional : tanda yang membantu mengidentifikasikan fluktuasi volume intra vaskuler.
b) Lihat membran mukosa : kaji turgor kulit dan pengisian kapiler. Rasional : indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
c) Awasi masukan dan keluaran : catat warna urin/ konsentrasi, berat jenis.
Rasional : penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan. d) Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus,
Rasional : indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan oral.
e) Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral dimulai, dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
Rasional : menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.
f) Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindung bibir.
Rasional : dehidrasi megakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah.
g) Pertahankan penghisapan gaster/ usus.
Rasional : selang NGT biasanya dimasukan pada praoperasi dan dipertahankan pada fase segera pasca operasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah.
h) Berikan cairan IV dan elektrolit.
Rasional : peritonium bereaksi terhadap iritasi/ infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan
volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.
3) Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi : adanya insisi bedah
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks, mampu istirahat/ tidur dengan cepat.
Intervensi :
a) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional : berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi.
b) Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional : gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.
c) Dorong dan ajarkan ambulasi dini
Rasional : meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh : merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen.
d) Berikan aktivitas hiburan
Rasional : fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
e) Pertahankan puasa/ penghisapan NG pada awal.
Rasional : menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster/ muntah.
f) Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain seperti ambulasi, batuk.
g) Berikan kantong es pada abdomen
Rasional : menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kompresi jaringan. 4) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan dengan tidak mengenal sumber informasi dan salah interpretasi informasi.
Tujuan : menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan potensial komlikasi.
KH : berpartisipasi dalam program pengobatan Intervensi :
a) Kaji ulang pembatasan aktivitas pasca operasi, contoh : olahraga, seks, latihan menyetir.
Rasional : memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah.
b) Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri, edema/ eritema luka, adanya drainase, demam.
Rasional : upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius, contohnya : peritonitis, lambatnya proses penyembuhan. c) Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat
periodik.
Rasional : mencegah kelemahan, meningkatan penyembuhan dan perasaan sehat, mempermudah kembali ke aktivitas normal. d) Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/ pengikat.
Rasional : pemahaman meningkatkan kerjasama dengan program terapi, meningkatkan penyembuhan dan proses perbaikan.
e) Berikan laksatif/ pelembek fases jika diinginkan dan hindari enema.
Rasional : membantu kembali ke fungsi usus semula, mencegah mengejan saat defekasi (Doenges, 2005).
C. Nyeri
1. Definisi
Batasan atau definisi nyeri yang diusulkan oleh the international association for the study pain adalah suatu pengalaman perasan dan emosi yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan sebenarnya ataupun potensial pada suatu jaringan. Nyeri merupakan perasaan tubuh atau bagian dari tubuh manusia, yang senantiasa tidak menyenangkan dan keberadaan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman rasa (Judha, 2012).
Nyeri adalah suatu yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh stimulus spesifik seperti mekanik, ternal, kimia atau elektrik pada ujung-ujung saraf serta tidak dapat diserahkan kepada orang lain. Nyeri bersifat subjektif dan hanya pasien yang dapat merasakan adanya nyeri. Perawat dapat mengetahui adanya nyeri dari keluhan pasien dan tanda umum atau respon fisiologis tubuh pasien terhadap nyeri. Keluhan dan respon tubuh terhadap nyeri dapat berupa pasien tampak meringis kesakitan, nadi meningkat, berkeringat, nafas cepat, pucat, berteriak, dan tekanan darah meningkat (Lukas, 2004).
Nyeri merupakan pegalaman subjektif yang meliputi interaksi kompleks dari fisiologis, psikososial, budaya, dan pengaruh lingkungan. Stimulus nyeri dapat bersifat fisik dan mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan actual atau pada fungsi ego seorang individu. Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak meyenangkan yang berjaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah terjadi maupun berpotensi terjadi (Judha, 2006).
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan durasi
Berdasarkan durasinya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan (Andarmoyo, 2013).
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Potter dan Perry, 2005).
b. Berdasarkan asal
Nyeri diklasifikasikan berdasarkan asalnya dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi pada nyeri post operatif dan nyeri kanker.
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perier maupun sentral. Nyeri ini bertahan lebih lama dan akan sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri seperti rasa terbakar (Andarmoyo, 2013).
c. Berdasarkan Lokasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi sebagai berikut (Potter dan Perry, 2006):
1) Superficial atau Kutaneus
Nyeri superficial adalah nyeri yang disebabkan stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contohnya tertusuk jarum dan luka potong kecil atau laserasi.
2) Viseral dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Pada nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan, dan berkaitan dengan mual atau gejala-gejala otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung organ yang terlibat. Contohnya sensai pukul seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung.
3) Nyeri alih
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat
terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat dengan berbagai karakteristik. Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang dan lengan kiri.
4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh lain. Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Contohnya nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.
3. Mekanisme nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat (Brookoff, 2000 dalam Rizaldy, 2007).
Nyeri terjadi apabila terdapat adanya rangsangan mekanikal, termal dan kimiawi yang melewati ambang rangsang tertentu. Rangsangan akan terdeteksi oleh nosiseptor yang merupakan ujung saraf bebas.rangsangan akan dibawa sebagai implus saraf melalui saraf A bermielin berkecepatan hantar yang cepat dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat, tajam, terlokalisasi serta serabut C yang tidak bermielin berkecapatan
hantar saraf lambat dan bertanggung jawab atas nyeri ynag tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas.
4. Respons terhadap nyeri a. Respons fisiologis
Menurut Smeltzer, S.C & Bare B.G (2002) dalam Andarmoyo (2013), respons fisiologis harus digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dari nyeri individu.
Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi. Respons stimulasi simpatik contohnya peningkatan frekuensi denyut jantung, dilatasi pupil, dan peningkatan kadar glukosa darah. Sedangkan stimulasi respons parasimpatik contohnya pucat, ketegangan otot, dan penurunan denyut jantung atau tekanan darah (Potter dan Perry, 2006).
b. Respons Perilaku
Respons perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam. Meskipun respons perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama
bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respons perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim (misal orang tersebut menderita retardasi mental yang sangat berat atau tidak sadar). Respons perilaku nyeri klien dapat dilihat melalui vokalisasi, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan interaksi sosial (Potter dan Perry, 2006).
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi respons nyeri
Mc. Caffery dan Prasero (1999) dalam Prasetyo (2010), menyatakan bahwa hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri, faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Usia
Usia dapat berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya. b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri. Hanya saja beberapa kebudayaan memengaruhi jenis kelamin dalam memakni nyeri, misal : menganggap bahwa anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter dan Perry, 2006).
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan memengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2006).
d. Gaya koping
Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Penting untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri. Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung melakukan latihan atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan sebagai upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu (Potter dan Perry, 2006)
e. Dukungan keluarga sosial
Faktor lain yang bermakna memengaruhi respons nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung pada anggota keluarga terdekat atau teman terdekat untuk mendapat dukungan, bantuan dan perlindungan (Potter dan Perry, 2006).
6. Penilaian respons intensitas nyeri
Menurut Tamsuri (2007) dalam Khodijah (2011), intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.
Penilaian Intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut :
b. Skala analog visual
Gambar 2.1 Skala Analog Visual
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) adalah suatu garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau angka (Potter dan Perry, 2006).
c. Skala numerik
Gambar 2.2 Skala Numerik
Skala penilaian numeric (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik (Potter dan Perry, 2006).
d. Skala deskriptif
Gambar 2.3 Skala Deskriptif
Keterangan :
0 : tidak ada nyeri.
1-3 : nyeri ringan, secara obyektif klien mampu berkomunikasi dengan baik.
4-6 : nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang, maupun distraksi.
10 : nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, respon memukul.
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal, (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang diarasakan.Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter dan Perry, 2006).
7. Penatalaksanaan nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006), penatalaksanaan nyeri dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu :
a. Manajemen farmakologis 1) Analgesik narkotik 2) Analgesik non narkotik b. Manajemen non farmakologis
1) Bimbingan antisipasi
2) Terapi es dan panas/kompres panas dan dingin 3) Distraksi
4) Relaksasi
5) Imajinasi terbimbing 6) Hipnosis
7) Akupuntur
8) Umpan balik biologis 9) Masase/effleurage 10) Kompres Dingin D. Effleurage/ Pemijatan
1. Definisi
Masssage atau pemijatan pada abdomen (effleurage) adalah bentuk stimulasi kulit yang digunakan selama proses persalinan dalam menurunkan nyeri secara efektif. Effleurage berasal dari bahasa prancis. Ketika catatan dari Dr. Fernand Lamazes diterjemahkan dari bahasa
prancis kedalam bahasa inggris, salah satu kata yang baru adalah effleurage (Mons Dragon, 2005).
Effleurage adalah tekhnik pemijatan berupa usapan lembut, lambat dan panjang atau tidak putus-putus. Tehnik ini menimbulkan efek relaksasi. Lakukan usapan dengan ringan dan tanpa tekanan kuat, tetapi usahakan ujung jari tidak lepas dari permukaan kulit. Pijatan effleurage dapat juga dilakukan di punggung. Tujuan utamanya adalah relaksasi (Mons Dragon, 2005).
Effleurage adalah suatu gerakan dengan mempergunakan seluruh telapak tangan melekat pada bagian bagian tubuh yang di gosok (Bambang Trisno Wiyoto, 2011).
2. Metode effleurage
Langkah-langkah melakukan tehnik ini adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan pola gerakan melingkari abdomen, di mulai dari shimpisis pubis, arah ke samping perut, umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas simphisis pubis (Pilliteri, 1993), bentuk pola gerakannya seperti kupu-kupu. Ulangi gerakan diatas selama 3-5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan (Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009: 341).
3. Variasi effleurage
Dalam remidial massage, terdapat beberapa macam variasi effleurage, antara lain :
a. Gosokan dengan menggunakan telapak tangan dilakukan dengan tekanan yang dangkal (superficial stroking).
b. Gosokan dengan mempergunakan pangkal telapak tangan dilakukan dengan tekanan yang dalam.
c. Gosokan dengan menggunakan punggung kepalan tangan pada otot-otot yang besar dengan lebar bagian pinggang dan punggung dilakukan dengan tekanan yang dalam.
d. Gosokan dengan menggunakan kedua ibu jari (Bambang Trisno Wiyoto, 2011).
4. Efek effleurage
Efek terapeutik atau penyembuhan dari effleurage ini antara lain adalah : a. Membantu melancarkan peredaran darah vena dan peredaran getah
bening/cairan limfe.
b. Membantu memperbaiki proses metabolisme.
c. Menyempurnakan proses pembuangan sisa pembakaran atau mengurangi kelelahan.
d. Membantu penyerapan (absorbsi) odema akibat peradangan.
E. Relaksasi 1. Definisi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Relaksasi adalah suatu tindakan pengurangan tekanan mental, fisik, dan emosi melalui suatu aktivitas dengan tujuan tertentu yang dapat menenangkan pikiran dan fisik seseorang (Lowdermilk, D. L. & Perry se. 2004).
Relaksasi adalah satu tehnik dalam terapi perilaku yang berguna untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan. Relaksasi merupakan suatu terapi yang diberikan kepada pasien dengan cara menegangkan otot-otot tertentu, kemudian relaksasi (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. Metode
Berbagai metode relaksasi digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan denyut jantung, penurunan respirasi serta penurunan ketegangan otot. Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi otot. Berikut prosedur napas dalam dan relaksasi otot yang dapat di ajarkan pada klien :
a. Nafas dalam
1) Anjurkan pasien untuk duduk relaks.
3) Tahan beberapa detik, kemudian lepaskan (tiupkan lewat bibir). Saat menghembuskan udara anjurkan klien untuk merasakan relaksasi.
b. Relaksasi Otot
1) Anjurkan pasien untuk mengepalkan tangan dan mintalah klien merasakan, biarkan ketegangan bebrapa detik.
2) Mintalah klien untuk melepaskan kepalan, dan relaks.
3) Lanjutkanlah tindakan yang sama pada bebrapa otot (lengan, bahu, muka, kaki).
3. Tujuan
Relaksasi bertujuan untuk mengatasi atau mengurangi kecemasan, menurunkan ketegangan otot dan tulang, serta secara tidak langsung dapat mengurangi nyeri dan menurunkan ketegangan yang berhubungan dengan fisiologis tubuh (Kozier & Olivieri, 1996).
Pelatihan relaksasi bertujuan untuk melatih pasien agar dapat mengondisikan dirinya untuk mencapai suatu keadaan rileks. Pada saat seseorang sedang mengalami ketegangan dan kecemasan, syaraf yang bekerja adalah sistem saraf smpatis (berperan dalam meningkatkan denyut jantung). Pada saat relaksasi, yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis. Dengan demikian, relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara resiprok (saling berbalasan) sehingga timbul counter conditioning dan pengalihan nyeri serta kecemasan yang dialami seseorang.
4. Indikasi
Latihan relaksasi dapat digunakan pada pasien yang mengalami nyeri, untuk mengurangi rasa nyeri kerena kontraksi otot, mengurangi pengaruh dari situasi stress, dan mengurangi efek samping dari kemoterapi pada pasien kanker (Sheridan & Radmacher, 1992). Hal ini terjadi karena tehnik relaksasi dapat mengurangi ketegangan, kecemasan, dan menurunkan sensitivitas nyeri (Basset Healthcare, 2008).
5. Manfaat
Keuntungan relaksasi adalah dapat mengatasi tekanan darah tinggi dan ketidakteraturan denyut jantung, mengurangi nyeri kepala, nyeri punggung, dan nyeri lainya serta mengatasi gangguan tidur (Bensong & Proctor, 2002).
Relaksasi telah dikenal dalam meringankan rasa nyeri dan tingkat kecemasan seseorang. Metode ini diduga bekerja dengan memutuskan lingkaran jalur nyeri dan ketegangan. Beberapa percobaan menduga, bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri akut, meskipun kualitas nyeri tersebut bervariasi (Bandoiler, 2007).
9. Kerangka Teori Faktor penyebab : Faktor penyebab : Apendiksitis Laparotomi
Gambar 2.4 kerangka teori Nyeri pembedahan
Teknik relaksasi effleurage
Nyeri berkurang
Nyeri hilang
Frekuensi denyut jantung meningkat Dilatasi pupil
Peningkatan kadar glukosa darah
Relaksasi
Aksi stimulasi saraf parasimpatik Otot relaks
Frekuensi denyut jantung turun s/d normal
10. Kerangka Konsep
Gambar 2.5 kerangka konsep
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek karya tulis ilmiah
Subyek dari riset ini adalah orang dewasa yang menderita apendisitis. B. Tempat dan waktu
Aplikasi riset ini direncanakan akan dilakukan di ruang flamboyen RSUD Sukoharjo pada tanggal 9-25 Maret 2015.
C. Media dan alat yang digunakan
Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang digunakan : 1. Lembar observasi
2. Media
a. Alat ukur nyeri b. Bolpen
D. Prosedur tindakan
Prosedur tindakan yang akan dilakukan pada aplikasi riset tentang Pemberian Metode Effleurage dalam Mengurangi Rasa Nyeri pada pasien post appendicitis adalah :
Tabel 3.1 Prosedur tindakan N0 Tindakan 1 Orientasi a. Mengucapkan salam b. Memperkenalkan diri c. Menjelaskan tujuan
d. Menjelaskan prosedur tindakan e. Menanyakan kesiapan pasien 2 Fase kerja
a. Mencuci tangan b. Memposisikan pasien
c. Memberikan baby oil di daerah yang akan di pijat d. Lakukan pijatan kearah pusat ke simphisis
e. Lakukan pemijatan dengan gerakan melingkar atau satu arah 3 Fase terminasi
a. Mengevaluasi tindakan
b. Menjelaskan rencana tindak lanjut’ c. Mengucapkan salam
E. Alat ukur evaluasi
Alat ukur evaluasi yang digunakan sebagai berikut : Tabel 3.2 Alat ukur nyeri
BAB IV LAPORAN KASUS
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang aplikasi jurnal pemberian tehnik relaksasi effleurage terhadap penurunan nyeri pada asuhan keperawatan Ny. N dengan appendicitis di ruang flamboyan RSUD Sukoharjo. Asuhan keperawatan Ny. N meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah keperawatan, implementasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 08.30 WIB dengan menggunakan metode autoanamnesa dan allowanamnesa.
A. Identitas pasien
Hasil pengkajian diperoleh data antara lain, nama klien Ny.N, usia 55 tahun, beragama islam, pendidikan terakhir sekolah dasar (SD), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, beralamat di Ngeluyu rt 03/03 Mancasan, Baki, Sukoharjo, dirawat di RSUD Sukoharjo dengan diagnosa medis post operasi apendiktomi, dengan nomor registrasi 216xxx. Identitas penanggung jawabnya adalah Tn.N berusia 27 tahun, pendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA), pekerjaan swasta, alamat di Ngeluyu rt 03/03 Mancasan, Baki, Sukoharjo, hubungan dengan klien sebagai anak.
B. Pengkajian
Keluhan utama klien saat dikaji, klien mengeluhkan nyeri pada perut bagian kanan bawah. Riwayat penyakit sekarang klien mengatakan bahwa sudah merasakan nyeri perut bagian kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu, nyeri sering
kambuh kemudian di periksakan di poli bedah umum RSUD Sukoharjo untuk diperiksa. Klien dianjurkan untuk operasi apendiktomi pada hari selasa tanggal 10 Maret 2015, setelah di operasi kemudian di tentukan diagnosa post operasi apendiktomi dan di rawat di ruang flamboyan RSUD Sukoharjo untuk penangan lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu, klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit menular atau berbahaya hanya batuk, pilek, panas, klien belum pernah mengalami kecelakaan maupun operasi sebelumnya. Klien tidak mempunyai alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
Pengkajian riwayat kesehatan keluarga
Gambar 4.1 genogram Keterangan : : laki-laki : perempuan : pasien : meninggal
: tinggal dalam satu rumah
Hasil riwayat kesehatan keluarga penulis lupa dalam mencantumkan inisial dari keluarga maupun klien.
Riwayat kesehatan keluarga, klien mengatakan bahwa di dalam keluarganya tidak ada penyakit keturunan seperti diabetes melitus, jantung, dan hipertensi. Riwayat kesehatan lingkungan, klien mengatakan bahwa sekitar lingkungan bersih.
Hasil pengkajian pola Gordon, pada pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan klien mengatakan bahwa sehat itu mahal harganya dan klien ingin cepat sehat kembali, klien menyesal setelah mengetahui penyakitnya harus dioperasi.
Pola nutrisi dan metabolisme sebelum sakit makan 3x sehari dengan nasi, sayur, lauk pauk, teh atau air putih, klien tidak memiliki keluhan dan makan satu porsi habis. Selama sakit klien makan 3x sehari dengan makanan yang disediakan rumahsakit (bubur, sayur, lauk pauk, teh atau air putih, klien hanya makan ½ porsi karena sedikit mual).
Pola eliminasi BAK sebelum sakit klien mengatakan bahwa BAK 4-7x sehari ± 120cc sekali BAK dengan kuning jernih, dan tidak ada keluhan. Selama sakit BAK terpasang dc kateter.
Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (score 0). Selama sakit untuk makan/minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM, klien memerlukan bantuan orang lain (score 2). Sedangkan untuk toileting klien di bantu dengan alat (score 3).
Pola istirahat tidur, sebelum sakit klien mengatakan dapat tidur dengan nyenyak baik malam maupun siang, tidur malam ±7 jam dan siang ±1 jam. Selama sakit klien mengatakan sering terbangun karena rasa nyeri, klien tidur ±6 jam dan siang hari ±1 jam.
Pola kognitif-perseptual sebelum sakit klien mampu berbicara dengan lancar, pendengaran dan penglihatan baik, klien juga mampu beraktivitas normal. Selama sakit klien tidak dapat berkaktivitas secara mandiri karena menahan nyeri
Pola persepsi konsep diri, sebelum sakit klien mengatakan bahwa dia selalu percaya diri, selama sakit klien mengatakan menerima keadaanya saat ini dan klien ingin segera sembuh untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.
Pola hubungan peran, sebelum sakit klien mengatakan bahwa tidak mengalami masalah hubungan dengan keluarga maupun lingkungan sekitar. Selama sakit klien mengatakan hubungan tetap baik dengan keluarga maupun lingkungan sekitar.
Pola seksual dan reproduksi, sebelum sakit klien mengatakan tidak memiliki suami karena meninggal, klien mempunyai 3 anak dan tidak ingin mempunyai anak lagi. Selama sakit klien mengatakan bahwa sudah tidak memiliki suami karena meninggal, klien mempunyai 3 anak dan tidak ingin memiliki anak lagi.
Pola mekanisme koping, klien mengatakan bila mempunyai masalah selalu mengatakan kepada keluarganya dan bermusyawarah untuk memecahkan masalah. Selama sakit klien mengatakan bahwa saat mengetahui masalah
kesehatanya klien merundingkan dengan keluarganya untuk segera melakukan penanganan lebih lanjut.
Pola nilai dan keyakinan, sebelum sakit klien mengatakan bahwa beragama islam dan selalu melakukan sholat 5 waktu. Selama sakit klien mengatakan bahwa dia hanya bisa berdoa selama sakit.
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran klien composmentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/ menit teraba kuat dan irama teratur, respirasi 20x/ menit irama teratur, dan suhu 36,5°C. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih. Rambut kuat, hitam dan sedikit beruban. Pemeriksaan mata didapatkan data mata simetris kanan-kiri, fungsi penglihatan baik, konjungtiva tidak anemis, dan sklera tidak ikterik. Mulut simetris, bersih, dan mukosa bibir lembab. Gigi sejajar dan bersih. Telinga simetris, tidak ada serumen, dan tidak mengalami gangguan pendengaran. Pada pemeriksaan leher, tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid.
Pada pemeriksaan fisik paru, didaptakan hasil inspeksi : bentuk dada simetris, tidak ada jejas, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi : sonor, auskultasi : vasikuler dan irama teratur. Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan hasil inspeksi : perut simetris, ada luka post operasi apendiktomi pada bagian kanan bawah, auskultasi : bising usus 15x/ menit, perkusi : redup di kuadran 1 dan tympani di kuadran 2, 3, 4, palpasi : tidak dilakukan.
Pemeriksaan genetalia, didapatkan hasil genetalia ersih dan tidak ada jejas dan terpasang kateter. pemeriksaan ekstremitas bagian atas didapatkan hasil kekuatan otot tangan kanan 4 (bergerak terbatas) dan tangan kiri 5 (bergerak
bebas), tetapi tangan kanan terpasang infus RL 20 tpm, peraban akral hangat, tidak ada odema, dan capilary reffil < 2 detik. Pemeriksaan ekstremitas bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki kanan dan kiri 5 ( bergerak bebas), perubahan akral hangat, tidak ada odema, dan capilary reffil < 2 detik.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 7 Maret 2015 di peroleh hasil : leokosit 12.6 10^3/ul (nilai normal 4.5-11.0), eritrosit 4.42 10^6/ul (nilai normal 4.30-6.30), hemoglobin 11,8 g/dl (nilai normal 13.5-17.5), hematokrit 35% (nilai normal 44-72), MCV 74.3 FL (nilai normal 98-122). MCH 24.5 Pg (nilai normal 33-41), MCHC 33.0 g/dl (nilai normal 31-35), trombosit 295 10^3/ul (nilai normal 229-553), RDW-CV 14.6 FL (nilai normal 11.5-14.5), PDW 10.1 FL, MPV 9.% FL, D-LCR 21.6, PCT 0.28, NRBC 0.00 (nilai normal 0-1), neutrofil 71.5 (nilai normal 17.8-68), limfosit 20.0 (nilai normal 20.0-70.0), monosit 6.00 (nilai normal 1.00-11.0), eosinofil 1.40 (nilai normal 1.0-5.0), basofil 0.60 (nilai normal 0-1). LG 0.50 , golongan darah A, GDS 122 mg/dl (nilai normal 0-120), ureum 32.o, creatinin 0.63.
Hasil pemeriksaan EKG tanggal 7 Maret 2015 didapatkan hasil HR 104 bpm, R-R 142 ms, P-R 142 ms, QRS 87ms, QT 33.1 ms, QTC 440 , Axis 13 deg, RVS 1.08 mv, SvI 0.99 mv, RTS 2.07 mv. Hasil pemeriksaan foto thorax tanggal 7 Maret 2015 didapatkan hasil COR tidak membesar dengan penonjolan arcusaorta, Pulmo tampak corakan bronchovaskuler normal, kedua apex terang, diagfragma dan sinus baik, sistema tulang intract.
Selama dirawat di ruang flamboyan, klien mendapatkan therapy infus RL 20 tpm untuk mengembalikan cairan elektrolit, injeksi ketorolak 30 mg/8 jam untuk pengelolaan nyeri berat dalam jangka pendek, injeksi ceftriaxone 1gr/12 jam untuk infeksi gram positif dan negatif pada saluran nafas, saluran kemih, dan injeksi ranitidin 50 mg/8 jam untuk pengobatan tukak lambung jagka pendek.
C. Daftar perumusan masalah
Data pengkajian dan observasi di atas, penulis melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keprawatan. Data subyektif : klien mengatakan nyeri ketika berpindah, nyeri terasa seperti tertusuk benda tajam, nyeri terasa di bagian perut kanan bawah (luka post operasi apendiktomi), dengan skala nyeri 4, nyeri hilang timbul. Data obyektif : klien tampak gelisah, perubahan posisi untuk menghidari nyeri, sikap tubuh melindungi, TD : 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit. Berdasarkan data di atas maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi apendiktomi).
Data subyektif : klien tidak mengatakan apapun. Data obyektif : tampak panjang sayatan ±5cm, luka tampak bersih,tidak ada tanda tanda kemerahan , dan tidak ada pus, leokosit 12.6 10^3/ul, TD : 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit. Berdasarkan data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Data subyektif : klien mengatakan sedikit bergerak dan aktivitas di bantu keluarga. Data obyektif : klien tampak kesulitan membalik posisi, pergerakan lambat, tremor akibat pergerakan. Berdasarkan data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidak nyamanan.
D. Perencanaan / intervensi keperawatan
Berdasarkan rumusan masalah keperawatan yang diperoleh di atas, maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil klien tampak tenang, skala nyeri berubah menjadi 1-2 atau hilang, mampu mengenali nyeri.
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah observasi tingkat nyeri (PQRST) dengan rasional untuk mengetahui tingkat nyeri, Berikan posisi yang nyaman dengan rasional untuk mengurangi nyeri, Berikan masase effleurage dengan rasional dapat memberikan relaksasi otot untuk menurunkan nyeri, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik (ketorolac 30mg/8jam) dengan rasional analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
Rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam didapatkan tidak ada tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil tidak ada kemerahan, tidak ada pus, luka bersih.
Rencana atau intervensi keperawatan yang dilakukan adalah observasi tanda-tanda infeksi dengan rasional untuk mendeteksi dini terhadap infeksi
akan mudah, lakukan perawatan luka dengan menggunakan tehnik septik dan aseptik dengan rasional untuk menurunkan terjadinya infeksi dan penyebaran bakteri, Observasi luka insisi dengan rsaional memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka, Ukur tanda-tanda vital dengan rasional untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi.
Rencana keperawatan dengan tujuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam di dapatkan klien mampu berakaktivitas secara mandiri dengan kriteria hasil klien mampu berpindah tempat, aktivitas klien mandiri, mampu melakukan aktivitas tanpa bantuan, mampu berjalan sendiri, mampu makan sendiri.
Rencana atau intervensi tindakan keperawatan yang di lakukan adalah Anjurkan dan pantau klien dalam hal penggunaan alat bantu dengan rasional menilai batasan kemampuan aktivitas optimal, ajarkan dan dukung klien dalam latihan rom aktif dan pasif dengan rasional untuk mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot, kaji tingkat kemampuan rom aktif pasien dengan rasional untuk dapat membantu dalam mempertahankan / meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot, ajarkan tehnik aktivitas dan latihan dengan rasional untuk melatih aktivitas dan latihan.
E. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan yang pertama dilakukan pada hari kamis tanggal 12 Maret 2015 pukul 08.30 yaitu mengobservasi tingkat nyeri (PQRST). Respon klien : klien mengatakan nyeri ketika berpindah, nyeri terasa seperti tertusuk, dengan skala nyeri 4, nyeri terasa di perut bagian kanan bawah (luka post
operasi apendiktomi), nyeri hilang timbul. Respon obyektif : eskpresi wajah klien menahan nyeri.
Pukul 08.35 WIB memberikan masase effleurage dengan respon subyektif klien mengatakan bahwa bersedia di berikan masase effleurage dan klien merasakan lebih mendingan setelah diberikan masase dengan skala nyeri berubah menjadi 3. Data obyektif klien terlihat lebih rileks, klien kooperatif.
Pukul 09.00 WIB kolaborasi dalam pemberian analgetik (ketorolac 30 mg ranitidin 50 mg dan ceftriaxone 1 gr) respon subyektif klien mengatakan bahwa bersedia di suntik. Respon obyektif klien tampak tenang, obat injeksi ketorolac, ranitidin, dan ceftriaxone sudah masuk melalui IV.
Pukul 09.30 WIB mengobservasi tanda tanda infeksi, respon subyektif klien klien tidak mengeluhkan apapun. Data obyektif luka tampak bersih, tidak ada kemerahan, tidak ada pus, dan panjang sayatan ± 5cm.
Pukul 10.00 WIB mengkaji tingkat kemampuan rom aktif, dengan respon subyektif klien mengatakan bahwa dapat menggerakan sendinya (bergerak bebas). Data obyektif klien tampak kooperatif.
Pukul 10.10 WIB mengajarkan tehnik aktivitas dan latihan, dengan respon subyektif klien mengatakan bahwa ketika duduk klien masih memerlukan bantuan keluarga dan klien bersedia untuk di ajari aktivitas dan latihan. Data obyektif klien tampak kooperatif.
Pukul 14.30 WIB memberikan masase effleurage, dengan respon subyektif klien mengatakan bahwa bersedia di masase, dan klien mengatakan nyeri berkurang setelah dilakukan masase/ pemijatan effleurage dengan skala nyeri 2. Data obyektif klien tampak lebih rileks dan tenang.
Pukul 14.45 WIB mengobservasi luka insisi, dengan respon subyektif klien tidak mengatakan apapun. Data obyektif tampak luka bersih, tidak ada kemerahan, dan panjang sayatan ± 5cm.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada hari kedua, Jum’at 13 Maret 2015 pukul 08.30 WIB adalah mengobservasi tingkat nyeri klien , dengan data subyektif klien mengatakan nyeri sudah berkurang hanya ketika buang gas nyeri terasa, nyeri sperti tertekan, nyeri pada perut bagian kanan bawah dengan skala 2, nyeri timbul ketika terasa buang gas. Data obyektif klien tampak tenang.
Pukul 08.35 WIB memberikan masase/pemijatan effleurage, dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia di berikan masase, dan klien mengatakan nyeri sudah berkurang atau hampir tidak ada dengan skala nyeri 1. Data obyektif klien tampak lebih rileks.
Pukul 09.00 WIB mengkaji tingkat kemampuan rom aktif, dengan respon subyektif klien mengatakan sudah dapat berdiri sendiri, dapat berjalan dengan sendiri mampu makan sendiri dan sudah tidak meminta bantuan keluarga. Data obyektif klien tampak duduk dengan rileks.