• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Invetarisasi Lahan Sawah di Kota Tangerang

Keberadaan Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan Ibukota Negara Indonesia memberikan kemudahan akses terhadap berbagai sarana dan prasarana transportasi darat, laut dan udara, baik bagi masyarakat Ibukota maupun masyarakat Kota Tangerang sendiri. Keunggulan ini telah banyak dimanfaatkan oleh pelaku industri, sehingga banyak lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi bentuk lain (bangunan).

Namun, dari luas total Kota Tangerang 164.539 km2

Tabel 9. Luas wilayah dan potensi baku lahan sawah di Kota Tangerang

masih terdapat lahan sawah yang berpotensi seluas 1.101 ha (Dinas Pertanian Kota Tangerang, 2008). Adapun luas wilayah dan luas lahan sawah per kecamatan di Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Kecamatan Luas Wilayah (km2) Potensi Lahan Sawah Irigasi (ha) Tadah Hujan (ha)

Ciledug 8.769 0 15 Larangan 9.397 0 0 Karang Tengah 10.474 0 14 Cipondoh 17.910 122 50 Pinang 21.590 50 198 Tangerang 15.785 0 10 Karawaci 13.475 0 34 Cibodas 9.611 0 0 Jatiuwung 14.406 0 0 Periuk 9.543 93 0 Neglasari 16.077 301 15 Batuceper 11.583 25 0 Benda 5.919 166 8 Jumlah 164.539 757 344

(2)

Pada Tabel 9 terlihat bahwa Kecamatan Neglasari merupakan kecamatan terbesar di Kota Tangerang yang masih memiliki lahan sawah, yaitu seluas 301 ha sawah beririgasi dan 15 ha sawah tadah hujan. Kecamatan Larangan, Cibodas dan Jatiuwung sudah tidak memiliki lahan sawah. Hal ini disebabkan di ketiga kecamatan tersebut lahan pertanian yang dahulu ada telah dialihfungsikan menjadi bangunan perumahan dan kawasan perindustrian.

Berdasarkan hasil wawancara informal dengan petani di Kota Tangerang diketahui bahwa sebagian besar petani di Kota Tangerang memiliki lahan sawah sudah turun temurun sejak sebelum tahun 1980-an dan sudah melakukan kegiatan budidaya padi sawah selama 20 tahun lebih, bahkan di beberapa lokasi penelitian telah melakukan kegiatan budidaya padi sawah selama 30 tahun lebih. Dalam setahun petani melakukan penanaman padi sebanyak 2 kali (padi – padi – bera), sedangkan petani yang memiliki sawah dengan sistem irigasi yang baik dapat melakukan penanaman padi 3 kali dalam setahun (padi – padi – padi). Pemupukan yang digunakan adalah pupuk urea, TSP, dan KCl. Dosis pemupukan yang digunakan umumnya dalam kisaran 200-300 kg urea/ha, 50-100 kg TSP/ha dan 50-100 kg KCl/ha.

5.2. Kondisi Sifat Fisik dan Kimia Tanah Lokasi Penelitian a) Tektur Tanah

Tekstur tanah menurut USDA adalah perbandingan relatif antar partikel tanah yang terdiri atas fraksi liat, debu, dan pasir (Sutanto, 2005). Tekstur tanah bersifat permanen/tidak mudah diubah dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat tanah yang lain seperti struktur, konsistensi, kelengasan tanah, permeabilitas tanah, run off, daya infiltrasi, dan lain-lain. Hasil analisis sifat fisik tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang pada kedalaman 0-20 cm disajikan pada Tabel 10.

(3)

Tabel 10. Tekstur tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang

Kelurahan Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Kelas Tekstur*)

Periuk 6 30 64 Liat Sepatan 5 31 64 Liat Neglasari 5 38 57 Liat Batujaya 8 28 64 Liat Karangsari 12 38 50 Liat Pajang 14 22 64 Liat Jurumudi 5 34 61 Liat Pakojan 17 30 53 Liat

Kunciran Indah 20 35 45 Liat

Kunciran 12 49 39 Lempung Liat Berdebu

Pondok Bahar 12 24 64 Liat

Gondrong 1 27 72 Liat

Porisgaga 4 36 60 Liat

Ket: *)

Pada Tabel 10 tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang yang berasal dari bahan induk tufa volkan intermedier dan endapan liat ini mempunyai tekstur tanah liat dengan kadar liat berkisar antara 45–72%, kadar debu 22–38% dan kadar pasir 1–17%. Namun terjadi perbedaan pada tekstur tanah pada lahan sawah di Kelurahan Kunciran yang bertekstur lempung liat berdebu dengan kadar liat 39%, kadar debu 49%, dan kadar pasir 12%.

Segi tiga tekstur USDA (Soepardi, 1983)

Tekstur tanah yang berkembang dari batuan beku sedimen liat dan tuf volkan intermedier memiliki kadar liat lebih tinggi dibandingkan debu dan pasir (Lia, 2004). Tekstur tanah yang berkembang dari batuan tuf volkan intermedier (daerah Subang dan Purwakarta) memiliki kadar liat 57,79-70,55%; kadar debu 20,69-32,50%; dan kadar pasir 8,75-9,71%; sedangkan tanah yang berkembang dari batuan sedimen batuliat (daerah Sukabumi, Tangerang dan Bandung) mempunyai kadar liat 36,13-56,27%; kadar debu 26,84-34,35%; dan kadar pasir 12,05-37,02% (Wasahua, 2004).

(4)

b) Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah yang mempengaruhi keberadaan logam berat dalam tanah anatara lain yaitu reaksi tanah (pH), kandungan bahan organik, dan kapasitas tukar kation (KTK). Pentingnya nilai pH antara lain menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman, menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur-unsur-unsur beracun dan mempengaruhi perkembangan mikroorganisme (Hardjowigeno, 1989

dalam Napitupulu, 2008).

Keberadaan logam-logam berat berkaitan erat dengan kadar bahan organik di dalam tanah (Soepardi, 1983). Adanya bahan organik tanah akan menyebabkan pengkelatan kation-kation logam. Adapun hasil analisis sifat kimia tanah pada lahan sawah di sekitar Kota Tangerang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Sifat kimia tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang Kelurahan pH H2O C-org (%) Bahan Organik (%) KTK (cmol(+)/kg) Periuk 6,0 0,93 1,60 19,67 Sepatan 6,4 0,62 1,07 25,84 Neglasari 6,3 1,92 3,31 25,56 Batujaya 6,2 0,81 1,40 22,28 Karangsari 4,7 1,38 2,38 20,76 Pajang 6,1 1,21 2,09 26,62 Jurumudi 5,9 0,99 1,71 25,06 Pakojan 5,6 0,89 1,53 15,48 Kunciran Indah 5,4 0,76 1,31 15,82 Kunciran 5,5 0,51 0,88 8,67 Pondok Bahar 4,9 1,98 3,41 19,34 Gondrong 5,6 1,40 2,41 21,19 Porisgaga 5,6 1,50 2,59 19,34

Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) yang disajikan pada Lampiran 1, hasil analisis menunjukkan bahwa tanah di Kelurahan Kunciran Indah, Kunciran, Pondok Bahar, dan Karangsari memiliki tanah yang bereaksi masam (dengan nilai pH 4,7-5,5), sedangkan tanah

(5)

di Kelurahan Periuk, Sepatan, Neglasari, Batujaya, Pakojan, Gondrong, Pajang, Jurumudi, dan Porisgaga memiliki tanah yang bereaksi agak masam (dengan nilai 5,6-6,4). Dengan demikian, reaksi tanah pada lahan sawah yang ada di sekitar Kota Tangerang dapat dikelompokkan ke dalam tanah yang bereaksi masam sampai agak masam.

Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. pH optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah adalah sekitar 7,0 karena pada pH ini unsur hara makro tersedia secara maksimum, sedangkan unsur hara mikro tidak maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro tertekan. Pada pH dibawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca, dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe, sedangkan pada pH diatas 7,5 dapat terjadi defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca dan Mg serta keracunan B dan Mo (Hanafiah, 2005 dalam Napitupulu, 2008).

Pada Tabel 11 diatas terlihat bahwa kandungan C organik tanah sawah di Kota Tangerang tergolong sangat rendah dan rendah jika dibandingkan dengan kriteria kesuburan tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983). Tanah dikategorikan memiliki kandungan C organik yang sangat rendah apabila nilainya kurang dari 1,00%. Kelurahan Periuk, Sepatan, Batujaya, Pakojan, Kunciran Indah, Kunciran, dan Jurumudi memiliki kandungan C organik yang sangat rendah, yaitu berkisar antara 0,51-0,99%. Tanah dikategorikan memiliki kandungan C organik yang rendah apabila nilainya berkisar antara 1,00-2,00%. Kelurahan Neglasari, Pondok Bahar, Gondrong, Karangsari, Pajang, dan Porisgaga memiliki kandungan C organik yang rendah, yaitu berkisar antara 1,21-1,98%. Menurut Soepardi (1983) keberadaan logam-logam berat berkaitan erat dengan kadar bahan organik di dalam tanah. Adanya bahan organik tanah akan menyebabkan pengkelatan kation-kation logam.

Kapasitas Tukar Kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation (Hardjowigeno, 1993). Nilai KTK tanah bervariasi menurut tipe dan jumlah koloid yang ada dalam tanah. Pada lokasi penelitian terukur nilai KTK seperti yang ditampilkan pada Tabel 11. Nilai KTK tanah pada lahan sawah di kota Tangerang berkisar antara 8,67-26,62 cmol(+)/kg.

(6)

Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983), hasil analisis menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian memiliki KTK dengan kisaran rendah sampai dengan tinggi. KTK erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi lebih mampu menyediakan unsur hara dibandingkan dengan KTK rendah.

5.3. Konsentrasi Total Logam Berat Cu, Zn, Pb dan Cd dalam Tanah dan Beras

Logam berat adalah unsur kimia logam yang mempunyai densitas relatif tinggi dan toksik atau beracun pada konsentrasi rendah. Contoh logam berat misalnya Hg, Cd, Cr, Tl, dan Pb. Logam berat tidak dapat didegradasi atau dirusak. Logam ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman ataupun udara. Logam berat berbahaya karena cenderung berakumulasi dalam tubuh yang artinya konsentrasinya meningkat dalam organisme biologi menjadi lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan lingkungannya. Oleh karena itu keberadaan logam berat dalam lahan pertanian perlu mendapat perhatian yang serius, terutama lahan-lahan pertanian yang lokasinya di perkotaan dan atau dekat dengan perindustrian.

Tanah sawah di lokasi penelitian mengandung logam berat Cu, Zn, Pb dan Cd (Tabel 12). Kisaran kadar total logam berat Cu dalam tanah adalah 23,9-44,7 mg/kg, Zn 38-117 mg/kg, Pb 12,8-90,6 mg/kg dan Cd 0,1-0,3 mg/kg. Logam berat dalam tanah dapat terserap oleh tanaman melalui akar, kemudian ditranslokasikan ke bagian lain. Beras di lokasi penelitian mengandung logam berat Cu, Zn, Pb dan Cd dengan kisaran Cu 2,28-10,00 mg/kg, Zn 18,15-75,00 mg/kg, Pb 0,11-7,68 mg/kg dan Cd 0,01-0,10 mg/kg (Tabel 12).

(7)

Tabel 12. Konsentrasi total logam berat Cu, Zn, Pb dan Cd dalam tanah dan beras

Kelurahan Total Logam dalam Tanah (mg/kg) Total Logam dalam Beras (mg/kg)

Cu Zn Pb Cd Cu Zn Pb Cd Periuk 39,7 109,8 22,1 0,30 10,00 75,00 0,71 0,10 Sepatan 36,2 93,4 90,6 0,19 4,00 44,00 7,68 0,01 Neglasari 39,1 66,4 14,1 0,14 5,33 26,18 0,18 0,05 Batujaya 28,9 85,3 13,5 0,10 3,49 30,05 0,11 0,03 Karangsari 30,8 83,8 14,1 0,18 3,38 27,69 0,17 0,07 Pajang 37,2 117,0 12,8 0,19 5,00 24,00 0,11 0,03 Jurumudi 37,9 116,0 17,2 0,25 4,00 27,00 0,11 0,03 Pakojan 39,6 82,1 28,0 0,23 5,49 28,14 0,43 0,04 Kunciran Indah 42,8 70,0 27,9 0,14 3,95 25,75 0,57 0,05 Kunciran 23,9 38,0 17,9 0,10 3,89 18,15 0,33 0,03 Pondok Bahar 37,6 74,2 18,6 0,19 2,28 25,33 0,35 0,02 Gondrong 37,5 72,9 18,4 0,20 3,96 24,83 0,22 0,03 Porisgaga 44,7 109,0 24,3 0,13 5,00 29,00 0,11 0,04 Batas maksimum 60-125a) 70a) 100a) 0,5a) 10,00b) 40,00b) 0,3c) 0,1c) Batas maksimum 60-125d) 70-400d) 100-400d) 3-8d) - - - - Batas maksimum 100e) 500e) 150e) 5e) - - - -

Keterangan: a) Ministry of State for Population and Environmental of Indonesia and Dalhouise University, Canada (Kurnia et al., 2004) b) Keputusan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989

c)

Peraturan Kepala BPOM No HK.00.06.1.52.4011 d) Alloway (1995)

(8)

a. Tembaga (Cu)

Konsentrasi total logam Cu dalam tanah tertinggi terdapat di kelurahan Porisgaga yaitu sebesar 44,7 mg/kg, sedangkan yang terendah pada lahan sawah di kelurahan Kunciran sebesar 23,9 mg/kg (Gambar 4). Penentuan apakah logam berat yang terukur dalam tanah telah membahayakan bagi lingkungan atau tidak, belum bisa ditentukan karena di Indonesia belum mempunyai peraturan yang mengatur mengenai konsentrasi maksimum logam berat dalam tanah yang masih diperbolehkan. Beberapa penelitian mengenai logam berat dalam tanah di Indonesia telah banyak namun masih menggunakan batas kritis dari negara lain untuk membandingkannya.

Gambar 4. Konsentrasi total logam Cu dalam tanah dan beras.

Batas kritis konsentrasi total logam Cu dalam tanah menurut Alloway (1995) maupun Ministry of State for Population and Environmental of Indonesia

and Dalhouise University, Canada (Kurnia et al., 2004) adalah 60-125 mg/kg.

Batas maksimum Cu dalam tanah yang masih diperbolehkan menurut Lacatusu (2000) adalah 100 mg/kg. Berdasarkan batas kritis tersebut maka konsentrasi Cu pada lahan sawah di daerah penelitian masih dalam batas normal.

(9)

Tembaga digolongkan sebagai unsur hara mikro bagi tanaman. Konsentrasi Cu dalam tanah di lokasi penelitian ini masih dalam kisaran normal. Menurut Lahuddin (2007) kadar normal Cu di dalam tanah antara 2-250 mg/kg, sedangkan kadar normal Cu dalam jaringan tanaman berkisar antara 5-20 mg/kg (Sitorus, 2008).

Kisaran konsentrasi total logam berat dalam tanah dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor geogenik dan faktor antropogenik. Faktor geogenik meliputi jumlah dan jenis mineral-mineral penyusun dan pengiring batuan induk tanah, kejadian longsor, erosi dan sedimentasi serta deposisi dan erupsi dari gunung berapi. Faktor antropogenik meliputi pencemaran limbah padat, cair maupun gas akibat proses produksi dan limbah industri, transportasi dan domestik serta perbedaan tipe penggunaan dan pengelolaan lahan, misalnya akibat penggunaan pupuk dan pestisida.

Menurut Wasahua (2004) kadar ambien Cu total pada kedalaman 0-30 cm pada tanah yang berasal dari batuan tuf volkan intermedier (daerah Subang dan Purwakarta) adalah berkisar 29,14-39,90 mg/kg, sedangkan yang berasal dari batuan sedimen batuliat (daerah Sukabumi, Tangerang dan Bandung) berkisar 23,80-73,25 mg/kg. Kadar ambien atau natural background concentration menunjukkan konsentrasi kontaminan yang secara konsisten terukur di lingkungan suatu areal atau lokasi yang belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang terlokalisasi. Oleh karena di Indonesia belum ada peraturan mengenai batas maksimum logam berat dalam tanah yang diperbolehkan, maka kadar ambien ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk menentukan kejadian pencemaran yaitu bila konsentrasi suatu pencemar telah melebihi kadar ambien tersebut. Berdasarkan kadar ambien tersebut maka lahan sawah di kelurahan Kunciran Indah dan Porisgaga yang berasal dari batuan tuf volkan intermedier patut diwaspadai karena konsentrasi Cu totalnya sudah melebihi kadar ambien.

Gambar 4 juga menunjukkan bahwa beras yang diproduksi di lokasi penelitian mengandung logam berat Cu. Sampel beras dari kelurahan Periuk ternyata mengandung Cu tertinggi dibandingkan di daerah lain yaitu sebesar 10 mg/kg. Batas maksimum dalam beras/tepung yang ditetapkan dalam Keputusan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 adalah 10 mg/kg. Oleh karena itu, beras

(10)

dari Kelurahan Periuk harus diwaspadai karena konsentrasi logam Cu dalam beras sama dengan batas maksimum logam Cu dalam makanan yang ditetapkan oleh Dirjen POM, sedangkan beras dari 12 kelurahan lainnya masih di bawah batas maksimum kandungan logam Cu dalam makanan yang diperbolehkan.

Tingginya konsentrasi logam Cu dalam beras ini diduga berasal dari aktivitas industri di sekitar lokasi penelitian. Jenis industri yang sering menghasilkan limbah logam Cu adalah elektroplating, tekstil, sabun atau deterjen, logam atau produk logam, dan pestisida (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000 dalam Kurnia et al., 2004). Aktivitas pertanian seperti pemberian pupuk TSP ataupun SP-36 untuk pemenuhan unsur P oleh petani juga dapat meningkatkan kadar Cu dalam tanah yang pada akhirnya dapat masuk ke dalam jaringan tanaman. Menurut Alloway (1995), pupuk P mengandung logam Cu sebesar 1-300 mg/kg. Selain itu, garam Cu banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya larutan Bordeaux (mengandung 1-3% CuSO4) digunakan

untuk membasmi jamur pada sayur dan tumbuhan buah. CuSO4

Hasil penelitian Kurnia et al. (2004) menemukan bahwa beras yang dihasilkan dari lahan sawah di Pati dan Bandung mengandung logam Cu. Beras yang berasal dari lahan sawah yang tercemar industri penyepuhan logam di Juwana, Pati-Jawa Tengah mengandung logam Cu sebesar 1-4 mg/kg, sedangkan yang berasal dari lahan yang tercemar industri tekstil di Rancaekek, Bandung-Jawa Barat mengandung logam Cu sebesar 2-7 mg/kg.

juga sering digunakan untuk membasmi siput sebagai inang dari parasit cacing (Darmono, 1995).

Sutrisno dan Mulyadi (2008) menemukan bahwa gabah yang dihasilkan dari lahan sawah di sepanjang Sungai Wulan, Kudus, Jawa Tengah mengandung logam Cu sebesar 2,25-5,0 mg/kg yang disebabkan adanya limbah dari pabrik kertas. Hasil penelitian Istikasari (2004) mengungkapkan bahwa beras di daerah pengolahan emas tanpa izin, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor mengandung logam Cu 0,01-1,19 mg/kg.

Tembaga digolongkan sebagai salah satu unsur mikro (kurang dari 0,005% dari berat badan) dalam sistem fisiologis manusia. Menurut WHO, Cu dibutuhkan setiap harinya sebanyak 2-5 mg (Istikasari, 2004). Pada kadar tersebut tidak

(11)

menimbulkan akumulasi pada tubuh manusia normal. Cu akan bersifat toksik bagi tubuh jika jumlahnya berlebihan. Defisiensi Cu dalam tubuh akan mengakibatkan malnutrisi, anemia neutropenia, gangguan otot dan saraf; sedangkan kelebihan Cu dalam tubuh mengakibatkan Wilson’s disease (Darmono, 1995).

b. Seng (Zn)

Seperti halnya Cu, seng (Zn) juga digolongkan dalam unsur logam berat yang esensial bagi tanaman. Seng mempunyai peran penting dalam pertumbuhan tanaman. Seng secara langsung terlibat dalam sintesis hormon asam indol asetat (IAA). Defisiensi Zn dapat mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, ukuran daun berkurang sehingga daun menjadi kecil-kecil dan membentuk roset, serta timbul klorosis antara tulang daun.

Gambar 5. Konsentrasi total logam Zn dalam tanah dan beras.

Pada Gambar 5 diatas terlihat bahwa tanah sawah di kelurahan Pajang memiliki kadar Zn total tertinggi yaitu sebesar 117,0 mg/kg dengan 24,00 mg/kg Zn terukur dalam beras yang dihasilkan. Menurut Wasahua (2004) kadar ambien Zn dalam tanah kedalaman 0-30 cm pada tanah bertipe batuan sedimen liat (daerah Sukabumi, Tangerang dan Bandung) berkisar 38,88-41,71 mg/kg; pada

(12)

tanah bertipe batuan tuf volkan intermedier (daerah Subang dan Purwakarta) berkisar 35,01-55,65 mg/kg; dan pada tanah bertipe batuan sedimen pasir (daerah Karawang) sebesar 66,03 mg/kg. Batas kritis Zn dalam tanah yang ditetapkan oleh

Ministry of State for Population and Environmental of Indonesia and Dalhouise University, Canada (Kurnia et al., 2004) adalah sebesar 70 mg/kg. Dengan

demikian, tanah di kelurahan Periuk, Sepatan, Batujaya, Pakojan, Kunciran Indah, Pondok Bahar, Gondrong, Karangsari, Pajang, Jurumudi, dan Porisgaga mengandung Zn di atas batas kritis. Bahkan tanah di kelurahan Neglasari (bertipe batuan endapan liat) dan Kunciran (bertipe batuan tuf volkan intermedier) dapat dikategorikan di atas kadar ambien menurut Wasahua (2004).

Konsentrasi total Zn yang terukur di lokasi penelitian kemungkinan besar dipengaruhi oleh tingginya pemakaian Zn sebagai salah satu komponen bahan kimia oleh industri. Industri plastik/resin, farmasi/kosmetik, elektroplating, tekstil, keramik, sabun/deterjen, dan logam/produk logam merupakan jenis-jenis industri yang menghasilkan limbah B3 dan logam berat salah satunya Zn. Sebagaimana yang terjadi pada areal persawahan yang berada di sekitar Kawasan Industri Cikarang di Kabupaten Bekasi mengandung Zn yang sangat tinggi, yaitu 645,69– 1249,56 mg/kg (Rahmawati, 2006).

Selain disebabkan oleh aktivitas perindustrian, kadar Zn dalam tanah juga dipengaruhi oleh kegiatan pertanian itu sendiri. Sumber utama polutan Zn dalam tanah adalah aktivitas pertambangan dan peleburan logam, pertanian yang menggunakan pupuk dari sisa limbah, dan pertanian dengan bahan kimia (pupuk dan pestisida). Berbagai jenis pupuk, baik pupuk inorganik maupun organik seperti pupuk P, pupuk N, pupuk kandang, kapur dan kompos mengandung berbagai logam salah satunya Zn. Pupuk P mengandung Zn sebesar 50-1450 mg/kg, pupuk N mengandung Zn sebesar 1-42 mg/kg, pupuk kandang mengandung Zn sebesar 15-566 mg/kg, kapur mengandung Zn sebesar 10-450 mg/kg, dan kompos mengandung Zn sebesar 82-5894 mg/kg (Alloway, 1995).

Tingginya konsentrasi logam Zn total dalam tanah mempengaruhi serapan logam Zn ke dalam jaringan tanaman. Pada Gambar 5 terlihat bahwa beras di lokasi penelitian pada umumnya mengandung Zn dengan konsentrasi tertinggi pada beras dari kelurahan Periuk (75 mg/kg) dan konsentrasi Zn pada beras

(13)

terendah berasal dari kelurahan Kunciran (18,15 mg/kg). Tanaman mengambil unsur Zn dalam bentuk Zn++. Tingginya serapan Zn oleh tanaman dipengaruhi oleh tingkat kelarutan Zn++

Batas maksimum Zn dalam produk beras/tepung menurut Direktorat Jenderal Pengawasan Makanan dan Obat adalah 40 mg/kg (Keputusan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989). Dengan demikian kadar Zn dalam beras yang berasal dari kelurahan Periuk (75 mg/kg) dan Sepatan (44 mg/kg) sudah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan, sedangkan beras dari lokasi lainnya masih di bawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan.

di dalam tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan Zn dalam tanah adalah pH, bahan organik, adsorption site, aktivitas mikroba, kelembaban, iklim dan interaksi antara Zn dengan unsur makro/ mikro dalam tanah dan tanaman (Alloway, 1995).

Seng sebagai unsur mineral mikro dibutuhkan dalam tubuh. Seng adalah mineral esensial yang ditemukan pada hampir semua sel. Seng dapat menstimulasi aktivitas 100 macam enzim dan terlibat sebagai kofaktor pada 200 jenis enzim lainnya. Seng dinyatakan sebagai mineral yang berperan untuk meningkatkan reaksi biokimia di dalam tubuh. Mineral ini mendukung kinerja sistem imun yang diperlukan dalam penyembuhan luka, membantu memelihara fungsi indra penciuman dan pengecap, serta dibutuhkan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga turut mendukung pertumbuhan yang normal selama kehamilan, masa kanak-kanak, dan dewasa. Angka kecukupan gizi Zn yang dianjurkan untuk anak-anak usia 9 tahun ke bawah adalah 1,3-11,2 mg/hari, pria dengan usia 10 tahun ke atas 13,4-17,4 mg/hari dan wanita di atas usia 10 tahun adalah 9,3-15,4 mg/hari (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Defisiensi Zn secara nutrisional dapat menyebabkan pertumbuhan dan masa dewasa kelamin terhambat, anemia, dermatitis, gangguan liver, anoreksia, gangguan neurosensor, dan tingkah laku abnormal. Sedangkan kelebihan Zn juga dapat mengganggu metabolisme Fe dan Cu dalam tubuh (Darmono, 1995).

c. Timbal (Pb)

Pencemaran Pb pada tanah terbuka (permukaan tanah) pada umumnya berasal dari pembakaran bensin dari kendaraan bermotor. Timbal digunakan

(14)

sebagai bahan aditif pada BBM agar tidak terjadi letupan (anti knocking agent). Penggunaan dalam industri misalnya sebagai bahan bakar, pigmen dalam cat, aki mobil, kabel, pipa PVC (Lu, 1995). Gambar 6 di bawah ini memperlihatkan konsentrasi Pb pada tanah sawah dan beras di Kota Tangerang yang pada umumnya berlokasi di dekat jalan raya dan industri.

Gambar 6. Konsentrasi total logam Pb dalam tanah dan beras.

Konsentrasi total Pb dalam tanah tertinggi terdapat pada lahan sawah di kelurahan Sepatan yaitu 90,6 mg/kg (Gambar 6). Beras yang dihasilkan dari daerah ini pun mengandung logam Pb sebesar 7,68 mg/kg. Tingginya konsentrasi Pb tersebut diluar dugaan karena jalan akses ke lahan pertanian ini hanya jalan lokal. Namun tingginya konsentrasi Pb dalam tanah maupun gabah dapat diduga berasal dari cemaran industri yang ada di dekatnya maupun limbah rumah tangga masyarakat sekitar. Berdasarkan pengamatan pada waktu pengambilan sampel terlihat bahwa beberapa pabrik di sekitarnya mengeluarkan asap hitam dari cerobong yang diduga mengandung logam berat. Tingginya kadar Pb dalam tanah dan beras di lokasi ini perlu mendapat perhatian dan perlu adanya studi lebih lanjut mengenai sumber pencemar Pb.

(15)

Menurut Lia (2004) kadar ambien logam Pb total dalam permukaan tanah (0-30 cm) pada tanah bertipe batuan sedimen liat (daerah Sukabumi, Tangerang dan Bandung), tuf volkan intermedier (daerah Subang dan Purwakarta), dan sedimen pasir (daerah Karawang) berturut-turut adalah 24,6-34,47 mg/kg; 29,40-36,10 mg/kg; dan 17,82 mg/kg. Sedangkan batas kritis Pb dalam tanah yang ditetapkan oleh Ministry of State for Population and Environmental of Indonesia

and Dalhouise University, Canada (Kurnia et al., 2004) adalah sebesar 100

mg/kg. Berdasarkan kriteria tersebut maka kandungan logam Pb dalam tanah pada lahan persawahan di lokasi penelitian masih di bawah batas normal.

Namun demikian patut diwaspadai kandungan logam Pb dalam beras. Beras yang dihasilkan dari lokasi penelitian mengandung logam Pb dengan kisaran 0,11-7,68 mg/kg. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan menetapkan batas maksimum logam Pb dalam serealia dan produk serealia adalah sebesar 0,3 mg/kg (ditetapkan dalam Peraturan Kepala BPOM No HK.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan). Dengan demikian, beras yang dihasilkan dari kelurahan Periuk, Sepatan, Pakojan, Kunciran Indah, Kunciran, dan Pondok Bahar sudah di atas batas maksimum, dengan konsentrasi berturut-turut sebagai berikut 0,71 mg/kg; 7,68 mg/kg; 0,43 mg/kg; 0,57 mg/kg; 0,33 mg/kg; dan 0,35 mg/kg. Cemaran logam Pb dalam beras diduga berasal dari asap pabrik dan emisi kendaraan bermotor. Lokasi lahan sawah yang ada di kelurahan Periuk merupakan jalan utama menuju pabrik-pabrik yang ada di Kecamatan Periuk, sehingga mobilitas kendaraan yang melewati jalan ini relatif tinggi. Total industri (besar maupun kecil) di Kecamatan Periuk termasuk tiga besar di Kota Tangerang, yaitu berjumlah 70 buah (BPS Kota Tangerang, 2009). Sementara lokasi lahan sawah yang ada di kelurahan Pakojan, Kunciran Indah, Kunciran, dan Pondok Bahar berada di pinggir ruas jalan tol Jakarta-Merak.

Cemaran logam Pb dalam tanah dan beras ditemukan pada lahan sawah intensifikasi di pinggir jalan raya kelas I di daerah Delanggu–Jawa Tengah, dengan kisaran 6,37-17,07 mg Pb/kg dalam tanah dan 0,056-1,222 mg Pb/kg dalam beras (Subowo et al., 1998). Begitu pula hasil penelitian pada tanah pertanian di kawasan perkotaan dan industri di wilayah sub-sub-DAS Cileungsi

(16)

Tengah, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Sudadi, 2009). Pada musim kemarau September 2005 tanah pertanian di Kabupaten Bogor tersebut mengandung logam Pb 15,55-88,90 mg/kg dan pada musim hujan Februari 2006 kadar Pb yang terukur adalah 20,04-81,80 mg/kg (Sudadi, 2009).

Berdasarkan hasil penelitiannya, Istikasari (2004) menyatakan bahwa hasil produksi padi di beberapa desa di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor mengandung logam Pb dalam beras. Kadar logam Pb yang terdeteksi pada beras berkisar antara 0,50-4,26 mg/kg. Masuknya logam Pb dalam beras tersebut bersumber dari limbah pengolahan emas tanpa izin di daerah tersebut. Istikasari (2004) menduga logam Pb alami yang dikandung batuan bahan baku ikut terurai saat proses amalgamasi untuk mendapatkan emas, dimana sisa Hg yang digunakan untuk mengikat bijih emas dapat melindih logam Pb sehingga logam tersebut dapat terbawa ke tanah dan pada akhirnya terserap masuk ke dalam jaringan tanaman.

Timbal tersedia bagi tanaman melalui tanah dan sumber-sumber aerosol (udara). Serapan Pb oleh tanaman sangat rendah, kecuali pada tanah dengan kapasitas tukar kation, pH, kadar bahan organik dan kadar P rendah (Lepp, 1981). Serapan Pb oleh tanaman jarang pula sampai menimbulkan gejala toksisitas pada tanaman, kecuali bila kandungan Pb dalam media perakaran sangat tinggi, karena sebagian besar Pb yang diserap diakumulasikan pada akar secara cepat. Menurut Soepardi (1983), Pb sangat tidak larut dalam tanah terutama bila tanah tidak terlalu masam.

Tingginya konsentrasi logam Pb dalam beras di lokasi penelitian dapat diduga bersumber dari udara yang tercemar Pb. Ketika turun hujan, partikel logam Pb dapt masuk ke dalam tanah ataupun jatuh ke permukaan daun yang kemudian ditranslokasikan ke jaringan tanaman. Emisi kendaraan bermotor berbahan bakar minyak cenderung menjadi faktor dominan terjadinya pencemaran udara. Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil merupakan senyawa yang penting karena banyak digunakan sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan secara ekonomi. Di Indonesia sendiri masih menggunakan bensin yang mengandung Pb. Hasil pemantauan KLH pada tahun 2005 premium di Indonesia mengandung Pb 0,133 g/l, pada tahun 2006

(17)

menurun menjadi 0,038 g/l dan pada tahun 2007 kandungan Pb dalam premium sebesar 0,0068 g/l (BPLHD Jabar, 2009b).

JECFA (Joint Expert Comitte on Food Additives of the Food and

Agriculture) menetapkan jumlah maksimum asupan harian Pb yang masih dapat

ditolerir adalah 0,21 mg per 60 kg berat badan (Istikasari, 2004). Beras yang mengandung Pb walaupun rendah konsentrasinya, apabila dikonsumsi terus-menerus akan membahayakan kesehatan manusia karena dapat terakumulasi dalam tubuh. Toksisitas Pb dalam tubuh dapat menghambat kerja sistem hemopoietik, sistem saraf pusat dan tepi, sistem ginjal, sistem gastro-intestinal, sistem kardiovaskuler, sistem reproduksi, dan sistem endokrin (Darmono, 1995).

d. Kadmium (Cd)

Secara alamiah logam Cd di dalam kerak bumi sangat kecil yaitu 0,1 mg/kg (Alloway, 1995). Tingkat Cd dalam lingkungan (tanah) tidak akan meningkat kecuali terjadi penambahan Cd akibat aktivitas manusia. Perhatian publik terhadap Cd terjadi setelah merebak kasus keracunan Cd yang menyebabkan penyakit Itai-Itai di Toyama, Jepang. Kasus toksisitas Cd dilaporkan sejak pertengahan tahun 1980-an dan kasus tersebut semakin meningkat sejalan dengan perkembangan ilmu kimia di akhir abad 20-an. Kadmium merupakan logam berat yang paling banyak menimbulkan toksisitas pada makhluk hidup sehingga perlu adanya perhatian serius mengenai tingkat cemaran Cd baik pada makanan maupun media tempat makanan tersebut di produksi. Gambar 7 menunjukkan tanah dan beras dari lahan sawah di Kota Tangerang mengandung logam Cd.

(18)

Gambar 7. Konsentrasi total logam Cd dalam tanah dan beras.

Konsentrasi total logam Cd dalam tanah yang paling tinggi terdapat pada lahan sawah di kelurahan Periuk yaitu sebesar 0,3 mg/kg, sedangkan yang terendah terdapat di kelurahan Batujaya dan Kunciran yaitu 0,1 mg/kg. Menurut Etikha (2004) kadar ambien Cd dalam tanah (0-30 cm) dengan tipe batuan sedimen liat (daerah Sukabumi, Tangerang dan Bandung), tuf volkan intermedier (daerah Subang dan Purwakarta), dan sedimen pasir (daerah Karawang) berturut-turut adalah 6,42-19,39 mg/kg, 10,5-19,7 mg/kg, dan 10,48 mg/kg. Batas kritis Cd dalam tanah yang ditetapkan oleh Ministry of State for Population and

Environmental of Indonesia and Dalhouise University, Canada (Kurnia et al.,

2004) adalah sebesar 0,5 mg/kg. Dengan demikian, konsentrasi Cd dalam tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang masih di bawah batas normal.

Namun demikian, keberadaan Cd dalam tanah perlu diwaspadai mengingat sifatnya yang lebih mobil dalam tanah. Kadmium cenderung lebih mobil dalam tanah sehingga lebih tersedia bagi tanaman daripada logam lainnya seperti Pb dan Cu (Alloway, 1995). Adanya logam Cd yang terukur dalam tanah di lokasi penelitian ini diduga berasal dari penggunaan pupuk SP36, TSP ataupun NPK sebagai sumber unsur P yang diperlukan tanaman. Pupuk P diketahui mengandung logam Cd. Menurut Alloway (1995) pupuk P mengandung Cd

(19)

sebesar 0,1-170 mg/kg; pupuk N mengandung Cd sebesar 0,05-8,5 mg/kg; pupuk kandang mengandung Cd sebesar 0,1-0,8 mg/kg; kapur mengandung Cd sebesar 0,04-0,1 mg/kg; dan pupuk kompos mengandung Cd sebesar 0,01-100 mg/kg. Setyorini et al. (2003 dalam Kurnia et al., 2004) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa di dalam pupuk SP36 dan KCl merah ditemukan logam Cd sebesar 11 mg/kg dan 0,82 mg/kg.

Andayasari (2009) juga menemukan tingginya konsentrasi Cd dalam tanah akibat penggunaan pupuk P pada lahan pertanian intensif di sentra produksi hortikultura Lembang, Jawa Barat. Rata-rata konsentrasi Cd dalam tanah pada lahan budidaya sawi putih di Lembang tersebut adalah 1,43 mg/kg (pada lahan dengan produktivitas rendah), 2,26 mg/kg (pada lahan dengan produktivitas sedang), dan 2,01 mg/kg (pada lahan dengan produktivitas tinggi).

Selain penggunaan bahan agrokimia, sumber Cd dalam tanah juga berasal dari limbah kegiatan industri plastik/resin, tekstil, keramik, baterai dan aki, serta pestisida (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000 dalam Kurnia et al., 2004). Cemaran logam Cd pada tanah pertanian ditemukan di kawasan industri Cikarang, Kabupaten Bekasi yaitu 1,42-31,7 mg/kg (Rahmawati, 2006).

Sifat Cd yang lebih mobil dalam tanah menyebabkan Cd mudah tersedia dalam tanah sehingga mudah terserap oleh tanaman melalui akar yang kemudian dapat ditranslokasikan ke bagian lain (tajuk). Pada Gambar 7 terlihat bahwa tanah yang mengandung Cd menghasilkan beras yang mengandung Cd pula. Konsentrasi Cd dalam beras yang paling tinggi terdapat pada beras yang dihasilkan dari kelurahan Periuk yaitu sebesar 0,1 mg/kg, sedangkan yang terendah dari kelurahan Sepatan yaitu sebesar 0,01 mg/kg.

WHO menetapkan batas maksimum cemaran Cd dalam beras adalah sebesar 0,24 mg/kg. Namun, Pemerintah Indonesia telah menetapkan batas maksimum logam Cd dalam serealia dan produk serealia adalah sebesar 0,1 mg/kg (diperkuat dalam Peraturan Kepala BPOM No HK.00.06.1.52.4011tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan). Dengan demikian, beras dari kelurahan Periuk sudah melebihi batas maksimum cemaran Cd yang diperbolehkan dalam makanan, sedangkan yang berasal dari lokasi lainnya masih di bawah batas maksimum yang diperbolehkan.

(20)

Batas maksimum asupan harian logam Cd yang dapat ditolerir menurut JEFCA (Joint Expert Comitte on Food Additives of the Food and Agriculture) adalah 0,06 mg per 60 kg berat badan. Walaupun sebagian besar beras yang dihasilkan dari lokasi penelitian (Gambar 7) masih aman dikonsumsi, namun tetap perlu diperhatikan karena tingkat toksisitas Cd sangatlah tinggi, dalam konsentrasi rendah dapat menyebabkan keracunan.

Slamet (1994) mengungkapkan bahwa tubuh manusia tidak memerlukan Cd dalam fungsi dan pertumbuhannya, oleh karena itu Cd sangat beracun bagi manusia. Keracunan akut akan menyebabkan gejala gasterointestinal, dan penyakit ginjal. Gejala klinis keracunan Cd sangat mirip dengan penyakit glomerulo-nephritis biasa, hanya pada fase lanjut dari keracunan Cd ditemukan pelunakan dan fraktur (patah) tulang-tulang punggung yang multipel, dikenal dengan penyakit Itai-Itai. Gejalanya adalah sakit pinggang, patah tulang, tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, gejala seperti influenza, dan sterilitas pada laki-laki.

5.4. Korelasi antara Konsentrasi Total Logam Berat dalam Tanah dengan Konsentrasi Logam dalam Beras

Keberadaan logam berat dalam beras dapat dipengaruhi oleh kadar logam berat dalam tanah. Pola hubungan keduanya dapat diketahui melalui analisis korelasi. Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan tingkat keeratan hubungan linier antara dua peubah atau lebih (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

Berdasarkan hasil analisis korelasi diperoleh nilai r yang rendah antara kadar total logam berat Cu, Zn dan Cd dalam tanah dengan kadar logam berat Cu, Zn, dan Cd dalam beras. Nilai korelasi Cu tanah dengan Cu beras adalah = 0,333 (P = 0,267), Zn tanah dengan Zn beras = 0,436 (P = 0,136) dan Cd tanah dengan Cd beras = 0,398 (P = 0,178). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara konsentrasi Cu dalam tanah dengan Cu dalam beras, Zn dalam tanah dengan Zn dalam beras, dan Cd dalam tanah dengan Cd dalam beras.

Hasil analisis korelasi antara konsentrasi total logam berat Pb dalam tanah dengan konsentrasi logam Pb dalam beras diperoleh nilai Pearson correlation (r)

(21)

= 0,979 dengan peluang nyata 0,001. Nilai korelasi antara konsentrasi logam Pb dalam tanah dan konsentrasi logam Pb dalam beras bernilai positif dan tingkat hubungan linier keduanya terlihat sangat erat karena nilai korelasinya mendekati satu. Nilai peluang nyatanya sangat kecil, yaitu jauh lebih kecil dari taraf nyata (α) 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan linier yang nyata antara konsentrasi total logam berat Pb dalam tanah dengan konsentrasi logam berat Pb dalam beras. Semakin tinggi konsentrasi total logam Pb dalam tanah maka semakin tinggi pula konsentrasi logam Pb dalam beras.

5.5. Tingkat Kecemaran Logam Berat

Suatu daerah dapat dinyatakan tercemar atau tidak tercemar dapat dilihat melalui tingkat kecemaran logam beratnya. Tingkat kecemaran logam berat ini ditentukan oleh kadar bahan organik tanah, kadar liat, dan kadar logam berat terukur dalam tanah. Menurut Lacatusu (2000) status kontaminasi/pencemaran logam berat dalam tanah diukur berdasarkan nilai indeks c/p (contamination/pollution). Istilah kontaminasi tanah merujuk pada kisaran kadar logam berat yang terukur dalam tanah yang belum atau tidak akan segera memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman atau komponen lingkungan lainnya. Sementara itu istilah pencemaran tanah merujuk pada kisaran kadar logam berat yang terukur dalam tanah yang telah menyebabkan pengaruh negatif pada beberapa atau seluruh komponen lingkungan. Tingkat kontaminasi/pencemaran logam berat Cu, Zn, Pb, dan Cd di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.

(22)

Tabel 13. Tingkat kontaminasi/pencemaran (indeks c/p) logam berat di Kota Tangerang

Kelurahan Indeks c/p Status Kontaminasi* ) Cu Zn Pb Cd Cu Zn Pb Cd Periuk 0,73 0,45 0,19 0,34 KB KS KR KS Sepatan 0,67 0,38 0,79 0,22 KB KS KSB KR Neglasari 0,76 0,29 0,13 0,16 KSB KS KR KR Batujaya 0,53 0,35 0,12 0,11 KB KS KR KR Karangsari 0,66 0,41 0,14 0,22 KB KS KR KR Pajang 0,68 0,48 0,11 0,21 KB KS KR KR Jurumudi 0,72 0,49 0,15 0,29 KB KS KR KS Pakojan 0,83 0,39 0,27 0,28 KSB KS KS KS Kunciran Indah 1,00 0,37 0,29 0,18 KSB KS KS KR Kunciran 0,61 0,23 0,20 0,15 KB KR KR KR Pondok Bahar 0,68 0,30 0,16 0,20 KB KS KR KR Gondrong 0,63 0,27 0,15 0,21 KB KS KR KR Porisgaga 0,85 0,47 0,22 0,15 KSB KS KR KR

Ket: KSR = kontaminasi sangat ringan KR = kontaminasi ringan KS = kontaminasi sedang KB = kontaminasi berat KSB = kontaminasi sangat berat

Pada Tabel 13 terlihat bahwa semua lahan sawah di lokasi penelitian hanya menunjukkan tingkat terkontaminasi, yaitu terkontaminasi Cu dengan skala berat sampai sangat berat, terkontaminasi Zn dengan skala ringan sampai sedang, terkontaminasi Pb dengan skala ringan sampai sangat berat, dan terkontaminasi Cd dengan skala ringan sampai sedang. Walaupun masih dikategorikan aman karena belum atau tidak akan segera memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman, namun perlu adanya perhatian serius dan pemantauan kadar logam berat secara teratur, mengingat sifat logam berat yang sukar diurai oleh mikroorganisme tanah sehingga berpotensi masuk dalam tubuh manusia melalui daur rantai makanan.

Keberadaan logam berat dalam tanah di lokasi penelitian diduga berasal dari batuan induk, polusi udara, dan kegiatan pertanian itu sendiri, dan bukan berasal

(23)

dari pencemaran air yang digunakan sebagai irigasi. Hasil pengukuran konsentrasi logam berat dalam air dan sedimen di beberapa titik saluran irigasi di Kota Tangerang tidak melebihi ambang batas yang diperbolehkan untuk pertanian yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Konsentrasi logam berat terukur dalam air dan sedimen di beberapa titik saluran irigasi di Kota Tangerang dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini.

Tabel 14. Konsentrasi logam berat Cu, Zn, Pb dan Cd terukur dalam air dan sedimen pada saluran irigasi di Kota Tangerang

Logam Lokasi Titik Sampling

Periuk Neglasari Batujaya Pondok Bahar a. Air --- mg/l --- Cu 0.025 0.021 <0,025 0.055 Zn 0.059 <0,008 0.020 0.048 Pb 0.181 0.156 0.215 0.157 Cd <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 b. Sedimen --- mg/l --- Cu 20.36 18.53 13.40 27.58 Zn 36.38 40.09 31.00 62.59 Pb 38.70 24.22 22.61 23.59 Cd <0,005 <0,005 <0,005 <0,005

Berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001, mutu air untuk lahan pertanian tidak boleh mengandung logam Cu lebih dari 0,2 mg/l; Zn 2 mg/l; Pb 1 mg/l; Cd 0,01 mg/l. Konsentrasi logam berat Cu dalam air pada saluran irigasi di Kota Tangerang berkisar antara <0,025-0,055 mg/l; Zn <0,008-0,059 mg/l; Pb 0,156-0,215 mg/l; dan Cd <0,005 mg/l. Jika dibandingkan dengan baku mutu air untuk lahan pertanian seperti yang tercantum dalam PP RI No. 82 tahun 2001, maka air pada saluran irigasi tersebut masih layak digunakan untuk mengairi lahan pertanian di Kota Tangerang.

Konsentrasi logam berat yang terukur pada air nilainya rendah, namun konsentrasi logam berat yang terukur pada sedimen sangat tinggi. Konsentrasi

(24)

logam Cu dalam sedimen berkisar antara 13,40-27,58 mg/l; Zn 31,00-62,59 mg/l; Pb 22,61-38,70 mg/l; dan Cd <0,005 mg/l. Konsentrasi logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan konsentrasi logam berat dalam air menunjukkan terjadinya akumulasi logam berat dalam sedimen. Hal ini dimungkinkan karena logam berat dalam air mengalami proses pengenceran dengan adanya pengaruh pola arus air. Rendahnya logam berat dalam air irigasi bukan berarti bahan cemaran yang masuk ke saluran irigasi mengandung logam berat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena kemampuan perairan tersebut untuk mengencerkan bahan cemaran yang cukup tinggi. Namun baku mutu logam berat dalam sedimen belum ditetapkan di Indonesia, padahal sebagian besar logam berat yang masuk ke badan air lebih banyak mengendap di dasar sungai (terakumulasi dalam sedimen).

Walaupun konsentrasi logam berat dalam tanah di lokasi penelitian masih tergolong di bawah batas normal, namun di beberapa titik pengambilan contoh beras menunjukkan kadar logam berat dalam beras telah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan oleh BPOM (Tabel 12). Hal ini merupakan indikasi terjadinya pencemaran logam berat, namun belum dapat dipastikan asal/sumber pencemar yang menyebabkan masuknya logam berat dalam tanah maupun beras di lokasi penelitian. Oleh karena itu perlu adanya suatu studi lanjutan untuk mengetahui sumber pencemar logam berat secara pasti, apakah berasal dari industri, transportasi, rumah tangga atau kegiatan pertanian itu sendiri.

5.6. Pengelolaan Lahan Pertanian Ramah Lingkungan

Berdasarkan hasil analisis indeks c/p, lahan sawah di Kota Tangerang terdeteksi terkontaminasi logam berat Cu, Zn, Pb dan Cd. Walaupun logam berat yang terukur dalam tanah belum atau tidak akan segera memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman atau komponen lingkungan lainnya, namun perlu adanya upaya pengendalian agar tidak terjadi pencemaran. Oleh karena itu perlu diusahakan kebijakan pengelolaan lahan pertanian yang ramah lingkungan. Pengelolaan lahan pertanian yang ramah lingkungan

(25)

diharapkan dapat mencegah terjadinya dampak lanjutan yang merugikan masyarakat.

Sehubungan dengan adanya kandungan logam berat yang tinggi dalam tanah, maka upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah penggunaan bahan organik dan mengurangi pemakaian bahan kimia dalam teknik budidaya pertanian.

Bahan organik bila ditambahkan ke dalam tanah dapat berfungsi sebagai pengkelat logam berat. Hasil penelitian Adji (2006) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik pada tanah sawah tercemar ternyata mampu menghambat terserapnya logam berat pada akar. Penurunan Pb secara signifikan terjadi pada penggunaan bahan organik kotoran ayam sebesar 5 ton/ha, sedangkan penurunan Cd dalam tanah secara signifikan terjadi pada penggunaan 20 ton/ha.

Sudadi (2009) mengemukakan bahwa perlakuan ameliorasi dan pemupukan dengan dosis rasional 100% (dolomit 4 ton/ha, pupuk kandang sapi 30 ton/ha, N (½ urea + ½ ZA) 150 kg/ha, P2O5 (SP-36) 150 kg/ha dan K2O (KCl)

100 kg/ha) mampu menurunkan konsentrasi fraksi aktif Cd (CdNH4OAc-EDTA) dari

13,35-8,77 mg/ha dan Pb tanah (PbNH4OAc-EDTA

Selain mampu menurunkan ketersediaan logam berat, penggunaan bahan organik juga mampu meningkatkan hasil gabah kering. Poniman et al. (2000)

dalam Adji (2006) menerangkan bahwa pemberian bahan organik 5 ton/ha pada

lahan sawah irigasi dapat meningkatkan hasil gabah kering menjadi 6,27 ton/ha, sedangkan tanpa pemberian bahan organik hanya menghasilkan gabah kering 3,13 ton/ha.

) dari 11,57-5,78 mg/kg secara sangat nyata. Aplikasi bahan organik akan mengubah spesiasi logam berat dalam larutan tanah dari ionik ke bentuk-bentuk terkompleks, sehingga serapan logam berat oleh akar dan perpindahannya ke bagian atas tanaman menurun. Dengan demikian, fitotoksisitas dan akumulasi logam berat ke rantai makanan yang lebih tinggi juga menurun, sehingga penggunaannya dianggap ramah lingkungan dan berkelanjutan bagi sistem produksi tanaman di atasnya.

Penggunaan bahan organik yang lebih ramah lingkungan diharapkan dapat mengurangi pencemaran logam berat dalam tanah sehingga pertanian di daerah

(26)

perkotaan dan industri masih berpotensi produksi. Keberadaan pertanian di perkotaan dapat menjadi salah satu bentuk ruang terbuka hijau.

Pertanian kota memiliki banyak fungsi secara ekologis, yaitu sebagai pengatur iklim mikro, memperbaiki kondisi tanah, sebagai penyimpanan air, dapat mengurangi polusi udara. Sampah-sampah organik yang berasal dari masyarakat dapat digunakan sebagai kompos untuk dipergunakan dalam pertanian kota, sehingga terjadi suatu lingkaran ekosistem yang terus berlanjut. Selain itu dengan adanya vegetasi diantara bangunan-bangunan kota dapat meningkatkan kualitas estetik kota. Dengan ekologi kota yang baik dan ditunjang dengan nilai estetik yang baik pula, diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan lingkungan perkotaan. Fungsi pertanian kota secara ekonomi, yaitu dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya, pertanian kota dapat menghasilkan produksi pangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dan secara sosial, dapat menjadi suatu lapangan pekerjaan bagi para pengangguran yang disebabkan oleh krisis ekonomi.

Dengan berbagai manfaat tersebut diharapkan pertanian kota di Kota Tangerang dapat dipertahankan keberadaannya dan dikembangkan secara intensif namun tetap ramah lingkungan, karena pertanian kota dapat meningkatkan perekonomian kota dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan. Selain itu, keberadaan pertanian kota dapat meningkatkan fungsi ekologi dan memiliki nilai estetik, sehingga dapat dijadikan salah satu usaha revitalisasi ruang terbuka hijau perkotaan.

Gambar

Tabel 9. Luas wilayah dan potensi baku lahan sawah di Kota Tangerang
Tabel 10. Tekstur tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang
Tabel 11. Sifat kimia tanah pada lahan sawah di Kota Tangerang  Kelurahan  pH H 2 O  C-org  (%)  Bahan Organik (%)  KTK (cmol(+) /kg)  Periuk  6,0  0,93  1,60  19,67  Sepatan  6,4  0,62  1,07  25,84  Neglasari  6,3  1,92  3,31  25,56  Batujaya  6,2  0,81
Gambar 6. Konsentrasi total logam Pb dalam tanah dan beras.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar logam berat Pb, Cu dan Zn dalam tanah sawah masih dibawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan dalam tanah.. Sedangkan kandungan

Apakah kadar logam kadmium, tembaga dan timbal pada pisang goreng pinggir jalan telah melewati nilai ambang batas maksimum cemaran logam yang telah ditetapkan oleh Peraturan Kepala

Untuk Kerang Bolang-baling tidak mengandung logam Cr, tetapi mengandung logam Cu 11,6639-11,9724 mg/kg bobot kering yang tidak melebihi batasan maksimum yang ditetapkan

Bulan Juni nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) maksimum adalah 1,12 dan nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) minimum adalah 0,13, dengan jumlah kapal yang

Jika dibandingkan dengan ambang batas logam Cu dalam sedimen, maka konsentrasi logam berat Cu di lokasi penelitian pada titik pengambilan sampel S-9, S-11 dan

Keberadaan jam kosong/guru absen merupakan aspek yang harus diwaspadai dan diperhatikan karena akan memiliki efek yang sama dengan kurangnya kegiatan di sekolah disamping itu

Jumlah penggadaan gabah/beras oleh Bulog dipengaruhi oleh stok beras akhir tahun dengan arah yang sama, namun tidak responsif dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.4193

Dari hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam jangka pendek secara bersama-sama variabel harga gabah, produksi beras, konsumsi beras, impor beras,