• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis Penyakit Periodontal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diagnosis Penyakit Periodontal"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Keberhasilan suatu rencana perawatan tergantung pada penegakan diagnosis penyakit yang tepat. Diagnosis berasal dari bahasa Yunani, yaitu gnosis yang berarti pengetahuan dan dia yang berarti melalui (Rose dkk, 2004). Diagnosis adalah identifikasi suatu penyakit atau suatu keadaan dengan memperhatikan tanda dan gejala dan menentukan asal muasalnya (Harty dan Ogston, 1995).

Untuk menegakkan suatu diagnosa, seorang dokter gigi harus mengumpulkan semua keterangan baik dari pemeriksaan subjektif dan pemeriksaan objektif. Semua keterangan yang ada kemudian dipilih dan diasimilasikan menjadi rencana perawatan yang komprehensif. Menurut Carranza (1990), diagnosis penyakit periodontal terdiri dari analisis sejarah kasus dan evaluasi tanda dan gejala klinis, sebagai hasil dari beberapa pemeriksaan (misalnya, evaluasi dengan probe, pemeriksaan kegoyahan gigi, radiografi, tes darah, biopsi) untuk mengidentifikasi masalah pasien.

Diagnosis periodontal menentukan penyakit pada saat itu, mengidentifikasi jenis penyakitnya, dan menyediakan pemahaman proses dasar penyakit dan penyebabnya. Diagnosis disusun dengan sistematik dan teratur untuk tujuan tertentu. Suatu diagnosis tidaklah cukup dari pengumpulan fakta. Kepingan-kepingan temuan harus disatukan sehingga menjadi penjelasan masalah periodontal pasien. Pemeriksaan gigi menggunakan sistem komputer yang menggunakan resolusi grafis yang tinggi dan teknologi aktivasi suara telah dikembangkan sehingga memudahkan penerimaan dan perbandingan data (Carranza, 1990). Pada akhirnya, diagnosis penyakit periodontal yang tepat dapat menentukan prognosis dan rencana perawatan yang baik.

(2)

BAB II ISI

Secara umum prosedur diagnosa dapat dibagi menjadi empat bagian, antara lain: (1) melakukan anamnesa dan mencatat riwayat pasien, (2) melakukan pemeriksaan terhadap pasien (pemeriksaan fisik dan laboratorium), (3) Evaluasi dari hasil anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik serta laboratorium yang akan menuntun ke arah perumusan suatu diagnosa, (4) Penilaian resiko medis untuk pasien-pasien gigi (Lynch dkk, 1992). Menurut Carranza (1990), suatu diagnosis penyakit periodontal dapat ditegakkan melalui diagnosis klinis, radiografi, dan teknik lanjutan.

DIAGNOSIS KLINIS Kunjungan pertama

Pada saat kunjungan pertama ini, seorang dokter gigi perlu menilai beberapa hal seperti:

1. Penilaian pasien secara keseluruhan

Seorang operator harus mencoba menilai pasien secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah status mental dan emosional pasien, tabiat, sikap, dan umur fisiologi (Carranza, 1990).

2. Riwayat sistemik

Menurut Carranza (1990), suatu riwayat sistemik akan menolong operator dalam hal (1) diagnosis manifestasi oral dari penyakit sistemik, (2) penemuan kondisi sistemik yang dapat mempengaruhi respon jaringan periodontal terhadap faktor lokal, (3) penemuan kondisi sistemik yang membutuhkan suatu tindakan pencegahan dan modifikasi dalam perawatannya. Suatu riwayat sistemik harus mengacu pada hal-hal sebagai berikut:

a. Apakah pasien sedang dalam perawatan dokter; jika iya, tanyakan asal, durasi penyakit serta terapinya. Penyidikan dapat dilakukan berdasarkan

(3)

dosis dan durasi terapi dengan antikoagulan dan kortikosteroid.

b. Riwayat rheumatic fever, rheumatic atau penyakit jantung kongenital, hipertensi, angina pectoris, myocardial infarction, nefritis, penyakit ginjal, diabetes, dan/atau pingsan.

c. Kecendrungan perdarahan yang abnornal seperti hidung yang berdarah, perdarahan yang lama pada luka kecil, ecchymosis spontan, kecendrungan terhadap memar yang berlebihan, dan perdarahan menstruasi yang berlebihan.

d. Penyakit infeksi, termasuk berkontak dengan penyakit infeksi di rumah atau di kantor, atau baru saja mendapat rontgen di bagian dada.

e. Kemungkinan memiliki penyakit akibat pekerjaannya.

f. Riwayat alegi, termasuk hay fever, asma, sensitif terhadap makanan, atau sensitif terhadap obat misalnya aspirin, codeine, barbiturat, sulfonamide, antibiotik, prokain, dan laxatives atau terhadap bahan dental seperti eugenol atau resin akrilik.

g. Informasi onset pubertas dan menopause dan mengenai kelainan menstrual atau hysterectomy, kehamilan, atau keguguran.

3. Riwayat kesehatan gigi

Pada saat mencari riwayat kesehatan gigi, praktisi mendapat kesempatan untuk menulai perilaku pasien, membangun hubungan, dan mempelajari penyakit gigi yang telah lalu serta responya terhadap perawatan. Juga penting untuk mengetahui cara pemeliharaan kebersihan mulut yang selama ini dilakukan oleh pasien di rumah yang mencerminkan pengetahuan pasien tentang kesehatan gigi (Fedi dkk, 2005). Menurut Carranza (1990), pada saat pengumpulan riwayat kesehatan gigi, harus ditanyakan pula keluhan utama pasien. Gejala pasien dengan penyakit gingival dan periodontal berhubungan dengan perdarahan pada gusi, spacing pada gigi yang sebelumnya tidak ada, bau mulut, dan rasa gatal pada gusi yang dapat berkurang melalui pencungkilan dengan tusuk gigi. Selain itu juga terdapat rasa nyeri dengan variasi tipe dan durasi, misalnya konstan, tumpul, gnawing

(4)

pain, rasa nyeri yang tumpul setelah makan, rasa nyeri yang dalam rahang, rasa nyeri akut, sensitif ketika mengunyah, sensitif terhadap panas dan dingin, sensasi terbakar pada gusi, dan sensitif terhadap udara yang dihirup. Riwayat dental harus meliputi acuan seperti:

a. Kunjungan ke dokter gigi meliputi frekuensi, tanggal terakhir kunjungan, dan perawatannya. Profilaksis oral atau “pembersihan” oleh dokter gigi – frekuensi dan tanggal terakhir dibersihkan.

b. Menyikat gigi – frekuensi, sebelum atau sesudah makan, metode, tipe sikat gigi dan pasta, serta interval waktu digantinya sikat gigi.

c. Perawatan ortodontik – durasi dan perkiraan waktu selesai.

d. Rasa nyeri di gigi atau di gusi – cara rasa nyeri terpancing, asal dan durasinya, dan cara menghilangkan rasa nyeri tersebut.

e. Gusi berdarah – kapan pertama kali diketahui; terjadi spontan atau tidak, terjadi saat sikat gigi atau saat makan, terjadi pada malam hari atau pada periode yang teratur; apakah gusi berdarah berhubungan dengan periode menstruasi atau faktor spesifik; durasi perdarahan dan cara menghentikannya.

f. Bau mulut dan daerah impaksi makanan

g. Kegohayan gigi – apakah terasa hilang atau tidak nyaman pada gigi? Apakah terdapat kesulitan pada saat mengunyah?

h. Riwayat masalah gusi sebelumnya

i. Kebiasaan – grinding teeth atau clenching teeth pada malam hari atau setiap waktu. Apakah otot gigi terasa sakit pada pagi hari? Kebiasaan lainnya seperti merokok, menggigit kuku, dan menggigit benda asing. 4. Survey radiografi intraoral

Survey radiografi minimum terdiri dari 14 film intraoral dan 4 bitewing posterior. Survey lengkung gigi dan struktur sekitarnya dapat dilihat dengan mudah melalui radiograf panoramik. Radiograf panoramik menyediakan gambar radiografi keseluruhan yang informatif untuk melihat distribusi dan keparahan kerusakan tulang pada penyakit periodontal, namun

(5)

film intraoral yang lengkap dibutuhkan untuk diagnosis periodontal dan rencana perawatan.

5. Cetakan rahang

Cetakan rahang berguna sebagai bantuan visual dalam diskusi dengan pasien dan berguna untuk perbandingan antara sebelum dan sesudah perawatan maupun untuk acuan pada kunjungan check-up (Carranza, 1990).

6. Foto klinis

Foto tidaklah begitu penting, namun foto berguna untuk merekam tampilan jaringan sebelum dan setelah perawatan (Carranza, 1990).

7. Peninjauan kembali pemeriksaan awal Kunjungan kedua

1. Pemeriksaan rongga mulut

Menurut Carranza (1990), pemeriksaan rongga mulut meliputi oral hygiene, bau mulut, pemeriksaan rongga mulut, dan pemeriksaan kelenjar getah bening.

Oral hygiene

Oral hygiene atau kebersihan rongga mulut dinilai dari tingkat akumulasi debris makanan, plak, material alba, dan stain permukaan gigi. Pemeriksaan jumlah kualitatif plak dapat membantu menegakkan diagnosis. Bau Mulut

Halitosis atau fetor ex ore atau fetor oris, adalah bau atau aroma menyengat yang berasal dari rongga mulut. Adanya halitosis dapat membantu dalam menegakkan diagnosa. Halitosis berhubungan dengan penyakit-penyakit tertentu, dan dapat berasal dari faktor lokal maupun ekstraoral. Sumber lokal penyebab halitosis dapat berasal dari impaksi makanan diantara gigi, coated tongue, acute necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG), dehidrasi, karies, gigi palsu, nafas perokok, dan penyembuhan pasca operasi atau pencabutan gigi. Karakteristik bau busuk dari ANUG sangat mudah diidentifikasi.

(6)

Ekstraoral atau sumber bau mulut yang jauh berasal dari penyakit atau struktur yang berdekatan berhubungan dengan rhinitis, sinusitis, atau tonsillitis; penyakit pada paru-paru dan bronkus; dan bau yang dikeluarkan melalui paru-paru dari substansi aromatik dalam aliran darah seperti metabolit dari infus makanan atau produk eksretori dari metabolisme sel.

Pemeriksaan Rongga Mulut

Pemeriksaan rongga mulut meliputi bibir, dasar mulut, lidah, palatum, dan daerah oropharyngeal, serta kualitas dan kuantitas saliva. Walaupun hasil pemeriksaan tidak berhubungan dengan penyakit peridontal, seorang dokter gigi harus mendeteksi perubahan patologis yang terjadi.

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening

Kelenjar getah bening dapat membesar dan/atau mengeras sebagai respon episode infeksi, metastase malignant, atau perubahan residual fibrotik. Kelenjar yang inflamasi menjadi membesar, terpalpasi, empuk, dan tidak bergerak. Acute herpetic gingivostomatitis, ANUG, dan abses periodontal akut menghasilkan pembesaran kelenjar getah bening.

2. Pemeriksaan gigi

Menurut Carranza (1990), aspek-aspek pada gigi yang diperiksa adalah kariesnya, perkembangan kecacatan, anomali bentuk gigi, wasting, hipersensitifitas, dan hubungan kontak proksimal.

Wasting disease of the teeth

Wasting diartikan sebagai pengurangan substansi gigi secara berangsur-angsur yang terkarakteristik oleh pembentukan permukaan yang halus, dan mengkilat. Bentuk dari wasting adalah erosi, abrasi, dan atrisi. Erosi adalah depresi berbentuk baji pada daerah servik permukaan fasial gigi. Abrasi adalah hilangnya substansi gigi yang disebabkan oleh penggunaan mekanis mastikasi. Atrisi adalah terkikisnya permukaan oklusal akibat kontak fungsional dengan gigi antagonis.

Dental Stains

(7)

stain harus diperiksa dengan teliti untuk menentukan penyebabnya. Hipersensitifitas

Akar gigi yang terbuka akibat resesi gingiva menjadi sensitif terhadap perubahan suhu atau stimulasi taktil. Pasien sering menunjuk langsung lokasi yang sensitif. Hipersensitifitas dapat diketahui melalui eksplorasi dengan probe atau udara dingin.

Hubungan kontak proksimal

Terbukanya kontak yang tipis menyebabkan impaksi makanan. Hal ini dapat dicek melalui obeservasi klinis dan dengan dental floss.

Kegoyahan gigi

Kegoyahan gigi terjadi dalam dua tahapan:

i. Inisial atau tahap intrasoket, yakni pergerakan gigi yang masih dalam batas ligamen periodontal. Hal ini berbungan dengan distorsi viskoelastisitas ligamen periodontal dan redistribusi cairan peridontal, isi interbundle, dan fiber. Pergerakan inisial ini terjadi dengan tekanan sekitar 100 pon dan pergerakan yang terjadi sebesar 0.05 sampai 0.1 mm (50 hingga 100 mikro)

ii. Tahapan kedua, terjadi secara bertahap dan memerlukan deformasi elastik tulang alveolar sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan horizontal. Ketika mahkota diberi tekanan sebesar 500 pon maka pemindahan yang terjadi sebesar 100-200 mikro untuk incisivus, 50-90 mikro untuk caninus, 8-10 mikro untuk premolar dan 40-80 mikro untuk molar.

Kegoyahan gigi dapat diperiksa secara klinis dengan cara: gigi dipegang dengan kuat diantara dua instrumen atau dengan satu instrumen dan satu jari, dan diberikan sebuah usaha untuk menggerakkannya ke segala arah (Carranza, 1990). Pada gambar dibawah ini, peningkatan kegoyangan gigi ditentukan dengan memberikan gaya 500 g pada permukaan labiolingual dengan menggunakan dua instrumen dental (Rateitschak dkk, 1985).

(8)

Gambar 1. Pemeriksaan Kegoyangan Gigi (Rateitschak dkk, 1985)

Menurut Fedi dkk (2004), kegoyahan gigi dibedakan menjadi : i. Derajat 1 – kegoyangan gigi yang sedikit lebih besar dari normal ii. Derajat 2 – kegoyangan gigi sekitar 1 mm

iii. Derajat 3 – kegoyangan gigi lebih dari 1 mm pada segala arah atau gigi dapat ditekan ke arah apikal.

Kegoyangan gigi yang patologis terutama disebabkan oleh (1) infamasi gingiva dan jaringan periodontal, (2) kebiasaan parafungsi oklusal, (3) oklusi prematur, (4) kehilangan tulang pendukung, (5) gaya torsi yang menyebabkan trauma pada gigi yang dijadikan pegangan cengkraman gigi, (6) terapi periodontal, terapi endodontik, dan trauma dapat menyebabkan kegoyahan gigi sementara (Fedi dkk, 2004).

Trauma dari oklusi

Trauma dari oklusi mengacu pada luka jaringan yang diakibatkan tekanan oklusal. Tanda pada jaringan periodontal yang dicurigai sebagai akibat adanya trauma dari oklusi antara lain: kegoyangan gigi yang berlebihan; pada gambar radiografi terlihat jarak periodontal yang melebar; kerusakan tulang vertikal atau angular; poket infraboni; dan migrasi patologis, terutama pada gigi anterior. Tanda lainnya yang dicurigai adanya hubungan oklusal yang abnormal adalah migrasi gigi anterior yang patologis (Carranza, 1990).

(9)

Migrasi gigi yang patologis

Kontak prematur pada gigi posterior yang membelokkan mandibula ke arah anterior ikut berperan serta terhadap rusaknya periodonsium gigi maksila bagian anterior dan terhadap migrasi patologis. Migrasi patologis gigi anterior pada orang muda mungkin sebagai tanda adanya localized juvenile periodontitis (Carranza, 1990).

Sensitifitas terhadap perkusi

Sensitifitas terhadap perkusi merupakan ciri adanya inflamasi akut pada ligamen periodontal. Perkusi yang keras pada gigi dengan sudut yang berbeda terhadap aksis gigi membantu menentukan lokasi yang terlibat inflamasi (Carranza, 1990).

Kedaan gigi pada saat rahang tertutup

Pemeriksaan keadaan gigi pada saat rahang tertutup tidak memberikan informansi seperti saat pemeriksaan rahang ketika berfungsi, namun pemeriksaan ini dapat menunjukkan kondisi peridontal. Gigi yang tersusun secara ireguler, gigi yang ekstrusi, kontak proksimal yang tidak tepat, dan daerah impaksi makanan merupakan faktor yang mendukung akumulasi bakteri plak. Misalnya pada kasus hubungan open bite, dimana terdapat celah yang abnormal antara maksila dan mandibula. Kurangnya pembersihan mekanis oleh jalan lintas makanan, dapat menyebabkan akumulasi debris, pembentukan kalkulus, dan ekstrusi gigi (Carranza, 1990).

3. Pemeriksaan periodonsium

Pemeriksaan periodonsium harus sistematik, dimulai dari regio molar baik pada maksilla maupun mandibula kemudian diteruskan ke seluruh rahang. Semua temuan pada pemeriksaan periodonsium ini dicatat pada periodontal chart sehingga berguna sebagai catatan kondisi pasien dan untuk evaluasi respon pasien terhadap perawatan. Hal-hal yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah pemeriksaan plak dan kalkulus, gingiva, poket periodontal, penentuan aktivitas penyakit, jumlah gingiva cekat, alveolar bone loss, palpasi, supurasi, dan abses peridontal (Carranza, 1990).

(10)

Plak dan Kalkulus

Pemeriksaan jumlah plak dan kalkulus dapat dilakukan melalui berbagai macam metode. Pemeriksaan plak dapat menggunakan plak indeks. Jaringan yang mengelilingi gigi dibagi menjadi 4 bagian, yaitu papilla distofasial, margin fasial, papilla mesiofasial, dan bagian lingual (Carranza, 1990). Visualisasi plak dapat dilakukan dengan mengeringkan gigi dengan udara. Plak adalah bagian yang tidak memiliki stain (Rateitschak dkk, 1985)

Gambar 2. Pemeriksaan plak (Rateitschak dkk, 1985)

Adanya kalkulus supragingiva dapat terlihat melalui observasi langsung, dan jumlahnya dapat diukur dengan probe yang terkalibrasi. Untuk mendeteksi kalkulus subgingiva, setiap permukaan gigi diperiksa hingga batas perlekatan gingiva dengan menggunakan eksplorer no.17 atau no.3A. Udara yang hangat dapat digunakan untuk sedikit membuka gingiva sehingga visualisasi terhadap kalkulus lebih jelas (Carranza, 1990).

(11)

Gambar 3. Deteksi kehalusan (atas kanan) atau iregularitas pada permukaan akar dengan pergerakan probe atau eksplorer

di luar. Kalkulus (atas tengah), karies (atas kiri), margin restorasi yang irregular (bawah kanan dan kiri)

(Carranza, 1990) Gingiva

Gingiva harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mendapatkan observasi yang akurat. Selain melalui pemeriksaan secara visual dan eksplorasi dengan instrumen, pemeriksaan dilakukan dengan palpasi yang erat namun halus. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan patologis pada kelentingan normal dan mengetahui lokasi pembentukan pus. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada saat pemeriksaan gingiva antara lain: warna, ukuran, kontur, konsistensi, tekstur permukaan, posisi, kemudahan untuk berdarah, dan rasa nyeri.

Dari pemeriksaan klinis, inflamasi gingiva menghasilkan dua respon dasar jaringan, yaitu edematous dan fibrotik. Respon jaringan yang edematous memiliki karakteristik halus, glossy, halus dan gingiva berwarna merah. Respon jaringan yang fibrotik memiliki karakteristik seerti gingiva normal namun lebih kuat, berstippling, dan opaque, walaupun terkadang lebih tebal dan marginnya terlihat membulat.

(12)

Penggunaan Indeks Klinis

Dari semua indeks yang ada, Gingival Index dan Sulcus Bleeding Index merupakan dua indeks yang paling berguna dan mudah pada penggunaan di klinik.

1. Gingival index (Loe dan Silness)

Gingival index menyediakan penilaian status inflamasi gingiva yang digunakan dalam praktek untuk membandingkan kesehatan gingiva sebelum dan setelah terapi fase I atau sebelum dan setelah operasi; gingival index juga untuk membandingkan status gingiva pada kunjungan rutin.

Gambar 4. Penilaian gingival index (Rateitschak dkk, 1985)

(13)

2. Sulcus bleeding index (Muhlemann dan Son)

Indeks ini berguna untuk mendeteksi perubahan awal inflamasi dan adanya lesi inflamasi pada dasar poket peridontal, sebuah area yang tidak terjangkau dengan pemeriksaan visual (Carranza, 1990). Sulcus bleeding index mempertimbangkan perdarahan dari sulkus setelah probing, seperti pada erythema, pembengkakan, dan edema. Penilaian dilakukan terpisah pada bagian papilla dan margin gingiva (Rateitschak dkk, 1985).

Gambar 5. Penilaian Sulcus Bleeding Index (Rateitschak dkk, 1985)

Poket Periodontal

Pemeriksaan poket periodontal harus mempertimbangkan: keberadaan dan distribusi pada semua permukaan gigi, kedalaman poket, batas perlekatan pada akar gigi, dan tipe poket (supraboni atau infaboni; simple, compound atau kompleks). Metode satu-satunya yang paling akurat untuk mendeteksi poket peridontal adalah eksplorasi menggunakan probe peridontal. Poket tidak terdeteksi oleh pemeriksaan radiografi. Periodontal poket adalah perubahan jaringan lunak. Radiografi menunjukkan area yang kehilangan tulang dimana dicurigai adanya poket. Radiografi tidak menunjukkan kedalaman poket sehingga radiografi tidak menunjukkan perbedaan antara sebelum dan sesudah penyisihan poket kecuali kalau tulangnya sudah diperbaiki. Ujung gutta percha atau ujung perak yang terkalibrasi dapat digunakan dengan radiografi

(14)

untuk menentukan tingkat perlekatan poket peridontal.

Menurut Carranza (1990), kedalaman poket dibedakan menjadi dua jenis, antara lain:

1. Kedalaman biologis

Kedalaman biologis adalah jarak antara margin gingiva dengan dasar poket (ujung koronal dari junctional epithelium).

2. Kedalaman klinis atau kedalaman probing

Kedalaman klinis adalah jarak dimana sebuah instrumen ad hoc (probe) masuk kedalam poket. Kedalaman penetrasi probe tergantung pada ukurang probe, gaya yang diberikan, arah penetrasi, resistansi jaringan, dan kecembungan mahkota.

Kedalaman penetrasi probe dari apeks jaringan ikat ke junctional epithelium adalah ± 0.3 mm. Gaya tekan pada probe yang dapat ditoleransi dan akurat adalah 0.75 N. Teknik probing yang benar adalah probe dimasukkan pararel dengan aksis vertikal gigi dan “berjalan” secara sirkumferensial mengelilingi permukaan setiap gigi untuk mendeteksi daerah dengan penetrasi terdalam (Carranza, 1990). Jika terdapat banyak kalkulus, biasanya sulit untuk mengukur kedalaman poket karena kalkulus menghalangi masuknya probe. Maka,dilakukan pembuangan kalkulus terlebih dahulu secara kasar (gross scaling) sebelum dilakukan pengukuran poket (Fedi dkk, 2004).

Gambar 6. Probe “berjalan” untuk mengetahui poket dan perluasannya (Carranza, 1990)

(15)

Untuk mendeteksi adanya interdental craters, maka probe diletakkan secara oblique baik dari permukaan fasial dan lingual sehingga dapat mengekplorasi titik terdalam pada poket yang terletak dibawah titik kontak (Carranza, 1990).

Gambar 6. Insersi probe secara vertikal (kiri) tidak mendeteksi interdental crater; probe dengan posisi oblique (kanan)

mencapai titik terdalam crater. (Carranza, 1990)

Pada gigi berakar jamak harus diperiksa dengan teliti adanya keterlibatan furkasi. Probe dengan desain khusus (Nabers probe) memudahkan dan lebih akurat untuk mengekplorasi komponen horizontal pada lesi furkasi (Carranza, 1990).

Gambar 7. Eksplorasi dengan probe peridontal (kiri); Nabers probe (kanan)

(16)

Selain kedalaman poket, hal lain yang penting dalam diagnostik adalah penentuan tingkat perlekatan (level of attachment). Kedalaman poket adalah jarak antara dasar poket dan margin gingiva. Kedalaman poket dapat berubah dari waktu ke waktu walaupun pada kasus yang tidak dirawat sehingga posisi margin gingiva pun berubah. Poket yang dangkal pada 1/3 apikal akar memiliki kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan poket dalam yang melekat pada 1/3 koronal akar. Cara untuk menentukan tingkat perlekatan adalah pada saat margin gingiva berada pada mahkota anatomis, tingkat perlekatan ditentukan dengan mengurangi kedalaman poket dengan jarak antara margin gingiva hingga cemento-enamel junction (Carranza, 1990).

Insersi probe pada dasar poket akan mengeluarkan darah apabila gingiva mengalami inflamasi dan epithelium poket atrofi atau terulserasi. Untuk mengecek perdarahan setelah probing, probe perlahan-lahan dumasukkan ke dasar poket dan dengan berpindah sepanjang dinding poket. Perdarahan seringkali muncul segera setelah penarikan probe, namun perdarahan juga sering tertunda hingga 30-60 detik setelah probing (Carranza, 1990).

Penentuan aktivitas penyakit

Penentuan kedalaman poket dan tingkat perlekatan tidak memberikan informasi apakah lesi tersebut berada dalam kondisi aktif atau inaktif. Suatu lesi inaktif menunjukkan tidak sama sekali atau sedikit perdarahan pada probing dan jumlah cairan gingiva yang minimal; flora bakteri didominasi oleh bentuk sel coccoid. Lesi yang aktif berdarah lebih cepat saat probing dan memiliki sejumlah cairan dan eksudat; bakteri yang dominan adalah spirochetes dan motile. Pada kasus localized juvenile periodontitis, baik progressing dan nonprogressing, tidak memiliki perbedaan tempat saat bleeding on probing. Penentuan aktivitas yang cermat akan langsung mempengaruhi dignosis, prognosis, dan terapi (Carranza, 1990).

(17)

Jumlah Gingiva Cekat

Menurut Carranza (1990), lebar gingiva cekat adalah jarak antara mucogingival junction dan proyeksi pada permukaan eksternal dari dasar sulkus gingiva atau poket peridontal. Lebar gingiva cekat ditentukan dengan mengurangi kedalaman sulkus atau poket dari kedalaman total gingiva (margin gingiva hingga garis mucogingival).

Alveolar Bone Loss

Menurut Carranza (1990), alveolar bone loss dievaluasi melalui pemeriksaan klinis dan radiografi. Probing berguna untuk menentukan tinggi dan kontur tulang bagian fasial dan lingual yang kabur pada radiograf akibat kepadatan akar dan untuk menentukan arsitektur tulang interdental. Pada daerah yang teranestesi, informasi arsitektur tulang dapat diperoleh dengan melakukan transgingival probing.

Palpasi

Palpasi mukosa oral pada daerah lateral dan apikal gigi dapat membantu untuk menunjuk tempat asal rasa nyeri yang tidak dapat ditunjukkan oleh pasien. Palpasi juga dapat mendeteksi infeksi jauh didalam jaringan peridontal dan tahap awal abses peridontal (Carranza, 1990).

Abses Periodontal

Abses peridontal adalah akumulasi pus yang terlokalisasi dalam dinding gingiva pada poket peridontal. Abses periodontal dapat akut dan kronis. Peridontal abses akut terlihat sebagai peninggian ovoid pada gingiva sepanjang aspek lateral akar. Gingiva terlihat edematous dan merah, dengan permukaan yang halus dan mengkilat. Bentuk dan konsistensi pada area yang meninggi bervariasi; bisa berbentuk seperti kubah, agak keras, dan halus. Seringkali pasien memiliki gejala peridontal abses akut tanpa tanda klinis dan radiografi yang terlihat. Peridontal abses akut memiliki gejala seperti rasa nyeri berdenyut, sensitif terhadap palpasi gigi, kegoyangan gigi, lymphadenitis, dan sedikit tanda sistematik seperti demam, leukositosis, dan malaise. Abses peridontal kronis terlihat sebagai sinus yang membuka ke arah

(18)

mukosa gingiva sepanjang akar gigi. Abses peridontal kronis biasanya asimptomatik. Pasien seringkali mengeluhkan rasa nyeri yang tumpul, sedikit peninggian pada gigi, dan keinginan untuk menggigit dan menggesekkan gigi (Carranza, 1990).

GAMBARAN RADIOGRAFI

Radiograf merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa penyakit periodontal, tetapi radiograf semata tidak dapat menentukan diagnosa. Beberapa persyaratan umum dalam pemeriksaan radiografik yang lengkap, yaitu:

1. Rangkaian film yang dibuat, meliputi:

a) Rangkaian foto rontgen periapikal seluruh gigi (full-mouth) b) Empat foto rontgen sayap gigit periodontal

c) Foto panoramik sebagai tambahan

2. Kualitas foto rontgen yang baik, melipuit densitas, kontras dan pengambilan sudut yang tepat, serta harus mencakup seluruh detail anatomi daerah yang dimaksud

Gambaran yang diperoleh dari foto rontgen, antara lain: 1. Morfologi dan panjang akar

2. Perbandingan mahkota : akar klinis 3. Perkiraan banyaknya kerusakan tulang

4. Hubungan antara sinus maksillaris dengan kelainan bentuk jaringan periodontal

5. Resorpsi tulang horizontal dan vertikal pada puncak tulang interproksimal. Harus diingat bahwa tinggi tulang interseptal yang normal biasanya sejajar dan sekitar 1-2 mm lebih ke apikal bila dibandingkan dengan garis khayal yang ditarik melalui pertemuan sementoemail gigi-gigi.

6. Pelebaran ruang ligamen periodonsium di daerah mesial dan distal akar. 7. Keterlibatan furkasi tingkat lanjut

(19)

9. Kalkulus

10. Restorasi yang mengemper (overhang) 11. Fraktur akar

12. Karies

13. Resorpsi akar

Radiografi tidak dapat memperlihatkan aktivitas penyakit, tetapi dapat menunjukkan efek penyakit. Hal-hal yang tidak dapat ditunjukan rontgen adalah

1. Ada atau tidaknya poket

2. Morfologi kelainan bentuk tulang yang pasti, khususnya cacat uang berliiku-liku, dehisensi, dan fenestrasi

3. Kegoyangan gigi

4. Posisi dan kondisi prosesus alveolar di permukaan fasial dan lingual 5. Keterlibatan furkasi tahap awal

6. Tingkat perlekatan jaringan ikat dan epitel jungsional ADVANCE TECHNIQUE

Advance technique diagnostik merupakan pengembangan teknik atau teknik lanjutan yang digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit, misalnya: 1. Pemeriksaan tingkat inflamasi gingiva.

Pada pemeriksaan klinis, tingkat inflamasi gingiva hanya dilihat berdasarkan kondisi klinis melalui tanda kemerahan, bengkak dan perdarahan. Namun saat ini tingkat inflamasi gingiva dapat diketahui dengan pengukuran aliran cairan crevicular gingiva. Cairan clevicular gingiva dikumpulkan dengan microcapillary tubes dan dengan menempatkan filter paper strips pada celah jalan masuk dan mengukur jumlah cairan yang meresap dalam filter paper. Selajutnya pengukuran dapat dilakukan dengan ninhydrin area methode (NAM) atau dengan alat elektronik, Periotron 6000 (Carranza, 1990).

2. Pemeriksaan kedalaman poket dengan electronic periodontal probe

(20)

dibandingkan periodontal probe klasik, antara lain: a) Presisi hingga 0.1 mm

b) Jangkauan hingga 10 mm

c) Tekanan saat probing yang konstan

d) Non-invasif, ringan, dan nyaman digunakan e) Dapat mengakses seluruh lokasi pada semua gigi f) Sistem panduan untuk menjamin angulasi probe g) Tidak terdapat bahaya material dan shok elektris h) Output digital

3. Xeroradiography

Xeroradiography adalah sistem penggambaran menggunakan proses duplikasi xerographic untuk merekam gambaran x-ray. Jika dibandingkan dengan radiografi intraoral, hasil xeroradiography menunjukkan gambar yang lebih bagus, terutama pada struktur yang tajam seperti trabekula dan daerah dengan perbedaan kepadatan misalnya jaringan lunak. Dengan hasil gambar yang lebih bagus, maka memudahkan operator untuk menilai kerusakan tulang yang berhubungan dengan periodontitis (Carranza, 1990).

4. ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)

ELISA digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi. ELISA terutama digunakan untuk menentukan serum antibodi pada periodontophatogen (Carranza, 1990).

(21)

BAB III PEMBAHASAN

Seteleh mengetahui proseur diagnostik penyakitnya, berikut ini akan diuraikan penyakit periodontal. Penyakit periodontal mengacu pada proses inflamasi maupun perubahan resesi pada gingiva dan periodonsium. Gingivitis adalah proses inflamasi yang terjadi pada gingiva (tidak terjadi kehilangan perlekatan).Jika tulang alveolar pendukung juga terkena proses inflamasi pada periodonsium, maka hal ini disebut periodontitis. Istilah resesi atau gingival recession mengacu pada kemunduran gingiva dan tulang alveolar ke arah apikal, yang seringkali terjadi pada aspek labial tanpa adanya inflamasi klinis.

Tabel 1. Penyakit periodontal (Rateitschak, 1985) GINGIVITIS

Gingivitis adalah inflamasi gingiva. Pada pemeriksaan klinis terdapat gambaran kemerahan di margin gingiva, pembengkakan dengan tingkat yang bervariasi, perdarahan saat probing dengan tekanan ringan dan perubahan bentuk gingiva (fisiologik). Terdapat penambahan kedalaman poket (pseudopockets/poket semu). Biasanya pada gingivitis tidak terdapat rasa sakit (Fedi dkk, 2004).

Sebagian besar tipe gingivitis adalah yang disebabkan oleh plak, meskipun faktor sekunder dapat juga berpengaruh terhadap manifestasi klinis dan

(22)

menghasilkan subklasifikasi sebagai berikut: 1. Gingivitis ulseratif nekrosis akut (ANUG)

2. Periodontitis yang dikaitkan dengan penyakit sistemik 3. Gingivitis karena pengaruh hormon

4. Gingivitis karena pengaruh obat-obatan 5. Gingivitis deskuamatif

Gambaran klinis dan histologis gingivitis terangkum pada tabel dibawah ini. Perubahan Klinis Perubahan Histologis Dasar

Perdarahan gingiva Warna kemerahan Pembengkakan

Hilangnya tonus gingiva Hilangnya stippling Konsistensi keras, kaku Poket gingiva

Ulserasi epitel sulkus, dengan pelebaran kapiler yang meluas dibawah permukaan

Hiperemia, disertai dilatasi dan pelebaran kapiler Infiltrasi cairan dan eksudat sel radang ke jaringan ikat Inflamasi disertai rusaknya serabut gingiva

Edema pada jaringan ikat dibawahnya

Fibrosis karena terjadinya inflamasi kronis dalam waktu yang lama

Inflamasi disertai ulserasi epitel sulkus dan pembesaran gingiva

Tabel 2. Gambaran klinis dan histologis gingivitis (Fedi dkk, 2004)

Menurut Rateitschak (1985), secara klinis gingivitis dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Gingivitis ringan (mild gingivitis)

Pada gingivitis ringan terdapat eritema ringan yang terlokalisasi dan sedikit edema. Beberapa bentuk stipling hilang dan perdarahan setelah probing minimal.

2. Gingivitis sedang (moderate gingivitis)

Pada tipe ini terlihat eritema dan edema yang nyata, tidak terdapat stippling, perdarahan pada sulkus setelah probing.

(23)

3. Gingivitis parah (severe gingivitis)

Pada tipe ini gingiva terlihat sangat merah, edematous, pembengkakan hiperplastik, tidak ada stippling, ulserasi pada interdental, dan perdarahan spontan.

Gambar 8. Mild gingivitis Rateitschak (1985)

Gambar 9. Moderate gingivitis Rateitschak (1985)

Gambar 10. Moderate gingivitis Rateitschak (1985)

(24)

ACUTE NECROTIZING ULCERATIVE GINGIVITIS (ANUG)

ANUG adalah keadaan inflamasi gingiva yang akut, sangat nyeri, dan berkembang secara progresif, yang dapat masuk pada tahap subakut dan kronis. Etiologi ANUG dapat berasal dari: (1) faktor lokal, misalnya oral hygiene yang jelek; plak didominansi bakteri Spirochetes, Bacteroides, dan fusiform; area retentif plak seperti gigi berjejal, dan restorasi yang overhang; perokok (iritasi lokal dari substansi tar; (2) faktor sistemik, misalnya kesehatan umum yang jelek; fatigue atau stres psikis; merokok (nikotin sebagai sympatheticomimetic dan kemotaksin); umur; musin tahunan (Rateitschak dkk, 1985).

Gingivitis ulseratif nekrosis dapat didiagnosis berdasarkan temuan klinis saja. Penyakit timbul dengan tiba-tiba dan pasien mengeluhkan rasa sakit yang hebat pada gigi atau gingivanya. Biasanya, pasien tidak dapat menentukan secara pasti tempat-tempat yang terasa sakit. Rasa sakit lebih kuat ditempat terjadinya ulserasi. Tanda kedua yang paling menonjol adalah perdarahan gingiva. Perdarahan sering terjadi secara spontan, pasien sering menemukan tetesan darah pada bantalnya atau merasakan bau amis darah di dalam mulutnya pada waktu bangun tidur. Pasien merasakan sakit yang sangat hebat dan mengalami perdarahan gingiva pada waktu menyikat gigi atau pada waktu makan. Pasien tidak dapat mentoleransi minuman beralkohol, minuman dingin atau panas, dan makanan pedas.

Gambar 11. Gingiva Pasien ANUG Rateitschak dkk (1985)

(25)

Tanda klinis yang paling khas adalah ulserasi dan pembentukan kawah pada papilla interdental. Seringkali, papilla gingiva rusak karena adanya jaringan nekrosis yang tercabik, dilapisi oleh pseudomembran berwarna putih keabu-abuan. Komplikasi sistemik seperti demam, sakit kepala, malaise, hilangnya nafsu makan, dan limfadenopati regional dapat ada atau tidak (Fedi dkk, 2004).

GINGIVITIS YANG DIMODULASI HORMON

Ketidakseimbangan hormon seks dapat menimbulkan efek merugikan pada gingiva. Perubahan fisiologis terkait hormon seks menyebabkan permeabilitas kapiler dan meningkatkan retensi cairan di jaringan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya gingivitis edematus, hemoragik, dan hiperplastik sebagai respon terhadap plak (Fedi dkk, 2004). Menurut Rateitschak dkk (1985), beberapa contoh gingivitis yang dimodulasi oleh hormon, antara lain:

1. Puberty gingivitis 2. Pregnancy gingivitis 3. Gingivitis dari “pil”

Gejalanya adalah perdarahan gingiva, eritema ringan dan edema. 4. Gingivitis menstrualis dan intermenstrualis

Tanda pada tipe ini adalah gingiva terlihat kering dan halus, dengan titik berwarna salmon-pink, stippling hilang, dan keratinisasi juga hilang. Pasien mengeluhkan xerostomia dan sensasi terbakar.

5. Gingivitis climateric

Gambar 12. Severe pregnancy gingivitis with epulis Rateitschak dkk (1985)

(26)

GINGIVAL OVERGROWTH, TUMOR

Klasifikasi pembesaran pada gingiva antara lain: 1. Idiophatic fibrosis (fibromatosis gingivae)

Idiophatic fibrosis adalah gingiva yang mengeras dan lebih tebal akibat jaringan fibrous. Idiophatic fibrosis terlihat sebagai lesi yang terlokalisasi pada tuberositas maksilla dan aspek palatal pada segmen posterior. Idiophatic fibrosis juga bermanifestasi sebagai pembesaran gingiva menyeluruh (Rateitschak dkk,1985).

Gambar 13. Idiophatic fibrosis (Rateitschak dkk,1985)

2. Overgrowth akibat oleh obat (misalnya phenytoin dan cyclosporin-A)

Gambar 14. Mild phenytoin induced gingival overgrowth (Rateitschak dkk,1985)

3. Epulis

Epulis adalah benigna yang terlihat sebahai pembesaran seperti tumor pada papilla interdental.

(27)

Gambar 15. Granulomatous epulis (kiri), epulis fibromatosa (kanan) (Rateitschak dkk,1985)

4. Tumor benigna dan maligna

Tumor pada gingiva termasuk jarang. Gambar dibawah ini adalah tumor yang sangat langka, yaitu rhabdomyosarcoma, yang menunjukkan pertumbuhan invasif kedalam tulang alveolar.

Gambar 16.Tumor maligna, rhabdomyosarcoma (Rateitschak dkk,1985)

PENYAKIT AUTOIMMUNE, ANOMALI PADA KERATINISASI, INFEKSI VIRUS

Menurut Rateitschak dkk (1985), penyakit autoimmune seperti desquamative dan bullous alterations pada mukosa, kelaianan keratinisasi, dan infeksi virus sering terlokalisasi pada gingiva. Pasien yang menderita penyakit tersebut sulit untuk melaksanakan oral hygeiene yang tepat karena rasa nyeri dan mudahnya perlukaan pada gingiva. Hal ini membuat superimpoisisi plak yang menyebabkan gingivitis. Beberapa contoh penyakit pada bagian ini, antara lain:

(28)

1. Deskuamatif gingivitis (gingivosis)

Pada tahap awal terlihat titik kemerahan pada gingiva, kemudian terjadi deskuamasi pada epithelium. Pada beberapa kasus dapat ditemui blisters. Gingivosis adalah penyakit autoimmune dimana host menghasilkan antibodi yang melawan epitel membran dasarnya sendiri.

Gambar 17. Eritema yang parah pada gingiva cekat pada pasien gingivosis (Rateitschak dkk, 1985)

2. Pemphigoid

Pada pemphigoid, gingiva mengalami eritem dan terbentuknya vesikel. Ketika vesikel ruptur, muncullah erosi yang tertutupi fibrin, yang sembuh dengan sedikit jaringan parut.

Gambar 18. Vesikel (tanda panah) pada pasien pemhigoid (Rateitschak dkk, 1985)

3. Pemphigus vulgaris

Pada pemphigus vulgaris berkembang vesikel intraepitel yang mudah pecah dan meninggalkan erosi yang sangat sakit.Selain itu terjadi pula deskuamasi epitel.

(29)

Gambar 19. Gingiva kemerahan dengan effluorescences sekunder (Rateitschak dkk, 1985)

4. Lichen planus

Gejala lichen planus adalah milky-whitish, bentuk seperti sendok, hyperkeratotic effluorescences dan/atau jaringan seperti spiderweb yang disebut Wickham's striae.

Gambar 20. Gingiva dan oral mukosa yang keputihan, Wickham's striae (Rateitschak dkk, 1985)

5. Herpetic gingivostomatitis

Pada saat pertama kali terinfeksi, pasien mengalami demam dan pembengkakan yang sakit pada nodus limfatikus. Pemeriksaan intraoral menunjukkan gingivitis akut dan sangat sakit dengan blister-like apthae, lesi erosif pada gingiva cekat, terkadang pada mukosa oral dan bibir. Diagnosis difensialnya adalah ANUG dan aphtous ulcer kambuhan. Etiologinya adalah herpes simplex virus. Lesi umumnya hilang dengan spontan dalam waktu 1-2 minggu tanpa terapi.

(30)

Gambar 21. Mukosa oral pasien herpetic gingivostomatitis dengan solitary aphthous ulcer

(Rateitschak dkk, 1985) PERIODONTITIS

Periodontitis adalah inflamasi jaringan periodontal yang ditandai dengan migrasi epitel jungsional ke apikal, kehilangan perlekatan dan puncak tulang alveolar. Pada pemeriksaan klinis terdapat peningkatan kedalaman probing, perdarahan saat probing (ditempat aktifnya penyakit) yang dilakukan dengan perlahan dan perubahan kontur fisiologis. Dapat juga ditemukan kemerahan dan pembengkakan gingiva. Biasanya tidak ada rasa sakit (Fedi dkk, 2004).

Pembentukan poket

Menurut Fedi dkk (2004), poket adalah pendalaman sulkus gingiva secara patologis karena penyakit periodontal. Pendalaman sulkus dapat terjadi karena tiga hal: (1) pergerakan tepi gusi bebas ke arah koronal, seperti pada gingivitis; (2) perpindahan epitel jungsional ke arah apikal, bagian koronal epitel terlepas dari permukaan gigi; dan (3) kombinasi keduanya. Poket dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Poket gingiva (pseudopocket/poket semu)

Poket gingiva adalah pendalaman sulkus gingiva sebagai akibat dari pembesaran gingiva. Tidak terjadi migrasi epitel jungsional ke apikal atau resorpsi puncak tulang alveolar

2. Poket supraboni

(31)

serabut gingiva di dekatnya, ligamen periodonsium, dan puncak tulang alveolar, yang dikaitkan dengan migrasi epitel jungsional ke apikal. Dasar poket dan epitel jungsional lebih koronal dibandingkan puncak tulang alveolar. Poket supraboni dihubungkan dengan resorpsi tulang horizontal, yaitu penurunan ketinggian puncak alveolar keseluruhan, umumnya puncak tulang dan permukaan akar membentuk sudut siku-siku.

3. Poket infraboni

Poket infraboni adalah pendalaman sulkus gingiva dengan posisi dasar poket dan epitel jungsional terletak lebih ke apikal dibandingkan puncak tulang alveolar. Poket infraboni dihubungkan dengan resorpsi tulang vertikal (resorpsi tulang angular), yaitu kehilangan tulang yang membentuk sudut tajam terhadap permukaan akar.

Gambar 22. (A) Sulkus normal; (B) Poket supraboni; (C) Poket infaboni (Rateitschak dkk, 1985)

Menurut Rateitschak dkk (1985), poket infraboni menunjukkan bermacam-macam bentuk hubungan dengan gigi yang terkena. Defek tulang dilklasifikasikan sebagai berikut:

1. 3-wall bony pocket, dibatasi oleh satu permukaan gigi dan tiga permukaan tulang

(32)

dua permukaan tulang (satu fasial dan satu oral)

3. 1-wall bony pocket, dibatasi oleh dua permukaan gigi dan satu permukaan tulang (fasial atau oral) dan batas jaringan lunak

4. Crater (“cup”) defects, adalah kombinasi poket yang dibatasi beberapa permuakaan gigi dan beberapa tulang. Cacat ini mengelilingi gigi.

Gambar 23. Representasi skematik morfologi poket: (A) 3-wall bony defect; (B) 2-wall bony defect; (C) 1-wall bony defect; (D) combined bony pocket

(Rateitschak dkk, 1985)

Menurut Fedi dkk (2004), baik poket supraboni maupun infraboni disebabkan oleh infeksi plak; akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya poket infraboni. Mekanisme etiologi yang telah dikemukakan adalah:

1. Adanya pembuluh darah yang besar pada satu sisi alveolus mungkin mempengaruhi pembentukan poket infraboni.

2. Desakan makanan yang kuat ke daerah interproksimal dapat menyebabkan kerusakan unilateral pada perangkat pendukung gigi dan rusaknya perlekatan epitel

3. Trauma pada jaringan periodontal dapat menyebabkan kerusakan puncak ligamen periodonsium (trauma oklusi), yang jika sudah ada inflamasi, dapat mengakibatkan migrasi epitel jungsional ke arah daerah terjadinya kerusakan. 4. Plak yang terdapat di daerah apikal gigi-gigi berdekatan yang maju dengan

(33)

kecepatan berbeda-beda ke arah apikal dapat menyebabkan kerusakan tulang alveolar yang lebih cepat pada salah satu sisi dari dua gigi yang bersebelahan, sehingga menyebabkan resorpsi tulang yang berbentuk vertikal.

Pada kehilangan tulang periodontal pada gigi berakar jamak, terjadi masalah khusus ketika terlibatnya bifurkasi atau trifurkasi. Keterlibatan furkasi berdasarkan pengukuran horizontal, antara lain:

1. Klas 1: furkasi dapat di probe dengan kedalaman 3 mm (F1).

2. Klas 2: furkasi dapat di probe dengan kedalaman lebih dari 3 mm, namun tidak menembus sisi yang lain (F2).

3. Klas 3: furkasi menembus sisi yang lain dan dapat di probe seutuhnya (F3).

Gambar 24. Klasifikasi keterlibatan furkasi

(A) Poket tanpa keterlibatan furkasi; (B) Klas 1; (C) Klas 2; (D) Klas 3 (Rateitschak dkk, 1985)

Gambar 25. Gambaran radiografi poket tanpa keterlibatan furkasi (kiri) dan keterlibatan furkasi klas 1 (kanan)

(34)

Gambar 25. Gambaran radiografi poket dengan keterlibatan furkasi klas 2 (kiri) dan keterlibatan furkasi klas 3 (kanan)

(Rateitschak dkk, 1985)

Menurut Fedi dkk (2004), klasifikasi periodontitis adalah sebagai berikut: A. Periodontitis dewasa kronis

Tipe ini adalah tipe periodontitis yang berjalan lambat, terjadi pada 35 tahun keatas. Kehilangan tulang berkembang lambt dan didominansi oleh bentuk horizontal. Faktor etiologi utama adalah faktor lokal terutama bakteri gram negatif. Tidak ditemukan kelainan sel darah dan disertai kehilangan tulang (Fedi dkk, 2004).

Gambar 26. Gambaran klinis periodontitis dewasa kronis (Rateitschak dkk, 1985)

(35)

Gambar 27. Gambaran radiografi periodontitis dewasa kronis: terlihat kehilangan tulang horizontal ringan-sedang dan terlokalisasi

(Rateitschak dkk, 1985) B. Periodontitis awitan dini (EOP)

1. Periodontitis prepubertas

Tipe ini adalah tipe yang terjadi setelah erupsi gigi sulung. Terjadi dalam bentuk yang terlokalisir dan menyeluruh. Tipe ini jarang terjadi dan penyebarannya tidak begitu luas.

2. Periodontitis juvenil (periodontosis)

Periodontitis juvenil terlokalisir (LJP) adalah penyakit peridontal yang muncul pada masa pubertas. Gambaran klasik ditandai dengan kehilangan tulang vertikal yang hebat pada molar pertama tetap, dan mungkin pada insisif tetap. Biasanya, akumulasi plak sedikit dan mungkin tidak terlihat atau hanya sedikit inflamasi yang terjadi. Predileksi penyakit lebih banyak pada wanita dengan perbandingan wanita:pria 3:1. Bakteri yang terlibat pada tipe ini adalah Actinobacillus actinomycetemcomittans galur Y4. Bakteri ini menghasilkan leukotoksin yang bersifat toksis terhadap leukosit, kolagenase, endotoksin, dan faktor penghambat fibroblas. Selain bentuk terlokalisir, juga terdapat bentuk menyeluruh yang mengenai seluruh gigi-geligi.

(36)

Gambar 28. Tahap awal juvenil periodontitis (Rateitschak dkk, 1985)

Gambar 29. Tahap lanjut juvenil periodontitis (Rateitschak dkk, 1985)

3. Periodontitis yang berkembang cepat

Periodontitis yang berkembang cepat adalah penyakit yang biasanya dimulai sekitar masa puebrtas hingga 35 tahun. Ditandai dengan resorbsi tulang alveolar yang hebat, mengenai hampir seluruh gigi. Bentuk kehilangan yang terjadi vertikal atau horizontal, atau kedua-duanya. Banyaknya kerusakan tulang nampaknya tidak berkaitan dengan banyaknya iritan lokal yang ada. Penyakit ini dikaitkan dengan penyakit sistemik (seperti diabettes melitus, sindrom Down, dan penyakit-penyakit lain), tetapi dapat juga mengenai individu yang tidak memiliki penyakit sistemik. Keadaan ini dibagi dalam dua subklas:

a) Tipe A: terjadi antara umur 14-26 tahun. Ditandai dengan kehilangan tulang dan perlekatan epitel yang cepat dan menyeluruh.

b) Tipe B: ditandai dengan kehilangan tulang dan perlekatan epitel yang cepat dan menyeluruh pada usia antara 26-35 tahun

(37)

C. Gingivo-periodontitis ulseratif nekrosis (NUG-P)

Gingivo-periodontitis ulseratif nekrosis adalah bentuk periodontitis yang biasanya terjadi setelah episode berulang dari gingivitis ulseratif nekrosis akut dalam jangka waktu lama, yang tidak dirawat atau dirawat tetapi tidak tuntas. Pada tipe ini terjadi kerusakan jaringan di interproksimal, membentuk lesi seperti kawah, baik pada jaringan lunak mapun tulang alveolar.

D. Periodontitis yang berkaitan dengan penyakit sistemik RESESI

Resesi gingiva (atrofi) adalah suatu kelainan mukogingiva. Resesi dapat terjadi karena kelainan frenulum atau gingiva cekat (Fedi dkk, 2004). Menurut Suproyo (2007), resesi gingiva mengakibatkan: hipersensitifitas, mudah terjadi karies, dan estetika yang jelek. Penyebab resesi gingiva antara lain:

1. Anatomis, yaitu tulang alveolar tidak memadai, contohnya gigi labioversi 2. Kesalahan menyikat gigi

3. Kesalahan alat gigi dalam mulut 4. Akibat sampung bedah peridontal

Gambar 30. Resesi gingiva (Rateitschak dkk, 1985)

Tanda klinis resesi gingiva juga dapat terjadi akibat cacat plat kortikal alveolar, yaitu dehindensi dan fenestrasi. Dehidensi merupakan kehilangan tulang berbentuk celah pada plat kortikal tulang alveolar, menyebabkan terbukanya

(38)

permukaan akar. Sedangkan fenestrasi alveolar adalah cacat berupa lubang di plat kortikal, sehingga permukaan akar fasial atau lingual terlihat.

Gambar 31. Fenestrasi (kiri) dan dehindensi (kanan) (Rateitschak dkk, 1985)

(39)

BAB IV KESIMPULAN

Diagnosis penyakit peridontal dapat ditegakkan setelah melalui beberapa tahapan diagnostik, antara lain: diagnosis klinis, gambaran radiograf, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Seorang praktisi yang cermat, akan menggabungkan data-data yang diperolehnya saat pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografi untuk mendapatkan suatu diagnosis definitif. Jika setelah pemeriksaan klinis dan radiografi dilakukan namun belum mendapatkan diagnosis definitif, maka barulah dilakukan permeriksaan penunjang lainnya.

Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan seorang praktisi adalah untuk menegakkan suatu diagnosis definitif dari beragam penyakit peridontal. Penyakit peridontal yang berhubungan dengan plak adalah periodontitis dan gingivitis. Kedua penyakit tersebut dapat diperparah oleh adanya faktor lokal yang jelek (seperti tumpatan yang overhanging) maupun faktor sistemik yang dimiliki penderita. Faktor sistemik yang dimiliki penderita memperparah respon terhadap plak sehingga menimbulkan kerusakan yang lebih dibandingkan individu tanpa penyakit sistemik. Penyakit peridontal juga dapat diakibatkan oleh kelaianan tulang alveolar (misalnya: fenestrasi dan dehindensi) atau kelainan mukogingiva (misalnya: resesi).

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Carranza, F.A., 1990, Glickman's clinical Periodontology, 7th Ed, W.B Saunders

Company, Philadelphia,

h.476-Fedi, F.J., Vernino, A.R., Gray, J.L., 2004, Silabus Periodonti, Edisi 4, EGC, Jakarta, h.46-61

Harty, F.J., dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta

Lynch, M.A., Brightman, V.J., Greenberg, M.A., 1992, Ilmu Penyakit Mulut: Diagnosis dan Terapi, Edisi 8, Binarupa Aksara, Jakarta

Rateitschak, K.H, Rateitschak., E.M, Wolf, H.F., Hassell, T.M., 1985, Color Atlas of Periodontology, Georg Thieme Verlag Sturrgart, New York

Rose, L.F., Mealy, B.L., Genco, R.J., Cohen., D.W., 2004, Periodontics: Medicine, Surgery, and Implants, Mobsy, St.Louis

Suproyo, H., 2007, Bahan Ajar Penatalaksanaan Penyakit Jaringan Periodontal, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Gambar

Gambar 2. Pemeriksaan plak (Rateitschak dkk, 1985)
Gambar 3. Deteksi kehalusan (atas kanan) atau iregularitas  pada permukaan akar dengan pergerakan probe atau eksplorer
Gambar 4. Penilaian gingival index (Rateitschak dkk, 1985)
Gambar 5. Penilaian Sulcus Bleeding Index (Rateitschak dkk, 1985)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Poket Periodontal yang tidak dirawat akan berlanjut pada kehilangan tulang alveolar yang dapat menyebabkan goyangnya gigi- geligi dan pada akhirnya mengakibatkan

Kesimpulan: Terdapat perbedaan nilai indeks gingiva, bleeding score, serta kedalaman poket periodontal gigi molar permanen yang menggunakan molar band dan molar tube

Tabel 7 menunjukkan bahwa sistem pakar fuzzy ini dapat digunakan sebagai alat diagnosis penyakit gigi periodontal karena hasil perhitungan level

Tabel 7 menunjukkan bahwa sistem pakar fuzzy ini dapat digunakan sebagai alat diagnosis penyakit gigi periodontal karena hasil perhitungan level

Hal ini disebabkan bakteri anaerob yang menjadi penyebab pneumonia banyak ditemukan pada plak dental, khususnya pada pasien dengan penyakit periodontal. Beberapa bakteri

Trauma Oklusi Respon Gingiva Respon Tulang Alveolar Respon Ligamen Periodontal Respon Sementum Tidak menyebabkan kerusakan pada gingiva marginal karena suplay

Tabel 7 menunjukkan bahwa sistem pakar fuzzy ini dapat digunakan sebagai alat diagnosis penyakit gigi periodontal karena hasil perhitungan level periodontal

Endapan Permukaan Gigi sebagai Faktor Predisposisi Penyakit Periodontal Faktor predisposisi yang berupa endapan atau deposit selain plak, seperti material alba, food