BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan sistem tanda yang bermakna. Karya sastra adalah ungkapan penulis yang berupa tanda dengan menggunakan bahasa sebagaimana dijelaskan oleh Pradopo (2013:121) “Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.” Puisi merupakan genre karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Puisi banyak menyimpan tanda di dalamnya karena penjelasan panjang terhadap suatu hal puisi dapat hanya disimbolkan dengan satu kata atau dengan kata lain puisi merupakan gejala semiotik (Teeuw, 2003:37). Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna puisi secara mendalam perlu dilakukan analisis terhadap tanda-tanda tersebut. Hal ini karena puisi memiliki tingkat kepadatan kata yang tinggi dibandingkan dengan prosa, sehingga puisi penyampaiannya bukan atas penguraian yang dilakukan oleh penyair melainkan pembaca sendiri yang memberikan pemaknaan terhadapnya.
Dalam kesusastraan Arab, puisi merupakan genre sastra yang paling populer sejak zaman Ja>hiliyyah dan dikenal dengan asy-Syi‘ru. Asy-Syi‘ru merupakan puncak keindahan dalam sastra, sebagaimana pandangan yang dikemukakan oleh orang Arab, asy-Syi‘ru merupakan suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari kehalusan perasaan dan keindahan daya khayal (al-Muh{d{ar, 1983:28). Oleh karena itu, puisi sangat disenangi oleh orang Arab sehingga mereka memandang setiap penyair sebagai orang yang penting kedudukannya dalam masyarakat (al-Muh{d{ar, 1983:38).
Menurut Ahmad asy-Sya>yib (1964), syi‘r atau puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazn atau bah}r (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qa>fiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/sat}r) serta mengandung unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang kuat (Kamil, 2012:10). Puisi yang menggunakan aturan ini dinamakan puisi tradisional atau puisi multazim. Aturan inilah yang menjadikan puisi Arab terkesan lebih indah karena memperhatikan aspek kebahasaan dengan cermat sekaligus pemaknaan yang mendalam (Kamil, 2012:11).
Puisi Arab menurut Sutiasumarga (2001:48) diciptakan dengan berbagai tujuan, antara lain madh} (pujian), gazl (rayuan), hija>’ (ejekan), fakhr (kebanggaan), was{f (persifatan), ris\a>’ (ratapan), dan h{ikmah (kata-kata hikmah). Tujuan penciptaan puisi tersebut mengalami perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan situasi dan kondisi zaman, misal di negara-negara konflik muncul puisi-puisi modern bertema muqa>wamah (penentangan) terhadap pemerintahan, kejiwaan, maupun patriotik kepada negara (Sutiasumarga, 2001:120).
H{ikmah adalah salah satu tujuan penciptaan puisi yang masih digunakan hingga saat ini. H{ikmah dalam puisi-puisi ini bertujuan untuk menyampaikan ajaran agama bagi pembacanya. Salah satu penyair pada masa Daulah Abbasiyah adalah Abu> al-Fath{ al-Busti> yang hidup hingga tahun 400 H/1010 M di desa Bust, kota Kabul, Afghanistan. Dia adalah seorang ulama yang faqi>h dalam ilmu agama dan telah menulis karya-karya ilmiah yang sangat bermanfaat bagi para penuntut ilmu khususnya melalui karya sastra berupa puisi. Salah satu karya puisinya yang
terkenal adalah “Naz{am An-Nu>niyah” atau “‘Unwa>nu al-H{ikam” yang terdapat dalam Di>wa>n Abi> a-Fath{ al-Busti> (Al-Kha>t{ib, 1989:6).
Puisi tersebut merupakan puisi hikmah yang tiap baitnya berisi ilmu pengetahuan dan nasihat yang ditujukan kepada seluruh manusia utamanya bagi orang Islam. Puisi ini ditulis dengan gaya bercerita seakan-akan berdialog dengan pembaca yang merupakan simbol realitas dan interaksi masyarakat atau dakwah pada masa itu, serta dalam penyampaiannya mengandung aspek-aspek semiotik. Gaya penulisan seperti inilah yang menjadikan puisi memiliki keindahan yang sempurna karena diuraikan secara singkat melalui tanda-tanda, tetapi memiliki pemaknaan yang luas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji makna-makna yang terkandung di dalam puisi tersebut agar makna-makna-makna-maknanya dapat dipahami secara mendalam dan luas serta memberikan tambahan wawasan keagamaan terhadap pembaca.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah makna bait-bait puisi “‘Unwa>nu al-H{ikam” karya Abu> al-Fath al-Busti dalam Di>wa>n Abi> Fath{ al-Busti>.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap makna bait-bait puisi ‘Unwa>nu al-H{ikam karya Abu> al-Fath{ al- Busti> dalam Di>wa>n Abi> al-Fath{ al-Busti> dengan menggunakan analisis semiotik.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang puisi Arab tradisional bertemakan akhlak atau kandungan hikmah menggunakan analisis semiotik sudah pernah dilakukan di jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, di antaranya adalah penelitian dalam kumpulan puisi Hindun (2004) dengan judul “Puisi bertema “al-Mu`akhkhah” dalam Di>wa>n al-Ima>m asy-Sya>fi’i>y: Analisis Semiotik yang menjelaskan tentang etika dalam bergaul. Kemudian, penelitian dalam skripsi oleh Muhammad Lauza’i Wafa (2013) dengan judul “Makna Puisi “Al-H{irs{u Lu’mun Wa Mis|luhu At{-T{ama‘u” dalam Di>wa>n Abi> al-‘At{a>hiyah suntingan Maji>d Tara>d: Analisis Semiotik Riffaterre” yang menjelaskan tentang akhlak buruk berupa sifat tama’ yang tidak dapat bersatu dengan akhlak yang baik.
Selanjutnya penelitian dalam sebuah skripsi juga telah dilakukan oleh Muhammad Dedad Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Syi‘r Al-H}ikmah Wa Al-Mau‘iz}ah Fi> Di>wa>n Mahmu>d Al-Waraq: Studi Analisis Semiotik Riffaterre yang menjelaskan tentang pesan hikmah kepada manusia dalam meniti kehidupan beragama.
Adapun sejauh pengamatan penulis, penelitian terhadap puisi Arab tradisional bertema hikmah, khususnya bait-bait puisi “‘Unwa>nu al-H{ikam” karya Abu> al-Fath} al-Busti> belum pernah dilakukan atau diteliti sebelumnya oleh mahasiswa Program Studi Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada maupun penelitian-penelitian dari universitas lain, baik dari segi
linguistik maupun sastranya. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis makna bait-bait puisi “‘Unwa>nu al-H{ikam” karya al- Busti> dengan menggunakan analisis semiotik agar makna-makna yang terkandung di dalamnya dapat difahami secara utuh.
1.5 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik yang diungkapkan oleh Michael Riffaterre. Saussure mengungkapkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem tanda, yakni suatu keterjalinan tanda-tanda menurut suatu aturan tertentu yang memungkinkan bahasa menjalankan fungsi hakikatnya sebagai sarana representasi dan komunikasi (via Widada, 2009:17). Riffaterre (1978:ix) menjelaskan lebih lanjut bahwa semiotik adalah pendekatan paling sesuai untuk memahami puisi. Pradopo (2013:121) menerangkankan bahwa hal ini disebabkan puisi adalah salah satu genre dalam karya sastra yang merupakan sistem tanda yang menandung makna berdasarkan konvensi dengan mempergunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 2013:121). Sebagai tanda, makna karya sastra dapat mengacu kepada sesuatu di luar karya sastra itu sendiri ataupun di dalam dirinya (Riffaterre, 1978:1). Riffaterre (1978:1) berpendapat bahwa puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain.
Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2013:121). Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (via Ratna, 2004:97) semiotika berasal dari kata seme,
bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Kemudian Luxemburg dkk (1989:44) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, bahasa Yunani, yang berarti tanda. Semiotik atau semiologi ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistem lambang dan proses perlambangan.
Dalam pengkajian semiotik, hal pertama kali yang penting untuk dipahami adalah pengertian tanda. Pradopo (2013:119) menyebutkan bahwa sebuah sistem tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk tanda atau yang ditandai, sedangkan petanda adalah arti tanda itu sendiri.
Selanjutnya, tanda-tanda yang mengandung arti tersebut akan digolongkan kepada arti bahasa yang ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra, sehingga untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra dipergunakan istilah arti (meaning) untuk bahasa dan makna (significance) untuk arti sastra (Pradopo, 2013:121). Hubungan antara tanda dengan makna dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan dari makna ke tanda dan dari tanda ke makna. Hubungan pertama disebut ekspresif, sedangkan yang kedua interpretatif. Oleh karena itu, interpretasi makna harus dilakukan dengan dua tahap. Pertama tahap ekspresi, yakni dengan memahami bahasa teks, sedangkan tahap kedua pemahaman terhadapa makna dengan melampaui medium bahasa yang umum (Schleiermacher via Faruk, 2012:82).
Teori semiotik ini akan dimanfaatkan untuk membahas puisi “’Unwa>nu al-H}ikam” karya Abu> al-Fath{ al-Busti> dalam Di>wa>n Abi> al-Fath{ al-Busti> dari segi maknanya.
1.6 Metode Penelitian
Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan di atas, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian analisis semiotik yang dikemukakan oleh Riffaterre. Riffaterre (1978:1-24) mengungkapkan bahwa ada empat cara yang dapat dilakukan dalam memproduksi makna puisi, yakni memahami ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik, dan hermeneutik, matriks atau kata kunci, dan hipogram. Akan tetapi, penelitian ini menggunakan dua dari empat langkah tersebut di atas, yaitu ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan semiotik.
Langkah pertama yang digunakan untuk mengungkap makna puisi adalah mencari ketidaklangsungan ekspresi. Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning) (Riffaterre, 1978:2).
Langkah selanjutnya dilakukan dengan pembacaan semiotik yang dibagi menjadi dua, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeunetik atau retroaktif. Pembacaan heuristik merupakan cara kerja yang dilakukan pembaca dengan menginterpretasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik (Riffaterre via Sangidu, 2005:19). Puisi (sajak) dibaca secara linier menurut struktur normatif bahasa (Pradopo, 2005:296). Dalam pembacaan ini,
semua bacaan harus dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif. Pada tahap ini, apabila ditemukan unsur-unsur bahasa yang tidak gramatikal, maka pembaca harus melakukan netralisasi. Maksudnya, logika bahasa yang tidak biasa dikembalikan pada logika bahasa yang biasa. Dengan demikian, pembacaan heuristik ini akan menghasilkan meaning atau arti satuan-satuan info yang diangkat oleh teks.
Pembacaan hermeunetik atau retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran (Pradopo, 2005:297). Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan pembacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeunetik berdasarkan konvensi sastra (puisi). Metode yang dilakukan oleh pembaca dalam pembacaan hermeneutik ini adalah dengan bekerja terus-menerus lewat pembacaan teks secara bolak-balik dari awal sampai akhir dan menghubungkan peristiwa-peristiwa atau kejadian yang ada di dalamnya antara yang satu dengan yang lainnya sampai ia dapat menemukan makna karya sastra pada sistem sastra yang tertinggi, yaitu makna keseluruhan teks sastra sebagai sistem tanda (Riffaterre via Sangidu, 2005:179).
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan ditulis dalam empat bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II terdiri atas riwayat hidup Abu> al-Fath{ al-Busti> dan bait-bait puisi hikmahnya. Selanjutnya, Bab III adalah analisis semiotik dan Bab IV berisi kesimpulan.
1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988 No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987.
a. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus.
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ب Bā` b Be
ت Tā` t Te
ث Ṡā` ṡ es (dengan titik di atasnya)
ج Jīm j Je
ح Ḥā` ḥ Ha (dengan titik di bawahnya)
خ Khā` kh Ka dan ha
د Dal d De
ذ Żal ż Zet (dengan titik di atasnya)
ر Rā` r Er
ز Zai z Zet
س Sīn s Es
ش Syīn sy Es dan ye
ص Ṡād ṣ Es (dengan titik di bawahnya)
ض Dād ḍ De (dengan titik di bawahnya)
ط Ṭāˋ ṭ Te (dengan titik di bawahnya)
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ع ‘Ain ‘ Koma terbalik (di atas)
غ Gain g Ge ف Fāˋ f Ef ق Qāf q Ki ك Kāf k Ka ل Lām l El م Mīm m Em ن Nūn n En و Wāwu w We ه Hāˋ h Ha ء Hamzah ′
Apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk
hamzah di awal kata
ي Yā` y Ye
b. Vokal
Vokal bahasa Arab, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong, dan vokal panjang.
Vokal tunggal Vokal rangkap Vokal panjang
Tanda Latin Tanda Latin Tanda Latin
ﹷ a ي...ﹶ ai ى...َ ا...ﹶ ā
ﹻ i و... ﹶ au ي...ﹻ ī
ﹹ u و ... ﹸ ū
c. Tā` Marbūṭah
Transliterasi untuk tā` marbūṭah ada dua. Pertama, tā` marbūṭah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah, transliterasinya adalah /t/. Kedua, tā` marbūṭah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/. Kalau
pada kata yang terakhir dengan tā` marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka tā` marbūṭah itu ditransliterasikan dengan /h/.
Contoh:
ةرّونلما ةنيدلما
: al-Madīnah al-Munawwarah atau al-Madīnatul-Munawwarah. d. SyaddahTanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh:
لّزن
: nazzala e. Kata SandangTransliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /i/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut.
Contoh:
سمّشلا
: asy-syamsuKata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /i/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Contoh:
f. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah dan akhir kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh:
ّنإ
: inna,ذخأي
: ya`khużu,ءيش
: syai`un g. Penulisan KataPada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
ينقزاّرلا يرخ وله للها ّنإو
: Wa innallāha lahuwa khairu ar-rāziqīn atau Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīnh. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya, huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).