• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ph TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH ph TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa LOKAL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak— Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pada pH medium berapa yang dapat mempengaruhi produksi biosurfaktan untuk mencapai optimasi dalam mengasilkan biosurfaktan.Untuk mengetahui biosurfaktan yang dihasilkan maka dilakukan uji aktivitas emulsifikasi dengan menggunakan hidrokarbon uji berupa oli, minyak tanah, dan n-heksana. Fase stasioner diperoleh setelah fermentasi 20 jam. Hasil uji aktivitas menunjukkan pada variabel pH 6.0-8.0 dengan kondisi optimum produksi biosurfaktan terjadi pada pH 8.0. Setelah dilakukan isolasi dari hasil produksi biosurfaktan diperoleh biosurfaktan seberat 0.033 gram dari jumlah medium 1 liter.

Kata Kunci— biosurfaktan, Pseudomonas aeruginosa, rhamnolipid, fase stasioner

I. PENDAHULUAN

idrokarbon minyak bumi terus-menerus digunakan sebagai sumber energi utama. Produksi skala luas, transportasi, dan pemanfaatan minyak bumi secara luas membuatnya menjadi kontaminan utama di lingkungan (Ferrari dkk, 1996). Hidrokarbon minyak bumi termasuk pencemar lingkungan yang paling umum dan luas, dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan (Boulding, 1996; Kingston, 2002), sehingga diperlukan suatu strategi untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh minyak.

Bioremediasi merupakan metode yang disarankan untuk mengolah tanah yang tercemar karena biayanya murah dan kemampuannya untuk mengkonversi pencemar menjadi produk akhir yang tidak berbahaya. (Olivera dkk, 1997). Lambatnya proses degradasi hidrokarbon di alam dikarenakan hidrokarbon sukar larut dalam air. Akibatnya, kemampuan mikroba memanfaatkan hidrokarbon sebagai substrat pertumbuhannya rendah (Francy et al., 1991). Dengan pemberian surfaktan, termasuk biosurfaktan, akan dapat meningkatkan kelarutan konsentrasi senyawa hidrofobik dan memberikan kemudahan ketersediaan hidrokarbon oleh mikroba (Ni’matuzahroh et al., 2001).

Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup dan proses biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi

biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia.

Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri, ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan. Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang produk dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam amino. (Herawan, 1996). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi biosurfaktan seperti jenis substrat pertumbuhan, jenis bakteri, sumber nutrisi, dan faktor lingkungan menjadi perhatian utama para peneliti dalam upaya optimasi produksi biosurfaktan tersebut (Desai dan Banat, 1997).

Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian terhadap salah satu faktor yang mempengaruhi produksi biosurfaktan yaitu pengaruh lingkungan pH medium untuk mengetahui pH yang paling sesuai dalam memproduksi biosurfaktan oleh bakteri P. aeruginosa lokal.

II. URAIANPENELITIAN 2.1 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri P. aeruginosa lokal yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi jurusan Teknik Kimia, ITB, media padat agar miring (nutrient agar(NA) 28 g/L), media cair PPGAS (protease-peptone ammonium salts) yang terdiri dari 0.02 M NH4Cl2, 0.02 M KCl, 0.12 M Tris-HCl, 0.0016 M MgSO4.7H2O, 0.5 % [w/v] glukosa, 1 % [w/v] pepton; pH 7.2, HCl 3 N, NaOH 3 N, 0.05 M larutan buffer natrium bikarbonat pH=8.6, aquades, natrium asetat 0.1 M, asam asetat 0.1 M, NaH2PO4 0.2 M, Na2HPO4 0.2 M, NaOH 0.1 M, KH2PO4 0.2 M, larutan buffer tris pH=8.0, NaOH 6 M, dan aquades steril.

PENGARUH pH TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN

OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa LOKAL

Ciccyliona D.Y dan Refdinal Nawfa

Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111

(2)

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat fermentasi, shaker incubator, laminar air flow(LAF), vorteks, spektrofotometer, neraca analitik, alat evaporator, alat ekstraksi, freeze dryer, alat sentrifuge, kertas pH universal, dan kertas saring.

2.2 Prosedur

2.2.1 Peremajaan Isolat Bakteri P. aeruginosa Lokal

Peremajaan isolat bakteri P. aeruginosa lokal dilakukan pada media padat agar miring. Media padat agar miring dibuat dengan melarutkan 0.28 gr Nutrient Agar ke dalam aquades 10 mL. Larutan agar kemudian diaduk terus, dipanaskan sampai mendidih, dan dimasukkan dalam tabung reaksi. Selanjutnya media agar diautoclave pada suhu 121 oC selama 15 menit dan diinkubasi selama 24 jam dengan posisi dimiringkan. Isolat bakteri P. aeruginosa lokal kemudian diinokulasikan pada media agar miring secara aseptis dan kembali diinkubasi selama 24 jam.

2.2.2 Penentuan Kurva Pertumbuhan Bakteri

Biakan bakteri dalam agar miring dilarutkan dengan 5 mL aquades steril dan diinokulasikan sebanyak 1 mL ke dalam masing-masing 50 mL media cair (masing-masing sudah ditambah dengan larutan buffer pH), lalu diinkubasi dalam shaker incubator pada kecepatan 125 rpm dan suhu 38 oC selama 12 jam untuk dijadikan sebagai starter.

Inokulum 50 mL dipindahkan ke dalam 450 mL media cair dengan masing-masing pH yang sama dan diinkubasi dalam shaker incubator selama 24 jam dengan kondisi yang sama lalu OD (Optical Density) diukur tiap 2 jam. Pertumbuhan P. aeruginosa lokal diamati menggunakan spktrofotometri pada panjang gelombang 610 nm dengan menggunakan media aquades steril sebagai blanko secara duplo. Nilai OD rata-rata yang didapatkan diplotkan terhadap waktu pengecekan bakteri sehingga dapat diketahui fase stasioner dari P. aeruginosa lokal.

Kandungan biosurfaktan yang dihasilkan ditentukan dengan penyamplingan setelah fase stasioner tercapai dan dilakukan pengendapan pada supernatan untuk mendapatkan kandungan biosurfaktannya (berat basahnya). Masing-masing media disentrifuge dengan kecepatan 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. Supernatan yang diperoleh kemudian diendapkan dengan menambahkan HCl 3 N hingga pH 2.0-3.0 dan disimpan selama 12 jam pada suhu 4 oC. Endapan diperoleh dengan cara disentrifuge dengan kecepatan 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. Selanjutnya endapan dilarutkan kembali dengan menambahkan 25 mL buffer natrium bikarbonat 50 mM (pH=8.6) dan diendapkan lagi dengan menambahkan HCl 3 N hingga pH 2.0-3.0. Selanjutnya endapan dipisahkan dengan cara disentrifuge dengan kecepatan 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. Endapan yang diperoleh kemudian ditimbang berat basahnya. Variabel pH yang menghasilkan endapan terbanyak selanjutnya akan digunakan sebagai media untuk produksi biosurfaktan yang lebih besar.

2.2.3 Produksi dan Pemisahan Biosurfaktan

Satu milliliter larutan yang mengandung biakan bakteri diinokulasi ke dalam tiga kali 50 mL media cair pH 8.0 sebagai stater awal dan diinkubasi selama 12 jam sambil digoyang dengan menggunakan shaker incubator 125 rpm pada suhu 38 oC. Starter ditambahkan ke dalam masing-masing tiga kali 450 mL media cair PPGAS dan digoyang dengan shaker incubator kecepatan 125 rpm pada suhu 38 oC selama 20 jam. Biomassa dipisahkan dengan cara disentrifuge 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC.

Biomassa dibuang dan supernatan diambil. Supernatan yang diperoleh kemudian diendapkan dengan menambahkan larutan HCl 3 N sampai pH 2.0-3.0 dan disimpan selama 12 jam pada suhu 4 oC. Selanjutnya disentrifuge pada 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC untuk memisahkan endapan yang terbentuk. Filtrat yang diperoleh dibuang dan residunya diambil. Larutan buffer natrium bikarbonat 50 mM (pH-8.6) ditambahkan sebanyak 25 mL ke dalam masing-masing residu, diaduk sampai terlarut, dan diendapkan kembali dengan HCl 3N sampai pH 2.0-3.0. Residu disentrifuge dengan 3300 rpm selama 30 menit. Filtrat dibuang dan residu dikumpulkan untuk ditimbang berat basahnya. Residu basah yang diperoleh dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu -87 oC dan ditimbang berat keringnya.

Residu kering (crude biosurfaktan) kemudian diekstrak dengan 45 mL kloroform:methanol (2:1 v/v) sebanyak 3 kali. Selanjutnya ditambahkan metanol sebanyak 25 mL ke dalam residu kering dan disaring. Filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan suhu ±75 oC. Endapan yang diperoleh dari hasil evaporasi dikumpulkan dan ditimbang beratnya.

2.2.4 Uji Aktivitas Emulsifikasi

Ekstrak kering diambil 0,02 gram dan dilarutkan dengan menambahkan 2 mL NaOH 6 M, 8 mL buffer Tris (pH 8,0), dan aquades 40 mL. Selanjutnya dipanaskan dan diaduk sampai larut. Uji aktivitas emulsifikasi dilakukan sesuai yang dilakukan oleh Fatimah(2007) dan Thavasi et al(2011), yaitu larutan biosurfaktan ini kemudian diambil 9 mL, ditambahkan dengan 1 mL hidrokarbon uji (oli, minyak tanah, dan n-heksana) dan divorteks selama 2 menit. Campuran ini diukur nilai OD pada 610 nm setelah disimpan 2 jam. Blanko yang digunakan adalah campuran aquades steril, NaOH 6 M dan buffer Tris(pH 8,0) yang ditambah dengan hidrokarbon uji. Nilai OD yang terukur menunjukkan ada atau tidaknya aktivitas emulsifikasi yang diukur sebagai hasil rataan dari 2 kali pengulangan.

III. HASILDANPEMBAHASAN 3.1 Peremajaan Isolat Bakteri Pseudomonas aeruginosa Lokal

Setiap bakteri yang akan diaplikasikan harus diremajakan terlebih dahulu dengan tujuan mendapatkan bakteri yang aktif. Hal ini dikarenakan sebelumnya bakteri tersebut disimpan pada keadaan inaktif dalam media padat di lemari pendingin. Oleh karena itu isolat bakteri P. aeruginosa lokal diremajakan pada media padat agar miring.

(3)

(a) (b)

Gambar 3.1. Isolat Bakteri, (a) sebelum diregenerasi, (b) sesudah diregenerasi

3.2 Penentuan Kurva Pertumbuhan

Biosurfaktan(ramnolipid) merupakan metabolit sekunder yang tidak disintesis sejak awal pertumbuhannya. Hasil penelitian Miguez dan Ingram (1986) menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan oleh P. aeruginosa diperoleh pada fase stasioner dari pertumbuhannya. Oleh karena itu, pada penelitian ini perlu diketahui waktu tercapainya fase stasioner untuk P. aeruginosa lokal yang digunakan untuk mengetahui kemampuannya dalam menghasilkan biosurfaktan. Pertumbuhan mikrob dapat diketahui dengan cara mengukur absorbansi kultur cair pada panjang gelombang 610 nm (melalui kurva pertumbuhan). Oleh karena itu biakan bakteri pada media agar miring ditumbuhkan pada media cair PPGAS.

Gambar 3.2. Kurva Pertumbuhan Bakteri P. aeruginosa Lokal pada pH 6,0, 6,5, 7,0, 7,5, dan 8,0

Gambar 3.2 merupakan kurva pertumbuhan bakteri pada variabel pH 6,0, 6,5, 7,0, 7,5, dan 8,0. Pada kelima kurva terlihat setelah waktu inkubasi 0-2 jam bakteri langsung masuk ke fase pertumbuhan dipercepat(eksponensial) karena bakteri sudah mengalami tahap pre kultur sebelumnya sehingga tidak bisa diketahui fase lag(adaptasi). Hal ini dikarenakan bakteri sudah mengalami adaptasi dulu dengan media yang digunakan sebelum pengukuran OD dilakukan. Namun terdapat sedikit perbedaan pada kurva pertumbuhan pH 8,0 jika dibandingkan

dengan kurva pertumbuhan pada pH 6,0, 6,5, 7,0, dan 7,5. Kurva pertumbuhan pada pH 8,0 mempunyai kenaikan kurva yang cukup tajam pada fase eksopnensialnya. Hal ini terjadi karena bakteri pada pH 8,0 sudah sangat bisa beradaptasi dengan lingkungannya sehingga tidak membutuhkan waktu untuk adaptasi lagi. Hal ini juga menunjukkan bahwa bakteri pada pH media 8.0 dapat tumbuh dan berkembang biak lebih baik jika dibandingkan pada pH 6,0, 6,5, 7,0, dan 7,5. Pada selang waktu 0-2 jam tersebut bakteri pada pH 8,0 sudah mulai mensintesis enzim-enzim yang diperlukan untuk memanfaatkan substrat yang tersedia.

Bakteri pada semua variabel pH kemudian masuk ke dalam fase pertumbuhan diperlambat setelah waktu inkubasi 2 jam. Namun terdapat perbedaan pada berakhirnya fase pertumbuhan diperlambat. Pada pH 6,0 fase pertumbuhan berakhir pada jam ke-20, pada pH 6,5 dan 7,0 berakhir pada jam ke-14, sedangkan pada pada pH 7,5 dan 8,0 berakhir pada jam ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa fase awal stasioner lebih cepat tercapai pada pH dengan urutan pH 8,0, 7,5, 7,0, 6,5, dan 6,0.

Setelah melewati fase pertumbuhan diperlambat, masing-masing bakteri pada semua varibel pH memasuki fase stasioner. Pada fase ini kecepatan pembelahan sel dan kematian sel adalah konstan. Menurut Nitschke et al (2010), sintesis metabolit sekunder seperti ramnolipid terjadi setelah sel memasuki fase stasioner. Oleh karena itu dilakukan pengujian kandungan biosurfaktannya pada jam ke-12. Fase stasioner pada semua variabel pH berakhir pada jam ke-22 dan dilanjutkan dengan fase kematian.

Untuk mengetahui biosurfaktan yang dihasilkan maka terhadap media cair hasil fermentasi pada fase stasioner dilakukan pemisahan biosurfaktan yang dihasilkan sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Cameotra dan Singh (2008). Media cair disentrifuge untuk mendapatkan supernatan yang mengandung biosurfaktan. Supernatan yang diperoleh diasamkan dengan HCl 3 N hingga pH 2.0-3.0. Pengasaman ini bertujuan untuk mengubah kelarutan biosurfaktan sehingga lebih mudah mengendap dan dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor lainnya. Setelah HCl ditambahkan dilakukan penyimpanan selama 12 jam pada suhu 4 oC untuk mengoptimalkan pengendapan biosurfaktan. Pengasaman dan penyimpanan semalam pada suhu 4 oC menghasilkan endapan berwarna putih dalam supernatan. Untuk memisahkan endapan dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. Filtrat dibuang dan endapan(residunya) diambil. Residu yang diperoleh dilarutkan kembali dengan 25 mL buffer natrium bikarbonat (pH 8.6) dan diasamkan lagi dengan HCl 3 N hingga pH 2.0-3.0 untuk mendapatkan endapan. Endapan dipisahkan dengan disentrifuge lagi pada 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. dan ditimbang berat basahnya. Hasilnya ditunjukkan pada tabel 3.1 di bawah ini.

(4)

Tabel 3.1. Hasil Endapan yang diperoleh dari Supernatan pada Fase Stasioner

No. pH media cair Berat basah (gr)

1. 6.0 0.1037

2. 6.5 0.0939

3. 7.0 0.1113

4. 7.5 0.1107

5. 8.0 0.1165

Dari tabel 3.1 terlihat endapan yang dihasilkan tidak stabil. Hal ini dimungkinkan kandungan pelarut(air) pada endapan yang dihasilkan berbeda-beda. Hasil terbanyak terdapat pada media dengan pH 8,0 yaitu sebesar 0,1165 g. Oleh karena itu, untuk memproduksi biosurfaktan dalam jumlah yang lebih banyak dilakukan produksi pada media cair pH 8,0.

3.3 Produksi dan Pemisahan Biosurfaktan

Produksi biomassa dilakukan dalam dua tahapan media cair, yaitu media cair 50 mL dan 450 mL. Satu mililiter larutan yang berisi biakan bakteri dari agar miring diinokulasikan masing-masing ke dalam 3 kali media cair 50 mL sebagai starter awal, diinkubasi dan digoyang dalam shaker incubator selama 12 jam dengan kecepatan 125 rpm pada suhu 38 oC. Biakan 50 mL tersebut menjadi keruh kemudian diinokulasikan ke dalam 450 mL media cair kemudian diinkubasi dan digoyang kembali selama 20 jam (sampai berakirnya fase stasioner) dengan kecepatan 125 rpm pada suhu 38 oC. Shaker ini akan mendistribusikan oksigen secara merata di dalam media biakan.

Untuk mendapatkan biosurfaktan dilakukan pemisahan biomassa dari media biakannya sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Cameotra dan Singh (2008). Media biakan disentrifuge selama 30 menit pada kecepatan 3300 rpm dan didekantasi sehingga diperoleh biomassa (sel basah) berupa endapan berwarna putih dan supernatan. Sel basah dibuang dan supernatan dipindahkan ke dalam erlenmeyer 500 mL dan diasamkan dengan HCl 3 N hingga pH 2.0-3.0. Pengasaman ini bertujuan untuk mengubah kelarutan biosurfaktan sehingga lebih mudah dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor lainnya. Perlakuan pengasaman ini penting dilakukan sebelum dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan biosurfaktan(ramnolipid) yang terkandung dalam supernatan. Hal ini dikarenakan pengasaman tersebut mampu meningkatkan rendemen biosurfaktan yang terekstrak karena kondisi asam mengakibatkan senyawa tersebut berada dalam bentuk terprotonasi yang kurang larut dalam air. Supernatan kemudian disimpan selama 12 jam pada suhu 4 oC. Fungsi dari perlakuan ini adalah untuk mengoptimalkan pengendapan biosurfaktan. Pengasaman dan inkubasi semalam pada suhu 4 o

C menghasilkan endapan berwarna putih dalam supernatan. Supernatan dipisahkan kembali dengan cara disentrifuge pada kecepatan 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. Filtrat dibuang dan endapan(residunya) diambil. Residu yang diperoleh dilarutkan kembali dengan 25 mL buffer natrium bikarbonat 50 mM(pH 8.6) dan diasamkan lagi dengan HCl 3 N hingga pH 2.0-3.0 untuk pengendapannya. Endapan

dipisahkan lagi dengan disentrifuge pada 3300 rpm selama 30 menit pada suhu 27 oC. Filtrat yang diperoleh kemudian dibuang dan residunya diambil untuk dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat freeze dryer. Biosurfaktan kering yang telah didapatkan ditimbang massanya dan diperoleh sebesar 0.07 gr per 1500 mL (0,045 gram per liter).

Biosurfaktan kering selanjutnya dimurnikan dengan cara diekstrak menggunakan pelarut kloroform-metanol sebanyak 45 mL 2:1 v/v (3 kali 15 mL) sebagaimana juga yang dilakukan oleh Cameotra dan Singh (2008) untuk mendapatkan biosurfaktan yang murni. Berat total biosurfaktan yang diperoleh adalah 0,05 g untuk 1500 mL media cair atau 0,033 gr/L media cair. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wei dkk(2005) yang menggunakan bakteri P. aeruginosa J4 dan media LB(Luria Broth) yang terdiri dari pepton 1 % (b/v), yeast ekstract 0,5 % (b/v), dan NaCl 0,5 % (b/v) sebagai media cair dihasilkan biosurfaktan sebesar 773 mg/L. Jika dibandingkan, biosurfaktan yang dihasilkan dalam penelitian ini jauh lebih sedikit. Media PPGAS yang digunakan dalam penelitian ini mengandung sumber nutrisi dalam jumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan media LB. Media PPGAS hanya mengandung pepton, sedangkan media LB mengandung pepton dan yeast ekstract (mengandung asam amino dan vitamin B complex) sebagai sumber nutrisi. Hal ini mengakibatkan bakteri P. aeruginosa yang ditumbuhkan pada media LB dapat tumbuh lebih optimal dibandingkan jika ditumbuhkan pada media PPGAS, sehingga hal tersebut juga mengakibatkan lebih banyaknya produksi biosurfaktan yang dihasilkan jika menggunakan media LB.

Gambar 3.3. Endapan Biosurfaktan yang sudah Diekstrak 3.4 Uji Aktivitas Emulsifikasi

Untuk mengetahui endapan yang diperoleh merupakan biosurfaktan maka dilakukan uji aktivitas emulsifikasi. Uji dilakukan dengan biosurfaktan dilarutkan kembali dengan menambahkan buffer Tris(pH 8.0), NaOH 6 M, dan aquades steril. Uji aktivitas emulsifikasi dilakukan dengan menggunakan tiga macam hidrokarbon yaitu minyak tanah, n-heksana, dan oli. Tujuan penggunaan variabel hidrokarbon ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis hidrokarbon mana yang memberikan nilai aktivitas emulsifikasi yang lebih tinggi. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil uji aktivitas emulsifikasi pada biosurfaktan dengan konsentrasi 400 ppm:

(5)

Tabel 4.2. Hasil Uji Aktivitas Emulsifikasi pada Ekstrak Kering (pH 8.0)

No. Hidrokarbon Uji Absorbansi

1. Oli 1.330

2. Minyak Tanah 0.520

3. N-heksana 0.464

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa absorbansi terjadi untuk ketiga hidrokarbon uji yang menunjukkan terjadinya proses emulsifikasi dari ketiga hidrokarbon uji. Hal ini menunjukkan bahwa endapan yang diuji adalah biosurfaktan. Aktivitas emulsifikasi biosurfaktan terbesar adalah pada hidrokarbon uji oli yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi terbesar yaitu 1.330.

Di bawah ini adalah gambar uji aktifitas emulsifikasi biosurfaktan yang dilakukan terhadap 3 hidrokarbon uji.

(a) (b)

(c)

Gambar 3.3. Uji aktivitas emulsifikasi pada 3 hidrokarbon (a). n-heksana, kiri=blanko dan kanan=sampel, (b) minyak tanah,

kiri=blanko dan kanan=sampel, (c) oli, kiri=blanko dan kanan=sampel.

Berdasarkan gambar 3.3 dapat diketahui bahwa setelah divorteks dan didiamkan 2 jam, larutan blanko (tanpa biosurfaktan) ketika ditambah dengan hidrokarbon uji tidak terdapat emulsi dan agak bening. Ini ditunjukkan dengan adanya 2 lapisan yang memisah pada ketiga jenis larutan blanko (kontrol), di mana lapisan bawah yang berwarna agak bening merupakan pelarut air dan lapisan atas merupakan larutan hidrokarbon uji. Selain itu hidrokarbon yang diuji juga masih mengumpul (menyebar) di permukaan larutan blanko. Terdapat perbedaan yang signifikan antara larutan blanko (tanpa biosurfaktan) dan larutan sampel (dengan biosurfaktan) setelah divorteks dan didiamkan beberapa saat. Terdapat emulsi antara pelarut dan hidrokarbon uji pada ketiga jenis larutan uji dan larutan sampel menjadi lebih keruh jika dibandingkan dengan larutan blanko. Selain itu hidrokarbon yang berada di permukaan pelarut terdispersi(pecah) menjadi

bagian kecil-kecil dan tidak mengumpul seperti yang terdapat dalam larutan blanko. Teremulsinya larutan sampel ini dikarenakan adanya penambahan endapan yang diuji di mana yang mengindikasikan bahwa endapan tersebut adalah biosurfaktan yang telah dihasilkan oleh bakteri P. aeruginosa lokal.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan analisa, dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan hasil uji aktivitas emulsifikasi, diperoleh data pada semua variasi pH media dapat mempengaruhi produksi biosurfaktan dengan kondisi optimumnya tercapai pada media cair dengan pH 8,0 dan hasil pemisahan biosurfaktan yang dihasilkan pada pH optimum diperoleh sebesar 0,033 gr/L medium cair.

UCAPANTERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga TA yang berjudul “Pengaruh pH terhadap Produksi Biosurfaktan oleh Bakteri Pseudomonas aeruginosa Lokal” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tulisan ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan, dukungan dan dorongan dari semua pihak, untuk ini penulis sangat berterima kasih kepada:

1. Drs. Refdinal Nawfa, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan kolokium ini.

2. Drs. Muhammad Nadjib selaku dosen wali atas semua pengarahannya.

3. Mama, alm. Papa, kakak, dan nenekku yang senantiasa memberi curahan kasih sayang, dukungan, dan doa.

4. Berta Dina Ulinnuha yang telah memberikan nasehat, semangat, dan doa.

5. Sahabat-sahabatku (Eka, Idjo, Ucik, dan Farid) yang memberikan semangat, doa dan dukungannya.

6. Teman-teman seperjuangan di Lab Kimia Mikroorganisme (Ila, Noura, Laras, Vika, Meita, Ummu, Dimas Mbak Teta, dan Mbak Maria) yang telah memberikan pengarahan dan dukungan.

DAFTARPUSTAKA

[1] Boulding, J. R., “EPA Environmental Engineering Sourcebook”, Ann Arbor Press, (1996), Chelsea, Michigan.

[2] Cameotra, S.S., Singh, P., “Bioremediation of oil sludge using crude biosurfactants”, International Biodeterioration & Biodegradation, 62 (2008) pp. 274-280

[3] Desai, J.D., Banat, I.M., “Microbiology”, Molecular Biology, 61 (1997) pp. 47-64.

[4] Fatimah, “Uji Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas sp pada Substrat yang Berbeda”, Berk.Panel.Hayati, Jurusan Biologi FMIPA Unair, Surabaya, 12 (2007) pp. 181-185

(6)

[5] Ferrari, M.D., Neirotti, E., Albornoz, C., Mostazo, M.R., Cozzo, M., “Biotreatment of hydrocarbons from petroleum tank bottom sludge in soil slurries”, Biotechnology Letters, 18 (1996) pp. 1241-1246 [6] Francy, D.S., Thomas, J.M., Raymond, R.L., and Ward, C.H., "

Emulsification of hydrocarbons by surface bacteria”, J. Ind. Microbiol, 8 (1991) pp 234-246

[7] Herawan, T., A. R, Rakmi, P., Guritno, “Pembuatan Karbohidrat Ester Sebagai Biosurfactan Secara Enzimatis”, Warta PPKS, 6 (1996) pp. 85-91

[8] Kingston, P.F., “Long term environmental impact of oil spills”, Spill Science and Technology Bulletin, 7 (2002) pp. 53-61

[9] Ni’matuzahroh, Surtiningsih, T., Isnaeni., “Kemampuan Bakteri Hidrokarbonoklastik dari Lingkungan Tercemar Minyak dalam Memproduksi Biosurfaktan: Upaya Bioremidiasi Lingkungan”, Laporan Penelitian RUT VIII.3, (2003), Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya

[10] Olivera, N.L., Esteves, J.L., Commendatore, M.G., “Alkane biodegradation by a microbial community from contaminated sediments in Patagonia, Argentina”, International Biodeterioration & Biodegradation, 40 (1997) pp. 75-79

[11] Thavasi, R., Jayalakshmi, S., Banat, Ibrahim M., “Effect of biosurfactant and fertilizer on biodegradation of crude oil by marine isolates of Bacillus megaterium, Corynebacterium kutscheri and Pseudomonas aeruginosa”, Bioresource Technology, 102 (2011) pp. 772–778

[12] Wei et al, “Rhamnolipid production by indigenous Pseudomonas aeruginosa J4 originating from petrochemical wastewater”, Biochemical Engineering Journal , 27 (2005) pp. 146-154

Gambar

Gambar 3.1. Isolat Bakteri, (a) sebelum diregenerasi,             (b) sesudah diregenerasi
Tabel 3.1. Hasil Endapan yang diperoleh dari Supernatan  pada Fase Stasioner
Tabel 4.2. Hasil Uji Aktivitas Emulsifikasi pada Ekstrak  Kering (pH 8.0)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dari pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pengukuran untuk operator wanita menunjukkan bahwa 80% konsumsi energi

Merangkai rangkaian sesuai dengan gambar (III.13). dimana pada gambar ini rangkaian clipping.. Menghubungkan signal generator dan osiloskop chanel 1 pada input

Penggunaan jenis bahan wadah fermentasi sistem “termos” dari kayu dengan waktu fermentasi 1-2 hari dapat menghasilkan cairan pulpa hasil samping fermentasi biji

Hal tersebut perlu dilakukan mengingat banyak kendala dalam penerapan teknologi proses pengolahan kakao, di antaranya dari aspek kondisi bahan baku buah kakao,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pendekatan Jelajah Alam Sekitar (JAS) berbasis pelestarian Jalak Bali dalam penangkaran Friends of

Masih kurang akan kesadaran tentang sampah, masih banyaknya masyarakat yang membakar sampah, mencampur sampah yang organik dengan unorganik, selain itu dengan adanya

Berdasarkan Tabel 6 pada pengamatan berat basah vegetatif tanaman menunjukkan bahwa perlakuan B (pecahan batubata 100%) menunjukkan perlakuan terbaik dari media

Hasil dari analisis penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan, serta tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Julitawati (2012) dan