• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKAYASA PROSES PENGOLAHAN HASIL PERKEBUNAN KAKAO UNTUK PENINGKATAN MUTU, NILAI TAMBAH, DAN DAYA SAING PRODUK Oleh G.P.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKAYASA PROSES PENGOLAHAN HASIL PERKEBUNAN KAKAO UNTUK PENINGKATAN MUTU, NILAI TAMBAH, DAN DAYA SAING PRODUK Oleh G.P."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

DAN DAYA SAING PRODUK Oleh

G.P. GANDA PUTRA

Pendahuluan

I

stilah cokelat dikenal sebagai makanan/minuman yang terbuat dari biji kakao (Teobroma cacao Linn.). Kata Teobroma berasal dari bahasa Yunani yang berarti “makanan para dewa” (foods of gods). Cokelat dalam bahasa suku Aztec berasal dari kata xocolatl, yang berarti minuman pahit. Pada awalnya, cokelat dikonsumsi sebagai minuman yang dibuat berbuih, kadang-kadang ditaburi lada merah, vanilla, madu atau rempah-rempah lain, yang rasanya pahit, sepat dan berlemak. Orang-orang Indian Mexico menyebutnya yang berasal dari kata choco yang berarti busa (foam) dan atl yang berarti air. Cokelat mempunyai cita rasa yang khas, teksturnya berbentuk padat pada suhu kamar, cepat meleleh di mulut, menjadi cair dan terasa lembut di lidah.

Cokelat secara umum sangat bermanfaat untuk kesehatan, antara lain: membuat umur lebih panjang, mencegah penuaan dini, membuat perasaan gembira, dapat membangkitkan mood, dan dapat digunakan sebagai lulur untuk membuat kulit bercahaya dan awet muda. Hal demikian dapat dijelaskan, bahwa cokelat dengan bahan baku biji kakao lebih dari 70%, Besarnya kandungan antioksidan ini, bahkan 3 kali lebih banyak dari teh hijau, sehingga tidak berlebihan kalau cokelat menjadi salah satu minuman kesehatan. Fenol, sebagai antioksidan

(2)

mampu mengurangi kolesterol pada darah sehingga dapat mengurangi risiko terkena serangan jantung dan juga berguna untuk mencegah timbulnya kanker dalam tubuh, mencegah terjadinya stroke dan darah tinggi. Selain itu, kandungan lemak pada cokelat berkualitas tinggi karena terbukti bebas kolesterol dan tidak menyumbat pembuluh darah. Manfaat lain adalah untuk kecantikan, karena anti-oksidan dan katekin yang ada di dalamnya dapat mencegah penuaan dini, maka tidak heran bila saat ini berkembang lulur cokelat yang sangat baik untuk kecantikan kulit.

Dewasa ini, pengusahaan perkebunan kakao berkembang cukup pesat, baik untuk pengembangan luas areal tanaman maupun peningkatan produksi biji kakao kering. Pada tahun 2009 luas areal perkebunan kakao Indonesia telah mencapai 1.587.136 ha, dengan produksi mencapai 809.583 ton biji kakao kering (Anonim, 2010). Sementara itu, lebih dari 90% (741.981 ton) produk biji kakao kering diproduksi oleh petani (Perkebunan Rakyat), sisanya oleh Perkebunan Besar Negara dan Swasta (Anonim, 2010). Selanjutnya, BPS memprediksi Indonesia akan bisa menjadi produsen terbesar duinia pada tahun 2014. Pada tahun 2010 ini produsen kakao terbesar dunia ditempati Pantai Gading (1,3 juta ton), disusul Ghana (850.000 ton).

Bergabungnya Indonesia menjadi anggota ICCO (International Cocoa Organization), diharapkan dapat terus meningkatkan ekspor kakao di pasar Internasional dan ekspansi pasar. Pada tahun 2009, tercatat ekspor kakao mencapai volume 535.236 ton setara 1.413.155 ribu USD, sementara impornya 46.356 ton setara 119.321 ribu USD (BPS, 2011). Namun, kualitas biji kakao yang diekspor Indonesia dikenal sangat rendah (kelas 3 dan 4). Hal ini disebabkan oleh pengolahan produk kakao yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga

(3)

kualitasnya rendah. Kualitas rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar Internasional dikenai diskon atau potongan harga (automatic detention) 200 USD/ ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, para pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji kakao (nonolahan) (Suryani , 2007). Begitu pula industri produk-produk olahan kakao dalam negeri hanya sebagian kecil menggunakan biji kakao kering produk petani, hanya sebagai pencampur (banding) biji kakao kering produk perkebunan besar atau bahkan impor, karena aroma dan rasa khas kakao yang ditimbulkan sangat lemah. Rekayasa proses pengolahan kakao akan dapat mengatasi berbagai kendala dan masalah-masalah tersebut, sehingga biji kakao Indonesia diharapkan dapat bersaing dan tidak tertutup kemungkinan memperoleh harga premium di pasaran Internasional serta dapat diserap oleh industri produk-produk olahan kakao di dalam negeri. Pengolahan Kakao

Pengolahan kakao adalah suatu proses untuk memisahkan biji dari buah dan selaput berlendir (pulpa) yang membungkus dan melalui proses tertentu sehingga diperoleh biji kakao kering (primer) dengan karakteristik khas sesuai dengan standar mutunya (SNI 01-2323-2002). Selanjutnya, dilakukan tahapan proses, meliputi: penyangraian, alkalisasi nib, pengeringan nib, penggilingan nib, pengempaan, dan penggilingan bungkil; yang dapat menghasilkan produk antara (sekunder) berupa: pasta, lemak dan bubuk kakao. Secara garis besar, tahapan-tahapan proses pengolahan kakao disajikan pada Gambar 1.

1). Pengolahan Primer

Adalah proses pengolahan tahap awal, yaitu pemisahan kulit buah (gambar 1). Setiap buah kakao rata-rata berisi sekitar

(4)

30-40 biji yang masing-masing biji diselubungi oleh pulpa (Wood and Lass, 1985; Beckett, 1988). Buah yang telah dipetik kemudian dipecah untuk dipisahkan bijinya. Askindo (1990), memperkenalkan cara lain yaitu melakukan penyimpanan buah selama 9-15 hari sebelum biji dipecah. Hasil penelitian Said et al. (1990), menyarankan agar penyimpanan buah dilakukan selama 6 hari, sedangkan Yusianto dan Wahyudi (1991), menyarankan waktu penyimpanan buah optimum adalah 8 hari untuk meningkatkan mutu hasil biji kakao kering.

Gambar 1. Garis besar tahapan-tahapan proses pengolahan kakao Perlakuan penyimpanan buah tersebut akan mempengaruhi kondisi pulpa biji kakao sebelum difermentasi. Biji yang sudah dipisahkan selanjutnya difermentasi. Fermentasi dapat dilakukan dengan menumpuk biji kakao pada kotak kayu

(5)

(peti), keranjang bambu atau hanya sekadar dionggokkan di atas lantai dengan dialasi dan ditutupi daun pisang. Ukuran wadah fermentasi bervariasi antara 1.500–2.000 kg biji kakao segar. Lama fermentasi juga bervariasi antara 2-8 hari, tergantung dari jenis kakao dan kebiasaan setempat (Nasution dkk., 1980). Amin (2004a) menambahkan bahwa lama fermentasi adalah 5

hari, sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan di perkebunan Indonesia atau sama dengan hasil penelitian Sime-Cadbury. Menurut Wood and Lass (1985), lama fermentasi adalah 5 hari untuk varietas Forastero dan 2-3 hari untuk Criollo, tetapi menurut penelitian Schwan (1998) fermentasi dilakukan selama 7 hari dan biji diaduk setiap hari untuk meningkatkan aerasi.

Perendaman dan pencucian dilakukan setelah proses fermentasi, tetapi tidak semua pengolah melakukan tahapan proses ini dengan berbagai pertimbangan. Perendaman dan pencucian selain untuk membersihkan sisa-sisa pulp yang masih menempel juga dapat mencegah fermentasi lebih lanjut. Perendaman dalam air dapat dilakukan selama 2 jam, selanjutnya dilakukan pencucian secara manual pada air mengalir atau semi mekanis dengan mesin pencuci (Nasution dkk., 1980).

Kadar air biji hasil fermentasi berkisar 60%, sehingga untuk menurunkan kadar air hingga 6-7% diperlukan pengeringan. Pengeringan biji kakao lebih baik dilakukan dengan penjemuran, tetapi saat ini cenderung digantikan dengan pengering buatan karena lebih cepat. Di perkebunan besar biasanya digunakan kombinasi antara penjemuran dengan pengering buatan. Pengeringan dengan sistem mekanis sebaiknya dilakukan pada suhu antara 50-60oC, karena jika

dilakukan di atas suhu tersebut akan menyebabkan bau hangus (Hardiman dan Kartika, 1980). Guritno dan Hardjosuwito (1984) menambahkan bahwa suhu pengeringan dianjurkan

(6)

tidak lebih dari 55oC untuk mendapatkan hasil biji kakao kering

yang bermutu baik.

2). Pengolahan Sekunder

Penyangraian merupakan tahap penting karena pada mengendorkan kulit sehingga mudah dilepaskan. Penyangraian dilakuakn pada suhu 116-121oC selama 15-70 menit tergantung

bentuk mesin dan banyaknya biji yang disangrai. Selanjutnya, bubuk kakao dengan menggunakan larutan basa seperti K/Na-karbonat/bikarbonat/hidroksida atau Ca-hidroksida. Alkalisasi dilakukan pada suhu 80-85oC selama satu jam.

Nib yang telah dialkalisasi kemudian dikeringkan, lalu digiling sehingga diperoleh pasta/liquor kakao. Selanjutnya, dilakukan pengempaan untuk memperoleh lemak kakao, lalu digiling, dihaluskan dan diayak sehingga diperoleh bubuk kakao.

3). Pengolahan Tersier

Bahan yang digunakan untuk membuat cokelat bervariasi, di antaranya : pasta/liquor kakao, gula halus, susu, dan lemak kakao. Bahan tersebut dicampur dengan perbandingan tertentu, kemudian dilembutkan dengan mesin tipe roll sampai diperoleh ukuran partikel < 20 mμ.

Selanjutnya, dilakukan conching pada suhu 60-70oC

selama 24-96 jam. Pada conching ini adonan cokelat dihaluskan terus-menerus, biasanya menjelang akhirconching ditambahkan lesitin dan vanili. Selama conching air dan senyawa cita rasa yang tidak diinginkan menguap; partikel cokelat, gula dan susu akan terselimuti dengan baik oleh lemak kakao sehingga memberikan sensasi halus.

(7)

yang stabil terkait dengan bentuk kristal lemak kakao. Pada awal tempering adonan cokelat dipanaskan secara bertahap dari suhu 33oC menjadi 48oC selam 10-12 menit, kemudian

didinginkan sampai 33oC, diturunkan lagi sampai 26oC dan

dipanskan lagi sampai 33oC. Adonan ini siap dicetak untuk

memperoleh produk-produk cokelat. Rakayasa Proses Pengolahan

Rekayasa proses pengolahan hasil perkebunan kakao dimaksudkan untuk peningkatan mutu, nilai tambah, dan daya saing produk. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat banyak kendala dalam penerapan teknologi proses pengolahan kakao, di antaranya dari aspek kondisi bahan baku buah kakao, fermentasi, pengeringan, maupun pemanfaatan hasil samping serta aspek pengembangan proses pengolahan lanjutan (skunder dan tersier). Di bawah ini akan diuraikan beberapa rekayasa proses pengolahan kakao yang dapat dilakukan untuk memenuhi tujuan seperti di atas.

1). Pengurangan Pulpa Biji Kakao

Pulpa biji kakao merupakan senyawa penting dalam fermentasi kakao, mengandung : 82-87% air, 10-13% gula, 2-3% pentosan, 1-2% asam sitrat dan 8-10% garam-garam (Lopez, 1986). Pada buah masih muda, gula yang terbentuk masih sangat rendah sehingga akan berpengaruh pada kondisi pulpa untuk difermentasi (Haryadi dan Supriyanto, 1991).

Seperti dikemukakan oleh Figueira et al. (1993), ekstraksi sebagian pulpa tidak mempengaruhi fermentasi dan pengurangan pulpa sebelum fermentasi bahkan dapat meningkatkan kualitas biji kakao, terutama dalam hal penurunan keasaman biji. Pengurangan pulpa dapat dilakukan dengan cara pengepresan, pencucian, dan dengan menghamparkan

(8)

biji kakao yang telah dipisahkan dari kulit buah. Said et al. (1990) menyarankan dengan menggunakan tekanan 250-1000 Psi selama 5 menit yang dikombinasikan dengan hembusan udara, Almasyah dan Naibaho (1991) dengan pengempaan menggunakan beban 100 dan 200 kg (0,049 dan 0,098 kg/cm2),

dan Musta’ana et al. (2000) melakukan pengurangan pulpa hingga 30% dengan alat depulper yang dikombinasi dengan pemanasan awal sebelum fermentasi.

Lebih lanjut, Tomlins et al. (1993) mengemukakan, bahwa pengurangan pulpa juga dapat terjadi akibat penyimpanan buah sebelum dipecah. Pengurangan pulpa dengan cara ini juga menyebabkan perubahan konsentrasi gula pulpa. Askindo (1990) mengemukakan bahwa pengurangan pulpa dapat dilakukan dengan penyimpanan buah selama 9-15 hari sebelum biji dipecah. Said et al. (1990) dan Permana et al. (1997), menyarankan agar penyimpanan buah dilakukan selama 6 hari, sedangkan Yusianto dan Wahyudi (1991) mengatakan bahwa waktu penyimpanan buah optimum adalah 8 hari untuk meningkatkan mutu hasil biji kakao kering.

2). Fermentasi Biji Kakao

Fermentasi biji kakao bertujuan untuk menghancurkan pulpa (eskternal) dan mengusahakan kondisi untuk terjadinya reaksi-reaksi biokimia dalam keping biji (internal). Pulpa yang telah hancur akan mudah lepas dari biji sehingga biji kakao menjadi bersih dan cepat kering. Selanjutnya, reaksi-reaksi biokimia dalam keping biji dimaksudkan untuk pembentukan prekursor cita rasa dan warna coklat (Alamsyah, 1991). Reaksi tersebut baru akan terjadi setelah biji kakao mati. Banyak faktor yang mempengaruhi proses fermentasi tersebut, di antaranya: waktu fermentasi, pengadukan, dan aerasi, ukuran tumpukan biji dalam wadah fermentasi, penundaan pengolahan, kemasakan buah, dan varietas kakao (Haryadi dan Supriyanto,

(9)

1991). Upaya untuk mengkaji peranan faktor-faktor tersebut telah banyak dilakukan melalui beberapa penelitian, namun belum memberikan hasil yang optimal untuk pengembangan fermentasi alami memerlukan waktu relatif lama, sekitar 5-7 hari. Hal ini membuat petani yang memproduksi sebagian besar (lebih dari 90%) biji kakao, enggan untuk melakukan proses fermentasi.

Biasanya biji kakao langsung dijemur setelah dipisahkan dari kulit buah. Hal ini terjadi juga karena kebutuhan ekonomi yang mendesak dan tersedianya pasar yang sudah menunggu dan dapat menampung biji kakao kering tersebut. Kelemahan produk biji kakao kering petani selain cita rasa yang lemah karena tidak terbentuknya prekursor cita rasa, kadar kotoran, tingkat keasaman, dan kadar biji slaty yang relatif tinggi, juga sisa-sisa pulpa yang masih menempel sehingga menghambat proses pengeringan dan memudahkan terjadinya pertumbuhan jamur pada pengeringan yang kurang baik maupun pada waktu penyimpanan biji kakao.

Berkaitan dengan rekayasa proses fermentasi biji kakao, Putra et al. (1992); Putra, (1993); Ganda-Putra, (1997) telah melakukan kajian tentang pembentukan polifenol, theobromin mengalami perubahan selama fermentasi Untuk mengantisipasi kecilnya volume biji kakao yang difermentasi oleh para petani, Ganda-Putra et al. (1996) melakukan evaluasi proses fermentasi skala petani dalam wadah peti mini kapasistas 7,5 kg biji kakao segar. Hasil evaluasi menunjukkan, bahwa pola perubahan suhu dalam tumpukan biji, pH biji kakao menyerupai fermentasi skala perusahaan

(10)

besar serta nilai indeks fermentasi ≥ 1,00 tercapai setelah fermentasi 5 hari.

Dalam usaha mempersingkat waktu fermentasi, telah dilakukan beberapa kajian seperti pemberian ragi tape pada biji kakao sebelum fermentasi (Agung et al., 1996). Didapatkan bahwa pemberian ragi tape 1% dapat mempersingkat waktu fermentasi menjadi 3 hari dengan hasil biji kakao kering sesuai SNI. Selain itu, dilakukan penambahan asam asetat dalam biji kakao sebelum fermentasi (Ganda-Putra dan Wartini, 1997; Wartini dan Ganda-Putra, 1999). Dilaporkan juga bahwa penambahan asam asetat 1% dengan cara perendaman biji kakao selama 1 jam pada suhu 50oC atau 3 jam pada suhu 50oC

dapat mempersingkat waktu fermentasi menjadi maksimal 3 hari. Hal demikian terjadi karena asam asetat dapat membantu proses kematian biji, sebagai salah satu tujuan fermentasi biji kakao secara alami.

Atas dasar mekanisme proses perombakan (depolimerisasi pektin) pulpa selama fermentasi biji kakao, dilakukan pengkajian peran enzim-enzim perombak pectin (pektolitik endogenous) yaitu pectin metil esterase (PMEs) dan poligalakturonase (PGs) dalam proses depolimerisasi pulpa biji kakao (Ganda-Putra, 2006). Langkah yang dilakukan terlebih dahulu adalah ekstraksi dan karakterisasi parsial enzim-enzim PMEs dan PGs, meliputi: aktivitas, kinetika enzim, BM dan penentuan kondisi optimum aktivitasnya (Ganda-Putra et al., 2007; Ganda-Putra, 2008; Ganda-Putra, 2009a; Ganda-Putra, 2009b). Atas dasar kondisi optimum aktivitas enzim PMEs dan PGs, dilakukan pengkajian kondisi proses depolimerisasi pectin pulpa, dengan hasil bahwa kondisi depolimerisasi pectin pulpa optimum pada sekuen kondisi demetilasi oleh enzim PME (kombinsi suhu 48,5oC dan pH awal pulpa 8,0 selama 1 hari)

lalu kondisi depolimerisasi oleh enzim PG (kombinasi suhu 47,5oC dan pH awal pulpa 4,6) relatif lebih baik dibandingkan

(11)

dengan kondisi optimum depolimerisasi oleh enzim PG saja (Ganda-Putra et al., 2008; Ganda-Putra, 2009c). Bertitik tolak dari kondisi optimum depolimerisasi pectin pulpa oleh enzim-enzim pektolitik endogenous tersebut, selanjunya diaplikasikan sebagai basis kondisi fermentasi biji kakao. Ganda-Putra et al. (2010a) melaporkan bahwa biji kakao kering kualitas I dan II masing-masing dapat dihasilkan dengan waktu fermentasi 4 dan 2 hari pada proses fermentasi berbasis kondisi (suhu dan pH) optimum depolimerisasi pektin pulpa oleh enzim-enzim pektolitik (PGs dan PMEs) endogenous.

3). Pengeringan Biji Kakao

Pengeringan biji kakao juga dipandang sebagai proses fermentasi lanjutan (fermentasi internal). Saat pengeringan, proses-proses biokimia masih dapat dioptimalkan, seperti oksidasi polifenol oleh enzim polifenol oksidase dan pembentukan prekursor cita rasa serta warna coklat (Beckett, 1988). Lopez (1986) menambahkan bahwa pengeringan juga berperan dalam menurunkan kandungan beberapa senyawa kimia yang dapat menyebabkan rasa pahit dan kelat. Selama pengeringan terjadi difusi oksigen ke dalam keping biji dan difusi air keluar keping biji, jaringan-jaringan menyusut dan tutup keping biji membuka sehingga memudahkan masuknya oksigen. Hal ini mengakibatkan reaksi oksidatif, terutama oksidasi polifenol oleh enzim polifenol oksidase, yang sebelumnya telah berlangsung selama fermentasi dilanjutkan lagi pada kondisi yang lebih optimal. Destruksi antosianin dan pencoklatan keping biji merupakan aspek penting pada proses pengeringan.

Selama ini, pengeringan biji kakao lebih mengandalkan sinar matahari. Kelemahan mendasar pada pengeringan dengan sinar matahari adalah ketergantungan akan cuaca. Pada cuaca baik, pengeringan dapat dilakukan selama 8-10 jam/hari, tetapi

(12)

pada cuaca buruk tentunya waktu pengeringan lebih singkat bahkan sangat mungkin tidak dapat dilakukan pengeringan. Penundaan pengeringan, lebih-lebih pada kondisi biji kakao hasil fermentasi masih basah akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan jamur/kapang yang dapat menurunkan mutu biji kakao kering (Hardiman dan Kartika, 1980). Antisipasi hal tersebut dilakukan dengan kajian pemberian bahan pengawet anti jamur seperti: natrium propionat (Ganda-Putra et al., 2000) atau asam sorbat (Ganda-Putra dan Wartini, 2001) pada biji kakao hasil fermentasi sebelum pengeringan. Hasilnya diilaporkan bahwa pemberian natrium propionat 0,20% atau asam sorbat 0,15% dengan waktu pengeringan minimal 4 jam/hari telah mampu menghasilkan biji kakao kering yang memenuhi standar mutu.

4). Perbaikan Mutu Biji Kakao Kering Produk Petani Lebih dari 90% produk biji kakao kering diproduksi oleh petani (Perkebunan Rakyat), sisanya oleh Perkebunan Besar Negara dan Swasta (Anonim, 2010). Kelemahan mendasar biji kakao kering produk petani adalah kadar kotoran, tingkat keasaman, dan kadar biji slaty yang relatif tinggi, cita rasa khas kakao yang lemah karena tidak terbentuknya prekursor cita rasa serta warna coklat yang tidak merata. Hal demikian terjadi karena petani umumnya tidak melakukan fermentasi, melainkan biji kakao langsung dijemur setelah dipisahkan dari kulit buah. Banyak hal yang menyebabkan petani enggan melakukan fermentasi, di antaranya karena fermentasi memerlukan waktu relatif lama serta didorong oleh kebutuhan ekonomi yang mendesak dan juga tersedianya pasar untuk produk seperti itu. Ketelanjuran rendahnya mutu biji kakao produk petani perlu diupayakan cara perbaikannya.

Upaya perbaikan yang telah dicobakan adalah dengan melakukan proses perendaman kembali pada suhu dan waktu

(13)

tertentu terhadap karakteristik mutu biji kakao (Wartini et al., 1997) dan citarasa bubuk kakao (Ganda-Putra dan Wartini, 2000). Hasilnya dilaporkan bahwa proses perendaman kembali selama 3 jam pada suhu 40oC telah mampu menghasilkan biji

kakao kering dengan mutu terbaik, sedangkan skor penilaian terhadap citarasa (sepat, pahit dan kesukaan) bubuk kakao terbaik didapat pada perlakuan waktu perendaman 5 jam pada suhu 50oC.

Langkah khusus yang dilakukan untuk menanggulangi tingginya kadar biji slaty pada biji kakao kering produk petani, adalah melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang penyebabnya. Salah satu penyebabnya adalah aktivitas enzim polifenol oksidase (PPOs) yang tidak optimal akibat tidak dilakukan fermentasi. Permana (1992), menambahkan bahwa pada biji kakao kering produk petani masih menunjukkan aktivitas PPOs yang relatif tinggi, yaitu 122,98 unit/mg protein. Hal ini penting dilakukan karena pada pengolahan lebih lanjut akan berdampak pada hasil produk cokelat dengan rasa sepat dan pahit serta beraroma lemah. Kajian dilakukan dengan terlebih dahulu mengisolasi, karakterisasi dan penentuan kondisi (suhu, pH dan waktu) optimum aktivitas enzim PPO pada biji kakao kering produk petani (Ganda-Putra et al., 2010b). Dilaporkan bahwa aktivitas isolat enzim PPO biji kakao kering produk petani rata-rata 157,49 ± 58,03 U/gram (bk) biji kakao; kinetika enzim PPO menunjukkan bahwa Vmaks sebesar 595,24 U/gram (bk) biji kakao dan Km sebesar

0,20 M; hasil SDS-PAGE isolat PPOs terdapat pita-pita protein yang mempunyai BM 11,75; 17,80; 27,80; 36,03 dan 131,52 kDa; dan kondisi optimum pada suhu 53,43oC; pH 5,42 dan

waktu inkubasi 80,91 menit. Selanjutnya, berdasarkan kondisi optimum tersebut dilakukan kajian pengaruh refermentasi dengan proses perendaman terhadap karakteristik mutu dan pembentukan komponen precursor citarasa biji kakao

(14)

(Ganda-Putra et al., 2010c). Hasilnya menunjukkan bahwa proses refermentasi berbasis kondisi optimum aktivitas PPOs, dengan perendaman biji kakao kering produk petani pada suhu 54o

-64oC ; pH 5,4-6,4 selama 90 menit dapat direkomendasikan

untuk meningkatkan mutu biji kakao kering produk petani dan membantu pembentukan komponen prekursor citarasa khas kakao.

5). Pengembangan Proses Produksi Pangan Berbasis Produk biji kakao kering Indonesia sebanyak 38% diolah di dalam negeri menjadi produk-produk cokelat. Sementara itu, sentra-sentra produsen kakao tersebar luas di seantero wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan proses dilakukan untuk meningkatkan mutu dan daya saing produk. Dalam hal ini, telah dilakukan kajian pengembangan proses et al., 2010) dan langsung diterapkan pada Industri Pengolahan Kakao di Koperasi Wanita Srikandi Jimbarwana (Pusat Pengolahan Kakao Rakyat), yang berlokasi di Melaya, Kabupaten Jembrana-Bali. Unit industri tersebut telah berproduksi secara komersial dengan merk dagang Jimbarwana Chocolate. Namun, masih perlu pengembangan dan penyempurnaan baik dalam teknologi proses produksi dan formulasi maupun pendampingan kewirausahaan. Hasil kajian tersebut telah dilakukan di antaranya pengembangan desain dan konstruksi mutu bersaing, perbaikan dan penambahan peralatan proses tempering, redesain alat pencetakan, kondisi optimum dari proses conching, tempering dan pencetakan, redesain kemasan produk, perbaikan ruang produksi dalam rangka GMP (Good Manufacturing Practices) dan HACCP, perluasan akses pasar

(15)

dengan cara pendaftaran produk pangan ke BPOM (ijin MD). Selanjutnya, diharapkan nilai tambah pangan olahan cokelat dapat memberikan lapangan kerja baru, harga biji kakao kering di tingkat petani menjadi lebih stabil, serta harga produk pangan berbasis cokelat lebih bersaing terhadap produk impor dengan mutu yang sama.

6). Pemanfaatan Hasil Samping Pengolahan Kakao Selama ini, dari buah kakao hanya keping biji yang dimanfaatkan, sedangkan bagian lain sebagai hasil samping pada pengolahan kakao belum dimanfaatkan secara optimal. Hasil samping pada pengolahan kakao terdiri atasi kulit buah kakao, kulit biji kakao, dan plasenta serta limbah cairan pulpa yang dihasilkan selama fermentasi. Kulit buah kakao merupakan hasil samping yang proporsinya paling besar, yaitu produksi satu biji ton kakao kering menghasilkan sekitar 10 ton kulit buah kakao segar (Figueira et al. 1993 dalam Anonim, 2001). Secara anatomi buah kakao terdiri atas : kulit buah kakao (cocoa pod) 73,73%, placenta 2,00%, dan biji 24,27%.

Kulit buah kakao segar mengandung bahan kadar air yang tinggi sehingga mudah busuk. Penggunaan kulit buah kakao sebagai mulsa yang disebar disekeliling tanaman dapat menjadi tempat tumbuh cendawan Phytopthora palmivora yang menyebabkan black pad diseases. Kenyataan ini menimbulkan masalah dalam penanganan hasil samping pengolahan buah kakao karena secara tidak langsung dapat menurunkan produksi biji kakao. Salah satu alternatif yang mungkin adalah pemanfaatan kulit buah kakao sebagai bahan pakan. Kulit buah kakao memiliki kandungan protein dan Total Degistible Nutrient (TDN) yang hampir setara dengan rumput gajah sehingga lebih cocok untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia. Kulit buah kakao merupakan kulit bagian

(16)

luar yang menyelubungi biji kakao dengan tekstur yang kasar, tebal dan keras. Kandungan lignin yang tinggi dan tekstur yang keras dapat menurunkan konsumsi, kecernaan pakan dan penampilan ternak. Pengunaan kulit buah kakao sebagai bahan pakan memerlukan pengolahan dan pengayaan nutrisi. Nilai manfaat kulit buah kakao sebagai bahan pakan dapat ditingkatkan dengan memutus atau mengurangi keeratan ikatan antara selulosa dan hemiselulosa dengan lignin. Perlakuan secara biologis menggunakan Tricohederma viride, Phanerochaete chrysosporium dan Pleurotus ostreatus dapat dilakukan (Anonim,2001).

Dalam kulit buah kakao terkandung pectin sebanyak 5.30-7.08% (Anonim, 2008) sehingga potensial digunakan sebagai bahan baku pectin. Seperti diketahui penggunaan pectin dalam produk-produk pangan sangat penting dan banyak dibutuhkan. Ganda-Putra et al. (1999) juga telah memanfaatkanya sebagai bahan baku arang aktif. Upaya tersebut selain untuk meningkatkan nilai ekonomis kulit buah arang aktif, selain penggunaan tempurung kelapa dan kelapa sawit maupun limbah pengolahan kayu yang sudah dilakukan secara komersial. Dilaporkan bahwa rendemen arang aktif yang dihasilkan dari kulit buah kakao dengan proses destilasi kering pada suhu 500oC adalah sebesar 32,00%.

Hasil samping lain berupa kulit biji, selama ini hanya dibuang dan dihamparkan begitu saja disekitar areal produksi. Padahal kulit biji yang terdapat sekitar 12% dari berat biji kakao kering atau 120 kg dari setiap ton biji kakao kering yang dihasilkan produsen kakao, mengandung theobromin sebanyak 1,80-2,10%. Theobromin, sebagaimana halnya kafein pada kopi merupakan senyawa alkaloid yang banyak digunakan di dunia kesehatan. Ke depan perlu dilakukan kajian mengenai ekstraksi theobromin dari sumber kulit biji kakao. Hal demikian tentunya

(17)

sangat penting dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk kakao dan juga memperbanyak sumber bahan baku theobromin.

Cairan pulpa atau dikenal dengan watery sweatings, sebagai limbah hasil samping selama fermentasi biji kakao, di antaranya mengandung asam asetat atau asam cuka, asam laktat dan alkohol. Asam-asam organik tersebut terbentuk dari fermentasi gula yang terkandung dalam pulpa biji kakao. Pulpa biji kakao adalah selaput berlendir berwarna putih yang membungkus biji kakao, terdapat sekitar 25-30% dari berat biji, di antaranya mengandung gula dengan kadar yang relatif tinggi sekitar 10-13% (Lopez, 1986). Selama fermentasi dapat dihasilkan 15-20% limbah cairan pulpa dari berat biji kakao yang difermentasi (Ganda-Putra et al., 2008).

Potensi cairan pulpa yang cukup besar tersebut selama ini hanya dibuang di sekitar tempat pengolahan, selain akan mengotori juga dapat berdampak buruk atau mencemari lingkungan di sekitarnya. Limbah yang mengandung asam asetat dalam konsentrasi pekat sangat membahayakan lingkungan, apabila limbahnya dibuang langsung tanpa proses pengelolahan terlebih dahulu. Limbah asam asetat memiliki tingkat keasaman yang sangat tinggi dan juga bersifat korosif. Limbah tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan terutama badan air yang tercemari menyebabkan akar-akar tanaman akan membusuk dan ikan-ikan akan mati serta daun tanaman akan menggulung yang menyebabkan terhambatnya proses fonto sintesis (Abied, 2010).

Asam asetat sebagai salah satu senyawa yang terkandung dalam cairan pulpa sepertinya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Untuk itu, terhadap limbah cairan pulpa tersebut dapat dilakukan pemisahan, esktraksi dan pemurnian kandungan asam asetatnya. Hasil proses-proses tersebut kemudian dibuat menjadi produk cuka fermentasi, juga dikenal sebagai cuka

(18)

dapur atas dasar kandungan asam asetat minimalnya. Sejauh ini memang belum banyak diungkap tentang pemanfaatan asam asetat dari sumber limbah cairan pulpa hasil samping fermentasi biji kakao, sehingga ke depan kajian akan hal tersebut sangat relevan untuk dilakukan.

Apabila hasil samping limbah cairan pulpa potensial sebagai sumber bahan baku asam asetat, tentunya akan dapat meningkatkan nilai tambah hasil perkebunan kakao dan memberi kontribusi dalam penyediaan bahan baku asam asetat. Mengingat dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton, dari 1.5 juta ton diperoleh melalui hasil daur ulang, sisanya dari industri petrokimia dan dari sumber hayati. Asam asetat di antaranya dapat digunakan sebagai pereaksi kimia, bahan baku industri dan sebagai pemberi rasa asam dan aroma makanan (Anonim., 2011).

Penutup

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa rekayasa proses pengolahan hasil perkebunan kakao perlu terus dilakukan, dikembangkan, dan disempurnakan. Hal demikian penting dilakukan mengingat sejauh ini mutu biji kakao kering serta produk-produk olahan baik produk antara maupun produk akhir tergolong masih rendah. Peningkatan mutu menjadi syarat mutlak untuk menjadikan produk kakao memiliki daya saing yang lebih baik dalam kompetisi pemasaran yang ketat, khususnya di pasar Internasional. Melalui perekayasaan proses juga akan dapat meningkatkan nilai tambah produk kakao dengan pemanfaatan hasil samping yang selama ini terbuang, menjadi produk-produk yang benilai ekonomis.

Perekayasaan proses pengolahan kakao untuk tujuan meningkatkan mutu, nilai tambah dan daya saing produk

(19)

tentunya sejalan dengan salah satu misi Perguruan Tinggi sebagai wahana pengembangan ipteks untuk membantu memecahkan permasalahan di masyarakat, khususnya masyarakat perkakaoan Indonesia. Implikasi lanjutannya adalah out come suatu pengembangan ipteks haruslah bermanfaat dalam upaya turut serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Upaya lain (last but not least) untuk lebih mengenalkan dan mempromosikan produk-produk cokelat sebagai produk hilir kakao, salah satunya dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan melalui pengintroduksian dan penyebarluasan istilah “cocoa break” dan “cocoa morning” pada berbagai event, untuk menyejajarkan dengan istilah coffee break dan

coffee morning yang telah lebih dahulu populer.

Daftar Pustaka

Abied. 2010. Penanganan Limbah Asam Asetat. http://www. w3.org/ TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd. Diakses tanggal 11 April 2011

Agung, I.G.N., W. Sudjatha, I.G.P. Jamasuta dan G.P. Ganda-Putra. 1996.” Memperpendek Masa Fermentasi Biji Kakao dengan Pemberian Ragi Tape”. Laporan Penelitian. Universitas Udayana, Denpasar.

Alamsyah, T.S. 1991. Peranan fermentasi dalam pengolahan biji kakao kering. Suatu Tinjauan. Berita Perkebunan 1 (2) : 97-103

Almasyah, T.S. dan P. Naibaho. 1991. Pengaruh pengempaan sebelum fermentasi, pengadukan dan waktu fermentasi terhadap mutu biji kakao kering. Prosiding Konperensi Nasional Kakao III, Medan, Hal : 109-117

Amin, S. 2004a. “Penelitian Fermentasi Biji Kakao dan

Penerapannya. http://www. iptek.net.id/ind/terapan/ cocoa_idx.php?doc=a6. Diakses tanggal 13 Februari

(20)

2004.

Anonim. 2001.” Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Kambing”. Departemen Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Selatan.

Anonim. 2010. Statistik Perkebunan Indonesia. Ditjen Perkebunan Deptan RI, Jakarta.

Anonim. 2011. Asam Asetat. http://id.wikipedia.org/wiki/ Asam asetat. Diakses tanggal 11 April 2011

Beckett, S.T. 1988. Industrial Chocolate Manufacture and Use. The AVI Publisher., Glasgow.

BPS. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS), Jakarta

Ganda-Putra, G.P., Sutardi dan B. Kartika. 1992.” Pembentukan Flavor Bubuk Cokelat, Kajian Peranan Waktu Fermentasi Biji Kakao”. Agritech FTP-UGM 12 (3): 2-10

Ganda-Putra, G.P. 1993. “Kajian Kemungkinan Hubungan Keberadaan Perubahan Komponen Kimia Biji Kakao Selama Fermentasi dengan Cita Rasa Bubuk Kakao yang Dihasilkan”. Tesis S-2. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Ganda-Putra, G.P., N.M. Wartini, I.M.A.S. Wijaya dan L.P. Wrasiati. 1996. ”Evaluasi Suhu, pH dan Indeks Antosianin pada Fermentasi Kakao Skala Petani”. Gitayana FTP-Unud 2 (2): 12-16

Selama Fermentasi dan Hubungannya dengan Tingkat Kesukaan”. Gitayana FTP-Unud 3 (1): 37-42

Ganda-Putra, G.P. dan N.M. Wartini. 1997. “Usaha Perbaikan Mutu Biji Kakao Kering Hasil Produksi Petani dengan Proses Perendaman”. Gitayana FTP-Unud 3 (2) : 9-15 Ganda-Putra, G.P. et al. 1999. “Penambahan Asam Asetat

Sebelum Fermentasi sebagai Upaya Mempersingkat Waktu Fermentasi dengan Kualitas Hasil Biji Kakao

(21)

Kering Siap Ekspor”. Laporan Penelitian. Universitas Udayana, Denpasar.

Ganda-Putra, G.P. et al., 2000. “Pemberian Natrium Propionat untuk Mengantisipasi Kelemahan Pengeringan Sinar Matahari pada Pengolahan Kakao”. Laporan Penelitian. Universitas Udayana, Denpasar

Ganda-Putra, G.P. dan N.M. Wartini. 2000. “Pengaruh Waktu Perendaman Biji Kakao ering terhadap Citarasa Bubuk Kakao”. Gitayana FTP-Unud 6 (1): 12-16

Ganda-Putra, G.P. dan N.M. Wartini. 2001.” Pengaruh Pemberian Asam Sorbat pada Proses Pengeringan Biji Kakao untuk Mengantisipasi Intensitas Cahaya Matahari yang Kurang Optimal”. Agrotekno FTP-Unud 7 (1): 10-15

Ganda-Putra, G.P. 2006.” Isolasi, Karakterisasi dan Optimasi Enzim Pektolitik Endojinus pada Pulp Biji Kakao”. Prosiding Seminar Nasional FMIPA-Universitas Brawijaya pada tanggal 25 Februari 2006 di Malang.

Ganda-Putra, G.P., Harijono, T. Susanto, S. Kuamalaningsih dan Aulani’am. 2007. “Ekstraksi dan Karakterisasi Enzim Poligalak-turonase Endojinus pada Pulp Biji Kakao”. Jurnal Teknologi Pertanian FTP-UB 8 (1): 1-9

Ganda-Putra, G.P. 2008. “Penetuan Kondisi Optimum Aktivitas Enzim Poligalakturonase (PG) Endojinus Pulp Biji Kakao Menggunakan Metode Permukaan Respon”. Agrotekno FTP-Unud 14 (2): 48-50

Ganda-Putra, G.P., Harijono, T. Susanto, S.Kuamalaningsih dan Aulani’am. 2008.” Optimasi Kondisi Depolimerisasi pulp biji Kakao oleh enzim Poligalakturonase Endojinus”. Jurnal Teknik Industri FT-UMM 9 (1): 24-34 (Terakreditasi) Ganda-Putra, G.P. 2009a. ”Kinetika Enzim Pektin Metil Esterase

(PME) Oligalakturonase (PME) endogenous dari pulp biji Kakao”. Agrotekno FTP-Unud 15 (1): 5-7

(22)

Poligalakturonase (PG) endogenous dari pulp biji kakao”. JURNAL BIOLOGI Vol. XIII No.1: .21-24

Ganda-Putra, G.P. 2009c. “Penentuan Kondisi Optimum Depolimerisasi Pulp Biji Kakao Menggunakan Indeks Efektivitas”. Agrotekno FTP-Unud 15 (2): 43-49

Ganda-Putra, G.P., N.M. Wartini dan L.P. Wrasiati. 2010a. “Fermentasi Kakao Berbasis Kondisi Optimum Depolimerisasi Pektin Pulpa oleh Enzim-enzim Pektolitik Endogen”. Pelita Perkebunan Puslit KOKA Jember 26 (2): 122—132 (Terakreditasi)

Ganda-Putra, G.P., N.M. Wartini dan A.A.M.D. Anggreni. 2010b. “Karakterisasi Enzim Polifenol Oksidase Biji Kakao” (Theobroma Cacao Linn.). AGRITECH FTP-UGM 30 (3): 152-157 (Terakreditasi)

Ganda-Putra, G.P., A. Wirajaya and H.K. Purwadaria. 2010c. “Improvement of Dried Cocoa Bean Quality from Farmers by Re-fermentation Process”. Proceeding of The PATPI International Seminar in Jakarta on September 29-30, 2010

Guritno, P. dan B. Hardjosuwito. 1984. “Keasaman dan kadar lemak serta kadar asam amino; pengaruh suhu pengeringan terhadapnya”. Menara Perkebunan, 52 (5a) : 189-192

Hardiman dan B. Kartika. 1980. “Pedoman Pemungutan dan Pengolahan Hasil-hasil Perkebunan.” Kerjasama Dirjen Perkebunan dengan FTP UGM, Yogyakarta.

Haryadi dan M. Supriyanto. 1991. “Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan.” Pusat Antar Universitas. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Lopez, A.S. 1986. “Chemical change occurring during the processing of cacao”. Proceeding of The Cacao Biotechnology Symposium. Dept. Of Food Science College of Agricultutre, The Pennsylvania State University,

(23)

Pennsylvania, USA.

Musta’ana, U., Haryadi dan M. Supriyanto. 2000. “Pengaruh pengurangan pulp dan pemanasan awal sebelum organoleptik biji kakao kering”. Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nasution, Z., W. Ciptadi dan B.S. Laksmi. 1980. “Pengolahan Coklat”. Jurusan Teknologi Industri, Fateta – IPB, Bogor. Permana, I.D.G.M. 1992. “Penyebaran senyawa polifenol dan

aktivitas fenolase dalam biji kakao hasil pengolahan petani untuk mengatasi penyebab slaty”. Tesis S-2, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Permana, I.D.G.M., W. Sudjatha dan Y. Martini. 1997. “Pengaruh lama penyimpanan buah dan lama fermentasi terhadap mutu biji kakao kering”. Gitayana - FTP Unud 3 (1) : 31-36

Purwadaria, H.K., D. Fardiaz, S. Mulato dan G.P. Ganda-Putra. 2010.” Pengembangan Proses Produksi Pangan Berbasis Daya Saing Produk”. Laporan Hibah Penelitian Unggulan Strategis Nasional – Dikti. IPB, Bogor.

Said, M.B., M.P.G.S. Jayawardena, R.J. Samarakhody and W.T. Parera. 1990. “Preconditioning of fresh cocoa beans prior to fermentation to improve quality : A commercial approach”. The Planter, 66 : 332-345.

Schwan, R.F. 1998.” Cocoa fermentations conducted with a Appl. Environ Microbiol., 64 (4) : 1477-1483

SNI 01-2323-2002. Standar Nasional Indonesia Biji Kakao. Dewan Standardisasi Nasional-DSN, Jakarta

Suryani, D.Z. 2007. “Komoditas Kakao : Potret dan Peluang Pembiayaan”. Economic Review : 210

(24)

Tomlins, K.I., D.M. Baker, P. Daplyn and D. Adomako. 1993. “Eff ect of fermentation and drying practices on the chemical and Food Chem., 46 (3) : 257-263

Wartini, N.M. dan G.P. Ganda-Putra. 1999. “Evaluasi suhu dan waktu perendaman dalam asam asetat sebelum fermentasi dalam mempersingkat waktu fermentasi dengan kualitas hasil biji kakao kering siap ekspor”. Gitayana FTP-Unud 5 (1): 1-9

Wood, G.A.R. and R.A. Lass. 1985. Cocoa. 4th Edition. Longman

Yusianto dan T. Wahyudi. 1991. “Peningkatan mutu biji kakao lindak dengan beberapa metode pengolahan”. Prosiding Konperensi Nasional Kakao III, Medan: 87 - 99.

Gambar

Gambar 1. Garis besar tahapan-tahapan proses pengolahan kakao

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one

Pengembangan model modal sosial dalam rangka peningkatan ketahanan pangan dan kesehatan Rumah Tangga Miskin dalam penelitian ini menggunakan four-d model

Masa kerja dengan sindom terowongan karpal memiliki hubungan yang sedang dikarenakan pada penelitian ini tidak meneliti faktor lingkungan yaitu tekanan dan waktu

Pengukuran sortimen hasil pembagian batang di lapangan dilakukan sesuai dengan kebijakan pembagian batang dari KHJL.. yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran

Dalam edisi “SASI” kali ini beberapa permasalahan hukum yang menjadi sorotan adalah Peraturan Mahkamah Agung Dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Menurut Jenis Peraturan

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Ruswinarno dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil

Kegiatan dalam tahap perencanaan ini merancang dan merencanakan pembelajaran IPA kelas 4 dengan menyusun RPP materi Wujud benda dan sifatnya dengan menggunakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian menjelaskan bagaimana penelitian ini dijalankan yang meliputi hasil analisa dan rincian langkah yang digunakan dalam