• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN

BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN

KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

AHSAN MAULANA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN

BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN

KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

AHSAN MAULANA

E24104071

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Kebutuhan kayu bulat untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan cenderung semakin meningkat seiring dengan laju permintaan konsumen akan produk-produk hasil hutan, Oleh karena itu dibutuhkan pasokan kayu yang dihasilkan dari sumber lain, salah satunya adalah pasokan kayu yang berasal dari hutan kemasyarakatan. Kualitas kayu yang dihasilkan pada hutan berbasis kemasyarakatan khususnya pengelolaan hutan yang dikelola secara lestari selama ini belum teruji sesuai standar kualitas yang ada. Oleh karena itu untuk menjamin kualitas kayu yang dihasilkan dari pengusahaan hutan kemasyarakatan maka dibutuhkan suatu pengujian kualitas kayu supaya kayu yang dihasilkan dapat diterima oleh industri kehutanan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kualitas kayu dan mengidentifikasi jenis cacat kayu jati yang dihasilkan dari pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan,

Penelitian pengujian kualitas kayu bundar jati menggunakan pedoman pengujian kualitas kayu bundar jati yang sesuai dengan acuan normatif Standar Nasional Indonesia (SNI). Pengujian kualitas dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui uji simulasi batang dan pengujian pembagian batang dilapangan. Uji simulasi ini dilakukan untuk menilai kemungkinan penerapan kebijakan pembagian batang yang optimal berdasarkan kelas sortimen dan mutu kayu.

Hasil menunjukkan bahwa, jenis cacat bentuk kayu jati yang dapat diidentifikasi adalah kesilindrisan, kebundaran, kelengkungan, dan alur. Cacat badan yang berhasil diidentifikasi adalah pecah belah, pecah banting, Pecah sempler/lepas, lubang gerek, bucak-buncak, lengar dan cacat mata kayu. Untuk cacat bontos, cacat yang ditemukan antara lain adalah gerowong/teras rapuh, pecah hati, pecah gelang, gabeng, pakah dan kunus.

Hasil simulasi pembagian batang menghasilkan kelas kualitas terbesar adalah kelas mutu P (32,59%), kelas mutu terbesar kedua adalah mutu D (20,99%). Mutu T dan M masing-masing 17% dan 15,46%, serta mutu U sebesar 13,81%. Hasil

RINGKASAN SKRIPSI

AHSAN MAULANA ( E24104071). Pengujian Kualitas Kayu Bundar Jati (Tectona grandis Linn.F) Tersertifikasi pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Ahmad Budiaman,MSc

(4)

pembagian batang aktual menghasilkan kelas kualitas terbesar adalah mutu kayu D, dengan persentase sebesar 25%. Mutu kayu T sebesar 16%, mutu kayu M (21%), mutu kayu P dengan 23%, dan mutu kayu U dengan persentase sebesar 15%. Kualitas mutu kayu melalui pengujian simulasi sedikit lebih baik dibanding pada pembagian batang aktual, artinya diperlukan perencanaan pembagian batang yang lebih baik agar diperoleh kualitas kayu yang tinggi.

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengujian Kualitas Kayu Bundar Jati (Tectona grandis Linn.F) pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

Nama : Ahsan Maulana

NRP : E24104071

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, MSc. NIP : 131 878 495

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP : 131 578 788

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian Kualitas Kayu Bundar

Jati (Tectona grandis Linn.F) pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara adalah

benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr.Ir.Ahmad Budiaman, MSc yang telah memberikan bantuan, arahan, nasihat dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

2. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) dan Ir. Muhdin, MSc selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan.

3. Keluarga tercinta (bapak (alm), ibu, kakak-kakak) yang telah memberikan dorongan semangat, doa, pengorbanan serta kasih sayangnya baik moral maupun material kepada penulis.

4. Ketua dan staf Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL), Tropical Forest Trust (TFT) Sulawesi Tenggara, LSM Jaringan Untuk Hutan (JAUH) Sultra, serta keluarga bapak Husein atas bantuannya.

5. Rekan-rekan seperjuangan di laboratorium Analisis dan Keteknikan Pemanenan, Biokomposit, Rekayasa dan Desain Kayu, Ekonomi Industri, Kimia Hasil Hutan, Kayu Solid serta rekan-rekan KSH, MNH, dan Silvikultur yang telah memberikan bantuannya.

6. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang setimpal. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua. Amin

Bogor, Maret 2009 Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 31 Desember 1986 sebagai anak terakhir dari 7 bersaudara pasangan Bapak H. Saifullah (Alm.) dan Ibu Hj. Muflihah.

Penulis melanjutkan pendidikan formal di SMU Negeri 3 Bogor pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2004 melalui program Akselerasi atau program percepatan selama 2 tahun dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Kepala Biro Hubungan Luar, Departemen Informasi dan Komunikasi, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan (BEM-E) tahun 2006-2007, staf divisi Multimedia Departemen Informasi dan Komunikasi HIMASILTAN tahun 2006-2007, dan panitia KOMPAK THH Departemen Hasil Hutan tahun 2006. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di kawasan hutan Sancang dan Kamojang, dan KPH Cianjur unit III Jawa Barat dan Banten. Praktek Kerja Lapang (PKL) di Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) pada hutan kemasyarakatan Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pengujian Kualitas Kayu Bundar Jati (Tectona grandis Linn.F) pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Tersertifikasi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dibimbing oleh Dr. Ir. Ahmad Budiaman, MSc.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... .. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pengujian dan Kualitas... 3

2.2.Prinsip Pengujian ... 3

2.3.Cacat Kayu... 5

2.4.Sertifikasi Ekolabel ... 8

2.5.Jati ... 9

2.6.Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Rakyat ... 11

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 14

3.3. Batasan Masalah ... 14

3.4. Penentuan Unit Contoh... 14

3.5. Pengukuran Dimensi ... 15

3.6. Prinsip Pengujian ... 28

3.7. Kualitas Kayu Bundar Jati ... 29

3.8. Pelaksanaan Pengukuran ... 29

3.9. Pengolahan dan Analisis Data ... 30

IV. KONDISI UMUM 4.1. Letak dan Luas ... 32

4.2. Pengelolaan Hutan... 32

5.1. Sejarah Sertifikasi Ekolabel KHJL ... 33

4.3. Topografi dan Kelerengan ... 35

4.4. Tanah ... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Tegakan Sebelum Penebangan ... 36

5.2. Pembagian Batang Perseksi ... 37

5.3. Pembagian Sortimen di Lapangan ... 40

5.4. Kualitas Kayu Bundar Jati ... 42

5.5. Perbandingan Total pada Pengujian Simulasi dengan Pembagian Batang Aktual KHJL ... 45

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 47

6.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 51

(10)

DAFTAR TABEL

1. Luas areal kawasan hutan di Kabupaten Konawe Selatan ... 32

2. Sebaran diameter jati di areal penelitian ... 37

3. Distribusi batang utama berdasarkan kelas diameter ... 38

4. Distribusi cabang dan ranting berdasarkan diameter ... 38

5. Sebaran diameter pada pembagian batang aktual ... 41

6. Kualitas kayu pada uji simulasi pembagian batang ... 43

7. Kualitas kayu pada uji simulasi cabang dan ranting ... 44

8. Kualitas kayu bundar jati pada pembagian batang aktual ... 45

9. Perbandingan uji simulasi dengan pembagian batang aktual berdasarkan jumlah sortimen ... 45

10. Perbandingan uji simulasi dengan pembagian batang aktual berdasarkan kualitas kayu ... 46

Halaman No.

(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Sketsa pengukuran dimensi perseksi ... 15

2. Cara menghitung persentase (%) cacat kesilindrisan ... 17

3. Cara menghitung persentase (%) cacat kebundaran ... 18

4. Cara menghitung persentase (%) cacat kelurusan ... 19

5. Cara menghitung alur ... 19

6. Cara menghitung jumlah lubang gerek ... 20

7. Cara menghitung persentase (%) pecah belah ( Pe / Be ) ... 21

8. Cara menghitung diameter mata kayu ... 21

9. Cara menilai cacat benjolan ... 22

10. Cara menghitung jumlah dan luas Kt ... 23

11. Cara menghitung % Peb/Peg ... 23

12. Cara menghitung pecah bontos... 24

13. Penilaian cacat lengar... 24

14. Cara menghitung cacat pecah banting ( Prbt)... 25

15. Cara menghirung lebar pecah slemper ... 25

16. Cara mengukur kedalaman cacat gerowong (Gr) ... 26

17. Cara mengukur tebal gubal segar ... 27

18. Cacat pakah ... 27

19. Sertifikat ekolabel FSC ... 33

20. Contoh cacat gerowong dan alur pada batang kayu jati... 39

21. Persentase cacat kayu pada pohon yang ditebang ... 39

22. Persentase cacat pada simulasi cabang dan ranting ... 40

23. Persentase cacat pada pembagian batang aktual ... 42 Halaman No.

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel penetapan syarat mutu kayu bundar jati ... 51 2. Tabel cacat dan mutu kayu pada pengujian simulasi per seksi ... 55 3. Tabel cacat dan mutu kayu pada pembagian batang aktual ... 69

Halaman No.

(13)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanenan hasil hutan kayu merupakan kegiatan yang penting untuk mendukung keberhasilan pengelolaan dan pengusahaan hutan. Tujuan dari kegiatan pemanenan kayu salah satunya adalah untuk memaksimalkan nilai kayu dan mengoptimalkan suplai bahan baku industri.

Untuk meningkatkan pasokan kayu untuk bahan baku industri, maka diperlukan sumber bahan baku kayu lainnya selain dari HPH/HTI, salah satu sumber bahan baku yang dapat dioptimalkan adalah hutan berbasis masyarakat. Untuk menjamin kualitas kayu yang dihasilkan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diperlukan pengujian kualitas kayu agar mutu kayu yang dihasilkan dapat diterima oleh pasar.

Kualitas kayu jati yang dihasilkan dari hutan berbasis masyarakat ini belum teruji secara menyeluruh sesuai dengan acuan normatif standar kualitas yang ada. Pengujian kualitas kayu bulat jati di hutan berbasis masyarakat masih minim dilakukan, oleh karena itu pengujian kualitas kayu pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat perlu dilakukan. Hasil dari pengujian kualitas kayu ini digunakan sebagai dasar untuk membagi batang secara skematis untuk mendapatkan nilai kayu yang maksimal.

Kayu jati merupakan kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi, oleh karena itu dibutuhkan suatu kebijakan pembagian batang yang baik agar nilai ekonomis kayu jati dapat ditingkatkan.

Mengingat pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini telah mendapatkan sertifikasi ekolabel, maka seluruh bagian kayu mempunyai nilai pasar yang tinggi, sehingga sedapat mungkin semua bagian batang yang dihasilkan dapat menjadi bahan baku industri yang bernilai mutu tinggi.

1.2. Tujuan

(14)

1. Mengidentifikasi dan mengukur jenis dan cacat kayu jati pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

2. Menentukan kualitas kayu bulat Jati pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menyampaikan data dan informasi kondisi kayu jati secara menyeluruh bagi koperasi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kualitas kayu jati yang lebih baik dan bernilai tinggi.

(15)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pengujian dan Kualitas

Pengujian merupakan evaluasi dan kajian teknis produk rekayasa genetik yang meliputi teknik perekayasaan, efikasi dan persyaratan keamanan hayati di laboratorium, fasilitas uji terbatas dan/atau lapangan uji terbatas (Badan Standarisasi Nasional, 2001). Pengujian hasil hutan didefinisikan sebagai suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis, ukuran, isi (volume) dan mutu (kualitas) hasil hutan.

Pengujian kayu adalah suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis, isi (volume), dan mutu kayu (Badan Standarisasi Nasional, 2003). Pengukuran dan pengujian kayu menurut Badan Standarisasi Nasional (2001) diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan hasil hutan yang meliputi penetapan jenis, penetapan ukuran (volume/berat) dan penetapan kualitas hasil hutan.

Kualitas adalah faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang (hasil) tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa mereka dibutuhkan (Assauri, 1980). Kualitas menurut Badan Standarisasi Nasional (1994) diartikan sebagai kemampuan bahan/barang (hasil) untuk tujuan tertentu berdasarkan karakteristik yang dimilikinya.

2.2. Prinsip Pengujian Kayu

Pengujian kayu menurut Badan Standarisasi Nasional (2003) diartikan sebagai suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis, isi (volume), dan mutu kayu. Penetapan ukuran kayu bundar jati menurut SNI 01-5007.17-2001, tentang Pengukuran dan tabel isi kayu bundar Jati. Yaitu :

1. Satuan untuk diameter kayu adalah cm (centi meter) dengan kelipatan 3 (tiga) cm penuh untuk sortimen AI, AII serta kelipatan 1 cm penuh untuk sortimen AIII.

(16)

2. Satuan untuk panjang adalah meter (m) dengan kelipatan 10 cm penuh untuk panjang sampai dengan 10,00 meter dan 50 cm penuh untuk panjang lebih dari 10,00 meter

3. Satuan untuk isi kayu bundar adalah meter kubik (m3), dengan penulisan 3 (tiga) angka di belakang koma untuk sortimen AI dan AII serta 2 angka dibelakang koma untuk sortimen AIII.

Kualitas adalah faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang (hasil) tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa mereka dibutuhkan (Assauri, 1980).

Pada prinsip pengujian menurut Standar Nasional Indonesia, kayu bundar jati yang akan diuji harus :

1. Dapat dibolak-balik sehingga semua permukaan kayu dapat dilihat secara keseluruhan

2. Diuji pada siang hari (di tempat terang) sehingga dapat mengamati semua kelainan yang terdapat pada kayu

3. Pengambilan contoh dilakukan dengan mempertimbangkan keterwakilan populasi

Sebelum pengujian sebaiknya bebas dari kulit kayu (kliko) sehingga tanda yang akan dituliskan pada batang tidak hilang. Karena, tanda tersebut memiliki fungsi informatif, control, dan administratif.

1. Dilakukan pemeriksaan secara teliti terhadap pohon yang roboh tersebut, memeriksa kelurusan batang, cacat yang ada serta kepecahan, baik dari atas maupun dari samping batang.

2. Dilakukan penandaan pembagian batang (dengan tir) pada bagian-bagian yang akan dipotong, dengan tiga garis tir antara lain satu garis panjang untuk tempat potong, 2 garis kecil sebagai penanda yang berfungsi untuk kontrol.

3. Pembagian dilakukan dari pangkal, sedangkan pemotongan dilakukan dari ujung.

4. Disamping tanda pembagian, diberikan juga tanda pada batang-batang yang perlu dikepras (benjolan-benjolan dan cacat).

(17)

5. Semua batang harus dilakukan pembagian sampai pada cabang-cabang kecil (Ø 10 sentimeter panjang 1 meter) untuk kayu perkakas dan kemudian kayu bakar.

2.3. Cacat Kayu

Bearly (2001) membagi cacat kayu kedalam dua bagian, yakni pertama cacat yang ditimbulkan dari pengaruh lingkungan sepanjang pohon itu hidup antara lain penyimpangan bentuk pohon, serat terpilin, kayu reaksi (kayu tekan dan kayu tarik), pertumbuhan lingkar tahun yang abnormal, warna yang abnormal dan lain-lain. Kelompok cacat kedua adalah cacat yang disebabkan oleh pertumbuhan alami seperti mata kayu dan empelur.

Karlinasari (2006), menyatakan bahwa penyimpangan atau abnormalitas dari struktur normal dalam kayu tidak diperhatikan apabila kayu dianggap sebagai bagian dari organisme hidup dan sebagai subjek yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sepanjang hidupnya. Namun ketika kayu dilihat dari sudut pandang sebagai bahan baku maka abnormalitas dalam struktur kayu sangat diperhatikan karena dapat menurunkan nilai fungsinya. Abnormalitas tersebut biasa dikenal dengan sebutan cacat kayu.

Karlinasari (2006), menyatakan bahwa cacat kayu (defect) adalah penyimpangan atau kelainan pada kayu yang dapat mempengaruhi mutu kayu. Berdasarkan penyebabnya cacat kayu dapat dibagi menjadi :

1. Cacat alami (natural defects), karena lingkungan dan serangan makhluk biologis. Contohnya mata kayu (knots), kantung damar (pitch poket), saluran damar (resin streaks), cacat mineral, kayu reaksi, dan fungi. 2. Selain penyebab alami / akibat pengolahan. Contohnya adalah twist,

cupping, bowing, wane, compression failure, cross breaks, dan cross grain.

(18)

Berdasarkan kategorinya cacat terbagi atas :

1. Cacat bentuk yaitu penyimpangan atau kelainan dalam pada kayu terhadap bentuknya yang normal. Contohnya membusur (bowing), melengkung (crooking / spring), melintang (twisting) dan lain-lain.

2. Cacat badan yaitu penyimpangan atau kelainan yang terdapat pada keempat sisi kayu dan bukan merupakan cacat bentuk. Contonya adalah mata kayu (knots), retak (checks), pecah (shakes), dan lubang serangga

3. Cacat bontos yaitu penyimpangan atau kelainan yang terdapat pada bagian bontos kayu dan bukan merupakan cacat bentuk dan cacat badan. Contohnya adalah hati kayu.

Persyaratan cacat adalah cara persyaratan mutu berdasarkan kepada jenis , jumlah , dan atau besarnya cacat maksimal yang diperkenankan, dengan memperhatikan lokasi dan hubungannya dengan cacat-cacat lain.

Beberapa deinisi cacat yang sesuai acuan normatif Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5007.1-2003), antara lain :

1. Alur adalah suatu lekukan pada permukaan batang kayu

2. Buncak-buncak (Bc) adalah cacat kayu berupa benjolan atau bukan benjolan  3 titik pada badan kayu bundar tetapi tidak berupa mata kayu yang mempengaruhi permukaan.

3. Gabeng (Gg) merupakan keadaan kayu yang menyerupai rapuh yang dapat dilihat pada bontos kayu.

4. Gerowong (Gr) : lubang besar pada bontos kearah panjang kayu, baik tembus maupun tidak tembus tanpa atau dengan tanda-tanda pembusukan. 5. Gubal (Gu) adalah bagian dari kayu yang terdapat diantara kulit dan kayu

teras, pada umumnya berwarna lebih terang dari kayu terasnya serta kurang awet.

6. Kebundaran adalah bentuk kayu yang ditetapkan dengan cara membandingkan diameter terkecil dengan diameter terbesar pada setiap bontosnya dalam persen.

(19)

7. Kesilindrisan merupakan bentuk kayu yang ditetapkan dengan cara membandingkan selisih dp dan du dengan panjang kayu dalam persen. 8. Kunus adalah cacat pada bontos kayu berupa cabang akibat dari kesalahan

teknis menebang.

9. Lengar (Lr) adalah merupakan lekukan pada batang kayu yang umumnya disebabkan oleh kebakaran atau sebab lainnya

10. Mata kayu (Mk) adalah bekas cabang atau ranting pada permukaan kayu dengan penampang lintang berbentuk bulat atau lonjong.

11. Pakah : bontos kayu dipotong pada pertemuan antara 2 (dua) cabang ditandai dengan adanya 2 (dua) hati dan terpisahnya lingkaran tumbuh. 12. Pecah belah (Pe/be) adalah terpisahnya serat kayu melebar sehingga

merupakan celah dengan lebar 2 mm atau lebih dan menembus teras. 13. Pecah banting (Pebt) adalah pecah yang tidak beraturan terjadi pada

waktu penebangan.

14. Pecah busur (Pb) adalah pecah yang sejajar dengan busur bontos kayu atau searah dengan lingkaran tumbuh sehingga merupakan busur lingkaran ≤ setengah lingkaran.

15. Pecah gelang (Pg) adalah pecah yang sejajar dengan busur bontos kayu atau searah dengan lingkaran tumbuh sehingga merupakan busur lingkaran > setengah lingkaran.

16. Pecah hati adalah terpisahnya serat dimulai dari hati memotong terhadap lingkaran tumbuh.

17. Pecah lepas adalah akibat bagian dari badan kayu yang hilang / lepas ke arah ke arah memanjang.

18. Pecah slemper adalah pecah sejajar pada bontos yang tidak menembus badan kearah memanjang, tetapi sebagian kayunya masih menyatu.

2.4. Sertifikasi Ekolabel

Sistem sertifikasi adalah mekanisme keterkaitan dan ketergantungan antara pemohon obyek sertifikasi, penguji, pelaksana infeksi lapangan, pemberi

(20)

sertifikat dan pelaksana pengawasan (Winarto 2006, diacu dalam Badan Standarisasi Nasional 1998).

Sistem sertifikasi lacak balak adalah tata laksana keterkaitan dan ketergantungan antara pemohon sertifikasi, panel pakar, penilai lapangan, lembaga sertifikasi lacak balak, Dewan Pertimbangan Sertifikasi (DPS), pelaksana penilikan (surveillance) dan pihak-pihak terkait (stakeholder) dalam sertifikasi lacak balak (Winarto 2006, diacu dalam Standar LEI 2000).

Sistem sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari adalah tata laksana keterkaitan dan ketergantungan antara pemohon sertifikasi, panel pakar, penilai lapangan, lembaga sertifikasi lacak balak, Dewan Pertimbangan Sertifikasi (DPS), pelaksana penilikan (surveillance) dan pihak-pihak terkait (stakeholder) dalam sertifikasi PHPL (Winarto 2006, diacu dalam Standar LEI 2000).

Sertifikat menurut Winarto (2006) diacu dalam Peraturan Pemerintah No.102 (2000) diartikan sebagai jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, system atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan. Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari adalah sertifikasi yang menjamin telah diterapkannya usaha-usaha bagi pengelolaan hutan produksi lestari ( Winarto 2006, diacu dalam Badan Standarisasi Nasional 1998).

Sertifikasi lacak balak adalah kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen untuk mengeluarkan pernyataan bahwa hasil hutan yang diproduksi oleh unit usaha kehutanan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

Sertifikasi hutan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen untuk mengeluarkan pernyataan bahwa pengelolaan hutan oleh unit manajemen, sumber bahan baku maupun pengolahan hasil hutan oleh unit usaha kehutanan, yang terdiri atas sertifikasi PHPL, lacak balak dan pelabelan produk hasil hutan (Winarto 2006, diacu dalam Standar LEI 2000).

Ekolabel menurut Badan Standarisasi Nasional (1998) diartikan sebagai label yang dilekatkan pada produk yang dihasilkan oleh perusahaan pemohon,

(21)

yang memberikan informasi bahwa pemohon telah memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari dan memenuhi kriteria dan indikator penelusuran kayu (Chain of custody/Timber tracking).

Penilaian hutan secara lestari adalah serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi, dan sosial dari hutan alam produksi (Winarto 2006, diacu dalam Kepmenhut 2003).

2.5. Jati

Sumarna (2001), menyatakan bahwa secara morfologis, tanaman Jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m. Dengan pemangkasan, batang yang bebas cabang dapat mencapai antara 15-20 m. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan bercabang sekitar 4. Daun berbentuk opposite (jantung membulat dengan ujung meruncing)

Pandit dan Ramdan (2002 ), menyatakan bahwa jati merupakan kayu kerap dan kuat. Bagian teras berwarna kuning emas kecoklatan sampai coklat kemerahan, mudah dibedakan dengan gubal yang berwarna putih keabu-abuan. Kayu bercorak dekoratif yang indah karena mempunyai lingkaran tumbuh yang jelas yang dapat dilihat baik pada bidang lintang, radial, maupun tangensial. Berat jenis rata-rata 0,67 ( 0,62-0,75 ) dengan kelas awet I-II dengan kelas kuat II. Kayu Jati mempunyai ciri-ciri anatomi :

1. Pori bentuk bulat serupa oval

2. Diameter tangensial bagian kayu awalnya 340-370 μm, kayu akhir 50-290 μm

3. Pori berisi Tylosis dan deposit warna putih

4. Apotrakeal jarang, umumnya membentuk rantai yang terdiri dari sekitar 4 sel.

5. Jari-jari lebar yang terdiri dari 4 sel atau lebih, dengan jumlah sekitar 4-7 per mm arah tangensial, komposisi seragam dan tinggi dapat mencapai 0,9 mm

(22)

Sumarna (2001), menyatakan bahwa tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke-9 telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet (mampu bertahan hingga 500 tahun)

Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut (Sumarna, 2001):

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. F.

Hadikusumo (2001), menyatakan bahwa pohon jati rakyat umumnya tidak sampai berumur tua sudah ditebang karena kebutuhan akan kayu pertukangan ataupun kebutuhan akan uang bagi pemiliknya. Pohon jati yang belum cukup tua ini memiliki kandungan kayu juvenil yang cukup besar. Padahal, apabila suatu sortimen mengandung kayu juvenil yang bercampur dengan kayu dewasa, maka sortimen tersebut akan mengalami pelengkungan setelah kering.

Eropa, yang merupakan pasar strategis bagi banyak negara berkembang untuk memasarkan produk kayu mereka, memiliki tuntutan yang relatif tinggi dalam hal sertifikasi. Banyak pembeli kayu hanya mau membeli kayu jati yang bersertifikasi meski dengan harga yang lebih mahal. Dengan sertifikasi itu, para pembeli dapat melacak jejak sumber kayu yang dibelinya. Sehingga dapat dipastikan, apakah berasal dari hutan lindung atau hutan produksi.

(23)

2.6.

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, dijelaskan bahwa hutan berdasarkan kepemilikannya dibagi menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan milik. Hutan negara merupakan kawasan hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak terbebani hak milik, sedangkan hutan milik adalah hutan yang dibebani hak milik. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan buatan yang terletak di luar kawasan hutan negara, dalam satu hamparan dan seringkali disebut hutan milik.

Selanjutnya Lembaga Penelitian IPB (1986) menambahkan bahwa hutan dalam istilah hutan rakyat disini tidaklah sama dengan pengertian sebagai biocoenose yang terdiri lahan, pohon, tumbuhan lain, dan binatang yang saling berinteraksi menciptakan iklim mikro.

Adapun dasar pemilikan hutan rakyat sebagaimana dalam rumusan undang-undang, yaitu :

1. Penguasaan tanah harus dilakukan lebih dahulu, kemudian mengusahakan hutan

2. Pemilikan hak atas tanah harus lebih dahulu diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk kemudian mengurus pemilikan hutan. 3. Penguasaan dan pemilikan tanah kering secara perorangan sangat dibatasi

(maksimum 5 Ha) menurut ketentuan hukum pertanahan.

2.6.1.

Bentuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Departemen Kehutanan (1990) dalam Setyawan (2002) menyebutkan bahwa berdsasarkan jenis tanamannya dan penanamannya hutan rakyat terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen

(24)

2. Hutan rakyat homogen, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pepohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat agroforestry, yaitu mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, tanaman pangan, dan peternakan secara terpadu.

Pada pengusahaan hutan rakyat, pola usaha tani hutan berbasis masyarakat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang paling menguntungkan (Hardjanto, 1990). Selanjutnya dikemukakan pemilik hutan kemasyarakatan umumnya belum menggantungkan penghidupannya pada hutan-hutan yang dimilikinya, mereka mengusahakan hutan rakyat tersebut sebagai sambilan. Faktor penyebab hal tersebut adalah :

1. Belum adanya persatuan antar pemilik hutan.

2. Sistem silvikultur belum diterapkan secara sempurna.

3. Kurangnya pengetahuan petani dalam pemasaran hasil hutan rakyat. 4. Belum adanya kelembagaan khusus yang menangani pengusahaan

hutan rakyat.

2.6.2.

Tujuan dan Peranan Hutan Berbasis Masyarakat

Terdapat 3 tujuan pengelolaan hutan rakyat (Lembaga Penelitian IPB,1990), yaitu :

1. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan petani hutan rakyat secara berkesinambungan.

2. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan kualitas lingkungan secara berkesinambungan.

3. Adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1986), hutan kemasyarakatan merupakan sumber kayu dan hasil hutan lainnya, termasuk fungsinya sebagai pelindung tanah dari bahaya erosi. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan rakyat mempunyai peranan penting bagi masyarakat terutama dalam hal :

(25)

1. Meningkatkan pendapatan masyarakat 2. Meningkatkan produksi kayu bakar

3. Menyediakan kayu bangunan maupun bahan baku industri. 4. Membantu penyerapan air ditempat-tempat recharge area

(26)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di hutan tanaman rakyat yang tergabung dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) yang terletak di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengelolaan hutan dilakukan dengan pola pengelolaan bersama antara koperasi, petani hutan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengelolaan hutan ini telah memperoleh sertifikat ekolabel Forest Stewardship Council (FSC). Penelitian ini dilaksanakan selama ± 2 bulan, yaitu mulai bulan Mei sampai Juli tahun 2008.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tally sheet, pita meter, tongkat ukur, alat sogok, kapur tulis, cat, pisau pemotong, kalkulator, kamera, dan komputer.

3.3. Batasan Masalah

Ruang lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pada kegiatan penebangan, perencanaan pembagian batang, dan pelaksanaan pembagian batang. Objek penelitian ini adalah semua pohon rebah yang ditebang oleh koperasi sesuai jatah tebangan yang telah ditentukan. Perhitungan diameter (dengan kulit), panjang, dan volume dilakukan ketika pohon rebah.

3.4. Penentuan Pohon Contoh

Pohon contoh yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah pohon yang ditebang pada areal KHJL selama bulan Mei sampai dengan Juli 2008, jumlah pohon contoh ditetapkan sebanyak 33 pohon.

3.5. Pengukuran Dimensi

Pengukuran dimensi dalam pengujian kualitas kayu bulat Jati ini dibagi menjadi 2 ( dua ) bagian, yaitu :

(27)

3.5.1. Pengukuran Dimensi Pohon Per Seksi

Pengukuran pohon perseksi merupakan tahapan pengukuran yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai dimensi dan kondisi fisik pohon termasuk keberadaan cacat kayu. Hasil pengukuran ini digunakan sebagai dasar pembagian batang. Pengukuran dilakukan setelah pohon rebah dan sebelum dilakukan pembagian batang, dilakukan pengukuran untuk menentukan dimensi kayu antara lain keliling dan identifikasi cacat yang terdapat pada kayu. Cara pengukuran dimensi pohon perseksi disajikan pada Gambar 1.

1 meter 1 meter

Tempat pengukuran keliling.

Gambar 1. Sketsa pengukuran dimensi perseksi

Pengukuran terhadap karakteristik cacat diukur sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan ketentuan pengujian kualitas kayu bulat Jati ( Tectona grandis Linn.F ). Parameter cacat yang akan diamati antara lain :

1. Jenis cacat 2. kedalaman cacat 3. Letak

4. Jumlah

5. Diameter cacat

Hasil pengukuran ini digunakan sebagai dasar untuk membagi batang secara skematis.

3.5.2. Pengukuran Pembagian Batang Aktual

Pengukuran sortimen hasil pembagian batang di lapangan dilakukan sesuai dengan kebijakan pembagian batang dari KHJL. Tahapan pengukuran

dst Seksi 1 Seksi 2

(28)

yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh kondisi fisik termasuk keberadaan cacat kayu.

1. Pengamatan dilakukan terhadap semua cacat yang terdapat pada kayu, baik terhadap cacat bentuk, cacat badan, maupun cacat bontos, kemudian cacat terberat.

2. Penilaian dilakukan dengan cara mengamati keadaan dan penyebarannya, mengukur besarnya, serta menghitung jumlahnya sesuai persyaratan yang ditetapkan.

3. Pengukuran dilakukan setelah pohon rebah dan telah dilakukan pembagian batang.

Kebijakan pembagian batang KHJL menetapkan bahwa kayu-kayu tersebut berasal dari tebangan pohon yang telah memiliki diameter diatas 30 cm. Sedangkan panjang dan diameter batang disesuaikan dengan permintaan pasar. KHJL tidak memanfaatkan cabang dan ranting dalam menjual kayunya, seluruh kayu berasal dari pembagian batang utama kayu.

3.5.3. Pengukuran Cacat Kayu

a) Cacat kesilindrisan

Dinyatakan silindris (Si), hampir silindris (Hsi) dan tidak silindris (Tsi) dengan parameter :

1. Silindris apabila perbandingan antara selisih dp dan du dengan panjang ≤ 1% p.

2. Hampir silindris (Hsi) apabila perbandingan antara selisih dp dan du dengan panjang > 1% sampai dengan 2 % p.

Tidak silindris (Tsi) apabila perbandingan antara selisih dp dan Cara menghitung % kesilindrisan lihat Gambar 2 :

(29)

dp du d3 d1 dp = (d1+d2) / 2

du = (d3+d4) / 2 d4 d2

Gambar 2. Cara menghitung persentase (%) cacat kesilindrisan Keterangan :

1. d1 adalah garis tengah terpanjang diameter pangkal (dp) 2. d2 adalah garis tengah terpendek diameter ujung (du) 3. d3 adalah garis tengah terpanjang diameter pangkal (dp) 4. d4 adalah garis tengah terpendek diameter ujung (du) 5. d p adalah diameter pangkal

6. d u adalah diameter ujung 7. p adalah panjang kayu 8. du dengan panjang > 2 % p.

b) Cacat kebundaran

Dinyatakan bundar (Br), hampir bundar (Hbr) dan tidak bundar (Tbr) apabila :

1. Bundar (Br) apabila perbandingan antara du dan dp ≥ 90%

2. Hampir bundar (Hbr) apabila perbandingan antara du dan dp ≥ 80% sampai < 90%

3. Tidak bundar (Tbr) apabila perbandingan antara du dan dp < 80% Cara menghitung persentase (%) kebundaran lihat Gambar 3.

% kebundaran = 100% 4 3 % 100 2 1 x d d atau dan x d d d1 d3 d4 d2

(30)

Keterangan :

1. d 1 adalah garis tengah terpanjang 2. d 2 adalah garis tengah terpendek 3. d 3 adalah garis tengah terpanjang 4. d 4 adalah garis tengah terpendek

c) Cacat kelurusan / kelengkungan

Penilaian terhadap cacat kelurusan dinyatakan dalam persen, misalnya < 3 % yaitu kedalaman lengkungnya tidak lebih dari 3 % panjang kayu. Untuk jenis tertentu besar kedalaman lengkung dibatasi dalam cm serta dihitung jumlahnya. Cara menghitung % kelurusan lihat Gambar 4.

% kelurusan = ( y / p) x 100 %

Y

P

Gambar 4. Cara menghitung % kelurusan

Keterangan : y adalah kedalaman lengkung dan p adalah panjang kayu

d) Cacat alur

Ditetapkan dengan cara mengukur dalamnya alur pada tempat yang terdalam terhadap permukaan kayu yang bersangkutan. Apabila pada kayu terdapat > 1 alur, masing-masing alur diukur dalamnya kemudian dijumlahkan. Apabila terdapat lebih dari 2 alur, yang dijumlahkna hanya 3 alur utama. Kemudian apabila sebatang kayu terdapat alur yang panjangnya > ½ p dan ≤ p, dianggap keduanya > ½ p. Cara menghitung kedalaman alur lihat Gambar 5.

(31)

b

Gambar 5a dan 5b. Cara menghitung alur Keterangan 5 a : jumlah alur 1 buah

keterangan 5 b : jumlah alur > 2 buah

e) Cacat lubang gerek (LG)

Penilaian cacat lubang gerek dinyatakan dalam : 1. besarnya lubang : LG kecil, LG sedang dan LG besar

2. Jumlah/ sebaran : Tersebar merata (Tm) atau gerombol (Gr) untuk Lgk / Lgs, sedangkan untuk Lgb dihitung jumlah tiap meter panjang (tmp) nya 3. khusus untuk Lgb > 10 bh / tmp, diukur kedalaman lubangnya untuk

menghitung persentase dan isi cacat gubal.

Pengukuran cacat lubang gerek lihat Gambar 6.

panjang

1 meter

Gambar 6. Cara menghitung jumlah Lubang gerek

(32)

Keterangan :

 jumlah Lgb dihitung jumlah tmp (contoh dalam gambar adalah 3 bh dalam tiap meter panjang)

 kotak A berukuran 12,5 cm x 12,5 cm diletakkan pada badan kayu yang mempunyai Lgk terbanyak, kemudian hitung jumlahnya. Apabila > 30 bh dianggap Gr dan ≤ 30 bh dianggap Tm.

f) Cacat pecah atau belah (pe / be)

Penilaian terhadap cacat Pe / Be dinyatakan dalam persen, misalnya 15 % p, yaitu jumlah panjang semua Pe / Be pada kedua bontosnya adalah 15 % dari panjang kayu (p). Pe / Be yang berhadapan dianggap 1 (satu) buah. Pengukuran cacat Pe/Be lihat gambar 7.

% Pe / Be = ( a + c+ d ) / p x 100 % a p c

d

Gambar 7. Cara menghitung % Pe / Be

g) Cacat mata kayu (Mk)

Penilaian terhadap cacat Mk dinyatakan dalam :

1. Keadaan Mk, yaitu mata kayu sehat dan mata kayu busuk 2. Jumlah Mk, yaitu dalam tiap meter panjang (tmp)

3. Diameter Mk, yaitu rata-rata panjang dan lebar Mk terbesar, diukur pada batas gubal

4. Jarak (jrk) Mk adalah jarak terpendek antar Mk (Mks/Mkb) sejajar sumbu kayu.

Cara menghitung diameter Mk, Jumlah Mk, jarak Mk, serta perbandingannya lihat gambar :

(33)

A

B Diameter Mk = (a+b) / 2

Gambar 8 . Cara menghitung jml Mk, Jrk Mk, dan perbandingannya Keterangan :

1. Jumlah Mk adalah 1 bh tmp, atau 2 bh tdp 2. Jarak antar Mk adalah jrk 1 (yang terpendek)

h) Cacat benjolan / Buncak-buncak

Penilaian terhadap cacat benjolan dinyatakan dalam : 1. Jarak terpendek antar benjolan sejajar sumbu kayu 2. Jumlah tmp-nya dan atau tiap batangnya

3. Untuk jenis tertentu, perlu diukur diameternya

Cara penilaian benjolan (Bj) :

Jarak 1

tmp tmp tmp

Gambar 9. Cara menilai cacat benjolan Keterangan :

1. Jarak Bj adalah jarak-jarak terpendek sejajar sumbu kayu 2. Jumlah benjolan adalah 2 bh atau 3 bh / btg

3. tmp adalah tiap meter panjang

i) Cacat kulit tersisip/ kulit tumbuh (Kt)

(34)

1. Jumlah Kt di badan dihitung tmp, di bontos dihitung per bontos. 2. Luas Kt dengan cara mengalikan panjang dan lebar Kt ( di bontos) 3. Panjang Kt di bontos dibandingkan dengan diameter dalam satuan persen Cara menghitung jumlah, luas dan panjang Kt lihat Gambar 10.

p L

tmp tmp tmp

Gambar 10. Cara menghitung jumlah dan luas Kt

Keterangan :

1. Jumlah Kt di badan dihitung 1 buah tiap meter panjang 2. Jumlah Kt di bontos dihitung 2 buah / bontos

3. Luas Kt 1 / Kt 2 adalah panjang x lebar 4. Luas Kt = Luas Kt1 + luas Kt 2

j) Cacat pecah busur / pecah gelang (Peb / Peg)

Penilaian terhadap cacat Peb/Peg dinyatakan dalam persen dengan cara : 1. Membandingkan panjang linier atau panjang lengkungan Peb/Peg yang

terpanjang dari kedua bontosnya terhadap diameter kayu.

2. Membandingkan jumlah panjang linier seluruh Peb/Peg setiap bontos terhadap diameter kayu

3. Cara mengitung % Peb/Peg lihat Gambar 11.

x

z

(35)

Keterangan :

 % Peb/Peg = ( y / d ) * 100 % ( yang terpanjang )

 % Peb/Peg = (x + y + z) / d * 100 % (jumlah seluruhnya)

k) Cacat pecah bontos (Pebo)

Penilaian terhadap cacat Pecah bontos dinyatakan dalam ada atau tidak ada, untuk jenis tertentu dihitung jumlah bontosnya. Pecah bontos yang saling berhadapan dianggap 1 bh.

Gambar 12. Cara menghitung pecah bontos Keterangan :

- Jumlah Pecah bontos 4 buah per bontos dan jumlah Pecah bontos 2 buah per bontos

l) Cacat lengar

Penilaian terhadap cacat lengar adalah diukur besar lebarnya terhadap keliling kayu dan panjangnya terhadap panjang kayu.

Teras busuk

Gubal hilang

m) Penilaian pecah banting (Pebt)

Penilaian cacat pecah banting (Pebt) dilakukan terhadap lebar dan panjang Pebt, yaitu :

(36)

1. Lebar Pebt dibandingkan dengan keliling kayu, seperti ¼ keliling

2. Panjang Pebt dibandingkan dengan panjang kayu dalam persen, seperti 20 % p

Cara mengitung Pebt lihat Gambar 14.

Pebt Lb

Pj

Gambar 14. Cara menghitung cacat pecah banting ( Prbt) Keterangan :

1. Lb = lebar Pebt  ¼ keliling 2. Pj = panjnag Pebt  pj / p * 100 %

n) Cacat pecah slempler / pecah lepas

Penilaian cacat pecah slempler/pecah lepas dilakukan terhadap lebar pecah slempernya dibanding keliling kayu, seperti ¼ keliling.

¼ kelilin

Gambar 15. Cara menghitung lebar pecah slemper

Keterangan :

1. Lb = Lebar pecah

2. Pecah slemper = ¼ keliling

(37)

Penilaian terhadap cacat gerowong / teras busuk (Gr/Tb) dinyatakan dalam persen dan kubikasi. Terdapat 2 ( dua ) cara penilaian cacat Gr/Tb yaitu : 1. membandingkan diameter terbesar Gr/Tb dengan diameter kayu, khusus

Gr kedalamannya dibandingkan dengan panjang kayu

2. menghitung persen dan kubikasi cacat bontos sesuai SNI Pengukuran dan Tabel isi kayu bundar rimba

Cara menghitung % Gr/Tb sama dengan menghitung % Tr (Gambar 16), sedangkan cara mengukur kedalaman Gr dapat dilihat pada Gambar 17.

a P Keterangan : - a adalah kedalaman Gr - % kedalaman Gr = ( a / p ) *100 % p) Cacat gubal

Penilaian terhadap cacat gubal meliputi :

1. Keadaan gubal, yaitu gubal sehat ( Gs ), gubal tidak sehat ( Gts) dan gubal busuk ( Gb)

2. Untuk Gs diukur tebal gubalnya yaitu tebal terbesar dan atau tebal rata-rata dengan menghitung rata-rata tebal terkecil dan terbesar pada setiap bontosnya.

3. Untuk Gts dinyatakan dalam persen

4. Untuk Gb dinyatakan dalam persen dan kubikasi

Untuk menghitung % Gts dan Gb cara menghitung persen dan kubikasi cacat gubal dalam SNI Pengukuran dan Tabel isi kayu bundar rimba. Sedangkan cara mengukur tebal Gs lihat Gambar 18.

(38)

a

b

Gambar 17. Cara mengukur tebal gubal segar Keterangan gambar :

1. a = Gs terbesar 2. b = Gs terkecil

3. tebal Gs = ( a + b ) / 2

q) Cacat pakah

Pakah adalah hasil pemotongan kayu bercabang yang hampir sama besarnya, yang ditandai dengan adanya dua buah hati pada bontos lainnya. Cacat pakah ditetapkan dengan cara mengamati ada tidaknya pakah pada bontos.

Gambar 18. Pakah

3.6. Prinsip Pengujian

Pengujian dilakukan secara kasat mata (Visual) terhadap kecermatan penetapan ukuran dan mutu kayu. Peralatan pengujian yang digunakan adalah pita ukur.

3.6.1. Persyaratan Pengujian

Kayu bundar jati yang akan diuji harus :

4. Dapat dibolak-balik sehingga semua permukaan kayu dapat dilihat secara keseluruhan

5. Diuji pada siang hari (di tempat terang) sehingga dapat mengamati semua kelainan yang terdapat pada kayu

(39)

6. Pengambilan contoh dilakukan dengan mempertimbangkan keterwakilan populasi sebagaimana tercantum pada Tabel 1 SNI 01-5007.17-2001 tentang Pengukuran dan Tabel Isi Kayu Bundar Jati.

3.6.2. Pelaksanaan Pengujian

Pelaksanaan pengujian kayu pertama kali dilakukan penetapan jenis kayu dengan memeriksa ciri umum kayu jati. Penetapan ukuran kayu bundar jati mengacu pada SNI 01-5007.17-2001, Pengukuran dan tabel isi kayu bundar Jati. yaitu :

1. Satuan Ukuran

Sistem satuan ukuran yang dtetapkan adalah sesuai standar SNI, yaitu: 1.1. Satuan untuk diameter kayu adalah cm (Senti meter) dengan kelipatan 3

(tiga) cm penuh untuk sortimen AI, AII serta kelipatan 1 cm penuh untuk sortimen AIII.

1.2. Satuan untuk panjang adalah meter (m) dengan kelipatan 10 cm penuh untuk panjang sampai dengan 10,00 meter dan 50 cm penuh untuk panjang lebih dari 10,00 meter

1.3. Satuan untuk isi kayu bundar adalah meter kubik (m3), dengan penulisan 3 (tiga) angka di belakang koma untuk sortimen AI dan AII serta 2 angka dibelakang koma untuk sortimen AIII.

3.7. Kualitas Kayu Bundar Jati

Mutu kayu bundar jati terbagi kedalam 6 (enam) mutu kayu yaitu U, P, D, T, M dan L. Khusus sortimen kayu bundar jati (AI) dan kayu bundar sedang jati (AII) dibagi dalam 4 (empat) mutu yaitu P, D, T, dan M dimana mutu kayu U dan L tidak termasuk didalamnya. Kelas mutu kayu U merupakan kelas mutu terbaik, berturut-turut selanjutnya adalah P, D, T, dan M.

3.8. Pelaksanaan Pengukuran

Pelaksanaan pengukuran dilakukan terhadap setiap batang kayu bundar Jati. Dengan rancangan pengukuran sebagai berikut :

(40)

A. Penetapan Diameter

i. Diameter diukur pada bontos ujung terkecil tanpa kulit dengan menggunakan Pita Phi (π )

ii. Apabila Phi tidak ada, pengukuran dilakukan dengan mengukur keliling menggunakan pita ukur biasa dalam kelipatan 1 cm, selanjutnya dengan angka keliling tersebut diameter dicari dalam tabel isi

iii. Diameter kayu bundar Jati dinyatakan dalam kelas diameter, untuk AI dan AII kelipatan 3 cm dan untuk AIII kelipatan 1 cm.

B. Penetapan Panjang

Panjang diukur pada jarak terpendek antara kedua bontos melalui badan kayu. Panjang diukur dalam kelipatan 10 cm untuk panjang sampai 10,00 m dan kelipatan 50 cm untuk panjang lebih dari 10,00 meter dengan pembulatan kebawah.

C. Penentuan Mutu Akhir Berdasarkan Acuan Normatif Standar Nasional Indonesia (SNI) .

Standar acuan normatif yang digunakan dalam menentukan mutu akhir kualitas kayu bundar jati pada penelitian ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5007.1-2003) tentang Kayu Bundar Jati dan SNI 01-5007.17-2001 tentang Pengukuran dan Tabel Isi Kayu Bundar Jati.

Standar ini meliputi penetapan istilah dan definisi, lambang dan singkatan, klasifikasi, cara pembuatan, syarat mutu, cara uji, syarat lulus uji, dan syarat penandaan sebagai pedoman pengujian kayu bundar Jati (Tectona grandis Linn.f) yang diproduksi di Indonesia.

Sistem penetapan mutu akhir kualitas berdasarkan pada persyaratan cacat yang ada pada acuan normatif Standar Nasional Indonesia (SNI) bisa dilihat pada tabel lampiran 1 tentang syarat mutu kayu.

3.9. Pengolahan dan Analisis Data A. Rata-rata Diameter

(41)

Diameter sortimen merupakan rata-rata diameter bontos pangkal (Ø Bp) dan diameter bontos ujung ( Ø Bu) dalam kelipatan satu sentimeter penuh. Diameter rataan dihitung menggunakan persamaan berikut :

Ø kayu = 2 ) 4 3 ( 2 1 ) 2 1 ( 2 1 d d d d    Keterangan :

Ø kayu = diameter kayu sortimen rata-rata d1 = diameter terpendek Bp (Bontos pangkal) d2 = diameter tegak lurus dengan d1

d3 = diameter terpanjang Bu (Bontos ujung) d4 = diameter tegak lurus dengan d3

B. Volume Sortimen

Volume dihitung berdasarkan rumus Brereton metrik, yaitu : V = (0,7845 x d2 x p / 10000) (m3)

Keterangan :

V = volume sortimen (m3) 0,7845 = ¼ π

10000 = konsanta untuk konversi satuan d2 dari cm2 ke m2 d = diameter rata-rata sortimen (cm)

p = panjang sortimen (m)

C. Data Sekunder

Data sekunder yang akan diambil pada penelitian ini antara lain : 1.Kondisi umum lokasi penelitian

2.Luas areal tebangan 3.Potensi hutan

4.sistem pemanenan yang digunakan 5.kebijakan pembagian batang

(42)

BAB IV. KONDISI UMUM

4.1. Letak dan Luas

Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) Konawe Selatan memiliki kawasan hutan dengan luasan sebesar 598,2 Ha. Di Kabupaten Konawe Selatan, 50,38% atau seluas 212.097 Ha, merupakan areal lahan yang dinyatakan sebagai Kawasan Hutan dan 208.906 (49,62%) digolongkan sebagai Kawasan Budidaya.

Tabel 1. Luas areal kawasan hutan di Kabupaten Konawe Selatan

Fungsi Lahan

Luas

Ha % 1. Kawasan Hutan 212.097 50.38%

Kawasan pelestarian alam 79.540 37.5% Hutan Lindung 42.759 20.2 Hutan produksi terbatas 3.705 1.7% Hutan produksi 86.093 40.6% Hutan konservasi 0 0 2. Kawasan Budidaya Non-Kehutanan 208.909 49.62% Jumlah 421.006 100%

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan, Tahun 2003

4.2. Pengelolaan Hutan

Koperasi Hutan Jaya Lestari atau KHJL didirikan pada tanggal 18 Maret 2004, pendirian koperasi ini di inisiasi oleh 46 ketua kelompok Social Forestry dalam 6 kecamatan di wilayah kabupaten Konawe Selatan. Dalam perkembangannya, pada tahun 2008 KHJL telah memiliki 579 anggota dalam 32 desa. KHJL memiliki pendamping dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakatnya yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Untuk Hutan (LSM JAUH) dan TFT (Tropical Forest Trust). KHJL merupakan satu-satunya koperasi yang mendapat pengakuan dari lembaga ekolabel internasional FSC (Forest Stewardship Council) sehingga kayu yang dijual telah mendapatkan sertifikasi dari FSC.

(43)

Berdasarkan rencana pengelolaan hutan masyarakat 2005-2009, Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) berorientasi pada pengelolaan hutan Jati (Tectona grandis Linn.F) milik masyarakat. KHJL hanya menjual kayu jenis Jati meskipun terdapat kayu-kayu lain di areal KHJL seperti Eboni.

KHJL telah berketetapan untuk memusatkan perhatian pada upaya pelatihan untuk unit-unit (desa-desa) dalam keterampilan mengelola jati rakyat dengan memilih unit-unit yang aktif dan memiliki kemauan untuk terlibat dalam Program Kehutanan Sosial di Kabupaten Konawe Selatan. Unit-unit inilah yang melalui proses untuk menjadi kelompok jati yang resmi, pembuatan database anggota, penentuan jatah tebangan tahunan untuk masing-masing unit, pengaturan pelayanan pemeliharaan untuk masing-masing unit, dan mempelajari proses lacak balak jati yang mereka miliki.

KHJL kemudian akan menggunakan Sertifikasi FSC untuk jati yang berasal dari unit-unit yang melakukan penebangan jati. KHJL akan menetapkan aturan dalam penerimaan unit-unit baru ke dalam kelompok penghasil jati yang diakui oleh FSC.

4.3. Sejarah Sertifikasi Ekolabel di KHJL

Koperasi Hutan Jaya Lestari(KHJL) dibentuk pada bulan Maret 2003 dan secara legal dengan badan hukum terbentuk pada bulan maret 2004 sebagai bagian dari Program Kehutanan Sosial Konawe Selatan yang dikelola oleh anggota masyarakat di sekitar area hutan produksi jati milik negara di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Program ini diprakarsai dan difasilitasi oleh jaringan LSM lokal yang berbasis masyarakat yang dikenal dengan nama Jaringan Untuk Hutan (JAUH), Dinas Kehutanan Propinsi, BPDAS (Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai), Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan, dan Tim Kelompok Kerja Kehutanan Sosial (Pokja SF) dari Dinas Kehutanan. Program Kehutanan Sosial dibentuk dengan tujuan untuk memanfaatkan masyarakat dan sumberdaya lokal untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyaraktnya; secara khusus berfokus pada pemanfaatan sumberdaya hutan jati di daerah tersebut.

(44)

KHJL masih menyadari bahwa pengurus dan anggotanya membutuhkan pelatihan dalam bidang keterampilan kehutanan dan modal awal berupa uang agar dapat berfungsi sebagai suatu badan pengelola hutan. Dalam upaya untuk memperoleh keterampilan ini, KHJL telah menandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan sebuah lembaga non profit taraf internasional yang bernama TFT (Tropical Forest Trust), yang berkantor pusat di Inggris, dan di Indonesia berkantor pusat di Semarang pada Juni 2004. TFT telah menyanggupi untuk memberikan pelatihan dan petunjuk kepada pengurus KHJL mengenai cara-cara mengelola hutan berkesinambugan dan memfasilitasi mereka untuk memperoleh serftifikat FSC atas kayu yang mereka produksi.

Dengan dibantu oleh LSM JAUH dalam aspek kelembagaan dan hukum, dan dibantu dalam aspek teknis pengelolaan hutan lestari oleh TFT, pada bulan Mei 2005 setelah diuji oleh Tim Smartwood Asia Pasific Region, akhirnya KHJL memperoleh sertifikat ekolabel Forest Stewardship Council (FSC) untuk kelompok hutan yang dikelola dengan intensitas kecil dan rendah (Small and Low Intensity Managed Forest, SLIMFs) yang sekaligus merupakan satu-satunya lembaga koperasi di Asia yang memperoleh sertifikat FSC.

Tujuan penilaian dari tim Smartwood ini adalah untuk mengevaluasi kelestarian ekologi, ekonomi dan sosial dari pengelolaan hutan, sebagaimana yang didefinisikan oleh FSC. Kegiatan pengelolaan hutan yang diakui oleh sertifikasi Smartwood dapat menggunakan label Smartwood dan FSC untuk pemasaran produk pada publik dan pengiklanan.

(45)

Gambar 19. Sertifikat ekolabel FSC

4.4. Topografi dan Kelerengan

Areal kerja Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) terletak pada ketinggian 10-200 mdpl. Kondisi topografi pada umumnya didominasi oleh bukit kecil atau datar dengan kemiringan kurang dari 15 %. Sebagian areal memiliki kelerengan terjal antara 25 – 40 %.

4.5. Tanah

Jenis tanah di wilayah kerja Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) secara umum merupakan jenis podsolik kuning dengan tekstur berhumus dan sedikit berbatu.

(46)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Potensi Tegakan Sebelum Penebangan

Berdasarkan data inventarisasi di lokasi penelitian, diperoleh bahwa jumlah pohon jati keseluruhan sebanyak 77 pohon. Dari 77 pohon, 33 pohon telah masuk dalam pohon yang layak tebang. Diameter rata-rata keseluruhan pohon sebesar 28,48 cm. Volume tegakan sebesar 33,13 m3 dengan rata-rata volume per pohon sebesar 0,43 m3. Sedangkan untuk data pohon yang masuk layak tebang diperoleh diameter rata-ratanya sebesar 40,02 cm, volume tegakan sebesar 25,52 m3 dan rata-rata volume per pohonnya sebesar 0,77 m3.

Berdasarkan sebaran diameter pohon, diperoleh diameter >30 cm dengan persentase sebesar 42,86 %. Persentase pohon dengan diameter 20-29 cm sebesar 27,27 %. Sedangkan diameter dibawah 20 cm sebesar 29,87 %. Sebaran diameter pohon di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sebaran diameter jati di areal penelitian

Diameter (cm) Persentase jumlah pohon (%)

≥ 30 42,86

≥ 20 - 29 27,27 < 20 29,87

Jumlah 100

5.2. Pembagian Batang Perseksi

5.2.1. Sebaran Diameter dan Panjang Jati A. Batang Utama

Tabel 3 menyajikan sebaran kelas diameter kayu bundar jati yang dapat dihasilkan dari batang utama. Berdasarkan kelas sortimen kayu bundar jati, bagian batang utama yang memiliki diameter ≥30 cm (sortimen AIII) merupakan sortimen yang terbanyak, dengan persentase sebesar 37,86%. Sortimen terbesar kedua adalah sortimen kelas diameter 20,0-29,9 cm (sortimen AII) dengan persentase sebesar 33,01%. Sedangkan untuk kelas diameter 10,0-19,9 cm (sortimen AI) memiliki persentase sebesar 29,12%.

(47)

Tabel 3. Distribusi batang utama berdasarkan kelas diameter

Kelas Diameter (cm) Volume (m3) Jumlah seksi % jumlah seksi

10,0 - 19,9 1,367 30 29,12% 20,0 - 29,9 4,067 34 33,01% ≥ 30 15, 071 39 37,86%

Jumlah 20,505 103 100%

B. Cabang dan Ranting

Tabel 4 menyajikan sebaran kelas diameter kayu bundar jati yang dapat dihasilkan dari cabang dan ranting. Berdasarkan kelas sortimen kayu bundar jati, bagian cabang dan ranting yang memiliki diameter 10,0-19,9 cm (sortimen AI) merupakan sortimen yang terbanyak, dengan pesentase sebesar 94,87%. Sortimen terbesar kedua adalah sortimen kelas diameter 20,0-29,9 cm (sortimen AII) dengan persentase sebesar 5,12%. Sedangkan untuk kelas diameter ≥ 30 cm (sortimen AIII) tidak ada sortimen pada kelompok cabang dan ranting. Tabel 4. Distribusi cabang dan ranting berdasarkan diameter

Kelas Diameter (cm) Volume (m3) Jumlah seksi Persentase jumlah seksi (%)

10 - 19,9 2,874 74 94,87 20,0 - 29,9 0,327 4 5,12

≥ 30 0 0 0

Jumlah 3,201 78 100,0

5.2.2. Jenis Cacat Kayu Jati A. Batang Utama

Berdasarkan standar pengujian SNI 01-5007.17-2001 diperoleh bahwa cacat kayu jati perseksi pada bagian batang utama adalah cacat bentuk seperti cacat kesilindrisan, kebundaran, kelengkungan, dan alur. Cacat badan seperti pecah belah, pecah banting, pecah sempler/lepas, lubang gerek, buncak-buncak, lengar dan cacat mata kayu. Untuk cacat bontos adalah gerowong/teras rapuh, pecah hati, pecah gelang, gabeng dan kunus. Contoh gambar cacat kayu bundar jati disajikan pada Gambar 20.

(48)

Gambar 20. Contoh cacat gerowong dan alur pada batang kayu jati.

Dari cacat yang ditemukan, persentase cacat terbesar untuk cacat bentuk adalah cacat kesilindrisan dan kebundaran dengan persentase sebesar 22,13%. Sementara pada cacat badan, persentase cacat terbesar yang ditemukan adalah cacat mata kayu dengan persentase 8,72% . Sedangkan pada cacat bontos, cacat pecah hati merupakan cacat terbesar yaitu sebesar 4,04%. Rekapitulasi jenis cacat kayu yang ditemukan pada batang pohon yang ditebang disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Persentase cacat kayu pada pohon yang ditebang

B. Cabang dan Ranting

Pengujian kualitas kayu dari bagian cabang dan ranting, cacat kayu jati yang ditemukan adalah seperti kesilindrisan, kebundaran, dan kelengkungan. Sedangkan untuk cacat badan, jenis cacat yang ditemukan adalah pecah belah, pecah banting, pecah sempler/lepas, lubang gerek, buncak-buncak, Lengar dan cacat mata kayu. Untuk cacat bontos, cacat yang ditemukan adalah gerowong/teras rapuh, pecah hati, pecah gelang, gabeng dan kunus.

(49)

Persentase cacat terbesar untuk cacat bentuk adalah cacat bentuk kesilindrisan dan kebundaran dengan persentase sebesar 26,07%, sedangkan pada cacat badan persentase cacat terbesar yang ditemukan adalah cacat mata kayu dengan persentase 6,60%. Pada cacat bontos cacat kunus merupakan cacat terbesar dengan persentase 2,31%. Rekapitulasi jenis cacat kayu yang ditemukan pada cabang pohon yang ditebang disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22. Persentase cacat pada simulasi cabang dan ranting

5.3. Pembagian Batang di Lapangan 5.3.1. Sebaran Diameter Jati

Kebijakan pembagian batang di Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) terbagi dalam 3 (tiga) kelas diameter AIII (≥30 cm), AII (20,0-29,9 cm), dan AI (14,0-19,9 cm). Keseluruhan sortimen yang diambil berasal dari batang utama, pihak KHJL hanya memanfaatkan sortimen kayu yang berasal dari batang utama, sedangkan cabang dan ranting tidak dimanfaatkan meskipun diameternya cukup besar, hal tersebut dilakukan karena KHJL beranggapan kayu yang diambil dari batang memiliki kualitas kayu yang lebih baik atau lebih kuat.

Dari 33 pohon yang ditebang, total volume pembagian batang adalah sebesar 22,20 m3 dengan rata-rata volume perpohon sebesar 0,63 m3 perpohon. Distribusi diameter terbesar pada pembagian sortimen di lapangan adalah kelas diameter AIII sebanyak 65 sortimen (42,48%) dan volume kayu 17,018 m3. Sedangkan sortimen AII sebanyak 48 sortimen (31,37%) dengan volume kayu

(50)

4,49 m3. Sebaran diameter terkecil pada pembagian sortimen di lapangan adalah kelas diameter AI dengan jumlah 40 sortimen (26,14%) volume total kayunya sebesar 1,054 m3. Rekapitulasi sebaran diameter pembagian batang di lapangan disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Sebaran diameter pada pembagian batang di lapangan.

Kelas Diameter (cm) Volume (m3) Jumlah sortimen

Persentase jumlah sortimen (%) AIII (≥30 cm) 17,018 65 42,48 AII (20,0-29,9cm) 4,49 48 31,37 AI (10,0-19,9cm) 1,054 40 26,14 Jumlah 22,207 153 100

5.3.2. Cacat Kayu pada pembagian batang aktual

Pengujian cacat kayu hasil pembagian batang di lapangan menemukan cacat kayu berupa cacat bentuk seperti kesilindrisan, kebundaran, alur dan kelengkungan. Cacat badan yang ditemukan berupa pecah belah, pecah banting, pecah sempler/lepas, lubang gerek, buncak-buncak, lengar dan cacat mata kayu. Untuk cacat bontos, cacat yang ditemukan adalah gerowong/teras rapuh, pecah hati, pecah gelang, gabeng,gubal, pecah bontos, pakah dan kunus.

Persentase cacat terbesar untuk cacat bentuk adalah cacat bentuk adalah cacat kesilindrisan dan kebundaran dengan persentase sebesar 19,92%. Sedangkan pada cacat badan, persentase cacat terbesar yang ditemukan adalah cacat mata kayu dengan persentase 7,16%. Pada cacat bontos, cacat pecah bontos merupakan cacat terbesar dengan persentase 12,24%. Rekapitulasi cacat pada pembagian batang di lapangan disajikan pada Gambar 23 sebagai berikut.

(51)

Gambar 23. Persentase cacat pada pembagian batang aktual

5.4. Kualitas Kayu Bundar Jati

5.4.1. Kualitas Kayu Bundar Jati pada Simulasi Pembagian Batang

Pada pengujian simulasi batang diperoleh bahwa kelas mutu terbesar adalah mutu P dengan jumlah sortimen sebanyak 34 atau dengan persentase sebesar 33,01%. Selanjutnya diikuti oleh kelas mutu U dengan persentase sebesar 24,27% (25 sortimen). Kelas mutu D sebesar 20,38% (21 sortimen). Kelas mutu M dan T berturut-turut sebesar 11,65% (12 sortimen) dan 10,67% (11 sortimen). Rekapitulasi kualitas kayu pada pembagian batang di lapangan disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut.

Tabel 6. Kualitas kayu pada uji simulasi pembagian batang

Sortimen Jumlah sortimen berdasarkan kelas mutu kayu U P D T M

AI 0 16 6 4 4

AII 0 15 7 6 6

AIII 25 3 8 1 2

Jumlah sortimen 25 34 21 11 12

Pada kelas diameter AI, kelas mutu P merupakan kelompok dengan persentase terbesar dengan jumlah sortimen sebesar 16 seksi (53,33%). Berturut-turut kemudian yaitu kelas mutu D dengan 6 seksi (20,0%), kelas mutu T dan M masing-masing dengan 4 seksi (13,0%).

(52)

Pada kelas diameter AII, kelas mutu P merupakan kelompok dengan persentase terbesar dengan jumlah sortimen sebesar 15 seksi (44,11%). Berturut-turut kemudian yaitu kelas mutu D dengan 8 seksi (23,52%), kelas mutu T dan M dengan 6 seksi (17,64%),

Pada kelas diameter AIII, kelas mutu U merupakan kelompok dengan persentase terbesar dengan jumlah sortimen sebesar 25 seksi (64,10%). Berturut-turut kemudian yaitu kelas mutu D dengan 8 seksi (20,51%), kelas mutu P dengan 3 seksi (7,69%), kelas mutu M dengan 2 seksi (5,12%), dan kelas mutu T dengan jumlah sortimen 1 (2,56%).

5.4.2. Kualitas Kayu pada Simulasi Cabang dan Ranting

Pada pengujian simulasi cabang dan ranting, kelas mutu P menunjukkan persentase terbesar dengan 33,0% (25 seksi), dimana keseluruhannya merupakan sortimen kelas diameter AI. Kelas mutu U (kelas mutu utama) menunjukkan persentase sebesar 0%. Kelas mutu D, T, dan M berturut-turut menunjukkan persentase 22,0% (17 seksi), 27,0% (20 seksi), dan 18,0% (16 seksi). Rekapitulasi kualitas kayu pada uji simulasi batang disajikan pada Tabel 7 sebagai berikut.

Tabel 7. Kualitas kayu pada uji simulasi cabang dan ranting

Sortimen Jumlah sortimen berdasarkan kelas mutu kayu U P D T M

AI 0 25 16 17 16

AII 0 0 1 3 0

AIII 0 0 0 0 0

Jumlah sortimen 0 25 17 20 16

Berdasarkan kelas diameter pada simulasi cabang dan ranting yang diukur, kelas diameter AI menunjukkan persentase terbesar dengan 94,87%, kelas diameter AII dengan persentase sebesar 5,12% dan kelas diameter AIII sebesar nol persen (0%) atau tidak ada sortimen dengan diameter diatas 30 cm.

(53)

5.4.3. Kualitas Kayu Bundar Jati pada Pembagian Sortimen KHJL di Lapangan

Pada pengujian sortimen pada pembagian batang menurut kebijakan KHJL, kelas mutu D menunjukkan persentase terbesar dengan 25,0% (39 sortimen). Kelas mutu U (kelas mutu utama) menunjukkan persentase sebesar 15%. Kelas mutu P, T, dan M berturut-turut menunjukkan persentase jumlah sortimen sebesar 35 sortimen (23,0%), 24 sortimen (16,0%), dan 32 sortimen (21,0%).

Tabel 8. Kualitas kayu bundar jati pada pembagian batang aktual

Sortimen Jumlah sortimen berdasarkan kelas mutu kayu U P D T M

AI O 8 8 10 14

AII 2 13 10 13 10

AIII 21 14 21 1 8

Jumlah 23 35 39 24 32

5.5. Perbandingan Total Hasil Uji Simulasi Pembagian Batang dan Pembagian Batang Aktual KHJL

A. Perbandingan Berdasarkan Jumlah Sortimen Kayu

Persentase total pada pengujian simulasi ini, kelas diameter AI menunjukkan persentase terbesar dengan 104 sortimen (57,45%), kelas diameter AII dengan 38 sortimen (20,99%), dan kelas diameter AIII dengan 39 sortimen (21,54%).

Untuk persentase total pada pengujian sortimen menurut kebijakan KHJL ini, kelas diameter AIII menunjukkan persentase terbesar dengan 65 sortimen (43,0%), kelas diameter AII dengan 48 sortimen (31%), dan kelas diameter AI dengan 40 sortimen (26%).

Gambar

Gambar 1. Sketsa pengukuran dimensi perseksi
Gambar 2. Cara menghitung persentase (%) cacat kesilindrisan  Keterangan :
Gambar 4. Cara menghitung % kelurusan
Gambar 6. Cara menghitung jumlah Lubang gerek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran kualitas fisik dan bakteriologis udara pada gejala ISPA dilakukan dengan pembagian Kuesioner dan Pengukuran kualitas ventilasi, kepadatan hunian, suhu ruangan,

Kajian ini dilakukan dengan pengukuran prototipe hasil rekayasa bentuk bata ringan yang ada di lapangan pada bagian permukaan untuk mendapatkan data dan dilakukan

Atribut yang dinilai cukup oleh pelanggan berdasarkan hasil pengukuran IKM UPT, yaitu: 1) efektivitas dan efisiensi pelayanan; 2) kesopanan, keramahan, dan keadilan

Hasil pengujian bibit jabon merah pada perlakuan kombinasi pupuk hayati dan kimia memberikan nilai 100% sesuai syarat umum mutu bibit (batang kokoh tegar, batang

Mendapatkan Hasil Keluaran Dari Ketiga Jenis Turbin Setelah mendapatkan semua data hasil pengukuran yang dilakukan secara maksimal, maka dapat diketahui hasil yang

• Dalam kata lain, menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain yang secara teoritis menggambarkan konsep yang diukur. • Mengambarkan

Mendapatkan Hasil Keluaran Dari Ketiga Jenis Turbin Setelah mendapatkan semua data hasil pengukuran yang dilakukan secara maksimal, maka dapat diketahui hasil yang

Sesuai dengan tujuan untuk mendapatkan pengukuran aliran rendah yang optimal pengambilan konstanta secara manual dilakukan dan dibandingkan dengan hasil perhitungan dari