• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Haji Koko Koswara ( ), biasa dipanggil Mang Koko, adalah seniman karawitan Sunda fenomenal. Lebih dari setengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Haji Koko Koswara ( ), biasa dipanggil Mang Koko, adalah seniman karawitan Sunda fenomenal. Lebih dari setengah"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Haji Koko Koswara (1915-1985), biasa dipanggil Mang Koko, adalah seniman karawitan Sunda fenomenal. Lebih dari setengah masa hidupnya diabdikan untuk kehidupan seni. Mang Koko banyak berurusan dengan kegiatan seni, pelatihan, pembelajaran, pertunjukan, dan pelahiran karya-karya karawitan Sunda. Ratusan karya telah dihasilkan Mang Koko dalam berbagai jenis dan tema lagu, serta dikemas di dalam format seni karawitan seperti sekar jenaka, kawih murangkalih, kawih kacapian, sekar gending wanda anyar, drama swara, layeutan swara, dan gending

karesmén.1 Karya-karya tersebut banyak diapresiasi publik dan

dipandang sebagai karya karawitan yang memiliki gaya tersendiri.

1Sekar Jenaka adalah format seni humor bentukan Mang Koko sebagai

pembaruan dari seni Jenaka Sunda, kawih murangkalih adalah nyanyian atau lagu anak-anak, kawih kacapian adalah lagu-lagu kawih yang digarap pada ensambel kacapi, sekar gending wanda anyar adalah karya lagu dalam ensambel gamelan yang garapnya berbeda dengan sajian gamelan kiliningan tradisi, drama swara adalah seni drama pendek yang dialognya dinyanyikan,

layeutan swara adalah komposisi nyanyian dengan beberapa tahapan suara

(paduan suara), gending karesmén adalah drama swara panjang. Penjelasan lebih lanjut tentang jenis dan ragam seni karawitan karya Mang Koko tersebut, dibahas tiap jenisnya pada bahasan Bab II tentang proses kreatif dan Bab III tentang analisis musikal.

(2)

Mang Koko pun dianugerahi predikat “Pembaharu Dalam Seni Karawitan Sunda” oleh pemerintah Republik Indonesia.2

Di tahun 1946, Mang Koko sudah mulai merebut perhatian publik seni karawitan Sunda, mengembangkan format nyanyian humor yang disebut Sekar Jenaka bersama grup Kantja Indihiang.3

Ketika itu, Mang Koko bersama beberapa seniman dari Indihiang Tasikmalaya melakukan terobosan-terobosan baru. Mang Koko mahir mengolah dan memanfaatkan antara warisan seni lama dan situasi sosial yang terjadi menjadi peristiwa seni yang kreatif dan aktual. Lagu-lagu baru -- seperti Gotong Royong, Ronda Malem, Rebut Bandung, Badminton, PBH, Hayam Jago, dan Pangwangunan -- dikembangkan dari tradisi lagu-lagu kawih Sunda, dipadukan dengan petikan kacapi yang baru, dan dikemas dalam model penyajian yang sangat komunikatif. Tidak heran bila kemudian, sekar jenaka Kantja Indihiang pimpinan Mang Koko sangat berbeda dibandingkan sajian grup-grup Jenaka Sunda lain yang sudah ada sebelumnya.

Menjelang dekade 1950an, Mang Koko meluaskan kegiatan kreatifnya. Dunia penciptaan kawih murangkalih (lagu

2Tatang Benyamin Koswara, dkk., Pembaharu Karawitan Sunda “Mang

Koko” (Haji Koko Koswara) (Bandung: Yayasan Cangkurileung Pusat, 1992), 1,

99.

3Sekar Jenaka memadukan antara aspek humor dan lagu dengan

iringan (kacapi, suling, dan rebab). Mereka menyebut pula format ini Jenaka

Sunda. Kantja Indihiang adalah grup Sekar Jenaka pimpinan Mang Koko yang

menyajikan lagu-lagu baru karya Mang Koko dengan tema kebanyakan kritik sosial,dialog dalam pertunjukannya cenderung dipersiapkan, tidak spontanitas seperti grup lain; Periksa Benyamin Koswara, dkk.,1992, 15.

(3)

kanak) ditekuni. Dunia pendidikan seni pun dirancang dan dikelola. Dimulai dari pendidikan seni tingkat anak-anak, remaja, hingga pendidikan seni tingkat dewasa. Ketiga tingkat pendidikan itu diberi nama Taman Bincarung, Taman Cangkurileung, dan Taman Setia Putra. Di luar itu, Mang Koko pun memimpin

Gamelan Mundinglaya4 dan mendirikan grup Kiliningan Ganda

Mekar5untuk mewadahi karya-karyanya yang termasuk dalam

kategori dewasa dan memanggungkannya untuk konsumsi masyarakat umum.

Di era tahun 1960an, publik karawitan Sunda pernah digegerkan. Keberanian Mang Koko mengadaptasi dan mengaransemen Lagu Pohon Beringin Pengayoman karya Saharjo dengan memanfaatkan gamelan pélog sebagai instrumen telah menimbulkan polemik. Gending yang disajikan dianggap berbeda dengan gending tradisi yang sudah ada sebelumnya. Sebagian publik menganggap bahwa karya tersebut telah keluar dari cara-cara permainan gamelan tradisi, baik dari segi teknik garap maupun struktur komposisinya. Publik menilai karya tersebut sebagai gamelan brang bréng brong, berbunyi tidak karuan. Ada juga publik yang menyindir sebagai gamelan “Bitel”, sebuah plesetan dari Beattles dalam sinisme politik musik ngak ngik ngok

4Kelompok karawitan yang anggotanya terdiri dari para seniman tradisi,

bergerak pada seni kiliningan tradisi dan wayang golek.

5Grup kiliningan profesional yang khusus menyajikan karya-karya Mang

(4)

era Soekarno. Namun, publik yang menerima dan mendukung karya-karya karawitan Mang Koko pun tidak sedikit.6

Wacana polemik tersebut tidak dipandang serius oleh Mang Koko. Sebaliknya, Mang Koko justru lebih memilih sikap untuk serius, fokus, dan intens berkarya. Karya-karya baru terus diproduksi dan dikembangkan, dialihajarkan, dipertunjukan, dan atau direkam, serta didistribusikan melalui jalur industri rekaman. Dalam perkembangan kemudian, karya-karya tersebut diakui sebagai salah satu genre karawitan Sunda yang memiliki karakter sendiri.

Kepiawaian Mang Koko dalam mengembangkan karawitan Sunda tidak terbatas pada lagu-lagu kawih, tetapi yang paling menonjol adalah garap komposisi gending sebagai kelengkapan sajian lagu-lagu vokalnya. Di dalam sajiannya, lagu-lagu karya Mang Koko selalu diawali dengan gending macakal 7 sebagai

introduksi dan gending pirigan 8 yang digarap dengan pola

aransemen yang berbeda dengan pola pirigan tradisi. Garap aransemen baik dalam macakal maupun pirigan berbeda untuk masing-masing karya lagu kawih, sehingga lagu-lagu karya Mang

6 Periksa Tatang Benyamin Koswara, dkk., 1992, 29; Hawe Setiawan,

(ed), Lagu Hidupku Autobiografi Nano S (Jakarta: Pustaka Jaya, 2004).

7Berdiri sendiri. Dalam struktur gending Mang Koko berupa gending

instrumental, biasanya ditempatkan di bagian awal sebagai introduksi sebelum masuknya lagu vocal.

8Gending iringan. Di dalam konteks kiliningan Sunda berupa garap

gending untuk mengiringi lagu vokal sinden. Dalam konteks hubungan seni, berupa sajian gending untuk keperluan seni lain, misalnya tari atau wayang.

(5)

Koko dapat dikenali hanya dengan mendengar macakal-nya. Pengolahan garap sekar gending inilah yang membedakan lagu-lagu karya Mang Koko dengan lagu-lagu-lagu-lagu tradisi karawitan Sunda, baik dalam format kawih kacapian maupun gamelan wanda

anyar. 9

Konsep-konsep teoritik karawitan Sunda Koesoemadinata, banyak diaplikasikan pada karya-karya Mang Koko. Contoh yang paling jelas akan hal itu dapat dicermati pada karya jenis layeutan

swara.10 Karya ini cenderung menggunakan konsep kempyung,

adu laras, dan gembyang bentukan Koesoemadinata untuk

mengolah dua atau lebih tahapan suara, seperti konsep harmoni dalam musik Barat yang memunculkan tiga tahapan suara. Demikian pula dalam garap iringan kacapi, banyak menggunakan teknik petikan baru dari pengolahan motif petikan gabungan suara-suara: adu laras, kempyung, dan gembyang pada teknik petikan dijambret.11 Oleh sebab itu, tidak heran apabila

9Vokal dan instrumen yang memiliki bobot yang sama dalam suatu

sajian. Dalam karya Mang Koko, gending dapat berarti sajian instrumental (macakal) dan dapat pula sebagai iringan vokal (gending pirigan). Di dalam karya Mang Koko garap instrumen kadang-kadang tidak dapat dipisahkan dari garap vokalnya, vokal seakan telah menyatu dengan garap iringannya.

10Layeutan Swara adalah garap sajian vokal kawih yang menggunakan

dua atau lebih tahapan suara dengan teknik harmoni, dalam mengolah tahapan suaranya Mang Koko menggunakan konsep kempyung, adu laras dan gembyang bentukan Koesoemadinata. Periksa Mang Koko, Layeutan Swara (Bandung: Yayasan Cangkurileung Pusat, tth.),hal. i.

11Teknik petikan kacapi kreasi Mang Koko untuk iringan vokal kawih,

dengan petikan tangan kanan yang membunyikan tiga buah nada sekaligus yang menghasilkan semacam akoord dengan harmoni kemyung dan gembyang, sementara tangan kiri difungsikan sebagai bas. Petikan macam ini, menurut

(6)

karya lagu Mang Koko memiliki pola, dan ciri tersendiri yang berbeda dari lagu-lagu lainnya dalam karawitan Sunda. Keragaman karya dan sosialisasi yang dilakukannya, membuat Mang Koko dan karyanya sangat terkenal di berbagai kalangan masyarakat Sunda. Dalam perkembangan selanjutnya muncul istilah kawih Mang Kokoan, kacapi Mang Kokoan, dan gamelan wanda anyar. Istilah-istilah tersebut tumbuh dan berkembang di masyarakat, kemudian mewujud menjadi genre baru yang dalam penelitian ini disebut karawitan Sunda gaya Mang Koko.

Fenomena tersebut menandakan bahwa karya-karya Mang Koko dikenal dan digemari masyarakat luas. Apalagi setelah karya-karya Mang Koko dijadikan salah satu materi ajar di lembaga pendidikan seni seperti Konservatori Karawitan (SMKN 10 Bandung) dan kemudian di ASTI Bandung, karawitan gaya Mang Koko lebih luas lagi persebarannya. Sejak dibukanya prodi pendidikan seni musik di IKIP Bandung tahun 1981 yang sekarang telah menjadi Jurusan Pendidikan Seni Musik FPBS UPI Bandung, karawitan wanda anyar karya Mang Koko merupakan salah satu materi pembelajaran untuk mata kuliah Gamelan

Kreasi Baru (Musik Nusantara).12 Di lembaga-lembaga pendidikan

Maman SWP (seorang pemain kacapi Mang Kokoan) disebut juga dengan istilah

chorda block (wawancara tanggal 4 Oktober 2011 di Bandung).

12Wawancara dengan Dewi Suryati (salah seorang dosen UPI yang

mengajar mata kuliah Gamelan Kreasi Baru) tanggal 22 Juni 2010 di Bandung. Menurut Suryati, yang pertama kali mengajar gamelan wanda anyar di IKIP

(7)

seni tersebut karya-karya Mang Koko cukup dikenal, sehingga sering dijadikan bahan referensi dalam kegiatan olah kreativitas serta mereka sajikan dalam berbagai keperluan dan kesempatan pertunjukan.

Ironisnya, di masyarakat umum hampir tidak ada grup lain (selain grup binaan Mang Koko) yang membawakan gending-gending wanda anyar karya Mang Koko pada pementasannya. Apakah gending-gending gaya Mang Koko terlalu sulit dipelajari oleh masyarakat umum?13 Walaupun gamelan wanda anyar karya

Mang Koko tidak dijadikan materi pementasan oleh masyarakat seniman pada umumnya, namun secara konseptual jejaknya tampak pada kekaryaan dan jenis kesenian lain. Dekade 70-an, Nano S 14 telah berhasil menginovasi gending-gending degung

melalui karya lagu-lagunya. Kepiawaian Nano S dalam memperbaharui kesenian degung, berhasil memunculkan garap baru yang akhirnya dikenal sebagai genre seni degung kawih.

Bandung waktu itu (tahun 1981) adalah Nano Suratno yang kemudian diteruskan oleh Engkos Warnika (keduanya adalah guru Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Bandung).

13 Seperti diungkapkan oleh Edih AS (seorang budayawan dan pembina

seni di daerah Subang), sebetulnya masyarakat umum sangat menyukai gending-gending wanda anyar, akan tetapi mereka (para seniman di daerah) tidak mampu menyajikannya, karena membutuhkan latihan yang panjang juga harus ditunjang oleh pelatih yang handal, sementara yang mereka perlukan adalah materi yang siap pakai untuk keperluan pentasnya (Disarikan dari hasil wawancara tanggal 25 Desember 2008 di Subang).

14Nano S adalah murid Mang Koko, tergabung pula dalam grup Ganda

Mekar tahun 1960-an. Berkat prestasi dan dedikasinya, di Ganda Mekar Nano

S dipercaya Mang Koko sebagai penanggung jawab bidang instrumental (gending), seperti yang tersurat pada lagu Sempal Guyon Ganda Mekar karya Mang Koko ciptaan tahun 1967.

(8)

Karena Nano S sangat menonjolkan vokal kawih dalam komposisi gending degungnya. Kreativitas Nano S pada garap gamelan degung ini, mirip dengan kreativitas Mang Koko dalam gamelan wanda anyar.

Warna garap gamelan wanda anyar juga tersirat pada karawitan jaipongan yang muncul awal tahun 1980-an. Gending-gending Jaipongan adalah pengembangan garap dari pola-pola gending tradisi. Garap gending pada karawitan jaipongan bisa dikatakan mirip garap gending wanda anyar Mang Koko walau hanya terdapat pada bagian introduksinya saja. Hal tersebut dapat dicermati pada gending-gending Jaipongan produksi grup Jugala, seperti pada album Daun Pulus Késér Bojong, Seunggah, dan Sindén Bekén. Warna gending wanda anyar lebih kental pada karawitan Jaipongan karya Nano S dan karya-karya komponis era tahun 1990-an. Hal tersebut dapat dicermati pada karawitan jaipongan karya komponis generasi Lili Suparli, Agus Super, dan Ega Robot.

Sejalan dengan booming seni Jaipongan, garap gending seperti gending-gending jaipongan marak pada kesenian Bajidoran di daerah Subang. Garap gending semacam ini dapat dikatakan sebagai turunan model karawitan wanda anyar gaya Mang Koko. Warna garap wanda anyar juga terlihat pada model iringan tari kreasi baru yang banyak dilakukan baik di SMKN 10 Bandung,

(9)

maupun di STSI Bandung terutama dalam karya tugas akhir mahasiswa Jurusan Tari.15 Dengan demikian, dapat dimaknai

bahwa kehadiran karawitan gaya Mang Koko sangat penting sebagai bagian dari sejarah perkembangan garap karawitan Sunda. Namun patut disayangkan, fenomena garap tersebut belum terdokumentasikan secara ilmiah melalui proses penelitian yang serius. Oleh karena itu, penelitian ini dirasa penting untuk segera dilakukan.

Pada dasarnya, penelitian ini merupakan upaya untuk mengungkap konsep-konsep yang ada di balik karya-karya Mang Koko. Karawitan Sunda gaya Mang Koko yang dijadikan objek studi dalam penelitian ini, meliputi karawitan sekar, gending, dan sekar gending baik yang menggunakan media instrumen kacapi

maupun gamelan. Pemilihan tema tersebut, berdasarkan pada asumsi bahwa karawitan gaya Mang Koko adalah suatu genre karawitan Sunda yang terbentuk dari akumulasi kreativitas Mang Koko sejak periode Sekar Jenaka Kantja Indihiang sampai periode

Kasidahan.16 Karawitan gaya Mang Koko terbentuk atas dasar

inovasi garap yang dilakukan oleh Mang Koko, oleh karenanya

15Menurut penuturan Panda Upandi (pensiunan dosen STSI Bandung),

warna garap karawitan tari kreasi karya generasi Maman Sudirman tahun 1990-an identik dengan karawitan wanda anyar Mang Koko. Hal tersebut terlihat pada karya-karya tugas akhir, baik di SMKN 10 Bandung maupun di STSI Bandung. Disarikan dari hasil wawancara tanggal 29 Januari 2012 di Bandung.

16 Periode Kasidahan dimaksudkan untuk menunjuk pada periode

penciptaan lagu-lagu yang bernapaskan agama Islam dalam format gamelan

(10)

penelitian ini mengarah pada studi tentang gaya musik (karawitan) yang lebih diwarnai dengan gaya personal.

B. Rumusan Masalah

Merujuk pada permasalahan di atas, kajian ini berusaha menjawab pertanyaan besar mengapa karawitan gaya Mang Koko begitu eksis di masyarakat dan sangat mewarnai perkembangan garap karawitan Sunda. Banyak masalah yang bisa diungkap dari pertanyaan tersebut. Untuk membatasi permasalahan agar lebih spesifik, maka dirumuskan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan berikut.

1. Bagaimana karawitan Sunda gaya Mang Koko terbentuk? 2. Bagaimana ciri-ciri musikal karawitan Sunda gaya Mang Koko? 3. Bagaimana pengaruh karawitan Sunda gaya Mang Koko

terhadap perkembangan karawitan Sunda?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap konsep-konsep seni yang ada di balik karawitan gaya Mang Koko. Khususnya konsep-konsep di balik proses pembentukannya, ciri (karakter) musikal, serta keterhubungannya dengan persepsi dan apresiasi masyarakat tentang pengaruh karawitan gaya Mang Koko terhadap perkembangan karawitan Sunda. Penelitian ini pun ditujukan untuk membuka pandangan baru tentang dimensi

(11)

tekstual maupun kontekstual karawitan Sunda, yang diusahakan melalui kegiatan penggalian, penguraian, penjelasan emik yang menjadi landasan pengetahuan dan praktik seniman karawitan Sunda.

Hasil kajian ini bermanfaat untuk:

1. Membantu memperjelas peta dan repertoar khasanah keilmuan karawitan Sunda, terutama tentang data-data yang berhubungan dengan karawitan Sunda gaya Mang Koko;

2. Menjadi pilihan metode kajian seni karawitan Sunda, sekaligus dapat membantu institusi terkait dalam memenuhi kebutuhan pengarsipan data-data karya seni etnik sebagai sumber bacaan, disamping untuk memperkaya referensi ilmu pengetahuan dan praktik pembelajaran karawitan Sunda.

D. Tinjauan Pustaka

Karya tulis mengenai gaya musik yang merujuk pada gaya personal dalam karawitan Sunda belum banyak ditemukan, terutama yang menyangkut penciptaan sebuah gaya musik (karawitan) Sunda,17 khususnya penulisan Karawitan Sunda Gaya

Mang Koko. Namun demikian, sumber kepustakaan yang terkait

17Di antara para peneliti baik asing maupun lokal yang pernah meneliti

karawitan Sunda, yang diketahui hanya Wim van Zanten yang secara terang-terangan memfokuskan risetnya pada masalah gaya karawitan, khususnya gaya tembang Sunda Cianjuran.17 Model penelitian Zanten tersebut dijadikan sebagai

(12)

dengan Karawitan Sunda Gaya Mang Koko ini dapat ditelaah dari manuskrip lagu dan gending karya Mang Koko, sumber-sumber pustaka yang mengulas biografi dan kreativitas Mang Koko, dan konsep-konsep karawitan Sunda. Manuskrip lagu dan gending karya Mang Koko ditulis oleh Mang Koko sendiri. Tulisan-tulisan mengenai biografi dan kreativitas Mang Koko dapat ditelaah lewat pustaka-pustaka yang telah ditulis oleh Tatang Benyamin Koswara dkk tahun 1992, Deni Hermawan tahun 2002, dan Tardi Ruswandi tahun 2007. Konsep-konsep karawitan Sunda dapat ditelaah melalui pustaka-pustaka yang telah ditulis oleh Raden Machyar Angga Koesoemadinata tahun 1969, Atik Soepandi tahun1975, dan Epe Syafei tahun1984.

Banyak informasi penting yang termuat di dalam manuskrip lagu dan gending yang ditulis oleh Mang Koko. Manuskrip tersebut memuat informasi khusus kumpulan lagu-lagu kawih anggana sekar, kumpulan gending-gending wanda anyar atau sekar gending, kumpulan gending-gending kacapi, naskah drama swara

lengkap dengan notasi gending dan kawihnya, dan naskah gending karesmen lengkap dengan notasi lagu kawih dan gendingnya. Di dalam manuskrip-manuskrip tersebut dituliskan judul-judul lagu atau gending, rumpaka, isi rumpaka, sanggian, laras, surupan, gerakan, notasi Damina, juga penggunaan tanda-tanda musikal yang lain. Informasi tersebut dapat digunakan

(13)

sebagai sumber utama sekaligus pembanding untuk keperluan analisis musikal.

Buku biografi Pembaharu Karawitan Sunda Mang Koko (Haji Koko Koswara), (1992), ditulis Tatang Benyamin Koswara, Ade Setiawan Saripin, M.A. Suratman, Ida Rosida Koswara, dan Muadz, di bawah arahan H. Agus Abdurachman. Biografi itu dilengkapi dengan catatan tentang karya-karya Mang Koko berdasarkan kategori lagu untuk: anak-anak, remaja, dewasa, dan lagu-lagu yang bersifat umum beserta tahun penciptaannya. Di dalamnya dibahas usaha Mang Koko memperbaharui tabuhan kacapi, kreasi dalam gamelan pélog saléndro, serta pesan-pesan, harapan, dan anjuran Mang Koko kepada para seniman untuk terus berkreasi guna memajukan karawitan Sunda, serta beberapa tanggapan terhadap kebesaran nama Mang Koko dan perjuangannya memajukan kesenian Sunda. Tidak ditemukan bahasan yang mengungkapkan tentang gaya dan ciri musikal atau keistimewaan karya Mang Koko.

Hermawan dalam artikel “Kreativitas Mang Koko dan Masa Kini dalam Karawitan Sunda” (2002) mengungkapkan bahwa kreativitas Mang Koko lebih pada menciptakan suatu genre musik (karawitan) baru daripada menciptakan lagu-lagu dalam suatu genre musik yang telah ada sebelumnya. Hermawan membahas kreativitas Mang Koko dengan menggunakan empat dimensi

(14)

kreativitasnya Supriadi, yaitu: person, proses, produk, dan press”. Disimpulkan oleh Hermawan, konsep kreativitas yang digunakan oleh Mang Koko mencerminkan ciri musikal karawitan gaya Mang Koko, termasuk penggunaan laras dan surupan sebagai salah satu unsur penting dalam proses kreativitas penciptaan karya.

Berikutnya, tulisan Tardi Ruswandi, Koko Koswara: Maestro Karawitan Sunda (2007). Buku tersebut merupakan kelanjutan tesis Ruswandi, membahas inovasi Mang Koko dalam karawitan vokal (sekar), instrumen kacapi, dan gamelan pélog saléndro, sampai akhirnya muncul sebutan wanda anyar untuk menandakan karya-karyanya. Di dalam buku tersebut dibahas langkah kerja Mang Koko dalam melakukan penggalian sumber-sumber seni tradisi Sunda yang kemudian dijadikan sumber-sumber penciptaan karya-karyanya. Analisis musikal telah pula dilakukan dalam buku ini, namun belum mengarah pada perumusan ciri khusus ataupun proses pembentukan suatu gaya seni. Kesimpulan buku ini, bahwa karya Mang Koko berpijak pada karawitan tradisi Sunda. Mang Koko tidak membuat bentuk baru, hanya memberi warna lain dengan pola aransemen yang memberinya karakter baru, sehingga mempunyai wanda (gaya) anyar (baru), rasa (taste) baru.

Dari hasil telaah, pada ketiga sumber pustaka biografi dan kreativitas tersebut tidak ditemukan bahasan khusus proses

(15)

pembentukan gaya karawitan dan ciri musikal dari karya-karya Mang Koko secara mendalam. Keunggulan-keunggulan kreativitas Mang Koko dan pengaruh konsep kekaryaan Mang Koko pada proses penciptaan karawitan Sunda selanjutnya pun belum pernah ada yang membahasnya.

Buku Ilmu Seni Raras (1969) karangan Rd. Machjar Angga Koesoemadinata banyak membahas tentang penghitungan frekuensi dan interval nada-nada dalam laras saléndro, pélog, madenda, dan degung. Buku ini pada dasarnya berisi tentang ilmu (teori) karawitan Sunda berdasarkan hasil penyelidikan dan percobaan Koesoemadinata sendiri meliputi laras pélog dan saléndro; rakitan 17 laras; rakitan pélog 9 laras; patet dan lagon, dan istilah-istilah dalam seni karawitan Sunda. Hal hampir serupa ditulis kembali oleh Koesoemadinata dalam Ringkesan Pangawikan Rinengga Swara (tanpa tahun), termasuk masalah-masalah terkait dengan aneka istilah karawitan Sunda, konsep patet, dan bentuk-bentuk penyajian karawitan Sunda.

Kedua buku Koesoemadinata ini sangat penting dalam mengkaji tekstualitas Karawitan Sunda gaya Mang Koko ini. Konsep-konsep laras, surupan, patet dan notasi ciptaan Rd. Machyar Angga Koesoemadinata memiliki keterhubungan dengan aplikasi konsep karawitan yang dilakukan oleh Mang Koko di dalam proses penciptaan karya-karyanya.

(16)

Berkenaan dengan teks karawitan Sunda, Atik Soepandi menulis dua buku Dasar-dasar Teori Karawitan (1975) dan Penuntun Pengajaran Karawitan Sunda (1977). Buku pertama membahas konsep-konsep dan istilah dalam karawitan Sunda, bentuk-bentuk penyajian karawitan Sunda, berikut unsur-unsur musikal dalam karawitan Sunda seperti masalah laras, surupan, patet, wirahma dan embat. Semua permasalahan yang dibahas Soepandi tersebut, digunakan oleh Mang Koko dalam karyanya. Buku kedua membahas nama-nama waditra gamelan Sunda, cara memainkan waditra berikut fungsinya dalam konteks gending Sunda tradisi, bentuk-bentuk gending, dan sistem menabuh dasar gending Sunda. Konsep-konsep yang ditulis Soepandi tersebut, terungkap di dalam pola-pola gending gamelan wanda anyar karya Mang Koko.

Teks lain adalah Sastra Lagu Sunda, ditulis Epe Syafei Adisastra. Adisastra mengupas hal-hal yang terkait dengan unsur-unsur sastra, di antaranya sebagai berikut.

1) Wirahma (irama) bahasa dalam pengertian ritme yaitu gerakan sejumlah gugusan suku kata yang berulang secara teratur, begitu pun halnya melodi yang merupakan sejumlah gugusan nada-nada pada sanggian lagu.

2) Purwakanti yang bersinonim dengan sajak atau rima dalam bahasa Indonesia adalah unsur sastra yang berupa

(17)

persamaan baik bunyi vokal, bunyi konsonan, arti maupun tempatnya dalam padalisan (baris). Jenis purwankanti dalam sastra lagu Sunda sangat beragam, di antaranya terdiri dari purwakanti swara, wianjana, sastra, laras margaluyu, dan purwakanti aweuhan.

3) Rineka wacana, yaitu kata-kata yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari seakan-akan khusus untuk memperindah sastra lagu. Adapun rineka sastra yang merupakan gaya bahasa ini dipergunakan untuk melukiskan dan menegaskan sesuatu hal, pada umumnya difungsikan untuk memperindah gubahan sastra lagu.

Bentuk-bentuk sastra tersebut di atas hampir seluruhnya digunakan Mang Koko pada rumpaka lagu-lagu baik kawih kacapian maupun gamelan wanda anyar. Oleh karenanya, buku ini sangat berguna sebagai rujukan konsep dalam menganalisis kekaryaan Mang Koko. Sebagaimana dipertegas Sukanda melalui penelitiannya tentang kawih di Priangan, bahwa lagu-lagu karya Mang Koko dapat digolongkan pada rumpun kawih alam kiwari (zaman sekarang) yang tercipta dalam kurun waktu sekitar tahun 50-an hingga tahun 1985 ketika penelitiannya dilakukan. Sebutan lain untuk jenis kawih alam kiwari adalah kawih wanda anyar.18

18 Periksa , Enip Sukanda, Makmur anasasmita dan Atik Soepandi,

“Kawih di Priangan”, Laporan penelitian proyek pengembangan Institut Kesenian Indonesia sub proyek ASTI Bandung (Bandung 1985).

(18)

Dalam kurun waktu tersebut, tepatnya sejak tahun 1946 sampai tahun 1982 karya-karya Mang Koko tercipta, mulai dari ragam karya sekar jenaka, kawih kacapian hingga gamelan wanda anyar.

E. Landasan Teori

Secara konseptual yang menjadi landasan dalam pengkajian karawitan Sunda gaya Mang Koko ini adalah memetakan beragam teori yang berhubungan erat dengan permasalahan terbentuknya gaya musik dan ciri-ciri musikal karawitan Sunda gaya Mang Koko. Ada tiga pokok persoalan kajian karawitan gaya Mang Koko ini, seperti telah disebut di dalam rumusan masalah, yaitu (1) proses kreatif Mang Koko menghasilkan sebuah gaya karawitan tersendiri, (2) teks penciri gaya karawitan tersebut, dan (3) pengaruh kekaryaan karawitan gaya Mang Koko terhadap perkembangan karawitan Sunda yang lain. Demi menjawab persoalan tersebut, berikut ini dipaparkan konsep-konsep dan teori terkait.

1. Gaya Seni (Karawitan)

Mengkaji sebuah gaya seni sama halnya dengan melakukan identifikasi dan analisis terhadap hal-hal khusus yang terdapat dalam objek seni, pelaku seni, masyarakat, dan kebudayaannya. Supanggah mengartikan sebagai berikut.

Gaya seni (karawitan) adalah kekhasan atau kekhususan yang ditandai oleh ciri fisik, estetik

(19)

(musikal), dan/atau cara bekerja (garap) yang dimiliki oleh atau yang berlaku pada (atau atas dasar inisiatif dan/atau kreativitas) perorangan (pengrawit), kelompok (masyarakat seni), atau kawasan (budaya) tertentu yang diakui eksistensinya oleh dan/atau berpotensi untuk mempengaruhi individu, kelompok (masyarakat), atau kawasan (budaya, musik, kesenian) lainnya, baik itu terberlakukan dengan sengaja atau tidak, maupun yang terjadi atas hasil dari berbagai cara dan/atau bantuan dari berbagai sarana dan/atau media.19

Kutipan di atas diadaptasikan sebagai pembedah utama permasalahan karawitan Sunda gaya Mang Koko ini. Setidaknya ada tiga indikator gaya karawitan menurut pandangan Supanggah di atas, yakni: Pertama, memiliki kekhususan secara fisik, estetik, maupun garap. Kedua, merupakan ciri dari individu, kelompok, atau kawasan budaya. Ketiga, berpotensi untuk mempengaruhi individu, kelompok, dan atau kawasan budaya lainnya. Karawitan gaya Mang Koko memiliki kekhususan fisik, estetik, maupun garap yang berbeda dengan karawitan tradisi Sunda lainnya. Perbedaan tersebut berkaitan dengan masalah fisik maupun masalah sistem musiknya (musikal). Secara fisik, perbedaannya dapat dikenali dalam pemilihan instrumen dan kelengkapan suatu perangkat (ansambel). Secara musikal, perbedaannya terletak

pada cara memainkan instrumen, garap komposisi, bentuk dan struktur penyajian, sampai pada pengungkapan ekspresi

19 Periksa Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I, Cetakan Pertama

(Jakarta: Ford Foundation & Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002),137.

(20)

musikalnya. Kekhususan tersebut merupakan hasil proses kreativitas dan inovasi yang dibuat oleh Mang Koko, oleh karenanya menjadi ciri kekaryaan Mang Koko. Dengan segala potensi dan kapasitasnya sebagai seorang kreator dan inovator, Mang Koko berhasil memunculkan konsep-konsep baru yang kemudian dikenal sebagai karawitan wanda anyar. Mang Koko, dengan gaya karawitannya, memaknai seni tradisi karawitan Sunda sebagai sesuatu yang dinamis dan perlu dikembangkan. Pandangan Mang Koko terhadap musik tradisi ini sesuai dengan pandangan Shils yang menyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang dinamis, memiliki sifat mapan dan berubah.20Kemapanan

seni tradisi tidak dipandang sebagai harga mati, namun hidup dan berkembang secara dinamis seiring perkembangan zaman. Pada perkembangan selanjutnya model kekaryaan Mang Koko tersebut menginspirasi seniman generasi berikutnya dalam berkarya, sehingga model kekaryaan Mang Koko tersebut masih terlihat jelas pada model kekaryaan para seniman pengkarya generasi pasca Mang Koko.

2. Teori Kreativitas

Keterhubungan terbentuknya gaya seni tentu tidak dapat dipisahkan dari tindakan-tindakan kreatif yang dilakukan oleh

20 Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,

(21)

seniman. Kreativitas seniman mampu mengolah sesuatu yang belum ada menjadi ada atau mengolah sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru, berbeda dari sebelumnya.

Robert J. Stenberg dan Todd I. Lubart pernah memetakan tujuh macam pendekatan dalam studi tentang kreativitas. Ketujuh macam pendekatan tersebut antara lain adalah pen-dekatan mistis, pragmatis, psikodinamis, psikometris, kognitif, kepribadian-sosial, dan penyatuan atau kebersamaan.21

Disimpul-kan oleh Stenberg dan Lubart bahwa awal kajian kreativitas berdasar tradisi mistisisme dan spiritual. Pendekatan atas kajian kreativitas mulai beralih secara ilmiah ketika disiplin psikologi berkembang. Diawali dari pendekatan pragmatis yang dibangun dari teori psikologis dan verifikasi melalui riset psikologis. Pendekatan psikologi ini kemudian dikembangkan lebih ilmiah secara teoritis dan metodologis dengan menempatkan kreativitas sebagai batas atau kesatuan inti perhatian ranah psikologi. Namun, pada perkembangan berikutnya, pendekatan psikologis ini tidak cukup menjawab masalah-masalah kreativitas yang muncul dalam penelitian. Ketidakmampuan pendekatan psikologis ini mengakibatkan muncul pendekatan lain berupa pendekatan

21Robert J. Stenberg dan Todd I. Lubart, “The Concept of Creativity:

Prospect and Paradigm”, dalam Robert J. Stenberg, ed., Handbooks of Creativity

(22)

unidisipliner, lebih memandang bagian gejala kreativitas sebagai gejala yang menyatu.

Stenberg dan Lubart mengartikan kreativitas adalah kemampuan menghasilkan karya baru dan pantas. Merujuk perspektif Mihalyi, dijelaskan bahwa kebaruan hasil kreativitas terbentuk berdasarkan interaksi dari tiga faktor, yakni latar belakang seniman, lingkungan budaya, dan masyarakat.22 Ketika

seorang seniman dengan segala potensi yang dimilikinya berinteraksi dengan lingkungan budaya dan masyarakatnya, memunculkan motivasi untuk melakukan inovasi. Produk inovasi tersebut secara langsung terseleksi oleh masyarakat dan lingkungan budayanya ketika produk tersebut disosialisasikan.

Apabila konsep tersebut diterapkan dalam penelitian ini, kreativitas Mang Koko dapat dinyatakan sebagai kemampuan pribadi Mang Koko menghasilkan karya-karya karawitan yang baru dan pantas. Kemampuan mengkarya demikian ditunjukkan dengan adanya ilham-ilham baru, sehingga karya karawitan Mang Koko berbeda dari karya-karya karawitan yang sudah ada lebih dulu.

Bisa jadi secara personal, ilham baru diperoleh karena Mang Koko peka dan tanggap terhadap persoalan-persoalan yang

22 Periksa Mihaly Csikszentmihalyi, “Implications of a Systems Perspective

for the Study of Creativity”, dalam Robert J. Stenberg, ed., Handbooks of Creativity (Cambridge: University Press, 1999), 315.

(23)

berhubungan dengan masalah-masalah di dalam dunia karawitan yang ditekuninya, maupun masalah-masalah di dalam dunia kehidupan sehari-hari. Namun di tingkat yang lebih luas atau masyarakat, kreativitas Mang Koko memproduksi karya-karya karawitannya ini telah menghasilkan temuan-temuan baru secara konseptual, praktis, hingga menjadi sebuah gerakan seni baru yang kemudian dikenal sebagai karawitan wanda anyar atau dalam penelitian ini disebut sebagai karawitan gaya Mang Koko. Kiranya, ini sepemikiran dengan Stenberg dan Lubart yang telah mengidentifikasi kreativitas di dalam dua kategori: pribadi dan masyarakat. Di tingkat pribadi, kreativitas berkenaan ketika sesesorang memecahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan atau kehidupan sehari-hari. Di tingkat masyarakat, kreativitas dapat membawa ke arah temuan-temuan ilmiah baru, gerakan-gerakan baru dalam seni, penemuan-penemuan baru, dan program-program sosial baru.23

Dalam kapasitas individu, Gregory J. Feist menilai bahwa kreativitas pribadi seorang seniman menunjukkan seseorang yang imajinatif, terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, drives,

neurotic, berperasaan labil, kadang-kadang asosial dan

23Robert J. Stenberg dan Todd I. Lubart, “The Concept of Creativity:

Prospect and Paradigm”, dalam Robert J. Stenberg, ed., Handbook of Ccreativity

(24)

antisosial.24 Hal tersebut sesuai dengan pengakuan beberapa

pencipta lagu kawih Sunda. Seperti diungkapkan Yus Wiraz misalnya, ketika ilham mencipta datang, tanpa sadar dia akan mengikutinya dengan bersenandung, walaupun dalam kondisi di atas angkutan umum misalnya. Asyik dalam dunianya sendiri, tanpa menghiraukan lingkungan yang mengitarinya. Edih AS mengaku bahwa ketika sedang mencipta tidak mau ada orang yang mengganggunya, karena bila terpotong akan susah untuk menyambungnya kembali.25

Kreativitas dimiliki oleh semua orang, dengan kadar masing-masing berbeda. Lowenfeld dalam Rohidi merumuskan kadar kreativitas seni seseorang berbeda dalam hal berikut:

Kepekaan terhadap masalah, keluwesan, keaslian, mendefinisikan dan menyusun ulang, analisis dalam mengabstraksi dari kesimpulan, sintesis, dan keterpaduan susunan. Kreativitas mencakup pula rasa percaya diri, sikap dan perilaku yang inovatif.26

Pengembangan kreativitas, dalam pelaksanaannya senantiasa dipengaruhi oleh empat faktor pokok, yaitu: potensi, lingkungan, proses, dan hasil kreatif. Dalam tulisan Semiawan

24Periksa Gregory J. Feist, “The Influence of Personality on Artistic and

Scientific Creativity”, dalam Robert J. Stenberg, ed., Handbook of Creativity

(Cambridge: University Press,, 1999), 279.

25Disarikan dari catatan lapangan ketika penelitian di Bandung dan

Subang antara tahun 2009 hingga tahun 2011, di antaranya hasil wawancara dengn Yus Wiradiredja dan Edih AS; Periksa juga Rustandi Mulyana, “Gurit Lagu Kawih Sunda” (Tesis Pascasarjana STSI Surakarta, 2005).

26Periksa Tjetjep Rohendi Rohidi, Pendekatan Sistem Sosial Budaya

(25)

disebutkan bahwa kreativitas dipandang sebagai suatu proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi suatu persoalan. Selanjutnya proses kreativitas mencakup kompetensi dalam domain: 1) kognitif, yakni kemampuan yang mencakup kelancaran, kelenturan, dan keaslian dalam berfikir, 2) afektif, yaitu ranah yang menyangkut sikap dan minat untuk berusaha secara kreatif, dan 3) psikomotorik, merupakan aspek ke-terampilan yang terdiri atas proses pembuatan karya-karya yang produktif, dan inovatif.27

Konsep-konsep tersebut sejalan dengan pengembangan kreativitas yang dilakukan oleh Mang Koko. Di dalam proses pelaksanaan penciptaan karya-karyanya, Mang Koko di-pengaruhi oleh faktor-faktor yang melingkupinya, yakni: 1) potensi, yaitu pribadi Mang Koko sebagai suatu insan yang unik; 2) lingkungan, yang memberi pengaruh dan memupuk Mang Koko untuk berkreasi; 3) proses, yaitu terjadinya kreativitas, berupa kesempatan atau peluang bagi seseorang untuk bersibuk diri secara kreatif; 4) hasil kreatif yang terwujud karena faktor-faktor di atas. Rentang tingkatan kreativitas dimulai dari kreativitas ekspresif sederhana sampai pada kreativitas yang bersifat kompleks.

27 Periksa Conny Semiawan, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa

(26)

Untuk mengungkap bagaimana proses kreatif dalam penciptaan karawitan gaya Mang Koko, digunakan pendekatan psikologi sosial dari Amabile atau apa yang disebut oleh Stein sebagai pendekatan transaksional. Asumsi utama pendekatan ini ialah bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses interaksi sosial, di mana individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan.28 Diversitas pengalaman budaya yang dimiliki oleh

seseorang atau masyarakat berkorelasi positif dengan prestasi kreatif mereka dalam berbagai lapangan kebudayaan dan peradaban. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kreativitas yang mewujud dalam karawitan gaya Mang Koko tidak datang dari kevakuman, melainkan dimodali oleh pengetahuan dan pengalaman yang beragam dari kreatornya hasil interaksi dengan lingkungan budaya dan masyarakat.

3. Teori Garap

Ciri gaya karawitan, secara tekstual, dapat diketahui melalui aspek garap yang terkandung di dalam karya tersebut. Garap berhubungan dengan proses kreatif yang dilakukan oleh seniman, kualitas dan tujuan penciptaan, serta dapat dipandang sebagai sebuah sistem kekaryaan.

28Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek (Bandung,

(27)

Supanggah menyatakan gaya karawitan dengan sosok dan karakternya yang khas dapat dibangun dan dibentuk melalui perpaduan unsur-unsur musikal yang dilengkapi sentuhan keterampilan dan kemampuan seniman, termasuk di dalamnya daya interpretasi, imaginasi dan emosi.29 Garap adalah rangkaian

kerja kreatif seorang pengrawit dalam menyajikan sebuah komposisi karawitan untuk dapat menghasilkan kualitas tertentu sesuai dengan tujuan kekaryaan atau penyajian karawitan tersebut dilakukan. Garap adalah juga sebuah sistem, yang melibatkan beberapa unsur yang saling terkait dan membantu. Unsur-unsur tersebut adalah: materi garap, penggarap, sarana garap, perabot garap, penentu garap, dan pertimbangan garap.30

Di dalam konteks karawitan gaya Mang Koko, unsur penggarap atau pengrawit lebih banyak dilakukan oleh kreator dalam proses penciptaan. Banyak aspek garap seperti materi gending dan rumpaka, latar dan proses kesenimanan Mang Koko, waditra, teknik, pola, wirahma, gerakan, laras, surupan, pindah

pasieupan, dinamik, otoritas Mang Koko sebagai pengkarya, jenis-jenis komposisi yang dibuat oleh Mang Koko, dan pertimbangan-pertimbangan internal dan eksternal kekaryaaan mencerminkan kedirian Mang Koko secara pribadi. Otoritas Mang Koko sebagai

29Periksa Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: Garap (Surakarta:

ISI Press Surakarta, 2007), 1.

(28)

kreator tampak dominan, akibatnya kebebasan tafsir garap yang dilakukan oleh pengrawit dalam menyajikan karya-karya karawitan gaya Mang Koko menjadi terbatas. Pengrawit karawitan gaya Mang Koko tidak leluasa menafsir, mengingat komposisi yang dibuat Mang Koko ditransmisikan dengan media notasi yang sangat ketat.

4. Teori Difusi

Pengungkapan sosialisasi karya karawitan Sunda gaya Mang Koko, secara teoretis mirip dengan model konseptual yang dinyatakan Rogers sebagai berikut.

...diffusions is the process by which an innovation is communicated through certain channels, over time among

the members of a social system.31

Pemikiran ini relevan dengan kesinambungan inovasi yang dilakukan Mang Koko. Hasil inovasi mengembangkan karawitan Sunda disebarluaskan kepada masyarakat. Karya-karya baru Mang Koko dikomunikasikan melalui berbagai macam jenis saluran komunikasi, melintas waktu kepada masyarakat di Jawa Barat.

Sosialisasi karya seni Mang Koko dilakukan melalui berbagai macam bentuk: 1) pertunjukan karya; 2) perekaman seni karawitan Sunda; 3) kegiatan pendidikan baik secara formal

31 Periksa Everett M. Rogers, Diffusion of Innovation, Third Edition (New

(29)

maupun non formal melalui kegiatan pembelajaran dan pelatihan; 4) pencetakan buku-buku kawih bagi anak didik mulai dari tingkat pra-sekolah hingga perguruan tinggi; 5) karya seni Mang Koko dijadikan sebagai materi kegiatan pasanggiri (lomba) baik untuk Anggara Sekar, Rampak Sekar maupun Layeutan suara, dan; 6) media penyiaran Radio.

Untuk membantu menjelaskan pengaruh model kekaryaan Mang Koko pada perkembangan karawitan Sunda, selain pendekatan musikal digunakan pula konsep Sri Hastanto tentang empirical practices. Disiplin seni memposisikan seni sebagai

subjek, sehingga di dalam eksplanasi kajiannya didukung oleh pengalaman empirik mereka (para seniman) yang telah menggeluti berbagai kehidupan karawitan ditambah pengalaman para leluhurnya yang telah mereka warisi dengan baik.32

F. Metode Penelitian

Orientasi kegiatan penelitian karawitan gaya Mang Koko ini mengarah kepada penelitian kualitatif. didesain melalui metode deskriptif analisis, dengan maksud agar data-data yang bersifat faktual dan naturalistik khususnya yang berhubungan dengan proses pembentukan karawitan gaya Mang Koko, ciri musikal dan

32 Periksa Sri Hastanto, Kajian Musik Nusantara 1 (Surakarta: ISI Press

(30)

pengaruhnya terhadap perkembangan karawitan Sunda dapat dipaparkan dan dianalisis secara maksimal.

Bogdan dan Taylor mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif merupakan “prosedur kegiatan meneliti yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. 33 Hampir serupa dengan

pernyataan di atas, Creswell mengungkapkan hakekat penelitian kualitatif sebagai berikut.

This study is defined as an inquiry process of understanding a sosial or human problem, based on building a complexs, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a

natural setting.34

Pernyataan-pernyataan yang didefinisikan Bogdan dan Taylor serta Creswell menunjukkan keserupaan arti. Penelitian kualitatif mengarahkan proses penelitian pada pemahaman masalah kemanusiaan dan sosial sebagai gambaran holistik, yang terdeskripsikan secara natural.

Nasution, secara rinci, menunjukkan ciri-ciri penelitian kualitatif sebagai berikut:

1) Sumber data adalah situasi yang wajar atau natural setting, 2) Peneliti sebagai instrumen penelitian, 3) Sangat deskriptif, 4) Mementingkan proses maupun produk, 5) Mencari makna dibelakang kelakuan atau perbuatan, 6) Mengutamakan data langsung atau first

33 Periksa Robert C. Bogdan dan Taylor S.j., Kualitatif Dasar-dasar

Penelitian (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 5.

34Periksa John W. Creswell, Research Design Qualitative & Quantitative

(31)

hand, 7) Triangulasi, 8) Menonjolkan ciri konseptual, 9) Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti, 10) Mengutamakan perspektif emic, 11) Verifikasi, 12) Sampling yang purposif, 13) Menggunakan audit trail, 14) Partisipasi tanpa mengganggu, 15) Mengadakan analisis sejak awal penelitian.35

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penelitian kualitatif memiliki langkah-langkah tertentu dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Perumusan masalah; 2) Menentukan jenis informasi yang diperlukan; 3) Menentukan prosedur pengumpulan data; 4) Menentukan prosedur pengolahan data; 5) Menarik kesimpulan penelitian.

Keseluruhan konsep yang dikutif dalam tulisan ini menjadi pedoman titik tolak di dalam melaksanakan penelitian ini. Untuk mencari dan menemukan paradigma data-data tentang berbagai permasalahan terkait dengan karawitan gaya Mang Koko ini, secara spesifik instrumen yang digunakannya adalah berdasar pada pedoman wawancara, observasi, dan dokumentasi. Paradigma penelitian kualitatif ini diilustrasikan sebagai frame sebuah kacamata yang dibingkai berdasarkan masalah yang dikaji, seperti gambar berikut.

35Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito,

(32)

Gambar1

Bagan Paradigma Penelitian Karawitan Sunda Gaya Mang Koko. (Bagan dibuat oleh Rasita Satriana, 2015).

Sebagaimana diungkap di awal bahasan, bahwa pada operasionalnya, proses penelitian dalam rangka memetakan karawitan gaya Mang Koko ini dibagi dalam tiga ranah kajian, yaitu: (1) Wilayah kajian tentang proses pembentukan karawitan gaya Mang Koko, di dalamnya termasuk kajian tentang latar kesenimanan Mang Koko, proses kreatif dan faktor-faktor pendukungnya sehingga menghasilkan karya-karya yang berbeda dengan karya karawitan yang ada pada waktu itu; (2) Kajian tekstual karya-karya karawitan gaya Mang Koko meliputi kawih kacapian dan gamelan wanda anyar; (3) Kajian tentang pengaruh karawitan gaya Mang Koko terhadap perkembangan karawitan Sunda.

AWAL

HASIL DAN TEMUAN

KAJIAN EMPIRIK KANCA INDIHIANG PROSES PENELITIAN KARAWITAN SUNDA GAYA MANG KOKO

KAJIAN TEORETIS TEORETIS

PROSES PEMBENTUKAN KAR. GAYA M. KOKO

TEKS DAN KONTEKS

KAJIAN TEKSTUAL KAR. GAYA MANG KOKO

PENGARUH KAR. GAYA MANG KOKO LAYEUTAN SUARA KACAPI KAWIH GAMELAN WANDA ANYAR CIRI MUSIKAL PROSES PEMBENTUKAN PENGARUH

(33)

1. Objek, Fokus dan Lokasi Penelitian

Objek dan fokus dalam penelitian ini adalah karawitan Sunda gaya Mang Koko terutama tentang kawih kacapian dan gamelan wanda anyar, serta proses kreatif dan pemetaan karya-karya karawitan gaya Mang Koko di dalam perkembangan karawitan Sunda.

Lokasi penelitian ini dipusatkan di Bandung, Jawa Barat. Khususnya di tempat-tempat yang memiliki hubungan historis dengan proses kreatif Mang Koko menciptakan karawitan Sunda gaya Mang Koko. Tempat-tempat dimaksud selain di rumah keluarga Mang Koko juga di instansi-instansi tempat Mang Koko dulu bekerja, maupun tempat mantan murid-muridnya bekerja, seperti di SMKN 10 Bandung, ASTI yang berubah menjadi STSI dan sekarang menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, UPI Bandung, dan RRI Bandung. Lokasi lain adalah komunitas masyarakat pengguna yang terdapat di Bandung Jawa Barat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pada tataran operasionalnya, penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan kerja, yaitu: kerja lapangan (field work), kerja laboratorium (desk work), dan penyusunan laporan penelitian.36

36Curt Sachs membagi riset etnomusikologi ke dalam dua bagian kerja,

(34)

Kerja lapangan dilakukan pada tahap pengumpulan data-data penelitian, teknik kegiatan pada tahapan ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu: studi literatur, studi diskografi, observasi/pengamatan langsung di lapangan, dan wawancara dengan para pakar karawitan Sunda dan para pendidik seni serta praktisi seni karawitan Sunda terutama pada orang-orang yang paham dengan kekaryaan gaya Mang Koko.

Teknik pengumpulan data penelitian yang dilakukan adalah mengadaptasi konsep Bogdan dan Biklen yang digabung dengan konsep Creswell, yaitu dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, juga dilakukan teknik pelengkap dan catatan lapangan serta studi pustaka dan studi analisis data.37 Dalam

pengumpulan data tersebut, peneliti pergi ke lapangan melakukan teknik pengamatan visual dan auditif, wawancara, dengan menggunakan alat bantu berupa alat perekam wawancara, perekam gambar, dan perekam audio-visual.

Beberapa jenis teknik yang dianggap praktis dan tepat guna untuk pengumpulan data ini, yaitu teknik studi literatur, studi diskografi, observasi atau cara pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, dan studi analisis. Praktik penerapan teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut:

hague: M. Nijhoff, 1962), 16-20; Bruno Nettl, Theory and Method In

Etnomusicology, (London: The Free Press of Glencoe Collier-Macmillan

Limited,1964), 62-130.

(35)

a. Studi Literatur

Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan peta situasi historis dan budaya musik Sunda yang melatar belakangi proses penciptaan karawitan Sunda gaya Mang Koko. Pencarian dan penelahaan dilakukan melalui sumber-sumber tertulis di antaranya buku biografi Mang Koko tulisan Tatang Benyamin Koswara dan kawan-kawan, manuskrip-manuskrip tulisan Mang Koko sendiri, majalah Kawit, majalah Kebudayaan, majalah dan tabloid Swara Cangkurileung, manuskrip tulisan Tatang Suryana, buku Koko Koswara Maestro karawitan Sunda yang ditulis Tardi Ruswandi, serta manuskrip karya-karya Mang Koko yang ditulis tangan oleh mang Koko sendiri.

b. Studi Diskografi

Teknik ini dilakukan dengan cara mencari data dari rekaman komersial maupun rekaman koleksi pribadi, yang berhubungan langsung dengan sasaran penelitian, baik karya-karya Mang Koko maupun karya-karya-karya-karya yang dipandang memiliki jejak hubungan pengaruh dengan karawitan Sunda gaya Mang Koko. Teknik ini dilakukan untuk 1) menjaring data produk-produk karawitan gaya Mang Koko, 2) mengidentifikasi ciri-ciri karawitan gaya Mang Koko, 3) memetakan perkembangan dan

(36)

persebaran karawitan gaya Mang Koko di masyarakat, dan pengaruh karawitan gaya Mang Koko terhadap kesenian lain, seperti pengaruh konsep wanda anyar Mang Koko terhadap karya gamelan degung yang dikemas oleh Nano S.

Pencarian data tersebut dilakukan dengan mengamati hasil rekaman komersial atau koleksi pribadi dalam bentuk: kaset analog, cakram, atau piringan hitam, baik audio maupun audio visual yang memuat karya-karya Mang Koko mulai dari jenis Jenaka Sunda, kawih kacapian, sekar gending, gending karesmén, baik produk rekaman grup binaan Mang Koko maupun grup lain yang membawakan karya Mang Koko.

Beberapa karya Mang Koko yang telah beredar di masyarakat berupa rekaman lagu-lagu kawih kacapian dan gending-gending gamelan wanda anyar yang terpilih sebagai judul kaset. Rekaman-rekaman karawitan Sunda tersebut dijadikan sumber data penelitian, karya Mang Koko yang direkam dalam kaset tersebut di antaranya berjudul: 1) Badminton, 2) Kacapian Mang Koko, 3) Kawih Mang Koko, 4) Salam Manis, 5) Lagu-lagu Mang Koko, 6) Tepung di Lamping Galunggung, 7) Adu Asih, 8) Guntur Galunggung, 9) Puji-pujian, Hamdan dan Al Iman, 10) Sariak Layung.

(37)

c. Observasi

Teknik ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan dan kedudukan peneliti dan sifat penelitian. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Observasi dikhususkan kepada hal-hal yang berhubungan dengan 1) keberadaan organisasi Ganda Mekar dan Cangkurileung yang dibangun oleh Mang Koko, dan 2) proses pembelajaran karya-karya Mang Koko yang diterapkan di lembaga pendidikan seni formal seperti di Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN 10 Bandung), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan di Jurusan Pendidikan Musik FPBS UPI Bandung, 3) karya-karya Mang Koko yang digunakan di masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencari tahu kemungkinan adanya grup karawitan yang menggarap karya-karya Mang Koko sebagai materi pentasnya.

d. Wawancara

Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan terarah sesuai tujuan penelitian. Pelaksanaan wawancara dipandu dengan pedoman wawancara yang berisi poin-poin masalah yang digali di lapangan, dengan harapan seluruh poin yang dibicarakan dapat berkembang lagi sesuai fokus penelitian.

(38)

Wawancara mendalam dilakukan kepada beberapa nara sumber yang dipandang kompeten dan memiliki cakrawala keilmuan tentang karawitan Sunda gaya Mang Koko, baik konsep maupun praktik atas objek penelitian. Selain bentuk wawancara tersebut di atas, dilakukan pula wawancara dengan terstruktur dan tidak terstruktur, hal ini dilakukan guna menggali data sebanyak-banyaknya. Wawancara mendalam dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap tepat guna mendapatkan data yang rinci, dan dilakukan berkali-kali sesuai dengan keperluan dan kejelasan masalah yang diteliti.

Nara sumber utama yang dipilih antara lain para budayawan, seniman, tokoh karawitan Sunda yang mengenal Mang Koko, nara sumber lainnya berasal dari berbagai kalangan yang memiliki kemampuan dalam bidang seni karawitan, sastra, dan budaya Sunda, seperti: kerabat/keluarga, kolega, murid Mang Koko, para pengrawit karawitan gaya Mang Koko, pelatih, dosen STSI Bandung, Guru SMKN 10 yang dahulu dinamakan KOKAR (Konservatori Karawitan) Bandung, dan tokoh seni lainnya, semua itu dianggap mengetahui tentang Mang Koko dan karya-karyanya.

Pengumpulan data wawancara mengenai latar belakang kesenimanan dan proses kreatif Mang Koko dilakukan pertama kali kepada keluarga Mang Koko. Wawancara dilakukan dengan putra-putri Mang Koko, antara lain: 1) Tatang Benyamin Koswara,

(39)

anak kandung Mang Koko, pewaris dan penerus karawitan Sunda gaya Mang Koko, juga pengelola Yayasan Cangkurileung, pensiunan guru SMKN 10 Bandung; 2) Ida Rosida Koswara, adik Tatang Benyamin, guru karawitan di SMKN 10 Bandung, banyak berperan sebagai pewaris dan penerus karawitan Sunda gaya Mang Koko termasuk berperan sebagai fasilitator, transformator, kolektor, mediator, dan aktor dalam menjaga keberlanjutan karya-karya Mang Koko; 3) Tati Rosmiati, anak pertama Mang Koko; 4) Cecep Bastadi, anak kedua Mang Koko; 5) Titin Rostini, anak keenam, dosen dan Ketua Jurusan Bahasa Jepang di STBA Bandung; dan 6) Nia Henrita, anak ketujuh, guru SMP Negeri 15 Bandung. Data yang digali dari putra-putri Mang Koko tersebut adalah faktor-faktor kebiasaan Mang Koko dalam kesehariannya di lingkungan keluarga, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif Mang Koko.

Wawancara berikutnya dilakukan kepada orang-orang yang memiliki keterikatan sejarah dengan aktivitas kreatif Mang Koko membuat karya seni dan mengajar karawitan. Data-data yang digali adalah data-data yang berhubungan dengan proses kreatif Mang Koko, kolaborasi penciptaan, repertoar kawih kacapian dan aransemennya, tema, karakter, kekhasan senggol, dan pola pembelajaran dan atau pelatihan, laras dan surupan di dalam kawih kacapian maupun gamelan wanda anyar.

(40)

Nara sumber ini di antaranya adalah: 1) Pandi Upandi, dosen di jurusan Karawitan STSI (sekarang ISBI) Bandung; Wahyu Wibisana, sastrawan dan penulis rumpaka lagu; 2) Deddy Widiyangiri, sastrawan dan penulis rumpaka lagu, pada tanggal 23 Desember 2010 yang berlokasi di Bandung. Wahyu Wibisana dan Deddy Widiyangiri merupakan tokoh-tokoh yang pernah berkolaborasi dengan Mang Koko, membuat sastra lagu (rumpaka) yang digunakan dalam kekaryaan karawitan Sunda gaya Mang Koko; 3) Maman SWP, meninggal 26 Mei 2013, semasa hidupnya Maman dikenal sebagai seorang pemain kacapi gaya Mang Koko terhebat di Bandung, setelah Tatang Benyamin Koswara; 4) Eka Gandara WK, pensiunan dosen STSI Bandung jurusan Teater, mantan anggota grup Ganda Mekar, pasangan duet vokal bersama Ida Rosida dalam album rekaman lagu-lagu kawih kacapian; 5) Atang Warsita, mantan anggota grup Ganda Mekar, pensiunan guru karawitan di SMKNegeri 10 Bandung, penerus misi Mang Koko dalam menciptakan lagu-lagu untuk pendidikan tingkat sekolah dasar dan lanjutan.

Selanjutnya, data yang terkait dengan masalah pengaruh wanda anyar pada kesenian lainnya didapat dari wawancara dengan Engkos Warnika dan Ganjar Akhdiat. Data yang berhubungan dengan kacapi siter banyak digali dari hasil wawacara bersama Riskonda.

(41)

Penggalian data persebaran karya-karya Mang Koko di masyarakat, dibagi dalam dua kelompok masyarakat pengguna, yakni: 1). Masyarakat seniman tradisi; dan 2). Masyarakat pendidik. Wawancara terhadap masyarakat seniman tradisi dilakukan kepada Edih AS, pensiunan penilik kebudayaan yang merangkap sebagai pengurus Pepadi kabupaten Subang, yang juga aktif dan kreatif sebagai pencipta lagu-lagu kawih baik dalam bentuk kawih kacapian, degung, maupun kawih kepesindenan, dan mantan pengurus Yayasan Cangkurileung Cabang Kabupaten Subang. Data yang digali dari Edih AS. adalah sekitar tanggapan masyarakat seniman tradisi terhadap karya-karya Mang Koko terutama gending wanda anyar. Wawancara dengan masyarakat pendidik diwakili oleh beberapa guru kesenian, diantaranya: 1) Yayat, guru kesenian di SMPNegeri II Cimalaka, Sumedang; 2) Nugraha, pensiunan guru SMA Negeri II Subang; 3) Jajat Sudrajat, guru SMPNegeri II Cikareo, Sumedang; 4) Ade Ahmad Yani, Kepala Sekolah SMPNegeri Labuhan, Banten.

3. Teknik Pengolahan dan analisis Data

Pada penelitian naturalistik ini pengolahan dan analisis data ditujukan untuk memperoleh data yang credible. Kredibilitas data merupakan ukuran ketepatan data supaya hasil penelitian yang dilakukan akurat dan dapat dipercaya. Guna memperoleh data

(42)

yang valid dan kredibel dilakukan triangulasi, yang tujuannya untuk me-ricek data bahwa data yang diperoleh convergen (meluas), tidak kontradiktif, konsisten, dan pasti. Teknik triangulasi data itu sesuai dengan masalah penelitian yang berasal dari berbagai sumber, yakni dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi dan pustaka sehingga data yang didapatkan cukup valid.

Gambar 2

Bagan triangulasi pengembangan data penelitian (Gambar dibuat oleh Rasita Satriana, 2015)

Di dalam analisis data penelitian yang bersifat kualitatif ini, digunakan konsep interaksi dengan beberapa langkah dan komponen-komponennya yang diadaptasi dari model analisis Miles dan Huberman yang meliputi tahap reduksi, penyajian data, dan verifikasi, sebagaimana tergambar dalam bagan berikut.

observasi Dokumentasi

pustaka wawancara

(43)

Gambar 3 Model analisis data

(Gambar dibuat oleh Rasita Satriana, 2015)

Model analisis data tersebut diadaptasi dari Konsep Analisis Data Kualitatif Huberman.38

1. Reduksi data, sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Analisis reduksi dilakukan untuk memilih dan memilah data-data tentang karawitan Sunda gaya Mang Koko yang dilaksanakan selama penelitian berlangsung dengan fokus utama tentang masalah proses terbentuknya gaya karawitan, pengaruh karawitan gaya Mang Koko terhadap kehidupan karawitan Sunda lainnya

38 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis.

Terjemahan: Tjetjep Rohendi Rohidi, Analisis data Kualitatif, Buku sumber tentang metode-metode baru (Jakarta: Universitas Indonesia - UI Press, 1992), 20. Pengumpulan data Penyajian data Reduksi data Kesimpulan / Verifikasi

(44)

dan ciri-ciri musikal serta pemetaan karya Mang Koko. Untuk menjaga validitas data, digunakan instrumen melalui kegiatan tanya jawab langsung dan diskusi dengan rekan-rekan dosen dari ISBI Bandung yang dipandang memiliki kapasitas tentang data yang digunakan.

2. Penyajian data, merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data yang tidak disajikan dengan baik akan memberikan dampak yang jelek dan membingungkan, yang akhirnya akan menghasilkan data yang tidak terarah dan sulit untuk merumuskan kesimpulan. Artinya pada tahapan ini setelah data disajikan kemudian direduksi dengan sistem memilah dan memilih data untuk diolah dan dianalisis. Setelah penentuan data yang sesuai kemudian dilakukan analisis data-data secara cermat, terutama data yang terkait dengan ciri-ciri musikal dan unsur-unsurnya.

3. Verifikasi, menarik kesimpulan, yaitu untuk memulai mencari arti dan mencatat keteraturan sesuai hasil catatan data-data yang dikumpulkan dari lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, metode pencarian ulang, semua langkah tersebut dipergunakan sesuai dengan kecakapan peneliti.

(45)

Penerapan model tersebut di atas dilakukan setelah keseluruhan data penelitian terkumpul, langkah kerjanya adalah diawali dengan pengolahan data tentang konsep, teori dan data hasil temuan lapangan, evaluasi dilakukan untuk memilah data yang relevan dan yang tidak relevan dengan topik yang dikaji. Data terpilih kemudian diidentifikasi ulang, diberi kode, diklasifikasi, dan dianalisa lebih cermat sesuai dengan landasan teori yang telah ditetapkan.

Pada proses ini pun dilakukan pengkategorisasian data sesuai dengan pertanyaan penelitian. Data hasil dari transkripsi kemudian dianalisis. Analisa komparasi dilakukan untuk mencari ciri-ciri musikal dari karawitan gaya Mang Koko. Cara ini diharapkan mampu menggali proses terbentuknya olah kreatif yang mengantarkan pada perumusan konsep gaya karawitan Mang Koko.

Tahap terakhir dari rangkaian kerja penelitian ini adalah penyusunan laporan. Bukti pertanggungjawaban akademik atas serangkaian kegiatan penelitian dari yang telah direncanakan dan telah dilakukan, hingga menjadi sebuah laporan dalam bentuk disertasi yang dapat dibaca.

(46)

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan laporan disertasi ini permasalahannya disusun sebagai berikut:

Bab I. Pengantar, membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian.

Bab II. Proses Kesenimanan Mang Koko, pada bab ini dibahas tentang: profil dan karakter yang menonjol, pandangan dan pemikiran, serta proses kreatif dan riwayat kreativitas.

Bab III. Analisis Tekstual Karawitan Sunda Gaya Mang Koko, di dalamnya membahas tentang ciri musikal karawitan Sunda gaya Mang Koko.

Bab IV. Pengaruh Karawitan Gaya Mang Koko terhadap Perkembangan Karawitan Sunda, bahasannya meliputi sistem sosialisasi, popularitas Mang Koko, dan karya-karya baru karawitan Sunda.

Bab V. Kesimpulan, yaitu menyimpulkan tentang proses pembentukan, ciri musikal dan pengaruh karawitan gaya Mang Koko terhadap perkembangan karawitan Sunda.

Gambar

Gambar 3   Model analisis data

Referensi

Dokumen terkait