BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Induktif
Failure Mode and Effect Analysis mengedepankan penggunaan analisis penyebab
kegagalan dan dampaknya sebagai alat pencegahan dalam mengontrol kualitas proses produksi pada suatu perusahaan. Untuk itu, penerapan pendekatan dengan metode ini memungkinkan untuk mengambil langkah atau tindakan memperbaiki suatu proses pengoperasian manajemen mutu secara sistemik. Failure mode and effect analysis dapat digunakan sebagai dokumen atau record untuk mengidentifikasi sesuatu hal yang berpotensi adanya kesalahan seperti membuat kecacatan atau tidak sesuai spesifikasi yang telah ditentukan dalam proses produksi suatu produk. Berdasarkan hasil yang diteliti terdapat dua jenis failure mode yaitu machining (milling, drilling, theading) memiliki nilai RPN terbesar yaitu 84 sedangkan Washing Processing memiliki nilai RPN sebesar 48. Kecacatan atau failure terbesar diakibatkan seringnya terjadi gesekan antar tools yang menyebabkan keausan pada mesin tersebut sehingga perawatan mesin tersebut dilakukan setelah mesin melakukan proses operasi setiap 1000 pcs (Barosz et al, 2017).
Penelitian yang dilakukan Wang et al (2018) bahwa failure mode and effect
analisys (FMEA) merupakan salah satu metode analisis risiko yang paling efektif dan
telah banyak diadopsi oleh berbagai bidang dalam meningkatkan keamanan dan keandalan sistem. Evaluasi risiko dan penentuan prioritas mode kegagalan merupakan masalah penting dalam pendekatan FMEA dan kemudian dianggap sebagai hambatan dalam menentukan MCDM (multi-criteriadecision) sehingga penerapan metode ini tentu memiliki dampak yang besar untuk memvalidasi efektivitas model perbaikan sistem yang baru berdasarkan faktor – faktor resiko yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan summary (RPN). Hasil penggunaan sistem FMEA dengan MCDM yaitu terdapat 10 kategori failure yang tercatat dan berdasarkan grafik MCDM yang memiliki nilai RPN terbesar dan merupakan kegagalan paling berbahaya yaitu Failure
Mode 5 (FM 5). Pendekatan FMEA tentu memiliki berbagai kelemahan makadari itu perlu adanya dorongan dari metode lain untuk menyempurnakannya. Metode yang sempurna untuk berkolaborasi dengan metode ini yaitu dengan menggunakan pendekatan AHP sehingga model prioritas risiko baru dapat efektif dalam membantu menganalisis mode kegagalan yang berisiko tinggi dan menciptakan strategi pemeliharaan yang sesuai. FMEA yang diusulkan dapat mengatasi kekurangan dan meningkatkan efektivitas FMEA tradisional. Khususnya, ketergantungan serta interaksi antara berbagai mode kegagalan telah diatasi dengan metode analisis kegagalan baru disempurnakan. Berdasarakan hasil yang didapatkan terdapat beberapa skala prioritas jika menggunakan metode AHP dan juga failure yang ada dikelompokkan berdasarkan kategori resiko berdasarkan nilai RPN nya. Dan hasil yang didapat terdapat dua kategori kelompok failure yaitu The cause group dan The effect group (Hu-Chen et al, 2015).
Kunci penting dalam mengetahui perilaku kegagalan adalah dengan merancang program pemeliharaan terhadap suatu sistem. Metode yang paling tepat yaitu dengan menggunakan FMEA karena berguna untuk menilai tingkat kritis suatu kegagalan pada sistem sehingga perlu adanya kolaborasi antara FMEA dan FTA agar kedua metode tersebut mampu mengupas secara lebih mendalam terhadap suatu resiko kegagalan. Berdasarakan hasil yang didapat terdapat 18 penyebab terjadinya kegagalan dengan 6 diantaranya harus dilakukan action control sesegera mungkin karena nilai RPN sudah memasuki kategori High (Peeters et al, 2018). Terdapat usaha untuk mencoba mengembangkan Failure Mode dan Effect Analysis (FMEA) yang dimodifikasi sebagai sarana untuk mengakses kekritisan waste dalam operasi pengendalian mutu. Kemudian dalam upaya untuk memfasilitasi pengambilan keputusan serta menilai kekritisan terjadinya waste dibagian pemeliharaan, model yang ada kemudian diperbaiki untuk menentukan peringkat risiko mode pemeliharaan dengan menggunakan Waste Priority
Waste (WPN) yang telah diusulkan. Kesimpulan yang dapat diangkat yaitu metode FMEA
bukan saja digunakan untuk mengidentifikasi kecacatan suatu proses namun juga dapat dikembangkan untuk maintenance waste dengan hasil tertinggi yang memiliki WPN yaitu
duplicating maintenance data sebesar 230. (Sutrisno et al, 2015). Terdapat pembahasan
mendetail mengenai fungsi dan kelebihan penggunaan FMEA pada suatu proses produksi namun lebih sempurna tingkat pencegahan terjadinya failure mode jika metode tersebut dilengkapi dengan fault tree analysis (FTA) sehingga kedua metode tersebut bisa saling
melengkapi untuk mengeleminasi failure list yang ada. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil FCU3 dan FCU2 yang memiliki nilai RPN tertinggi dan juga FTA yang paling detail sehingga assembly technology terhambat akibat failure (Povolotskaya, E. & Mach, P. 2013).
Ada dua fase utama dalam metode FMEA. Fase pertama berkaitan dengan identifikasi mode kegagalan potensial dan pengaruhnya. Hal ini termasuk dalam menentukan potensi kegagalan komponen produk, sub-rakitan, perakitan akhir dan proses manufakturnya, dan fase kedua berkaitan dengan melakukan analisis kekritisan untuk menentukan tingkat keparahan mode kegagalan dengan mengevaluasi dan memberi peringkat (RPN) di setiap kegalan sesuati dengan tingkat kekritisan suatu failure (Mirghafoori et al. 2014). Sedikit kekurangan dari penggunaan metode FMEA tradisional yaitu kurang akurat dalam menentukan keputusan melakukan suatu perbaikan. Hal tersebut terjadi karena pemberian risk priority number (RPN) sering mengalami kesalahan sehingga perlu dikembangkan dengan menggunakan metode CORPAS yang bertujuan untuk menentukan urutan peringkat dari mode kegagalan yang ada (Wang, Z. L. et al, 2017). Nilai occurrence, nilai detection dan nilai severity seringkali kurang akurat jika hanya dilihat dari visualnya saja namun juga harus dicek hingga kedalam proses yang sedang berlangsung. Namun perbaikan yang dilakukan tetap harus memperhatikan skala prioritas yaitu nilai RPN tertinggi ke RPN terendah (Novrizal, D & Kurniawan, P. P, 2013).
Metode failure mode and effect analysis memiliki beberapa fokus kerja, salah satunya yaitu Software failure mode and effect analysis (SFMEA). Hal ini menunjukkan bahwa analisis untuk mengindentifikasi kesalahan (failure) bukan hanya mesin, peralatan, design dan manufaktur namun juga terhadap aplikasinya. Untuk itu, perlu adanya modifikasi FMEA agar penggunaannya dapat mencegah terjadinya kegagalan system yang berulang (Vanyi, 2016). Analisis mode kegagalan dan evaluasi efek dari suatu proses produksi memiliki hubungan sebab-akibat dalam mengetahui kemungkinan cacat produk atau suatu proses yang disebabkan oleh ketidakteraturan timing process yang terjadi selama proses produksi. Dalam penggunaan metode FMEA perlu diperhatikan sepuluh skala poin (indikator) yang ada agar pemberian skor pada severity,
2.2 Kajian Deduktif 2.2.1 Kualitas Produk
Kualitas produk adalah sekumpulan ciri-ciri karakteristik dari barang dan jasa yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang merupakan suatu pengertian dari gabungan daya tahan, keandalan, ketepatan, kemudahan pemeliharaan serta atribut-atribut lainnya dari suatu produk (Japarianto, 2013). Kualitas produk merupakan faktor penentu kepuasan konsumen setelah melakukan pembelian dan pemakaian terhadap suatu produk. Jika mutu produk yang diterima lebih tinggi dari yang diharapkan, maka kualitas produk yang dipersepsikan akan memuaskan. (Irawan, D. & Japarianto, E., 2013). Pentingnya kualitas suatu produk, komponen atau sistem dalam ilmu engineering dapat mempengaruhi baik dan buruknya mutu atau kualitas sehingga kualitas suatu produk, komponen atau sistem merupakan factor penting untuk menjadi prioritas yang harus diterapkan pada suatu perusahaan (Kiefer et al, 2017).
2.2.2 Mesin dan Peralatan Produksi
Perkembangan teknologi mesin industri yang semakin meningkat akan mendorong semua perusahaan industri agar dapat mengadopsi teknologi tersebut untuk menghasilkan produk yang berkualitas terlepas dari biaya investasi yang harus dikeluarkan (Jasasila, 2017). Mesin dan peralatan proses produksi merupakan satu kesatuan yang sangat memperngaruhi sistem penciptaan produk. Dengan adanya mesin dan peralatan produksi, target pembuatan produk dan permintaan konsumen bisa tercapai namun perlu adanya perhatian khusus untuk mengontrol kestabilan mesin dan peralatan produksi agar dapat mencegah terjadinya kerusakan atau mengurangi frekuensi kerusakan yang sering terjadi (Behnam E. M, 2014).
Menurut Rizal (2013) penjelasan dari Aliran Data untuk mengetahui kerusakan mesin yaitu sebagai berikut:
1. Pada proses ini sistem akan melakukan pengecekan sebab kerusakan terhadap jenis kerusakan yang dipilih oleh user. Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data dari sumber data yang ada pada tabel tindakan perbaikan. Pada saat proses ini berlangsung, peran sang user sangat mempengaruhi karena user yang akan memilih opsi-opsi yang ada dalam sistem pakar. Sehingga data jenis kerusakan yang
dimasukkan oleh user akan mempengaruhi hasil akhir dari diagnosis yang akan dilakukan oleh sistem pakar.
2. Pada proses ini, setelah sebab kerusakan ditemukan maka sistem akan melakukan pengecekan tindakan perbaikan terhadap jenis kerusakan yang dipilih oleh user. Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data dari sumber data yang ada pada tabel tindakan perbaikan.
3. Pada proses ini, data yang telah direkam kemudian akan dicocokkan dengan sumber data pada tabel tindakan perbaikan. Setelah data tersebut didiagnosis, maka akan muncul hasil akhir yang berupa hasil diagnosa (solusi) yang akan digunakan oleh
user.
4. Proses ini adalah proses update yang hanya dilakukan oleh pakar yang telah diakui oleh pengguna sistem. Yang bertujuan untuk memodifikasi sumber data pada tabel tindakan perbaikan. Pada proses ini, pakar dapat memberikan masukan pada sistem berupa masukan update knowledge base jika hal tersebut dirasakan perlu.
2.2.3 Manajemen Perawatan
Menurut Sahoo & Yadav (2018) sebagian besar perusahaan manufaktur melakukan pemeliharaan dan praktik manajemen kualitas yang memiliki kecenderungan untuk kembali ke kebiasaan lama dalam praktik tradisional, sehingga semakin merusak proses standardisasi. Selanjutnya jika tidak cukup memiliki wawasan tentang manajemen dan kemampuan organisasi maka akan berakibat pada kesalahan penerapan praktik manajemen kualitas sehingga menyebabkan kegagalan kualitas produk dan peningkatan pengeluaran (Manohar, J. & Majumdar, B. M. 2016). Kegiatan pemeliharaan mesin yang diperlukan oleh perusahaan industri, tentunya berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas berproduksi. Adapun tujuan utama fungsi pemeliharaan adalah untuk menjaga agar kemampuan produksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana produksi pada tingkat yang tepat agar memenuhi apa yang dibutuhkan oleh produk itu sendiri dan kegiatan produksi yang tidak terganggu dan juga untuk membantu mengurangi pemakaian dan penyimpangan yang diluar batas dan menjaga modal yang diinvestasikan dalam perusahaan selama waktu yang ditentukan sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan mengenai investasi tersebut (Jasasila, 2017).
Mesin dan peralatan proses produksi yang bekerja secara terus menerus akan mengalami keausan atau kerusakan yang diakibatkan berbagai factor mulai dari kesalahan sistem hingga tidak ada controlling. Untuk itu salah satu cara yang efisien untuk mengurangi frekuensi terjadinya kerusakan mesin dan peralatan produksi yaitu dengan pemeliharan preventif (Rosales et al, 2018). Kegiatan pemeliharaan diperlukan untuk mempertahankan atau mengembalikan peralatan ke keadaan tertentu dan menjamin layanan yang diinginkan. Terdapat dua kalsifikasi pemeliharaan yaitu Pemeliharaan Korektif (CM) dan Preventive Maintenance (PM) strategi. CM digunakan untuk mengembalikan (memperbaiki atau mengganti) beberapa peralatan ke fungsi yang diperlukan setelah gagal, sementara PM melibatkan kinerja kegiatan pemeliharaan sebelum kegagalan peralatan terjadi. Pemeliharaan preventif dapat efektif untuk mempertahankan mesin dengan tingkat keandalan yang tinggi. Namun, menerapkan kegiatan perawatan terjadwal juga dapat menyebabkan ketidaktersediaan mesin rusak atau yang bermasalah saat pemeliharaan sedang dilakukan (Xiao et al, 2016).
2.2.4 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah metodologi yang kuat yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan menganalisa potensi risiko (Wessiani, N. A. & Sarwoko, S. O, 2015). Metode FMEA juga direkomendasikan oleh standar internasional sebagai salah satu teknik analisis risiko. Dengan menerapkan metodologi ini, perusahaan dapat memiliki proses yang sistematis untuk mengidentifikasi potensi kegagalan untuk memenuhi fungsi yang dimaksudkan, untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab kegagalan sehingga penyebabnya dapat dihilangkan serta untuk menemukan kegagalan dampaknya sehingga dampaknya bisa dikurangi (Dyadem E, 2015). Kegagalan dikelompokkan berdasarkan dampak yang diberikan terhadap kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem. Secara umum, FMEA didefinisikan sebagai sebuah metode yang mengidentifikasi tiga hal yaitu (Hanif et al, 2015):
1. Penyebab kegagalan yang potensial dari produk, desain, system dan proses yang sedang berlangsung.
2. Efek atau dampak yang ditimbulkan dari suatu kegagalan yang terjadi pada suatu produk, komponen atau sistem.
FMEA terbagi kedalam beberapa jenis sesuai dengan fokus record failure sistem, jenis – jenis sebagai berikut:
1. Process Failure Mode and Effect Analysis (PFMEA) merupakan metode pencegahan yang penting untuk menjaga mutu atau kualitas suatu komponen atau sistem yang berfokus kepada bahan dan material yang digunakan sehingga mampu mengambil keputusan berdasarkan tingkat keparahan, probabilitas kejadian dan deteksi mode kegagalan untuk meningkatkan kualitassuatu komponen atau sistem (Mikos et al, 2016).
2. Design Failure Mode and Effect Analysis (DFMEA) berfokus pada kekurangan yang terkait desain dengan penekanan pada peningkatan desain dan memastikan operasi atau proses pembuatan produk aman dan tepat selama peralatan berjalan dengan normal (Carlson, C. S, 2014).
3. Software Failure Mode and Effect Analysis (SFMEA) merupakn metode yang memiliki tujuan utama untuk menemukan cacat pada perangkat lunak atau jalur sistem yang mengalami kegagalan pada perangkat lunak yang dapat merambat kedalam sistem pusat pada perangkat lunak dan juga mampu mempengaruhi keamanan sistem dimana perangkat lunak dipasang (Gee-Yong et al, 2014).
Menurut Anugrah et al (2015) beberapa terminologi yang berhubungan dengan penggunaan Failure Mode and Effect Analysis adalah sebagai berikut:
1. Component merupakan komponen suatu sistem atau alat yang sedang dilakukan analisis.
2. Potential Failure Mode menjelaskan atau menggambarkan cara dimana sebuah produk atau proses bisa gagal untuk melaksanakan fungsi yang diperlukan.
3. Failure Effect adalah dampak atau akibat yang ditimbulkan jika komponen tersebut gagal atau mengalami kendala seperti yang telah disebutkan dalam potential failure
mode.
4. Severity (S) merupakan menentukan seberapa serius dan bahaya suatu kondisi yang diakibatkan pada suatu komponen jika terjadi kegagalan sesuai yang disebutkan dalam Failure Effect.
5. Causes merupakan penyebab atau sumber yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pada suatu komponen sehingga mampu mengganggu fungsi utama dari suatu komponen atau sistem.
6. Occurance (O) pemeringkatan seberapa sering penyebab kegagalan spesifik dari suatu sistem tersebut terjadi. Metode yang terbaik untuk menetukan rating occurence adalah menggunakan data aktual yang ada, jika data aktual tidak ada, tim harus memperkirakan seberapa sering suatu failure mode terjadi.
7. Detection (D) menunjukkan tingkat kemungkinan lolosnya penyebab kegagalan dari kontrol yang sudah dipasang.
8. Risk Priority Number (RPN) merupakan hasil perkalian bobot dari severity, occurance dan detection. RPN juga berguna sebagai alat tolak ukur untuk dibandingkan dengan New RPN setelah dilakukan perbaikan atau action.
Adapun penentuan kategori berdasarkan nilai severity, occurance dan detection (J Piatkowski, 2017) :
Tabel 2.1 Rating Saverity (S)
Rating Kriteria
1 2
The defect does not affect the quality (Bentuk kegagalan
tidak mempegaruhi kualitas) tidak menimbulkan dampak yang begitu berarti atau dapat diabaikan.
3 4
Very low and Low (Kegagalan berpengaruh ringan).
Menimbulkan dampak yang sangat kecil dan memerlukan biaya perbaikan yang rendah
5 Transitory (Kegagalan yang menimbulkan sedikit
kesulitan).
6 Avarage (Kegagalan menyebabkan kualitas produk
sedikit terpengaruh)
7 Significant (Kegagalan berdampak signifikan). Perlu
adanya sedikit perbaikan produk atau sistem. 8
High (Kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang
tinggi) Perbaikan yang dilakukan menggunakan biaya besar
9 Very High (Kegagalan yang terjadi mempengaruhi
kelayakan dan kegunaan produk atau sistem).
10 Product Rejection (Kegagalan yang terjadi menyebabkan
kerusakan total)
Tabel 2.2 Rating Occurance (O)
Rating Probabilitas Kegagalan No. dari Kegagagalan 1 Tidak mungkin terjadinya
kegagalan
<1 per 1.000.000
2 1 per 100.000
3 Kegagalan sangat jarang terjadi
1 per 50.000
Rating Probabilitas Kegagalan No. dari Kegagagalan 5 Kegagalan hanya terjadi
sesekali
1 per 5000
6 1 per 1000
7 Kegagalan terjadi secara berulang diarea yang sama
1 per 600
8 1 per 400
9
Kegagalan selalu berulang 1 per 100
10 1 per 10
Tabel 2.3 Rating Detection (D)
Rating Kategori Tingkat Mendeteksi
1
Sangat Tinggi
Sangat besar kemungkinan untuk mendeteksi penyebab yang berpotensi merusak 2
3
Tinggi
Besar kemungkinan untuk mendeteksi penyebab yang berpotensi merusak
4 5
Sedang
Sedang kemungkinan untuk mendeteksi penyebab yang berpotensi merusak
6 7
Rendah
Kecil, kemungkinan untuk mendeteksi penyebab yang berpotensi merusak
8 9
Sangat Rendah
Mustahil, kemungkinan untuk mendeteksi penyebab yang berpotensi merusak 10
Tabel 2.4 Penentuan Kategori Resiko Nilai Risk Priority
Number (RPN)
Kategori Perlakuan
192 - 1000 Tinggi Lakukan perbaikan saat ini 65 - 191 Sedang Upaya untuk melakukan
perbaikan
0 – 64 Rendah Resiko dapat diabaikan
Mode kegagalan didefinisikan sebagai cara di mana komponen, subsistem, sistem, proses memiliki potensi tidak dapat memenuhi desain atau mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan didefinisikan sebagai kelemahan yang dapat menyebabkan kegagalan. Untuk setiap mode kegagalan yang teridentifikasi, efek utamanya perlu ditentukan yang biasanya dilakukan oleh tim FMEA. Efek kegagalan didefinisikan sebagai hasil dari mode kegagalan pada fungsi produk / proses yang dirasakan oleh pelanggan. Tujuan RPN
adalah untuk menentukan peringkat berbagai parameter; perhatian harus diberikan untuk setiap metode yang tersedia untuk mengurangi RPN Nomor Prioritas Risiko (RPN) adalah produk dari Severity (S), Occurence (O), dan Detection (D) dan dihitung oleh formula (Mirghafoori et al, 2014):
RPN = S x O x D (2.1)
Dengan,
S = Severity O = Occurance D = Detection
RPN = Risk Priority Number
2.2.5 USE (Usefulness, Satisfaction and Ease for use)
Usability merupakan salah satu parameter penting pada pengukuran kualitas sistem
informasi atau perangkat lunak. Usability mengacu pada efektivitas, efisiensi dan kepuasan pengguna. Tingkat usability yang tinggi biasanya berkaitan erat dengan populernya dan tingginya pemanfaatan sistem / perangkat lunak tersebut oleh user untuk membantu tugas mereka. Sistem dengan tingkat usability rendah biasanya pada akhirnya akan ditinggalkan oleh user. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui tingkat usabilitas suatu sistem. Hasil pengukurannya dapat digunakan sebagai masukan berharga untuk memperbaiki sistem tersebut di masa mendatang (Aelani, K. & Falahah. 2013).
Kategori kuisioner yang berkaitan tengang USE untuk melakukan usability testing selengkapnya sebagai berikut (Lund A.M, 2013):
a. Usefulness (Kebergunaan)
Dalam kategori ini menggambarkan seberapa efektif dan efisien pemanfaatan suatu sistem. Agar dapat dikatakan efektif dan efisien maka suatu sistem harus memenuhi:
1. It helps me be more effective.
2. It helps me be more productive.
3. It is useful.
4. It gives me more control over the activities in my life.
6. It saves me time when I use it.
7. It meets my needs.
8. It does everything I would expect it to do.
b. Ease of Use (Kemudahan Penggunaan)
Kategori ini menggambarkan seberapa mudah pemanfaatan suatu sistem dioperasikan. Agar dapat dikatakan mudah maka suatu sistem harus memenuhi:
1. It is easy to use.
2. It is simple to use.
3. It is user friendly.
4. It requires the fewest steps possible to accomplish what I want to do with it. 5. It is flexible.
6. Using it is effortless.
7. I can use it without written instructions.
8. I don't notice any inconsistencies as I use it.
9. Both occasional and regular users would like it.
10. I can recover from mistakes quickly and easily.
11. I can use it successfully every time.
c. Ease of Learning (Kemudahan mempelajari)
Dalam kategori ini menggambarkan seberapa mudah pemanfaatan suatu sistem untuk dipahami. Agar dapat dikatakan mudah untuk dipahami maka suatu sistem harus memenuhi:
1. I learned to use it quickly.
2. I easily remember how to use it.
3. It is easy to learn to use it.
4. I quickly became skillfull with it.
d. Satisfaction (Kepuasan)
Kategori ini menggambarkan tingkat kepuasan pengguna terhadap pemanfaatan suatu sistem. Agar dapat dikatakan memiliki kepuasan yang tinggi maka suatu sistem harus memenuhi:
2. I would recommend it to a friend.
3. It is fun to use.
4. It works the way I want it to work.
5. It is wonderful.
6. I feel I need to have it.
7. It’s Pleasant to use.
Usability testing menggambarkan tentang fungsi atau kegunaan dari suatu sistem yang
sedang digunakan dengan melakukan pengukuran sejauhmana keberhasilan penerapan suatu sistem yang dapat dirasakan oleh pengguna dalam mencapai suatu tujuan dari penggunaan sistem tersebut. Hasil pengukuran keberhasilan diekpresikan secara empiris dan data yang digunakan secara kualitatif (Kusuma et al. 2016).
Gambar 2.1 Summary of Usability Testing Sumber : Wahyu et al, 2016