• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II UPAH (UJRAH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II UPAH (UJRAH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

15

Ujrah dan merupakan dua kata yang berbeda tetapi satu

pembahasan. Maka dari itu penulis membahas terlebih dahulu dan kemudian membahas tentang ujrah. Secara etimologi berarti bay’ al

manfa’ah (menjual manfaat), baik manfaat suatu benda maupun jasa atau

imbalan dari tenaga seseorang (Rachmat Syafe’I 2004,277). Menurut jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya.

Ijarah dalam kamus hukum adalah sewa-menyewa atau upah-mengupah

baik untuk barang maupun jasa. ini bisa menjadi perantara orang yang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja dengan orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang mendapat keuntungan dan kedua belah pihak saling mendapatkan manfaat.

Pengertian upah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu seperti gaji (W.J. S. Poerwadarminta 2006,1345). Ada perbedaan terjemahan kata dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti para buruh bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam dua minggu, atau satu kali dalam sebulan, dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut (Suhendi 2003,113) . Pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajir, adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir, dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang

(2)

diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ajarah atau ujrah (Sayyid Sabiq 2006,203).

Ada beberapa ulama berpendapat tentang ijarah ini, diantaranya sebagai berikut

1.1 Menurut Imam Hanafi ijarah adalah

دٌ قْ عَ

ىعَلعَ

فِ فِا عَ عَ قْا

ضٍ فِ فِ فِ

“Transaksi suatu manfaat dengan suatu imbalan” (al-Jaziri,1972,94)

1.2 Menurut Imam Syafi’I adalah:

ضٍ قْ صُلقْ عَ ضٍ عَ فِ فِ فِ عَاعَ فِ قْ عَ فِ قْ عَ قْلفِا ضٍ عَلفِ عَ ضٍ عَا عَ صُ ضٍ عَ قْ صُلقْ عَ ضٍ عَ قْ صُ قْ عَ ضٍ عَ عَ قْنْ عَ ىعَلعَ دٌ قْ عَ

“Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah

dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.” (Syafe’I,2001,122) 1.3 Menurut ulama Imam Malikiyah dan Hanabilah adalah:

ضٍ قْ صُلقْ عَ ضٍ عَ فِ فِ ةً قْ صُلقْ عَ ةً عَ عَ ضٍ عَ قْ صُلقْ عَ صُ قْنْ عَ ةً عَ قْنْ عَ صُ فِلقْعَ

“Pemilikan manfaat suatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan” (Suwendi,2000,29)

1.4 Menurut al-Sarakhsiy mendefenisikan adalah:

ضٍ عَ فِ فِ ةً عَ عَ قْنْ عَ صُ فِلقْعَ دٌ قْ عَ

“Akad pemilikan manfaat dengan imbalan”

1.5 Menurut Sayyid Sabiq adalah :

جأ ب ثا ىسم ه ، ا ه جلأ ن تش ر جلإ

”di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”. (Sabiq,1971,117)

1.6 Adiwarman A.Karim mendefenisikannya, adalah merupakan hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa. (Karim,2007,138)

(3)

1.7 Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional defenisi ijarah adalah :

“Ijarah adalah akad memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu terentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.” (MUI,2001, 55).

Berdasarkan pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa-menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan kata lain peristiwa sewa-menyewa ini yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, manfaat itu dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah dan manfaat karya pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.

Penetapan upah bagi tenaga kerja harus mencerminkan keadilan, dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan, sehingga pandangan Islam tentang hak tenaga kerja dalam menerima upah lebih terwujud. Sebagaimana di dalam al-Qur’an juga dianjurkan untuk bersikap adil dengan menjelaskan keadilan itu sendiri. Upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan, seharusnya cukup juga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar. Hal ini baik karena perbedaan tingkat kebutuhan dan kemampuan seseorang ataupun karena faktor lingkungan dan sebagainya (G. Kartasaputra 1994, 94).

2. Dasar Hukum Upah (Ujrah)

Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa disyariatkan dalam Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan al-Bashri, al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli. Namun dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).Pada

(4)

dasarnya transaksi ijarah (sewa) disyahkan dalam syari’at. Jumhur Ulama berpendapat bahwa disyariatkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunah, dan ijma’. Pada penjelasan di atas mengenai ujrah telah dituangkan secara eksplisit, oleh karena itu yang dijadikan landasan hukum. Dasar yang membolehkan upah adalah firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

2.1 Landasan al-Qur'an

Al-Qur’an merupakan landasan hukum Islam yang utama sekali, baik itu dalam segi ibadah maupun persoalan muamalah. Allah Swt berfirman dalam surat az-Zukhruf ayat 32 bahwa Allah meluaskan bumi sebagai tempat bagi manusia. Alam yang terbentang menjadi sarana penghidupan manusia.

Surat Az- Zukhruf ayat 32:

                            

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Q.S. Az-Zukhruf: 32). (Departemen Agama RI 1990, 706)

Ayat di atas menegaskan bahwa penganugerahan rahmat Allah, apalagi pemberian waktu, semata-mata adalah wewenang Allah, bukan manusia. Allah telah membagi-bagi sarana penghidupan manusia dalam kehidupan dunia, karena mereka tidak dapat melakukannya sendiri dan Allah telah meninggikan sebagian mereka dalam harta benda, ilmu, kekuatan, dan lain-lain atas sebagian yang lain, sehingga mereka dapat saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu masing-masing saling membutuhkan dalam mencari dan mengatur kehidupannya dan rahmat Allah baik dari apa yang mereka kumpulkan walau seluruh kekayaan dan kekuasan duniawi, sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (M. Quraish Shihab 2000,561).

(5)

Lafadz “sukhriyyan” yang terdapat dalam ayat di atas bermakna “saling menggunakan”. Menurut Ibnu Katsir, lafadz ini diartikan dengan“supaya kalian bisa saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain, karena diantara kalian saling membutuhkan satu sama lain”. Terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian, orang tersebut bisa mempergunakan sesuatu itu dengan cara melakukan transaksi, salah satunya dengan akad ijarah atau sewa-menyewa. (Djuwaini,2010, 166)

Surat Ath-Thalaq ayat 6 :

     

Jika menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah upah kepada mereka” (Q.S. at-Thalaq: 6) (Departemen Agama RI 1990, 877)

Maksud ayat di atas menerangkan bahwa dalam memberikan upah setelah ada ganti, dan yang diupah tidak berkurang nilainya. Seperti: memberi upah kepada orang yang menyusui. Upah ini diberikan sebab menyusui, tidak karena air susunya, tetapi mempekerjakannya. Hal ini juga sebagaimana orang menyewa rumah yang didalamnya ada sumur, boleh mengambil air sumur dan nilai rumah dengan sumur itu tidak berkurang.

Surat al-Baqarah ayat 233 :













































Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Baqarah : 233) (Departemen Agama RI, 2002, 38)

Berdasarkan dalil di atas menunjukan bahwa “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut” menunjukan ungkapan adanya jasa

(6)

yang diberikan berkat kewajiban si penyewa kepada pekerja untuk membayar upah (fee) secara patut.













































Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah Balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. az-Zumar:34-35) (Departemen Agama RI, 2002, 463)

Ayat di atas menjelaskan bahwa upah dalam Al qur'an juga dijelaskan melalui pesan-pesan yang ada kaitannya dengan perintah dan imbalan. Setidaknya manusia diperintahkan untuk beribadah dengan Allah karena ada imbalan pahala dari Allah. Kehidupan sosial, manusia diwajibkan untuk bekerja kepada sesama, agar tercipta interaksi sosial. Melalui interaksi tersebut maka bisa didapatkan sikap saling memberi dan menerima. Sikap tersebut tidak ada bedanya dengan pemaknaan upah dalam lingkup ekonomi. Individu satu dengan yang lain bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan di dalamnya terdapat simbiosis mutualisme (pemberi uang dan penerima uang, pekerja dan penyewa kerja). Pemberi uang adalah mereka para

musta'jir dan penerima uang adalah mereka kaum ajir.

Pada dasarnya musta’jir dan ajir ini sama dengan pengertian pengusaha dan buruh. Sehingga pembayaran atau pemberian uang oleh

musta'jir kepada ajir sama halnya dengan pemberian pengusaha kepada

buruh. Dengan kata lain definisi upah dalam Islam tidak jauh beda dengan definisi upah secara umum. Lebih jelasnya, upah dalam Islam diartikan sebagai hak pekerja yang diterima sebagai imbalan atau ganjaran dari seseorang penyewa tenaga kerja (pengusaha) kepada pemberi sewa atau

(7)

pemilik tenaga kerja (pekerja) atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan sesuai dengan kadar pekerjaan yang dilakukan.

Surat al-Qashas : 26























Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". ( Q.S. al-Qashas : 26) (Departemen Agama RI, 2002, 389)

Ayat di atas menjelaskan tentang musa yang hendak diangkat sebagai pekerja pada keluarga seorang saleh yang memiliki dua anak, semuanya wanita. Sebelumnya Musa telah membantu kedua wanita tesebut saat mengambilkan air untuk minuman tenak mereka. M. Quraish Shihab menafsirkan ayat ini dengan mengatakan salah seorang dari kedua wanita itu yakni yang datang mengundangnya berkata wahai ayahku, pekerjakanlah dia agar ia dapat menangani pekerjaan kita selama ini antara lain menggembala ternak kita karena sesungguhnya dia adalah orang yang kuat dan terpercaay dan sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau pekerjakan untuk tugas ataupun adalah orang yang kuat fisik dan mentalnya lagi terpercaya. Intinya dalam ayat tersebut seseorang boleh mengangkat pekerja atas suatu pekerjaan. Pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah diselesaikannya, pemberi pekerjaan memiliki kewajiban untuk membayar upah kepada pekerja tersebut. (Tarigan, 2012, 157-158).

Pandangan syariat Islam tentang upah merupakan hak dari orang yang telah bekerja (ajir/employer/buruh) dan kewajiban bagi orang yang mempekerjan (musta’jir/employer/majikan). Meskipun terminologi umum yang digunakan untuk bekerja adalah amal tetapi kata yang dipakai untuk

(8)

menyebut pekerja adalah ajir bukan amil atau ummal. Kata yang disebut terakhir ini tidak lazim untuk menyebut buruh. Termasuklah di dalam makna kata “amil (ummal) adalah orang yang bekerja buat dirinya sendiri. Upah sesungguhnya adalah kompensasi aatas jasa yang telah diberikan seseorang tenaga kerja. Perampasan terhadap upah adalah suatu perbuatan buruk yang akan mendapat ancaman siksa dari Allah Swt.

2.2 Landasan Hadis

Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi Saw. memusuhi tiga golongan di hari kiamat yang salah satu golongan tersebut adalah orang yang tidak membayar upah pekerja.

فِبِعَأ فِنقْ فِ قْ فِ عَس قْنعَ عَ َّ عَ صُأ فِنقْ عَلقْ فِ عَقْسم فِإ ضٍمفِلقْسصُ صُنقْن عَيَقْعَيَ فِنِعَثَّ عَا عَ عَ ضٍ َّ عَصُمُ صُنقْ صُفصُسقْ صُنْي عَ عَنْثَّ عَا

عَلَ عَ عَنْت صُالله عَ عَ عَ عَ عَمَّلعَس عَ فِهقْ عَلعَ صُالله ىَّلعَص فِيفِبَّ ا قْنعَ صُهقْ عَ صُالله عَيفِضعَر عَ عَ قْنْيعَ صُه فِبِعَأ قْنعَ ضٍ قْ فِ عَس

دٌلصُجعَرعَ صُهعَ عَعَثَ عَلعَكعَأعَا ِّ صُا عَععَ دٌلصُجعَرعَ عَرعَ عَ َّصُثُ فِبِ ىعَطقْ عَأ دٌلصُجعَر فِ عَ عَ فِ قْا عَ قْ عَنْي قْمصُهصُ قْ عَخ عَنَعَأ دٌ عَثعَلاعَث

صُهعَ قْجعَأ فِهفِطقْ صُنْي قْعَلَعَ صُهقْ فِ عَفَقْ عَنْتقْس عَا ةً قْنْ فِجعَأ عَ عَجقْأعَتقْس

(

ىر خ ا ه ر

)

Telah menceritakan kepada saya Yusuf bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sulaim dari Isma'il bin Umayyah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Allah Ta'ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang aku berperang melawan mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang memperkerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.‛ (H.R. Bukhari) (Al-Bukhari 2004,50)

Hadis di atas menjelaskan tentang persoalan pekerja dengan majikannya. Hadis tersebut melarang sekali bagi majikan yang tidak memberi suatu imbalan atau upah kepada pekerja apabila pekerjaan itu sudah selesai dikerjakan. Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa pemberian upah diberikan kepada pekerja sebelum kering keringatnya.

(9)

صُ قْ عَ عَ عَنْثَّ عَا ُّيفِ عَلَّسا عَ َّ فِطعَ فِنقْ فِ قْ فِ عَس صُنقْ صُبقْهعَ عَ عَنْثَّ عَا ُّيفِ قْشعَ فِي ا فِ قْ فِاعَ قْا صُنقْ صُس َّ عَ قْا عَ عَنْثَّ عَا

ىَّلعَص فِالله صُ قْ صُسعَر عَ عَ عَ عَ عَ عَ صُ فِنقْ فِالله فِ قْ عَ قْنعَ فِهقْ فِ عَأ قْنعَ فِهقْ فِ عَأ قْنعَ عَمعَلقْسعَأ فِنقْ فِ قْيعَ صُنقْ فِنعَقْحَّْ ا

هصُ عَ عَ َّففِعَيَ قْنعَأ عَلقْ عَنْ صُهعَ قْجعَأ عَ قْنْ فِجعَقْلأ صُطقْ عَأ عَمَّلعَسعَ فِهقْ عَلعَ صُالله

(

هج ن ه ر

)

Al-Abbas ibn al-Walid al-Dimasyqiy telah memberitakan kepada kami, (katanya) Wahb ibn Sa’id ibn Athiyyah al-Salamiy telah memberitakan kepada kami, (katanya) Abdu al-Rahman ibn Zaid ibn Salim telah memberitakan kepada kami, (berita itu berasal) dari ayahnya, dari Abdillah ibn „Umar dia berkata: Rasulullah Saw. telah berkata: “Berikan kepada buruh ongkosnya sebelum kering keringatnya”. (H.R Ibnu Majah) (Al-Qazwini Abi Muhammad ibn Yazid 2008, 20)

Bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika disepakati, gaji diberikan setiap bulannya atau perhari, maka wajib diberikan di akhir bulan atau pekerjaan itu telah selesai. Jika diakhirkan tanpa ada uzur, maka termasuk bertindak zholim. Pemberian upah atas tukang bekam dibolehkan, sehingga mengupah atas jasa pengobatan pun juga diperbolehkan. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas.

عَيفِضعَر ضٍس َّ عَ فِنقْ قْنعَ فِهقْ فِ عَأ قْنعَ ضٍسصُ عَط صُنقْ عَ عَنْثَّ عَا دٌبقْ عَهعَ عَ عَنْثَّ عَا عَلقْ فِ عَقْسمفِإ فِنقْ ىعَسقْ صُ عَ عَنْثَّ عَا

صُهعَ قْجعَأعَ َّجعَلح ىعَطقْ عَأ عَ عَمَّلعَس عَ فِهقْ عَلعَ صُالله ىَّلعَص ُّفِبَّ ا عَمعَجعَتقْاعَ عَ عَ عَ صُهقْنْ عَ صُالله

(

ىر خ ا ه ر

ملس

)

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thowus dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam dan memberi upah tukang bekamnya ( HR. Bukhari dan Muslim )( Al Albani, 2007, 303).

Berdasarkan dalil-dalil di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan tingkat upah diakibatkan karena perbedaan bakat, kesanggupan dan kemampuan. Hal tersebut telah diakui dalam ajaran Islam. Akan tetapi dengan syarat, para pengusaha tidak boleh mengeksplotasi tenaga para pekerja tanpa

(10)

memperhatikan upah mereka. Sedangkan para pekerja juga tidak boleh mengesploitir pengusaha melalui serikat buruh/pekerja. Mereka juga harus melaksanakan tugas pekerjaan mereka dengan tulus dan jujur.

2.3 Landasan Ijma’

Menurut Abul Karim Zaidan ijma’ adalah keesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah SAW. Para ulama sekapat bahwa ijarah dibolehkan dalam Islam selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak ada seorangpun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat akan tetapi itu tidak dianggap (Sabiq, 1987,11).

3. Rukun dan Syarat Upah 3.1 Rukun Upah

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Misalnya rumah, terbentuk karena adanya unsur-unsur yang membentuknya, yaitu pondasi, tiang, lantai, dinding, atap dan seterusnya. Dalam konsep Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun (Anwar 2007,95).

Ahli-ahli hukum madzhab Hanafi, menyatakan bahwa rukun akad hanyalah ijab dan qabul saja, mereka mengakui bahwa tidak mungkin ada akad tanpa adanya para pihak yang membuatnya dan tanpa adanya obyek akad. Perbedaan dengan madzhab Syafi’i hanya terletak dalam cara pandang saja, tidak menyangkut substansi akad.

Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun itu terbagi (4) empat macam, yaitu:

3.1.1 Aqid (orang yang berakad).

Aqid adalah Orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah

(11)

mu’jir dan orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu disebut musta’jir. Oleh karena begitu pentingnya kecakapan bertindak itu sebagai persyaratan untuk melakukan sesuatu akad, maka golongan Syafi’iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa mereka yang melakukan akad itu harus orang yang sudah dewasa dan tidak cukup hanya sekedar mumayyiz saja.

3.1.2 Ma’qud ‘alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan)

Ma’qud alaihi adalah barang yang dijadikan objek sewa, berupa

barang tetap dan barang bergerak yang merupakan milik sah pihak mu’ajjir. Kriteria barang yang boleh disewa adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara agama dan keadaannya tetap utuh selama masa persewaan (Sabiq, 1987,19).

Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan dikemudian hari baik jenis barang, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan. Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah tersebut tidak helas maka akadnya tidak sah. Misalnya menyewakan motor hanya untuk duduk diatasnya, atau karena dilarang oleh agama Islam. Seperti menyewa seseoarang untuk membinasakan orang lain. Perjanjian sewa menyewa barang atau suatu pekerjaan yang manfaatnya tidak dibolehkan oleh ketentuan agama adalah tidak sah atau wajib untuk ditinggalkan (Rusyd,tt,218)

3.1.3 Sighat / ijab qabul

Pernyataan kehendak yang lazimnya disebut sighat akad

(sigatul-‘aqd), terdiri atas ijab dan qabul. Dalam hukum perjanjian Islam, ijab dan qabul dapat melalui: 1) ucapan, 2) utusan dan tulisan, 3) isyarat, 4) secara

diam-diam, 5) dengan diam semata. Syarat-syaratnya sama dengan syarat

ijab dan qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam harus

(12)

Diperlukan adanya saling ridha (rela), direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukan keridaan dan berdasarkan makna pemilik dan memperlihatkan, seperti ucapan pemilik tanah: Aku sewakan, aku berikan, aku milikkan, atau ini menjadi milikmu dan ucapan penyewa: Aku sewa, aku ambil, aku terima, aku rela, atau ambillah apa harganya dan sebaginya.

Unsur terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal). Imam as-Syafi’I dan Hambali menambakan suatu syarat lagi, yaitu dewasa (baligh). Perjanjian sewa menyewa dilakukan oleh orang yang belum dewasa menurut mereka adalah tidak sah, walaupun mereka sudah berkemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (berakal).

Sighat Merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui

akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. Sighat akad dinyatakan dalam ijab dan qabul dengan suatu ketentuan:

3.1.3.1 Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami

Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja harus dijelaskan secara detail oleh penyewa, sehingga pekerja tidak meragukan pekerjaan yang dikerjakannya itu. Apabila akad dalam suatu transaksi akadnya tidak jelas maka perselisihan antar kedua belah pihak akan terjadi

3.1.3.2 Antara ijab dan qabul harus terdapat kesesuaian

Kesesuaian yang dimaksud di sini adalah berupa pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan upah yang diterima sesuai dengan keringat yang dikeluarkannya.

3.1.3.3 Pernyataan ijab dan qabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing dan tidak boleh ada yang meragukan.

(13)

Sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir dengan syarat hendaknya: 3.1.4.1 Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena itu tidak sah

dengan upah yang belum diketahui.

3.1.4.2 Pegawai khusus seperti seorang hakim tidak boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.

3.1.4.3 Uang sewa harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan

barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap yaitu, manfaat dan pembayaran (uang) sewa yang menjadi obyek sewa-menyewa.

3.1.5 Manfaat

Disyariatkan atas manfaat merupakan sesuatu yang bernilai baik secara syara maupun kebiasaan umum. Mengontrak seorang musta’jir harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh karena itu, jenis pekerjaannya harus dijelaskan, sehingga tidak kabur. Karena transaksi ujrah yang masih kabur hukumnya adalah fasid (Pasaribu dan K. Lubis 1994,157). Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang yang diupahkan dengan beberapa syarat yaitu:

3.1.5.1 Barang tersebut dapat diserah terimakan

3.1.5.2 Barang dapat diambil manfaat dan kegunaannya

3.1.5.3 Manfaat barang adalah perkara yang mudah (boleh) menurut syara’ dan bukan yang dilarang (diharamkan).

3.1.5.4 Barang kekal zat-nya.

3.2 Syarat Upah (Ujrah)

Syarat adalah ketentuan atau perbuatan yang harus dipenuhi sebelum melakukan suatu pekerjaan. Tanpa memenuhi ketentuan/perbuatan

(14)

tersebut, suatu pekerjaan dianggap tidak sah. Hukum Islam mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan ijarah sebagai berikut: 3.2.1 Kerelaan kedua belah pihak

Upah mengupah dalam konsep harus ada kerelaan antar kedua belah pihak, supaya tidak terjadi perselisihan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 29

















































Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. an-Nisa’:29) (Departemen Agama RI, 2002, 84)

3.2.2 Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan konsultasi terbuka, sehingga dapat terwujudkan di dalam diri setiap individu pelaku ekonomi, rasa kewajiban moral yang tinggi dan dedikasi yang loyal terhadap kepentingan umum (Salim 1999, 99-100).

3.2.3 Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ijarah diboleh secara syara’ Menyewa pekerja atas pekerjaan yang akan dikerjakannya harus sesuai dengan syariat Islam. Tidak boleh mempekerjakan orang lain dengan jalan yang tidak halal objeknya. (Zuhaily, 2011,396)

3.2.4 Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya Jika ia mengambil manfaat, maka tidak dibolehkan, karena ia mengerjakan pekerjaannya sendiri (Zuhaili,2011,399). Maksud dari penyataan di sini adalah mengambil manfaat untuk kepentingannya sendiri tanpa memberikan manfaat tersebut kepada pemiliknya.

(15)

3.2.5 Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas (Ghufran A. Mas’adi 2002, 186). Konkrit atau dengan menyebutkan kriteria-kriteria. Upah merupakan pembayaran atas nilai manfaat, nilai tersebut disyaratkan harus diketahui dengan jelas (Hasan 1990, 231). Mempekerjakan orang dengan upah makan, merupakan contoh upah yang tidak jelas karena mengandung unsur jihalah (ketidakpastian). seperti ini menurut jumhur fuqaha’, selain malikiyah tidak sah. Fuqaha malikiyah menetapkan keabsahan tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan.

3.2.6 Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Mengupah suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh yang tidak memenuhi persyaratan ini. Karena itu hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan pada praktek riba. Contohnya: memperkerjakan kuli untuk membangun rumah dan upahnya berupa bahan bangunan atau rumah.

3.2.7 Upah perjanjian persewaan hendaknya tidak berupa manfaat dari jenis sesuatu yang dijadikan perjanjian. Tidak sah membantu seseorang dengan upah membantu orang lain. Masalah tersebut tidak sah karena persamaan jenis manfaat. Maka masing-masing itu berkewajiban mengeluarkan upah atau ongkos sepantasnya setelah menggunakan tenaga seseorang tersebut (Zuhaily 2011, 391). 3.2.8 Berupa harta tetap yang dapat diketahui.

Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka akadnya tidak sah karena ketidakjelasan menghalangi penyerahan dan penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat, masa waktu, dan penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para pekerja.

(16)

Penjelasan tempat manfaat adalah dengan mengetahui barang yang disewakan. Jika ada orang berkata, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini atau salah satu kendaraan ini atau salah satu pekerja ini,” maka hukum akad ini tidak sah, karena adanya ketidakjelasan dalam barang yang disewakan.

Menurut pendapat ulama Hanafiyah yang masyhur, yaitu perkataan Abu Hanifa dan Abu Yusuf, tidak boleh seseorang menyewa sungai kering atau tempat tertentu untuk mengalirkan air guna mengairi tanahnya. Karena ukuran banyak sedikitnya air yang dialirkan ke sungai tersebut adalah berbeda. Disyaratkan bahwa manfaat itu dapat dirasakan, ada harganya, dan dapat diketahui (Ibnu Mas’ud dan Zainal abidin 2007, 139) .

3.2.8.2 Penjelasan masa waktu

Penjelasan masa waktu adalah hal yang sangat penting dalam penyewaan apartemen, rumah, tokoh dan dalam penyewaan sesesorang perempuan menyusui. Hal itu karena objek akad menjadi tidak jelas kadarnya kecuali dengan penentuan waktu tersebut. Oleh karena itu tidak menyebutkan masa waktu akan menyebabkan pertikaian.

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk menetapkan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkannya, sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi. Di dalam buku karangan Wahbah Zuhaily, Imam Sayafi’I sangat ketat dalam mensyaratkan waktu. Bila pekerjaan tersebut sudah tidak jelas, maka hukumnya tidak sah.

3.2.8.3 Penjelasan jenis pekerjaan

Penjelasan tentang jenis pekerjaan dalam penyewaan tenaga kerja adalah sebuah tuntutan untuk menghindari ketidakjelasan objek kerja yang akan bermuara pada perselisihan antar sesama dan merusak suatu akad. Perlunya penjelasan objek kerja bagi para tenaga kerja kolektif dengan menunjukkan atau menentukannya atau dapat pula dengan penjelasan jenis, tipe, kadar dan sifatnya. Apabila seseorang menyewa pekerja untuk menggali sumur maka harus dijelaskan kepadanya mengenai lokasi, kedalaman dan

(17)

lebar tersebut karena penggalian sumur berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi-kondisi itu.

3.2.8.4 Penjelasan penentuan waktu kerja dan objek kerja

Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad. Syarat-syarat pokok dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah mengenai hal pengupahan adalah para musta’jir harus memberi upah kepada mu’ajir sepenuhnya atas jasa yang diberikan, sedangkan mu’ajir harus melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, kegagalan dalam memenuhi syarat-syarat ini dianggap sebagai kegagalan moral baik dari pihak musta’jir maupun mu’ajir dan ini harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan (Haroen 2000, 236).

4. Macam-macam Upah

Upah diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: 4.1 Upah yang sepadan (ujrah al-misli)

Ujrah al-misli adalah upah yang sepadan dengan kerjanya serta

sepadan dengan jenis pekerjaannya, sesuai dengan jumlah nilai yang disebutkan dan disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemberi kerja dan penerima kerja (pekerja) pada saat transaksi pembelian jasa, maka dengan itu untuk menentukan tarif upah atas kedua belah pihak yang melakukan transaksi pembeli jasa, tetapi belum menentukan upah yang disepakati maka mereka harus menentukan upah yang wajar sesuai dengan pekerjaannya atau upah yang dalam situasi normal biasa diberlakukan dan sepadan dengan tingkat jenis pekerjaan tersebut.

Tujuan ditentukan tarif upah yang sepadan adalah untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak, baik penjual jasa maupun pembeli jasa, dan menghindarkan adanya unsur eksploitasi di dalam setiap transaksi-transaksi dengan demikian, melalui tarif upah yang sepadan, setiap perselisihan yang terjadi dalam transaksi jual beli jasa akan dapat terselesaikan secara adil.

(18)

Upah yang disebut (ujrah al-musamma) syaratnya ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima) kedua belah pihak yang sedang melakukan transaksi terhadap upah tersebut. Dengan demikian, pihak musta’jir tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang telah disebutkan, sebagaimana pihak ajir juga tidak boleh dipaksa untuk mendapatkan lebih kecil dari apa yang yang telah disebutkan, melainkan upah tersebut merupakan upah yang wajib mengikuti ketentuan syara’.

Apabila upah tersebut disebutkan pada saat melakukan transaksi, maka upah tersebut pada saat itu merupakan upah yang disebutkan (ajrun musamma). Apabila belum disebutkan, ataupun terjadi perselisihan terhadap upah yang telah di sebutkan, maka upahnya bisa diberlakukan upah yang sempadan (ajrul misli).

Adapun jenis upah pada awalnya terbatas dalam beberapa jenis saja, tetapi setelah terjadi perkembangan dalam bidang muamalah pada saat ini, maka jenisnya pun sangat beragam, diantaranya:

4.2.1 Upah perbuatan taat

Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji, dan membaca al-Quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Menurut madzhab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar al-Quran dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan. Tetapi haram hukumnya mengambil upah jika tujuannya termasuk kepada taqarrub kepada Allah.

(19)

Menurut mazhab Hanafi, menyewa orang untuk shalat, atau puasa, atau menunaikan ibadah haji, atau membaca al-Qur’an, atau pun untuk azan, tidak dibolehkan, dan hukumnya diharamkan dalam mengambil upah atas pekerjaan tersebut. Karena perbuatan yang tergolong taqarrub apabila berlangsung, pahalanya jatuh kepada si pelaku, karena itu tidak boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan itu (Sayyid Sabiq 2006,21).

Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar al-Quran dan kegiatan-kegiatan sejenis, karena hal itu termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan mengajar al-Quran dan kegiatan sejenis, baik secara bulanan atau secara umum atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya.( Ghazaly, 2010, 281). Sementara itu, dalam buku Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih

Mumalah hukum melaksanakan ijarah dalam ibadah diklasifikasikan

menjadi dua: (Djuwaini,2010, 160-161) 4.2.1.1 Ijarah tidak sah

4.2.1.1.1 Ibadah fardlu ‘ain yang butuh niat dan tidak boleh digantikan. Seperti shalat, puasa, dll. Sebab manfaat shalat dan puasa, yakni

pahala, tidak kembali kepada musta’jir, melainkan

kepada ajir sendiri. Demikian juga tidak sah menyewa oramg untuk menjadi imam shalat, sebab manfaatnya (fadhillah jamaah)

tidak kembali kepada musta’jir melainkan kepada

pihak ajir sendiri. Karena itu gaji yang diberikan oleh lembaga tertentu kepada petugas imam masjid, bukan sebagai ujrah atas dasar transaksi komersial (muawadlah), melainkan arzaq atas dasar santunan atau tunjangan.

4.2.1.1.2 Ibadah fardlu kifayah yang secara prinsip (ashli) diproyeksikan menyeluruh kepada semua mukallaf, seperti jihad. Sebab ketika

(20)

perang telah berkecamuk, jihad menjadi kewajibannya ajir sendiri (fardhu ain), sehingga manfaat jihad tidak untuk musta’jir, melainkan untuk ajir sendiri.

4.2.1.2 Ijarah sah

4.2.1.2.1 Ibadah fardlu atau sunnah ‘ain yang butuh niat namun boleh digantikan. Seperti menyewa orang untuk melakukan ibadah haji bagi yang udzur atau telah meninggal, untuk mengqadlai puasanya orang yang telah meninggal, untuk menyembelihkan hewan kurban, untuk membagikan zakat, dll. Sebab ibadah-ibadah ini secara dalil agama boleh digantikan orang lain.

4.2.1.2.2 Ibadah fardlu kifayah yang secara prinsip (ashli) tidak diproyeksikan menyeluruh kepada semua mukallaf, seperti tajhiz

al-janazah, adzan, membacakan al-Quran di atas kuburan yang

pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal, mengajarkan al-Quran, atau ilmu-ilmu penting lainnya. Sebab fardlu kifayah demikian, yang paling fundamental

(al-maqashid) adalah ‘terlaksananya’ ibadah, bukan ‘pelaksananya’.

Sehingga ketika menyewa seseorang untuk melaksanakannya, maka manfaat (pahala) juga tidak kembali kepada pelaksana (‘ajir).

4.2.2 Upah mengajarkan al-Qur'an

Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil upah dari pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu syariah lainnya, karena para guru membutuhkan penunjang kehidupan mereka dan kehidupan orang-orang yang berada dalam tanggungan mereka. Dan waktu mereka juga tersita untuk kepentingan pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu syariah tersebut, maka dari itu diperbolehkan memberikan kepada mereka sesuatu imbalan dari pengajaran ini.

(21)

Dibolehkan menyewakan tanah dan disyaratkan menjelaskan kegunaan tanah yang disewa, jenis apa yang ditanam di tanah tersebut, kecuali jika orang yang menyewakan mengizinkan ditanami apa saja yang dikehendaki. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dinyatakan fasid (tidak sah). Dalam suatu perjanjian persewaan tanah, haruslah disebutkan secara jelas tujuan persewaan tanah tesebut, apakah untuk pertanian, mendirikan tempat tinggal atau mendirikan banguna lainnya yang dikehendaki penyewa.

Bila penyewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian maka penyewa harus menyebutkan jenis tanaman yang akan ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan kebebasan kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang diinginkannya. Menurut Sayyid Sabiq jika syarat yang tersebut di atas tidak terpenuhi maka rusaklah sewa menyewa tersebut, karena pada dasarnya kegunaan tanah sangatlah beragam (Sabiq, 1987,30).

4.2.4 Upah sewa-menyewa kendaraan

Boleh menyewakan kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya, dengan syarat dijelaskan tempo waktunya, atau tempatnya. Disyaratkan pula kegunaan penyewaan untuk mengangkut barang atau untuk ditunggangi, apa yang diangkut dan siapa yang menunggangi. Di zaman kontemporer ini banyak yang melakukan transaksi sewa pada kendaraan. Seperti menyewa bus, angkutan kota, sewa jasa ojek, dan lain sebagainya. 4.2.5 Upah sewa-menyewa rumah dan toko

Menyewakan rumah adalah untuk tempat tinggal oleh penyewa, atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali, diperbolehkan dengan syarat pihak penyewa tidak merusak bangunan yang disewanya. Begitu juga halnya dengan toko untuk mengisi barang-barang yang akan dijualnya, juga dibolehkan dalam Islam. Selain itu pihak penyewa mempunyai kewajiban untuk memelihara rumah atau toko tersebut, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

(22)

Ulama fiqh yang sangat populer pembahasannya tentang persewaan toko dan rumah adalah ulama Hanafiyah. Mereka memasukkan persewaaan toko dan rumah kedalam pembahasan barang-barang yang sah disewakan, disamping persewaan tanah, binatang, tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau toko dan rumah boleh disewakan tanpa disertai dengan penjelasan tentang tujuan penyewaan. (al-Jaziry,tt 129)

Berdasarkan pendapat ulama Hanfiyah tersebut di atas dapat dipahami bahwa penyewa mempunyai kebebasan untuk melakukan sega sesuatu yang dikehendakinya dalam batas-batas yang wajar, artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang disewa. Namun wajib menggantikannya apabila terjadi kersakan terhadap rmah atau toko yang dikhususkan untuk didiami namun dipergunakan utnuk kepentingan lain. Pada dasarnya Islam membolehkan persewaan berbagai barang yang mempunyai manfaat dan memberikan keuntungan bagi manusia. Islam hanya memberikan batasan-batasan agar terciptanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak dan terlaksananya prinsip sewa-menyewa itu senfiri yaitu “keadilan” dan “kemurahan hati”, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 90 :



































Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (an-Nahl:90) (Departemen Agama RI, 2002, 278)

Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap muslim dalam sega aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah Allah utnuk tidak saling menyakiti dan menganiaya dan tidak menganiaya orang lain.

(23)

Hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan suatu bentuk transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak,, sehingga dituntut untuk berlaku adil dan saling menghormati.

4.2.6 Upah pembekaman

Usaha bekam tidaklah haram, karena Nabi Saw. pernah berbekam dan beliau memberikan imbalan kepada tukang bekam itu, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas. Jika sekiranya haram, tentu beliau tidak akan memberikan upah kepadanya.

عَيفِضعَر ضٍس َّ عَ فِنقْ قْنعَ فِهقْ فِ عَأ قْنعَ ضٍسصُ عَط صُنقْ عَ عَنْثَّ عَا دٌبقْ عَهعَ عَ عَنْثَّ عَا عَلقْ فِ عَقْسمفِإ فِنقْ ىعَسقْ صُ عَ عَنْثَّ عَا

صُهعَ قْجعَأعَ َّجعَلح ىعَطقْ عَأ عَ عَمَّلعَس عَ فِهقْ عَلعَ صُالله ىَّلعَص ُّفِبَّ ا عَمعَجعَتقْاعَ عَ عَ عَ صُهقْنْ عَ صُالله

(

ىر خ ا ه ر

ملس

)

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thowus dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam dan memberi upah tukang bekamnya ( HR. Bukhari dan Muslim )

4.2.7 Upah menyusui anak

Al-Qur’an sudah menyebutkan bahwa diperbolehkan memberikan upah bagi orang yang menyusukan anak. Abu Hanifah membolehkan menyewa seseorang untuk menyusui bayi. sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 233.



























Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”. (al-Baqarah :233 ) ( Departemen Agama RI, 2002, 36)

Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Allah Swt tidak melarang menyewa perempuan untuk menyeusu secara mutlak. Ketidakjelasan upah

(24)

dalam penyewaan ini tidak menyebabkan pertikaian karena dalam kebiasaan yang berlaku masyarakat bersikap toleran terhadap perempuan ang disewa untuk menyusui itu dan memberikan kemudahan demi kasih sayang terhadap anak-anak.

4.2.8 Perburuhan

Di samping sewa-menyewa barang, sebagaimana yang telah diutarakan di atas, maka ada pula persewaan tenaga yang lazim disebut perburuhan. Buruh adalah orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannya dalam suatu pekerjaan (Ya’qub 1984, 325). Di antara perburuhan atau pekerjaan yang terjadi pada saat sekarang ini adalah mengenai buruh sopir angkot, baik sopir utama maupun sopir hoyak.

Menurut hukum Islam, buruh juga mempunyai hak-hak yang lain, yakni: (Rahman,1995,384-386 )

4.2.8.1 Buruh berhak menerima upah yang memungkinkan baginya

menikmati kehidupan yang layak;

4.2.8.2 Buruh tidak boleh diberi pekerjaan yang melebihi kemampuan fisiknya; dan jika suatu waktu dia dipercayakan menangani pekerjaan yang sangat berat maka dia harus diberi bantuan dalam bentuk beras atau modal yang layak, atau kedua-duanya;

4.2.8.3 Buruh harus diberi bantuan pengobatan yang tepat jika sakit dan membayar biaya pengobatan yang sesuai pada saat itu. Sepatutnya jika bantuan terhadap biaya pengobatan buruh dari majikan ditambah dengan bantuan pemerintah (kemungkinan dari dana zakat);

4.2.8.4 Penentuan yang layak harus dibuat untuk pembayaran pensiunan

bagi pekerja. Majikan dan pegawai bisa dimintai sumbangan untuk dana tersebut, tetapi sebagian besar akan disumbang Negara dari dana zakat;

(25)

4.2.8.5 Para majikan harus didorong untuk mengeluarkan sadaqahnya (sumbangan suka rela) terhadap pekerja dan anak-anaknya;

4.2.8.6 Mereka harus dibayar dari keuntungan asuransi pengangguran pada musim pengangguran yang berasal dari dana zakat. Hal ini akan memperkuat kekuatan perjanjian mereka dan akan membantu dalam menstabilkan tingkat upah pada suatu tingkatan yang wajar dalam negeri;

4.2.8.7 Mereka harus dibayar dengan ganti rugi yang sesuai atas kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan;

4.2.8.8 Barang-barang yang dibuat dalam pabrik tempat mereka bekerja harus diberikan kepada mereka secara gratis (bila mereka memerlukannya) atau menjual kepada mereka dengan harga yang lebih murah dari harga pasar;

4.2.8.9 Mereka harus diperlakukan secara baik dan sopan dan dimaafkan

jika mereka melakukan kesalahan selama bekerja;

4.2.8.10 Mereka harus disediakan akomodasi yang layak agar kesehatan dan efisiensi kerja tidak terganggu.

Pengupahan menurut G. Karasaputra menjelaskan tentang sifat dan karakteristik upah yang fundamental yaitu upah harus dapat menjamin minimum, sehingga para buruh tidak kekurang konsentrasi karena banyak mengingat kebutuhan-keutuhannya yang belum terpenuhi.

4.2.8.1 Upah dapat diterima dan disetujui oleh para buruh dengan penuh

kesadaran

4.2.8.2 Upah dapat mencerminkan apresiasi kemampuan dan kemajuan

para buruh

4.2.8.3 Upah di rinci sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh buruh

4.2.8.4 Upah harus fleksibel dalam menghadapi perubahan yang tidak diharapkan

(26)

4.2.8.5 Upah hendaknya dapat memotivasi peningkatan kualitas produk tanpa menurunkan kuantitas

4.2.8.6 Sistem pengupahan harus dapat dirasakan berkeadilan dan

berperikemanusiaan (G. Kartasaputra dkk, 1992, 102)

Hak pekerja dalam buku Abdul Hamid Mursi, SDM yang produktif

pendekatan al-Qur’an dan Sains mengatakan bahwa hak-hak pekerja adala

sebagai berikut : (Mursi, 1997, 155) 4.2.1 Hak bekerja

Hak bekerja merupakan suatu hak manusia. Kerja adalah aktifitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskan atau difikirkan lepas dari tubuh manusia. Kerja merupakan perwujudan diri manusia, melalui kerja manusia merealisasikan dirinya sebagai manusia dan sekaligus membangun hidup dan lingkungannya yang lebih manusiawi. Maka dengan bekerja manusia menjadi manusia yang seutuhnya, melalui bekerja manusia dapat menentukan hidupnya sendiri sebagai manusia yang mandiri. Hak katas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bukan tas hidup yang layak. Hak atas pekerjaan ini tercantum dalam UUD Tahun 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

4.2.2 Hak mendapatkan gaji

Hak atas upah yang adil merupakan hak legal yang diterima dan dituntut oleh seseorang sejak ia mengikat diri untuk bekerja pada suatu perusahaan. hak atas upah yang adil sesungguhnya adalah bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah, artinya setiap pekerja berhak untuk dibayar. Setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah, ia juga berhak memperoleh upah yang adil yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya. prinsifnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada seluruh pekerja,

(27)

dengan kata lain harus berlaku prinsip upah yang sama bagi pekerjaan yang sama.

4.2.3 Hak cuti dan keringan pekerjaan

Hak cuti merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh suatu perusahaan. Ini merupakan suatu kebebasan yang diberikan kepada pekerja dalam waktu tertentu. Pada prinsipnya semua pekerja harus diperlukan secara sama, secara fair, artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam sikap dan perlakuan, gaji, maupun peluang untuk jabatan dipertimbangkan secara rasional. Diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya adalah perlakuan yang tidak adil.

4.2.4 Hak jaminan dan perlindungan

Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu. Pekerja juga berhak mengetahui kemungkinan resiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut. Setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerja dengan resiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaliknya menolaknya.

5. Tata Cara Pemberian Upah dalam Islam

Upah dalam Islam merupakan pemberian manfaat kepada orang lain. Manfaat yang diperoleh dalam upah tersebut tentunya ada tata cara yang harus dilaluinya. Hadits Rasulullah Saw menyatakan bahwa harus menyegerakan upah.

(28)

صُ قْ عَ عَ عَنْثَّ عَا ُّيفِ عَلَّسا عَ َّ فِطعَ فِنقْ فِ قْ فِ عَس صُنقْ صُبقْهعَ عَ عَنْثَّ عَا ُّيفِ قْشعَ فِي ا فِ قْ فِاعَ قْا صُنقْ صُس َّ عَ قْا عَ عَنْثَّ عَا

ىَّلعَص فِالله صُ قْ صُسعَر عَ عَ عَ عَ عَ عَ صُ فِنقْ فِالله فِ قْ عَ قْنعَ فِهقْ فِ عَأ قْنعَ فِهقْ فِ عَأ قْنعَ عَمعَلقْسعَأ فِنقْ فِ قْيعَ صُنقْ فِنعَقْحَّْ ا

هصُ عَ عَ َّففِعَيَ قْنعَأ عَلقْ عَنْ صُهعَ قْجعَأ عَ قْنْ فِجعَقْلأ صُطقْ عَأ عَمَّلعَسعَ فِهقْ عَلعَ صُالله

(

هج ن ه ر

)

Al-Abbas ibn al-Walid al-Dimasyqiy telah memberitakan kepada kami, (katanya) Wahb ibn Sa’id ibn Athiyyah al-Salamiy telah memberitakan kepada kami, (katanya) Abdu al-Rahman ibn Zaid ibn Salim telah memberitakan kepada kami, (berita itu berasal) dari ayahnya, dari Abdillah ibn „Umar dia berkata: Rasulullah Saw. telah berkata: “Berikan kepada buruh ongkosnya sebelum kering keringatnya”. (H.R Ibnu Majah) (Al-Qazwini Abi Muhammad ibn Yazid 2008, 20)

Mengetahui tata cara pemberian upah tentu tidak akan terlepas dari syarat-syarat upah itu sendiri. Adapun syarat-syarat lain dari upah adalah sebagai berikut :

5.1 Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan manfaatnya

5.2 Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat

5.3 Terhadap imbalan ada beberapa ketentuan dalam hal menerima atau memberikan upah

5.4 Imbalan atau upah tersebt hendaklah disegerakan pembayarannya

5.5 Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga kedua belahpihak akan terhindar hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari 5.6 Imbalan atau upah tersebut diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Apakah diberikan seluruhnya atau selesai dalam waktu yang ditentukan. Semua ini tergantung kepada kebiasaan yang terjadi pada masyarkat asalkan tidak ada yang terzalimi terhadap upah yang akan diterima itu.

5.7 Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama sehingga kedua belah pihak saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya. Maksudnya terhadap semua kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang

(29)

mesti ditunaikan. Sebagaimana dalam firman Allah yang mengatakan tenang perjanjian dalam surat al-Maidah ayat 1 :

















































Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Maidah:1) (Departemen Agama RI, 2002, 107)

6. Berakhirnya Ijarah

Dalam suatu ijarah, antara mu’jir dan musta’jir tidak selamanya berjalan bersamaan. Mu’jir tidak selamanya mengupah atau menyewa must’ajir begitu juga sebaliknya. Buku fiqh Islam yang dikarang oleh Wahbah az-Zuhaili ijarah itu berakhir apabila :

6.1.1 Meninggalnya salah satu pelaku akad.

Hal itu karena warisan berlaku dalam barang yang ada dan dimiliki. Selain itu, karena manfaat dalam itu terjadi setahap demi setahap, sehingga ketika muwarris ( orang yang mewariskan) meninggal maka manfaatnya menjadi tidak ada, yang karenanya ia tidak menjadi miliknya dan suatu yang tidak dimilikinya mustahil diwariskannya. Oleh karena itu akad perlu di perbaharui dengan ahli warisnya, hingga akadnya tetap ada dengan pemiliknya.

6.1.2 Adanya pengguguran akad (iqalah).

Hal itu karena akad adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar) harta dengan harta maka dia memungkinan untuk digugurkan seperti jual beli. Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas tenaga kerja untuk mempertahankan upah pada suatu standar yang wajar. Mereka

(30)

bebas bergerak untuk mencari penghidupan di bagian mana saja di dalam negara atau tempat tinggal di suatu daerah. Tidak ada pembatasan sama sekali terhadap perpindahan seseorang dari satu daerah ke daerah yang lain guna mencari upah yang lebih tinggi.

6.1.3 Ijarah habis dengan rusaknya barang yang disewakan

Jika spesifik seperti rumah atau binatang tunggangan yang spesifik atau rusaknya barang yang dijadikan sebab sebab seperti bagi yang disewakan untuk dijahit, maka ijarah akan habis karena manfaat yang diambil dari ijarah tersebut tidak dapat digunakan lagi.

6.1.4 Habisnya masa ijarah

Habisnya suatu kontrak merupakan penghalang perjalanan ijarah kecuali ada uzur (halangan) karena sesuatu yang ditetapkan sampai batas tertentu maka ia dianggap habis ketika sampai pada batasnya itu. Oleh karenanya, akad ijarah menjadi batal dengan sebab habisnya masa ijarah kecuali jika disana terdapat uzur (halangan) seperti masa ijarah habis dan tanah yang disewakan terdapat tanaman yang belum dapat dipanen.

7. Hikmah Ijarah

Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia (Ya’qub,1994,47). Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain: 7.1 Membina ketentraman dan kebahagiaan

Adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara

mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka.

Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan

(31)

hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.

Transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman (Helmi Karim 1993, 87).

7.2 Memenuhi nafkah keluarga

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Menafkahi keluarga adalah tanggung jawab utama seorang suami dan hak utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada, tanpa sedikitpun unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat mendatangkan keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:













Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”. (al-Baqarah:233) (Departemen Agama Ri, 2002, 38)

Ayat di atas merupakan suatu kewajiban bagi seorang ayah atau suami menafkahi keluarganya dengan cara yang ma’ruf atau cara yang baik untuk mencapai taraf hidup yang baik.

7.3 Memenuhi hajat hidup masyarakat

Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama. Sebagaimana firman Allah Swt











(32)























Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah : 2) (Departemen Agama Ri, 2002. 107)

Berdasarkan ayat di atas menjelaskan bahwa siapapun hamba muslim yang memberikan bantuan dan pertolongan kepada saudaranya dalam kebaikan dan ketakwaan berupa bantuan makanan, pakaian, harta, ilmu, tenaga dan pengobatan untuknya, atau menjaga dan membela kemuliaannya, memberi tausiyah dan semangat baginya, memberi biaya pendidikan bagi anak-anaknya, dan selainnya maka Allah kelak akan membalas kebaikannya dengan bentuk memberi bantuan untuknya pada saat ia sangat membutuhkan bantuan dari-Nya atau Allah ta’ala akan membantunya kelak disaat ia butuh pertolongan dari-Nya di alam barzakh dari fitnah dan adzab kubur atau pada hari kiamat dari berbagai kesulitan dan adzab neraka. Setiap aktivitas kehidupan, Islam memiliki batasan-batasan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits. Begitu juga dalam tolong-menolong, Islam hanya membatasi tolong-menolong dalam hal kebaikan yang akan membawa maslahat serta memperoleh ridho dari Allah SWT. Adanya sikap tolong-menolong, maka sesuatu yang sulit akan terbantu menjadi mudah, ukhuwah pun akan semakin erat di antara manusia.

Apalagi jika hamba muslim tersebut memiliki sifat dan kebiasaan yaitu berusaha untuk memenuhi segala hajat kebutuhan saudaranya sebaik-baiknya tanpa diminta atau diperingatkan. Maka Allah ta’ala niscaya akan memenuhi segala kebutuhannya di dunia dan kehidupan sesudahnya. Dan janji Allah Swt adalah benar dan pasti akan dipenuhi bagi orang yang berhak mendapatkan janji-Nya.

7.4 Menolak kemungkaran

Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya

(33)

hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, nikah lintas agama secara operasional dimaksudkan adalah pernikahan yang diselenggarakan oleh kedua belah pihak yang berlainan1. Bandingkan

Suatu transaksi pertukaran timbul karena kedua belah pihak (pemberi kerja dan penerima kerja) menerima dan mengorbankan suatu nilai. Kewajiban kompensasi meliputi gaji yang

Dari semua produk yang ditawarkan menggunakan sistem ijaroh dan margin yang telah disepakati kedua belah pihak yang sesuai dengan prinsip Islam dan juga dalam

Yaitu pembayaran yang dilakukan setiap panen tiba dan disepakati oleh kedua belah pihak yang apabila pada jangka waktu tertentu belum lunas pembayarannya, maka

Dalam perjanjian (tentang upah) kedua belah pihak diterima pekerja dengan ditargetkan untuk bersikap jujur dan adil dalam semua urusan dengan mereka, sehingga

Upah yang telah disebutkan (ujrah al-musamma) memiliki syarat ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima) dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi

Dalam konflik bersenjata internasional kedua belah pihak adalah negara, sedangkan dalam konflik bersenjata non-internasional status hukum kedua pihak tidak sama, yaitu

Maksud ayat diatas adalah perintah mencatat apabila mengadakan muamlah tidak secara tunai, dimaksudkan agar kedua belah pihak tidak mengingkari apa yang telah disepakati