• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) WINDY ALVIANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) WINDY ALVIANTI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA

LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae)

WINDY ALVIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Performa Reproduksi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Leptidoptera: Saturniidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Oktober 2014 Windy Alvianti NIM B04104002

(4)

ABSTRAK

WINDY ALVIANTI. Performa Reproduksi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae). Dibimbing oleh DAMIANA RITA EKASTUTI dan R. IIS ARIFIANTINI.

Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) termasuk salah satu serangga asli Indonesia yang memiliki potensi besar dalam bidang industri. Pemenuhan permintaan bahan baku benang sutera masih mengandalkan ulat sutera yang ada di alam, oleh sebab itu perlu dilakukan pengembangbiakan secara intensif dengan pemanfaatan imago jantan seefektif mungkin dalam perkawinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari performa reproduksi imago jantan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengawinkan satu ekor imago jantan dengan tiga ekor betina yang berbeda secara bergantian dengan waktu perkawinan selama 6 jam. Parameter yang diamati meliputi volume ejakulat I, II, dan III, jumlah telur per imago, waktu tetas dan daya tetas telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi perkawinan berpengaruh nyata terhadap persentase daya tetas telur. Nilai optimum dicapai pada perkawinan pertama yaitu 53.58±18.26%. Penurunan persentase daya tetas telur seiring dengan peningkatan frekuensi kawin imago jantan. Jumlah telur per imago dan waktu tetas telur tidak dipengaruhi oleh frekuensi perkawinan dengan rataan jumlah telur per imago 225.86±34.23 butir dan rataan waktu tetas telur selama 11.20±3.23 hari.

Kata kunci: Attacus atlas, frekuensi perkawinan, imago, performa reproduksi

ABSTRACT

WINDY ALVIANTI. Reproduction Performance of Males Wild Silkworm Attacus atlas L. Imagoes (Lepidoptera: Saturniidae). Supervised by DAMIANA RITA EKASTUTI and R. IIS ARIFIANTINI.

Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) is one of Indonesian native insect that has a great potential economy. Fulfillment the demand of material for silk thread still rely that exist in nature, therefore, needs to be done with the use of intensive breeding male imago as effective as possible in mating. The aim of this research was to study the reproduction performance of male imagoes of wild silkworm A. atlas. This research was conducted by allow a male imago mate with three different females. The time of each mating was 6 hours. The parameters observed were the first, second and third ejaculate volume, the number of eggs per imago, egg hatching time and hatchability of eggs. The results showed that the frequency of mating significantly affect the percentage of egg hatchability. The optimum value was achieved at first mating was 53.58 ± 18.26%. The percentage of egg hatchability declined with increasing frequency of mating. The number of eggs per imago and egg hatching time was not influenced by the frequency of mating with the average number of eggs per imago 225.86 ± 34.23 eggs and the average time of hatching eggs was 11.20 ± 3.23 days.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA

LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae)

WINDY ALVIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 sampai April 2014 ini ialah reproduksi ulat sutera liar Attacus atlas, dengan judul Performa Reproduksi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Damiana Rita Ekastuti, MS AIF dan Ibu Prof Dr Dra R Iis Arifiantini, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda Alwi, Ibunda Elvi Nova dan adik tersayang Julio Gumilang serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para sahabat terkasih yang sudah memberikan dukungan selama penelitian ini serta kepada teman-teman seperjuangan Acromion FKH IPB angkatan 47.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat menghargai saran yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014 Windy Alvianti

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) 2

Siklus Hidup 3

Morfologi 3

Feromon 5

Reproduksi Ulat Sutera 5

Penetasan Telur 5

Koleksi Ejakulat 6

Volume Ejakulat 6

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Bahan dan Alat 6

Prosedur 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

(10)

DAFTAR TABEL

1 Data bobot badan dan volume ejakulat imago jantan A.atlas 8 2 Volume ejakulat imago A. atlas tiga kali pengambilan 9 3 Pengaruh frekuensi perkawinan A. atlas terhadap jumlah telur, waktu

tetas telur dan daya tetas telur 9

4 Jumlah total telur per imago 10

5 Waktu tetas telur 10

6 Daya tetas telur 11

DAFTAR GAMBAR

1 Korelasi antara bobot badan dengan volume total ejakulat dari

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Alam tropis Indonesia memiliki beragam jenis plasma nutfah (sumber daya hayati, flora dan fauna) dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggul. Salah satu sumber daya hayati fauna yang dimiliki adalah berbagai jenis ulat sutera. Pengembangan ulat sutera liar di Indonesia masih terbatas di sejumlah wilayah antara lain Yogyakarta dan Jawa Barat dengan produksi yang terbatas pula. Pesatnya perkembangan industri tekstil di Indonesia menyebabkan semakin tingginya permintaan terhadap bahan baku pembuatan kain seperti kapas, wool, sutera dan lain-lain. Kokon ulat sutera merupakan bahan baku benang sutera yang dapat diolah menjadi kain atau pakaian berbahan sutera.

Attacus atlas merupakan salah satu jenis ulat sutera penghasil sutera yang hidupnya masih di alam bebas. A. atlas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia di antaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Peigler 1989). Kain sutera alam merupakan jenis kain yang banyak diminati oleh masyarakat, karena mempunyai banyak keistimewaan yaitu memiliki benang yang panjang, warna yang eksklusif dan bervariasi (Awan 2007), lembut, tidak mudah kusut, tahan panas, dan tidak menimbulkan rasa gatal dan antibakteri (Awan 2007; Faatih 2005). Selain warna benang sutera yang menarik, A. atlas memiliki harga jual yang cukup tinggi. Sifat menguntungkan lainnya dari A. atlas yaitu dapat hidup dalam beberapa generasi dalam setahun (polivotin), dapat hidup dan makan pada pelbagai inang tanaman atau polifagus (Peigler 1989; Nazar 1990; Awan 2007; Mulyani 2008) cukup adaptif terhadap perubahan pakan dan lingkungan baru.

Kokon A. atlas banyak diambil dari alam oleh banyak orang karena berpotensi sangat besar dari segi ekonomi. Harga kokon ulat sutera A. atlas lebih mahal dibandingkan dengan kokon Bombyx mori. Harga kokon ulat sutera murbai (B. mori) adalah Rp 25 000 per kg, sedangkan ulat sutera A. atlas adalah Rp 150 000 per kg. Harga benang sutera B. mori hanya Rp 300 000 per kg sedangkan benang sutera dari A. atlas harganya mencapai Rp 1 500 000 per kg bergantung pada kehalusan benang (Solihin dan Fuah 2010).

Perkebunan teh di daerah Purwakarta, Jawa Barat merupakan salah satu tempat yang memiliki populasi ulat sutera A. atlas yang cukup banyak, tetapi masih dianggap sebagai hama, sehingga selalu disemprot menggunakan insektisida. Pemeliharaan ulat sutera A. atlas saat ini masih dilakukan di alam bebas dengan tingkat keberhasilan sampai menjadi kokon sangat rendah yaitu hanya sekitar 10 % (Awan 2007). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan lingkungan yang terdiri dari beberapa faktor antara lain temperatur, jenis pakan, kelembaban, intensitas cahaya, aliran udara, kecepatan angin, dan curah hujan yang tidak menguntungkan.

Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi yaitu mencapai 90 % (Awan 2007). Imago betina mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang banyak, akan tetapi di alam populasi A. atlas sangat rendah. Hal ini terjadi karena 40-80 % telur yang dihasilkan tidak berhasil menetas akibat terinfeksi parasitoid. Oleh karena itu perlu dilakukan program untuk meningkatkan produktivitasnya dengan cara domestikasi dan pemeliharaan secara

(12)

2

intensif. Pemeliharaan intensif dilakukan dalam kandang dengan mengatur sistem perkawinan: frekuensi, lama perkawinan; pemberian pakan, jenis, cara dan frekuensi pemberian pakan. Perjalanan dalam pembudidayaan ulat sutera masih terbentur berbagai masalah diantaranya rasio imago jantan dan imago betina dalam satu kandang tidak seimbang dan masa hidup imago jantan lebih singkat, sehingga perlu dilakukan pengaturan perkawinan untuk efisiensi pejantan dalam membuahi telur imago betina. Telah dilakukan penelitian tentang lama perkawinan ulat sutera liar A. atlas oleh Desmawita et al. (2013). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa daya tetas telur tidak berbeda nyata antara lama perkawinan 6 jam, 12 jam dan 24 jam. Bila lama perkawinan cukup 6 jam, maka kemungkinan imago jantan dapat digunakan lagi untuk mengawini imago betina lainnya, karena populasi imago betina lebih banyak dibandingkan imago jantan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari performa reproduksi imago jantan ulat sutera liar A. atlas dan mengamati pengaruh frekuensi perkawinan terhadap jumlah telur per imago betina, waktu tetas dan daya tetas telur.

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Attacus atlas merupakan salah satu penghasil bahan sutera yang dapat dimanfaatkan untuk industri tekstil sebagaimana anggota genus Attacus lainnya. A. atlas memiliki ukuran tubuh yang besar, berwarna coklat kelabu, panjang sayap terentang 13-15 cm pada jantan dan 18-20 cm pada betina. Kepompong berwarna kelabu dengan panjang 8-9 cm dan lebarnya 3-4 cm (Kalshoven 1981).

Ulat sutera liar ini banyak ditemukan di wilayah Asia, terutama Asia Tenggara, Asia bagian Selatan, dan Asia Timur (Peigler 1989). Penyebaran serangga ini hampir meliputi seluruh wilayah di Indonesia di antaranya Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Artropoda Sub Filum : Atelocerata Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Sub Ordo : Ditrysia Super Famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub Famili : Saturniinae Genus : Attacus

(13)

3 Attacus atlas termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari dua generasi per tahun) dan makan pada pelbagai inang tanaman atau polifagus (Peigler 1989; Awan 2007; Mulyani 2008). Menurut Kalshoven (1981) larva A. atlas merupakan ulat pemakan daun-daunan seperti daun sirsak (Annona muricata L), jeruk (Citrus sinensis L), dadap (Erythrina variega L), alpokat (Persea americana Mill), teh (Camelia sinensis), cengkeh (Syzygium aromaticum), mangga (Mangifera indica L), dan tanaman dikotil lainnya.

Siklus Hidup

Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang biasa disebut holometabola yang mengalami 4 fase yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Waktu yang dibutuhkan A. atlas untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur kembali adalah 64-88 hari. Masa inkubasi telur yaitu 10-12 hari. Stadium larva berlangsung dalam 6 instar. Instar pertama berlangsung 5-8 hari, instar ke-2 selama 5-7 hari, instar ke-3 sampai instar ke-4 selama 4-6 hari, instar ke-5 selama 6-8 hari, dan instar ke-6 yang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan instar lainnya yakni berlangsung selama 10-12 hari. Selanjutnya larva akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya. Lama periode pupa adalah 20-29 hari. Kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah 27-29 hari dan 20-28 hari (Awan 2007).

Morfologi Telur

Telur dihasilkan oleh betina, baik yang telah kawin ataupun yang tidak. Telur yang menetas menjadi larva yaitu telur yang dibuahi, sedangkan imago betina yang tidak melakukan perkawinan menghasilkan telur yang steril. Secara umum telur A. atlas berbentuk oval agak datar atau gepeng dengan ukuran panjang 2.5-2.7 mm, lebar 2.1-2.3 mm dan tinggi 2.1 mm (Peigler 1989).

Perilaku imago betina meletakkan telur-telurnya yaitu dengan melekatkan secara berkelompok atau terpisah. Telur-telur yang berkelompok jumlahnya bervariasi, dalam satu kelompok biasanya mencapai lebih dari 10 butir. Jumlah telur yang dihasilkan berbeda-beda bergantung pada hari oviposisinya. Jumlah telur terbanyak dihasilkan pada hari oviposisi ke-1 dan ke-2, dengan masa inkubasi telur antara 8-13 hari (Mulyani 2008; Adria dan Idris 1997). Menurut Desiana (2008), rata-rata jumlah telur per induk adalah 160 butir, sementara Mulyani (2008) melaporkan jumlah telur yang dihasilkan imago betina fertil berkisar antara 126-380 butir dan dari betina infertil antar 80-380 butir. Telur yang fertil berwarna coklat gelap, sedangkan telur yang infertil berwarna kuning pucat. Hasil penelitian Desiana (2008) menunjukkan bahwa daya tetas pada hari oviposisi ke-1 dan ke-2 adalah 41.69 % dan 10.98 %. Telur yang belum menetas dapat disimpan pada suhu ruang tidak boleh kurang dari 15 °C (Butterfly Arc 2003).

(14)

4 Pupa

Larva akan mulai mengeluarkan cairan sutera yang diletakan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk meletakkan kokon. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon yang baru terbentuk masih lemah dan sedikit basah, kokon akan semakin kuat dan kering oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin (Awan 2007). Warna kokon bervariasi dari orange hingga coklat tua, pada umumnya berwarna coklat muda, tekstur permukaan kesat dan terkadang mengkerut (Peigler 1989). Panjang kokon mencapai 3.5-4.5 cm dan lebar 0.8-1.2 cm (Nazar 1990).

Fase pupa merupakan tahapan paling penting sepanjang metamorfosis larva menjadi imago. Pada fase ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Pada tahap ini diharapkan tidak ada gangguan agar proses organogenesis dapat berjalan dengan sempurna, karena kondisi lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan pupa, gangguan dapat menyebabkan kegagalan pembentukan organ bahkan menyebabkan kematian (Awan 2007). Pupa A. atlas memiliki panjang 35-55 mm (Peigler 1989) dengan pupa bertipe obteka, berwarna coklat hingga coklat tua (Awan 2007).

Imago

Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon. Imago yang baru keluar biasanya masih dalam keadaan basah oleh cairan yang berwarna putih keruh dengan sayap yang belum mengembang sempurna. Imago baru ini akan mencari ranting atau dahan dan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah, sehingga memudahkan imago untuk mengembangkan sayapnya. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan mengeras dan cukup kuat digunakan terbang (Awan 2007). Imago jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing (Peigler 1989) dengan panjang rentang sayap 17.5-20 cm dengan rataan 19.05 cm, sedangkan panjang rentang sayap imago betina adalah 19-22.5 cm dengan rataan 20.10 cm (Mulyani 2008). Panjang antena imago jantan adalah 23-30 mm dengan lebar 10-13 mm, sedangkan panjang antena imago betina adalah 17-21 mm dengan lebar 3mm (Peigler 1989). Antena pada imago jantan berfungsi untuk mendeteksi feromon yang dikeluarkan oleh imago betina (Mulyani 2008).

Imago pada fase ini tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang singkat (Williams et al. 2000). Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Awan 2007). Perkawinan dimulai saat imago betina mengeluarkan feromon, sehingga akan terdeteksi oleh imago jantan, kemudian segera mencari dan mendatangi imago betina. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh dari dinihari hingga menjelang malam hari. Beberapa jam setelah melakukan perkawinan, imago betina akan segera bertelur (Awan 2007). Tingkah laku imago betina dalam meletakkan telur-telurnya yaitu meletakkan secara berkelompok, terpisah (Mulyani 2008) atau meletakkan telurnya berjejer di bawah daun dan kadang-kadang di ranting, wadah pemeliharaan dan tempat lain yang dianggap cocok. Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100-360 butir (Awan 2007).

(15)

5 Feromon

Feromon merupakan senyawa kimia yang dilepaskan oleh organisme ke dalam lingkungan untuk berkomunikasi dengan individu lainnya pada satu spesies. Feromon berfungsi sebagai penanda adanya bahaya, penunjuk jalan, pemberi perintah (pada lebah), dan sebagai ajakan kawin. Serangga memiliki alat penciuman berupa antena dan maxillary pulp yang berfungsi untuk menangkap sinyal kimia di udara menjadi sinyal listrik yang akan memberikan informasi mengenai bau yang ada di lingkungan. Antena pada ngengat memiliki sensilia-sensilia yang menyelubungi permukaan antena yang berfungsi untuk menyerap bau dan mencegah kontak langsung Olfactory Receptor Neuron (ORN) dengan lingkungan luar (Sato dan Touhara 2008).

Kondisi lingkungan dengan udara yang tidak bergerak atau tidak berangin, ngengat jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak 5 cm tetapi tidak dapat menemukannya pada jarak 7 cm, sedangkan pada udara yang bergerak atau berangin, ngengat jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak 25- 150 cm (Plettner 2002).

Reproduksi Ulat Sutera

Masa inkubasi telur berkisar antara 2-10 hari (Awan 2007). Betina A. atlas mampu memproduksi telur 326-426 butir dalam 5 hari (Yusuf 2009). Desiana (2008) melaporkan bahwa persentase penetasan paling tinggi ditunjukkan pada hari oviposisi ke-1 dan ke-2 sebesar 41.69% dan 10.98%. Embrio A. atlas telah mencapai tahap organogenesis pada hari ke-5 dan organogenesis dilanjutkan sampai hari ke-7 sehingga telur akan menetas saat 8-13 hari (Adria dan Idris 1997; Mulyani 2008; Yusuf 2009). Persentase telur yang menetas mencapai nilai tertinggi pada telur yang dioviposisikan di hari pertama dan menurun seiring bertambahnya hari oviposisi, semakin bertambahnya hari oviposisi maka jumlah sperma yang tersedia pada imago betina semakin sedikit (Rianto 2010).

Penetasan Telur

Peigler (1989) menyatakan bahwa imago A. atlas memiliki perkembangbiakan yang tinggi. Perkembangbiakan dan kesuburan imago betina merupakan faktor penentu dalam keberhasilan industri pesuteraan, terkait dengan produksi bahan dasar sutera yang lebih banyak apabila keberhasilan hidup mencapai kokon, cukup tinggi (Faruki 2005).

Inkubasi adalah masa perawatan telur ulat sutera sampai menetas. Tujuan dari penetasan agar telur ulat sutera dapat menetas dengan baik dan merata dengan persentase daya tetas di atas 90% (Samsijah dan Andadari 1992). Penetasan telur Bombyx mori dapat dilakukan dengan pemberian cahaya dan penggelapan. Cahaya akan berpengaruh kepada voltinisme dari tahap pembentukan kaki sampai tahap pigmentasi kepala. Penggelapan telur B. mori dilakukan pada 2 hari sebelum telur menetas (Atsmosoderajo et al. 2000). Penggelapan secara total pada kotak penetasan bertujuan agar telur dapat menetas secara serentak sehingga ukuran ulat-ulat tersebut akan seragam (Sunanto 1997).

(16)

6

Koleksi Ejakulat

Ejakulat tidak dapat langsung dikoleksi pada saat imago baru keluar dari kokon. Hal ini disebabkan imago membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan dan juga memerlukan waktu untuk melakukan spermatogenesis. Interval waktu pengkoleksian imago A. atlas tidak sebanyak waktu yang dibutuhkan oleh hewan mamalia seperti sapi dan kambing yang membutuhkan waktu interval koleksi semen berhari-hari. Menurut Pramono (2014) 14% imago mengeluarkan ejakulat pada 2 jam pertama setelah keluar dari kokon dan koleksi ejakulat dapat dilakukan 100% imago pada 4, 6 dan 8 jam setelah keluar dari kokon. Habisnya produksi ejakulat di dalam imago disebabkan pada fase pupa dan dewasa, imago tidak makan lagi sehingga nutrien terbatas.

Volume Ejakuat

Volume ejakulat yang dihasilkan oleh imago jantan A. atlas dipengaruhi oleh faktor proses ejakulasi. Menurut Feradis (2010) proses ejakulasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal diantaranya hormonal, metabolisme dan keturunan. Faktor eksternal yang sangat berpengaruh yaitu lingkungan. Menurut Walidaini (2014), faktor umur imago mempengaruhi volume ejakulat. Imago yang berusia lebih dari satu hari biasanya sudah mengalami ejakulasi sebelumnya sehingga pada saat dikoleksi volume ejakulatnya hanya sedikit. Volume ejakulat dapat dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi saat masa larva, ukuran testis dan besar atau kecilnya ukuran tubuh imago jantan (Rabusin 2014). Volume ejakulat ulat sutera liar A. atlas jauh lebih besar daripada ayam. Ayam hanya memiliki kisaran volume ejakulat 0.05-0.08 ml (Hanum 2001). Rataan volume ejakulat A. atlas jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan dengan rataan volume ejakulat ikan mas dan patin masing-masing 1.27±0.47 ml dan 1.23±0.21 ml (Japet 2011). Rerata volume ejakulat A. atlas juga lebih sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh kambing yaitu 1.42 ml (Yusuf et al. 2005).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2014 di Laboratorium Metabolisme Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah kokon berisi pupa ulat sutera liar A. atlas. Alat yang digunakan adalah kandang kain kasa ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm, gunting, cawan petri, wadah pemeliharaan, microtube, pipet ukur dan timbangan digital.

(17)

7 Prosedur

Pengambilan Kokon

Kokon ulat sutera liar diperoleh dari perkebunan teh di Purwakarta, Jawa Barat. Kokon disimpan dalam kandang kain kasa berukuran 50 cm x 50 cm x 50cm.

Sexing Pupa

Sexing dilakukan dengan cara kokon dibuka sedikit menggunakan gunting untuk melihat bentuk calon antena pada fase pupa. Pupa yang memiliki antena kecil akan mejadi imago betina, sedangkan pupa yang memiliki antena besar akan menjadi imago jantan. Kokon yang sudah di-sexing ditempatkan pada kandang kain kasa yang terpisah.

Mengukur Volume Ejakulat dan Penimbangan Bobot Badan

Imago jantan ditimbang menggunakan timbangan digital dan dicatat bobot badannya. Imago yang sudah ditimbang dikoleksi semennya dengan cara memegang pangkal sayap imago dan bagian caudal dari abdomen dimasukkan ke dalam microtube. Koleksi semen dilakukan sebanyak 3 kali dan sebelum koleksi selalu dilakukan penimbangan bobot badan. Perlakuan ini diulangi sebanyak 5 kali.

Pengawinan Imago

Imago jantan yang digunakan pada tahap perkawinan ini bukanlah imago yang sudah dikoleksi ejakulatnya, akan tetapi menggunakan imago jantan yang berbeda. Imago yang sudah keluar dari kokon dipisahkan pada kandang yang berbeda untuk segera dikawinkan. Satu ekor imago jantan dikawinkan dengan 3 ekor imago betina yang berbeda secara bergantian dengan waktu kawin masing-masing selama 6 jam. Perlakuan ini diulangi sebanyak 5 kali. Imago betina yang telah kawin dipisahkan dari imago jantan untuk selanjutnya dipelihara dalam wadah plastik yang dialasi kertas untuk oviposisi (peletakkan telur). Faktor yang diamati adalah: volume setiap ejakulat (I, II dan III), jumlah telur imago betina, waktu tetas dan daya tetas telur.

Analisis Data

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 x 5 sebagai perlakuan adalah status perkawinan I, II dan III. Tiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam atau analysis of variance (ANOVA). Bila perlakuan memberikan pengaruh nyata, data diuji lanjut dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan antara bobot badan dengan performa reproduksi imago jantan dipaparkan pada Tabel 1. Rerata bobot badan imago jantan yang didapatkan adalah 3.71±0.36 g berkisar antara 3.15-4.1 g. Nilai ini sedikit berbeda dengan bobot imago jantan pada penelitian yang dilakukan oleh Walidaini (2013) yaitu

(18)

8

1.59±0.33 g. Hal ini disebabkan Walidaini melakukan penghitungan bobot badan 1 hari setelah imago keluar yang memungkinkan imago sudah mengeluarkan ejakulat sebelum penimbangan, sedangkan pada penelitian ini penimbangan bobot badan dilakukan beberapa saat setelah imago keluar. Rerata total ejakulat yang dihasilkan adalah 1.32±0.64 ml yang merupakan 34.45±1.49% dari bobot badan imago. Jumlah volume semen pada tubuh imago dipengaruhi oleh nutrien yang dimiliki oleh imago saat menjadi larva, karena untuk menghasilkan semen digunakan cadangan makanan selama masa larva tersebut. Keterbatasan nutrien pada imago ini dikarenakan pada fase pupa dan dewasa tidak makan lagi. Korelasi bobot badan dengan volume ejakulat mempunyai persamaan Y= 1.732X-5.105 dan berkorelasi sangat kuat (R=0.969). Karena korelasinya sangat kuat maka persamaan tersebut dapat digunakan untuk menduga total volume ejakulat bila bobot badan diketahui. Dari persamaan tersebut tampak bahwa semakin berat bobot imago maka akan semakin banyak volume semen yang dihasilkan. Pola korelasi antara bobot badan dengan volume total ejakulat dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1 Data bobot badan dan volume ejakulat imago jantan A.atlas

Hewan BB (g) Total ejakulat (ml) % ejakulat terhadap BB 1 3.15 0.4 12.69 2 3.6 0.9 25.00 3 3.8 1.6 42.10 4 3.9 1.8 46.15 5 4.1 1.9 46.34 Rerata±SD 3.71±0.36 1.32±0.64 34.45±1.49

Gambar 1 Korelasi antara bobot badan dengan volume total ejakulat dari A.atlas jantan Y= 1.732X-5.105

Total volume ejakulat yang dihasilkan diperoleh dari 3 kali pengambilan secara langsung. Volume semen tiap ejakulasi dapat dilihat pada Tabel 2.

(19)

9 Tabel 2 Volume ejakulat imago A. atlas tiga kali pengambilan

Hewan Ejakulat (ml) Total ejakulat

I II III 1 0.2 0.2 0.0 0.4 2 0.5 0.2 0.2 0.9 3 0.9 0.6 0.1 1.6 4 1.1 0.6 0.1 1.8 5 1.1 0.7 0.1 1.9 Rerata±SD 0.76±0.39 0.46±0.24 0.10±0.07 1.32±0.64 Rerata volume ejakulat yang didapatkan adalah 0.76±0.39 ml pada ejakulasi ke-I, 0.46±0.24 ml pada ejakulasi ke-II dan 0.10±0.07 ml pada ejakulasi ke-III dan rerata total volume ejakulat yang didapat adalah 1.32±0.64 ml. Volume semen yang dihasilkan semakin sedikit seiring terjadinya peningkatan ejakulasi. Hasil berbeda didapat pada penelitian Pramono (2014) yaitu rerata volume semen pada dua jam ke-I sampai ke-VI yaitu 0.32±0.27 ml, 0.57±0.38 ml, 0.33±0.19 ml, 0.24±0.14 ml, 0.19±0.10 ml dan 0.06±0.01 ml dan rerata volume total ejakulat sebanyak 1.71±0.50 ml. Pengoleksian semen tanpa memberikan selang waktu menunjukkan jumlah volume ejakulat lebih sedikit dibandingkan dengan memberikan selang waktu saat pengambilan. Hal ini dikarenakan imago membutuhkan waktu dalam proses spermatogenesisnya walaupun tidak sebanyak yang dibutuhkan pada hewan mamalia. Berbeda pula pada penelitian Muttaqien et al. (2014) yang melakukan koleksi ejakulat hanya satu kali pengambilan yaitu 0.42±0.47 ml.

Persamaan antara bobot badan dan volume ejakulat (Y= 1.732X-5.105) dapat digunakan untuk menduga volume ejakulat yang dihasilkan. Misalnya imago jantan dengan bobot badan 3.5 g dapat diduga menghasilkan semen sebanyak 0.96 ml. Dengan memanfaatkan data Pramono (2014), maka dapat diketahui jumlah sel spermatozoa yang dihasilkan imago berbobot 3.5 g adalah sebanyak 1095 x 106 sel spermatozoa.

Imago A. atlas jantan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 5 ekor, dan 4 ekor di antaranya berhasil melakukan perkawinan sebanyak 3 kali, sedangkan 1 imago hanya berhasil melakukan perkawinan sebanyak 2 kali. Pengaruh frekuensi perkawinan A. atlas terhadap jumlah telur, waktu tetas dan daya tetas telur ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Pengaruh frekuensi perkawinan A. atlas terhadap jumlah telur, waktu tetas dan daya tetas telur

Parameter Perkawinan

I II III

JT (butir/ imago) 231.80±16.26a 230.20±52.21a 215.60±30.20a WT (hari) 11.60±0.89a 11.60±0.54a 10.40±5.85a DTT (%) 53.58±18.26b 38.20±5.21ab 25.93±19.63a

JT: Jumlah telur, WT: Waktu tetas telur, DTT: Daya tetas telur. Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% ( uji selang berganda Duncan)

(20)

10

Jumlah telur per induk tidak dipengaruhi oleh frekuensi perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3, jumlah telur pada perkawinan ke-I, ke-II dan ke-III tidak berbeda nyata. Jumlah telur yang dihasilkan pada penelitian ini 215-231 butir tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Awan (2007) yaitu 100-360 butir. Lama perkawinan yang digunakan pada penelitian ini yaitu 6 jam, hal ini berdasarkan pada penelitian Desmawita et al. (2013) yang menyatakan jumlah telur dari hasil perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata, sehingga imago jantan dapat dimanfaatkan untuk perkawinan selanjutnya Semakin banyak telur yang dihasilkan setelah perkawinan, maka semakin banyak pula calon bibit yang akan menetas. Singh et al. (2003) menyatakan bahwa proses peneluran tergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti hormon, fisik, tingkah laku dan lingkungan. Jumlah telur juga dipengaruhi oleh sifat betina (maternal effect) dan kualitas pakan yang dikonsumsi imago saat masih menjadi larva. Jumlah total telur per imago dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah total telur per imago

Perkawinan Ulangan (n) Rerata±SD (butir) Kisaran (butir)

I 5 231.80±16.26 211-249

II 5 230.20±52.21 162-280

III 5 215.60±30.20 184-251

Waktu tetas telur tidak dipengaruhi oleh frekuensi perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan waktu tetas telur pada perkawinan ke-I adalah 11.60±0.89 hari, perkawinan ke-II: 11.60±0.54 hari dan perkawinan ke-III: 10.40±5.85 hari. Waktu tetas telur selama penelitian terlihat tidak berbeda nyata, hal ini dapat mempermudah peternak dalam pemeliharaan untuk produksi bahan dasar sutera. Pada penelitian sebelumnya (Barus 2013) waktu tetas telur menunjukkan hasil yang seragam yaitu 9 hari. Waktu tetas telur yang beragam ditunjukkan pada penelitian Adria dan Idris (1997) yaitu 7-13 hari dan penelitian Awan (2007) yaitu 10-12 hari. Waktu tetas telur disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Waktu tetas telur

Perkawinan Ulangan (n) Rerata±SD (hari) Kisaran (hari)

I 5 11.60±0.89 10-12

II 5 11.60±0.54 11-12

III 5 10.40±5.85 12-14

Intensitas cahaya yang tidak rata merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan waktu tetas telur (Sunanto 1997). Faktor-faktor lain yang memengaruhi waktu tetas telur adalah suhu lingkungan saat inkubasi berlangsung, hormon ekdison dan juvenile dan aktivitas enzim (Triplehorn dan Johnson 2005). Menurut Yusuf (2009) waktu tetas telur dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan dalam proses pembentukan embrio setiap individu. Proses perkembangan embrio telah sempurna pada hari ke-6 dan ke-7 namun larva belum mampu membuka cangkang telur. Waktu tetas telur perlu

(21)

11 diketahui agar mempermudah peternak pada tahap persiapan untuk pemeliharaan larva di antaranya penyediaan pakan, tempat pemeliharaan dan kondisi lingkungan yang sesuai.

Daya tetas telur dipengaruhi oleh frekuensi imago jantan mengawini betina. Persentase daya tetas telur pada perkawinan ke-I, ke-II dan ke-III oleh jantan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Semakin banyak frekuensi imago jantan mengawini betina maka akan semakin kecil persentase daya tetas telur yang dihasilkan oleh betina. Pada penelitian ini persentase daya tetas telur pada perkawinan ke-I oleh imago jantan adalah 53.58±18.26%, perkawinan ke-II: 38.20±5.21% dan perkawinan ke-III: 25.93±19.63%. Hal ini berkaitan dengan volume ejakulat yang dihasilkan oleh imago jantan (Tabel 2). Semakin sedikit ejakulat yang dihasilkan maka semakin sedikit pula peluang telur yang bisa dibuahi oleh spermatozoa, sehingga daya tetas ikut menurun. Persentase berbeda ditunjukkan pada penelitian Adria dan Idris (1997) yaitu 72.06% untuk perkawinan di alam. Perkawinan di alam dengan waktu perkawinan sekitar 24 jam, persentase daya tetas telur yang dihasilkan lebih tinggi karena waktu perkawinan di alam lebih lama dan satu pejantan hanya mengawini satu betina.

Tabel 6 Daya tetas telur

Perkawinan Ulangan (n) Rerata±SD (%) Kisaran (%)

I 5 53.58±18.26 40.18-85.78

II 5 38.20±5.21 32.09-45.45

III 5 25.93±19.36 0-54.34

Proses penetasan telur dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat penyimpanan telur, hormon ekdison dan juvenile (Triplehorn dan Johnson 2005). Selain itu menurut Barus (2013) dalam penelitiannya menyatakan lama perkawinan berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur. Semakin lama waktu perkawinan maka semakin banyak kesempatan imago betina menerima spermatozoa untuk disimpan. Banyaknya spermatozoa yang tersimpan akan meningkatkan peluang telur dibuahi dan akhirnya menetas.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah satu ekor imago jantan A atlas menghasilkan total ejakulat sebesar 1.32±0.644 ml yang merupakan 34.45±1.49% dari bobot badan imago. Frekuensi perkawinan (ke-I, ke-II dan ke-III) dari imago jantan tidak memengaruhi jumlah telur dan waktu tetas telur. Frekuensi perkawinan memengaruhi persentase daya tetas telur yang dihasilkan.

(22)

12

Saran

Pemanfaatan imago jantan dalam budidaya dapat digunakan untuk dua kali perkawinan. Pada budidaya juga perlu diperhatikan keseragaman kondisi lingkungan (intensitas cahaya, suhu, kelembaban) pada tahap pemeliharaan telur yang akan ditetaskan.

DAFTAR PUSTAKA

Adria, Idris H. 1997. Aspek biologis hama daun Attacus atlas pada tanaman ylang-ylang. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 3 (2): 37-42. Atmosoedarjo H, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000.

Sutera Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Wana Jaya.

Awan A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Butterfly Arc. 2003. Breeding of cobra butterfly Attacus atlas–Philiphines) [internet].[diunduh 2014 Jan 10]. Tersedia pada: http://www.butterflyarc.it/portal/eng/pg.php?pg=3b.

Desiana R. 2008. Produktivitas dan daya tetas telur A. atlas asal Purwakarta pada berbagai jenis kandang pengawinan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Desmawita BK, Fuah AM, Ekastuti DR. 2013. Intensification of wild silkworm Attacus atlas rearing (Lepodoptera: Saturniidae). Media Peternakan 36(3): 159-164.

Faatih M. 2005. Aktivitas anti-mikroba kokon Attacus atlas. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 6(1):35-48.

Faruki SI. 2005. Effect of pyridoxine on the reproduction of the mulberry silkworm, Bombyx mori L (Lepidoptera: Bombycidae). ISJ. 2:28-31. Feradis MP. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada ternak. Bandung (ID): Alfabeta. Hanum M. 2001. Efektifitas berbagai jenis pengencer terhadap kualitas semen cair

ayam lokal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Japet N. 2011. Karakteristik semen ikan ekonomis budidaya: Mas (Cyprinus carpio) dan Patin (Pangasius hypophthalmus) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Van Der Laan PA, penerjemah. Jakarta (ID): PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Mulyani N. 2008. Biologi Attacus atlas L (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Rincinus communis L) dan jarak pagar (Jatropa cura L) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muttaqien R, Arifiantini RI, Ekastuti DR. 2014. Karakteristik semen ngengat Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae). Peran Reproduksi dalam Penyelamatan dan Pengembangan Plasma Nutfah Hewan di Indonesia dan Seminar Nasional Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia; 2013 Nov 18-19; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): CV Sinar Jaya. hlm 73-78.

(23)

13 Nazar A. 1990. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn) pada tanaman cengkeh. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 16(1):35-37.

Peigler RS. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Liptidoptera Research Foundation. California (US): Inc. Beverly Hills. Plettner E. 2002. Insect Pheromone Olfaction: New Targets for the Design of

Spesies-Selective Pest Control Agents. Current Medicinal Chemistry. Ottawa (CA): Bentham Science Publishers.

Pramono D. 2014. Penentuan waktu optimal koleksi dan evaluasi kapasitas semen ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rianto F. 2010. Performa reproduksi imago Attacus atlas L yang berasal dari perkebunan teh Purwakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Samsijah, Andadari L. 1992. Petunjuk teknis budidaya ulat sutera (Bombyx mori

L). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Sato K, Touhara K. 2008. Insect Olfaction: Receptors, Signal Transduction and Behavior. Tokyo (JP): The University of Tokyo.

Singh T, Saratchandra B, Raj HSP. 2003. Physiological and biochemical modulation during ovipotition and egg laying in the silkworm, Bombyx mori L. J. Indust. Entomol. 6(2):115-123.

Situmorang J. 1996. An attempt to produce Attacus atlas L using baringtonia leaves as plant fooder. Int J of Wild Silkmoth and Silk. Dalam: Awan A. 2007. Aspek biologi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) pada tanaman sirsak (Annona muricata L). Bali (ID): Proceeding Kongres dan Seminar Nasional Entomologi VII.

Solihin DD, Fuah AM. 2010. Budi Daya Ulat Sutera Alam. Ed ke-1. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Sunanto H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Jakarta (ID): Kanisius.

Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study

of Insect. 7th Ed. USA: Tomson Brooks/Cole.

Walidaini R. 2014. Karakteristik imago jantan ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Williams M, Taylor J, Bray J, West M. 2000. Attacus atlas moth.

[internet].[diunduh 2014 Jan 10]. Tersedia pada: http://entweb.clemson.edu/museum/moths/exotic/moth1.htm.

Yusuf TL, Arifiantini RI, Rahmiwati N. 2005. Daya tahan semen cair kambing peranakan etawah dalam pengenceran kuning telur dengan kemasan dan konsentrasi spermatozoa yang berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 30(4):217-223.

Yusuf Y. 2009. Embryonic development of Attacus atlas L (Lepidoptera: Saturniidae). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(24)
(25)

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Matur pada tanggal 5 Februari 1987, sebagai anak ke-2 dari pasangan Bapak Alwi dan Ibu Elvi Nova. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD N38 Limo Balai, Agam tahun 1998, pendidikan menegah pertama di SLTP N 1 Matur, Agam tahun 2001, pendidikan menengah atas di SMA 1 Matur, Agam tahun 2004.

Tahun 2007 Penulis menyelesaikan pendidikan Diploma III Teknisi Medis Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan pada tahun 2010 Penulis diterima sebagai mahasiswa Strata 1 Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Alih Jenis.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2007: 132) Sistem pembelajaran menggunakan modul memiliki perbedaan dengan system pembelajaran pada umumnya yaitu sistem

Kalau yang dimaksud dengan produk budaya adalah teks/bahasa yang digunakan Allah dalam menyampaikan pesan- pesan-Nya adalah bahasa manusia, sedang bahasa

Dapat dilihat dari pengertian LKM dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Syariah Pasal 1 Ayat (1), 51 tersebut dapat digaris bawahi bahwasanya

kemampuan penalaran dan kretivitas belajar matematika melalui upaya. penerapan teknik pembelajaran Brainstorming siswa kelas

Setelah diadakan observasi awal dan diskusi dengan guru kolaborator, maka di pilih cara pemecahan masalah dengan menerapkan metode student teams achievement division

terhadap fogging insektisida malathion 5% yang digunakan untuk pemberantasan vektor nyamuk di wilayah Kota Denpasar sebagai daerah endemis DBD tahun 2016 ”.. 1.3

Untuk memperjelas penelitian, maka dibatasi hanya mengkaji pengaruh dua variabel saja yaitu strategi dengan ilustrasi model pizza dan kemampuan penalaran