• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kebumian

Program Studi Meteorologi

© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

PENERBITAN ONLINE AWAL

Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada

Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah

diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan

penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi

Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat

diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin

dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon

diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan

kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan

versi publikasi akhir.

(2)

1

SIMULASI LONGSOR YANG DIPENGARUHI CURAH HUJAN

MENGGUNAKAN MODEL TRIGRS

(Studi Kasus Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi)

HELIN MAYANGSARI

Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Kejadian tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor penting yang menjadi pemicu terjadinya tanah longsor adalah curah hujan. Pada penelitian ini dilakukan simulasi stabilitas lereng di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 1-5 November 2011 menggunakan model Transient Rainfall Infiltration and

Grid-based Regional Slope-stability (TRIGRS). Digunakan dua set simulasi, set 1 adalah set intensitas curah

hujan dengan pola asli sedangkan set 2 adalah set cerminan (mirror). Bila dilihat pola intensitas curah hujan pada kedua set tersebut, pola set 2 menunjukkan nilai factor of safety (FS) yang cenderung lebih tinggi daripada pola set 1. Pola curah hujan yang memiliki intensitas awal tinggi lalu menurun memiliki grafik luasan area FS yang lebih rendah dibandingkan pola curah hujan yang memiliki intensitas awal rendah lalu meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pola curah hujan yang meningkat drastis berpengaruh pada kestabilan lereng untuk mempertahankan kondisi setimbangnya. Penelitian di Kecamatan Cibadak pada tanggal 1-5 November 2011 menunjukkan bahwa titik potensi longsor tinggi terpusat di daerah Pamuruyan, Neglasari, Cibadak, Tenjojaya dan Sekarwangi (daerah kejadian longsor) dengan lokasi potensi di daerah ladang atau perkebunan.

Kata kunci: Pola curah hujan, tanah longsor, stabilitas lereng, model TRIGRS

1. Pendahuluan

Bencana tanah longsor yang kerap terjadi di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi menimbulkan pertanyaan tentang kemajuan mitigasi bencana alam di Indonesia, sedangkan penyebab potensi bencana tanah longsor belum banyak diteliti, seperti pola dan karakter curah hujan lokal. Pemetaan spasial dan temporal tanah longsor juga telah banyak diteliti oleh ilmuwan dan teknisi kebumian di tanah air namun korban jiwa dan material belum dapat tereduksi secara pasti. Untuk perkembangan mitigasi bencana alam diperlukan pemodelan bencana tanah longsor dengan memperhitungkan faktor-faktor meteorologi dan geologi yang berpengaruh dalam mekanisme longsor.

Tanah longsor adalah salah satu bencana geologi dan mempunyai beberapa jenis, faktor penyebab dan hal yang berkaitan dengan longsor (faktor pemicu) (Tejakusuma, 2007). Tanah longsor berhubungan dengan masalah kemiringan lereng, yaitu ketika stabilitas lereng terganggu, pergerakan menurun dengan banyak karakter akan memindahkan massa tanah (Varnes, 1978).

Dari sisi meteorologi, curah hujan adalah faktor yang besar peranannya terhadap kejadian longsor. Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi yang berlangsung lama (>6 jam) berpotensi terjadinya longsor, karena pada kondisi tersebut terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Dari sisi geologis, faktor kedalaman, tekstur dan struktur tanah, bahan induk tanah, elevasi dan

kondisi lereng sangat menentukan kerentanan gerakan tanah longsor suatu lokasi (Pedoman Umum Budidaya Pertanian, 2006).

Gambar 1-1 Diagram jumlah kejadian gerakan tanah untuk masing-masing jenis gerakan tanah disetiap kecamatan di Kabupaten Sukabumi. (Tohari, 2010).

Bentuk topografi dan geografi wilayah Jawa Barat identik dengan Bukit Lawang (Sumut), Banjarnegara (Jateng), dan Jember (Jatim) sedangkan pergerakan tanah di Jawa Barat lebih rentan karena intensitas curah hujannya tinggi sebesar mencapai 777 mm per bulan. Akibatnya wilayah Jawa Barat sangat rentan dengan bencana longsor (BPBD, 2005). Gambar 1.2 menunjukkan aktifitas kejadian tanah longsor di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dengan frekuensi tanah longsor tertinggi terjadi di Kecamatan Cibadak dengan jenis longsor luncuran bahan.

(3)

2

Melihat besarnya peran curah hujan terhadap tanah ongsor, maka penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat peristiwa tanah longsor semakin intens terjadi pada musim hujan dan memakan banyak korban jiwa dan materi di daerah studi kasus. Sejauh ini informasi peristiwa tanah longsor di Kecamatan Cibadak masih sebatas lewat media massa sehingga perlu tindakan berbasis ilmiah yang tepat dari pihak pemerintah. Analisa hidrologi, stabilitas lereng dan besar curah hujan dalam bentuk pemetaan spasial yang disimulasikan dengan sebuah model stabilitas lereng

Transient Rainfall Infiltration and Grid-based Regional Slope-stability (TRIGRS) yang diharapkan

dapat cukup akurat untuk melihat dampak perubahan curah hujan pada kejadian longsor melalui sebaran titik-titik bencana tanah longsor di Kecamatan Cibadak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi pola dan karakter curah hujan yang menyebabkan kejadian longsor di Kecamatan Cibadak studi kasus pada tanggal 1 – 5 November 2011 dengan model TRIGRS.

2. Data dan Metode

Pada penelitian ini digunakan dua jenis data masukan model TRIGRS yaitu data meterologi yang diwakilkan oleh curah hujan harian pada tahun 2011, data topografi dengan resolusi 25 meter, sudut kemiringan lereng, nilai kohesi, kedalaman tanah,bobot tanah, kedalaman muka airtanah awal, nilai difusivitas, konduktifitas hidrolik jenuh, laju infiltrasi awal dan bobot limpasan permukaan yang nantinya akan diolah di software TRIGRS dalam format ASCII. Citra satelit Landsat 7 akan digunakan untuk proses verifikasi kondisi sebelum dan sesudah kejadian tanah longsor di Kecamatan Cibadak pada tanggal 1-5 November 2011.

Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data curah hujan harian yang dikonversikan menjadi data curah hujan jam-jaman. Penentuan nilai intensitas curah hujan dengan data curah hujan harian dapat didekati dengan persamaan Mononobe (Ishiguro, 1953) sebagai berikut:

= ………...(1)

dengan, I adalah intensitas curah hujan (mm/jam), tc adalah waktu konsentrasi (jam), R24 adalah curah hujan maksimum dalam 24 jam / curah hujan harian (mm).

Setelah didapatkan data intensitas curah hujan jam-jaman dari persamaan 3.1 selanjutnya diubah menjadi data curah hujan per tiga jam. Setelah dikonversikan maka data curah hujan tersebut beserta data-data informasi geologi diinterpolasi secara spasial menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9 dan dibuat dalam format data teks ASCII sebagai data masukan model TRIGRS.

Setelah data curah hujan per tiga jam-an dan data-data geologi sudah siap dalam format ASCII, maka dibutuhkan suatu naskah (script) untuk menjalankan model TRIGRS. Terdapat 120 deret waktu (15 hari dalam per tiga jaman) yang dikomputasikan menggunakan model ini.

Pada penelitian ini dilakukan dua set komputasi yaitu set 1 yang merupakan set komputasi yang menggunakan posisi urutan data curah hujan asli. Set 2 yang merupakan set komputasi yang menggunakan balikan (mirror) data curah hujan asli dengan tujuan membandingkan dua pola curah hujan yang berbeda. Pada set 1, parameter yang berubah dalam model ini adalah waktu dengan waktu awal (t0) adalah 0.01 detik dan waktu akhir (t120) adalah 1296000 detik. Untuk set 2, parameter yang diubah adalah posisi urutan data curah hujan pada naskah tapi dengan perubahan deret waktu yang sama dengan set 1.

Di dalam model TRIGRS dilakukan perhitungan laju infiltrasi tiap sel grid menggunakan metode Iverson yang sangat memperhitungkan kedalaman awal dari muka airtanah, konduktivitas hidrolik jenuh dan sudut kelerengan. Hasil dari model ini sangat sensitif pada kondisi awal rembesan tetap. Stabilitas lereng pada model TRIGRS dimodelkan menggunakan analisis stabilitas lereng tak berhingga (infinite-slope) dengan data keluaran akhir berupa nilai factor of safety (FS) dalam format ASCII.

Setelah komputasi model TRIGRS dan keluar nilai FS tiap sel gridnya, dilakukan klasifikasi nilai FS. Reklasifikasi nilai FS ini menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9 dengan alat bantu Spatial Analyst

Tools Reclass Reclassify. Pada tahap ini nilai FS yang memiliki range data 0 – 10 dibagi dalam empat kelas tingkat kerentanan longsor menurut Ward (1976) sebagai berikut :

Tabel 2-1Sistem Klasifikasi Sistem Kerentanan Gerakan Tanah (Ward, 1976)

Faktor Keamanan (FS) Kerentanan Gerakan Tanah

FS > 2.0 Kerentanan Sangat Rendah 2.0 > FS > 1.7 Kerentanan Rendah 1.7 > FS > 1.2 Kerentanan Menengah

FS < 1.2 Kerentanan Tinggi

Untuk pemetaan spasial titik-titik kerentanan gerakan tanah, sistem klasifikasi nilai FS dibuat empat warna yang berbeda sesuai dengan golongan karakter kerentanan gerakan tanah. Pembagian kode warnanya yaitu merah untuk tingkat kerentanan tinggi, kuning untuk tingkat kerentanan menengah, hijau untuk tingkat kerentanan rendah dan putih untuk tingkat kerentanan sangat rendah.

(4)

3

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Analisis Curah Hujan

Intensitas curah hujan merupakan faktor utama yang ditinjau dalam penelitian ini yang diperoleh dari hasil pengolahan konversi data curah hujan harian menjadi data curah hujan jam-jaman menggunakan persamaan Mononobe. Namun dalam proses komputasi hanya digunakan intensitas curah hujan per tiga jam karena keterbatasan kapabilitas model TRIGRS dalam mengolah kuantitas data yang sangat banyak.

Dalam penelitian ini digunakan dua set pola curah hujan yaitu set 1 merupakan set komputasi dengan intensitas curah hujan dengan pola asli seperti pada Gambar 3.1 sedangkan set 2 merupakan set komputasi dengan intensitas curah hujan dengan pola balikan (mirror) seperti pada Gambar 3.2.

Digunakan kondisi awal dengan curah hujan minimum mendekati nol untuk melihat fluktuasi perubahan kondisi tanah sebelum kejadian tanah longsor dan kondisi akhir dengan curah hujan minimum pada akhir simulasi untuk penanda berakhirnya masa badai (hujan lebat) yang dianalisis sebagai faktor pemicu terjadinya kejadian longsor di daerah studi.

Gambar 3-1Curah hujan harian set 1 di Kec. Cibadak, Kab. Sukabumi pada tanggal 22 Oktober 2011 – 5 November 2011

Gambar 3-2 Curah hujan harian set 2 di Kec. Cibadak, Kab. Sukabumi pada tanggal 22 Oktober 2011 – 5 November 2011

Telah terjadi kejadian longsor di Kecamatan Cibadak yang menyebabkan kerusakan rumah-rumah penduduk pada tanggal 30 Juni 2011 (Pikiran Rakyat,

2011). Dari kejadian tanah longsor pada tanggal 30 Juni 2011 dan tanggal 1-5 November 2011 dapat diketahui pola curah hujan yang menyebabkan tanah longsor di Kecamatan Cibadak.

Pada Gambar 3.3 ditunjukkan kondisi sebelum dan sesudah kejadian longsor pada periode 20 Juni 2011 – 7 Juli 2011. Terlihat cukup jelas bahwa pola curah hujan tersebut memiliki korelasi dengan kejadian longsor yang terjadi (tanggal 30 Juni 2011 maupun 1-5 November 2011). Maka pola curah hujan yang berpotensi menyebabkan kejadian tanah longsor adalah pola curah hujan yang mengalamai curah hujan yang meningkat secara konsisten.

Gambar 3-3 Curah hujan harian di Kec. Cibadak, Kab. Sukabumi pada tanggal 20 Juni 2011 – 7 Juli 2011

3.2. Analisis Stabilitas Lereng

Pada penelitian ini, dalam menentukan nilai faktor keamanan lereng (FS) setiap grid, digunakan model analisis keseimbangan batas stabilitas lereng tak hingga yang diturunkan oleh Iveson (2000). Simulasi dilakukan dengan asumsi bahwa kejadian longsor yang terjadi merupakan kejadian tanah longsor dangkal dan faktor geologi (soil properties) tidak mengalami perubahan yang signifikan selama rentang periode simulasi (22 Oktober 2011 – 5 November 2011).

Di dalam model stabilitas lereng, untuk menyatakan kemantapan suatu lereng digunakan

Factor of Safety (FS) atau faktor keamanan yang

merupakan perbandingan antara kuat geser dan tegangan geser tanah. Menurut Ward (1976) pada Tabel 3.1, suatu lereng dikatakan tidak stabil atau memiliki kerentanan gerakan tanah tinggi apabila faktor keamanannya lebih kecil dari satu koma dua (FS < 1.2). Apabila faktor keamanannya di atas satu (FS > 2.0), maka lereng dikatakan stabil atau memiliki kerentanan gerakan tanah sangat rendah. Kondisi kritis terjadi pada saat FS = 1.

Simulasi model TRIGRS dilakukan dengan menggunakan 2 set komputasi yaitu set 1 dan set 2. Setelah proses komputasi kedua set selesai dijalankan maka dipilih 4 titik waktu yang dipilih berdasarkan kondisi konvergensi dan divergensi grafik set 1 dan set 2 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.7.

Waktu uji dipilih pada saat t=0 (22 Oktober 2011 jam 00.00) untuk meninjau kondisi FS awal simulasi TRIGRS, t=20 (24 Oktober 2011 jam 12.00)

(5)

4

untuk analisis kondisi divergensi grafik kedua set FS, t=90 (2 November 2011 jam 06.00) untuk analisis kondisi konvergen grafik kedua set FS dan t=120 (5 November 2011 jam 24.00) untuk meninjau kondisi FS akhir simulasi.

Gambar 3-4 Plot grafik FS selama 360 jam (intensitas per tiga jaman) set 1 (garis solid) dan set 2 (garis putus-putus) untuk tingkat kerentanan tinggi (atas, FS < 1.2), tingkat kerentanan menengah (tengah, 1.2 < FS < 1.7) dan tingkat kerentanan rendah (bawah, 1.7 < FS < 2.0)

Gambar 3.1 merupakan representasi dari hasil komputasi 2 set model TRIGRS pada klasifikasi nilai FS selama 15 hari waktu simulasi. Sumbu horizontal pada ketiga grafik tersebut adalah deret waktu simulasi yang menggunakan jangka waktu per tiga jaman selama 360 jam (15 hari x 24 jam), sedangkan sumbu vertikalnya adalah keterangan luar area cakupan dalam satuan m2 per tingkat kerentanan.

Dari hasil pengolahan nampak bahwa pada t=0 (waktu awal simulasi) nilai FS kedua set bernilai sama persis sedangkan pada t=20 grafik set 1 dan set 2 mulai menunjukkan divergensi dan berkonvergen pada t=90 dan seterusnya sampai t=120. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan pola curah hujan dari 2 set komputasi yang berbeda.

Bila melihat pola intensitas curah hujan pada set 1 dan set 2, pola set 2 menunjukkan nilai FS yang cenderung lebih tinggi daripada pola set 1. Pola curah hujan yang memiliki intensitas awal simulasi tinggi lalu menurun memiliki grafik luasan area FS yang lebih rendah dibandingkan pola curah hujan yang memiliki intensitas awal simulasi rendah lalu meningkat.

Pada set 1 hujan yang turun pada saat awal simulasi diperkirakan belum sempat memenuhi batas

kejenuhan tanah. Hujan lebat yang turun lebih banyak menjadi limpasan permukaan (runoff) dibandingkan mengalami proses infiltrasi ke dalam tanah. Pada set 2 hujan kecil yang memiliki pola peningkatan berpotensi meningkatkan kejenuhan tanah karena hujan yang turun mengalami proses infiltrasi lebih besar daripada curah hujan pada pola set 1.

Penelitian ini memiliki asumsi bahwa kejadian tanah longsor yang terjadi adalah kejadian tanah longsor dangkal (kedalaman tanah longsor < 5m). Longsor dangkal bersifat lebih responsif terhadap hujan lebat karena curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan kejenuhan tanah secara cepat karena air mudah masuk ke lapisan tanah paling atas yang biasanya merupakan jenis tanah pelapukan yang memiliki konduktivitas hidrolik tinggi.

Jenis longsor dalam membutuhkan intensitas curah hujan yang tinggi dengan jangka waktu yang panjang untuk dapat terjadi longsor karena proses infiltrasi yang terjadi harus melewati lapisan tanah yang sangat dalam (kedalaman tanah >5m). Hal ini menunjukkan bahwa pola curah hujan yang meningkat drastis berpengaruh pada kestabilan lereng untuk mempertahankan kondisi setimbangnya.

3.3. Perbandingan Hasil Set 1 dan Set 2

Untuk menjelaskan lebih detil mengenai hasil komputasi dari kedua set pola curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini maka akan diambil sebuah potongan kecil suatu daerah (indeks) yang memiliki latar belakang khusus. Faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi sampel adalah adanya perubahan luasan area FS yang cukup signifikan, memiliki satu formasi tanah dan memiliki jangkauan besar sudut kemiringan lereng dan elevasi ketinggian yang besar.

Gambar 3-5 Peta distribusi spasial kerentanan longsor di Kec. Cibadak tanggal 22 Oktober 2011 (set 1). Kotak biru di Pamuruyan adalah lokasi sampel untuk uji perbandingan hasil komputasi set 1-2

Jenis batuan lokasi sampel merupakan batuan gunungapi Gunung Pangrango yang terdiri dari endapan vulkanik muda. Tanah jenis endapan vulkanik merupakan tanah gembur hasil proses

(6)

5

pelapukan yang cenderung mudah menyerap air yang menyebabkan kekuatan tanah untuk berada pada posisi setimbang agak lemah. Sudut kemiringan di lokasi sampel adalah 0.14o – 41.52o dengan elevasi ketinggian lokasi adalah 372.58 mdpl – 455.17 mdpl sehingga dapat dipenuhi asumsi homogenitas faktor

geologi dan memenuhi kebutuhan analisis stabilitas lereng selanjutnya.

Setelah menentukan lokasi sampel dengan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya maka akan dilihat perbandingan hasil komputasi set 1-2 pada Gambar 3.3 dari aspek luas sebaran nilai FS.

a1

b1

c1

d1

a2

b2

c2

d2

Gambar 3-3 Indeks peta kerentanan longsor di Kecamatan Cibadak (a1) tanggal 22 Oktober 2011 jam 00.00 set 1 (a2) tanggal 22 Oktober 2011 jam 00.00 set 2 (b1) tanggal 24 Oktober 2011 jam 12.00 set 1 (b2) tanggal 24 Oktober 2011 jam 12.00 set 2 (c1) tanggal 2 November 2011 jam 06.00 set 1 (c2) tanggal 2 November 2011 jam 06.00 set 2 (d1) tanggal 5 November 2011 jam 24.00 set 1 (d2) tanggal 5 November 2011 jam 24.00 set 2

Berdasarkan hasil komputasi model TRIGRS di Gambar 3.3, perbedaan luasan area FS (daerah yang dilingkari hitam) paling jelas terlihat pada saat t=20 dan t=90 dimana kedua waktu tersebut adalah waktu dimana grafik set 1 dan set 2 mulai mengalami divergensi (t=20) dan konvergensi (t=90).

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil simulasi kejadian longsor di Kecamatan Cibadak pada tanggal 1-5 November 2011 dengan menggunakan model TRIGRS diperoleh

kesimpulan bahwa pola curah hujan yang menyebabkan tanah longsor adalah curah hujan awal rendah lalu meningkat secara konsisten hingga akhir. Model stabilitas lereng 2 dimensi infinite slope TRIGRS yang menggunakan dua set komputasi dapat menggambarkan potensi tanah longsor dangkal pada berbagai pola curah hujan.

Berdasarkan hasil simulasi, grafik set 2 menunjukkan sebaran titik-titik rawan longsor yang lebih luas dibandingkan set 1. Pola curah hujan yang memiliki intensitas awal tinggi lalu menurun memiliki

(7)

6

grafik luasan area FS yang lebih rendah dibandingkan pola curah hujan yang memiliki intensitas awal rendah lalu meningkat.

Titik potensi longsor tinggi terpusat di daerah Pamuruyan, Neglasari, Cibadak, Tenjojaya dan Sekarwangi (daerah kejadian longsor) dengan lokasi potensi di daerah ladang atau perkebunan.

REFERENSI

Asriningrum, W. (2002). Studi Kemampuan Landsat

ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan (Landform) di Daerah Jakarta-Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Baum, R. L. (2005). Modeling Rainfall Conditions For

Shallow Landsliding In Seattle.

Baum, R. (2002). TRIGRS—A Fortran Program for

Transient Rainfall Infiltration and Grid-Based Regional Slope-Stability Analysis. Colorado: USGS.

Hansen, M. (1984). Strategies for Classification of

Landslides. 1-25.

Iverson, R. M. (2000). Landslide triggering by rain

infiltration. WATER RESOURCES RESEARCH, VOL. 36 , 1897-1910.

Liu, C. N., & Wu, C. C. (2008). Mapping susceptibility of

rainfall-triggered shallow landslides using a probabilistic approach. Environment Geology , 907-915.

Purwadhi, F. (2001). Interpretasi Citra Digital. Jakarta:

Grasindo.

Saptohartono, E. (2007). Analisis Pengaruh Curah Hujan

Terhadap Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor Kabupaten Bandung. Bandung: ITB.

Tejakusuma, G. I. (2007). Ancaman Bencana Longsor.

Alami, Vol.12 Nomor 2 , 72-75.

Tjasyono, B. (2004). Klimatologi. Bandung: ITB.

Tohari, A. (2010). Laporan Kemajuan Tahap I Kegiatan

Kompetitif LIPI Tahun 2010 : Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Gerakan Tanah Di Jawa Barat (Studi Kasus Daerah Rawan Gerakan Tanah Di Kabupaten Bandung Dan Cianjur). Bandung: LIPI.

USGS. (2004). Landslide Types and Processes. Unites State:

USGS.

Utomo, Edi P.; Tohari, Adrin; Soebowo, Eko; , Sudaryanto;.

(2003). Penyusun Strategi Mitigasi Bahaya Gerakan Tanah Nasional. Bandung: Puslit Geoteknologi LIPI.

Varnes, D. J. (1984). Landslide hazard zonation : a review

of principles and practice. Paris: UNESCO.

Varnes, D. J. (1978). Slope movement types and processes.

Transportation and Road Research Board (hal. 11-33). Washington D. C.: National Academy of Science.

Wang, P. H., Wu, C. C., & Wang, W. H. (2010). TRIGRS –

Assessment Of The Effects Of Grid Size, Rainfall Pattern, And Groundwater Stage On Slope Stability At Shan-Tsun-Laio Landslide. National Pingtung University of Science and Technology Journal , 664-677.

Yuan, C. C., Chien, T. C., Chieh, F. Y., & Chi, S. L. (2005).

Analysis of time-varying rainfall infiltration induced landslide. Environtment Geology , 466-479.

Zakaria, Z. (2010). Analisis Kestabilan Lereng Tanah.

Bandung: FMIPA-UNPAD.

Pedoman Umum Budidaya Pertanian. (2006, Oktober 9). Dipetik Desember 29, 2011, dari Badan Litbang

Pertanian RI:

Gambar

Gambar  1-1  Diagram  jumlah  kejadian  gerakan  tanah  untuk  masing-masing  jenis  gerakan  tanah  disetiap  kecamatan  di Kabupaten Sukabumi
Gambar 3-2 Curah hujan harian set 2 di Kec. Cibadak, Kab.
Gambar  3-4  Plot  grafik  FS  selama  360  jam  (intensitas  per  tiga  jaman)  set  1  (garis  solid)  dan  set  2  (garis   putus-putus)  untuk  tingkat  kerentanan  tinggi  (atas,  FS  &lt;  1.2),  tingkat  kerentanan  menengah  (tengah,  1.2  &lt;  FS
Gambar 3-3 Indeks peta kerentanan longsor di Kecamatan Cibadak (a1) tanggal 22 Oktober 2011 jam 00.00 set 1 (a2) tanggal  22 Oktober 2011 jam 00.00 set 2 (b1) tanggal 24 Oktober 2011 jam 12.00 set 1 (b2) tanggal 24 Oktober 2011 jam 12.00  set  2  (c1)  tan

Referensi

Dokumen terkait

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

Umat Islam sekarang ini sangat membutuhkan penjelasan aqidah semacam ini, dikarenakan banyaknya sekte-sekte baru yang sesat dan berkedok Islam seperti kelompok

Penggunaan daun gamal (Gliricidia sapium), guna mempercepat kematangan buah pisang Raja Sere dan Emas yang dilakukan Yulianingsih dan Dasuki (1989), menyatakan bahwa daun gamal

Ukuran-ukuran pada liang terlihat pada Gambar 2, yaitu dibedakan menjadi SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu

Sebagai perbandingan bangunan fasilitas cottage, ada beberapa kawasan wisata dengan fasilitas akomodasinya yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sehingga fasilitas wisata

Berdasarkan RIP Unand 2017-2010, Program unggulan penelitian roadmap Unand 2010-2025 peneliti ingin implementasikan kepada penelitian kesehatan yang berhubungan

Field research adalah sumber data yang diperoleh dari lapangan penelitian yaitu mencari data terjun langsung ke obyek penelitian untuk memperoleh data yang kongret

Dependent Variable: Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah