• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000). Proses menua yang terjadi pada lanjut usia yang selanjutnya disebut lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Darmojo, 2006).

Lansia dapat mengalami perubahan fisik, mental dan emosional seiring dengan bertambahnya usia mereka. Namun dengan adanya bantuan dan dukungan dari keluarga, teman-teman, dan pemberi pelayanan perawatan kesehatan, maka sebagian besar masalah mental dan emosional yang berat dapat dicegah. Agar lansia dapat menikmati kehidupan di hari tua sehingga dapat bergembira atau merasa bahagia, diperlukan dukungan dari orang-orang yang dekat dengan mereka. Dukungan tersebut bertujuan agar lansia tetap dapat menjalankan

(2)

2 kegiatan sehari-hari secara teratur dan tidak berlebihan. Dukungan tersebut perlu diberikan mengingat semakin banyaknya pertumbuhan lansia dari tahun ketahun.

Menurut Neugarten & Chalhoun (1995), masa tua adalah suatu masa di mana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, dan masa kelemahan manusiawi. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh kembang dan bertekat berbakti. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan dan keputusasaan, yang pada akhirnya lanjut usia menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri. Menyikapi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia melalui berbagai program pelayanan untuk lansia (Sumarno, et al., 2011).

Menurut Undang-undang Republik Indonesia no 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Lanjut usia (selanjutnya disebut lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Sementara itu World Health Organization (WHO) membagi lanjut usia menurut tingkatan umur lansia yaitu: (1) usia pertengahan antara 45-59 tahun, (2) usia lanjut antara 60-70 tahun, (3) usia lanjut antara 75-90 tahun dan (4) usia sangat tua di atas 90 tahun). Sesuai

(3)

3 dengan Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia tersebut, mengamanatkan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia. Pertumbuhan lansia di Indonesia lebih cepat dibandingkan negara-negara lain. Diperkirakan Indonesia akan mengalami aged population boom pada dua dekade permulaan abad 21 ini. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah dan proporsi penduduk lansia secara signifikan. Menurut data BPS 2013, pada tahun 1970 populasi penduduk lansia 5,3 juta jiwa (4,48% dari total penduduk), pada tahun 1990 meningkat menjadi 12,7 juta jiwa (6,29 %), tahun 2010 menjadi 23 juta (10%). Diperkirakan pada tahun 2020, jumlah lansia akan meningkat menjadi 28,8 juta orang (11,34%). Pada tahun 2012, Indonesia termasuk negara Asia ketiga dengan jumlah absolut populasi di atas 60 tahun terbesar, setelah China (200 juta), India (100 juta) dan menyusul Indonesia dengan jumlah populasi 25 juta (BPS, 2013).

Beberapa daerah seperti provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Jawa Tengah mempunyai persentase jumlah lansia di atas rata-rata nasional. Masih menurut data dari BPS 2013, pada tahun 2010, jumlah lansia di tiga provinsi tersebut secara berturut-turut 12,48%, 9,36%, dan 9,26%. Ketiga provinsi ini, bahkan memiliki proporsi kategori penduduk umur lebih dari 75 tahun di atas kelompok umur sebelumnya. Khusus untuk DIY, pada tahun 2014 jumlah lansia di DIY mencapai 15% secara nasional dengan usia harapan hidup sebesar 75,5 tahun. Usia harapan hidup ini menempati peringkat tertinggi di Indonesia. Struktur penduduk yang menua tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian pembangunan secara global dan nasional

(4)

4 karena hal ini terkait erat dengan perbaikan kualitas kesehatan dan kondisi sosial masyarakat yang meningkat. Dengan demikian, peningkatan jumlah penduduk lansia menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan dan sekaligus tantangan yang dihadapi dalam pembangunan. Fenomena peningkatan lansia ini tentu perlu diantisipasi karena membawa implikasi yang luas dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka kelompok lansia di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak, terutama pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program yang ditujukan kepada kelompok lansia, sehingga mereka dapat berperan dalam pembangunan nasional dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Hal ini dinilai penting, mengingat lansia sebagaimana warga negara yang lain, juga memiliki hak yang secara yuridis dilindungi dan wajib dipenuhi oleh negara.

Peningkatan jumlah lansia tersebut harus diikuti dukungan dari pemerintah sehingga kehidupan lansia menjadi lebih sejahtera. Hal ini karena masih banyak kita lihat lansia yang hidup jauh dari kata sejahtera. Seperti tidak memiliki uang pensiun sebagai pemasukan sehari-hari. Tidak memiliki asuransi kesehatan dan juga tidak memiliki rumah hunian tetap sehingga hidup di jalanan. Lansia yang hidup di jalanan karena kondisi keluarga yang tidak bisa menanggung secara ekonomi, sehingga lansia hidup di jalanan atau emperan toko. Hal tersebut menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memberi dukungan kepada lansia sehingga kehidupan lansia lebih sejahtera.

Dalam pasal 5 UU RI no 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, disebutkan bahwa pemenuhan hak lansia meliputi: (1) pelayanan keagamaan dan

(5)

5 mental spiritual; (2) pelayanan kesehatan; (3) pelayanan kesempatan kerja; (4) pelayanan pendidikan dan pelatihan; (5) kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum; (6) kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; (7) perlindungan sosial; dan (8) bantuan sosial. Secara umum terkait kondisi lansia di Indonesia dapat digambarkan, bahwa lansia di Indonesia termasuk lansia potensial. Menurut UU No. 13/ 1998 dinyatakan bahwa ada dua kelompok lanjut usia (lansia) yaitu Lanjut Usia Potensial; dan Lanjut Usia tidak Potensial.

Lansia potensial ini banyak ditemukan di negara sedang berkembang dan negara yang belum memiliki tunjangan sosial untuk hari tua. Mereka bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Dengan adanya lansia potensial dan tidak potensial yang semakin bertambah jumlahnya setiap tahun, perlu mendapat perhatian khusus dengan adanya perlindungan sosial, bantuan sosial dan pelayanan sosial. Karena tanpa adanya hal-hal tersebut, lansia baik yang potensial maupun tidak potensial, akan menjadi lansia miskin atau terlantar karena keterbatasan kemandirian mereka.

Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan negara Indonesia adalah “mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial”. Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” dan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Kalimat-kalimat ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state) yang universal. Artinya, setiap warga negara

(6)

6 berhak dijamin haknya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sebagai Negara kesejahteraan, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan sosial, bantuan sosial maupun pelayanan sosial salah satunya kepada kelompok rentan dalam hal ini lansia miskin atau terlantar, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan sosial lansia. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan hidup lansia terlantar. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan sosial lansia, lansia terlantar adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Sebagai lansia, mereka tetaplah merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang harus dilindungi oleh Negara. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 I ayat 2 yang isinya bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Dengan demikian telah jelas bahwa perlindungan terhadap warga negara harus dilakukan tanpa terkecuali, termasuk juga perlindungan sosial, bantuan sosial dan pelayanan sosial kepada lanjut usia miskin atau terlantar. Hal ini juga semakin diperjelas dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia.

(7)

7 Bertambahnya jumlah lansia dari tahun ke tahun menjadi pertimbangan dilaksanakannya perlindungan sosial, bantuan sosial dan pelayanan sosial terutama bagi lansia miskin atau terlantar. Hal ini menjadi hal yang penting bagi pemerintah karena jumlah lansia diproyeksi akan terus bertambah bahkan sampai tahun 2035. Jumlah lansia di provinsi DIY diproyeksikan akan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti Tabel 1 di bawah. Dari tahun 2010, 2015, 2020, 2025, 2030, 2035, DIY mengalami peningkatan jumlah lansia dari 12,88 %, 13,38 %, 14,67%, 16,39 %, 18,15 %, 19,51 %. Jumlah lansia di DIY terus mengalami peningkatan, dan jumlah tersebut melebihi jumlah lansia rata-rata di Indonesia.

Tabel 1. Proyeksi Proporsi Penduduk Umur 60+ menurut Provinsi, 2010-2035 (%).

(8)

8 Sumber: BPS 2013

Berikut ini merupakan gambaran kondisi lansia di DIY terhadap jumlah lansia di Indonesia pada tahun 1980-2035:

(9)

9 Grafik 1. Presentase lansia 60+ di DIY dibandingkan dengan Indonesia (1980-2035).

Sumber: BPS (2013)

Dari Grafik 1 di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk lansia terus mengalami kenaikan, bahkan di atas proyeksi terhadap kenaikan jumlah lansia Indonesia sendiri. Hal ini merupakan keadaan yang pada akhirnya menjadi masalah dalam isu kependudukan terutama yang berkaitan dengan peningkatan jumlah lansia. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan sosial, bantuan sosial dan pelayanan sosial bagi lansia agar di usia lanjutnya, lansia bisa mendapatkan jaminan kehidupan yang layak dan tidak mendapatkan kesusahan dalam hidup dihari tuanya.

(10)

10 Gambar 1. Piramida Penduduk Provinsi DIY Tahun 2010-2035

Sumber: BPS, 2013.

Melihat gambar 1 di atas, terlihat bahwa proyeksi jumlah lansia umur di atas 60 tahun di DIY dari tahun 2010-2035 meningkat jumlahnya. Jumlah lansia yang meningkat jumlahnya ini terlihat mulai di tahun 2025-2035 baik lansia

(11)

laki-11 laki maupun perempuan. Dengan adanya penambahan lansia tersebut, pemerintah dapat mengupayakan program pelayanan sosial bagi para lansia terutama lansia miskin atau terlantar yang hidup di dalam panti maupun diluar panti.

Lansia secara biologis adalah makhluk yang semakin lemah dan secara mental semakin sensitif karena seringkali mereka merasa sudah tidak dibutuhkan lagi oleh keluarganya. Lemahnya fisik menyebabkan berkurangnya produktifitas para lansia sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti ketika masih muda. Kondisi tersebut menyebabkan mayoritas lansia menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Ketidakberdayaan mereka seringkali menjadi alasan utama berkurangnya peran lansia dalam kehidupan sosial. Lansia yang memasuki masa tua, tidak mempunyai tabungan yang menjamin dan tidak ada keluarga yang mampu merawat, maka para lansia tersebut tidak terurus atau terlantar (BPS, 2013). Hal tersebut menjadi masalah dan resiko sosial yang dihadapi bagi lansia ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Resiko sosial yang dihadapi oleh lansia menjadi hal yang tidak bisa dijauhkan karena kondisi lansia yang sudah semakin lemah. Kondisi lansia yang semakin lemah membawa lansia sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan di bidang formal dengan gaji dan uang pensiun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi seperti itu, lansia mengalami masalah keuangan yang tidak baik. Sehingga dibutuhkan peran dari pemerintah untuk mendukung masalah keuangan bagi lansia melalui program-program yang diberikan untuk lansia. Selain itu, karena kondisi lansia yang semakin lemah, membuat lansia mengalami masalah transisi dari umur produktif yang bisa bekerja beralih ke umur tidak

(12)

12 produktif yang tidak mampu bekerja. Kondisi tersebut berpengaruh pada masalah keuangan, karir, psikologi lansia dan bahkan masalah bagi lingkungan di sekitarnya. Masalah transisi pada akhirnya juga membawa lansia pada kondisi di mana lansia kehilangan peranan dalam kehidupan sosial yang dijalani sebelumnya. Tidak sedikit kemudian lansia yang dikucilkan atau terisolasi dari kegiatan-kegiatan sosial dikarenakan masalah kondisi lansia yang sudah tidak bisa aktif seperti sebelumnya. Kondisi tersebut menjadi lebih buruk ketika lansia tidak memiliki hunian yang permanen dan juga tidak memiliki keluarga yang mampu menanggung semua kebuthan hidup sehari-hari lansia sehingga lansia menjadi lansia yang terlantar Beberapa resiko sosial tersebut yang membuat lansia memerlukan dukungan dari pemerintah agar resiko sosial bagi lansia terutama lansia terlantar dapat terselesaikan dan kehidupan lansia terlantar menjadi lebih baik melalui program-program pelayanan dari pemerintah.

Dalam mengatasi beberapa masalah atau resiko sosial lansia tersebut, maka pemerintah DIY mengimplementasikan pelayanan sosial lansia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan sosial lansia. Pelayanan sosial lansia dalam hal ini bisa difokuskan kepada lansia terlantar. Lansia terlantar adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani, maupun sosialnya. Pelayanan sosial lansia ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi lansia tidak potensial agar dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar. Perlu didukungnya pelaksanaan Perda yang secara khusus mengatur tentang hak-hak lansia oleh pemerintah DIY.

(13)

13 Pelayanan sosial merupakan tindakan nyata baik secara materi maupun jasa yang diberikan kepada target sasaran dengan tujuan untuk membantu suksesnya pembangunan sosial yaitu meningkatkan kesejahteraan. Pelayanan sosial diberikan guna meningkatkan kesejahteraan terlebih bagi kelompok-kelompok yang dianggap kurang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Pelayanan sosial merupakan subsistem pembangunan nasional yang menurut Kamerman dan Kahn (1979) dalam (Shoimah, 2008) yang mencakup 6 komponen yaitu pendidikan, kesehatan, pemeliharaan penghasilan, pelayanan kerja, perumahan dan pelayanan sosial personal.

Lansia merupakan salah satu sasaran dari pelayanan sosial yang diinisiasi oleh pemerintah. Muncul gagasan tentang pelayanan sosial bagi lansia mengingat semakin tingginya jumlah lansia di Indonesia. Pelayanan sosial lansia terbagi menjadi 2 tipe yaitu pelayanan sosial yang diberikan dalam panti werdha dan pelayanan sosial yang diberikan kepada lansia di luar panti. Seiring dengan munculnya data sebagai daerah yang mempunyai harapan hidup tertinggi di Indonesia, Pemerintah DIY mulai aktif melaksanakan pelayanan sosial bagi lansia.

Gambar 2. Diamond care untuk pelayanan lansia.

(14)

14 Melihat dari gambar 2 di atas, terlihat bahwa pelayanan untuk lansia dilakukan bukan hanya oleh pemerintah dan swasta, namun juga melibatkan keluarga. Lansia membutuhkan pelayanan perawatan dari berbagai pihak baik di lembaga-lembaga dan di rumah bersama keluarga. Berdasar konsep diamond care di atas, pelayanan kepada lansia bukan hanya melibatkan pemerintah dan swasta tetapi juga melibatkan keluarga di dalamnya. Namun, porsi sangat besar kebutuhan perawatan masih ada dalam keluarga (sekitar setengah dari perawatan untuk orang tua dengan kebutuhan intensif, dan lebih dari setengah dari perawatan bagi mereka dengan kebutuhan yang lebih sedikit). Pelayanan perawatan rumah dimanfaatkan oleh sebagian besar rumah tangga, namun jika dari keluarga tidak bisa memenuhi pelayanan perawatan, maka swasta dan pemerintah mampu memberikan pelayanan perawatan dalam bentuk pelayanan sosial untuk lansia.

Berdasarkan data dari Bappenas 2015, pelayanan dan perlindungan sosial untuk lansia menjadi salah satu agenda dari Bappenas yaitu kualitas hidup manusia Indonesia, salah satu program yang ditujukan untuk lansia di Indonesia yaitu program Asistensi Sosial Lanjut Usia. Program tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan lansia baik yang terlantar maupun tidak di seluruh Indonesia. Program tersebut kemudian didukung dengan UU 40/2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang menetapkan penyelenggaraan program jaminan sosial dilakukan dengan mekanisme asuransi sosial. Hingga saat ini, prioritas pelayanan diberikan bagi lansia terlantar (seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun) karena faktor-faktor tertentu tidak

(15)

15 dapat memenuhi kebutuhan dasar baik jasmani, rohani maupun sosial. Program layanan untuk lansia tersebut mengutamakan kegiatan perlindungan dan rehabilitasi (Bappenas, 2015).

Dari berbagai pelayanan sosial yang ada di masyarakat, salah satu yang menjadi fokus pemerintah adalah pelayanan tentang lansia miskin atau terlantar. Jumlah lansia miskin atau terlantar tiap tahun semakin meningkat. Pemda DIY merumuskan arah kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia di DIY (Dinsos Provinsi Jogja, 2014). Kebijakan sosial dalam bentuk program pelayanan sosial bagi lansia tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan lansia yang mayoritas sudah tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri karena kondisi fisik yang semakin lemah terlebih bagi lansia yang tergolong dalam kategori terlantar. Usaha pemerintah dalam mewujudkan penduduk lansia terlantar agar lebih sejahtera dilaksanakan melalui berbagai program/kegiatan pengembangan model pelayanan. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui kerjasama lintas program maupun lintas sektoral, antara pemerintah, organisasi sosial, dan masyarakat secara bersama-sama. Namun data evaluasi program menunjukkan bahwa masih banyak lansia yang belum mendapatkan perlindungan serta akses pelayanan sosial baik fisik maupun nonfisik (Dinsos Provinsi Jogja, 2014). Hal tersebut karena minimnya sarana dan prasarana untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi lansia terlantar.

Berdasarkan hasil data Dinas Sosial Provinsi DIY 2010 jumlah lansia terlantar di wilayah Provinsi DIY total sebanyak 29.724 orang, dengan rincian, Kabupaten Kulon Progo sebanyak 5.099 orang (17,14%), Bantul 5.486 orang

(16)

16 (18,45%), Gunungkidul 11.565 orang (38,88%), Sleman 5.647 orang (`18,99%) dan Kota Yogyakarta 1.945 orang (6,54%). Tingginya jumlah lansia berkaitan dengan kemiskinan yang ada di daerah tersebut. Hal ini karena banyaknya lansia yang tercatat sebagai penduduk miskin (Dinsos Provinsi Jogja, 2014). Kondisi lansia yang sudah tidak bisa diberdayakan tenaganya juga menambah jumlah kemiskinan di daerahnya. Untuk mengatasi permasalahan lansia serta menjadikan mereka sebagai bagian potensi masyarakat, diperlukan upaya bukan saja oleh pemerintah, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat untuk memberi ruang agar proses alamiah penduduk lansia tersebut tidak mengurangi aspek kesejahteraan sosial di lingkungannya. Begitu juga, diperlukan adanya pengenalan dan pemahaman diri terhadap fenomena lansia berikut permasalahan yang menyertainya, sehingga kualitas hidup baik secara fisik maupun psikis bisa dipertahankan.

Sejalan dengan perkembangan masalah dan kebutuhan lansia, maka perlu adanya upaya yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi lansia untuk dapat mewujudkan dan memelihara taraf kehidupan sosialnya, sehingga dapat menikmati hari tuanya yang berdayaguna dan berguna baik untuk dirinya maupun orang lain. Namun hal tersebut belum bisa dilakukan secara maksimal melihat dari berjalannya program pemerintah masih terkendala beberapa hal seperti SDM yang kurang dalam hal pemberian layanan, sarana dan prasarana yang belum memadai sehingga layanan hunian panti tidak bisa dimaksimalkan bagi lansia terlantar, dan juga kendala anggaran yang tidak bisa

(17)

17 memenuhi kebutuhan pemberian jaminan sosial dalam bentuk tunai maupun layanan kesehatan.

Untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia, Pemerintah Provinsi DIY melalui Dinas Sosial DIY pada tahun 2015 telah melakukan berbagai macam upaya di bidang pelayanan sosial lanjut usia baik yang masih potensial maupun yang tidak potensial, khususnya yang mengalami keterlantaran dan kekerasan. Berbagai macam program/ kegiatan di bidang pelayanan sosial lanjut usia baik melalui dana APBD (2015) maupun APBN (2015) yang selama ini telah dilaksanakan oleh Dinas Sosial Provinsi DIY, antara lain: bantuan UEP untuk Lansia yang masih produktif, Home Care (pendampingan dan perawatan Lansia di rumah), Program Trauma Center bagi Lansia yang mengalami trauma, Pelayanan Harian Lanjut Usia (Day Care Service), Program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU), Bantuan Permakanan bagi LUT yang sudah tidak potensial, dan Penguatan Kelembagaan bagi Orsos yang menangani LU, dsb.

Selain itu, Dinas Sosial Provinsi DIY juga menyelenggarakan pelayanan sosial bagi lansia terlantar melalui Panti Sosial Tresna Werdha yang terdiri dari 2 unit, yaitu Unit Abiyasa Pakem Sleman dan Unit Budhi Luhur Kasongan Bangunjiwo Kasihan Bantul. Langkah yang dilakukan oleh Dinas Sosial DIY untuk lansia terlantar adalah salah satunya dengan menyediakan panti yang bisa ditinggali. Penyediaan panti ini adalah salah satu bentuk pelayanan sosial bagi lansia khususnya lansia terlantar. Pelayanan sosial bagi lansia merupakan sebuah bentuk kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi tingginya jumlah lansia khususnya lansia yang terlantar atau teraniaya. Pelayanan sosial yang sesuai dengan

(18)

18 kemampuan para lansia menjadi terobosan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia tanpa melupakan kebutuhan dasar dari lansia itu sendiri.

Pelayanan bagi lansia terlantar adalah hal yang harus dilakukan, melihat adanya masalah-masalah yang ditimbulkan dengan adanya peningkatan jumlah lansia dari tahun ke tahun. Semakin tingginya persentase lansia di DIY membawa pada masalah baru yang sebelumnya tak pernah muncul yaitu yang pertama, secara ekonomis, lansia bukanlah usia produktif. Hal ini berarti, meningkatnya lansia membawa pengaruh terhadap besarnya angka beban ketergantungan (dependency ratio), jika tidak disertai dengan menurunnya jumlah penduduk usia muda. Meskipun hal ini tidak terjadi di DIY (karena persentase 0-14 tahun mengecil), namun semakin besarnya jumlah lansia akan membutuhkan penanganan tersendiri dari pemerintah, yang jauh berbeda dengan penanganan penduduk muda. Kedua, lansia mayoritas sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya lagi akibat penghasilan yang jauh menurun. Hal tersebut karena lansia tidak memiliki uang pensiun atau pekerjaan tetap. Oleh sebab itu, lansia sedikit banyak akan menjadi tanggungan bagi keluarga yang menanggungnya. Bukan hal yang tidak mungkin, mengurus lansia juga membawa permasalahan tersendiri dalam lingkungan keluarga, jika anggota keluarga belum menyadari sepenuhnya akan keberadaan lansia. Dan ketiga, semakin tingginya proporsi lansia, membawa dampak semakin tinggi pula lansia yang hidup terlantar dan hidup terurus, jika tidak diiringi peningkatan pelayanan sosial dari pemerintah.

Peningkatan pelayanan sosial bagi lansia melalui program pelayanan sosial adalah kebijakan yang dikeluarkan dalam menanggapi permasalahan atau resiko

(19)

19 sosial yang dihadapi oleh lansia. Lansia dengan kondisi ekonomi yang tidak baik, akan membutuhkan dukungan dari pemerintah agar kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi. Begitu juga dengan masalah sosial lainnya seperti masalah lansia yang tidak memiliki pekerjaan dan uang pensiuan di hari tua, sehingga lansia tidak memiliki uang pemasukan untuk kebutuhan sehari-harinya. Dan juga masalah sosial lain seperti masalah transisi, di mana lansia yang sebelumnya memiliki peran yang besar di lingkungan sosial, namun karena kondisi sudah lansia sehingga membuat lansia kehilangan peranan di lingkungan sosial bahkan terisolasi dari kegiatan-kegiatan sosial. Hal-hal tersebut menjadi masalah bagi lansia khususnya lansia terlantar yang dibutuhkan dukungan dari pemerintah agar pelayanan lansia terlantar dapat dilakukan demi tujuan kesejahteraan lansia yang lebih baik.

Lansia di DIY dibagi dalam beberapa kategori. Yakni lansia yang memiliki kondisi ekonomi baik, namun tak terkondisikan secara sosial. Kemudian lansia yang terkondisi secara sosial namun tak didukung dengan ekonomi yang baik. Kemudian ada juga lansia yang tidak memiliki kedua-duanya alias terlantar. Upaya pemerintah terus dilakukan dengan memberikan perlindungan dan pelayanan sosial melalui anggaran pemerintah daerah dan pusat (Dinsos Provinsi Jogja, 2014). Kondisi lansia terlantar yang ada di DIY ini adalah hal yang menjadi fokus utama pmerintah untuk bisa memberikan perlindungan dan pelayanan bagi lansia sehingga kehidupan lansia menjadi lebih sejahtera. Masalah terjadi ketika perlindungan dan pelayanan bagi warga yang sudah masuk kategori lansia terlantar tidak berjalan dengan maksimal di DIY. Hal tersebut disebabkan oleh

(20)

20 beberapa hal seperti lansia yang enggan dimasukkan ke dalam panti sosial. Selain itu, penyebab lainnya adalah karena minimnya jumlah panti. Minimnya jumlah panti yang bisa menampung jumlah lansia terlantar di DIY yang masih kurang. Pemerintah masih belum bisa menyediakan fasilitas hunian atau rumah panti yang mampu menampung jumlah lansia terlantar dalam jumlah yang banyak.

Permasalahan lansia terlantar merupakan salah satu permasalahan sosial yang muncul di masyarakat jika lansia tersebut tidak bisa secara menyeluruh terakomodasi kebutuhannya oleh pemerintah. Kondisi hidup lansia terlantar serba tidak menentu karena mereka dihadapkan pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, akan tetapi kondisi fisik tidak mendukung dalam pemenuhan kebutuhan. Program pelayanan sosial yang telah dijalankan, akan berdampak baik bagi lansia terlantar. Namun yang menjadi persoalan berikutnya adalah belum optimalnya peran dari dinas sosial DIY yang mampu menangani jumlah lansia terlantar yang dari tahun ke tahun semakin bertambah (Dinsos Provinsi Jogja, 2014). Dari perspektif tata kelola (governance), penanganan lansia terlantar dalam bentuk program perlindungan sosial, bantuan sosial dan pelayanan sosial belum menjadi prioritas jika dibanding dengan perlindungan sosial di bidang kesehatan dan pendidikan yang dalam pelaksanaannya sudah berjalan dengan baik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, situasi problematikal dalam program pelayanan sosial lansia terlantar di DIY merupakan permasalahan faktual yang

(21)

21 berkaitan dengan resiko sosial, pelayanan sosial, dan kesejahteraan lansia. Untuk mendapatkan pengetahuan baru tentang program pelayanan sosial untuk kesejahteraan lansia maka dikembangkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana resiko sosial yang dihadapi oleh lansia terlantar di DIY?

2. Bagaimana program pemerintah untuk merespon masalah yang dihadapi oleh lansia terlantar di DIY?

3. Bagaimana dampak dan kontribusi program pemerintah tersebut terhadap kesejahteraan lansia terlantar di DIY?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai lansia sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Seperti hasil studi Triwanti (2014) dengan judul “Peran Panti Sosial Tresna Wredha Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Lansia”. Penelitian tersebut juga mengarah terhadap kesejahteraan lansia namun dikorelasikan dengan pemenuhan kebutuhan lansia sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan lansia, melalui pelayanan panti wredha yang memiliki peranan penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan lansia. Melalui pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh panti werdha maka hal ini dapat membantu lansia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

Satu gagasan dengan Triwanti (2014) mengenai kesejahteraan lanjut usia yaitu Sriyanto (2010) melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Model

(22)

22 Jaminan Sosial Informal Bagi Lansia di Pedesaan Wonogiri”. Penelitian tersebut mengarah terhadap kesejahteraan lansia namun dikorelasikan dengan jaminan sosial yang tumbuh dalam masyarakat. Jaminan sosial dari pemerintah, mayoritas hanya mencakup lansia pensiunan pekerja formal. Sehingga muncul jaminan sosial informal yang menjadi pilihan masyarakat. Hasil dari penelitian tersebut adalah mencari tipe jaminan sosial informal yang paling tepat bagi kebutuhan lansia itu sendiri. Jaminan sosial informal berbasis masyarakat tidak bisa sembarangan dibentuk karena perlu ada pertimbangan pertimbangan agar tepat sasaran dan tidak memunculkan konflik.

Penelitian lain yang hampir serupa dari Fatmawati (2012) dengan judul penelitian “Pelayanan Panti bagi Lanjut Usia (Studi tentang Nilai dan Dukungan Sosial pada Lansia Panti Werdha Yuswa Mulya, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali)”. Penelitian yang dilakukan melihat segi pelayanan sosial yang diberikan oleh pihak panti werdha. Hasil dari penelitian tersebut yaitu melihat usaha untuk meningkatkan kesejahteraan lansia namun dengan cara yang berbeda yaitu melalui pelayanan yang diberikan oleh panti werdha kepada penghuninya.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, maka kontribusi dari penelitian ini adalah bertujuan untuk menyempurnakan penelitian tentang kesejahteraan lansia terlantar terutama memberi masukan mengenai resiko sosial yang dihadapi oleh lansia, dan program pemerintah yang menanggulangi masalah tersebut serta dampak dari program tersebut terhadap kesejahteraan lansia dengan menggunakan indikator kesejahteraan lansia yaitu kualitas hidup dari WHOQOL

(23)

23 (World Health Organization of Quality of Life) yang akan melengkapi penelitian-penelitian tentang kesejahteraan lansia sebelumnya. Selain itu, penelitian-penelitian ini juga berkontribusi untuk melihat “knowledge gap” yang terjadi pada program pelayanan bagi lansia terlantar yang memiliki tujuan untuk kesejahteraan para lansia terlantar itu sendiri ditinjau dari segi faktor lingkungan, faktor kesehatan fisik, faktor kesehatan psikologis, dan hubungan sosial. Faktor-faktor tersebut belum banyak dibahas dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga melihat peran dari berbagai pihak dalam memberikan dukungan terhadap pelayanan lansia terlantar sehingga lansia memiliki kehidupan yang lebih sejahtera.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan menganalisis masalah atau resiko sosial yang dihadapi oleh lansia di DIY.

2. Mengetahui dan menganalisis program pemerintah untuk merespon masalah lansia di DIY.

3. Mengetahui dan menganalisis dampak dan kontribusi program pemerintah tersebut terhadap kesejahteraan lansia di DIY.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pengambil kebijakan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam mendukung program pelayanan sosial bagi kesejahteraan lansia terlantar di DIY.

(24)

24 Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi mengenai pelaksanaan kebijakan pelayanan sosial lansia terlantar dan hambatan yang mempengaruhi terlaksananya kebijakan pelayanan sosial bagi lansia terlantar di DIY. Informasi tersebut dapat digunakan oleh berbagai pihak diantaranya:

1. Bagi pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam merancang sebuah kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan lansia terlantar. 2. Bagi pihak lain, dapat digunakan untuk bahan kajian untuk

pengembangan penelitian sejenis dan sebagai bahan untuk memberikan usulan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang berhubungan dengan pelayanan lansia terlantar.

3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan aplikasi dari teori yang diperoleh selama menempuh pendidikan pascasarjana di Magister Studi Kebijakan UGM.

Gambar

Gambar 2. Diamond care untuk pelayanan lansia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Deby (2007) yaitu tentang pengaruh pendidikan seks terhadap sikap mengenai seks pranikah pada remaja di SMA N

Dengan menggunakan konsep Total Quality Maintenance akan ditentukan kebijakan perawatan dengan identifikasi terhadap kualitas produk, elemen proses (FBD), dan hubungan

Masalah penurunan angka kelahiran akan berdampak pada kemajuan dan perkembangan dari Bangsa Jepang, karena jumlah lansia yang terus meningkat ini akan mengakibatkan

Kriteria sebagai pesaing adalah memiliki harga kamar dan jumlah kamar yang sama, klasifikasi bintang yang setara dan juga lokasi yang berdekatan dengan Bintang

37 Tingginya persentase serangan di dataran rendah maupun tinggi diduga karena letak galur G4 di dataran rendah dan G7 di dataran tinggi berada di bagian tepi pada

Spora yang keluar dari sporangia akan tumbuh menjadi gametofit haploid yang tidak mudah terlihat, dapat hidup dalam tanah selama 10 tahun.. Gametofit kecil itu tidak

Penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan dalam caption terdiri dari teks foto harus dibuat minimal dua kalimat, kalimat pertama menjelaskan gambar, kalimat kedua

Speaker Condenser, prinsip kerjanya hampir sama dengan mic condenser, yaitu menggunakan sistem kapasitansi yang diberikan tegangan DC yang besar, untuk menghindari