• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN

CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR

(Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

Oleh :

ANISSA REZAINY A14061785

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

ANISSA REZAINY. Pemanfaatan Digital Elevation Model (DEM) dan Citra

ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu). Di bawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG H. TRISASONGKO.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu perubahan penggunaan lahan pun berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti permukiman, lahan pertanian dan yang lainnya. Perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi adalah dari lahan pertanian ke non-pertanian. Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut adalah terjadinya tanah longsor yang dapat menjadi suatu bencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bahaya longsor melalui pembangunan DEM dan membuat model longsor berbasis pada DEM yang dihasilkan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa data utama yaitu data penginderaan jauh non-optik (SRTM) maupun optik (ALOS AVNIR-2), peta topografi, data meteorologi, dan data tanah. Penggunaan semua data tersebut adalah untuk memperoleh parameter-parameter yang diperlukan, yaitu kemiringan lereng, aspek lereng, elevasi, indeks vegetasi, curah hujan, jenis tanah, relief, dan bahan induk. Tiga parameter pertama diperoleh dari DEM, sedangkan indeks vegetasi diperoleh dari hasil analisis data ALOS AVNIR-2. Adapun tiga parameter terakhir diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 (Puslitanak,. 1992). Observasi lapang dilakukan untuk mengidentifikasi titik-titik longsor dan menentukan lokasinya dengan GPS, sedangkan metode tumpang-tindih (overlay) dari GIS digunakan untuk melakukan analisis keterkaitan antara titik longsor tersebut dengan parameter-parameter yang dinilai. Selanjutnya dilakukan analisis statistik (LDA) dengan perangkat lunak Tanagra 1.4 untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter di atas terhadap peluang terjadinya longsor (bahaya) dengan selang kepercayaan 5%. Dari analisis tersebut didapatkan bahwa parameter curah hujan, dan elevasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap bahaya longsor, sedangkan kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi tidak berpengaruh nyata. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya tingkat ketelitian (akurasi) dari DEM yang dibangun (dengan interval kontur 12,5 meter) padahal untuk daerah penelitian semestinya diperlukan interval kontur yang lebih kecil mengingat panjang lereng pada titik-titik longsor yang ditemui dilapangan menujukkan kurang dari 12,5 meter.

(3)

SUMMARY

ANISSA REZAINY. Utilization of Digital Elevation Model (DEM) and ALOS

AVNIR-2 Imagery for Modelling (Case of Study Upstream of Ciliwung Watershed). Under supervisor of BOEDI TJAHJONO and BAMBANG H.

TRISASONGKO.

In acordance with the development of society in upper Ciliwung river, land convertion usage depending of what the society needs, such as settlements, agricultural land, etc. The most happening of land convertion usage at upper Ciliwung river is the changing of the land which used to the agricultural needed into the non-agricultural statements. One of the impacts of the high intensity of land convertion was the occurance of landslide which could became a disaster. the objectives of this research were to asses the development of DEM and making a landslide model based on what DEM produced. To carry trough all of those things up, it is generated some main datas. There are non-optical remote sensing (SRTM) as well as optical remote sensing data (ALOS AVNIR-2), topographic map, also the meteorological and soil data. The usages of all those datas are to obtain the necessary parameters that needed to calcute the slope, slope aspect, elevation, vegetation index, rainfall, soil type, relief, and soil material. The first three parameters derived from the DEM, while the vegetation index derived from analysis of ALOS AVNIR-2 imagery. The last three parameters obtained from 1:50,000 soil maps scale (Puslitanak, 1992). Field observation was conducted to determine the points of landslide and to locate them with GPS, while the method of overlay of GIS used to analyze the relationship between the landslide point with parameters assessed. Further statistical analysis (LDA) using Tanagra 1.4 software to determine the effect of those parameters in landslides possibility with 5% interval accuracy. The result showed that the parameters that significantly affected to the danger of landslide were rainfall and elevation, while the slope, vegetation index and slope aspect had no significant effect. This may be caused by a lack of precision (accuracy) of the DEM results (with interval contour 12,5 meter) which could the interval contour at landslide point less than 12,5 meter. Keywords : dem, srtm, ALOS AVNIR-2, landslide

(4)

PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN

CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR

(Studi Kasus : DAS Ciliwung Hulu)

Oleh :

ANISSA REZAINY A14061785

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pemanfaatan DEM (Digital Elevation Model) dan ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

Nama Mahasiswa : Anissa Rezainy Nomor Pokok : A14061785

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Boedi Tjahjono, DEA Ir.Bambang H. Trisangsoko, M.Sc NIP.196001031989031002 NIP.197009032008121001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP.196211131987031003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Anissa, dilahirkan di Jakarta, tanggal 16 Maret 1989 merupakan anak dari pasangan Zainal Senen dan Endah Setyawati R. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dengan dua adik perempuan bernama Adinda dan Aisya.

Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1993 di tingkat TK, pada tahun 1994 melanjutkan pendidikan di SD Islamic Village, Tangerang. Kemudian pada tahun 2000 melanjutkan ke tingkat SLTP di Islamic Village Kelas Khusus, Tangerang dan pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan pada SMU Negri 26 Jakarta. Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan mahasiswa baru (SPMB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh studi di IPB, penulis dipercaya menjadi asisten dosen pada mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Landskap pada tahun 2010. Penulis juga mengikuti karya ilmiah sekaligus pembicara dalam kongres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) V pada tahun 2010 dengan judul „Perbandingan produk DEM SRTM dan Interpolasi Peta RBI pada berbagai jenis penggunaan lahan (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)‟, dan ditujuk sebagai pembicara pada Seminar Nasional Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB pada tahun 2010 dengan judul „Pemanfaatan DEM SRTM dan Peta Topografi untuk Pemodelan Dearah Longsor dan Penggunaan Lahan (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)‟.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan DEM (Digital Elevation Model) dan Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor (Studi kasus DAS Ciliwung Hulu)”, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Boedi Tjahjono DEA selaku pembimbing I dan Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, motivasi, waktu, masukan dan bimbingan selama kegiatan penelitian dan skripsi. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono selaku dosen penguji atas saran dan masukannya kepada penulis.

2. Kedua orangtuaku tercinta Zainal Senen (ayah) dan Endah Setyawati R (ibu) atas kasih sayang, doa, perhatian, kesabaran dan semangatnya sehingga anakmu ini memperoleh gelar sarjana dan juga kepada kedua adikku terima kasih atas doanya.

3. Seluruh Dosen dan mahasiswa di Bagian Penginderaan Jauh & Informasi Spasial (Luluk, Poppy, Atha, Miranty, dan Ivong) yang telah memberikan masukan dan saran.

4. Angga Adi Prakasa atas motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 5. Teman – temanku Ratih, Yola, Arum, Debo, Vitta, Lebe, Syifa, Sindy,

Putri, Dita, Rara, Nesya, Yuly dan Ica, atas kebersamaan yang indah selama ini.

6. Teman- teman seperjuangan Manajamen Sumberdaya Lahan angkatan 43. 7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………... ix DAFTAR GAMBAR………... x I. PENDAHULUAN………. 1 1.1. Latar belakang……… 1 1.2. Perumusan masalah……… 2 1.3. Tujuan penelitian……… 3 1.4. Manfaat penelitian……….. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 4

2.1. DEM (Digital Elevation Model)……… 4

2.2. Longsor……….. 4

2.3. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)………. 5

2.4. ALOS (Advanced Land Observing Satelite)……….. 6

2.5. NDVI dan EVI………... 8

2.6. Linear discriminant analysis………. 10

III. BAHAN DAN METODE………. 12

3.1. Waktu dan tempat penelitian………. 12

3.2. Bahan dan alat penelitian………... 12

3.2.1. Bahan……….. 12

3.2.2. Alat………. 12

3.3. Metode penelitian……….. 13

3.3.1. Persiapan dan pengumpulan data……… 13

3.3.2. Pengolahan data……….. 13

3.3.3. Analisis data……… 14

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………... 17

4.1. Kondisi geografis……….. 17

4.1.1. Iklim dan tanah……… 17

4.1.2. Geologi dan Geomorfologi………. 19

4.1.3. Penggunaan lahan……… 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 21

(9)

5.2. Aplikasi DEM untuk pemodelan longsor pada DAS Ciliwung Hulu……… 22 5.2.1. Kemiringan lereng………... 25 5.2.2. Aspek lereng……… 26 5.2.3. Elevasi………. 27 5.2.4. Curah hujan………. 28

5.2.5. Indeks vegetasi (NDVI dan EVI)……… 33

5.2.6. Jenis tanah, bahan induk, dan relief……… 38

5.3. Analisis LDA (Linear Discriminant Analysis)………….. 42

VI. KESIMPULAN DAN SARAN……… 45

6.1 Kesimpulan………. 45

6.2 Saran………... 45

DAFTAR PUSTAKA……….. 46

(10)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Karakteristik ALOS……… 6

2. Karakteristik AVNIR-2……….. 8

3. Luas penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu……… 19

4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu……… 25

5. Aspek lereng di DAS Ciliwung Hulu………. 26

6. Elevasi di DAS Ciliwung Hulu……….. 27

7. 8. Nilai curah hujan di DAS Ciliwung Hulu……….. Hasil pengolahan parameter longsor dengan tanagra 1.4……... 33 43 Lampiran 4. Tabel nilai parameter longsor, pada titik longsor dan titik-titik tidak longsor……… 56

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Satelit ALOS………. 7

2. Prinsip geometri AVNIR-2………. 8

3. Diagram alir faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nilai NDVI……… 10

4. Diagram Alir Penelitian……… 16

5. Peta lokasi penelitian (DAS Ciliwung Hulu)………. 18

6. Peta jenis penggunaan lahan……….. 20

7. Hasil penggabungan DEM ……… 22

8. Lokasi titik-titik longsor dan tidak longsor………... 23

9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian………... 24

10. Peta kemiringan lereng daerah penelitian………. 29

11. Peta aspek lereng daerah penelitian……….. 30

12. Peta ketinggian tempat (elevasi) daerah penelitian……….. 31

13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun 2004 – 2008…………. 32

14. Peta interpolasi curah hujan bulan januari (tahun 2004 – 2008)………. 35

15. a.Hasil analisis EVI dari citra ALOS AVNIR-2……….. b.Hasil analisis NDVI dari citra ALOS AVNIR-2………. 36 37 16. Peta jenis tanah daerah penelitian………. 39

17. Peta jenis bahan induk daerah penelitian……….. 40

18. Peta relief daerah penelitian……….. 41

Lampiran 1. Langkah-langkah pengolahan data statistik dengan tanagra 1.4………. 51

2. Langkah-langkah pengolahan interpolasi data curah hujan dengan perangkat lunak ArcGIS……… 53

3. Langkah-langkah pengolahan indeks vegetasi dengan perangkat lunak ENVI……… 55

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di DAS Ciliwung Hulu, perubahan penggunaan lahan pun terjadi seiring dengan waktu. Hal ini terjadi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, seperti permukiman, lahan pertanian dan yang lainnya. Perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi di daerah hulu adalah perubahan dari lahan pertanian menjadi non-pertanian.

Keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin seringkali kurang memperhatikan dampak ekologi yang akan muncul di kemudian hari. Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut adalah lahirnya bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Adanya aktivitas masyarakat dalam penggunaan lahan seperti pengolahan tanah untuk pertanian dan pemotongan lereng untuk permukiman, menyebabkan tanah tidak mampu lagi menahan beban di atasnya ketika musim penghujan datang. Bencana longsor dapat terjadi dan mengakibatkan adanya korban jiwa, kerugian harta benda, dan kerugian ekonomi.

Mempelajari bencana longsor dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Menurut Lee dan Min (2001) SIG merupakan alat pemetaan data spasial, manajemen data, dan manipulasi data spasial sarana yang efektif untuk menganalisis proses longsor. Penggunaan SIG digunakan untuk menganalisis bahaya longsor dengan cara mengumupulkan data dan menganalisa data longsoran (Zhou et al. 2002). Hasil analisis SIG diantaranya dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pecegahan bencana alam, perencanaan tata guna lahan, dan yang lainnya.

Keutaman penggunaan SIG dalam pemetaan bahaya longsor menurut Barus (1999) adalah kemampuannya mengoverlay antara peta longsoran dengan peta tertentu dan pembangunan Digital Elevation Model (DEM). Beberapa studi mengenai longsor telah dilakukan melalui pembangunan DEM dengan analisis GIS, seperti Lee dan Min (2001); Zhou et al, (2002); Huggel et al, (2007).

(13)

Pemanfaatan DEM untuk memprediksi longsor adalah dengan memasukan beberapa parameter seperti kemiringan lereng, ketinggian tempat (elevasi), indeks vegetasi, curah hujan, dan data yang diperoleh di lapangan. Hasil pemodelan longsor yang dibangun seperti ini dapat mengetahui area-area yang potensial longsor dan area-area yang aman bahaya longsor serta menilai pengaruh dari parameter longsor terhadap kejadian longsor.

1.2. Perumusan Masalah

DAS Ciliwung Hulu dan kawasan Puncak menurut Barus (1999) selama 10 tahun terakhir telah mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu udara di kawasan Bogor dan flukuasi arus sungai Ciliwung yang semakin tinggi dan keruhnya air di muara sungai. Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan ini adalah terjadinya gerakan massa tanah khususnya longsoran dangkal (Shallow Landslide).

Longsoran di daerah puncak dan sekitarnya umumnya bersifat dangkal (2-5 meter) bertipe debris avalanche atau rational slump (Barus, 1999). Tipe debris umumnya ditemukan pada daerah berlereng curam, sedangkan tipe slump ditemukan di daerah landai dan lebih dipengaruhi oleh perkembangan sifat tanah dan pola penggunaan lahan di atasnya.

Melihat kondisi DAS Ciliwung Hulu yang rentan terhadap longsor, maka studi tentang bahaya longsor akan sangat bermanfaat untuk perencanaan pembangunan ekologi di daerah tersebut, serta untuk aplikasi lain. Saat sekarang telah banyak data penginderaan jauh yang didapatkan secara gratis di web/internet, seperti data SRTM, Landsat, dan sebagainya. Data SRTM merupakan salah satu data penginderaan jauh non optik yang memberikan data elevasi permukaan bumi. Dari data tersebut dapat dibangun suatu kenampakan permukaan bumi secara 3 dimensi, yaitu berupa DEM. Selanjutnya data DEM tersebut dapat dimanfaatkan untuk studi tentang longsor.

(14)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Membangun dan membandingkan DEM (Digital Elevation Model) dari Peta Topografi dan data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) pada daerah DAS Ciliwung Hulu.

2. Membangun pemodelan longsor berbasis DEM

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada pemerintah daerah, masyarakat, dan para pihak yang tertarik tentang bencana alam tentang persebaran daerah bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu.

2. Mendorong para peneliti untuk mengembangkan pemodelan DEM berbasis data penginderaan jauh dan SIG untuk kebencanaan.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEM (Digital Elevation Model)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan lereng, aspek lereng, ketinggian tempat, dan area DAS (Zhou dan Liu 2003). Pembuatan DEM pada dasarnya merupakan proses matematis terhadap data ketinggian yang diperoleh dari peta kontur. Hasil DEM yang biasa dibuat berbentuk data vektor (TIN) dan data raster (grid). Jenis TIN merupakan representasi dari permukaan bumi, digambarkan dengan 3 dimensi berkoordinat (x, y, dan z). Jenis TIN (Triangulated Irregular Network) memiliki kelemahan, yaitu kurang teliti untuk menganalisis permukaan bumi secara mendetail, sedangkan jenis raster dibentuk dari kumpulan-kumpulan piksel yang memiliki nilai yang sama, sehingga baik untuk digunakan menganalisis permukaan bumi dengan lebih detail. Contoh pembuatan DEM dari jenis raster untuk analisis topografi telah dilakukan oleh Zhou et al. (2002) yang membandingkan hubungan antara longsor dengan faktor penyebab longsor pada Pulau Lantau di Hongkong.

2.2. Longsor

Longsor adalah proses bergeraknya massa batuan dan tanah menuruni lereng dibawah pengaruh gravitasi bumi. Menurut Sivrikaya et al. (2007) longsor merupakan proses alam yang banyak terjadi di hampir seluruh belahan bumi dan bencana yang ditimbulkannya dapat disebabkan oleh dinamika kehidupan manusia seperti pembangunan yang berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau kerugian besar pada harta benda. Penyebab terjadinya longsor banyak macamnya, salah satu penyebab paling utama adalah akibat curah hujan yang tinggi yang banyak terjadi pada daerah tropis, seperti di Indonesia (Sivrikaya et al. 2007).

Daerah rentan longsor pada umumnya dapat diidentifikasi atau dievaluasi melalui dua metode, yaitu : teknik modeling berbasis pada hukum fisik dan mekanik kesetimbangan kekuatan permukaan bumi, dan teknik statistik yang dikembangkan dari Sistem Informasi Geografis (SIG) (Lee dan Talib, 2005).

(16)

Dengan demikian perangkat SIG dapat digunakan untuk melakukan analisis dan pembuatan model data geografis dari proses fisik seperti ketidakstabilan lereng yang dapat menyebabkan longsor. Menurut Guzzetti et al. (1999), kerentanan longsor secara matematika memaparkan suatu peluang kejadian longsor pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang erat kaitannya dengan kondisi geoenvironmental.

Terdapat banyak faktor-faktor penyebab terjadinya longsor, yang pertama adalah adanya curah hujan yang tinggi. Hujan yang turun terus menerus dengan intensitas yang besar pada suatu daerah menyebabkan terjadinya longsor, karena semakin lama infiltrasi akan menyebabkan tanah menurun (Zhou et al. 2002). Faktor longsor kedua adalah jenis tutupan lahan (vegetasi), vegetasi berfungsi untuk menjaga kestabilan lereng dari bahaya longsor. Menurut Zhou et al. (2002) jenis vegetasi dapat membantu meningkatkan kestabilan lereng terhadap longsor, vegetasi yang memiliki akar kuat dan besar seperti kayu dapat meningkatkan infiltrasi tanah. Daerah dengan banyak vegetasi seperti semak belukar dan tegalan apabila dibandingkan dengan vegetasi berkayu cenderung mempunyai potensi longsor yang lebih besar (Zhou et al. 2002). Menurut Vohora dan Donoghue (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah lereng yang curam, bebatuan yang mudah melapuk, dan iklim tropis yang lembab. Berdasarkan uaraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor longsor antara lain adalah curah hujan, jenis tutupan lahan, kemiringan lereng, jenis bebatuan, dan iklim.

2.3. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)

SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan wahana satelit yang dilengkapi dengan alat penghasil gelombang Synthetic Aperture Radar Interferometry (InSAR) yang diluncurkan pada tahun 2000. Data SRTM menghasilkan DEM terutama untuk area dalam cakupan lintang 60 N dan 85 S, mempunyai jenis datum WGS 84 dan ketinggian ellipsoidal (Yastikh et al. 2006). Menurut Van Zyl (2001) SRTM merupakan produk penginderaan jauh yang menghasilkan DEM dunia dengan resolusi spasial 30 meter dan 90 meter.

(17)

Pembuatan DEM dari data SRTM untuk daerah pegunungan masih sering ditemukan adanya kesalahan atau RMSE (Root Mean Square Error). Menurut Kaab (2005) galat biasa terjadi pada ketinggian 12-36 meter, sedangkan galat maksimum sering terjadi pada ketinggian lebih dari 100 meter.

2.4. Satelit ALOS

Satelit ALOS (Advanced Observing Satellite) merupakan satelit milik Jepang yang merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS. ALOS adalah satelit terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA di Tanegashima Space Center, Jepang, pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-HA. Karakteristik umum dari satelit ini disajikan pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Karakteristik ALOS

sumber : JAXA EORC, 2010

Karakter ALOS menurut fungsinya, adalah salah satu satelit yang digunakan untuk mengamati permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan (JAXA EORC, 2010) :

1. Menyediakan peta untuk Jepang dan negara-negara lain yang tercakup dalam wilayah Asia-Pasifik (Cartography)

2. Melakukan pengamatan daerah untuk pembangunan berkelanjutan, serta harmonisasi antara lingkungan bumi dengan pembangunan (Regional Observation).

3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring). 4. Survey sumberdaya alam (Resources Surveying)

5. Mengembangkan tekhnologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan bumi masa depan (Technology Development).

No Tipe Spesifikasi

1 Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006

2 Wahana Peluncuran H-HA

3 Tempat Peluncuran Tanegashima Space Center

4 Massa Kendaraan Angkasa Sekitar. 4 Ton

5 Power Sekitar. 7 kW (pada akhir operasional)

6 Waktu Operasional 3-5 tahun

7 Orbit Siklus kunjungan ulang : 46 hari

Ketinggian : 691,65 km (di khatulistiwa) Inklinasi : 98,16 deg

(18)

Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju yang dapat memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, dan pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat. Untuk keperluan tersebut pada satelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi.

Satelit ALOS (Gambar 1) memiliki tiga sensor, yaitu : (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi spasial 2,5 meter, (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi spasial 10 meter, dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi spasial 10 meter dan 100 meter.

Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC,2010)

AVNIR-2 merupakan pengganti ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) yang diluncurkan pada tahun 2006. Resolusi spasial yang disajikan oleh AVNIR-2 sebesar 10 meter dengan lebar liputan per lembar citra (scene) sebesar 70 km, sedangkan untuk wilayah multispektral memiliki resolusi spasial sebesar 16 meter. AVNIR -2 sering dimanfaatkan untuk mengetahui indeks vegetasi dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared).

Karakteristik umum sensor AVNIR-2 disajikan pada Tabel 2 dan prinsip geometri AVNIR-2 pada Gambar 2.

(19)

Tabel 2. Karakteristik AVNIR-2

No Tipe Spesifikasi

1 Jumlah Band 4

2 Panjang Gelombang Band 1 : 0,42-0,50 mikrometer

Band 2 : 0,52-0,60 mikrometer Band 3 : 0,61-0,69 mikrometer Band 4 : 0,76-0,89 mikrometer

3 Resolusi Spasial 10 m (at nadir)

4 Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir)

5 Jumlah Detektor 7000/Band

6 Pointing angle -44 + 44

7 Bit Length 8 bit

Sumber : JAXA EORC, 2010

Gambar 2. Prinsip geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 2010)

2.5. NDVI dan EVI

Indeks vegetasi merupakan nilai hasil evaluasi vegetasi sebagai tutupan lahan yang diperoleh dari gabungan spektral band pada citra. Indeks vegetasi menurut Rau et al. (2006) bermanfaat untuk membedakan permukaan bumi yang bervegetasi dan permukaan bumi tanpa vegetasi. Nilai indeks vegetasi biasanya dapat dihitung dengan NDVI (Normal difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Indeks) (Jayaseelan dan Sanjeevi, 2002). Menurut Tucker (1977) NDVI merupakan indeks kehijauan dari suatu vegetasi atau sebagai indikator numerik yang didapat dari analisis pengukuran penginderaan jauh untuk menilai apakah target yang diamati memiliki vegetasi atau tidak.

(20)

Berikut adalah rumus NDVI :

NDVI = Keterangan :

NIR = Nilai reflektan kanal spectral infra merah dekat RED = Nilai reflektan kanal spectral merah

Nilai NDVI diperoleh dari proses hirarki kompleks yang berefek kepada fraksi fotosintesis yang diserap oleh kanopi tumbuhan (Gambar 3). Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi nilai NDVI, yaitu faktor gangguan (perubahan iklim, kebakaran), faktor sosial seperti perubahan penggunaan lahan, dan faktor lokasi (tanah, landform, hidrologi, iklim mikro). Ketiga faktor tersebut mempengaruhi kondisi kesehatan tanaman, ukuran tumbuhan, dan jenis tanaman, sehingga mempengaruhi nilai NDVI yang akan dievaluasi.

EVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan dari NDVI. Menurut Huete et al. (1997), EVI lebih sensitif terhadap perubahan biomassa selama fase vegetatif yang lama. EVI sangat sensitif pada daerah yang bervegetasi tinggi karena dalam proses monitoringnya dipengaruhi oleh kanopi penutupan lahan dan awan/atmosfer. Nilai EVI diperoleh dari nilai reflektansi kanal spektral merah (red), kanal infra merah dekat (NIR) dan kanal biru (blue). Kanal spektral biru sangat sensitif terhadap kondisi atmosfer dan digunakan untuk koreksi atmosferik (Xiao et al. 2006). Persamaan EVI adalah :

EVI = G

Keterangan :

G = gain faktor (2.5)

C = koefisien koreksi atmosphere aerosol scattering pada kanal spectral merah berdasarkan kanal spektral biru ( C1 = 6, C2 = 7.5)

L = soil effect adjustment factor (1)

NIR = nilai reflektan kanal spektral infra merah dekat RED = nilai reflektan kanal spektral merah

(21)

Gambar 3. Diagram alir faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai NDVI (Walker et al. 2009)

(22)

2.6. Linear Discriminant Analiysis (LDA)

LDA (Linear Discriminant Analiysis) atau multiple regression analysis menurut Suryani (2000), adalah analisis regresi berganda yang digunakan untuk pendugaan terhadap nilai suatu parameter, dari beberapa parameter yang diamati (respon dan penjelas). Pada analisis diskriminan terdapat hubungan dependensi (hubungan antar peubah yang sudah bisa dibedakan mana peubah respon dan mana peubah penjelas). Peubah respon berupa data kualitatif dan peubah penjelas berupa data kuantitatif. Peubah penjelas mengikuti distribusi normal, sedangkan peubah responnya sudah pasti (fixed).

(23)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor.

Pengolahan data dan analisis citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Bahan

Data primer yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Data SRTM DEM versi 4 yang diperoleh dari situs web Consultative Group for International Agriculture Research Consortium for Spatial Information (CGIAR-CSI).

2. Peta Topografi digital (Peta Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, lembar Cisarua, tahun 1990 BAKOSURTANAL.

3. Citra ALOS AVNIR-2 akuisisi tanggal 17 Juli 2009.

4. Data kejadian longsor yang diambil di lokasi penelitian (titik-titik longsor) dan wawancara dengan penduduk setempat.

Data sekunder yang digunakan adalah :

1. Data curah hujan wilayah Kabupaten Bogor, diambil dari data BMKG antara tahun 2004 hingga 2008.

2. Peta Tanah DAS Ciliwung Hulu, skala 1:50.000, tahun 1992, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) Bogor.

3. Peta Administrasi DAS Ciliwung Hulu, 2009 (BAKOSURTANAL)

3.2.2. Alat

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : GPS, kamera digital, komputer yang dilengkapi program ArcView versi 3.3, ArcGis 9.3, ENVI 4.5 dan Tanagra 1.4. Untuk memperoleh layer stack ALOS dan indeks vegetasi digunakan perangkat lunak ENVI, pendigitasian dan interpolasi digunakan perangkat lunak ArcGis, sedangkan untuk layout dan registrasi

(24)

digunakan ArcView. Untuk melakukan analisis statistik digunakan perangkat lunak Tanagra 1.4, yaitu menggunakan metode analisis diskriminan untuk mengetahui peubah yang berpengaruh nyata terhadap pemodelan DEM.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) persiapan dan pengumpulan data, (2) pengolahan data, (3) analisis data

3.3.1. Persiapan dan Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan studi pustaka dari berbagai sumber yang dapat diperoleh dari buku teks, jurnal ilmiah, dan prosiding seminar yang berkaitan dengan tujuan penelitian, dan lokasi penelitian.

Pengumpulan data lapangan (primer) dilakukan dengan mencari titik-titik longsor yang diperoleh dari informasi sekunder, seperti koran, internet, dan jurnal. Pada titik longsor dilakukan wawancara dengan penduduk setempat untuk mengetahui tentang kejadian - kejadian longsor pada wilayah penelitian. Menurut data Kantor Desa setempat, kejadian longsor banyak terjadi pada tahun 2005 – 2008. Titik-titik longsor yang berhasil ditemui dan diidentifikasi di lapangan selanjutnya ditentukan koordinatnya dengan GPS. Informasi lain yang diperlukan adalah penggunaan lahan setempat beserta perubahannya pada lokasi – lokasi kejadian longsor dan juga pada lokasi – lokasi yang tidak terjadi longsor (daerah contoh) di dalam DAS Ciliwung Hulu. Survey lapang tersebut dilakukan antara bulan Juli dan bulan September 2010.

3.3.2. Pengolahan Data

Pengolahan data diawali dengan pembacaan citra (layer stack) ALOS AVNIR-2 dengan perangkat lunak ENVI. Data SRTM yang telah diunduh kemudian dipotong (cropping) pada daerah penelitian dan kemudian diubah tipe filenya ke dalam bentuk tiff, dan selanjutnya dibentuk DEM.

Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang digunakan terlebih dahulu dilakukan pengubahan datum menjadi WGS 84 sesuai dengan datum SRTM. Peta RBI yang masih berbentuk polyline selanjutnya diubah ke dalam bentuk point untuk selanjutnya diinterpolasi. Interpolasi dilakukan dengan metode IDW

(25)

(Inverse Distance Weighting) untuk menduga ketinggian wilayah penelitian dengan metode 12 tetangga terdekat. Persamaan IDW adalah sebagai berikut :

X =

/

Keterangan :

X = Jarak yang diinterpolasi Zi = Nilai data (ada sebanyak n)

Di = Jarak antara x dengan posisi setiap titik (sebanyak n)

Resolusi spasial untuk interpolasi peta RBI disamakan dengan resolusi SRTM yaitu 90 meter dan menggunakan interval kontur 10 meter. Data DEM yang telah dibangun dari peta RBI dan SRTM selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui hasil yang terbaik untuk pemodelan longsor berbasis DEM.

Pengolahan citra ALOS AVNIR-2 adalah untuk mengetahui indeks vegetasi pada daerah penelitian sedangkan untuk pengidentifikasi jenis tanah, bahan induk, dan relief pada lokasi penelitian, diambil dari Peta Tanah Semi Detail Daerah Ciliwung Hulu skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992). Peta tanah ini diregistrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengolahan data curah hujan digunakan untuk mengetahui nilai rataan bulan terbasah di daerah penelitian dengan membuat interpolasi nilai curah hujan dengan metode rataan bulan terbasah (interpolasi ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis).

3.3.3. Analisis Data

Pemodelan DEM longsor dibuat dengan memasukkan beberapa peubah dan parameter longsor. Peubah longsor yang diperoleh dari DEM adalah kemiringan lereng, aspek lereng, ketinggian tempat (elevasi), sedangkan peubah yang dipakai di luar DEM adalah indeks vegetasi, curah hujan, jenis tanah, bahan induk, dan relief. Pengukuran aspek lereng pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak ArcGis dengan tools „spatial analiyst‟. Dengan cara ini maka aspek lereng langsung diketahui. Adapun rumus untuk aspek lereng adalah sebagai berikut :

(26)

A = 270˚ + arctan ( ) - 90˚ keterangan :

A = aspek lereng (fungsi dari gradient pada sumbu X dan Y terhadap arah W-E dan N-S fx = gradient arah W-E

fy = gradient arah N-S ( Zhou and Liu, 2004)

Peubah curah hujan dipilih dari jumlah rataan bulan terbasah pada setiap tahun, sehingga dapat diketahui bulan terbasah pada setiap tahunnya. Nilai rataan bulan terbasah kemudian diinterpolasi ke dalam bentuk IDW, sehingga didapatkan peubah untuk pemodelan longsor. Peubah jenis tanah, bahan induk, dan relief diperoleh dari hasil digitasi dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu yang telah diregistrasi.

Peubah Indeks vegetasi (NDVI dan EVI) diperoleh dari radiance citra ALOS AVNIR-2 yang dilakukan melalui fasilitas band math dengan memasukkan persamaan NDVI dan EVI sebagai berikut :

NDVI =

EVI = G Keterangan :

NIR = nilai band 4 RED = nilai band 3 BLUE = nilai band 1 C1 = 6

C2 = 7.5 L = 1 G = 2.5

Berdasarkan hasil perhitungan terhadap peubah-peubah yang diduga berperan terhadap kejadian longsor, kemudian dianalisis dengan metode analisis diskriminan (dengan perangkat lunak Tanagra 1.4) untuk mendapatkan hasil akhir berupa pengaruh nyata/tidak terhadap pemodelan longsor. Peubah yang digunakan pada pengolahan data statistik adalah : a) peubah tujuan (respon), berupa data

(27)

kualitatif yaitu data longsor dan tidak longsor, b) peubah bebas (penjelas), berupa data kuantitatif, yaitu: data aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat (elevasi), curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI). Dalam hal ini parameter tanah, bahan induk, dan relief tidak digunakan karena merupakan data kualitatif.Seluruh rangkaian metode penelitian ini secara diagramatis disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada gambar 4.

(28)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu sebagai daerah penelitian merupakan bagian dari sub-DAS Ciliwung yang secara adminstratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan : Megamendung, Cisarua, Cibinong, Tugu Utara, Cibereum, Cianjur dan Ciawi). Secara Geografis daerah penelitian terletak pada 6°37‟48”- 6°46‟12”LS dan 106° 49‟ 48” - 107°00‟00”BT dan memiliki luas ± 12.800 hektar, serta mempunyai ketinggian antara 197 hingga 3.002 meter dari permukaan air laut (Gambar 5). Berdasarkan topografinya, wilayah DAS mempunyai lereng yang bervariasi dari landai, agak curam, curam sampai sangat curam.

4.1.1. Iklim dan Tanah

Curah hujan rata-rata di DAS Ciliwung Hulu adalah sebesar 2.929-4.956 mm/tahun dengan perbedaan bulan basah dan kering yang sangat besar yaitu 10,9 bulan basah dan 0,9 bulan kering. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson yang didasarkan pada besarnya curah hujan, (yaitu Bulan Basah (>200 mm) dan Bulan Kering (<100 mm)), wilayah ini termasuk ke dalam tipe iklim A. Berdasarkan data BPDAS Citarum –Ciliwung (2008) debit sungai maksimum (Qmax) tercatat pada stasiun Katulampa tahun 2008 menunjukkan angka sebesar 91,87 m3/detik dan debit sungai minimum (Qmin) sebesar 3,28 m3/detik. Kondisi temperatur daerah penelitian berkisar antara 21,8-24 C°, dengan kelembapan udara antara 73% – 98%. Besarnya evaporasi bulanan (yang tercatat di daerah longsoran Puncak) sebesar 79-140 mm (BPDAS Citarum- Ciliwung Hulu, 2007).

(29)
(30)

Berdasarkan Peta Tanah semi detil skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992) jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu adalah Andisol, Ultisol, Inseptisol, dan Entisol.

Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk vulkan yang menghasilkan bahan amorf. Tanah ini berwarna hitam, dan memiliki bahan organik yang tinggi. Ultisol merupakan tanah yang memiliki horizon argilik, terbentuk di daerah dengan bahan induk yang berumur lebih tua. Entisol merupakan tanah-tanah yang tingkat perkembangannya relatif baru. Inseptisol berasal dari pelapukan batuan vulkan yang mengalami latosolisasi. (Janudianto, 2004)

4.1.2. Geologi dan Geomorfologi

Geologi yang menyusun daerah penelitian ini umumnya merupakan hasil produk gunungapi muda kuarter dari Gunung Salak (2.211 m) dan Gunung Gede-Pangrango (3.019 m) yang terdiri dari breksi, lahar, lava, dan tufa.

Ditinjau dari kondisi geomorfologinya, sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh morfologi bentuk lahan vulkanik tua dengan bentuk berbukit dan bergunung, dan sebagian kecil merupakan dataran alluvial. Geomorfologi daerah penelitian juga dibentuk oleh kerucut gunungapi tua seperti Gunung Malang (1.262 m), Gunung Limo, Gunung Kencana, dan Gunung Gedoan. (Janudianto, 2004)

4.1.3. Penggunaan Lahan

Jenis penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian terdiri dari sawah, hutan, permukiman, dan kebun campuran. Penggunaan lahan paling dominan di daerah penelitian adalah hutan, seluas 5.313 hektar atau 41% dari luas total daerah penelitian. Sebaliknya permukiman merupakan jenis penggunaan lahan yang paling kecil luasnya, yaitu sebesar 1.545 hektar atau 12% dari total luas daerah penelitian (Tabel 3 dan Gambar 6).

Tabel 3. Tabel luas penggunaan lahan di daerah penelitian

Penggunaan Lahan LUAS

Ha Persentase (%)

Permukiman 1.545 12

Hutan 5.313 41

Kebun Campuran 2.854 23

(31)

Total 12.800 100 Sumber : Interpretasi citra ALOS AVNIR-2

(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis DEM

Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat dua metode yang berbeda untuk menghasilkan informasi ketinggian atau garis kontur. Peta topografi dihasilkan dari proses fotogrametri sedangkan data SRTM melalui proses interferometri, sehingga merupakan dua data yang menarik untuk diperbandingkan.

Proses pembuatan DEM dari peta topografi, dimulai dengan proses interpolasi ketinggian dengan metode IDW (Inverse Distance Weighting). Berdasarkan hasil interpolasi tersebut dan dibandingkan diperoleh adanya suatu perbedaan elevasi permukaan bumi antara DEM dari data topografi dan SRTM. Gambar 7a dan 7b memperlihatkan perbedaan tersebut antara DEM IDW dan DEM SRTM. Gambar 7c menunjukkan beberapa perbedaan nilai elevasi. Warna merah menujukkan nilai elevasi SRTM lebih besar daripada nilai elevasi peta topografi, sedangkan warna hijau menujukkan nilai elevasi dari peta topografi lebih besar daripada nilai elevasi dari SRTM. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persebaran perbedaan elevasi tersebut banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang memiliki relief atau terrain berbukit sampai bergunung, namun sebaliknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada wilayah-wilayah yang memiliki relief relatif datar (warna abu-abu)

Menurut Gorokhovickh dan Voustonik (2006), ketelitian mutlak vertikal data SRTM berhubungan langsung dengan karakteristik terrain, dimana nilai galat vertikal yang lebih besar sering muncul pada wilayah-wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang curam dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang lebih kecil atau landai. Hal ini erat kaitannya dengan terjadinya proses pemendekan permukaan (foreshortening) atau perebahan (layover) lereng-lereng curam pada permukaan bumi di citra SRTM, namun hal ini tidak terjadi pada lereng-lereng yang landai. Sifat-sifat data SRTM seperti ini perlu diperhatikan oleh pengguna, terutama untuk membuat pemodelan longsor.

(33)

Dalam penelitian ini DEM dari topografi dianggap paling baik karena tidak terdapat proses-proses foreshortening dan layover dan dipilih untuk pemodelan longsor.

(a) (b) (c)

Gambar 7. Hasil penggabungan DEM (a) DEM IDW (b) DEM SRTM (c) gabungan kedua DEM warna merah nilai SRTM > IDW, warna hijau nilai IDW > SRTM

5.2. Aplikasi DEM untuk Pemodelan Longsor pada DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan hasil pencarian informasi dan observasi lapangan ditemukan setidaknya 15 titik longsor di daerah penelitian yang berada di sekitar pemukiman dan jalan raya (Gambar 8). Sebagian besar daerah yang mengalami longsor terletak di Desa-desa Citeko, Pensiunan, Hegarsari, Kampung Baru, dan Naringgul yang berlokasi di wilayah Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Pada penelitian ini dilakukan juga penentuan lokasi-lokasi yang tidak mengalami longsor secara acak yang digunakan sebagai pembanding terhadap daerah-daerah yang mengalami longsor. Jumlah titik yang diperlukan 15 titik berlokasi di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan – kecamatan Sukaraja, Megamendung, Ciawi dan Cianjur. Lokasi-lokasi tidak longsor tersebut (Gambar 9) selanjutnya dianalisis dalam DEM untuk diperbandingkan nilai-nilai parameternya dengan yang berada pada titik-titik terjadinya longsor.

(34)
(35)

a. Desa Kampung Baru b. Kecamatan Cisarua

c. Kecamatan Tugu Utara d. Desa Citeko

e. Desa Kampung Baru f. Desa Naringgul

Gambar 9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian

Berdasarkan keperluan analisis, selanjutnya diambil beberapa parameter morfometri untuk longsor dari DEM, meliputi aspek lereng, kemiringan lereng, serta ketinggian tempat (elevasi), sedangkan untuk parameter-parameter lain diambilkan dari data sekunder, yaitu curah hujan, jenis tanah, bahan induk, relief,

(36)

dan indeks vegetasi. Tabel Lampiran 4 memaparkan nilai dari 8 parameter pada 30 titik-titik wilayah longsor dan tidak longsor di DAS Ciliwung Hulu.

5.2.1. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng yang dibuat dari hasil analisis DEM pada daerah penelitian ditunjukkan dengan 5 warna berbeda yang menunjukkan perbedaan kelas lereng. Klasifikasi kemiringan lereng dalam penelitian ini merujuk pada data kemiringan lereng penyebab longsor dari Savitri (2007). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian didominasi oleh kemiringan 0% - 8% (warna pink), dan 8% - 15% (warna orange), sedangkan kemiringan yang lain relatif kecil (Tabel 4).

Tabel 4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu.

Daerah penelitian kemiringan lereng tertinggi (> 45% atau warna hijau) berada di kawasan puncak Gunung Gede – Pangrango, sedangkan wilayah yang mempunyai kemiringan terendah (0% - 8 % atau warna pink) tersebar di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Sukaraja. Secara teoritis wilayah-wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang tinggi umumnya merupakan wilayah-wilayah yang rentan longsor. Apabila kemiringan lereng semakin tinggi maka peluang pergeseran tanah dan material yang ada di dalamnya juga meningkat (Lee dan Talib, 2005). Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan bahwa daerah-daerah yang mengalami longsoran berada pada wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang besar 8% – 15 % (landai), 15% - 30% (agak curam) dan sebagian kecil pada kemiringan 30% - 45% (curam). Titik-titik longsor tersebut berada pada daerah permukiman di dekat jalan raya. Sebaliknya wilayah yang tidak pernah mengalami kejadian longsor mempunyai kemiringan

Nilai Kemiringan

Lereng

Kelas kemiringan Warna Luas

Ha %

0 – 8 % Datar Pink 4.602 37

8 – 15 % Landai Orange 4.507 35

15 – 30 % Agak curam Kuning 1.495 12

30 – 45 % Curam Biru 1.502 11

> 45 % Terjal Hijau 693 5

(37)

lereng yang lebih rendah sebesar 0% - 8% (landai) dan berada jauh dari permukiman dan jalan raya (Gambar 10).

5.2.2. Aspek Lereng

Aspek lereng merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi pergerakan tanah, karena arah menghadapnya lereng berkaitan dengan proses pelapukan melalui sinar matahari. Berdasarkan hasil analisis DEM diperoleh 7 jenis aspek lereng, yaitu: N, NE, E, S, SW, W, dan NW (Gambar 11). Pada gambar tersebut tampak bahwa aspek lereng di daerah penelitian meliputi arah barat (W) (biru tua), barat laut (NW) (pink), utara (N) (orange), selatan (S) (ungu muda), barat daya (SW) (biru muda), timur laut (NE) (orange muda), dan timur (E) (kuning). Dengan demikian aspek lereng yang dominan di daerah penelitian adalah N, NW, dan W (Tabel 5).

Tabel 5. Aspek Lereng di DAS Ciliwung Hulu

Arah lereng banyak berkaitan dengan faktor iklim, antara lain sinar matahari, kelembapan, dan curah hujan. Menurut Fernandez et al. (2008) potensi longsor berhubungan langsung dengan variabel kelembapan tanah dan cuacanya. Aspek lereng juga mempengaruhi jenis vegetasi, iklim mikro pada permukaan lereng, dan pelapukan batuan (Kumar et al, 2010). Sinar matahari yang menyinari permukaan bumi memiliki penyinaran paling lama dan panas pada siang sampai sore hari, yaitu ketika matahari banyak menyinari sisi bagian barat dan timur bumi, sehingga daerah tersebut secara tidak langsung memiliki proses pelapukan batuan yang lebih cepat dibandingkan dengan sisi-sisi yang lain.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan (Gambar 11), daerah-daerah penelitian yang banyak mengalami kejadian longsor terletak pada lereng-lereng yang menghadap ke arah timur laut (NE) atau orange muda, utara (N) atau orange,

Aspek Lereng Keterangan

warna

LUAS

Ha %

Utara Orange 2.663 21

Timur laut Orange muda 907 8

Barat laut Pink 2.816 22

Selatan ungu 1.073 8

Tenggara Biru muda 973 7

Timur Kuning 869 7

Barat Biru tua 3.518 27

(38)

dan barat laut (NW) atau pink. Daerah-daerah yang tidak mengalami longsor berada pada lereng-lereng yang mengarah ke arah barat (W) atau biru tua, dan barat daya (SW) atau biru muda (Gambar 11).

5.2.3. Elevasi

Elevasi atau ketinggian tempat pada umumnya dianggap sebagai faktor penentu longsor yang tidak langsung (Fernandez et al. 2008) karena elevasi berkaitan dengan curah hujan, temperatur, dan jenis vegetasi. Pada Gambar 12 berikut dipaparkan 5 kelas ketinggian dengan interval sebesar 300 meter di wilayah penelitian. Perubahan penggunaan lahan, kemampuan tanah sebagai daerah tangkapan air, dan kenaikan intensitas curah hujan semakin beragam setiap perubahan ketinggian sebesar 300 meter dari permukaan laut (mdpl) (Indra et al. 2006). Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa elevasi yang dominant daerah penelitian adalah pada ketinggian 200 - 500 (seluas 4.299 ha), 500 - 800 meter (seluas 4.306 ha), dan 800 - 1.100 meter (seluas 3.403 ha) sedangkan elevasi yang lebih tinggi semakin kecil (Tabel 6).

Tabel 6. Kelas elevasi di DAS Ciliwung Hulu

Ketinggian (meter) LUAS

Ha % 200 - 500 4.299 33,5 500 - 800 4.306 33,6 800 - 1.100 3.403 26,5 1.100 - 1.400 661 5,1 1.400 - 1.700 131 1,0 Total 12.800

Menurut Peralvarez et al. (2008) pada ketinggian 300 hingga 1.800 meter umumnya terjadi perubahan yang signifikan pada faktor iklim, terutama curah hujan dan temperatur udara. Hal tersebut menginikasikan bahwa daerah yang memiliki ketinggian > 300 mdpl seharusnya mempunyai pelapukan batuan yang lebih besar daripada daerah bawahnya karena memiliki curah hujan lebih besar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan didapatkan bahwa wilayah penelitian yang mengalami kejadian longsor memiliki kisaran ketinggian antara 500 hingga 800 mdpl, sedangkan wilayah yang tidak mengalami longsor, pada umumnya memiliki ketinggian yang lebih rendah yaitu antara 200 hingga 500 mdpl.

(39)

Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor di daerah penelitian umumnya banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ketinggian > 500 mdpl.

5.2.4. Curah Hujan

Data curah hujan diambil dari koleksi data antara tahun 2004- 2008 dari 5 stasiun hujan yang berbeda, yaitu stasiun meteorologi Citeko, Ciawi, Gunung Mas, Dramaga, Megamendung, dan Empang. Kelima stasiun hujan tersebut diambil rataan dari bulan terbasah untuk mengetahui perkiraan nilai curah hujan puncak di daerah penelitian, karena peristiwa longsor sering terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Pengukuran curah hujan, dilakukan dengan metode bulan terbasah yaitu mengambil rata-rata curah hujan bulan terbasah dari tahun 2004 hingga 2008.

Sebenarnya ada beberapa metode lain untuk menggambarkan persebaran curah hujan di suatu wilayah, seperti isohiet atau poligon thiessen. Menurut ESDM (2009) isohiet merupakan hasil pemrosesan variabilitas nilai curah hujan secara rataan (generalisasi), sehingga isohiet sangat baik digunakan untuk wilayah-wilayah yang mempunyai topografi datar. Adapun poligon thiessen tidak berasumsi titik yang berdekatan lebih mirip nilainya dari titik yang berjauhan (ESDM, 2009). Uraian diatas terlihat bahwa metode tersebut kurang sesuai untuk tujuan penelitian ini, karena kondisi topografi daerah penelitian sangat variatif, dari datar hingga pegunungan dan stasiun hujan tersebar tidak merata dan berjauhan. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan metode nilai curah hujan puncak pada bulan terbasah. Gambar 13 berikut merepresentasikan data bulan terbasah setiap tahun, yang kemudian didapatkan parameter bulan terbasah untuk diinterpolasi.

(40)
(41)
(42)
(43)

a. b. c. d. e. curah hujan 2007 0 200 400 600 800 1000

februari desember januari

bulan terbasah cura h hu ja n

februari desember januari

curah hujan 2008 550 560 570 580 590 600 610 620 630 640

maret februari november

bulan terbasah c ura h hu ja n maret november curah hujan 2006 0 100 200 300 400 500 600 700 800 desember januari bulan terbasah c u ra h h u ja n desember januari curah hujan 2005 0 100 200 300 400 500 600 700 800

maret januari februari desember

bulan terbasah cura h hu ja n

maret januari februari desember curah hujan 2004 500 520 540 560 580 600 620 640

januari april februari juli

bulan terbasah cura h hu ja n

(44)

Gambar 13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun (a) 2004, (b) 2005, (c)2006 (d) 2007, (e) 2008

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui ada empat bulan terbasah yang dominan (ungu), yaitu bulan-bulan Desember, Januari, November, dan Februari. Berdasarkan bulan-bulan tersebut dipilih bulan Januari sebagai parameter bulan terbasah untuk pemodelan longsor karena mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain (sebagai puncak musim hujan). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian mempunyai nilai curah hujan yang bervariasi, dari 613,88 hingga 779,99 mm/tahun. Wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 746,77 hingga 779,99 mm/tahun, sedangkan wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 713,54 hingga 746,77 mm/tahun (Tabel 7). Hasil interpolasi curah hujan pada bulan Januari disajikan pada Gambar 14.

Tabel 7. Nilai curah hujan puncak di DAS Ciliwung Hulu

Nilai Curah Hujan mm/tahun Keterangan warna Luas Ha % 613 - 647 Kuning 211 2 647 - 680 Hijau 393 3 680 - 713 Pink 1.750 14 713 - 746 Biru 4.876 37 746 - 779 Abu-abu 5.570 44 Total 12.800 100

5.2.5. Indeks Vegetasi (NDVI dan EVI)

Menurut Rau et al. (2006) Normal Difference Vegetation Index (NDVI), Enhanced Vegetation Index (EVI), dan Leaft Area Index (LAI) merupakan indeks yang biasa digunakan untuk menganalisis vegetasi penutup dan bisa juga digunakan sebagai parameter untuk memprediksi longsor. Menurut Vohora dan Donoghue (2004), Nilai NDVI dapat diperoleh dengan menggunakan model transformasi matematika yang didesain untuk mengakses kontribusi tumbuhan hijau pada kanal multispektral data penginderaan jauh.

Nilai NDVI berkisar antara -1 dan 1, dimana nilai > 0 menerangkan banyaknya vegetasi dan ditunjukkan oleh rona yang lebih terang, sebaliknya untuk wilayah yang kurang vegetasi mempunyai warna cenderung gelap dan hitam.

(45)

Tanah mempunyai nilai mendekati nol dan tubuh air mempunyai nilai kurang dari nol. Menurut Rau et al. (2006) indeks yang tinggi menunjukkan lebih banyak vegetasi hijau jika dibandingkan dengan indeks yang rendah. Adapun EVI digunakan untuk mengkoreksi nilai NDVI melalui pengurangan efek dari faktor-faktor lingkungan seperti atmosfer, tanah, dan efek topografi yang dapat menyebabkan perubahan variasi cahaya terhadap citra yang akan dikoreksi. Walaupun EVI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan NDVI, tetapi EVI sangat peka terhadap kondisi lingkungan yang mudah berubah dibandingkan dengan NDVI (Matsushita et al. 2007).

Berikut ini disajikan hasil indeks vegetasi dari citra ALOS AVNIR-2 (Gambar 15a dan b) yang memperlihatkan bahwa wilayah yang mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keterangan rona yang lebih terang (dari putih hingga abu-abu) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,25 hingga 0,67. Wilayah bervegetasi tinggi tersebut berupa hutan dan kebun campuran meliputi Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cibereum dan Kecamatan Cisarua. Tingginya nilai NDVI pada wilayah tersebut dikarenakan adanya peristiwa fotosintesis dari vegetasi yang cukup besar sehingga sinyal NIR (Near Inframerah Red) yang terlihat pada citra lebih banyak atau memiliki rona terang. Wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang lebih rendah (rona abu-abu sampai hitam) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,08 hingga 0,45. Penggunaan lahan yang dominan didaerah tersebut adalah sawah meliputi di Kecamatan Megamendung, Kecamatan Sukaraja, dan Kecamatan Ciawi. Peristiwa fotosintesis didaerah tersebut yang tidak terlalu besar menyebabkan gelombang NIR yang diterima sedikit sehingga menimbulkan rona lebih gelap.

(46)
(47)

(48)
(49)

5.2.6. Jenis Tanah, Relief dan Bahan Induk

Data tanah, relief, dan bahan induk yang digunakan berasal dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992). Persebaran jenis tanah di daerah penelitian disajikan pada Gambar 16, meliputi jenis tanah andisol, entisol, inseptisol dan ultisol. Wilayah yang banyak mengalami longsor di daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan entisol yang tergolong subur, sedangkan untuk wilayah tidak longsor banyak didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan ultisol.

Entisol merupakan tanah yang belum berkembang memiliki solum yang tipis sekitar 18 cm, pada umumya terbentuk akibat adanya pengendapan secara terus menerus (Harjowigeno, 1985). Adanya pengendapan dan pencucian yang intensif mengakibatkan tanah menjadi jenuh sehingga menyebabkan terjadinya aliran permukaan (run off), dan memungkinkan terjadinya longsor. Pada wilayah penelitian, entisol terletak pada lahan-lahan dengan kemiringan yang cukup besar yaitu antara 30 % – 45%, dengan relief bergunung sehingga sangat wajar jika tanah-tanah ini menjadi rentan longsor.

Inseptisol memiliki sifat yang menyerupai seperti bahan induknya dan mengalami penimbunan liat, pengendapan Fe dan Al, pada umumnya memiliki solum yang dalam anatara 125 cm hingga lebih dari 200 cm (Hardjowigeno, 1985). Inseptisol pada daerah penelitian berada pada kemiringan 0 % – 30 % dengan intensitas curah hujan tinggi (713 – 779 mm/thn). Persebaran inseptisol pada umumnya berada pada relief yang berombak sampai bergelombang (Gambar 18). Di daerah penelitian, inseptisol banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wilayah permukiman dan lahan pertanian karena mempunyai kemampuan produktifitas yang tinggi (Hardjowigeno, 1985). Besarnya aktivitas manusia di atas tanah ini (terutama pemotongan lereng) memungkinkan tanah ini menjadi rentan longsor. Berdasarkan hasil observasi lapangan pada jenis tanah inseptisol terdapat titik-titik yang mengalami longsor maupun yang tidak mengalami longsor.

Pada daerah yang mengalami longsor memiliki kemiringan 8% - 45%, curah hujan sebesar 746 – 779 mm/tahun, relief bergunung, dan penggunaan lahan

(50)

dominan berupa permukiman, sedangkan daerah yang tidak mengalami longsor berada pada kemiringan lebih rendah (0% - 8%), curah hujan 713 – 746 mm/tahun, relief bergelombang, dan penggunaan lahan dominan berupa sawah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor pada jenis tanah yang sama ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh kemiringan, relief, dan penggunaan lahan di atasnya.

.

(51)
(52)
(53)

5.3. Analisis Diskriminan Linier (LDA)

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran parameter-parameter yang digunakan pada titik-titik longsor seperti telah diuraikan di atas, selanjutnya ditentukan uji statistik diskriminan linear untuk mengetahui pengaruh berbagai peubah terhadap proses longsor. Uji statistik ini dilakukan dengan menggunakan program Tanagra 1.4. Uji ini, dipilih 2 peubah, yaitu peubah tujuan (respon) dan peubah bebas (penjelas). Peubah tujuan (respon) terdiri dari atribut longsor dan tidak longsor (Tabel 8). Peubah bebasnya (penjelas) merupakan parameter yang memiliki nilai nominal agar diketahui nilai yang berpengaruh pada setiap parameter. Peubah bebas terdiri dari aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat, curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI) (Tabel 8).

Tabel 8 berikut memperlihatkan setiap peubah penjelas yang dimasukan ke dalam diskriminan linier dan menghasilkan peubah penjelas yang berpengaruh dan peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap respon. Peubah-peubah yang berpengaruh atau tidak terhadap longsor dapat dilihat dari nilai P-value yang dihasilkan, apabila nilai P-value kurang dari 5% maka menujukkan adanya pengaruh nyata terhadap respon, sebaliknya jika P-value lebih dari 5% maka tidak berpengaruh nyata terhadap respon.

Berdasarkan hasil analisis LDA (Tabel 8) terlihat bahwa peubah-peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap peubah respon (P-value > 5%) adalah kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi, sedangkan peubah-peubah penjelas yang berpengaruh terhadap respon (P-value < 5 %) adalah ketinggian (elevasi) dan curah hujan.

(54)

Tabel 8. Hasil pengolahan parameter longsor dengan tanagra 1.4

Atribute Clasification Function

Statistical Evaluation

Longsor Tidak Wilks.L Partial F (1,23) P-value Ketinggian 0,084 0,067 0,410 0,813 5,281 0,000305 Kemiringan -0,224 -0,158 0,342 0,975 0,576 0,078765 Aspek 0,013 0,001 0,388 0,858 3,776 0,820516 Curah Hujan 0,759 0,651 0,501 0,665 11,540 0,000001 NDVI 21,324 9,470 0,376 0,886 2,939 0,172303 EVI -5,374 -0,405 0,376 0,886 2,939 0,377638 Constant -35,699 -39,029

Curah hujan mempunyai nilai P-value sebesar 0,000001 (Tabel 9), artinya curah hujan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pemodelan DEM untuk memprediksi bahaya longsor pada selang kepercayaan 5%. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung lama/terus menerus akan dapat menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga menimbulkan aliran permukaan bahkan dapat memicu terjadinya longsor apabila berada pada lereng yang curam (> 45%).

Ketinggian tempat (elevasi) mempunyai nilai P-value sebesar 0,000305, artinya memberikan pengaruh nyata terhadap proses longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa wilayah-wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki ketinggian tempat yang besar, yaitu antara 500 hingga 800 meter sedangkan untuk wilayah tidak mengalami longsor mempunyai elevasi antara 200 hingga 500 meter. Hal ini cukup wajar disebabkan semakin tinggi suatu permukaan bumi maka akan berpotensi untuk mempunyai lereng-lereng yang curam dan curah hujan yang tinggi. Daerah-daerah yang memiliki ketinggian yang besar adalah daerah yang bergunung dan biasanya mempunyai curah hujan yang tinggi berkat terjadinya hujan orografis.

Kemiringan lereng memiliki P-value sebesar 0,078765, artinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap longsor pada selang kepercayaan 5%. Keadaan di lapangan membuktikan bahwa longsor banyak terjadi pada kemiringan lereng-lereng yang besar, karena kondisi ini banyak berpengaruh terhadap jatuh/bergeraknya batuan dan tanah ke daerah yang lebih rendah. Adanya

(55)

kemiringan lereng yang besar menyebabkan kemiringan lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian longsor, namun demikian dalam penelitian ini hasil analisis LDA menujukkan sebaliknya bahwa nilai P-value dari kemiringan lereng memperlihatkan sifat yang tidak berpengaruh nyata. Kontradiksi ini mungkin dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat akurasi kelas lereng yang direpresentasikan pada peta. Akurasi ini berkaitan dengan interval ketinggian yang ditentukan dalam penelitian ini yang masih cukup besar (12,5 meter) sesuai dengan skala peta topografi yang digunakan (Skala 1:25.000). Titik-titik longsor yang ada di lapangan (Gambar 9) kebanyakan mempunyai beda tinggi lereng (antara titik tertinggi dengan terendah) kurang dari 12,5 meter.

Aspek lereng memiliki P-value sebesar 0,820516 artinya, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pemodelan bahaya longsor, pada selang kepercayaan 5% sehingga secara langsung aspek lereng merupakan faktor yang tidak mempengaruhi pergerakan tanah. Menurut Peralvarez et al. (2008) aspek lereng sebenarnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses longsor karena arah lereng lebih banyak membantu dalam hal pelapukan batuan akibat adanya sinar matahari. Kontradiksi yang dihasilkan dalam penelitian ini agak sulit diterangkan, namun mungkin dapat berkaitan dengan akurasi kemiringan lereng. Chang dan Tsai (1991) juga menjelaskan bahwa aspek error parameter ini lebih besar pada topografi yang curam.

Indeks Vegetasi memiliki nilai P-value sebesar 0,172303 untuk (NDVI) dan P-value sebesar 0,377628 (EVI), sehingga kedua indeks vegetasi ini juga tidak berpengaruh nyata tehadap pemodelan DEM untuk longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini disebabkan vegetasi dapat berfungsi ganda, yaitu dapat sebagai pelindung terjadinya longsor akibat adanya akar-akar vegetasi yang memperkuat kestabilan lereng, atau pada kondisi tertentu vegetasi malah dapat berfungsi sebagai pemberat (beban) dari lereng, sehingga dapat menyebabkan pemicu terjadinya longsor. Untuk daerah penelitian, daerah-daerah yang terkena longsoran memiliki jumlah indeks vegetasi lebih besar (0,2 – 0,6) jika dibandingkan dengan daerah tidak terkena longsor (0,1- 0,4).

(56)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. DEM cukup baik dalam merepresentasikan permukaan bumi karena kemiringan lereng, elevasi, dan aspek lereng dapat diketahui nilainya secara cepat dan mudah, namun demikian perlu dilakukan pengukuran di lapangan untuk mengetahui tingkat ketelitian dari DEM yang dibentuk, karena tingkat ketelitian ini harus sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Daerah longsor pada DAS Ciliwung Hulu banyak terjadi pada daerah tegalan yang dekat permukiman, mempunyai kemiringan lereng curam, dan data curah hujan yang tinggi, namun dari hasil analisis LDA (dengan selang kepercayaan 5%) parameter-parameter kemiringan lereng, aspek lereng, dan juga indeks vegetasi tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kondisi ini terkait erat dengan tingkat ketelitian DEM yang kurang memadai untuk tujuan penelitian (pemodelan longsor), disamping juga adanya proses antropogenik berupa pemotongan lereng oleh manusia pada tingkat relief mikro.

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan perbandingan pembangunan DEM dengan data penginderaan jauh lainnya, seperti ASTER, sehingga nilai parameter longsor yang diperoleh lebih beragam.

2. Perlu dicoba melakukan pengolahan data statistik lain untuk menilai pengaruh longsor selain dengan perangkat lunak Tanagra, agar dapat diketahui metode statistik apa yang lebih baik untuk studi longsor.

3. Ketelitian interval kontur dan skala peta yang digunakan untuk tujuan studi longsor sebaiknya menggunakan skala yang lebih besar dari 1:25.000 karena semakin kecil interval ketinggian yang digunakan maka ketelitian DEM yang dibentuk juga semakin teliti.

Gambar

Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC,2010)
Gambar 2. Prinsip geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 2010)
Gambar 3. Diagram alir faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai NDVI                          (Walker et al
Gambar 4. Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Data dari hasil observasi dapat berupa data kuantitatif yang berupa penugasan materi (nilai evaluasi) dan tanggapan proses pemebelajaran yang dilaksanakan oleh

Tidak ada hubungan keadaan rongga mulut anak sindrom down dalam menjaga kebersihan gigi mulut dengan terjadinya karies gigi, dan responden yang memiliki keadaan

Dalam hal ini praktikan membantu pegawai dalam mengelola surat pajak seperti Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Paksa (SP), Surat Teguran (ST), Surat Tagihan Pajak (STP)

Sehingga para guru perlu juga menerapkan berbagai macam bentuk strategi pembelajaran yang efektif juga jitu pada saat pelaksanaannya, selain itu model pembelajaran seperti Cards

Dari hasil penelitian diperoleh hasil haugh unit telur seperti yang dapat dilihat pada tabel 9. Nilai haugh unit dari ke tiga kelompok menunjukkan adanya penurunan.

Hasil dari penelitian ini berupa identifikasi posisi Program PAMSIMAS II setelah dilakukan perhitungan EFAS dan IFAS yang dilakukan berdasarkan Kuesioner yang telah

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi meliputi: pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan pada buruh sekitar kebun kopi di perkebunan Gunung

• Komponen untuk kanvas pada umumnya berada pada posisi yang berbeda dari komponen untuk menampung citra yang dibuka dari file.. • Manipulasi piksel secara bebas hanya dapat