1
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Budaya Organisasi
2.1.1. Definisi Budaya Organisasi
Budaya organisasi telah banyak dipelajari dan oleh karena itu ada beberapa pengertian tentang apa sebenarnya budaya organisasi itu. Pengertian yang umum digunakan adalah pengertian budaya organisasi yang dibuat oleh Schein (1992) yang memahami budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang dibuat oleh sebuah kelompok berdasarkan pengalaman, yang kemudian membentuk nilai dan perilaku. Nilai dan perilaku ini tidak hanya mengendalikan perilaku antara anggota dalam organisasi di dalam organisasi namun juga mengendalikan interaksi dengan pihak di luar organisasi seperti supplier, pelanggan, dll (Jones, 2004). Karena budaya organisasi dibentuk oleh anggota organisasi berdasarkan pengalaman, maka budaya satu organisasi berbeda dengan budaya organisasi lain. Menurut Arnold (2005:625) budaya organisasi merupakan kombinasi norma, kepercayaan, prinsip dan perilaku yang menjadi karakter sebuah organisasi yang membedakan dengan organisasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah asumsi dasar, nilai, norma dan perilaku yang mengendalikan interaksi anggota organisasi dan membentuk karakter organisasi.
Budaya bukan hanya membentuk perilaku anggota dan karakter organisasi, namun memiliki pengaruh yang lebih luas pada level kinerja organisasi. Menurut Smircich (1983) budaya memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi. Selain efektivitas, menurut Gibson (2003) budaya organisasi dapat menciptakan stabilitas yang pada akhirnya berpengaruh pada menarik SDM yang berkualitas. Pengaruh budaya pada kinerja organisasi ini disebabkan karena anggota organisasi adalah unsur yang menjalankan organisasi, maka perilaku yang terbentuk dari budaya akan mempengaruhi cara kerja anggota sehingga mempengaruhi hasil kerja.
Nilai dan norma dalam organisasi adalah dua hal yang kuat membentuk budaya organisasi. Menurut Gibson (2003) semakin anggota organisasi menganut nilai yang sama, semakin kuat budaya organisasi. Jones (2004) membedakan antara nilai dan norma dalam budaya. Menurutnya nilai organisasi adalah standar umum atau prinsip-prinsip yang menentukan perilaku, kejadian, situasi atau hasil mana yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang tertuang dalam norma, aturan, SOP, tujuan. Sedangkan norma adalah standar atau gaya berperilaku yang diterima oleh semua orang dalam sebuah kelompok, atau yang khas dari sekelompok orang. Lebih lanjut lagi menurut Jones nilai yang paling kuat bukanlah dalam bentuk
2 tertulis melainkan dalam norma, kepercayaan, asumsi, cara berpikir dan bertindak yang dianut secara bersama-sama. Sama seperti Rokeach (1973), Jones juga membedakan dua macam nilai yakni Nilai Terminal (Terminal Value) dan Nilai Instrumental (Instrumental Value). Rokeach membedakan nilai dalam konteks nilai pribadi misalnya cinta, kebahagiaan, dll, sedangkan Jones membedakan dalam konteks organisasi. Menurut Jones (2004) nilai terminal adalah keadaan atau hasil yang ingin dicapai misalnya keunggulan, profitabilitas, daya inovasi, dll. Sedangkan nilai instrumental adalah pola perilaku yang diharapkan untuk ada dalam organisasi misalnya bekerja keras, jujur, mengambil resiko, dll. Jika dilihat, nilai terminal dan instrumental saling berhubungan dimana nilai terminal bisa mempengaruhi nilai instrumental yang terbentuk dan sebaliknya nilai instrumental mendukung tercapainya nilai terminal.
Sumber: Jones (2004)
Gambar 2.1 Nilai Akhir dan Nilai Instrumental dalam Budaya Organisasi
2.1.2. Pembentukan dan Penyebaran Budaya Organisasi
Menurut Jones (2004) budaya organisasi terbentuk karena interaksi empat faktor yaitu karakter anggota organisasi, etika dalam organisasi, hak kepemilikan (property right) dan struktur organisasi. Karakter anggota organisasi diawali dan sangat dipengaruhi oleh nilai dan kepercayaan pendiri organisasi. Pendiri organisasi kemudian merekrut anggota-anggota awal organisasi yang akhirnya terpengaruh langsung dengan nilai dan kepercayaan pribadi pendiri. Kemudian seiring
Organizational Values
Terminal Values Instrumental Values
Desired end states of outcomes (e.g. high quality; excellence)
Desired modes of behaviour (e.g. being helpful; working hard)
Specific norms, rules, SOPs (e.g. being courteous to coworkers, tidying up work areas)
3 bertambahnya anggota nilai inipun disalurkan ke anggota yang lain. Selain itu, nilai juga terbentuk saat anggota organisasi berusaha beradaptasi dengan lingkungan luar dan berusaha membentuk integrasi internal Schein (1985). Nilai-nilai inilah yang membentuk perilaku anggota yang kemudian menjadi karakter organisasi. Faktor yang kedua yakni etika dalam organisasi. Jones (2004) mengartikan etika organisasi sebagai nilai moral, kepercayaan, dan aturan yang menentukan cara yang paling tepat untuk anggota organisasi bersikap satu sama lain. Etika ini tidak hanya timbul secara perlahan dan alami berdasarkan nilai yang dipegang bersama, namun manajemen puncak juga bisa secara sengaja mengembangkan nilai budaya untuk mengendalikan perilaku anggota organisasi. Faktor ketiga adalah hak kepemilikan (property rights) yang merupakan hak yang diberikan organisasi terhadap anggotanya untuk menerima dan menggunakan sumber daya organisasi (Jones, 2004). Pemberian hak ini berdampak pada nilai yang membentuk perilaku karyawan dan memotivasi anggota organisasi (Jones, 1983). Semakin besar hak yang diberikan semakin besar komitmen dan kesetiaan anggota terhadap organisasi. Faktor yang terakhir adalah struktur organisasi yang merupakan sistem resmi tugas dan hubungan otoritas yang dibuat organisasi untuk mengontrol aktivitas (Jones, 2004). Keempat faktor ini secara bersama-sama membentuk budaya dalam organisasi.
Setelah budaya terbentuk, budaya kemudian disebarkan ke anggota organisasi. Menurut Jones (2004) budaya disebarkan secara formal dan informal. Salah satu penyebaran secara formal adalah melalui sosialisasi dimana anggota mempelajari dan menginternalisasi nilai dan norma organisasi. Proses penyebaran budaya yang bersifat informal adalah melalui kisah, perayaan dan bahasa. Organisasi membuat perayaan untuk menyampaikan nilai dan norma organisasi. Trica dan Beyer (1993) mengemukakan tiga tipe perayaan dalam organisasi. 1) Rites of passage yang menandakan pada saat karyawan baru masuk, pada saat karyawan dipromosikan dan pada saat karyawan berhenti bekerja. 2) Rites of integration seperti misalnya pengumuman tentang kesuksesan yang diraih perusahaan, atau kegiatan lain yang mempererat hubungan antar anggota misalnya pesta kantor. 3) Rites of enhancement yakni pada saat organisasi mengadakan acara pemberian penghargaan yang mengakui dan memberikan penghargaan terhadap kontribusi karyawan. Kisah dalam organisasi juga bisa menjadi media menyebarkan budaya, misalnya kisah tentang karyawan berprestasi mengindikasikan nilai dan norma yang diharapkan organisasi. Sedangkan bahasa sebagai media lainnya dalam menyebar budaya tidak hanya terbatas pada bahasa lisan tetapi bisa juga melalui cara berpakaian dan desain kantor. Bahasa verbal sebagai media menyebar budaya misalnya bahasa teknis yang digunakan dalam perusahaan yang bergerak dibidang teknik. Semua proses ini menjadi sarana organisasi mengkomunikasikan nilai, perilaku dan norma yang dipegang oleh organisasi dan dengan demikian diharapkan oleh organisasi untuk dipegang dan dilakukan oleh anggotanya.
4
2.1.3. Mengelola Budaya Organisasi
Budaya organisasi bisa dikelola dengan memperhatikan empat faktor pembentuknya (Jones, 2004). Budaya organisasi bisa diubah dengan mengubah struktur organisasi, hak kepemilikan, atau dengan mengubah anggota organisasi khususnya manajemen puncak. Meskipun budaya bisa diubah, Menurut Jones (2004) norma dan nilai biasanya susah untuk berubah. Selain mengubah budaya organisasi juga dapat mempertahankan budayanya agar tidak berubah apalagi menurunkan efektivitas organisasi. Menurut Jones (2004) salah satu cara untuk mempertahankan adalah manajemen puncak mendesain struktur organisasi yang bisa mengontrol masalah yang terjadi ketika organisasi menjadi lebih besar dan kompleks.
2.2. Budaya Engineering Centric
Budaya engineering centric berakar dari budaya engineering yang adalah sebuah budaya pekerjaan (occupational culture). Budaya pekerjaan adalah budaya yang terbentuk oleh sekelompok orang yang memiliki identitas profesi atau pekerjaan yang sama, misalnya engineer (Van Maanen dan Barley, 1984). Nilai budaya engineering sendiri sudah tertanam pada para engineer sebelum mereka masuk dalam lingkungan kerja profesional, yakni pada saat mereka menjalani pendidikan untuk menjadi engineer. Selama masa pendidikan mereka didoktrin tentang bagaimana cara bekerja dan berpikir sebagai seorang engineer (Bucciarelli dan Kuhn 1997). Dalam bukunya Four cultures of education: expert, engineer, prophet, communicator, Walter Leirman menggambarkan budaya engineering dalam pendidikan sebagai berikut:
In the engineering culture the mission of education is to seek to produce an efficient society with skilled citizens capable of managing the practical needs of society – Sparta rather than Athens. Learning-by-doing in the site of knowledge application is highly valued. Engineering education cultures are characterised by clear economic and societal objectives, medium and long-term development plans, well-resourced training strategies, reviews and evaluations. The educator’s role is largely as a manager of education systems that encourage practical application and problem solving. The learner is encouraged to be autonomous, goal-oriented and actively involved in the learning process. The engineering culture is characterised by detailed planning and is generally pedagogically innovative.
Leirman (1994) menggambarkan budaya pendidikan engineering sangat menghargai proses belajar dengan melakukan (learning-by-doing), memiliki perencanaan yang rinci dan inovatif secara pedagogis, peserta didik dalam budaya
5 pendidikan ini didorong untuk bisa mandiri, berorientasi pada hasil, terlibat aktif dalam proses belajar dan melakukan problem solving. Setelah menjalani pendidikan dan kemudian masuk dalam dunia pekerjaan profesional sebagai engineer, nilai-nilai budaya ini terbawa dan membentuk perilaku-perilaku khas engineer. Ketika engineering bertemu, berinteraksi dan bekerjasama dengan sesama rekan engineer dalam lingkungan kerja, nilai dan perilaku engineering ini semakin kuat dan membentuk budaya pekerjaan (occupational culture).
Pilotte (2013) melakukan penelitian dengan melibatkan sekitar 300 engineer untuk mempelajari budaya engineering dari sisi praktik atau perilaku menggunakan Enam Dimensi Budaya yang dirumuskan oleh Hofstede yakni Proses versus Hasil (PVR), Berorientasi pada Karyawan versus pada pekerjaan (EVJ), Berorientasi Parokial (organisasi) versus Profesional (PVP), Terbuka versus Tertutup (OVC), Terkontrol secara Longgar versus Ketat (LVT), dan Normatif versus Pragmatis (NVP). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik atau perilaku dalam budaya engineering adalah 1) lebih banyak berorientasi pada hasil daripada proses, 2) sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan daripada pekerjaan, 3) sedikit lebih profesional daripada parokial, 4) lebih terbuka daripada tertutup, 5) agak lebih terkontrol ketat daripada longgar, dan 6) hampir seimbang sempurna antara normatif dan pragmatis. Lebih banyak berorientasi pada hasil berarti budaya engineering lebih berorientasi pada goal, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah, dan input pribadi yang tinggi. Sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan daripada pekerjaan berarti sedikit lebih peduli pada karyawan melampaui batasan pekerjaan, berarti karyawan bukan hanya sekedar sumber daya perusahaan saja. Sedikit lebih profesional daripada parokial berarti kehidupan pribadi dan kehidupan bisnis terpisah, kompetensi tugas itu penting, orientasi pribadi jangka panjang. Lebih terbuka daripada tertutup berarti terbuka pada pendatang atau anggota baru, siapapun bisa cocok, karyawan baru hanya membutuhkan beberapa hari untuk menyesuaikan atau melebur. Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar agak lebih berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang perusahaan/kelompok atau pekerjaan. Hampir seimbang sempurna antara normatif dan pragmatis berarti ada keseimbangan antara menaati aturan dengan berorientasi pada pelanggan, seimbang antara menaati prosedur dan mencapai hasil, seimbang antara pandangan yang dogmatis dan pragmatis tentang etika.
Jika penelitian yang dilakukan oleh Pilotte (2013) menggunakan dimensi budaya Hofstede, studi yang dilakukan oleh Royal Academy of Engineering (RAE) pada tahun 2017 meneliti tentang budaya engineering dari sudah pandang para engineer tentang nilai dan perilaku dalam budaya engineering. Lebih dari 7000 engineer menjawab pertanyaan tentang pengalaman mereka akan budaya engineering. Penelitian ini menemukan bahwa budaya engineering terdiri 1) pemecahan masalah (problem solving) dimana budaya engineering diarahkan untuk memahami masalah dan mengeksplorasi solusi; 2) sadar keselamatan (safety-conscious) yang artinya budaya engineering memprioritaskan keselamatan dimana produk yang diciptakan aman bagi pengguna; 3) bangga (proud) dimana engineer
6 mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara individu maupun bersama-sama; 4) setia (loyal) dimana engineer berkomitmen pada engineering dan pada profesi sebagai engineer; 5) berorientasi pada tim (team oriented) dimana hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan kolaboratif; 6) dan fleksibel dalam hal kapan dan dimana mereka bekerja.
Sebelum Pilotte dan RAE, Kunda (2006) telah mempelajari budaya engineering pada perusahaan high-tech dan menemukan bahwa budaya engineering menciptakan kondisi kerja yang non otoriter, informal, lingkungan kerja yang fleksibel yang mendorong dan menghargai komitmen, inisiatif, dan kreativitas individu sambil mendorong perkembangan individu. Luceyer (2001) mempelajari engineering culture pada perusahaan-perusahaan teknologi mula-mula di Silicon Valley yang berkembang tahun 1970-an dan menemukan bahwa budaya engineering di perusahaan-perusahaan tersebut mencakup persahabatan, ideologi demokrasi yang sangat kuat dan sangat menjunjung tinggi kecerdasan dan inovasi. Perusahaan-perusahaan dengan budaya ini memberikan otonomi yang sangat besar terhadap karyawannya, mengatur penelitian dan pengembangan dalam tim independen, dan memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian keuntungan (profit sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-option programs).
Berdasarkan teori budaya Schein, budaya engineering dikategorikan sebagai subbudaya atau subkultur (subculture), dan subbudaya ini bisa melampaui batasan organisasi dan bisa dianggap sebagai budaya makro (Schein 2010). Walaupun budaya engineering ini merupakan budaya pekerjaan dan dikategorikan sebagai subbudaya, namun budaya ini bisa membawa pengaruh yang besar terhadap budaya organisasi dan bahkan bisa membentuk budaya organisasi. Hal ini karena budaya organisasi terbentuk oleh interaksi empat faktor yaitu karakter anggota organisasi, etika dalam organisasi, hak kepemilikan (property right) dan struktur organisasi (Jones 2004). Karakter engineer sebagai anggota organisasi membawa budaya engineering yang sangat kuat yang terbentuk mulai dari masa pendidikan. Selain itu Van Maanen dan Barley (1984) menyatakan budaya pekerjaan bisa memiliki kekuatan mengatur (organizing force) yang lebih kuat daripada budaya di tempat kerja karena budaya ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya bahkan melalui aktivitas di luar pekerjaan. Pengaruh budaya engineering terhadap budaya organisasi terbukti secara empiris dimana perusahaan-perusahaan teknologi memiliki budaya organisasi yang memiliki unsur budaya engineering yang kuat, sehingga menjadi budaya engineering centric.
Budaya engineering-centric adalah budaya organisasi yang berakar dari budaya engineering. Jika budaya engineering adalah budaya pekerjaan (occupational) yang dimiliki oleh sekelompok orang dengan pekerjaan atau profesi yang sama, sehingga merupakan subbudaya dalam sebuah organisasi, maka budaya engineering-centric adalah budaya organisasi yang dimiliki dan dijalankan oleh seluruh anggota organisasi bukan hanya para engineer. Dalam penelitian tentang nilai dan benefit yang dimiliki dan diberikan Google kepada karyawannya, Kunzte
7 dan Matulich (2010) menggambarkan budaya perusahaan Google sebagai lingkungan kerja yang serba cepat, karyawannya bekerja sambil bersenang-senang, menjunjung kreativitas dan inovasi, lingkungan yang informal dengan atmosfer yang santai, pakaian bebas, dan karyawan bebas berolahraga dan bermain video game. Google sendiri menyebut budaya mereka sebagai budaya engineering centric.
Melihat hasil penelitian dan studi di atas maka dapat disimpulkan unsur-unsur dalam budaya engineering centric adalah sebagai berikut 1) sangat menjunjung tinggi inovasi; 2) fokus pada pemecahan masalah (problem solving); 3) sangat menjunjung tinggi kecerdasan; 4) menjunjung kreativitas; 5) memberikan otonomi yang sangat besar terhadap karyawannya dan kondisi kerja yang non otoriter; 6) Lingkungan yang informal dengan atmosfer yang santai, karyawan bekerja sambil bersenang-senang; 7) Lingkungan kerja yang fleksibel dalam hal kapan dan dimana mereka bekerja; 8) Berorientasi pada tim (team oriented) dimana hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan kolaboratif; 9) Berorientasi pada hasil, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah, dan input pribadi yang tinggi; 10) Belajar dengan melakukan (learning-by-doing) dan aktif dalam proses belajar; 11) Mendorong perkembangan individu; 12) Karyawan bukan hanya sekedar sumber daya manusia perusahaan; 13) Mendorong dan menghargai komitmen dan inisiatif individu; 14) Bangga (proud) dimana engineer mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara individu maupun bersama-sama; 15) Setia (loyal) dimana engineer berkomitmen pada engineering dan pada profesi sebagai engineer; 16) lingkungan kerja yang serba cepat; 17) memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian keuntungan (profit sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-option programs); 19) Sadar keselamatan (safety-conscious) yang artinya budaya engineering memprioritaskan keselamatan dimana produk yang diciptakan aman bagi pengguna; 20) Ideologi demokrasi yang sangat kuat; 21) keseimbangan antara menaati aturan dengan berorientasi pada pelanggan, seimbang antara menaati prosedur dan mencapai hasil, seimbang antara pandangan yang dogmatis dan pragmatis tentang etika; 22) Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar misalnya berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang perusahaan/kelompok atau pekerjaan.
2.3. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
2.3.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis) adalah perkembangan dari MSDM yang biasanya hanya berfokus pada aktivitas administratif. Seperti yang dikemukakan Dessler (2015:4) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah “proses untuk memperoleh, melatih, menilai, dan8 mengompensasi karyawan, dan untuk mengurus relasi tenaga kerja mereka, kesehatan dan keselamatan mereka, serta hal-hal yang berhubungan dengan keadilan.” Lebih lanjut lagi menurut Dessler (2015) seiring munculnya tren-tren baru seperti kemajuan teknologi, globalisasi, deregulasi, perubahan demografi dan sifat pekerjaan serta tantangan ekonomi, maka organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan dan perilaku yang bisa mendukung organisasi mencapai sasaran strategisnya di tengah tren-tren tersebut. Oleh sebab itulah MSDM berkembang menjadi berfokus pada isu-isu strategis organisasi. Inilah yang disebut dengan Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis), yang merupakan manajemen sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan strategi organisasi untuk mencapai sasaran strategis organisasi.
Konsep MSDM strategis telah lama berkembang. Pada tahun 1981 Devanna, Fombrun dan Tichy membahas mengenai hubungan MSDM strategis dan strategi bisnis. Menurut mereka MSDM menjadi strategis dan dapat meningkatkan kinerja perusahaan jika MSDM dikaitkan dengan tujuan perusahaan. Lebih spesifik lagi sehubungan dengan tujuan perusahaan, Hendry dan Pettigrew (1986) mengemukakan bahwa dalam MSDM strategis SDM dipandang sebagai sumber daya strategis untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage). Pendapat dari Baird dan Meshoulam (1988) memasukkan unsur kebutuhan organisasi dalam konsep mereka tentang MSDM strategis. Menurut mereka MSDM strategis mengembangkan dan mengelola praktik, prosedur dan sistem SDM yang sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga tujuan bisnis dapat tercapai. Masih senada dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, menurut Wright dan McMahan (1992) MSDM strategis adalah sebuah pola aktivitas dan penggunaan SDM yang bertujuan untuk memampukan organisasi mencapai tujuan. MSDM strategis dapat mempengaruhi organisasi mencapai tujuannya karena MSDM strategis merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan praktik SDM yang menghasilkan kompetensi dan perilaku karyawan yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran strategisnya (Dessler, 2015).
Praktik, prosedur, sistem, pola aktifitas seperti yang dikemukakan di atas adalah bagian dari MSDM yang tentunya harus berjalan berdampingan dan saling mendukung. Seperti yang dikemukakan Armstrong (2008), bahwa MSDM strategis adalah manajemen SDM yang menggunakan strategi, kebijakan dan praktik SDM yang terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi. Lebih lanjut, Amrstrong juga menekankan bahwa MSDM strategis adalah sebuah pola pikir yang menjadi nyata pada saat ada aksi dan reaksi yang strategis, dalam bentuk strategi-strategi dan perilaku strategis dari staff HR yang bekerja sama dengan manajer lini (2008:48). Dengan demikian MSDM strategis dapat diartikan sebagai manajemen sumber daya manusia yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi untuk membantu organisasi mencapai tujuannya.
9
2.3.2. Dasar-Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Menurut Armstrong (2018) MSDM strategis memiliki tiga dalil yang menjadi dasar MSDM strategis. Dalil yang pertama yaitu bahwa SDM memiliki peran strategis dan merupakan sumber utama keunggulan kompetitif. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Wright dan McMahan (1992) bahwa SDM adalah sumber keunggulan kompetitif karena 1) SDM bersifat beragam (heterogen) sehingga SDM di tiap perusahaan dalam sebuah industri berbeda-beda dan 2) SDM bisa bersifat tetap atau tidak bergerak (immobile) yang artinya perusahaan pesaing kemungkinan tidak dapat merekrut mereka. Dalil yang kedua adalah bahwa strategi-strategi SDM harus terintegrasi dengan strategi organisasi (vertical integration). Jadi bukan hanya strategi SDM yang disesuaikan dengan strategi organisasi, tetapi organisasi juga harus mempertimbangan SDM dalam pembuatan strategi dan sasaran strategisnya. Seperti yang dikatakan Devanna, Fombrun, dan Tichy (1981), bahwa unsur SDM harus dimasukkan dalam tujuan organisasi agar untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi. Dalil yang terakhir yaitu bahwa setiap strategi SDM harus terintegrasi dan mendukung satu sama lain (horizontal integration).2.3.3. Konsep-Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategis
Selain tiga dasar MSDM strategis di atas, ada juga tiga konsep yang mendukung MSDM strategis, yakni: resource-based view (RBV), strategic fit dan strategic flexibility (Armstrong, 2008:34). Konsep resource-based view (RBV) memandang bahwa untuk mencapai tujuan organisasi atau untuk mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) maka organisasi harus memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya-sumber daya organisasi, sehingga bisa memiliki empat ciri kompetensi inti (core competence) yakni memberi nilai bagi organisasi (valuable); langka atau tidak dimiliki oleh organisasi lain (rare); sulit ditiru (imperfectly imitable) dan tidak memiliki pengganti/substitusi di organisasi lain (non-substitutable). Sumber daya yang dimaksud di atas mencakup sumber daya manusia. Selain Armstrong, Lengnick-Hall dan Lengnick-Hall (1990) juga berpendapat bahwa perusahaan dapat mencapai competitive advantage melalui pengelolaan SDMnya.
Konsep yang kedua yakni strategic fit yang berarti bahwa strategi manajemen SDM harus mendukung strategi organisasi/bisnis (vertical integration). Selain itu konsep ini juga menekankan pentingnya koordinasi dan kesesuaian antar praktik-praktik SDM. Konsep yang ketiga adalah strategic flexibility, yang dikatakan Armstrong (2008) sebagai kemampuan organisasi untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan organisasi. Organisasi harus fleksibel dan mampu menyesuaikan strateginya berdasarkan kondisi luar. Menurut Armstrong (2008) dalam mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai pendekatan untuk mengelola SDM, MSDM strategis memperhitungkan konteks organisasi yang
10 berubah-ubah yang memiliki tuntutan jangka panjang. Misalnya jika sebuah perusahaan berada dalam industri yang cepat berubah karena kemajuan teknologi maka manajemen SDM harus mampu membuat strategi yang bisa reaktif terhadap perkembangan teknologi ini sehingga bisa menciptakan SDM yang memiliki banyak keahlian dan cepat menguasai kemajuan teknologi.
2.3.4. Tujuan dan Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategis
MSDM strategis memiliki satu tujuan yakni membantu organisasi mencapai sasaran strategisnya melalui pengelolaan sumber daya manusia. Lebih rinci lagi, menurut Armstrong (2008) tujuan MSDM strategis adalah untuk menghasilkan SDM yang ahli, terikat (engaged) dan termotivasi sehingga organisasi mampu untuk mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan. Untuk memiliki SDM yang ahli maka organisasi harus merekrut SDM yang berpotensi dan mengembangkan keahlian mereka. Organisasi juga harus membuat sistem penghargaan (reward system), kompensasi dan pengembangan karir yang membuat SDM termotivasi dan memiliki keterikatan pada organisasi. Selain itu menurut Armstrong (2008), tujuan dari MSDM strategis harus selalu mempertimbangkan hal-hal etis, yakni kepentingan dari seluruh stakeholder organisasi, karyawan/anggota, para pemilik, para manajer, dan tanggung jawab organisasi terhadap masyarakat.
Menurut Storey (1989) untuk mencapai tujuannya MSDM strategis harus menyeimbangkan model MSDM strategis yang “soft” dan “hard”. Model MSDM soft lebih menekankan pada aspek hubungan manusia pada saat mengelola “orang” atau SDM, dengan menekankan pada pengembangan terus-menerus, komunikasi, keterlibatan, keamanan kerja, kerja yang berkualitas dan kesimbangan antara kehidupan dan pekerjaan. Dengan kata lain, mengutip Mills (1983) MSDM strategis haruslah selalu mempertimbangkan faktor SDM, yakni apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi dari anggota organisasi. Sedangkan model hard lebih menekankan pada hasil yang harus dicapai dari investasi pada SDM untuk kepentingan bisnis. Dengan menyeimbangkan model soft dan hard maka tujuan organisasi bisa tercapai dan kesejahteraan anggota di dalamnya juga terjamin.
Selain memperhatikan SDM, organisasi juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat secara umum (Mills 1983). Satu dari tujuh prinsip MSDM strategis menurut Ondrack dan Nininger (1984) adalah bahwa MSDM strategis memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi dan berinteraksi dalam lingkungan sosial, politik, teknologi dan ekonomi, dimana organisasi berada dan melakukan bisnisnya. Mendukung gagasan
Mills dan Ondrack dan Nininger, menurut Armstrong (2008) tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social responsibility - CSR) merupakan salah
11 satu aspek dalam MSDM strategis karena CSR berhubungan dengan aksi etis untuk kepentingan orang, dan orang adalah hal yang dikelola oleh MSDM.
Dalam perkembangannya MSDM strategis telah menunjukkan pengaruhnya. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan pengaruh MSDM strategis pada peningkatan kinerja organisasi termasuk Arthur. Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa sulit untuk mengukur kaitan antara MSDM strategis terhadap kinerja organisasi (Purcell et al 2003), namun sebenarnya hal ini bisa diukur dengan melihat bagaimana pengaruh strategi yang diturunkan dalam bentuk praktik dan kebijakan MSDM pada kinerja anggota organisasi yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja organisasi, seperti model yang dikembangkan Guest et al (2000b) di bawah ini:
Sumber: Guest et al (2000b)
Gambar 2.2 Model Pengaruh MSDM pada Kinerja Organisasi
2.3.5. Mengembangkan Dan Melaksanakan Manajemen Sumber
Daya Manusia Strategis
Untuk bisa menjalankan fungsi strategis, unsur MSDM harus dilibatkan sejak awal organisasi melakukan proses penentuan tujuan/sasaran strategis dan strategi organisasi. Inilah dasar kedua MSDM strategis yakni integrasi vertikal (vertical integration) yang sesuai dengan konsep strategic fit. MSDM dan manajemen strategis organisasi harus saling terintegrasi. Sasaran strategis organisasi harus dibuat dengan memperhitungkan faktor SDM dan strategi MSDM harus dibuat untuk menunjang organisasi mencapai sasaran strategisnya. Seperti yang dikatakan Dessler (2015:82) bahwa manajer SDM harus terlebih dahulu memahami peran yang akan dimainkan kebijakan dan praktik SDM dalam mencapai sasaran strategis organisasi, barulah manajer dapat merancang secara cerdas kebijakan dan praktik SDM. Manajer divisi SDM harus menjadi bagian dalam tim manajemen puncak dan harus mengambil peran aktif dalam pembahasan tujuan dan strategi organisasi Armstrong (2008). Dengan demikian MSDM strategis bukan hanya pendukung
12 dalam pelaksanaan strategi organisasi tetapi MSDM strategis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan sasaran strategis dan pelaksanaan manajemen strategis organisasi. Dengan adanya integrasi vertikal maka organisasi akan lebih mudah mencapai tujuannya seperti dikemukakan Delery dan Doty (1996) bahwa organisasi yang memiliki tingkat kesesuaian strategi MSDM dan strategi bisnis yang tinggi akan memiliki kinerja yang tinggi juga.
Untuk mengembangkan strategi SDM diperlukan analisis strategis untuk menganalisis kondisi organisasi dan praktik-praktik SDM yang sedang dilakukan, sehingga dapat terlihat apa saja yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan dan harus dilakukan dan apa yang harus dikembangkan dan diperbaiki (Armstrong 2008). Dengan demikian akan muncul pilihan-pilihan strategi untuk mengembangkan strategi SDM. Setelah strategi-strategi HR dikembangkan, maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan juga perilaku strategis (strategic behavior) dari divisi SDM bekerja sama dengan manajer lini setiap hari untuk memastikan strategi ini berjalan dengan baik sehingga tujuan organisasi tercapai dan nilainya terendap dalam praktik organisasi sehari-hari (Armstrong 2008). Oleh karena itu manajer lini memegang peranan penting dalam pelaksanaan MSDM strategis. Seperti yang dikemukakan Tyson (1997) bahwa selain melalui proses pelaksanaan yang formal dan sistematis seperti dalam bentuk kebijakan dan aturan tertulis, strategi juga bisa direalisasikan melalui tindakan para manajer. Menurut pendapatnya, tindakan para manajer ini akan menuai reaksi seperti penerimaan, konfrontasi, negosiasi, dsb, yang mana reaksi ini merupakan proses dari strategi. Dengan demikian sangat penting bagi manajer untuk memahami dengan benar strategi. Pada saat pihak manajemen termasuk manajemen lini telah terintegrasi dalam melaksanakan MSDM strategis maka hal ini akan berdampak pada seluruh karyawan menjadi bagian dalam pelaksanaan MSDM strategis.
Terdapat tiga pendekatan untuk mengembangkan dan melaksanakan MSDM strategis, seperti yang disarankan oleh Richardson dan Thompson (1999) yaitu best practice, best fit dan bundling. Tiga pendekatan ini berdasar pada tiga perspektif MSDM strategis oleh Delery dan Doty (1996) yaitu perspektif universalistic, contingency dan configurational.
1) Best Practice
Best practice adalah pendekatan berdasarkan perspektif universalistic bahwa ada beberapa praktik SDM yang terbaik dan bisa diadopsi oleh semua organisasi dalam segala situasi. Walaupun ada beberapa pendapat yang tidak menyetujui adanya best practice misalnya karena tidak sesuai dengan konsep RBV dari MSDM strategis (Purcell, 1999) namun best practice tetap masih bisa digunakan setidaknya sebagai rujukan untuk pilihan-pilihan praktik yang baik (Becker dan Gerhart, 1996). Armstrong (2008) mengelompokkan daftar best practices yang digagas oleh Pfeffer
13 (1994), Delery dan Doty (1996), dan Guest (1999), seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Daftar-daftar Best Practices yang Dikembangkan oleh Pfeffer (1994), Delery dan Doty (1996) dan Guest (1999)
Pfeffer (1994) Delery dan Doty (1996) Guest (1999) 1) keamanan kerja
(employment security)
1) penggunaan jenjang karir internal
1) seleksi dan
penggunaan tes seleksi yang cermat untuk mengidentifikasi kandidat yang
memiliki potensi untuk berkontribusi
2) perekrutan yang selektif (selective hiring)
2) sistem pelatihan formal 2) pelatihan, dan kesadaran bahwa pelatihan adalah aktivitas yang berkelanjutan 3) tim yang mandiri
(self-managed teams)
3) penilaian berorientasi hasil 3) rancangan (desain) pekerjaan yang memastikan adanya fleksibilitas, komitmen dan motivasi, termasuk langkah-langkah untuk memastikan para karyawan memiliki tanggung jawab dan kewenangan penuh untuk menggunakan pengetahuan dan keahlian mereka 4) kompensasi tinggi
sesuai dengan kinerja (high compensation contingent on performance
4) kompensasi berbasis kinerja 4) komunikasi untuk memastikan bahwa proses komunikasi dua arah menjamin semua pihak mendapatkan informasi
5) pelatihan untuk menyediakan tenaga kerja terampil dan termotivasi (training to provide a skilled and motivated workforce)
5) keamanan kerja 5) program
kepemilikan saham bagi karyawan untuk meningkatkan kesadaran karyawan akan dampak dari tindakan mereka
14 terhadap kinerja keuangan perusahaan 6) pengurangan perbedaan status (reduction of status differentials) 6) “suara” karyawan 7) berbagi informasi (sharing information).
7) pekerjaan yang ditentukan secara luas (broadly defined jobs)
Sumber: Armstrong (2008)
2) Best Fit
Pendekatan kedua adalah best fit yang menekankan bahwa strategi SDM harus sesuai dengan konteks, keadaan dan tipe organisasi (Armstrong 2008). Pendekatan best fit sesuai dengan perspektif contingency yang menekankan pada vertical fit. Dalam best fit sendiri ada tiga model atau pendekatan yakni siklus hidup (life cycle), strategi kompetitif (competitive strategy), dan konfigurasi strategis (strategic configuration) (Armstrong 2008). MSDM strategis dirancang dan dilaksanakan berdasarkan pada tiga pendekatan tersebut.
a) Siklus hidup (life cycle)
Model siklus hidup (life cycle) berdasar pada teori perkembangan perusahaan yang terdiri dari empat tahap yaitu permulaan (startup), perkembangan (growth), kematangan (maturity) dan penurunan (decline). Dasar dari model ini seperti yang dikemukakan oleh Baird dan Meshoulam (1988) adalah bahwa efektivitas MSDM tergantung pada kesesuaiannya pada tahap perkembangan organisasi, sehingga seiring dengan berkembangnya organisasi maka program, praktik dan prosedur SDM harus diubah agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan organisasi.
Lebih rinci lagi, menurut Buller dan Napier (1993) pada tahap permulaan, manajemen SDM lebih bersifat informal dan longgar, dan mungkin saja fungsi MSDM dilakukan oleh pemilik atau pendiri organisasi. Pada saat organisasi mulai berkembang, misalnya penjualan semakin banyak sehingga dibutuhkan lebih banyak produk maka organisasi membutuhkan karyawan tambahan, dan bahkan mungkin menambah beberapa posisi spesialis, pada saat ini fungsi SDM tidak bisa lagi ditangani oleh pendiri atau pemilik atau manajer lini. Sedangkan pada saat pertumbuhan organisasi sedang pada puncaknya maka peran MSDM fokus pada menghadirkan SDM sesuai dengan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan, sehingga sejalan dengan sistem rekrutmen yang efektif, MSDM harus mampu untuk melakukan manajemen bakat, manajemen kinerja, pelatihan dan pengembangan
15 serta praktik dan kebijakan reward. Pada saat organisasi sudah mencapai tahap kedewasaan, MSDM lebih fokus pada memperkuat dan mengembangkan praktik-praktik yang telah lama ada. Pada saat organisasi mengalami penurunan maka fokus MSDM bisa saja berada pada isu-isu yang lebih rumit misalnya downsizing atau pada saat organisasi diambil alih.
b) Strategi Kompetitif (competitive strategy)
Model selanjutnya adalah best fit dan competitive advantage yang menekankan bahwa praktik MSDM harus disesuaikan dengan competitive strategy. Tiga strategi kompetitif yang diajukan Porter (1985) yakni innovation – memproduksi produk yang unik; quality – menyediakan barang atau jasa dan layanan konsumen yang berkualitas; cost leadership – dengan cara mengelola pengeluaran dengan efektif. Schuler dan Jackson (1987) menemukan dalam penelitian mereka bahwa menggabungkan praktik MSDM dengan strategi kompetitif dapat meningkatkan efektifitas. Mereka mengembangkan praktik-praktik MSDM yang menunjang strategi kompetitif. Sebagai contohnya, untuk mendukung strategi Kualitas maka MSDM mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan yang berkesinambungan dan ekstensif. Contoh lain sehubungan dengan mencapai cost leadership maka MSDM terus memperhatikan dengan cermat market pay sebagai bahan pertimbangan dalam membuat struktur kompensasi. Atau untuk mendukung strategi inovasi maka MSDM merancang pekerjaan yang memfasilitasi perkembangan keahlian baru yang bisa digunakan untuk posisi lain dalam perusahaan.
c) Konfigurasi Strategis (strategic configuration)
Model atau pendekatan terakhir dari best fit adalah konfigurasi strategis (strategic configuration) dimana menurut Delery dan Doty (1996) organisasi akan berjalan efektif jika memiliki kebijakan konfigurasi strategis yaitu dengan mencocokkan strategi dengan tipe organisasi. Dengan demikian maka akan muncul konsistensi atau kecocokan antara unsur strategi, struktural dan kontekstual organisasi sehingga bisa meningkatkan efektifitas.
Menurut Minstzberg (1979) ada lima tipe organisasi yang ideal yaitu: struktur sederhana (simple structure), birokrasi mesin (machine bureaucracy), birokrasi professional (professional bureaucracy), departementasi (divisionalized form) dan adhokrasi (adhocracy). Sedangkan menurut Miles dan Snow (1978) ada empat tipe organisasi, dimana menurut mereka tiga tipe pertama adalah tipe yang “ideal”. Tipe pertama ialah prospectors, yaitu organisasi yang beroperasi dalam lingkungan yang cepat yang perubahannya tidak bisa diprediksi. Dengan keadaan lingkungan seperti ini maka organisasi dengan tipe prospector berfokus pada pengembangan produk, pasar dan teknologi baru. Tipe organisasi ini biasanya menciptakan perubahan di pasar sehingga pesaing mau tidak mau harus merespon terhadap perubahan yang diciptakan. Tingkat formalisasi (peraturan tertulis maupun
16 tidak tertulis) dan spesialisasi dalam organisasi ini rendah sedangkan desentralisasinya tinggi. Tingkatan hirarkinya juga cenderung sedikit.
Tipe yang kedua adalah Defender, tipe yang beroperasi dalam lingkungan yang lebih stabil dan bisa diprediksi sehingga memiliki perencanaan jangka panjang. Pendekatan tipe ini terhadap pasar adalah mempertahankannya. Berbeda dari prospector yang fokus pada pengembangan produk, defender melakukan hanya sedikit penelitian dan pengembangan. Mereka lebih fokus pada efisiensi yang bergantung pada teknologi rutin dan skala ekonomis (economies of scale). Secara struktur, tipe ini lebih mekanistis atau birokratis. Koordinasi dilakukan melalui formalisasi, sentralisasi, spesialisasi dan diferensiasi vertical.
Tipe ideal yang ketiga adalah gabungan antara prospector dan defender, yang disebut dengan analyser. Lingkungan dimana mereka beroperasi merupakan lingkungan yang stabil, tapi pasarnya selalu menuntut produk baru. Tipe ini biasanya bukan inisiator perubahan seperti prospector namun mereka mengikuti perubahan lebih cepat daripada defender. Tipe ini fokus pada efektivitas melalui efisiensi dan produk atau pasar baru sehingga kemungkinan besar ukuran organisasinya lebih besar, karena tipe organisasi ini fokus pada produksi massal dan penelitian dan pengembangan. Tipe yang terakhir adalah reactor yang merupakan organisasi yang tidak stabil yang berada dalam lingkungan yang tidak stabil. Tipe ini tidak memiliki strategi yang konsisten dan matang dan juga tidak memiliki perencanaan jangka panjang.
Delery dan Doty (1996) mengemukakan dua sistem SDM yang sesuai dengan strategi yang dihubungkan dengan konfigurasi organisasi. Kedua system itu adalah market-type system dan internal system, yang masing masing cocok dengan tipe organisasi yang berbeda. Market type lebih cocok untuk strategi prospector karena dalam system HR market type rekrutmen lebih banyak dari luar organisasi, jenjang karir internal tidak begitu digunakan, tidak ada pelatihan formal, penilaian kinerja berdasarkan hasil, tidak begitu banyak keamanan dan pekerjaan tidak ditentukan dengan jelas. Sedangkan internal system lebih cocok untuk strategi defender karena system ini melakukan lebih banyak rekrutmen internal, jenjang karir sangat digunakan, banyak pelatihan formal, kinerja dinilai dengan ukuran yang berorientasi pada perilaku, keamanan kerja baik, dan pekerjaan ditentukan secara detail dan jelas. Delery dan Doty tidak mengusulkan sistem yang tepat untuk strategi analyser tapi menurut Armstrong (2008) sistem untuk strategi ini bisa jadi merupakan campuran dari sistem market dan internal.
Sama seperti best practice, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa best fit memiliki beberapa limitasi, walaupun menurut Armstrong (2008) best fit lebih realistis daripada best practice. Paauwe (2004) menyorot best fit yang berdasarkan pada konteks, dimana konteks adalah satu-satunya yang menentukan strategi, sedangkan menurut Paauwe seharusnya ada ruang untuk pilihan-pilihan strategis. Sejalan dengan pemikiran Paauwe, Boxall et al (2007) berpendapat bahwa
17 tidak mungkin membuat semua kebijakan SDM berdasarkan misi ekonomi/kompetitif tertentu, karena harus juga mempertimbangkan tujuan legitimasi sosial. Sedangkan Purcell (1999) lebih menyorot pada contingency model karena tidak mungkin bisa membuat model semua variabel, dan juga sulit untuk melihat hubungan antar variabel, belum lagi bagaimana perubahan dalam satu variabel berpengaruh pada variabel lain. Menurut Armstrong (2008), best fit cenderung statis dan tidak memperhitungkan proses perubahan, dan bahwa kekuatan institusional yang membentuk SDM (pemberi kerja bukanlah agen bebas yang membuat keputusan sendiri).
3) Bundling
Pendekatan terakhir untuk MSDM strategis adalah penggabungan atau “bundling”. Bundling adalah pengembangan dan pelaksanaan beberapa praktik HR secara bersama-sama sehingga praktik-praktik ini saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain Armstrong (2008). Gabungan praktik-praktik ini tentunya harus sesuai atau konsisten dengan strategi kompetitif agar dapat meningkatkan kinerja organisasi (Richardson dan Thompson, 1999). Tujuan dari bundling menurut MacDuffie (1995) adalah menggabungkan beberapa praktik SDM yang bisa saling menguatkan satu sama lain sehingga memiliki dampak lebih besar terhadap kinerja organisasi. Ini sesuai dengan dasar MSDM strategis yang ketiga yaitu horizontal integration. Contoh-contoh bundling adalah sistem high-performance, high-commitment dan high involvement. Menurut Armstrong (2008) tantangan dari bundling adalah menentukan cara yang terbaik untuk menggabungkan praktik-praktik SDM yang berbeda-beda.
2.3.6. Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis
Menerapkan konsep MSDM strategis memiliki tantangan. Menurut Armstrong (2008) karena dalam penerapannya harus ada integrasi strategis, maka harus dibangun koherensi dan konsistensi kebijakan dan praktik. Selain itu, karena menerapkan MSDM strategis dibutuhkan komitmen maka harus ada tekad yang kuat dan kompetensi di semua level manajerial. Dari sisi departemen SDM sendiri harus beroperasi secara efektif dan SDMnya harus berorientasi bisnis (Armstrong, 2008). Lebih lanjut lagi menurut Armstrong, hal-hal di atas akan sulit dicapai jika budaya SDM yang dibutuhkan untuk ini bertentangan dengan budaya organisasi dan perilaku manajerial tradisional.18
2.3.7. Strategi-Strategi Manajemen Sumber daya Manusia
Strategis
Menurut Armstrong (2008) ada macam strategi yaitu strategi menyeluruh (overall) dan strategi spesifik.
1) Strategi Menyeluruh (Overall)
Strategi menyeluruh menjabarkan intensi/niat/tujuan umum organisasi tentang bagaimana mengelola dan mengembangkan SDM, apa yang harus dilakukan agar organisasi bisa mendapatkan dan mempertahankan SDM yang dibutuhkan dan memastikan SDM tetap berkomitmen, termotivasi dan terikat pada organisasi (Armstrong, 2008). Lebih lanjut lagi menurut Armstrong ada empat kategori dari strategi menyeluruh yaitu:
Pemahaman tentang pendekatan yang dibutuhkan untuk mengelola SDM. Terkadang pemahaman ini tidak disebutkan. Strategi ini dipengaruhi oleh strategi bisnis, fase pertumbuhan organisasi, konfigurasi organisasi. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah pandangan, pengalaman dan gaya manajemen puncak.
Pernyataan umum tentang maksud dan tujuan strategi, yang menjadi dasar pembuatan strategi yang lebih spesifik. Kategori ini fokus pada efektivitas organisasi yang dicapai dengan cara mempekerjakan SDM yang tepat dengan proses yang tepat dan menciptakan tempat kerja yang baik.
Kategori yang ketiga adalah rancangan yang jelas dan spesifik untuk membuat bundle praktik-praktik SDM dan mengembangkan sistem HR yang koheren. Kategori ini dapat dibuat menggunakan pendekatan performance management, involvement management and high-commitment management.
Kategori yang terakhir adalah pengenalan terhadap pendekatan SDM menyeluruh yakni high-performance management, high-involvement management and high-commitment management. Ketiga pendekatan ini memiliki beberapa kesamaan praktik.
High-performance management adalah manajemen SDM yang berfokus pada menggunakan SDM untuk meningkatkan kinerja organisasi di bidang produktivitas, kualitas, layanan konsumen, pertumbuhan, profit dan yang bermuara pada nilai shareholder yang meningkat. Untuk mencapai hal-hal tersebut, praktik-praktik MSDM yang dilakukan adalah prosedur rekrutmen dan seleksi yang ketat, aktivitas pengembangan manajemen dan pelatihan yang ekstensif, sistem bayaran insentif dan proses manajemen kinerja. Praktik-praktik ini disebut dengan high-performance work systems (HPWS).
19 High-involvement management menurut Lawler (1986) adalah sistem manajemen yang berbasis komitmen dan keterlibatan (involvement). Sistem ini adalah kebalikan dari model manajemen birokrasi yang kaku dan sangat mengontrol karena menurut sistem ini untuk dapat membuat karyawan berkomitmen adalah dengan memberikan kesempatan karyawan untuk mengontrol dan memahami pekerjaan mereka. Selain itu dalam high-involvement management karyawan diperlakukan sebagai rekan perusahaan yang kepentingannya dihormati perusahaan dan yang pendapatnya didengar oleh perusahaan (sehingga ada sinergitas).
Unsur yang penting dalam manajemen ini adalah keterlibatan (involvement) dan komunikasi. Oleh karena komunikasi merupakan unsur penting maka sistem ini akan menciptakan kondisi yang mendukung untuk adanya dialog antara manajer dan karyawan secara terus menerus tentang ekspektasi karyawan dan perusahaan, dan untuk memberikan informasi tentang misi, nilai dan tujuan organisasi. Dengan demikian semua anggota organisasi memahami apa tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mencapainya.
Menurut Guest (1997) tingkat keterlibatan yang tinggi membuat karyawan berkomitmen dan memiliki motivasi sehingga perilaku kerja mereka mengarah pada kinerja yang lebih baik, tingkat turnover yang lebih rendah, produktivitas yang meningkat dan kualitas kerja yang tinggi. Benson et al (2006) mengidentifikasi praktik-praktik SDM yang digunakan dalam high-involvement system yang berfokus pada pengambilan keputusan oleh karyawan, akses mendapatkan informasi, pelatihan dan insentif. Ada beberapa praktik dalam sistem ini yang sama dengan yang ada dalam high-performance system seperti misalnya pelatihan dan sistem bayaran insentif. Sung dan Ashton (2005) mengkategorikan praktik high-involvement sebagai satu dari tiga area praktik high performance system yaitu praktik SDM, praktik penghargaan (reward) dan komitmen, dan praktik high involvement.
Pendekatan yang terakhir adalah high commitment management. Menurut Wood (1996) manajemen ini menekankan pada pengembangan komitmen sehingga karyawan dapat mengatur diri mereka sendiri tanpa sanksi dan tekanan dari luar, dan hubungan antar anggota organisasi didasarkan pada kepercayaan. Armstrong (2008) merumuskan beberapa pendekatan untuk menerapkan manajemen ini, antara lain merujuk pada yang dikemukakan oleh Beer et al (1984) dan Walton (1985), dan Wood dan Albanese (1995). Semua pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa nyaman, aman dan diperhatikan dalam bekerja sehingga bisa membentuk komitmen terhadap organisasi.
20 Tabel 2.2 Pendekatan dalam High Commitment Management
Beer et al (1984) dan Walton (1985)
Wood dan Albanese (1995)
1) Pengembangan jenjang karir dan penekanan pada komitmen dan kemampuan untuk bisa dilatih.
1) Manajemen merancang pekerjaan yang memberikan kepuasan intrinsik
2) Fleksibilitas fungsional yang tinggi (jabaran pekerjaan yang tidak kaku).
2) Kebijakan yang membuat tidak adanya pemecatan karena ketidaktersediaan pekerjaan; jaminan pekerjaan permanen dan kemungkinan Menggunakan tenaga kerja sementara dalam menghadapi fluktuasi tuntutan akan tenaga kerja 3) Pengurangan hirarki dan
peniadaaan pembedaan status
3) Sistem penilaian dan penggajian yang baru khususnya mencocokkan gaji dan profit sharing
4) Keterlibatan karyawan yang lebih dalam pada manajemen kualitas.
Sumber: Armstrong (2008)
2) Strategi Spesifik
Strategi SDM spesifik menurut Armstrong (2008) adalah strategi yang menentukan apa yang harus organisasi lakukan pada praktik-praktik MSDM di bawah ini:
high-performance management – mengembangkan dan mengimplementasikan sistem kerja berkinerja tinggi (high performance work systems)
corporate social responsibility – komitmen untuk mengelola bisnis secara etis untuk memberikan dampak positif pada masyarakat dan lingkungan engagement – pengembangan dan pengimplenetasian kebijakan-kebijakan
yang dirancang untuk meningkatkan engagement karyawan dengan pekerjaan mereka dan organisasi
21 pengembangan organisasi – perencanaan dan pelaksanaan
program-program yang dirancang untuk meningkatkan efektifitas organisasi dalam menjalankan fungsinya dan dalam merespon perubahan
human capital management – memperoleh, menganalisis dan melaporkan data yang menunjukkan arah manajemen SDM, investasi dan keputusan operasional yang menambah nilai.
knowledge management – menciptakan, mendapatkan, menangkap, membagikan dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan kinerja dan pembelajaran
resourcing – mendapatkan dan mempertahankan SDM berkualitas tinggi manajemen bakat – bagaimana organisasi memastikan bahwa SDM yang
dimiliki saat ini adalah SDM yang bisa membuat organisasi mencapai kesuksesan
pembelajaran dan pengembangan (learning and development) – menyediakan lingkungan yang mendukung karyawan untuk belajar dan berkembang
penghargaan (reward) – apa yang akan organisasi lakukan dalam jangka panjang untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan, praktik dan proses reward, yang bisa membantu tercapainya tujuan bisnis dan memenuhi kebutuhan stakeholder.
Hubungan kekaryawanan (employee relations) – apa yang harus organisasi lakukan atau ubah dalam hal mengelola hubungan dengan karyawan dan serikat buruh.a) Strategi Manajemen Kinerja Tinggi (High-Performance Management)
Strategi high-performance adalah strategi yang dibuat untuk meningkatkan kinerja karyawan agar organisasi bisa mencapai sasaran strategisnya. Strategi high-performance dimaksudkan agar organisasi mencapai keunggulan kompetitif lewat sumber daya manusianya (Armstrong 2008). Dengan semua karyawan bekerja secara maksimal maka organisasi akan berkembang baik secara termasuk secara finansial dan operational.Strategi performance bisa dilakukan dengan menggunakan high-performance work systems (HPWS). Menurut Thompson dan Heron (2005) dalam high-performance work systems (HPWS) perusahaan berinvestasi pada keahlian dan kemampuan karyawan, dimana perusahaan merancang pekerjaan yang memberikan ruang bagi karyawan untuk berkolaborasi dalam mencari jalan keluar untuk penyelesaian masalah (problem solving), dan dimana perusahaan memberikan insentif untuk memotivasi karyawan untuk memberikan kinerja semaksimal mungkin. Dengan cara ini maka karyawan bisa banyak dilibatkan, dan kemampuan, keahliannya serta motivasinya meningkat (Appelbaum et al, 2000). Gephart (1995) dan Sung dan Ashton (2005) sama-sama berpendapat bahwa tidak ada satu set praktik SDM yang paten sehingga sistem high-performance tergantung pada konteks
22 organisasi, yang terpenting tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan kinerja agar mendukung organisasi mencapai tujuannya. Armitage dan Keeble-Allen (2007) memberikan tiga konsep yang mendasari high-performance work systems (HPWS). Praktik-praktik MSDM yang ditujukan untuk high-performance work bisa dibuat berdasarkan konsep ini:
Budaya terbuka dan kreatif yang bersifat inklusif dan people-centred, dimana pengambilan keputusan dikomunikasikan dan disampaikan kepada semua orang dalam organisasi.
Investasi pada sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, kesetiaan, inklusifitas dan cara kerja yang fleksibel.
Hasil kinerja yang terukur dan pembuatan target dan juga invasi melalui proses dan best practice.
b) Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility)
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah tanggung jawab perusahaan untuk menjalankan usahanya secara etis dengan memperhitungkan dampak dari cara beroperasi perusahaan terhadap terhadap masyarakat, lingkungan dan bahkan ekonomi Armstrong (2008). Bagi Porter dan Kramer (2006), CSR merupakan sebuah proses dimana perusahaan mengintegrasikan aktivitas bisnisnya dan keadaan masyarakat dimana perusahaan tersebut berada. Lebih lanjut lagi menurut mereka dengan melakukan CSR, perusahaan selain memberikan dampak positif pada masyarakat juga akan mendapatkan keuntungan. Redington (2005) lebih khusus lagi menekankan bahwa CSR bukan hanya fokus pada lingkungan sekitar perusahaan tetapi CSR harus mengembangkan kualitas hidup tenaga kerjanya beserta keluarga mereka. Dengan demikian CSR adalah usaha dari perusahaan untuk sebisa mungkin dalam aktivitas bisnisnya perusahaan memberikan dampak yang baik bagi karyawan beserta keluarga dan masyarakat di sekitar perusahaan.
Pada tahun 2007 Business in the Community melakukan survei terhadap 120 perusahaan di Inggris untuk melihat aktivitas-aktivitas CSR yang dilakukan (Armstrong 2008). Aktivitas-aktivitas ini digolongkan menjadi empat bagian sebagai berikut:
CSR terhadap Masyarakat: termasuk di dalamnya membuka lapangan pekerjaan dan mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat sekitar serta menjaga keamanan di lingkungan masyarakat.
CSR terhadap Lingkungan. Perusahaan melakukan pengelolaan terhadap dampak dengan membuat sistem untuk mengelola lingkungan.
23 CSR terhadap Pasar. Contohnya penjualan dan marketing yang bertanggung jawab dan keamanan produk. Termasuk di dalamnya menyediakan informasi yang sesuai tentang produk dan dampak produk terhadap kesehatan penggunanya
CSR terhadap Tempat Kerja (Workplace). Dimana dipandang bahwa karyawan memegang peranan besar untuk dalam usaha perusahaan untuk menjalankan praktik-praktik bisnis yang bertanggung jawab, oleh karena itu karyawan harus diberikan pengertian dan kesadaran tentang hal ini. Aktivitas CSR dalam bidang ini termasuk banyak perusahaan semakin memperhatikan kesehatan, keselamatan dan well-being karyawan Companies Selain itu perusahaan juga sudah mulai memperhatikan tentang keragaman (diversity).
c) Strategi Keterikatan Karyawan (Employee Engagement)
Manajemen SDM harus mampu membuat karyawan merasa terikat dengan perusahaannya. Engagement karyawan adalah sebuah keadaan dimana karyawan bekerja semaksimal mungkin bahkan melampaui yang diharapkan. Amstrong (2008) menyatakan bahwa karyawan yang terikat (engaged) akan menunjukkan sikap yang positif dan bersemangat dengan pekerjaan mereka sehingga mereka akan berusaha melakukan yang terbaik. Menurut Robinson et al (2004), karyawan yang engaged memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bersikap positif terhadap pekerjaannya; percaya pada perusahaannya; selalu berusaha untuk melakukan improvement; menghormati karyawan lain dan membantu sesama karyawan untuk bekerja lebih efektif; bisa diandalkan, melakukan lebih daripada yang ditentukan; fokus pada hal yang lebih besar, bahkan sampai mengorbankan kepentingan pribadi; mengikuti perkembangan bidang pekerjaannya; mencari dan mendapatkan kesempatan untuk membuat kinerja perusahaan menjadi lebih baik lagi.
Perusahaan harus membuat karyawannya engaged karena hal ini menentukan kinerja perusahaan juga. Armstrong (2008) merumuskan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan, sebagai berikut:
Pekerjaan (The work itself)
Pekerjaan bisa menentukan tingkat keterikatan (engagement) karyawan. Engagement karyawan akan meningkat jika pekerjaan yang dikerjakan menyenangkan dan menantang, karyawan merasa bahwa mereka memegang kendali dan bertanggung jawab atas pekerjaan mereka dan pekerjaan tersebut penting, jika karyawan diberikan otonomi dalam bekerja, dan kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan dan keahlian, ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, dan peluang untuk berkembang. Hal lain yang penting juga adalah manajer bisa membuat desain pekerjaan dengan baik. Agar
24 tercipta engagement melalui pekerjaan maka Lawler (1969) merumuskan tiga hal yang dapat dilakukan oleh manajemen terkait dengan pekerjaan yaitu melalui Feedback dimana karyawan harus diberikan feedback yang tepat sehubungan dengan kinerjanya. Feedback diberikan dengan terlebih dahulu mengevaluasi secara benar kinerja karyawan. Yang kedua adalah Use of abilities dimana karyawan harus merasa bahwa pekerjaan yang diberikan kepada mereka adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan mereka. Yang ketiga adalah Self-control (autonomy) dimana karyawan harus merasa bahwa mereka diberikan otonomi untuk bekerja dengan cara mereka mencapai goal.
Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja yang berperan untuk terciptanya engagement adalah lingkungan kerja yang mendukung dan inspirasional bagi karyawan yang mendukung mereka untuk memaknai dan melaksanakan peran mereka. Sehingga karyawan bisa memiliki kinerja tinggi dan melakukan yang terbaik. Lingkungan yang mendukung (supportive) adalah lingkungan memperhatikan work-life balance, yang tidak membebani emosional karyawan secara berlebihan, lingkungan kerja yang sehat dan aman, dan keamanan pekerjaan. Lingkungan kerja yang inspirational Armstrong mengutip John Purcell yang memaknai lingkungan kerja yang inspirational sebagai lingkungan kerja yang memiliki “big idea”, dimana organisasi memiliki visi yang jelas dan nilai-nilai bersama yang tertanam, terukur dan bisa dikelola. Lingkungan kerja juga mencakup proses kerja, peralatan dan fasilitas dan kondisi fisik ditempat kerja karyawan. Dalam hal lingkungan kerja, yang bisa dilakukan agar adalah mengembangkan budaya yang mendorong sikap positif untuk bekerja, lingkungan kerja yang membuat karyawan berminat dan bersemangat untuk bekerja, dan menurunkan stres. Dengan lingkungan ini maka karyawan akan bersemangat untuk bekerja bahwa memberikan usaha lebih dalam melakukan pekerjaanya. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah komunikasi, involvement, work–life balance dan kondisi kerja.
Kepemimpinan
Hal lain yang bisa mendorong terbentuknya engagement adalah cara karyawan dipimpin dan dikelola. Termasuk di dalamnya seberapa besar otonomi yang diberikan kepada karyawan dan peluang bagi karyawan untuk berkembang, mencapai goal, dan menyediakan feedback yang menghargai kontribusi karyawan. Dalam hal kepemimpinan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan engagement harus berfokus pada apa yang harus dilakukan manajer lini sebagai pemimpin. Dalam hal ini MSDM harus memastikan bahwa manajer lini paham apa yang diharapkan dari seorang manajer lini sebagai pemimpin dan keahlian apa yang harus mereka miliki. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan formal terlebih khusus bagi yang berpotensi untuk menjadi manajer, melalui mentoring atau coaching.Pada
25 manajer lini juga dapat melatih keahlian memimpin mereka dengan menggunakan [proses manajemen kinerja. Aktivitas manajemen kinerja mencakup penetapan peran, rencana pengembangan kinerja, mengamati kinerja dan memberikan feedback.
Peluang untuk Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang, oleh karena itu ketika perusahaan mampu menciptakan peluang untuk karyawan bisa mengembangkan dirinya, maka hal ini akan membuat karyawan terikat dengan perusahaan. Armstrong (2008) mengatakan bahwa peluang untuk berkembang merupakan motivasi yang berdampak langsung pada engagement ketika peluang ini menjadi elemen dari pekerjaan. Untuk bisa menghadirkan peluang untuk pengembangan diri yang diperlukan adalah budaya belajar. Reynolds (2004) mengatakan bahwa budaya belajar adalah merupakan media untuk berkembang yang akhirnya mendorong karyawan untuk melakukan positive discretionary behavior, including learning’. Budaya belajar mencakup: penguatan bukan supervisi (empowerment not supervision), pembelajaran mandiri bukan instruksi, membangun kapasitas dalam jangka panjang dan bukan perbaikan jangka pendek (long-term capacity building not short-term fixes).
Karyawan harus didorong untuk belajar dan berkembang saat melakukan tugas mereka, sehingga dibutuhkan kebijakan yang fokus pada fleksibilitas peran (role flexibility) yaitu kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan peran mereka dengan cara menggunakan talenta karyawan dengan lebih baik dan lebih luas lagi. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan manajemen kinerja yang menekankan pada perencanaan perkembangan individu. Strategi Peluang Pengembangan Diri juga harus mencakup peluang untuk mengembangan karir dan bagaimana karyawan dituntun dan didukung.
Peluang untuk Berkontribusi
Ketika karyawan merasakan bahwa mereka memberikan kontribusi bagi perusahaan, maka pada saat itulah rasa terikat akan semakin kuat. Kontribusi ini hanya akan ada jika pendapat karyawan didengar, sehingga mereka akan terus berpikir untuk memberikan ide-ide dan pandangan yang bisa berkontribusi pada perusahaan.
Untuk bisa menciptakan dan meningkatkan engagement karyawan, SDM bisa melakukan beberapa hal pada faktor-faktor di atas. Menyediakan peluang untuk berkontribusi berarti tidak hanya memberikan ruang untuk proses konsultasi formal, tetapi yang terpenting adalah menciptakan lingkungan yang membuat karyawan bisa mengungkapkan pendapat dan mendorong mereka untuk mengungkapkannya, dan
26 menekankan sebagai sebuah nilai dalam perusahaan bahwa manajemen dalam semua level harus siap untuk mendengar dan merespon kontribusi apapun yang karyawan berikan.
d) Strategi Penyediaan Tenaga Kerja (Employee Resourcing Strategy)
Strategi penyediaan tenaga kerja bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki tenaga kerja yang dibutuhkan. Strategi ini tidak hanya mencakup aktivitas mendapatkan tenaga kerja berdasarkan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan melalui rekrutmen dan seleksi, tetapi juga mencakup mempertahankan karyawan yang memiliki potensi untuk berkembang dan melakukan promosi. Seperti yang dikatakan Keep (1989) bahwa yang dibutuhkan perusahaan adalah bukan hanya karyawan bukan hanya kualitas, pengetahuan dan keahlian yang dimiliki saat ini tetapi juga potensi yang dimiliki oleh karyawan yang dapat dikembangkan. Sedangkan untuk promosi, menurut Armstrong (2008) promosi ini dilakukan kepada karyawan yang memiliki kesesuaian budaya dengan budaya perusahaan dan memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk perusahaan mencapai sasaran strategisnya.Lebih jauh lagi menurut Amstrong (2008), strategi penyediaan tenaga kerja mencakup praktik-praktik MSDM lain yang dibutuhkan untuk menyediakan perusahaan karyawan dengan keahlian dan perilaku kerja yang dibutuhkan perusahaan. Oleh karena itu strategi ini mencakup juga learning and development untuk meningkatkan keahlian dan semakin membentuk perilaku yang diharapkan. Bukan hanya itu, strategi ini juga mencakup memberikan reward bagi karyawan yang meningkatkan keahlian mereka. Manajemen talenta dan proses manajemen kinerja juga termasuk dalam praktik-praktik MSDM yang bisa digunakan untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki tenaga kerja yang memiliki keahlian, kemampuan, pengetahuan dan cara kerja yang mumpuni untuk menunjang perusahaan mencapai tujuannya. Berikut ini komponen-komponen strategi penyediaan tenaga kerja seperti dirumuskan oleh Armstrong (2008).
Perencanaan Sumber Daya Manusia (Human resource planning)
Dalam perencanaan ini organisasi menilai kebutuhan perusahaan di masa depan dan mencari tenaga kerja yang dibutuhkan. Yang dibutuhkan bukan hanya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan namun juga kualitas yang dibutuhkan. Lebih jauh lagi menurut Armstrong (2008) perencanaan SDM juga mencakup hal-hal yang berhubungan dengan cara mempekerjakan karyawan yang efektif dan mengembangkan kompetensi karyawan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Namun terkadang strategi penyediaan tenaga kerja ini tidak mudah untuk dilakukan karena beberapa kondisi. Rothwell (1995) berpendapat bahwa ada kesenjangan antara teori dan praktik, seperti misalnya jika ada kesulitan memprediksi masa depan, jika ada perubahan prioritas kebijakan dan strategi perusahaan, manajer yang