43 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
PENCAPAIAN STANDAR KOMPETENSI DALAM PEMBELAJARAN IPS MELALUI PENERAPAN METODE PROBLEM BASED LEARNING
Windhiyanti
Abstrak, Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan metode problem based learning dalam
usaha pencapaian standar kompetensi dalam pembelajaran IPS pada mahasiswa PGSD FIP UNJ. Penelitian ini termasuk penelitian tindakan kelas (classroom action research) dengan 3 siklus/putaran. Hasil penelitian menunjukan pada siklus pertama nilai rata-rata hasil tes kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS adalah 62; pada siklus kedua mencapai 69; dan pada siklus ketiga mencapai 78. Sedangkan hasil analisis tentang kemandirian dan minat mahasiswa pada siklus pertama mencapai 60 % ; pada siklus kedua mencapai 68 %; dan pada siklus ketiga mencapai 76 %. Hasil analisis ini menunjukkan dari siklus pertama, kedua dan selanjutnya ketiga adanya peningkatan yang cukup signifikan. Dengan demikian bahwa metode problem based learning dalam mata kuliah Konsep Dasar IPS dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS, demikian pula kemandirian dan minat mahasiswa .
Kata Kunci: standar kompetensi, problem based learning.
LATAR BELAKANG
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam suatu institusi pendidikan merupakan suatu keharusan di era kompetisi global seperti saat ini. Kompetensi suatu organisasi (bisnis atau non-bisnis) akan sangat menentukan arah perkembangan organisasi itu sendiri di mata pasar dalam hal ini mahasiswa dan masyarakat. Kompetensi yang kompetitif, yang merupakan kombinasi pengetahuan, keahlian (skill) dan sikap (attitude), adalah kompetensi yang dapat mengantisipasi berbagai perubahan dan mampu menciptakan nilai tambah bagi organisasi
tersebut dalam menghadapi berbagai kompetisi yang ada.
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (FIP UNJ) sebagai salah satu instansi pendidikan tinggi secara terus menerus berbenah diri guna mengupayakan peningkatan kualitas lulusannya. Salah satu upaya yang telah ditempuh dalam rangka merealisasikan tujuan tersebut adalah penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Seperti dalam Kepmendiknas No. 045/U/2002 kompetensi secara umum adalah “seperangkat tindakan
cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap
44 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas dibidang
tertentu”. Dalam kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta diklat (istilah peserta didik dalam KBK) setelah mengikuti mata kuliah tertentu diukur dengan kriteria yang ditentukan oleh masyarakat dan oleh pengguna lulusan Perguruan Tinggi tersebut sebagai tenaga kerja terdidik yang merupakan ekspresi dari harapan-harapan masyarakat dan dunia kerja.
Hal ini dikarenakan materi ajar dari mata kuliah ini bersifat teoritis dan sangat analitis sehingga sering menimbulkan suasana belajar yang tidak kondusif dan sangat menjenuhkan. Kondisi tersebut juga mengakibatkan rendahnya minat dan kemandirian belajar dari mahasiswa. Bila kondisi ini dibiarkan, maka akan berakibat pada gagalnya pencapaian standar kompetensi yang telah ditetapkan. Permasalahan ini menjadi semakin kompleks dikarenakan Jurusan PGSD FIP UNJ belum memiliki Laboratorium atau tempat praktikum Konsep Dasar IPS yang optimal yang diharapkan dapat digunakan sebagai penunjang dalam kegiatan belajar mengajar mata kuliah Konsep Dasar IPS yang sesuai dengan kehidupan nyata.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan guna mengatasi kondisi tersebut di atas adalah pola pembelajaran kontekstual yang lebih menekankan pada
penyelesaian masalah (problem based
learning) untuk mengembangkan aspek know-how dari peserta didik. Dengan
metode ini diharapkan peserta didik akan lebih mudah memahami konsep dan terekam dalam long term memory bila pembelajaran dilaksanakan secara kontekstual yang menekankan pada penyelesaian permasalahan sehingga akan lebih bermakna bagi mereka. Dalam pembelajaran kontekstual biasanya dosen dalam memberikan materi pembelajaran, baik teori maupun praktek selalu dikaitkan dengan permasalahan nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Penyelenggaraan pembelajaran kontekstual dalam mata kuliah Konsep Dasar IPS dapat diselesaikan melalui penjalinan kerja sama dengan kehidupan nyata (dunia sehari-hari). Jalinan kerja sama dengan dunia sehari-hari ini diharapkan dapat menggali permasalahan-permasalahan nyata (real problem based
learning) dalam kehidupan sehari-hari yang
selanjutnya diselesaikan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan teoritis di ruang kelas. Dengan demikian model pembelajaran kontekstual melalui jalinan kerja sama dengan kehidupan nyata, khususnya pada mata kuliah Konsep Dasar IPS perlu segera direalisasikan sebagai salah satu upaya dalam mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pola
45 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
pembelajaran mata kuliah Konsep Dasar IPS berdasarkan metode problem based
learning diterapkan di Jurusan PGSD FIP
UNJ?; (2) Apakah pola pembelajaran berdasarkan metode problem based learning pada mata kuliah Konsep Dasar
IPS dapat meningkatkan pencapaian standar kompetensi dasar mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNJ?; (3) Apakah dengan penerapan pola pembelajaran berdasarkan metode problem based learning dalam mata kuliah Konsep Dasar
IPS dapat meningkatkan minat belajar mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNJ?; dan (4) Apakah dengan penerapan pola pembelajaran berdasarkan metode problem
based learning dapat meningkatkan
kemandirian belajar mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNJ?
KAJIAN PUSTAKA
1. Kriteria Pendidikan yang Berorientasi Kompetensi
Menurut Harris (1995), ada enam kriteria untuk mengukur apakah suatu proses belajar mengajar menggunakan pendekatan kompetensi atau tidak, yaitu: 1) Kriteria outcome: hasil proses belajar mengajar dilaksanakan untuk memenuhi standar kompetensi. Bila standar belum ada, maka proses belajar mengajar harus memenuhi standar yang diajukan dan disetujui oleh pihak industri atau asosiasi profesi; 2) Kriteria Kurikuler: kurikulum kegiatan proses belajar mengajar harus
memberikan petunjuk yang jelas kepada peserta tentang apa yang harus dilakukan, dalam arti unjuk kerja, kondisi dan standar yang bagaimana yang harus dicapai; 3) Kriteria penyampaian: penyampaian materi dilakukan secara fleksibel dan peserta kegiatan proses belajar mengajar diberi peluang untuk dapat mengembangkan inisiatif sendiri dalam proses belajar. Bahan ajar yang digunakan oleh dosen menunjukkan tingkat pelaksanaan prinsip
“learner-centered” bukan
“teacher-centered”; 4) Kriteria penilaian: sistem
penilaian yang dilaksanakan harus mengukur seberapa jauh unjuk kerja mahasiswa dalam memenuhi standar kompetensi; dan dapat melakukan penilaian kompetensi yang diperoleh di luar program pelatihan dan penilaian yang dilakukan termasuk kegiatan pelatihan di tempat kerja; 5) Kriteria pencatatan dan pelaporan: pencatatan dan pelaporan kompetensi yang dicapai mahasiswa harus dilakukan. Pelaporan dapat mencakup modul yang telah diselesaikan dan tingkat ketercapaiannya oleh peserta harus dapat dilihat keterkaitan antara modul dan kompetensi; 6) Kriteria sertifikasi: seseorang yang telah mampu menunjukkan kompetensinya dalam program pelatihan yang diakreditasi harus memperoleh tanda bukti pengakuan atau pernyataan pencapaian yang diakui secara nasional/internasional yang berupa setifikat.
46 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
2. Komponen Implementasi KBK dalam Pembelajaran
Komponen implementasi suatu kurikulum berbasis kompetensi (KBK) biasanya ada beberapa komponen yang perlu yaitu materi, sistem penyampaian, pendekatan evaluasi, fasilitas, dan sumber daya manusia (pengajar).
Materi pembelajaran harus dapat mengembangkan kompetensi yang diharapkan oleh masyarakat secara umum dan masyarakat pengguna lulusan seperti yang direkomendasikan oleh Kepmendiknas no 232 tahun 2000. Oleh karena itu materi yang dikembangkan di perguruan tinggi terdiri dari materi yang mengembangkan kompetensi dalam ilmu pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan disiplin akademik atau yang sesuai dengan bidang keahlian teknik atau kejuruannya, dan materi yang mampu mengembangkan kompetensi generik seperti kompetensi mengenal diri, interpersonal, bernalar dan kompetensi menggunakan teknologi sepadan secara umum.
Pencapaian kompetensi dapat diukur dengan unjuk kerja yang ditunjukkan oleh seseorang. Karena merupakan representasi dari suatu kompetensi, maka unjuk kerja juga terdiri dari aspek knowledge, skills dan
attitudes. Ketiga aspek ini akan membentuk
unjuk kerja seseorang pada suatu tugas tertentu. Tingkatan unjuk kerja akan akan ditentukan pula oleh tingkatan masing-masing aspek pada suatu tugas.
Kecakapan sosial (social skills)
mencakup: 1) kecakapan komunikasi dengan empati, dan 2) kecakapan bekerjasama. Berempati adalah sikap dengan penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah, perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikai bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan kesan baik, akan menumbuhkan hubungan yang harmonis (Tim BBE, 2002:8). Goleman (1998) menyampaikan bahwa kecakapan sosial meliputi kecakapan mempengaruhi, kecakapan berkomunikasi, kecakapan kepemimpinan, kecakapan sebagai katalisator perubahan, kecakapan dalam manajemen konflik, kecakapan membangun hubungan, kecakapan bekerjasama dan kemampuan sebagai bagian dari sebuah tim.
Beyer (1987) menyatakan bahwa
“thinking is a mental process by which students make sense out of experience”.
Menurut definsi ini, berpikir merupakan proses mental pada saat seseorang mencoba memahami pengalaman belajarnya. Menurut Tim BBE (2002) kecakapan berpikir meliputi: 1) kecakapan menggali dan menemukan informasi (informasi searching), 2) kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and
decision making skills), serta 3) kecakapan
memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skills). Kecakapan
47 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
berpikir dan kecakapan sosial disebut
general life skills. Reid (1993) menyatakan
bahwa kecakapan berpikir tingkat tinggi dapat digolongkan menjadi dua yaitu berpikir kreatif dan berpikir kritis. Para lulusan akan terlibat dalam pekerjaan atau karir yang menggunakan kemampuan penggunaan kecakapan memecahkan masalah secara kreatif. Berpikir kreatif meliuputi cara berpikir konvergen, proses berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), dan pengembangan berbagai bakat dan kemampuan. Sedangkan berpikir kritis merupakan upaya yang konsisten untuk menguji bukti yang mendukung suatu keyakinan, solusi atau kesimpulan sebelum diterima menjadi suatu kebenaran.
3. Sistem Penyampaian Kurikulum Berbasis Kompetensi
Untuk menentukan suatu sistem penyampaian, maka yang harus diketahui terlebih dahulu adalah hakekat belajar dan mengajar. Belajar merupakan kegiatan aktif peserta didik dalam membangun pengetahuannya sendiri (konstruktivisme). Tugas pengajar memberi dorongan, menciptakan lingkungan belajar agar peserta didik mampu membangun pengetahuan dan menyediakan model bagi peserta didik. Dengan demikian pembelajaran dengan KBK berpusat pada peserta didik bukan berpusat pada pengajar. Selama ini ada tiga aliran psikologi belajar yang dominan yang berkaitan
dengan pendekatan pendidikan berdasarkan kompetensi, yaitu (1) Behaviorisme; (2) Kognitivisme; dan (3) Humanisme. Berangkat dari tiga teori belajar ini lalu banyak dikembangkan model-model maupun strategi pembelajaran, antara lain:
Recognition of Prior Learning (RPL)
Recognition of Prior Learning
(pengakuan terhadap kompetensi yang telah dimiliki) oleh peserta didik merupakan faktor yang integral dalam pendidikan dengan pendekatan berdasarkan kompetensi. RPL kadang-kadang disebut juga dengan
recognition of current competencies (RCC).
Sebelum memulai pembelajaran atau pada awal pembelajaran dosen perlu mengetahui seberapa jauh peserta didik telah menguasai materi/modul yang akan diajarkan dalam menguasai suatu kompetensi. Bila ternyata peserta didik telah menguasai beberapa kompetensi, maka modul atau jobsheet yang terkait tidak perlu diikuti oleh peserta didik tersebut. Namun dosen harus menguji seberapa jauh bukti sertifikat atau portfolio yang diajukan oleh peserta didik dapat diuji kebenarannya. Bagaimana untuk mata kuliah teori? Karena mata kuliah teori pada umumnya tidak memiliki jobsheet atau modul' maka dosen bisa menentukan sendiri cara mengukur penguasaan kompetensi diri peserta didiknya pada awal program pembelajaran dari mata kuliah yang diampu.
Penilaian dalam KBK berdasarkan kompetensi menggunakan pendekatan
48 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
Penilaian dengan Acuan Patokan (PAP). Dengan demikian semua dosen harus memiliki kriteria penilaian. Penilaian ini dilakukan secara periodik dan berkelanjutan. Pelaporan nilai semua peserta didik dengan cara terbuka dan langsung seteleh selesai melakukan tugasnya, sehingga peserta didik dapat mengetahui hasilnya seberapa jauh mereka mencapai kompetensinya.
Meskipun dosen menjadi penilai utama, tetapi dimungkinkan ada penilai lain
selain pengajar seperti
pembimbing/pendamping. Bahkan perlu dikembangkan penilaian antar sejawat sambil melatih kejujuran dan sportifitas mahasiswa. Karena tidak hanya mengembangkan kompetensi bidang teknik/kejuruan dan harus mengembangkan kompetensi personal, interpersonal, kompetensi berpikir dan lain-lain, maka mungkin juga harus melibatkan masyarakat dalam penilaian. Lebih lanjut karena dosen harus menilai berbagai kompetensi, maka dosen harus menggunakan berbagai teknik penilaian, misalnya tes unjuk kerja, tes tertulis, membuat sinopsis, laporan, wawancara, atau angket, observasi partisipan atau observasi non partisipan, dan sebagainya.
4. Metode Problem Based Learning Menurut pandangan aliran pengolahan informasi, orang menghadapi permasalahan jika ada tujuan yang ingin dicapai tetapi belum ditemukan sarana
untuk sampai pada tujuan itu. Oleh karena itu terdapat keadaan awal atau garis start, keadaan tujuan tercapai atau garis finish dan sejumlah sarana/jalan untuk sampai pada tujuan. Ketiga unsur ini disebut ruang masalah (problem space), dimana terdapat beberapa kemungkinan, yaitu tujuan jelas, tetapi terdapat dua sarana untuk sampai; tujuan jelas tetapi sarana tidak jelas; tujuan tidak jelas, maka sarana pun tidak jelas
(ill-defined problem). Namun bagaimana pun
juga isi ruang masalah, soal yang dihadapi harus dituangkan dahulu dalam suatu bentuk representasi yang relevan; boleh jadi suatu gambaran atau suatu proposisi, yang memungkinkan pengolahan dalam ingatan kerja. Melalui jalur aktivasi digali informasi terkait yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang, yang digunakan untuk mencari penyelesaian yang mengena.
Melalui gambaran mental masalah (problem) direpresentasikan dalam ingatan kerja subyek. Kalau bentuk dan isi representasi ini tepat, yaitu sungguh-sungguh mewakili masalah yang dihadapi, pemecahannya dapat ditemukan melalui simpanan informasi yang diaktifkan. Mengingat sangat bergantung pada bentuk dan isi representasi dalam ingatan kerja, informasi manakah yang digali dari ingatan jangka panjang, maka sangat pentinglah bentuk dan isi representasi itu. Kalau representasi pada awal proses berpikir memecahkan masalah kurang mengena, bahkan salah berarti akan diaktifkan pula
49 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
informasi yang tidak relevan sehingga pemecahan masalah tidak akan ditemukan. Dalam kasus yang demikian, suatu perubahan dalam cara merepresentasikan masalah dapat sangat bermanfaat, berdasarkan perubahan dalam bentuk gambaran mental dan isi proposisi yang mungkin disertai catatan di atas kertas, akan diaktifkan informasi yang lain dan relevan untuk memecahkan masalah. Tenaga pengajar yang sudah berpengalaman lama mengetahui bahwa peserta didik yang belum berhasil menyelesaikan suatu soal, dapat dibantu dengan mengubah bentuk penyajian soal.
Dalam menghadapi suatu masalah (problem) orang dapat menggunakan berbagai strategi, yaitu urutan langkah operasional mental tertentu untuk menemukan penyelesaian, strategi termasuk pengetahuan prosedural dan sekali telah menjadi milik seseorang, dalam penerapannya tidak disertai taraf kesadaran yang tinggi. Diantara strategi itu ada yang dapat dipergunakan secara luas karena tidak terikat pada bidang ilmu tertentu, ada pula yang bersifat spesifik karena terikat pada bidang tertentu. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa orang cenderung menggunakan suatu siasat yang bersifat umum bila dihadapkan pada masalah yang baru dan menggunakan suatu strategi yang bersifat spesifik pada soal-soal yang tidak tampak sebagai soal yang serba baru. Siasat yang bersifat umum ada yang
bercirikan membatasi pencarian pemecahan bilamana kelihatannya terdapat banyak sarana untuk sampai pada penyelesaian soal, ada pula yang bercirikan memperluas pencarian pemecahan bila sarana yang telah dipertimbangkan tidak membawa hasil yang diharapkan. Strategi yang bersifat spesifik berkaitan erat dengan cara merepresentasikan masalah dalam ingatan kerja dan dengan pengetahuan serta pemahaman terstruktur yang dimiliki seseorang.
METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan (action research). Adapun tahapan penelitian tindakan sebagai berikut:
Langkah pertama, mengkaji ulang (merenungkan) sistem pengelolan perkuliahan Konsep Dasar IPS semester lalu, serta mengembangkan pemikiran tentang metode pembelajaran mata kuliah Pendidikan Konsep Dasar IPS yang lebih baik. Setelah permasalahan yang sebenarnya dapat dipahami, dosen pengampu memilih dan menentukan
tindakan yang cocok untuk
mengembangkan hipotesa tindakan, yaitu menggunakan metode problem based learning.
Pada tahap perencanaan ini peneliti juga mempersiapkan jadwal tindakan siklus yang disesuaikan dengan jadwal mata
50 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
kuliah Konsep Dasar IPS yang diampu oleh peneliti. Langkah berikutnya, peneliti mempersiapkan materi yang akan diberikan dengan menggunakan metode problem
based learning. Peneliti membuat beberapa
masalah mengenai topik tersebut. Kemudian membuat kelompok mahasiswa dimana mahasiswa yang berjumlah 30 orang dibagi menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 6 orang.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam kegiatan tahap pelaksanaan yaitu: (1) Dosen memberikan masalah mengenai suatu topik kepada masing-masing kelompok dimana masalah yang diberikan sama untuk semua kelompok; (2) Masing-masing kelompok mendiskusikan untuk mencari penyelesaian masalah; (3) Masing-masing kelompok mempresentasikan penyelesaian masalah sedangkan kelompok yang lain menanggapi; (4) Dosen beserta mahasiswa menyimpulkan hasil penyelesaian masalah; (5) Mencatat, mengamati, memberikan pertanyaan, dalam rangka mengumpulkan data (melihat perkembangan yang terjadi selama tindakan diberikan). Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat aspek kemampuan pemahaman mahasiswa terhadap materi ajar Konsep Dasar IPS yang telah disampaikan; (6) Analisis data; (7) Melakukan analisis data baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kegiatan ini dimaksud untuk menyeleksi, menyederhanakan, memfokuskan serta
mengorganisasikan data secara sistematis dan rasional dalam rangka menampilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap evaluasi dan refleksi yaitu: (1) Refleksi, mengkaji atau mengevaluasi seberapa jauh dampak yang terjadi karena perlakuan yang diberikan. Hasil pengkajian tersebut diperlukan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Bila berhasil, tindakan apa yang membuatnya berhasil, dan sebaliknya bila gagal harus dicari faktor penyebab mengapa tindakan tersebut gagal, demikian seterusnya; (2) Tindak lanjut, menentukan tindakan selanjutnya untuk lebih meningkatkan efektivitas proses pembelajaran. Namun bila tindakan yang diberlakukan telah sesuai dengan indikator ketercapaian penelitian, maka dosen perlu menyebarluaskan dan mempertahankan tindakan tersebut pada periode selanjutnya dengan melakukan berbagai perbaikan seperlunya.
2. Indikator Kinerja Penelitian
Penelitian tindakan yang dilakukan dalam perkuliahan Konsep Dasar IPS ini dilaksanakan dengan n siklus putaran yaitu siklus ke 1, siklus ke 2 dan siklus ke n. Banyaknya proses berulangnya siklus ditentukan oleh ketercapaian beberapa indikator kinerja penelitian yaitu: (1) Indikator kinerja ditinjau dari standar kompetensi. Proses penerapan program pembelajaran
51 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
berdasar penemuan masalah di kehidupan nyata akan berhenti dan dipertahankan untuk tetap digunakan, bila 70 % mahasiswa telah memiliki kompetensi yang ditetapkan; (2) Indikator kinerja ditinjau dari bahan ajar cetak. Proses pengembangan materi ajar Konsep Dasar IPS yang sesuai dengan pola pembelajaran itu akan berhenti, bila 70% mahasiswa telah memiliki kompetensi yang ditetapkan; (3) Indikator kinerja ditinjau minat dan kemandirian belajar. Proses penerapan program pembelajaran berdasar penemuan masalah di kehidupan nyata akan berhenti dan dipertahankan untuk tetap digunakan, bila 70 % mahasiswa meningkat minat dan kemandirian belajarnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada siklus pertama nilai rata-rata hasil tes kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS adalah 62. Arttinya ketercapaian kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS baru mencapai 62%. Disebabkan hasil evaluasi siklus 1 belum mencerminkan keberhasilan pelaksanaan penelitian sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan yaitu 70 %, maka dilanjutkan dengan siklus 2.
Hasil analisis tentang kemandirian dan minat mahasiswa pada siklus pertama masih rendah yaitu rata-rata baru mencapai 60 % atau pada kisaran skala penilaian 3. Dengan demikian perlu adanya perbaikan
dalam proses pembelajaran sehingga meningkatkan kemandirian dan minat mahasiswa PGSD pada pembelajaran Konsep Dasar IPS pada siklus ke 2.
Pada siklus kedua nilai rata-rata hasil tes kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS adalah 69. Artinya ketercapaian kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS baru mencapai 69%. Ini menunjukan sudah ada peningkatan tapi belum mencapai apa yang diharapkan. Disebabkan hasil evaluasi siklus 2 belum mencerminkan keberhasilan pelaksanaan penelitian sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan yaitu 70 %, maka dilanjutkan dengan siklus 3.
Hasil analisis tentang kemandirian dan minat mahasiswa pada siklus kedua rata-rata sudah mencapai 68 % atau pada kisaran skala penilaian 3 lebih. Sudah menujukan adanya peningkatan tapi belum maksimal. Dengan demikian perlu adanya perbaikan dalam proses pembelajaran sehingga meningkatkan kemandirian dan minat mahasiswa PGSD pada pembelajaran Konsep Dasar IPS pada siklus ketiga.
Pada siklus ketiga nilai rata-rata hasil tes kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS sudah mencapai 78. Artinya ketercapaian kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS sudah mencapai 78%. Ini menunjukan sudah ada peningkatan sesuai dengan apa yang diharapkan . Disebabkan hasil evaluasi
52 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
siklus 3 sudah mencerminkan keberhasilan pelaksanaan penelitian sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan yaitu 70 %, maka sudah dianggap cukup bahwa kompetensi mahasiswa sudah meningkat secara signifikan .
Hasil analisis tentang kemandirian dan minat mahasiswa pada siklus ketiga rata-rata sudah mencapai 76% atau pada kisaran skala penilaian 4 lebih. Ini sudah menujukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan. Dengan demikian sudah dianggap cukup dapat meningkatkan kemandirian dan minat mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS dan perlakukan dihentikan.
Hasil analisis di atas menunjukkan dari siklus pertama kedua dan selanjutnya ketiga adanya peningkatan yang cukup signifikan. Dengan demikian bahwa metode
problem based learning dalam mata kuliah
Konsep Dasar IPS dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa PGSD pada mata kuliah Konsep Dasar IPS, demikian pula kemandirian dan minat mahasiswa .
PENUTUP 1. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: (1) Pola pembelajaran berdasarkan metode problem based learning pada mata kuliah Konsep Dasar IPS dapat meningkatkan pencapaian standar
kompetensi dasar mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNJ; (2) Penerapan pola pembelajaran berdasarkan metode problem
based learning dalam mata kuliah Konsep
Dasar IPS dapat meningkatkan minat belajar mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNJ; dan (3) Penerapan pola pembelajaran berdasarkan metode problem based learning dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNJ.
2. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagi dosen pengampu mata kuliah Konsep Dasar IPS khususnya dan mata kuliah-mata kuliah lain umumnya. Sebaiknya metode problem based learning dapat dijadikan alternatif dalam menigkatkan kompetensi dasar, kemandirian dan minat mahasiswa PGSD FIP UNJ; (2) Pengkajian mendalam tentang metode
problem based learning untuk meningkatkan
profesionalisme dosen dalam pembelajaran IPS; (3) Bagi lembaga PGSD agar memfasilitasi untuk mendiseminasi hasil temuan penelitian ini kepada semua dosen baik dosen IPS atau dosen mata kuliah lain; dan (4) Diadakan penelitian lanjutan teruatama pada bidang mata kuliah lain selain IPS.
53 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi. (1989). Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu.
Dikmenjur. 2001. Standar Kompetensi Model RMCS. Depdiknas Jakarta.
Goleman. 1998. http://www.eiconsortium.org/research/emotional competence framework.html Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung Rosdakarya. Purwodarminto W.J.S. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Stephen Kemmis and Robin McTaggart. 1998. The Action Research Planner. Melbourn: Deakin University.
Sulaeman, Dadang. 1988. Teknologi/Metodologi Pengajaran. Jakarta:P2LPTK Winkel. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo
Daftar Riwayat Hidup Peneliti:
54 Jurnal Ilmiah PGSD Vol.III No.2 Juli 2011