• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Pengadilan Negeri Bukittinggi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Pengadilan Negeri Bukittinggi)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 ARTIKEL ILMIAH

KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PERKARA PERDATA

(Studi Pengadilan Negeri Bukittinggi)

Oleh :

DEVI SARI SANTI NPM. 10.10.002.74201.121

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT

BUKITTINGGI

(2)

2

KEKUAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUTI DALAM

PEKARA PERDATA

(Studi Pengadilan Negeri Bukittinggi)

Devi Sari Santi, 10.10.002.74201.121 ABSTRAK

Akta adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk dijadikan sebagai bukti, yang memuat suatu peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan. Akta terbagi atas dua yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat umum yang sengaja dibuat untuk pembuktian.Akta di bawah tangan merupakan salah satu alat bukti tertulis.Pembuktian akta di bawah tangan diatur dalam pasal 286-305 Rbg dan 1867-1894 KUH Perdata. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik sepanjang tanda tangan danisi yang terdapat di dalam akta tersebut diakui oleh para pihak yang membuat akta tersebut, akan tetapi akta di bawah tangan akan dianggap sebagai bukti permulaan tertulis apabila akta tersebut disangkal atau dipungkiri atas tanda tangan yang terdapat di dalam akta tersebut oleh para pihak, maka pembuktiannya harus didukung oleh alat bukti lain.Banyaknya masyarakat yang menggunakan akta di bawah tangan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tidak ingin menggunakan akta otentik, biaya yang dibutuhkan cukup besar, tidak tahu kelemahan akta di bawah tangan serta adanya saling percaya diantara para pihak.

Kata Kunci : Akta di Bawah Tangan

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara Hukum (rechstaat) dan bukan merupakan Negara berdasarkan kekuasaaan (machtsaat), seperti yang terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan sacara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip Negara Hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kepada kebenaran dan keadilan. Individu, Masyarakat, Pemerintah dan Lembaga Negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus dilandasi oleh hukum.

Dalam Negara hukum perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dijamin oleh Negara, dimana setiap Warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Persamaan dalam hukum dan pemerintahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pada pasal 27 ayat 1, dimana disebutkan “ Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya “.1

Keadilan bagi setiap orang harus diperoleh agar masyarakat demokratis dapat mencapai kehidupan yang adil dan damai melalui penegakan hukum. Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan.

Manuasia merupakan makhluk social yang membutuhkan bantuan orang lain dalam hidup, seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, ia pasti akan

1

(3)

3

membutuhkan bantuan orang lain agar dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga diantara mereka saling menjalin hubungan. Dalam kehidupan bermasyarakat setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, kepentingan yang berdeda tersebut kadangkala sering menimbulkan sengketa atau perselisihan diantara individu.Untuk menghindari terjadinya hal terebut, mereka membuat kaidah hukum atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

Dengan adanya kaidah hukum tersebut kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terlindungi,jika kaidah hukum tersebut dilanggar maka kepada yang melanggarnya akan dikenakan sanksi atau hukuman. Sengketa yang timbul karena adanya pelanggaran terhadap kepentingan orang lain harus diselesaikan secara hukum.

Kepentingan ini seringkali berkaitan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain atau terhadap benda. Seseorang yang merasa haknya dilanggar tentunya ia akan merasa tidak puas atau tidak senang terhadap hal tersebut. Orang yang merasa haknya terlanggar dalam suatu hubungan hukum, tidak boleh main hakim sendiri atau bertindak sendiri dalam membela haknya itu.Akan tetapi pembelaan tersebut harus dilakukan dengan perantara badan pengadilan.

Salah satu asas peradilan adalah hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan apapun perkaranya, dan apapun yang dituntut oleh para pihak berperkara.Untuk memutuskan perkara tersebut, maka hakim mutlak dituntut untuk mencari kebenaran dan kenyataan dari perkara yang diajukan kepadanya. Salah satu proses beracara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu adalah pembuktian.

Menurut Subekti, membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persangkaan.2 Kewajiban untuk membuktikan itu terdapat dalam Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan :“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk kepada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

Seseorang yang menyatakan bahwa ia memiliki hak terhadap sesuatu ia harus memberikan bukti yang menunjukan bahwa ia memiliki hak atas sesuatu itu. Begitu juga sebaliknya jika seseorng membatahkan akan hak orang lain ia juga harus memiliki bukti untuk itu. Untuk menunjukkan bukti bahwa seseorang itu memiliki hak atau adanya peristiwa, maka harus diiringi dengan bukti yang cukup, dalam hukum perdata ada beberapa alat bukti. Hal ini diatur dalam pasal1866 KUH Perdata.

Dalam Pasal 1866 menyebutkan :“ Alat-alat bukti terdiri atas: Bukti Tulisan, Bukti dengan Saksi, Persangkaan-Persangkaan, Pengakuan, Sumpah”.

Dalam proses perkara perdata di Pengadilan semua alat bukti adalah penting, tetapi dalam HIR yang menganut asas pembuktian formal, maka terlihat bahwa bukti tulisan merupakan bukti yang sangat penting dalam pembuktian, kekuatan pembuktian bukti tulisan atau surat diserahkan kepada hakim.

Alat bukti surat dalam pembuktian dapat berupa surat biasa atau akta. Menurut A. Plato akta adalah surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.3Sedangkan surat biasa adalah surat yang tidak ditandatangani dan tidak

2

R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999, hlm 7.

3

H.R Daeng Naja, Teknik Pembuatan akta (Buku Wajib Kenotariatan), Samarinda : Pustaka Yudistira, 2012, hlm. 11.

(4)

4

digunakan sebagai alat bukti, jika pada suatu saat menjadi alat bukti itu hanya kebetulan saja.

Akta dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh mereka para pihak yang membuat akta itu, mereka yang menentukan isi dan bentuk dari akta itu.Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang atau tidak cakapnya pegawai yang dimaksud maka akta tersebut mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan.

Dahulu orang dalam melakukan perbutan hukum cukup dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, hal ini didasari karena saling percaya diantara mereka, berbeda dengan halnya zaman sekarang.Pada zaman sekarang para pihak lebih cendrung melakukan perbuatan hukum tersebut dengan merealisasikannya dalam bentuk perjanjian secara tertulis atau akta.Akta tersebut baik dibuat dalam bentuk akta otentik maupun akta di bawah tangan.

Masyarakat Indonesia menyadari akan pentingnya suatu surat (dokumen) yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu dan mencatatnya dalam suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh orang-orang yang berkepentingan dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Surat (dokumen) merupakan alat pembuktian yang penting dalam lalu lintas hukum, baik dalam arti materil maupun formil.

Masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bukittinggi khusunya sering menganggap akta di bawah tangan itu hanya hal yang sepele tetapi jika terjadi masalah barulah mereka menggap itu merupakan hal yang penting. Selain itu masyarakat juga tidak ingin repot untuk mengurus atau membuat akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris karena merasa hal itu merupakan hal yang susah dan memakan waktu serta membutuhkan biaya yang besar. Maka oleh karena itu masyarakat Bukittinggi lebih sering membuat akta dibawah tangan dari pada akta otentik.

Kecendrungan masyarakat untuk membuat akta di bawah tangan sebagai alat bukti dalam suatu peristiwa hukum membuktikan kurangnya pengetahuan masyarakat akan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan sebagai alat bukti dalam perkara perdata dikemudian hari. Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengajukan penelitian dengan judul dengan judul “ Kekuatan Akta Di Bawah Tangan Sebagai

Alat Bukti Dalam Perkara Perdata (Studi Pengadilan Negeri Bukittinggi) “.

Berdasarkan perumusan masalah di atas dapat pula dirumuskan tujuan penelitian yaitu :

1. Untuk mengetahui kekuatan dari akta di bawah tangan saat dijadikan alat bukti dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Bukittinggi.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab digunakannya akta di bawah tangan sebagai bukti adanya peristiwa hukum.

B. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis-empiris, yang dimaksud dengan pendekatan yuridis adalah suatu cara yang digunakan dalam suatu penelitian yang mempergunakan asas-asas serta peraturan perundang-undangan guna meninjau, melihat serta menganalisis suatu permasalahan, sedangkan metode pendekatan empiris merupakan kerangka pembuktian atau pengujian untuk memastikan suatu kebenaran.

(5)

5

Sehingga yang dimaksud dengan yuridis-empiris adalah suatu penelitian yang tidak hanya menekankan pada kenyataan pelaksanaan hukum saja, tetapi juga menekankan pada kenyataan hukum dan praktek yang dijalankan oleh anggota masyarakat.

Sumber data terbagi atas tiga bagian yaitu pertama bahan hukum primer yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul permasalahn yang dirumuskan antara lain Hukum Perdata, Het Herizieni

Indonesia Reglement (HIR), Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen in De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg) dan Peraturan Perundang-Undang yang terkait.

Kedua bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang dapat membantu, menganalisa, memahami bahan hukum primer seperti : hasil penelitian dan buku-buku yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Ketiga bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi petunuk dan penjelasan terhadap bahan-bahan buku sekunder, misalnya kamus umum bahasa indonsia.

Teknik pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan menelusuri data-data sekunder mencakup bahan-bahan primer yaitu bahan-bahan yang mengikat; bahan sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Selanjutnya untuk mendukung data sekunder, dalam penelitian ini digunakan pula penelitian lapangan meskipun hanya sebagai data pendukung, sehingga data yang diperoleh hanya berasal dari nara sumber. Nara sumber dalam penelitian ini adalah Hakim di Pengadilan Negeri Bukittnggi.

Analisa data yang dilakukan secara kualitatif yakni analisa yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan sistematika dan matematika artinya disajikan dalam bentuk uraian. Dimana hasil analisa akan dipaparkan secara deskriptif, dengan harapan dapat menggambarkan secara jelas mengenai pembuktian akta dibawah tangan di Pengadilan Negeri Bukittinggi, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan-permasalah yang diteliti.

C. Tinjauan Teoritis

1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

Membuktikan suatu peristiwa mengenai adanya suatu hubungan hukum adalah suatu cara untuk menyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. 4Pembuktian sangat diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.Pembuktian diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan.

Dalam Pasal 1865 KUH Perdata, menjelasakan tentang kewajiban untuk melakukan pembuktian. Pasal tersebut berbunyi :"Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun

4

Ny. Retno Wulandari Susanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan

(6)

6

membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut“.

Selain dalam pasal 1865 KUH Perdata, kewajiban untuk membuktikan terdapat juga dalam pasal 163 HIR. Pasal tersebut berbunyi :“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai suatu hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak rang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu“.

Dari pasal tersebut terlihat bahwa tidak hanya peristiwa saja yang dapat dibuktikan, tetapi juga suatu hak. Dalam putusannya hakim menetapkan hak dan kewajiban para pihak berperkara berdasarkan apa yang diangap olehnya terbukti atau tidak berdasarkan alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak. Dengan kata lain agar tuntutan untuk memperoleh suatu hak dan meneguhkan suatu hak akan berhasil sebagai mana disebut dalam pasal 163 HIR (pasal 283 Rbg) tersebut diatas, maka pihak yang mendalilkan adanya hak itu harus dapat membuktikan kebenarannya melalui alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang, sehingga hakim seakan merasa yakin dan menyatakan bahwa apa yang dituntut itu terbukti adanya.5

Jadi berhasil tidaknya suatu gugatan perdata adalah tergantung dari berhasil tidaknya pihak yang bersangkutan membuktikan dalil-dalilnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa membuktikan kebenaran suatu dalil yang menuntut suatu hak atau meneguhkan sesuatu hak atau peristiwa, adalah merupakan bagian yang terpenting dari proses perkara perdata di depan pengadilan.6

Hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan di muka hakim antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan.7 Hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum perdata, karena ia memberikan aturan-aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim (Low of Procedure).8

Beban pembuktian adalah kewajiban salah satu pihak untuk membuktikan fakta-fakta yang dikemukakan dalam persidangan.9Yang harus dibuktikan disini adalah fakta-fakta yang dikemukakan untuk menyakinkan hakim bahwa fakta-fakta tersebut adalah benar adanya.Masalah beban pembuktian adalah masalah yang dapat menentukan jalannya pemeriksaan perkara dan menentukan hasil perkara yang pembuktiannya itu harus dilakukan oleh para pihak (bukan hakim) dengan jalan mengajukan alat-alat bukti dan hakimlah (berdasarkan pertimbangan dengan melihat situasi dan kondisi dari perkara/dilihat kasus demi kasus) yang akan menentukan pihak mana yang harus membuktikan, dan yang kebenarannya itu dijadikan salah satu dasar untuk mengambil putusan akhir.10

Membuktikan itu tidak selalu mudah.Kita tidak selalu dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa.Terutama untuk membuktikan suatu negatif, sesuatu hal itu pada umumnya tidak mungkin (negative non sun probanda) membuktikan bahwa tidak berutang, tidak menerima uang, pada pokoknya membuktikan yang serba tidak

5

Victor M Situmorang & Cormentyna Sitanggang, Grose Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hlm 87. 6 Ibid, hlm 87. 7 R subekti, op.cit., hlm 8. 8 Ibid, hlm 8. 9

Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2013, hlm 117.

10

(7)

7

itu tidak mungkin atau sukar. Oleh karena itu maka pembuktian sutua negarif “should not be force on a person without very strong reasons”, kata paton.11

Dalam hubungan ini makamaah agung daam putusannya tanggal 15 maret 1972 no. 247 K/Sip/1971 memutuskan, pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan suatu yang negatif adalah lebih berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan suatu yang positif, yang tersebut terakhir in termasuk pihak yang ebih mampu untuk membuktikan.12

Dalam pasal 163 HIR, 283Rbg dan pasal 1865 KUH Perdata, yang berbunyi:“Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa ntuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.

Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa penggugat dan tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Karena tentuan dalam pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg dan pasal 1865 KUH Perdata tersebut pada hakikatnya belum tegas tentang pembagian itu pembuktian maka dalam ilmu pengetahuan, oleh beberapa ahli atau sarjana hukum perdata, timbulah teori-teori tentang pembagian beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim yang mengadili perkara perdata dalam praktek :Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka, teori hukum sabjektif (teori hak), teori objektif, teori hukum publik, teori hukum acara.

Pada asasnya siapa yang mengemukakan sesuatu, yang harus dibebani dengan pembuktian, maka di dalam prakteknya pembagian beban pembuktian itu harus baru dirasakan adil dan tepat apabila yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.13Menurut ilmu hukum yang dimaksud dengan bukti adalah keseluruhan alat yang telah ditetapakan oleh undang-undang, yang dapat dipergunakan untuk menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di dalam suatu persengketaan di dalam pengadilan.14 Dalam perkara perdata alah bukti yang dapat digunakan antara lain bukti surat, bukti dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

Dalam perkara perdata bukti surat merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan. Suatu surat yang digunakan sebagai alat bukti merupakan isi pikiran yang memuat tanda baca dan dibuat pada suatu benda.

2. Tinjauan Umum Tentang Akta

Istilah akta merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu acta, dalam bahasa prancis disebut acte, sementara bahasa Ingris disebut deed.Dalam hukum prancis, akta merupakan dokumen formal. Menurut S.J Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari dalam bahasa latin “acta” yang berarti geschrift atau surat.15

11

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006, hlm 109. 12 Ibid, hlm 109. 13 Ibid, hlm 148. 14

H. R Daeng Naja, op.cit., hlm 15.

15

(8)

8

Akta adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk dijadikan sebagai bukti, yang memuat suatu peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya suatu dapat disebut sebagai akta adalah : surat itu harus ditandatangani, surat itu arus memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, dan surat itu diperuntukn sebagai alat bukti.

Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi “ pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Dari bunyi pasal tersebut maka akta dapat dibedakan atas 2 yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan lazim diebut dengan

Onder-hands, sedangkan akta Otentik lazim disebut sebagai Authentic akta.

Akta otentik tersebut adalah surat yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat umum yang memiliki wewenang untuk itu dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang serta digunakan sebagai bukti untuk peristiwa hukum.

Akta otentik yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyarata sebagai berikut : akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (tenoverstaan) seorang pejabat umum, akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta.

Dalam praktek akta di bawah tangan atau onderhands Acta adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, bahkan sering dalam penandataganan akta di bawah tangan tersebut, tanpa adanya saksi yang turut serta dalam membuuhkan tanda tangannya.16

Menenai akta di bawah tangan ini tidak ada diatur dalam HIR, tetapi di dalam Rbg diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305, dan dalam KUHP Perdata diatur dalam pasal 1874 sampai dengan 1880, serta dalam Stb. 1867 No. 29.Dalam segi hukum pembuktian agar suatu tulisan bernilai akta di bawah tangan, diperlukan persyaratan pokok :Surat atau tulisan itu ditanda tangani, Isi yang diterangkan didalamnya menyangkut perbuatan hukum (reschtshandeling) atau hubungan hukum (rechts bettrekking), Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di dalamnya.

Akta di bawah tangan dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :17Akta dibawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum), akta di bawah tangan yang didaftarkan (Waarmerken) oleh notaris/ejabat yang berwenang, akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang berwenang.

Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut :akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang sedangkan akta di bawah tangan tidak memiliki bentuk formal melainkan bebas sesuai dengan keinginan para pihak, akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang sedangkan akta di bawah tangan tidak di hadapan pejabat umum atau notaris.

16

H. R Daeng Naja, Ibid, hlm. 9.

17

H. Salim HS dan dkk,perancangan kontrak & momerandum of Understanding (MOU),Jakarta : SinarGrafika, 2007, hlm 33.

(9)

9 D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Alat Bukti merupakan unsur terpenting dalam pembuktian perkara perdata.Alat Bukti adalah alat yang digunakan untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum yang dinyatakan, baik oleh penggugat maupun oleh tergugat serta menyakinkan hakim di muka pengadilan.

Dalam acara perdata hakim terkait pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya dapat mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) adalah :Bukti Tulisan;Bukti dengan Saksi-saksi;Persangkaan-Persangkaan;Pengakuan;Sumpah.

Alat Bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285 – 305 Rbg dan pasal 1867 – 1894 KUH Perdata. Alat bukti tertulis merupakan alat bukti yang utama dalam hukum acara perdata di bandingkan dengan alat bukti lain. Hal ini disebabkan karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran formal maka alat bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang utama di kemudian hari.

Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian bahwa segala sesuatu yang tidak memuat tanda baca, tidak menggandung buah pikiran atau isi hati seseorang bukanlah merupakan alat bukti tertulis.

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi 2 bagian yaitu akta dan surat-surat lain atau bukan akta. Akta adalah surat sebaga alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta dapat juga dibagi menjadi 2 bagian yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.

Menurut pasal 1867 KUH Perdata, akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.Jadi akta di bawah tangan hanya dibuat oleh para pihak yang berkepentingan saja.

Akta di bawah tangan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : akta di bawah tangan yang di tanda tangani oleh para pihak di atas materai, akta di bawah tangan yang didaftarkan (waarmeking) oleh notaris/pejabat yang berwenang, akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris atau pejabat yang berwenang. Kekuatan akta yang dibawah tangan yang ditanda tangani para pihak diatas materai, akta dibawah tangan yang dilegalisasi dan akta di bawah tangan pada dasarnya sama tetapi pada akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris/Pejabat Umum hak dan kewajiban lebih bisa dibuktikan, karena pada akta di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris/Pejabat Umum para pihak menandatagani akta tersebut di hadapan Notaris dan Notaris menerangkan apa isi akta tersebut serta para pihak tersebut diperkenalkan kepada notaris.

Akta di bawah tangan yang diajukan sebagai alat bukti, kepada seseorang maka orang tersebut wajib mengakui atau mengingkari tanda tangan yang ada di dalam akta tersebut. sebagaimana terdapat didalam pasal 1876 KUH Perdata yang berbunyi :“Barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak

(10)

10

mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili”.

Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik sepanjang tanda tangan dan isi yang terdapat di dalam akta tersebut diakui oleh para pihak yang membuat akta tersebut, akan tetapi akta di bawah tangan akan dianggap sebagai bukti permulaan tertulis apabila akta tersebut disangkal atau dipungkiri atas tanda tangan yang terdapat di dalam akta tersebut oleh para pihak, maka pembuktiannya harus didukung oleh alat bukti lain.

Kekurangan atau kelemahan dari akta di bawah tanggan diantaranya : ketiadaan saksi yang membuat akta dibawah tangan tersebut akan kesulitan untuk membuktikannya, akta yang dibuat tersebut kebenaran tanda tangan dapat disangkal oleh para pihak, apabila salah satu pihak memungkiri atau menyangkal tanda tangannya, maka kebenaran akta di bawah tangan tersebut harus dibuktikan kebenarannya di muka pengadilan, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan tidak seperti akta otentik.

Banyaknya masyarakat yang menggunakan akta di bawah tangan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya tidak ingin menggunakan akta otentik, biaya yang dibutuhkan cukup besar jika menggunakan akta otentik, tidak tahu kelemahan akta di bawah tangan serta adanya saling percaya diantara para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

E. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan bahwa Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dalam perkara perdata, sepanjang akta di bawah tangan tidak disangkal atau di pungkiri oleh para pihak maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta otentik, sedangkan apabila kebenatan tanda tangan dalam akta di bawah tangan di sangkal akan kebenarannya maka akta tersebut harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan alat bukti yang lain seperti saksi, persangkaan dan pengakuan.Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tanpa bantuan pejabat umum, melainkan dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak saja. Banyak faktor yang memepengaruhi orang banyak menggunakan akta di bawah tangan di antaranya tidak ingin menggunkan akta otentik, biaya yang dibutuhkan cukup besar untuk membuat akta otentik dan tidak tahu kelemahan akta di bawah tangan itu pada saat dijadikan alat bukti di dalam persidangan serta perjanian yang dilakukan oleh para pihak didasarkan atas kepercayaan.

Saran dari penelitian ini bahwa dalam melakukan erjanjian, sewamejewa, jual beli dan lain-lainagar sebaiknya dilakukan denganmenggunakan akta otentik atau setidaknya menggurangi penggunaan akta di bawah tangan dalam melakukan perjanjian, serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bagaimana kekuatan akta di bawah tangan pada saat dijadikan alat bukti di dalam persidangan jika erjadi perselisihan diantara para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Asnawi, Natsir, hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013.

Harahap M, Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Hendra Winarta, Frans, bantuan hukum suatu hak asasi mamusia bukan belas kasihan,PT. Elex Media Komutindo, Jakarta, 2000.

(11)

11

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2006.

Naja, H.R Daeng, Teknik Pembutan Akta (buku wajib kenitariatan),Pustaka Yustisia, Samarinda, 2012.

Rasid M Nur, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Padang, 2008.

Salim HS, dkk, Perancangan Kontrak & Memorandum of Undestanding (MoU), Sinag Grafika, Jakarta , 2007.

Samudra, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992. Situmorang, M Victor danSitanggang, Cormentyna, Grose Akta Dalam Pembuktian dan

eksekusi,Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Soeroso R, Perjanjian di Bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Subekti R, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar,Hukum Acara PerdataDalam Teori

dan praktek,CV. Mandar Maju, Bandung, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR).

Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java EnMadura (Rbg)

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan yang dimaksud diantaranya adalah dengan berorientasi pada industri, penguasaan material dan teknologi, psikologi dan perilaku, keseimbangan lingkungan, filosofi

“Skripsi Ini Ditujukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran”.

Pertumbuhan berat gurami terendah terdapat pada perlakuan P1 (tanpa perendaman hormone tiroksin) dengan berat mutlak 0,81 g, hal ini diduga karena media yang

Saham yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah perusahaan yang memiliki nilai saham konsisten dan tidak keluar masuk dalam indeks LQ45 dalam periode Februari

Berdasarkan penelitian Wibowo, F.C (2013) peneliti mencoba mengembangkan penelitian sebelumnya dengan memberikan perlakuan pada siswa menggunakan suatu model

Perencanaan tugas akhir terapan pada Bangunan Laboraturium Universitas Islam Negeri Sunan Ampel dihitung sesuai peraturan SNI Beton 2847-2013 dan peraturan SNI Gempa

Pandang S benda padat yang terlingkupi oleh balok B, dan definisikan nilai f nol untuk luar S (gb.. Contoh (Tabung)

Selain itu, penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data