• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pekerja yang dibutuhkan. Berdasarkan data statistik, jumlah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dengan pekerja yang dibutuhkan. Berdasarkan data statistik, jumlah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar belakang

Persaingan di dunia industri semakin lama semakin banyak, begitu pula dengan pekerja yang dibutuhkan. Berdasarkan data statistik, jumlah perusahaan industri manufaktur mengalami kenaikan sekitar 35,32% dari tahun 1990 hingga tahun 2014. Kenaikan tersebut secara kelompok industri, 71,49% berasal dari kelompok industri sedang dan 28,51% berasal dari kelompok industri besar. Masih dari laporan yang sama, jumlah perusahaan industri manufaktur yang bertambah diikuti pula dengan pertambahan jumlah pekerja yang meningkat sebanyak 3x lipat dari tahun 1990 hingga tahun 2014 dengan prosentase pekerja yang mendominasi adalah pekerja yang bekerja di pulau jawa sebanyak 83,49% (BPS, 2015). Sebuah industri harus mampu memproduksi suatu produk yang maksimal dan berkualitas, tetapi kadang kala kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan pekerja kurang diperhatikan, oleh karena itu perlu diupayakan adanya perlindungan kepada pekerja terhadap timbulnya bahaya-bahaya akibat pekerjaan atau bahaya yang akan ditimbulkan (Suma’mur, 2009).

Perlindungan kepada pekerja terhadap timbulnya bahaya-bahaya akibat pekerjaan diatur dalam aturan hukum Undang-Undang Republik Indonesia No. 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 86 menegaskan bahwasanya setiap buruh/pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal (Depnakertrans, 2013). Konsep keselamatan

(2)

kerja dalam aspek K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut ILO (1995) yang disadur dalam Setyawati (2013) lebih berhubungan dengan teknologi yang digunakan, proses produksi, dan manajemen sehari-hari dalam melaksanakan pekerjaan, sedangkan konsep kesehatan kerja lebih menitikberatkan pada hubungan antara pekerjaan dan kesehatan terutama aspek lingkungan kerja, aspek ergonomi dan faktor manusia yang masuk dalam aspek kesehatan pekerja. Bentuk penerapan K3 sebagai upaya perlindungan kepada pekerja dari risiko akibat faktor yang dapat mengganggu kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Upaya yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan kerja meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dimana aspek gizi menjadi salah satu upaya promotif dan preventif dalam kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja (Depnakertrans, 2008).

Buchari (2007) menambahkan, kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam kesehatan kerja. Kapasitas kerja yang baik diikuti oleh status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima sehingga pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Status gizi merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam konteks K3 sebagai bagian dari pencapaian kapasitas kerja yang baik guna mencapai efisiensi dan produktivitas kerja. Ketahanan dan kemampuan tubuh untuk melakukan pekerjaan dengan produktivitas yang memadai akan lebih dimiliki oleh individu dengan status gizi dan status yang baik (Widiastuti dan Dieny, 2011). Sebagai salah satu industri manufaktur lampu ternama di Indonesia, PT. X telah berupaya menerapkan

(3)

konsep K3 sesuai dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang menjamin keselamatan serta kesehatan kerja pekerjanya. Bentuk pelayanan kesehatan kerja yang telah dilakukan berupa terbentuknya unit/bagian EHS (Environment Health Safety) dan Poliklinik kesehatan dengan berbagai program kerja yang terarah, terkoordinasi dengan baik guna memelihara dan meningkatkan status kesehatan pekerja di industri tersebut. Berdasarkan studi pendahuluan, PT. X telah memberlakukan pengecekan kesehatan berkala setiap 3 bulan sekali, pengecekan awal yang dilakukan di awal tahun, dan pengecekan khusus. Bila ditemukan pekerja yang memiliki status kesehatan tidak baik maka akan dilakukan pemanggilan untuk diintervensi secara kuratif dan diberi motivasi agar selalu meningkatkan status kesehatannya. Upaya pelayanan kesehatan kesehatan kerja terkait gizi yang dilakukan bersifat promotif dan preventif, seperti terpasangnya poster-poster terkait kesehatan di poliklinik, poster-poster dan food model terkait gizi (konsep pedoman gizi seimbang), selain itu terpasang pula papan/poster yang memuat konten K3 berupa peringatan hazard di tempat kerja yang disetiap lokasi yang berpotensi menimbulkan hazard pada pekerja. Disamping itu, staff klinik selalu melakukan quality control terhadap penyelenggaraan makan pada pekerja setiap harinya dengan cara pengamatan langsung (berkunjung ke dalam kantin perusahaan) maupun secara tidak langsung (menimbang makanan katering dan menghitung kalori pekerja).

Penghitungan kalori menjadi hal yang penting dilakukan mengingat bahwa energi bagi pekerja diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan serta mengupayakan produktivitas kerja yang optimal. Seperti yang telah kita ketahui, bekerja memerlukan energi yang

(4)

menghasilkan panas untuk melakukan pekerjaan (Ginting, 2013). Energi didapati dari konsumsi karbohidrat, lemak dan protein dalam diit sehari. Jika asupan energi tidak adekuat, tidak menutup kemungkinan tubuh akan memecah protein sebagai pengganti energi. Sementara itu, protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel dan jaringan. Dengan demikian, kekurangan asupan protein akan sangat mempengaruhi berbagai kondisi tubuh yang diperlukan untuk tetap sehat optimal. Penelitian Widiastuti bersama dengan Dieny (2011) melihat faktor determinan produktivitas kerja pada pekerja wanita di suatu perusahan garmen di Indonesia, dalam penelitiannya dinyatakan bahwa 45% subyek yang tergolong dalam asupan energi kurang memiliki produktivitas kerja yang kurang dibandingkan dengan subyek yang tergolong dalam asupan energi cukup. Asupan energi dan protein yang kurang dapat menyebabkan tenaga kerja menjadi lambat berpikir, lambat bertindak dan cepat lelah (Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita (2005) dalam Widiastuti dan Dieny (2011)). Asupan energi dan protein diketahui memiliki hubungan dengan kadar hemoglobin pekerja, seperti pada penelitian yang dilakukan Mantika (2014) yang melihat hubungan asupan energi, protein, zat besi dan aktivitas fisik dengan kadar hemoglobin tenaga kerja wanita di pabrik pengolahan rambut PT. Won Jin Indonesia. Dalam penelitian tersebut, didapati hubungan antara asupan energi (r=0,418) dan asupan protein (r=0,611) serta asupan zat besi (r=0,547) dengan kadar hemoglobin. Asupan protein yang inadekuat dapat mengakibatkan gangguan pada metabolisme besi sehingga dapat mempengaruhi pembentukan hemoglobin dan berdampak pada munculnya anemia.

(5)

Di Indonesia prevalensi anemia pada kelompok umur wanita produktif relatif besar yaitu berkisar 40-57% (Depkes RI, 2003). Pekerja perempuan di Indonesia yang berada dalam rentang usia reproduksi mempunyai permasalahan kesehatan. Kementrian Kesehatan RI (2015) melaporkan situasi kesehatan kerja berdasarkan hasil penelitian di beberapa industri di Tangerang, Jakarta dan Depok yang memperlihatkan bahwa anemia pada pekerja perempuan menunjukkan besaran antara 24-42%. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada wanita usia subur (WUS) sebesar 24,6%. Padahal, anemia gizi besi dapat mengakibatkan pekerja menjadi rentan sakit dan rentan mengalami kecelakaan kerja yang dapat meningkatkan angka absentisme (Kemenkes RI, 2015). Kurangnya konsumsi zat besi pada masyarakat Indonesia disebabkan lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati yang lebih rendah kandungan zat besinya daripada makanan hewani yang tinggi kandungan zat besi, sehingga sangat beresiko terhadap terjadinya anemia. Haas (2001) dalam Khatun et al. (2013) mengungkapkan bahwa kekurangan zat besi pada pekerja yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin memiliki output kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang memiliki kadar hemoglobin normal.

Aspek kesejahteraan pekerja yang sering dirasa kurang diperhatikan namun memegang peranan penting terhadap kinerja pekerja yaitu kecukupan cairan. Air minum menjadi hal yang sangat dibutuhkan bagi pekerja sebagai pengganti cairan tubuh. Maka dari itu, akses mendapatkan air minum di semua tempat kerja menjadi hal yang perlu diperhatikan. Dampak dari luputnya perhatian pekerja terhadap asupan cairan ialah dehidrasi. Dehidrasi

(6)

pada pekerja dapat berakibat pada gangguan kesehatan seperti kram, lelah, pingsan dan mengalami kecelakaan kerja yang dapat menurukan angka produktivitas kerja (ILO, 2013). Dehidrasi pada pekerja sangat memungkinkan terjadi pada pekerja yang terpapar panas setiap harinya. Menurut Alim (2014), tubuh menghasilkan panas guna memelihara kelangsungan fungsi organ tubuh. Panas tubuh tersebut tergantung dari beberapa faktor diantaranya aktivitas, tempat beraktivitas, dan lama bekerja yang kemudian dapat menyebabkan proses pengeluaran cairan melalui keringat cukup banyak, dan kekurangan cairan eksternal (dehidrasi). The Indonesian Hydration Regional Study (THIRST) menyatakan bahwa 42,5% orang dewasa mengalami kurang air tingkat ringan (Hardinsyah, 2010). Sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa asupan cairan berpengaruh terhadap status hidrasi yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bates dan Parker (2001) yang meneliti status hidrasi pada 31 penebang kayu hutan di New Zealand yang berjenis kelamin laki-laki ini menunjukkan bahwa pekerja bekerja dengan kondisi hipohidrasi dan mengonsumi cairan yang tidak mencukupi untuk mengganti cairan tubuh yang hilang melalui keringat yang ditunjukkan dengan hasil rerata berat jenis urin 1,022 dengan rerata asupan cairan yang dikonsumsi sebanyak 1124 ml. Bates dan Parker (2001) menambahkan bahwa hidrasi yang buruk pada pekerja penebang kayu hutan dapat menggambarkan risiko kesehatan jangka pendek dan jangka panjang. Dehidrasi diketahui dapat mempengaruhi fungsi kognitif terkait produktivitas kerja seperti konsentrasi pekerja, keterampilan/performa kerja dan kewaspadaan (Brake, 2001).

PT. X merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur lampu yang mempekerjakan sebanyak 450 pekerja yang dibagi

(7)

menjadi 3 shift kerja yaitu shift pagi yang bekerja pada pukul 06.00-14.00 WIB, shift siang bekerja pada pukul 14.00-22.00 WIB, dan shift malam bekerja pukul 22.00-06.00 WIB. Tiap shift bekerja selama 8 jam dan setiap 4 jam sekali, pekerja diberikan waktu untuk istirahat. Menurut ILO (2013), penyediaan ruang makan atau kantin akan menunjang gizi kerja yang data berdampak pada kapasitas kerja. Pada praktiknya, perusahaan ini telah berupaya menjamin kesehatan dan keselamatan kerja dilihat dari penyediaan makan bagi karyawan di kantin/ruang makan dengan sistem outsourcing dalam penyelenggaran makannya. Namun demikian, asupan saja belum bisa menjamin status kesehatan pekerja, seperti aspek berat/beban pekerjaan yang dapat mempengaruhi status kesehatan pekerja (Sandi, 2008).

Selain aspek gizi kerja, beberapa kondisi penting lainnya juga perlu untuk diperhatikan seperti lingkungan kerja, kebosanan di tempat kerja, monotoni pekerjaan, beban mental dan beban fisik di tempat kerja agar selalu dipertimbangkan guna meningkatkan produktivitas pekerja (Appley & Trumbull, 1967 dalam Setyawati, 2013) Secara garis besar pekerjaan dapat menjadi suatu beban fisik, psikis maupun sosial bagi pekerja. Kurniawan (1977) dalam Setyawati (2013) mengkategorikan pekerjaan menjadi tiga sesuai dengan bebannya, yaitu pekerjaan yang memerlukan tenaga pikiran, pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik dan pekerjaan yang memerlukan keduanya. BPS (2002) mempublikasikan KBJI (Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan) tentang pengelompokan jenis pekerjaan berdasarkan spesialisasi keahlian yang spesifik. Sementara itu, OSHA (2011) (Occupational Safety & Health Administration) mengkategorikan jenis pekerjaan kedalam tiga golongan, yaitu jenis pekerjaan ringan, sedang dan berat. Jenis pekerjaan

(8)

ringan merupakan jenis pekerjaan yang sangat sedikit menggunakan otot dalam melakukan suatu pekerjaan. Jenis pekerjaan sedang yaitu jenis pekerjaan yang menggunakan otot lengan dan tangan saat bekerja dan jenis pekerjaan berat adalah jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan otot dan tubuh saat bekerja seperti mengangkut dan memindahkan barang. Jenis pekerjaan yang terdapat pada penelitian yang berlangsung di PT.X terbagi menjadi jenis pekerjaan kantor, operator dan mekanik yang telah dikategorikan berdasarkan kegiatan/aktifitas yang dilakukan oleh pekerja di tiap jenis pekerjaan. Gambaran mengenai kondisi pekerja di PT. X sebelumnya telah dilakukan oleh Wambrauw dan Setyawati (2010) dalam studi pendahuluannya mengenai “Stress Kerja Ditinjau dari Shift Kerja dan Beban Kerja pada Pekerja Wanita di PT. X”, didapati bahwa pekerja PT.X mengeluhkan bahwa mereka merasa lelah meskipun belum melakukan pekerjaan apapun, dalam melakukan pekerjaan sering sekali melakukan kekeliruan, merasa sulit tidur jika sedang mempunyai masalah di tempat kerja serta merasa belum puas dengan pekerjaan yang telah dilakukannya. Keluhan ini mengarah pada stress kerja yang dialami pekerja yang ditunjukkan dengan gejala psikologis, fisiologis dan perilaku. Disamping itu, Wambrauw dan Setyawati (2010) menambahkan, pekerjaan yang dilakukan pekerja termasuk kedalam golongan pekerjaan dengan beban kerja sedang. Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut sangat bervariasi dan terdapat beberapa jenis pekerjaan yang monoton ditambah dengan beban mental berupa tuntutan untuk dapat memroduksi produk dalam jumlah tertentu. Hal ini diperparah dengan posisi kerja dari pekerja yang paling lama

(9)

dalam melakukan pekerjaan yakni duduk dan berjalan sehingga menimbulkan kebosanan dan penurunan semangat kerja dari pekerja.

Kondisi lingkungan kerja yang nyaman akan mempengaruhi pekerja untuk meningkatkan kapasitas kerjaya menjadi lebih optimal. Lingkungan kerja secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik (Intanghina, 2001 dalam Nurmalinda, 2008). Yang termasuk dalam lingkungan kerja fisik yaitu seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna dan lain-lain. Sementara lingkungan kerja nonfisik adalah semua yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan kerja sesama rekan kerja, hubungan dengan atasan maupun dengan bawahan. Tarwaka (2004) mengkategorikan lingkungan kerja fisik menjadi mikroklimat (unsur suhu udara, kelembaban nisbi, panas radiasi dan gerakan udara), kebisingan dan penerangan yang dapat berdampak pada status kesehatan pekerja. Seperti halnya pengaruh fisiologis akibat tekanan panas yaitu dapat mengakibatkan vasodilatasi, denyut jantung meningkat, temperature kulit meningkat, dehidrasi, dan kelelahan. Maka dari itu, kondisi lingkungan kerja dapat menjadi beban tambahan bagi pekerja yang berakibat pada timbulnya gangguan/penyakit akibat kerja (Buchari, 2007).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, PT.X memberlakukan sistem kerja bergilir/shift kerja sebanyak 3 shift untuk memenuhi permintaan lampu oleh konsumen yang terus meningkat. Pekerja yang dipekerjakan dalam bagian produksi (dalam penelitian ini yaitu pekerja operator) didominasi oleh pekerja wanita. Pekerja operator lebih membutuhkan pekerja wanita dikarenakan sifat pekerjaan pada jenis pekerjaan ini adalah pekerjaan yang

(10)

membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Sementara itu, untuk pekerja mekanik lebih didominasi oleh pekerja laki-laki dikarenakan sifat pekerjaannya yang leih membutuhkan strength dibandingkan dengan ketelitian.

Beban kerja semakin berat apabila tenaga kerja juga dituntut untuk bekerja dengan ritme pekerjaan yang lebih cepat dan target produksi yang lebih tinggi. Sedangkan berat ringannya dampak potensi bahaya tergantung dari jenis, besar potensi bahaya dan tingkat risikonya. Beban kerja yang terlalu berat yang dibebankan kepada pekerja akan mengarah kepada kelelahan kerja. Kelelahan kerja pada pekerja berujung pada penurunan produktivitas kerja yang ditandai dengan menurunnya kualitas hasil produksi (Depnakertrans, 2008). Sehingga, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pekerja, namun kerugian juga dirasakan oleh perusahaan. Kelelahan yang dialami pekerja dapat berupa kelelahan fisik, mental dan reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan mudah marah (Manuaba, 2000 dalam Ulfah, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Model Kuantitatif Manajemen Kelelahan dan beban Kerja untuk Peningkatan Produktivitas Pekerja Penggilingan Padi” menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelelahan kerja dan beban kerja terhadap produktivitas kerja dimana setiap kenaikan 1 mili/detik kelelahan kerja akan meningkatkan produktivitas kerja sebesar 1 ton/hari dan setiap penurunan 1 kali/menit beban kerja maka akan meningkatkan produktivitas kerja sebanyak 1 ton/hari.

Permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan diatas menjadi alasan perlunya penelitian ini dilakukan. Penelitian ini akan dilakukan di PT. X yang bergerak di bidang manufaktur lampu di Sleman, Yogyakarta.

(11)

B. Perumusan masalah

1. Apakah terdapat perbedaan status hidrasi pada setiap kategori jenis pekerjaan dan asupan minum pekerja PT. X?

2. Apakah terdapat perbedaan kadar Hb pada setiap kategori jenis pekerjaan, asupan energi dan protein pekerja PT. X?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

a. Mengetahui perbedaan status hidrasi pada setiap kategori jenis pekerjaan dan asupan minum pekerja PT. X

b. Mengetahui perbedaan kadar Hb pada setiap kategori jenis pekerjaan, asupan energi dan protein pekerja PT. X

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui prevalensi dehidrasi pada pekerja PT. X b. Mengetahui prevalensi anemia pada pekerja PT. X

c. Mengetahui perbedaan status hidrasi pada setiap kategori jenis pekerjaan pekerja PT.X

d. Mengetahui perbedaan status hidrasi pada setiap kategori asupan minum pekerja PT.X

e. Mengetahui perbedaan kadar Hb pada setiap kategori jenis pekerjaan pekerja PT.X

f. Mengetahui perbedaan kadar Hb pada setiap kategori asupan energi dan protein pekerja PT.X

(12)

D. Manfaat penelitian

1. Bagi peneliti adalah untuk menambah pengetahuan, mengaplikasikan teori dalam melakukan penelitian dan juga untuk menambah pengalaman dalam melakukan observasi di lapangan.

2. Bagi pekerja adalah sebagai motivasi untuk meningkatkan status hidrasi, meningkatkan asupan zat besi untuk memelihara kadar hemoglobin yang normal, dan untuk meningkatkan performa kerja sehingga tercipta pelayanan yang optimal.

3. Bagi perusahaan adalah sebagai bahan informasi mengenasi keadaan kesehatan pekerja sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan perusahaan dalam pemberian intervensi kesehatan pekerja sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pekerja.

E. Keaslian penelitian

1. Penelitian yang dilakukan oleh Khatun et al. (2013) di kota Dhaka, Bangladesh. mengenai “Anemia among Garment Factory Workers in Bangladesh” dengan metode cross sectional mengambil sample penelitian sebanyak 106 pekerja garmen yang telah memiliki pengalaman kerja di perusahaan garmen selama 6 bulan di perusahaan yang menjadi tempat pengambilan sampel. Kadar hemoglobin diukur sesuai dengan metode standar sianmethemoglobin dimana seorang pekerja dikatakan anemia apabila kadar hemoglobinnya <12g/dl untuk wanita dan <13g/dl untuk pria. Status anemia untuk wanita juga diklasifikaskan menjadi anemia ringan (11-11,99g/dl), sedang (8-10,99g/dl) dan berat (<8g/dl). Sementara untuk pria juga sama, hanya saja untuk kategori ringan kisarannya adalah 11-12,99g/dl. Hasil penelitiannya kemudian

(13)

menunjukan bahwa anemia lebih banyak ditemukan pada responden wanita sebesar 77% dibandingkan dengan responden pria yang hanya mencapai 17% dari total responden. Dan ada hubungan yang signifikan antara BMI (Body Mass Index) dengan kadar hemoglobin pada pekerja garmen di Bangladesh (r = 0,23, p<0,02). Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah desain penelitiannya, dan variabel terikatnya, sementara perbedaannya terletak pada variabel bebasnya, subjek, dan lokasi penelitian.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Andayani (2013) adalah mengenai “Hubungan Konsumsi Cairan dengan Status Hidrasi pada Pekerja Industri Laki-laki” dengan desain cross sectional bertempat di PT Komatsu Indonesia Jakarta dengan jumlah sampel 73 subjek yang dipilih dengan metode simple random sampling. Penelitian yang bersifat observasional ini mengukur status hidrasi dengan pemeriksaan berat jenis urin, konsumsi cairan yang diukur dengan recall selama 3x24 jam, dan gejala dehidrasi yang diukur dengan kuesioner. Kemudian, pada penelitian tersebut ditemukan bahwa hanya 28,8% pekerja yang memiliki status hidrasi baik dan ditemukan adanya hubungan antara konsumsi cairan dengan status hidrasi (r= -0,319 dan p= 0,006). Persamaan dengan penelitian ini adalah profil urin setelah bekerja diukur sebagai penilaian status hidrasi sementara perbedaannya adalah terletak pada variasi variabel bebas, subjek serta lokasi penelitiannya.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Tiarasari dan Setyawati (2014) adalah sebuah penelitian observasional dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim kerja dengan asupan

(14)

cairan dan status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta. Pengukuran iklim kerja meggunakan Indeks Suhu Basah dan bola (ISBB) questemp 36. Sedangkan asupan cairan diperoleh dari pencatatan pada formulir 3-days fluid specific dairy. Serta status hidrasi diukur dengan penilaian warna dan berat jenis urin setelah bekerja. Kemudian dari penelitian tersebut, terdapat hubungan antara iklim kerja dengan asupan cairan dan antara asupan cairan dengan status hidrasi dengan p>0,05. Persamaan penelitian ini adalah desain penelitiannya sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas dan terikatnya, subjek, serta lokasi penelitiannya.

Referensi

Dokumen terkait

informasi publik ini dibatasi dengan hak individual dan privacy seseorang terkait dengan data kesehatan yang bersifat rahasia (rahasia medis). Jadi dalam hal ini dapat dianalisis

m2, plafon Gypsum Rangka Holo dengan luasan 186,76 m2, sistem informasi perawatan dan perbaikan masing-masing plafon serta alat dan bahan dan penentuan waktu 2

Kefahaman mereka ke atas sumber-sumber ajaran dan hukum Islam (al-Qur’an dan Al- Sunnah) yang terbatas hanya kepada makna tekstual (harfiah, literal) mengakibatkan mereka

Sembiring (2013) dan Honggowibowo (2009) menyatakan bahwa penggunaan teknologi sistem pakar dapat mempermudah petani untuk melihat dan mengetahui jenis, karakter, dan cara

Memahami lebih dalam dan mengimplementasikan arsitektur Autoencoder (AE) - Dasar arsitektur Autoencoder (AE) diciptakan - Permasalahan dimensi dan dimensionality

Perusahaan Belanda, yang kini hampir selama satu abad memperluas perdagangan- nya di Kerajaan Siam di bawah nenek moyang Duli Yang Maha Mulia Paduka Raja yang sangat luhur,

Berdasarkan penjelasan dari hasil penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan bahwa proses kerja public relations @infobdg dalam

NO NOMOR PESERTA NAMA MAPEL TEMPAT TUGAS KAB/KOTA.. 1 14050402820582 MIFTAKHUR ROHMAH GK MI MIS AL