• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sindrom metabolik dan depresi merupakan dua penyakit yang prevalensi dan insidensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Sindrom metabolik prevalensinya semakin meningkat akibat gaya hidup yang berubah, pola diet tinggi kalori dan aktifitas fisik yang cenderung santai/bermalas-malasan. Tingginya prevalensi obesitas menjadi pemicu meningkatnya prevalensi sindrom metabolik. Pasien sindrom metabolik berisiko untuk mengalami komplikasi diabetes melitus dan penyakit kardiovaskuler yang merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia(Eckel, 2008).

Prevalensi sindrom metabolik bervariasi di seluruh dunia, tergantung umur, ras, suku, dan kriteria diagnosis yang digunakan. Prevalensi tertinggi di dunia yang diketahui adalah pada penduduk asli Amerika yaitu hampir 60% pada wanita umur 45-49 tahun dan 45% pada laki-laki umur 45-49 tahun menurut kriteria National Cholesterol and Education Program, Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III). Di Amerika Serikat sindrom metabolik lebih sedikit terjadi pada penduduk laki-laki Amerika Afrika tetapi lebih sering pada wanita Amerika Meksiko. Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III prevalensi sindrom metabolik menurut jenis kelamin di Amerika Serikat adalah 34% untuk laki-laki dan 35% untuk wanita. Di Perancis, sebuah penelitian cohort pada populasi umur 30-64 tahun menunjukkan prevalensi kurang dari 10% untuk masing-masing jenis kelamin, meskipun 17,5% penduduk

(2)

umur 60-64 tahun mengalami sindrom metabolik. Berkembangnya industrialisasi di seluruh dunia meningkatkan jumlah obesitas dan prevalensi sindrom metabolik secara dramatis, khususnya pada penduduk dewasa tua. Lebih jauh lagi, peningkatan prevalensi dan keparahan obesitas menyebabkan timbulnya sindrom metabolik pada kelompok usia muda(Eckel, 2008).

Depresi merupakan gangguan jiwa yang prevalensinya juga semakin banyak di dunia. Sekitar 15% populasi pernah mengalami episode depresi mayor selama hidupnya dan sekitar 6-8% pasien rawat jalan di pusat pelayanan kesehatan primer memenuhi kriteria gangguan ini. Depresi sering tidak terdiagnosis, dan lebih sering diterapi secara tidak adekuat. Sekitar 4-5% pasien depresi akan melakukan bunuh diri, dan sebagian besar sudah berusaha memeriksakan diri ke dokter pada 1 bulan terakhir sebelum kematiannya(Reus, 2008).

Pada pasien depresi akan terjadi hiperreaktifitas neuroendokrin yang memacu aksis hipothalamus-pituitari-adrenal dan menyebabkan peningkatan kadar kortisol darah yang dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya sindrom metabolik. Penanganan depresi dan faktor-faktor risiko sindrom metabolik sangat penting untuk mencegah peningkatan jumlah akumulatif penderita sindrom metabolik serta mencegah komplikasinya (Fan, 2007; Vogelzangs, 2010).

Depresi juga mempersulit penanganan sindrom metabolik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya depresi mempersulit kontrol glukosa darah pada pasien sindrom metabolik dan diabetes melitus (Zuberi et al., 2011; Pouwer &

(3)

Snoek, 2001; Zihl et al., 2010). Depresi menurunkan kualitas hidup pada pasien sindrom metabolik dan diabetes melitus (Eren et al., 2008; Hyvarinen et al., 2007). Adanya depresi dapat meningkatkan risiko kejadian sindrom metabolik di waktu mendatang (Vanhala et al., 2009). Di sisi lain adanya sindrom metabolik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi di kemudian hari (Dortland et al., 2010; Akbaraly et al., 2011).

Hubungan sindrom metabolik dengan depresi bersifat timbal balik dan bervariasi menurut jenis kelamin, usia, pekerjaan serta ras pada populasi penelitian (Akbaraly et al., 2011; Toker et al., 2008; Heiskanen et al., 2009; Akbaraly et al., 2009; Hartley et al., 2012; Meittola et al., 2008). Meskipun demikian ada juga penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara depresi dengan sindrom metabolik (Demirci et al., 2011; Hildrum et al., 2009; Foley et al., 2010).

Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang. Karena ada stresor, individu terpaksa harus menyesuaikan diri untuk menanggulangi stresor yang timbul. Dengan perkataan lain stresor adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan stres. Stresor psikososial dapat memicu terjadinya depresi. Stres kronik dapat memicu timbulnya sindrom metabolik. Jenis stresor psikososial dapat dikelompokkan menjadi masalah perkawinan, masalah keluarga, masalah hubungan interpersonal, masalah pekerjaan, lingkungan hidup, masalah hukum, keuangan dan penyakit fisik (Mudjaddid & Shatri, 2009).

(4)

Faktor risiko sindrom metabolik selain faktor risiko klasik seperti obesitas, kelainan hormonal, tingginya asupan karbohidrat, rendahnya aktifitas fisik, riwayat keluarga, merokok dan konsumsi alkohol juga melibatkan faktor risiko psikososial, tingkat sosial ekonomi, tipe kepribadian dan kesulitan beradaptasi dengan stres (Fan, 2007). Faktor sosial ekonomi dan kebiasaan hidup juga dapat menjadi faktor penyebab timbulnya obesitas yang dapat mengarah pada sindrom metabolik (Bethesda, 2010).

Status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan diduga menjadi faktor risiko yang memperkuat hubungan antara obesitas dengan gangguan mental. Data penelitian menunjukkan status sosial ekonomi yang rendah khususnya pada wanita meningkatkan risiko terjadinya gangguan mental pada individu obes. Sementara penelitian lain menunjukkan justru status sosial ekonomi tinggi meningkatkan risiko depresi pada pasien obes. Terapi manajemen stres secara efektif membantu pasien obes mengendalikan berat badan dan mood (Gatineau & Dent, 2011). Penelitian meta analisis membuktikan intervensi psikologi dan perilaku mendukung keberhasilan terapi diet pada pasien dengan obesitas (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2010).

Penelitian di Finlandia menunjukkan subjek penelitian yang mengalami peristiwa kehidupan yang membuat stres, khususnya masalah pekerjaan dan keuangan, berisiko lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik (Pyykkonen et al., 2010). Model patologi yang dikembangkan oleh Vitaliano et al. (2002) menunjukkan adanya hubungan antara stres kronik dengan sindrom metabolik yang akhirnya mengarah pada penyakit jantung koroner, khususnya pada laki-laki

(5)

dewasa, sedangkan pada wanita hubungannya lebih lemah. Pada wanita pasca menopaus yang menggunakan terapi sulih hormon hubungan ini tidak ditemukan. Tulisan ilmiah Bjontorp (2001) telah memaparkan bahwa stres kronik dapat menimbulkan obesitas sentral dan komorbiditasnya melalui aktifasi aksis Hipothalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatis yang memicu hiperkortisolisme. Lebih jauh lagi Chrousos (2000) memaparkan bahwa stres dan aktifasi aksis HPA berperan dalam timbulnya sindrom metabolik dengan menimbulkan hiperkortisolisme dan obesitas viseral yang diperantarai glukokortikoid.

B. Perumusan Masalah

Stresor psikososial atau stres kronik dapat memacu aksis hipothalamus-pituitari-adrenal sehingga meningkatkan kortisol dalam darah. Hiperkortisolisme dalam jangka lama dapat menyebabkan timbulnya resistensi insulin atau sindrom metabolik melalui obesitas sentral (Bjontrop, 2001; Vogelzangs, 2010). Hiperkortisolisme dapat menimbulkan gangguan neurobiologi pada amigdala dan korteks frontalis serebri yang bermanifestasi pada gangguan emosi, mood dan depresi (Sharpley, 2009). Stresor psikosial yang tidak diadaptasi dengan baik dapat menimbulkan gejala depresi (Mudjaddid & Shatri, 2009). Permasalahan pada penelitian ini adalah jenis stresor psikososial apa saja yang merupakan faktor risiko terjadinya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik.

C. Pertanyaan Penelitian

Apa saja jenis stresor psikososial yang merupakan faktor risiko timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik?

(6)

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis stresor psikososial yang merupakan faktor risiko timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yaitu memberikan informasi mengenai jenis stresor psikososial yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi dokter atau klinisi agar dapat menangani pasien sindrom metabolik secara holistik, khususnya dari aspek psikososial.

F. Keaslian Penelitian

Ada beberapa penelitian yang terkait dengan stresor psikososial, depresi dan sindrom metabolik yang didapatkan dari penelusuran referensi. Pyykkonen et al. (2010) dalam publikasi penelitian yang berjudul Stressful Life Events and the Metabolic Syndrome memaparkan bahwa subjek penelitian yang melaporkan adanya kejadian hidup yang membuat stres khususnya dalam pekerjaan dan keuangan berisiko lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional berbasis populasi dengan jumlah sampel 3407. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah sama-sama meneliti tentang stresor psikososial dan kaitannya dengan sindrom metabolik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilaksanakan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang meneliti stresor psikososial sebagai faktor risiko terjadinya depresi pada pasien sindrom metabolik di rumah sakit.

(7)

Vitaliano et al. (2002) melaporkan penelitian yang berjudul A Path Model of Chronic Stress, the Metabolic Syndrome, and Coronary Heart Disease. Penelitian ini merupakan penelitian cohort dengan jumlah subjek 72 orang dan follow up 27-30 bulan. Model patologi yang disusun menunjukkan bahwa stres kronik dapat menimbulkan sindrom metabolik dan pada akhirnya menimbulkan penyakit jantung koroner. Hubungan ini terutama ditemukan pada pria, hubungan yang lebih lemah ditemukan pada wanita. Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon tidak menunjukkan adanya pola ini. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah meneliti stres kronik dan kaitannya dengan sindrom metabolik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang meneliti jenis stresor psikososial yang merupakan faktor risiko gejala depresi pada pasien sindrom metabolik.

Raikkonen et al. (2007) melaporkan penelitian yang berjudul Depressive Symptoms and Stressful Life Events Predict Metabolic Syndrome among Middle-Aged Women. Penelitian ini merupakan penelitian cohort dengan subjek 523 wanita, dievaluasi tiap 3 tahun sampai 17 tahun pasca menopaus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor psikososial dapat memprediksi terjadinya sindrom metabolik pada wanita usia dewasa. Gejala depresi, kejadian hidup yang membuat stres, serta perasaan mudah marah dan tegang berhubungan dengan risiko kumulatif terjadinya sindrom metabolik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sama-sama meneliti stresor psikososial dalam kaitannya dengan sindrom metabolik, sedangkan perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang akan

(8)

meneliti jenis stresor psikososial yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya depresi pada pasien sindrom metabolik.

Chandola et al. (2006) melaporkan penelitian yang berjudul Chronic Stress at Work and the Metabolic Syndrome: Prospective Study. Penelitian ini merupakan penelitian cohort dengan jumlah sampel 10308 orang dan follow up 14 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres terutama yang terkait dengan pekerjaan merupakan faktor risiko penting terjadinya sindrom metabolik. Stresor psikososial dalam kehidupan sehari-hari dapat memicu terjadinya penyakit jantung. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama meneliti stres dan sindrom metabolik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ini meneliti stresor psikososial, tidak hanya stres terkait pekerjaan, yang dapat menjadi faktor risiko terhadap timbulnya gejala depresi pada pasien sindrom metabolik.

Sharpley (2009) melaporkan penelitian literature review yang berjudul Neurobiological Pathways Between Chronic Stress and Depression: Dysregulated Adaptive Mechanism. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stres kronik dapat memacu terjadinya respon yang berlebihan dari aksis HPA sehingga terjadi hiperkortisolisme. Kondisi hiperkortisolisme mengganggu sistem neurobiologi di amigdala dan korteks frontalis serebri sehingga memicu terjadinya depresi. Penelitian tersebut menjadi salah satu dasar teori yang dijadikan acuan pada penelitian yang akan dilaksanakan ini. Persamaannya adalah sama-sama meneliti kaitan antara stresor psikososial dengan depresi. Perbedaannya adalah penelitian

(9)

yang akan dilakukan ini merupakan penelitian kasus kontrol yang dilakukan pada subjek dengan sindrom metabolik.

Tabel 1. Ringkasan Referensi Utama Penelitian

No Nama Peneliti Tahun Metode Sampel Jumlah Hasil

1. Pyykkonen et

al. 2010 cross sectional 3407 Subjek penelitian yang melaporkan adanya kejadian hidup yang membuat stres dalam pekerjaan dan keuangan berisiko lebih tinggi mengalami sindrom metabolik.

2. Vitaliano et al. 2002 cohort 72 Stres kronik dapat menimbulkan

sindrom metabolik dan penyakit jantung koroner.

3. Raikkonen et

al. 2007 cohort 523 Gejala depresi, kejadian hidup yang membuat stress, perasaan mudah marah dan tegang berhubungan dengan risiko kumulatif terjadinya sindrom metabolik.

4. Chandola et al. 2006 cohort 10308 Stres terutama yang terkait dengan

pekerjaan merupakan faktor risiko penting terjadinya sindrom metabolik

5. Sharpley 2009 literature

review Stres kronik dapat memacu aksis HPA sehingga terjadi

hiperkortisolisme. Kondisi hiperkortisolisme mengganggu sistem

neurobiologi di amigdala dan korteks frontalis sehingga terjadi depresi.

6. Akabaraly et al. 2009 cohort 5232 Adanya sindrom metabolik

berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gejala depresi di kemudian hari dengan OR 1.38 (95% CI 1.02–1.96). Obesitas sentral, trigliserid tinggi dan kolesterol HDL rendah merupakan faktor prediktif timbulnya gejala depresi.

7. Akbaraly et al. 2011 cohort 4446 Sindrom metabolik berhubungan

dengan peningkatan onset baru gejala depresi pada pasien kelompok usia 65-70 tahun (OR 1.73, 95% CI 1.02– 2.95).

8. Koponen et al. 2008 cohort Pria dan wanita dengan sindrom

metabolik tanpa depresi berisiko untuk mengalami gejala depresi 2,2 kali lipat dibandingkan pria dan wanita tanpa sindrom metabolik dan tanpa gejala depresi.

(10)

Penelitian Akbaraly et al. (2009 dan 2011) serta penelitian Koponen et al. (2008) menunjukkan pasien sindrom metabolik lebih berisiko untuk mengalami gejala depresi di kemudian hari, baik pada pria, wanita, usia dewasa maupun usia lanjut, dibandingkan populasi tanpa sindrom metabolik. Akbaraly et al. (2009) menyatakan sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gejala depresi di kemudian hari dengan OR 1.38 (95% CI 1.02–1.96) pada populasi usia dewasa. Obesitas sentral, trigliserid tinggi dan kolesterol HDL rendah merupakan faktor prediktif timbulnya gejala depresi. Akbaraly et al. (2009) menyatakan sindrom metabolik berhubungan dengan peningkatan onset baru gejala depresi pada pasien kelompok usia 65-70 tahun (OR 1.73, 95% CI 1.02–2.95). Koponen et al. (2008) menyatakan pria dan wanita dengan sindrom metabolik tanpa depresi berisiko mengalami gejala depresi 2,2 kali lipat dibandingkan pria dan wanita tanpa sindrom metabolik dan tanpa gejala depresi. Ringkasan dari berbagai penelitian di atas dapat dilihat pada tabel 1.

Sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian tentang jenis stresor psikososial sebagai faktor risiko depresi pada pasien sindrom metabolik, khususnya di Indonesia. Penelitian lain yang terkait dan dijadikan acuan dalam penelitian ini dicantumkan dalam daftar pustaka.

Gambar

Tabel 1. Ringkasan Referensi Utama Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pembelajaran make a match menurut Febriana (2011) yaitu untuk menumbuhkan sikap saling menghormati, menumbuhkan sikap tanggung jawab, meningkatkan percaya diri

Lembar ini berisi daftar gambar yang telah digunakan pada laporan terdiri dari nomor gambar, judul gambar dan halaman.. Lembar

penelitian dan pengembangan olahan binahong maka perlu dilakukan penelitian dan pengamatan lebih lanjut, yang akan disesuaikan dengan proses operasi yang

bahwa dalam rangka mendukung Program Penghematan Energi dan Air di Iingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011

Pasal 23 dan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 tidak berkekuatan hukum mengikat artinya jual beli atau pengalihan hak atas tanah (harta tidak bergerak) disamakan dengan jual beli barang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada tabel 4.1, maka profil kemampuan dasar siswa di SMK Pembangunan Nasional Purwodadi yang muncul melalui

Nurutkeun Warsita (2008:71), Jarome Bruner ngusulkeun ieu tiori ku sebutanfree discovery learning. Ieu tiori dasarna tiori kognitif, anu ngébréhkeun yén diajar

Yang dimaksud dengan pragmatik adalah hubungan sebuah representament, keseluruhan sistem sign atau keseluruhan desain dengan interpreternya, audiens atau konsumennya.. Aspek