• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN. yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi didalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi tentang pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh petugas apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan terhadap pasien penderita batuk. Penelitian ini menggunakan metode simulasi pasien dimana seseorang dilatih untuk mengunjungi apotek dan memerankan skenario yang telah dibuat (Watson, 2006).

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah apotek yang berada pada sepuluh kecamatan di kota Medan.

3.2.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).

(2)

Apotek-apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan yang dijadikan sampel adalah Medan Johor, Medan Tuntungan, Medan Helvetia, Medan Sunggal, Medan Area, Medan Kota, Medan Barat, Medan Timur, Medan Baru, Medan Petisah. Pemilihan kecamatan tersebut yaitu berdasarkan jumlah apotek terbanyak. Berdasarkan data Menkes RI (2015), diketahui jumlah apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan adalah 334 apotek. Selanjutnya dilakukan perhitungan besar sampel dengan rumus Slovin (Umar, 2004) sebagai berikut:

 

2 1 N e N n   Keterangan : n = jumlah sampel N = besarnya populasi

e = nilai kritis atau batas ketelitian yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel)

 

2 1 , 0 334 1 334   n

0,01

334 1 334   n 34 , 3 1 334   n 34 , 4 334  n

Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan jumlah sampel sebanyak 76,95 apotek atau dibulatkan menjadi 77 apotek.

95 , 76

(3)

3.2.3 Kriteria inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi dalam sampel penelitian ini adalah apotek-apotek yang berada di sepuluh kecamatan di kota Medan, sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah apotek-apotek yang berada di dalam lokasi klinik dan rumah sakit pada sepuluh kecamatan di kota Medan.

3.3 Waktu dan Tempat Pengambilan Data Penelitian

Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 sampai dengan Februari 2017 di 77 apotek sampel yang berada pada sepuluh kecamatan di kota Medan.

3.4 Metode Pengambilan Sampel 3.4.1 Teknik sampling

Teknik sampling dalam penentuan sampel adalah kombinasi antara area sampling dan simple random sampling. Teknik area sampling yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengelompokkan wakil sampel dari setiap wilayah yang diteliti (Sugiyono, 2012).

Pemilihan penggunaan teknik ini adalah karena perbedaan jumlah populasi pada 10 kecamatan di kota medan. Agar semua kecamatan dapat terwakili, maka distribusi pengambilan sampel dilakukan pada setiap kecamatan secara proporsional. Pengambilan sampel pada setiap kecamatan dilakukan dengan teknik simple random sampling. Teknik simple random sampling yaitu

(4)

pengambilan sampel yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan adanya strata (Notoatmodjo, 2010). (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Distribusi apotek pada sepululuh kecamatan di Kota Medan

No Nama Kecamatan Populasi Sampel

1 Medan Johor 33 8 2 Medan Tuntungan 22 5 3 Medan Helvetia 30 6 4 Medan Sunggal 35 8 5 Medan Area 42 10 6 Medan Kota 43 10 8 Medan Barat 22 5 6 Medan Timur 44 10 9 Medan Baru 31 7 10 Medan Petisah 36 8 Jumlah 334 77

Dasar memilih teknik ini karena sampel dianggap sama/homogen yaitu tidak ada kriteria-kriteria tertentu pada apotek yang digunakan sebagai sampel dan apotek-apotek yang dijadikan sebagai sampel dipilih tanpa mempertimbangkan apotek itu besar atau kecil, terkenal atau tidak, tempatnya di mana, dan yang memberi informasi apoteker atau tenaga teknis farmasi. Prosedur pengambilan sampel adalah dengan cara undian.

3.4.2 Variabel penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang maupun objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan peneltian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit dan

(5)

sebagainya (Notoadmojo, 2010). Variabel pengamatan pada penelitian meliputi patient assessment, rekomendasi, dan informasi obat serta informasi non farmakologi dapat di pada Tabel 3.2

Tabel 3.2 Variabel penelitian

Objek Pengamatan Variabel Pengamatan

Patient assessment Ada/ tidaknya diajukan pertanyaan:

1. Berapa usia yang batuk ? 2. Siapa yang batuk ?

3. Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami gejala batuk ?

4. Apa obat-obat lain yang sedang digunakan ? 5. Berapa lama pasien batuk mengalami sakit ? 6. Apa faktor penyebab terjadinya batuk ? 7. Apa gejala yang dialami pasien ?

Rekomendasi Ada/ tidaknya rekomendasi dan berupa apa: 8. Rujukan ke dokter?

9. Rekomendasi obat?

Informasi obat Ada/ tidaknya informasi obat meliputi: 10. Indikasi 11. Kontraindikasi 12. Efek samping 13. Cara pemakaian 14. Dosis 15. Waktu pemakaian 16. Lama pemakaian 17. Perhatian

18. Terlupa minum obat 19. Cara penyimpanan 20. Cara perlakuan sisa obat 21. Identifikasi obat yang rusak Informasi non farmakologi Ada/ tidaknya Informasi non farmakologi:

22. Pola makan 23. Pola hidup

(6)

3.4.3 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Instrumen dalam penelitian ini adalah skenario, lembar checklist penelitian dan alat perekam suara.

3.4.3.1 Skenario

Skenario yang digunakan berisi informasi mengenai pasien dan hal-hal yang harus dilakukan pada saat simulasi pasien untuk memperlancar jalannya pengamatan. Skenario disiapkan untuk menghindari kecurigaan dari petugas apotek terhadap simulasi pasien yang dijalankan sehingga pengamatan yang dilakukan dapat optimal.

Skenario kasus batuk yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Peneliti datang ke apotek untuk membeli obat batuk.

2. Jika petugas apotek melakukan patient assessment, maka skenario yang digunakan peneliti adalah :

 Pasien : Prasetyo

 Jenis kelamin : Laki-laki

 Usia : 18 tahun

 Hubungan dengan peneliti : Adik

 Alamat : Jl. Bunga Cempaka

 Gejala yang dikeluhkan : Batuk, tenggorokan sakit, gatal, dan disertai pengeluaran dahak

(7)

 Tindakan yang sudah dilakukan : tidak ada

 Obat lain yang sedang digunakan : tidak ada 3.4.3.2 Checklist

Checklist adalah suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala/identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini, pengumpulan data menggunakan observasi dalam bentuk checklist. Dalam observasi, bentuk checklist data yang digunakan yaitu daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini peneliti hanya akan memberikan tanda check (√) jika kriteria yang dimaksud dalam format observasi ditunjukkan oleh petugas apotek.

Lembar checklist yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari beberapa penelitian terdahulu (Khadijah, 2015). Isi lembar checklist adalah patient assessment, rekomendasi, dan informasi terkait obat maupun non farmakologi sebagai pelayanan yang diberikan apotek kepada pasien penderita batuk. Lembar checklist dilengkapi oleh peneliti di luar apotek setelah mengunjungi apotek sampel.

3.4.3.3 Alat perekam suara

Pelaksanaan observasi agar dengan cermat memperoleh data, diperlukan beberapa alat bantu pendukung salah satunya adalah alat mekanik (electronic) contohnya alat perekam. Alat tersebut setiap saat dapat diputar kembali untuk memungkinkan mengadakan analisis secara teliti (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat perekam suara sebagai alat bantu dalam pengisian lembar checlist.

(8)

3.5 Definisi Operasional 3.5.1 Pelayanan swamedikasi

Pelayanan swamedikasi adalah pelayanan yang diberikan apoteker kepada masyarakat dalam upaya mengobati penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan obat - bebas dan terbatas yang dijual bebas di pasaran yang bisa didapat tanpa resep dokter dan diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Widya, 2004). Dalam melakukan pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang dilakukan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

Penilaian variabel - variabel penelitian dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI (2008) tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, dimana penilaian terhadap pelayanan yang dilakukan di apotek memiliki nilai 2 jika dilakukan dan memiliki nilai 0 jika tidak dilakukan.

3.5.1.1 Patient assessment

Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Kemungkinan pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient?, What are the symptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms). Dalam penelitian ini merujuk pada ASMETHOD (Blenkinsopp dan Paxton, 2005).

(9)

Pertanyaan no. 1 sampai no. 7 pada variabel patient assessment dinilai 2 jika petugas apotek melakukan tindakan patient assessment dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak melakukan tindakan patient assessment (Depkes RI, 2008).

3.5.1.2 Rekomendasi

Pada variabel rekomendasi terdapat dua komponen yaitu berupa rujukan ke dokter dan rekomendasi obat. Rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek, sehingga patient assessment adalah komponen yang mendasari untuk memberikan rekomendasi selanjutnya.

Penilaian pertanyaan no. 8 dalam variabel rekomendasi diberi nilai 0 jika petugas apotek memberikan rekomendasi rujukan ke dokter dan nilai 2 jika petugas apotek tidak memberikan rujukan ke dokter. Penilaian ini berdasarkan skenario penelitian yang dibuat, bahwa pasien sedang menderita batuk ringan yang belum memerlukan rujukan ke dokter. Pertanyaan no. 9 dalam variabel rekomendasi diberi nilai 2 jika petugas apotek memberikan rekomendasi obat dengan tepat yaitu memberi obat golongan bebas dan bebas terbatas (Depkes RI, 2008).

3.5.1.3 Informasi obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2016). Informasi yang perlu disampaikan oleh Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain khasiat obat,

(10)

kontraindikasi, efek samping, cara pemakaian, dosis, waktu pemakaian, lama penggunaan obat, hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, cara penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa, dan cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak (Depkes RI, 2006).

Pertanyaan no. 10 sampai no. 21 pada variabel informasi obat dinilai 2 jika petugas apotek memberikan pelayanan informasi obat dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak memberikan pelayanan informasi obat (Depkes RI, 2008).

3.5.1.4 Informasi non farmakologi

Informasi non farmakologi dalam penelitian ini terdiri dari dua indikator yaitu pola makanan dan pola hidup. Informasi non farmakologi berfungsi sebagai penunjang akan keberhasilan terapi.

Pertanyaan no. 22 dan no. 23 pada variabel informasi non farmakologi dinilai 2 jika petugas apotek memberikan pelayanan informasi non formakologi dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak memberikan pelayanan informasi non farmakologi (Depkes RI, 2008).

3.5.1.5 Penilaian tingkat pelayanan swamedikasi

Tingkat pelayanan swamedikasi ditentukan berdasarkan hasil akumulasi nilai dari variabel patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non-obat yang terdapat pada masing-masing lembar checklist penelitian. Hasil nilai yang diperoleh akan diubah kedalam % skor dan di interprestasikan kedalam kategori yang dapat di pada Tabel 3.3.

(11)

Tabel 3.3 Penilaian pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Depkes RI tahun 2008

% Skor = Skor diperoleh x 100% Total skor

Keterangan:

Skor diperoleh : jumlah skor yang diperoleh jika petugas apotek melakukan setiap profil pelayanan swamedikasi dan diberikan nilai 2. Total skor : jumlah skor total dari skor yang diperoleh dengan nilai

maksimum 46. Contoh :

% Skor (apotek 1) = 14 x 100% = 30,43 46

Kesimpulan : kategori kurang 3.5.2 Batuk

Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru atau saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang masuk atau merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk mengeluarkan atau menghilangkan benda tersebut (Depkes RI, 2006).

3.5.3 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. (Menkes RI, 2016).

% Skor Kategori

81-100 Baik

61-80 Cukup

(12)

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji validitas isi (content validity) digunakan untuk menilai validitas dari skenario dan lembar checklist. Kedua instrumen tersebut dapat dikatakan valid karena isi dari kedua instrumen tersebut mewakili variabel yang akan diteliti yang diperoleh dari pustaka dan sudah pernah digunakan pada penelitian terdahulu.

Dalam penelitian ini digunakan validitas rupa yang didasarkan pada penilaian format tampilan dari alat ukur yang ada (Nisfiannoor, 2009). Validitas ini dianggap terpenuhi apabila penampilan alat ukur atau tes telah meyakinkan dan memberi kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak diukur (Nisfiannoor, 2009). Metode simulasi pasien memiliki validitas rupa bila penyedia layanan kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi pasien (Watson et al., 2004). Untuk dapat melakukan validitas rupa (face validity) dan validitas isi (content validity) terhadap peneliti yang berperan sebagai pasien atau keluarga pasien dilakukan kunjungan uji coba langsung ke apotek (pilot visit), kunjungan ini dilakukan sebanyak lima kali. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Agar data yang diperoleh reliabel maka dilakukan kunjungan uji coba langsung ke apotek (pilot visit). Dikatakan reliabel ketika peneliti mampu menjalankan skenario dan menangkap semua informasi yang didapat saat melakukan pilot visit. Kemampuan tersebut dapat diketahui saat peneliti melakukan pilot visit ke apotek sebanyak lima kali.

(13)

Skenario dan lembar checklist telah memenuhi uji validitas isi (content validity) karena isi dari kedua instrumen tersebut telah mewakili variabel yang akan diteliti yang diperoleh dari pustaka dan sudah pernah digunakan pada penelitian terdahulu (Winarti, 2013). Metode simulasi pasien yang digunakan telah memenuhi uji validitas rupa karena setelah dilakukan pilot visit sebanyak lima kali menunjukkan bahwa petugas apotek tidak mengetahui adanya simulasi pasien. Data yang dikumpulkan dinyatakan reliabel karena peneliti mampu menjalankan skenario dan menangkap semua informasi yang didapat saat melakukan pilot visit.

3.7 Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini digunakan statistik deskriptif yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum/generalisasi (Sugiyono, 2012). Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel dengan penyajian data melalui tabel.

(14)

3.8 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur penelitian

Penyusunan Instrumen Studi Pustaka Pengujian Instrumen Pengumpulan Data Pencatatan Data Pengolahan Data

(15)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Swamedikasi merupakan salah satu bagian dari perawatan diri. Swamedikasi diartikan dengan memilih dan menggunakan obat-obatan oleh seorang individu untuk mengobati penyakit yang diderita atau mengurangi gejala tanpa pengawasan medis (Izzatin, 2015). Dalam penelitian ini petugas apotek adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi (Menkes RI, 2016). Beberapa profil pelayanan swamedikasi yang dijadikan variabel pengamatan yaitu patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada 77 apotek yang berada pada sepuluh kecamatan di kota Medan, dengan mengisi lembar checklist penelitian berdasarkan hasil simulasi selama petugas apotek melakukan pelayanan swamedikasi batuk yang ada di apotek-apotek yang menjadi sampel.

4.1 Profil Patient Assesment

Patient assessment yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada metode ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms) (Blenkinsopp dan Paxton, 2005).

Komponen patient assessment tersebut sudah cukup memberikan petunjuk kepada petugas apotek terhadap swmedikasi penderita batuk dalam melakukan

(16)

tindakan selanjutnya, yaitu rekomendasi serta pemberian informasi obat dan non farmakologi. Data lengkap mengenai profil patient assessment yang ditanyakan oleh petugas apotek dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi data profil patient assessment yang dilakukan petugas apotek

Variabel Ya (%) Tidak (%)

Berapa usia yang batuk ? 22 (28,57) 55 (71,43)

Siapa yang batuk ? 9 (11,69) 68 (88,31)

Apa tindakan yang diperbuat selama mengalami gejala batuk ?

0 (0,00) 0 (0,00) Apa obat-obat lain yang sedang digunakan ? 0 (0,00) 0 (0,00) Berapa lama pasien batuk mengalami sakit ? 6 (7,80) 71 (92,20) Apa faktor penyebab terjadinya batuk ? 0 (0,00) 0 (0,00) Apa gejala yang dialami pasien ? 75 (97,40) 2 (2,60)

Berdasarkan hasil penelitian dari 77 apotek yang dikunjungi, diperoleh hasil patient assessment yang pernah ditanyakan oleh petugas apotek adalah berapa usia pasien sebanyak 22 (28,57%) apotek, siapa yang sakit sebanyak 9 (11,69%) apotek, sudah berapa lama menderita sakit sebanyak 6 (7,80%) apotek dan apa gejala yang dialami pasien sebanyak 75 (97,40%). Berdasarkan penelitian Hasanah (2013) yang dilakukan di Surabaya, patient assesment yang juga ditanyakan adalah berapa usia pasien sebanyak 36 (40%) apotek, siapa yang sakit sebanyak 35 (38,9%) apotek, sudah berapa lama menderita sakit sebanyak 5 (5,6%) apotek dan apa gejala yang dialami pasien sebanyak 12 (13,3%) apotek, hal ini menunjukan terdapat perbedaan dimana pada apotek di Surabaya lebih baik pada beberapa patient assesment, diantaranya berapa usia pasien dan siapa yang sakit. Informasi usia merupakan informasi awal yang penting didapatkan petugas apotek untuk mengenali apakah pasien adalah anak-anak, dewasa maupun lansia guna menyesuaikan dosis obat. Dalam kasus ini setelah petugas apotek

(17)

mengetahui bahwa pengobatan ditujukan kepada orang lain, sebagian besar petugas apotek menanyakan usia pasien. Siapa yang sakit merupakan informasi yang juga penting didapatkan petugas apotek untuk mengetahui apakah obat yang akan diberikan kepada pasien akan digunakan oleh pasien itu sendiri atau tidak. Informasi tentang gejala sakit dan lama sakit juga dibutuhkan oleh petugas apotek untuk mengenali jenis penyakit yang diderita oleh pasien sebagai pertimbangan tenaga kefarmasian di apotek dalam memberikan rekomendasi berupa obat yang sesuai atau rujukan ke dokter.

Menurut WHO (1998), untuk memperoleh informasi yang benar tentang kondisi pasien, apoteker sebaiknya mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien misalnya mengenai keluhan atau pengobatan yang pernah dilakukan pasien. Oleh karena itu apoteker harus dapat memenuhi kebutuhan pasien, mendampingi dan membantu pasien untuk melakukan swamedikasi yang bertanggung jawab atau jika perlu memberikan rekomendasi kepada pasien untuk melakukan rujukan kepada dokter.

Komponen kegiatan patient assessment yang sama sekali tidak pernah ditanyakan oleh petugas apotek adalah informasi tentang faktor penyebab sakit, tindakan yang sudah dilakukan dan obat-obat yang sedang dikonsumsi oleh pasien. Menurut prosedur tetap Depkes RI (2008), tentang swamedikasi di apotek adalah mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi dan menggali informasi dari pasien meliputi: tempat timbulnya gejala penyakit, seperti apa rasanya gejala penyakit, kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya, sudah berapa lama gejala dirasakan, ada tidaknya gejala penyerta, pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan.

(18)

Informasi mengenai apakah pasien sedang menggunakan obat lain penting untuk dikumpulkan sehingga petugas apotek dapat memastikan bahwa batuk yang dialami pasien bukan merupakan efek samping obat yang sedang dikonsumsi, hal ini karena ada beberapa obat yang dapat menyebabkan batuk. Selain itu, informasi obat yang sedang digunakan oleh pasien juga bermanfaat untuk pengaturan waktu penggunaan obat yang akan direkomendasikan (Hasanah, dkk., 2013).

4.2 Profil Rekomendasi

Rekomendasi obat diperoleh setelah tenaga kefarmasian di apotek melakukan kegiatan patient assessment kepada pasien. Hasil dari kegiatan patient assessment dapat dijadikan pertimbangan oleh petugas apotek dalam memberikan rekomendasi. Rekomendasi yang tepat dan benar dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah dilakukan oleh petugas apotek.

Profil rekomendasi pada penelitian ini memiliki dua variabel yaitu rekomendasi obat dan rekomendasi rujukan ke dokter. Hasil rekomendasi yang diperoleh dari 77 apotek yang di kunjungi menunjukkan sebanyak 77 (100%) petugas apotek memberikan rekomendasi obat. Data lengkap profil rekomendasi yang sedang dilakukan oleh petugas apotek dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi data profil rekomendasi yang diberikan oleh petugas apotek

Variabel Ya, n (%) Tidak, n (%)

Berupa rujukan ke dokter 0 (0,00) 77 (100)

(19)

Jika mengalami kondisi sebagai berikut, dianjurkan tidak melakukan pengobatan sendiri:

1. Batuk terjadi lebih dari 7 hari dan tidak membaik setelah pengobatan sendiri. 2. Batuk yang disertai panas tinggi (lebih dari 39.4 °C).

3. Batuk yang disertai dengan kondisi: napas pendek, nyeri dada, berdarah, menggigil, keringat, berkeringat di malam hari, sesak napas, kaki bengkak, warna kulit menjadi kebiru-biruan, berat badan turun drastis, ruam, atau kepala sakit berkepanjangan.

4. Batuk menghasilkan sputum yang berwarna kuning kental, cokelat, hijau atau seperti nanah.

5. Batuk memburuk setelah demam dan flu berhenti. 6. Batuk yang terjadi karena efek samping obat

7. Memiliki riwayat penyakit kronis seperti asma, dan bronkitis kronis.

8. Batuk yang terjadi karena benda asing yang masuk dan tertinggal di paru-paru (Badan POM RI, 2014).

Berdasarkan rekomendasi yang diperoleh, tidak ada satupun petugas apotek yang memberikan rujukan ke dokter, hasil ini dinilai sudah tepat karena berdasarkan skenario penelitian, pasien sedang mengalami batuk ringan yang dapat di atasi secara swamedikasi dan belum perlu melakukan kunjungan ke dokter. Dalam melakukan swamedikasi, tenaga kefarmasian memiliki peran dan tanggung jawab untuk merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi (Depkes RI, 2006).

(20)

4.2.1 Jenis obat yang direkomendasikan

Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien (Depkes RI, 2006). Dari 77 apotek yang dikunjungi, data jenis obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Jenis obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek Obat Tunggal

Jenis obat Kandungan bahan aktif n (%)

Mukolitik Ambroxol HCl 30 mg Bromhexine HCl 8 mg Erdostein 300 mg 27 (35,06) 34 (44,15) 1 (1,30) Sub total 62 (80,52) Obat Kombinasi

Jenis obat Kandungan bahan aktif n (%)

Ekspektoran + Antitusif + Antihistamin

Konidin® (Tablet) mengandung : Guaifenesin 100 mg Dextromethorphan HBr 5 mg Chlorpheniramine maleate 2 mg

4 (5,19)

Promedex® (Tablet) mengandung : Dextromethorphan 15 mg Guaifenesin 100 mg Chlorpheniramine maleate 1 mg

3 (3,90)

Lapisiv – T® (Tablet) mengandung : Guaifenesin 150 mg Dextromethorphan HBr 10 mg Dipenhidramin HCl 15 mg 1 (1,30) Antipiretik + Dekongestan + Ekspektoran + Mukolitik

Bodrex® (Tablet) mengandung : Paracetamol 500 mg Phenylephrine HCl 10 mg Glyceryl guaiacolate 50 mg Bromhexin HCl 8mg 1 (1,30) Antitusif + Ekspektoran + Simpatomimetik + Antihistamin

Dextral® (Tablet) mengandung : Dextromethorphan HBr 10 mg Glyceryl guaiacolate 50 mg

Phenylpropanolamine HCl 12,5 mg Chlorpheniramine maleate 1mg

(21)

Berdasarkan hasil penelitian, dari 77 apotek sebanyak 62 (80,52%) yang merekomendasikan jenis obat tunggal dimana yang paling banyak adalah jenis obat mukolitik yang bahan aktifnya adalah ambroxol HCl, bromhexine HCl dan erdostein. Selain dalam bentuk kombinasi dengan zat aktif lainnya, bromhexine juga umum dalam bentuk tunggal dalam satu obat batuk (Badan POM RI, 2014).

Selain pemberian obat tunggal, pemberian obat kombinasi yang dilakukan oleh petugas apotek dari 77 apotek hanya 15 (19,48%). Diantaranya kombinasi ekpektoran, antitusif dan antihistamin yaitu sebanyak 8 (10,39%). Pemberian Tabel 4.3 Jenis obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek (lanjutan) Antipiretik + Antitusif +

Simpatomimetik + Antihistamin

Brochifar® (Tablet) mengandung : Paracetamol 500 mg Dextromethorphan HBr 15 mg Phenylpropanolamine HCl 15 mg Chlorpheniramine maleate 2 mg 1 (1,30) Mukolitik + Antibiotik + Kortikosteroid + Antihistamin

Epexol® (Tablet) mengandung : Ambroxol HCl 30 mg

Starquin 500® mengandung : Ciprofloxacin 500 mg

Ocuson® (Tablet) mengandung : Betamethasone 0,25 mg Dexchlorpheniramine maleate 2 mg 1 (1,30) Antipiretik + Ekspektoran + Simpatomimetik + Antihitamin

Tera – F® (Tablet) mengandung : Paracetamol 650 mg

Glyceryl guaiacolate 50 mg Phenylpropanolamine 15 mg Chlorpheniramine maleate 2 mg

1 (1,30)

Mukolitik + Antibiotik Limoxin® (Tablet) mengandung : Ambroxol HCl 30 mg

Ramoxil® (Tablet) mengandung : Amoxicillin 500 mg

1 (1,30)

Ekspektoran + Mukolitik Mextril® (Syrup) mengandung : Guaiafenesin 100 mg

Bromhexine HCl 4 mg

1 (1,30)

Sub total 15 (19,48)

(22)

rekomendasi oleh petugas apotek berupa antitusif dan antipiretik karena kurangnya patient assessment yang dilakukan oleh petugas apotek terhadap pasien yang mengalami batuk berdahak tanpa disertai demam. Antitusif tidak boleh diberikan pada batuk yang produktif (berdahak) karena supresi batuk akan menghambat pengeluaran dahak (Gitawati, 2014).

4.2.2 Golongan obat keras dalam swamedikasi

Golongan obat keras yang terdapat dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) dapat diberikan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). Epexol®, ethiros®, limoxin®, ocuson®, ramoxil® dan starquin 500® tidak termasuk dalam DOWA sehingga harus diberikan dengan resep dokter. Penggunaan ambroxol memerlukan perhatian khusus kepada penggunanya yang mengalami insufisiensi ginjal, sedangkan penggunaan erdostein tidak boleh di berikan dengan dosis >300mg/hari pada gangguan hati ringan. Penggunaan antibiotik seperti amoxicillin dan ciprofloxacin kepada pengguna yang memiliki riwayat alergi antibiotika tersebut dapat menyebabkan syok anafilaksis sehingga diharuskan melakukan assessment mengenai riwayat alergi pada pengobatan pengguna tersebut sebelumya. Penggunaan ocuson dalam jangka lama dapat menyebabkan osteoporosis (Anonim, 2016).

4.2.3 Harga obat yang direkomendasikan

Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat yang terjamin khasiatnya, aman, efektif, bermutu, dan dengan harga terjangkau adalah sasaran yang harus dicapai (Menkes RI, 2012). Dari hasil penelitian yang dilakukan, data harga obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

(23)

Tabel 4.4 Harga obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek Harga Obat n (%) < Rp 2.000,00 Rp 2.000,00 – Rp 10.000,00 Rp 10.500,00 – Rp 20.000,00 > Rp 20.000,00 0 (0) 55 (71,43) 19 (24,67) 3 (3,90) Total 77 (100)

Pemberian rekomendasi obat dengan harga terjangkau merupakan salah satu aspek penting dalam pengobatan rasional. Menurut WHO, disebutkan bahwa penggunaan obat secara rasional oleh masyarakat didasarkan pada aspek klinik, kebutuhan individu dan kecukupan period of time serta harga yang terjangkau. Definisi tersebut fokus pada 4 aspek penting dalam pengobatan rasional yaitu ketepatan obat, ketepatan dosis, ketepatan lama pengobatan dan ketepatan biaya (WHO, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, harga obat yang paling banyak direkomendasikan oleh petugas apotek adalah berkisar antara Rp.2000 – Rp.10.000 dengan 55 (71,43%) jumlah obat (Gambar 4.4). Hasil ini menunjukkan bahwa harga obat yang direkomendasikan untuk penderita batuk oleh petugas apotek masih dapat dijangkau oleh pasien ataupun masyarakat.

4.2.4 Golongan obat yang direkomendasikan

Dari 77 apotek yang dikunjungi, data golongan obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.5.

(24)

Tabel 4.5 Golongan obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek

Golongan Obat n (%)

Obat Bebas 0 (0,00)

Obat Bebas Terbatas 47 (61,04)

Obat Keras 30 (38,96)

Obat Herbal 0 (0,00)

Total 77 (100)

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat petugas apotek yang memberikan obat keras yang tidak termasuk dalam daftar obat wajib apotek seperti Epexol®, ethiros®, limoxin®, ocuson®, ramoxil® dan starquin 500®, sedangkan obat yang aman digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas (Depkes RI, 2006).

4.3 Profil Informasi Obat

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes RI, 2016).

Informasi-informasi yang harus diberikan oleh tenaga kefarmasian yang ada di apotek meliputi khasiat obat, efek samping obat, cara pemakaian obat, dosis obat, waktu pemakaian obat, lama pemakaian obat, kontra indikasi obat, hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat, hal yang harus dilakukan jika lupa meminum obat, cara penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang

(25)

masih tersisa dan cara membedakan obat yang masih baik dan yang sudah rusak (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan hasil dari penelitian yang diperoleh terkait obat yang banyak diinformasikan oleh petugas apotek adalah dosis yaitu sebanyak 25 (32,47%) apotek. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Distribusi data profil informasi obat yang diberikan oleh petugas apotek

Variabel Ya (% ) Tidak (%) Indikasi Obat Kontraindikasi Obat 0 (0,00) 0 (0,00) 77 (100) 77 (100)

Efek Samping Obat 0 (0,00) 77 (100)

Cara Pemakaian Obat 1 (1,30) 76 (98,70)

Dosis Obat 25 (32,47) 52 (57,53)

Waktu Pemakaian Obat 4 (5,19) 73 (94,81)

Lama Pemakaian Obat 1 (1,30) 76 (98,70)

Perhatian mengenai Obat 0 (0,00) 77 (100)

Terlupa Minum Obat 0 (0,00) 77 (100)

Cara Penyimpanan Obat 0 (0,00) 77 (100)

Cara Perlakuan Sisa Obat 0 (0,00) 77 (100)

Identifikasi Obat Rusak 0 (0,00) 77 (100)

Informasi obat berupa dosis merupakan informasi yang sangat penting untuk diberikan. Dosis yang tepat perlu diinformasikan dengan tujuan keberhasilan terapi dan menghindari penggunaan obat yang salah.

Informasi lain tentang pelayanan informasi obat yang pernah diberikan oleh petugas apotek adalah informasi cara pemakaian obat sebanyak 1 (1,30%) apotek, informasi waktu pemakaian sebanyak 4 (5,19%) apotek dan yang memberikan informasi lama pemakaian obat sebanyak 1 (1,30%). Hasil ini menunjukkan apotek belum mengoptimalkan standar pelayanan kefarmasian dalam hal pengobatan swamedikasi. Pemberian informasi adalah untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring pengggunaan

(26)

obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error). Tujuan pemberian informasi kepada masyarakat maupun pasien adalah bagian dari edukasi, supaya masyarakat atau pasien benar-benar memahami secara cermat dan cerdas obat yang hendak dikonsumsi sekaligus cara penggunaan obat yang baik dan benar.

Informasi lain tentang pelayanan informasi obat yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh petugas apotek saat melakukan pelayanan swamedikasi adalah pemberian informasi mengenai indikasi obat, kontraindakasi obat, efek samping obat, perhatian tentang obat, hal yang harus dilakukan jika terlupa mengkonsumsi obat, cara penyimpanan obat, cara perlakuan sisa obat dan cara identifikasi obat yang rusak.

Kontraindikasi sebenarnya juga harus diinformasikan kepada pasien agar pasien dapat mengetahui apakah obat tersebut tidak berdampak buruk pada penyakit lainnya atau dapat mengganggu kehamilan pada wanita hamil, sedangkan pada informasi perhatian, cara penyimpanan, cara perlakuan sisa obat, dan identifikasi obat yang rusak juga tidak diinformasikan oleh petugas apotek. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan penting sebagai pemberi informasi (drug informer) dalam pelayanaan swamedikasi (Depkes RI, 2006).

4.4 Profil Informasi Non Farmakologi

Informasi non farmakologi dalam penelitian ini terdiri dari dua indikator yaitu makanan dan minuman, serta pola hidup. Informasi non farmakologi

(27)

merupakan informasi yang diberikan sebagai terapi tambahan tanpa menggunakan obat guna meningkatkan keberhasilan suatu efek pengobatan farmakologis yang lebih baik.

Dari 77 apotek yang dikunjungi, data lengkap profil informasi non farmakologi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Distribusi profil informasi non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek.

Variabel Ya, n (%) Tidak, n (%)

Pola Makanan dan Minuman 3 (3,90) 74 (96,10)

Pola Hidup 2 (2,60) 75 (97,40)

Pada Tabel 4.7, informasi non farmakologi terdapat dua variabel yaitu pola makan dan minuman, serta pola hidup. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, hanya 3 (3,90%) petugas apotek yang memberikan informasi non farmakologi mengenai pola makanan dan minuman, serta hanya 2 (2,60%) petugas apotek yang memberikan informasi non farmakologi mengenai pola hidup. Hasil ini menunjukkan bahwa petugas apotek kurang optimal dalam melakukan pelayanan kefarmasian khususnya swamedikasi. Pola makanan dan minuman, serta pola hidup seharusnya di informasikan oleh petugas apotek yaitu berupa anjuran untuk mengurangi makanan yang bersifat minyak dan minuman bersifat dingin serta mengurangi kebiasaan merokok.

Menurut Depkes RI (2006), hal yang dapat dilakukan dalam menangani batuk adalah :

1. Minum banyak cairan (air atau sari buah) akan menolong membersihkan tenggorokan, jangan minum soda atau kopi.

(28)

2. Hentikan kebiasaan merokok.

3. Hindari makanan yang merangsang tenggorokan (makanan dingin atau berminyak) dan udara malam.

4. Madu dan tablet hisap pelega tenggorokan dapat menolong meringankan iritasi tenggorokan dan dapat membantu mencegah batuk kalau tenggorokan anda kering atau pedih.

5. Hirup uap air panas (dari semangkuk air panas) untuk mencairkan sekresi hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan. Dapat juga ditambahkan sesendok teh balsam/minyak atsiri untuk membuka sumbatan saluran pernapasan.

6. Minum obat batuk yang sesuai.

7. Bila batuk lebih dari 3 hari belum sembuh segera ke dokter.

8. Pada bayi dan balita bila batuk disertai napas cepat atau sesak harus segera dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan.

4.5 Tingkat Pelayanan Swamedikasi

Berdasarkan data yang di peroleh dari pelayanan swamedikasi kepada pasien penderita batuk di apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan, dilakukan perhitungan penilaian lembar checklist penelitian yang dapat dilihat pada Lampiran 3 Halaman 64 hingga Halaman 67. Dari hasil penelitian yang diperoleh, sebanyak 77 (100%) petugas apotek memberikan pelayanan swamedikasi dengan kategori kurang dan 49 (63,63%) petugas apotek yang belum sama sekali melakukan tindakan pelayanan informasi obat dan informasi

(29)

non farmakologi kepada pasien. Data lengkap tingkat pelayanan tentang swamedikasi dapat dilihat pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Distribusi tingkat pelayanan tentang swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek.

Kategori Jumlah Persentase

Baik 0 0%

Cukup 0 0%

Kurang 77 100%

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan swamedikasi yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien penderita batuk di apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan masih belum menjalankan pelayanan kefarmasian dengan optimal khususnya pelayanan swamedikasi. Hal ini disebabkan petugas apotek kurang mengaplikasikan patient oriented, dan bisa saja petugas apoteknya bukan merupakan tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian seharusnya memberikan informasi obat maupun informasi non farmakologi secara jelas dan terpercaya demi meningkatkan kualitas hidup pasien.

Sesuai dengan Permenkes RI No. 73 tahun 2016, apoteker tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hal yang dapat disimpulkan pada penelitian ini adalah:

a. Profil patient assessment yang paling banyak ditanyakan adalah mengenai apa gejala yang dialami pasien (n=75; 97,40%). Penggalian profil patient assessment yang dilakukan oleh petugas apotek tidak lengkap sehingga dapat mempengaruhi pada pemberian rekomendasi, informasi obat dan non farmakologi yang kurang lengkap pula.

b. Semua apotek merekomendasikan pemberian obat (100%). Jenis obat yang paling banyak direkomendasikan adalah jenis mukolitik.

c. Pemberian informasi obat yang paling banyak diberikan adalah dosis (n=25; 32,47%). Pemberian informasi non farmakologi berupa makanan dan minuman serta pola hidup masing-masing memiliki persentase yaitu 3,90% (n=3) dan 2,60% (n=2).

d. Tingkat pelayanan swamedikasi kepada pasien penderita batuk di apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan belum memenuhi standar dengan 77 sampel apotek masih dalam kategori kurang dan 49 (63,63%) petugas apotek yang belum sama sekali melakukan tindakan pelayanan informasi obat dan informasi non farmakologi kepada pasien.

(31)

5.2 Saran

a. Apotek harus mengadakan evaluasi mutu pelayanan secara berkala dengan mengadakan survei berupa angket agar mutu pelayanan di apotek dapat ditingkatkan.

b. Sebaiknya pada penelitian selanjutnya dibandingkan pelayanan swamedikasi pada apotek yang dilayani langsung oleh apoteker dengan apotek yang tidak dilayani oleh apoteker.

Gambar

Tabel 3.1  Distribusi apotek pada sepululuh kecamatan di Kota Medan
Tabel 3.2 Variabel penelitian
Tabel 3.3   Penilaian  pelayanan  kefarmasian  di  apotek  berdasarkan  Depkes  RI  tahun 2008
Tabel  4.1  Distribusi  data profil  patient  assessment   yang  dilakukan  petugas  apotek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah kabupaten melakukan penambahan penyertaan modal pada PDAM Tirta Alami yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 13 Tahun

Dalam melakukan Evaluasi Dokumen Penawaran ini Panitia mengacu pada Peraturan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/PDK.02/2013 tentang Pedoman Pengadaan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI.. SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL UNIT

Kelompok Kerja (Pokja) 1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2016 akan melaksanakan Pelelangan Sedehana dengan

Pada tabel 5.3 ditampilkan bahwa dari 16 sampel penelitian didapatkan bakteri penyebab infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt paling banyak pada anak – anak

sebelumnya tentang pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman semangka didapatkan hasil bahwa dosis 12,5 g/tanaman adalah dosis yang paling baik untuk

Interaksi antara bakteri yang tergolong dengan mikoriza dapat melalui beberapa tahap yang berbeda, yaitu (1) pada pertumbuhan jamur saprofit dalam tanah, (2) pada

[r]