• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI IDEOLOGI GENDER DALAM HUKUM ADAT BALI (STUDI DI KOTA DENPASAR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLIKASI IDEOLOGI GENDER DALAM HUKUM ADAT BALI (STUDI DI KOTA DENPASAR)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI IDEOLOGI GENDER DALAM HUKUM ADAT

BALI

(STUDI DI KOTA DENPASAR)

TIM PENGUSUL

1. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH. MH. (NIDN:0008075602)

2. Prof. Dr. I Gst. Ayu Agung Ariani, SH. MS. NIDN:0021124403) 3. I G. A. A. Ari Krisnawati, SH., MH.(NIDN:001488105)

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

2016

(2)

HALAMANPENGESADAN

1. Judul Peneitian

2. Bidang lImu 3. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap dengan gelar b. NIP/NIDN c. Pangkat/Golongan d. Jabatan FungsionaVStruktural e. Pengalaman penelitiao f. Program StudiIKonsentras'i g. Unit h. Alamat R!UmahIHP i. E-mail

4. Jumlah Tim Peneliti 5, Lokasi Penelitian 6. Jangka Waktu Peneltian 7. Biaya Penelitian

: Implikasi Ideologi Gender Dalam Hukum Adat Bali (Studi di Kota Denpasar)

: IlmuHukum

: Dr Ni Nyoman Sukerti, SH.,MH. : 195608071983032001

: Pembina Utama MudailY c : Lektor Kepala

: Terlampir dalam CV

: llmu HukumlHukum & Masyarakat

: Br. Taruna Bhineka C 66 Denpasar : nyomansukerti 1O@yaboo.com : 3 Orang

: Keta Denpasar

: 5 (lima) bulan Mei sid September 2016 : Rp. 12.000.000,· (Dua belas juta rupiah)

Denpasar, 27 September 2016

Mengetiihui Ketua Peneliti

Ketlfil Program Stu . Magister (82) Hmu Hokum

-V '

(3)

i PRAKATA

Berkat asung kertha wara nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), penelitian yang berjudul “Implikasi Ideologi Gender Dalam Hukum Adat Bali (Studi di Kota Denpasar)” dapat diselesaikan sesuai jadwal.

Selama penelitian, berbagai hambatan ditemukan, berupa kesibukan-kesibukan fakultas yang tidak dapat dikesampingkan serangkaian dengan ulang tahun Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari bantuan Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum yang telah memproses surat ijin penelitian dan tentunya juga telah membiayai penelitian ini. Di samping itu kerjasama antar tim peneliti juga tidak kalah pentingnya dalam penyelesaian laporan penelitian ini.

Sangat disadari bahwa laporan penelitian ini, masih banyak kekurangannya, oleh karena itu, kritik dan saran maupun komentar yang positif sangat diharapkan demi sempurnanya laporan penelitian ini.

Atas segala bantuan, kritik, saran dan komentar yang telah diberikan oleh berbagai pihak, melalui laporan peneletian ini kami mengucapkan terimakasih.

Denpasar, 24 Oktober 2016. Ketua Peneliti

(4)

ii ABSTRACT

Customary law is the law of life and as a guideline to behave in social life. While the government through Presidential Decree No. 9 of 2000 on Gender Pengharusutaan in National Development. In connection with these two problem are; 1). What is the meaning of the gender ideology? and 2). How the ideological implications of the customary law of Bali? This study is a socio-legal, where field data as primary data.

The results of the study addressed that there are two groups; The first group's view justify Balinese customary law is sound and reflects the uniqueness of Balinese society, women are not involved in decision-making in the family, a decision was taken on the deal man. In the field of inheritance girls are not taken into account. So the first group did not reflect the views of gender ideology, while the second group's view, gave the reason that customary law is difficult to change, to change requires public awareness, awig awig has not set things up in accordance with the development of society and legislation can be made perarem. Most respondents have not gender responsive and only a small portion gender responsive and progressive-minded. Thus gender ideology customary law is not implicated in Bali. Factors that become barriers that the legal culture of the Balinese people, the patriarchal customary law is still strong binding Balinese life

The conclusion that the meaning of gender ideology implies equality of men and women and it is not affected by the customary law of Bali, because of the legal culture of society and customary law still strong binding.

(5)

iii ABSTRAK

Hukum adat merupakan hukum yang hidup dan sebagai pedoman untuk bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat. Sementara pemerintah melalui Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengharusutaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka permasalahnnya adalah ;1). Apa makna dari idelogi gender tersebut? dan 2). Bagaimana implikasi ideologi tersebut dalam hukum adat Bali? Penelitian ini merupakan penelitian socio-legal, dimana data lapangan sebagai data primer.

Hasil penelitian menujukan bahwa terdapat dua kelompok; pandangan kelompok pertama memberi alasan hukum adat Bali sudah baik dan mencerminkan keunikan masyarakat Bali, perempuan tidak dilibatkan dalam dalam pengambilan keputusan keluarga, keputusan diambil atas kesepakatan laki-laki. Dalam bidang waris anak perempuan tidak diperhitungkan. Jadi pandangan kelompok pertama tidak mencerminkan ideologi gender, sementara pandangan kelompok kedua, memberi alasan bahwa hukum adat sulit dirubah, untuk merubahnya membutuhkan kesadaran masyarakat, awig-awig belum mengatur hal-hal sesuai dengan perkembangan masyarakat dan peraturan perundang-undangan dapat dibuat perarem. Sebagian besar responden belum responsip gender dan hanya sebagian kecil yang responsip gender dan berpikiran progresif. Dengan demikian ideologi gender belum berimplikasi dalam hukum adat Bali. Factor-faktor yang menjadi penghambatnya yaitu budaya hukum masyarakat Bali, hukum adat yang patriarkhis masih kuat mengikat kehidupan masyarakat Bali

Kesimpulannya bahwa makna ideologi gender mengandung makna kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan dan hal tersebut belum berpengaruh dalam hukum adat Bali, karena faktor budaya hukum masyarakat dan hukum adat masih kuat mengikat.

(6)

iv RINGKASAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari suku bangsa-suku bangsa, dan masing-masing bangsa-suku bangsa tersebut mempunyai adat dan budaya sendiri-sendiri. Adat dan budaya dari masing-masing suku bangsa tersebut sebagai pedoman atau pengikat dalam bertingkah laku mejalani kehidupan. Masing-masing suku bangsa atau masyarakat mempunyai aturan-aturan tentu sebagai benteng untuk melindungi kelangsungan masyarakat yang bersangkutan, salah satunya adalah masyarakat Bali. Aturan-aturan tersebut adalah hukum adat yang dikonstruksi oleh laki-laki. Hukum adat yang dikonstruksi oleh masyarakat (laki-laki) yang secara normatif masih sangat bias gender bahkan dapat dikatakan diskriminasi gender terutama dalam hukum keluarga dan hukum waris. Ini mencerminkan bahwa budaya patriarkhi masih sangat kuat mempengaruhinya bahkan dapat dikatakan ideologi patriarkhi yang begitu kuat mengikat masyarakat Bali Hindu. Masyarakat Bali sangat taat pada hukum adatnya, walaupun demikian tidak berarti masyarakat Bali anti akan perubahan atau perkembangan. Masyarakat Bali sangat cepat mengalami perubahan dalam berbagai hal, akan tetapi dalam bidang hukum adat dapat dikatakan sangat sulit untuk melakukan perubahan bahkan dapat dikatakan sangat stagnan. Terkait dengan hal itu, Pemerintah dengan Instruksi Presiden (Inpres) No.9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, mencanangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sehubungan dengan keluarnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tersebut, maka dapat diasumsikan akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat patrilineal di Bali yang memeluk agama Hindu. Masyarakat Bali Hindu menjunjung tinggi hukum adat yang begitu kuat mengikat. Hukum adat sebagai hukum lokal tidak searah dengan aturan yang lebih tinggi, yakni hukum negara. Terkait dengan hal itu maka disinilah letak persoalannya, disatu sisi hukum adat sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat bagi masyarakat Bali Hindu demikian kuat mengikat yang masih diskriminatif gender, disisi lain ada aturan pemerintah yang bertujuan

(7)

v mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat yang mesti dilakukan. Terkait dengan hal itulah maka penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat berlakunya dualisme hukum yang ideologinya tidak sejalan yakni hukum adat dengan idieologi patriarkhi dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki dan hukum negara dengan ideologi kesetaraan dan keadilan gender.

Metode pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah socio-legal (non-doktrinal), dimana dalam pelaksanaanya diawali dengan penelitian hukum normatif, kemudian dilanjutkan dengan penelitian hukum empiris, dengan analisis data kualitatif. Penelitian hukum empiris selalu mengacu pada premis hukum normatif.

Sehubungan dengan implikasi ideologi gender dalam hukum adat Bali yang menjadi fokus dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukan bahwa dapat digolongkan menjadi dua kelompok pandangan responden. Kelompok pertama, memberi alasan bahwa hukum adat Bali sudah baik dan mencerminkan keunikan masyarakat Bali, dimana perempuan tidak dilibat dalam dalam pengambilan keputusan keluarga. Semua keputusan dilakukan dan diambil atas kesepakatan laki-laki. Dalam bidang waris anak perempuan tidak diperhitungkan dan ini sudah berlaku sejak duhulu. Jadi padangan kelompok pertama belum mencerminkan ideologi gender, sementara pandangan kelompok kedua, memberi alasan bahwa hukum adat sulit dirubah, untuk merubahnya membutuhkan kesadaran masyarakat. Kalau awig-awig belum mengatur hal-hal yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan peraturan perundang-undangan maka dapat dibuat perarem. Dari 20 orang responden, 18 orang menjelaskan pandangannya sesuai dengan kelompok yang pertama, dan hanya 2 orang menjelaskan pandangannya sesuai dengan kelompok kedua. Pandangan kelompok kedua ini sudah responsip gender dan sudah berpikiran progresif. Jadi dapat dikatakan bahwa ideologi gender belum berimplikasi dalam hukum adat Bali. Factor-faktor yang menjadi penghambatnya yaitu budaya hukum masyarakat Bali, hukum adat yang patriarkhis masih kuat mengikat kehidupan masyarakat Bali. Terkait hal itu Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali melalui pesamuhan agung

(8)

vi III No. 1/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tanggal 15 Oktober merumuskan dalam salah satu keputusannya mencerminkan ideologi gender yakni kesetaraan khususnya dalam bidang hukum waris. Hal itu dapat diketahui dalam salah satu keputusannya yaitu dalam angka 4 sebagai berikut: anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya. Keputusan MUDP tersebut sudah mencerminkan ideologi gender di dalamnya, akan tetapi itu belum merupakan hukum karena belum diimplementasikan dalam awig-awig desa pakraman masing-masing sehingga belum mempunyai kekuatan mengikat .

Hal tersebut dikaji berdasarkan teori system hukum dari Lawrence M. Friedman, bahwa hukum terdiri dari tiga komponen yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dimana dari ketiga komponen hokum tersebut, hukum adat Bali belum mencerminkan ideologi gender baik dalam strukturnya, substansinya maupun budaya hukumnya. Ini berarti ideologi gender belum berimplikasi terhadap hukum adat Bali.

Kesimpulannya, bahwa makna ideology gender adalah mengandung makna kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan dalam aspek-aspek kehidupan. Implikasi ideologi gender dalam hukum adat belum terwujud, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor budaya hukum masyarakat, hukum adat Bali masih sangat kuat mengikat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan publikasi ilmiah dalam bentuk artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah baik lokal maupun nasional.

(9)

vii SUMMARY

Indonesia is a nation compound consisting of tribes-tribes, and each tribe has the nation's customs and culture of their own. Customs and culture of each ethnic group or a binder such as guidance in behavior undergo life. Each tribe or society has rules certainly as a fortress to protect the survival of society is concerned, one of which is the people of Bali. The rules of customary law which is constructed by men. Customary law is constructed by people (male) normatively still gender bias can even be said to be gender discrimination, especially in family law and inheritance law. This reflects the patriarchal culture is still very strong influence it can even be said to be so strong patriarchal ideology binding the Balinese Hindu. The people of Bali are very obedient to their customary law, although it does not mean the people of Bali anti change or development. Balinese are rapidly changing in many ways, but in the field of customary law can be said to be very difficult to make changes can even be said to be very stagnant. Related to this, the Government and the Presidential Instruction (Instruction) 9 of 2000 on Gender Mainstream Guidelines in National Development, launched the realization of gender equity and equality in family life, community, nation, and state.

In connection with the release of Presidential Decree No. 9 In 2000, it can be assumed to affect the life of patrilineal societies in Bali are Hindus. Bali Hindu community uphold customary law is so strong binding. Customary law as the local law is not in line with the higher rules, which state law. Associated with it then this is where the problem lies, on the one hand customary law as a way of life in society for Balinese Hindus are still so strong binding gender discrimination, on the other hand there is a new regulation that aims at realizing gender equality and justice in society needs to be done. Related to that, this study is important to do considering the enactment of legal dualism namely that ideology is not in line with ideology patriarchal customary law where power is in the hands of men and the law of the country with the ideology of gender equality and equity.

The method used to achieve the objectives of this research are socio-legal (non-doctrinal), which in the implementation, starting with the normative legal

(10)

viii research, followed by empirical legal research, with qualitative data analysis. Empirical legal research always refer to the normative legal premise.

With respect to the implications of gender ideology in Bali customary law that are the focus of this research, the research results show that can be classified into two groups of respondents view. The first group, gave the reason that the customary law of Bali are good and reflect the uniqueness of Balinese society, where women are not participate in the family decision making. All decisions made and taken on a deal man. In the field of inheritance girls are not taken into account and this has been in effect since a few years ago. So the first group do not reflect the views on gender ideology, while the second group's view, gave the reason that customary law is difficult to change, to change requires public awareness. If awig awig not regulate matters in accordance with the development of society and legislation can then be made perarem. Of the 20 respondents, 18 people to explain his views in accordance with the first group, and only two people to explain his views in accordance with the second group. The views of this second group has been responsive and has been progressive-minded gender. So we can say that gender ideology has not been implicated in the Bali customary law. Factors that become barriers that the legal culture of the Balinese people, the patriarchal customary law is still strong binding of Balinese life. Related to the Main Assembly Pakraman (MUDP) Bali Province through the Great Assembly III No. 1 / Kep / Psm-3 / MDP Bali / X / 2010 dated October 15 formulated in one decision reflects the ideology of gender equality, especially in the field of inheritance law. It can be seen in any of the decision that is the number 4 as follows: the biological child (male or female) as well as the adopted child (male or female) are entitled to the assets Gunakaya parents, after deducting one-third as duwe middle (joint property ), controlled (not owned) by children who nguwubang (continued Swadharma or responsibility) parents. The MUDP decisions already reflect the gender ideology in it, but it was not a law because it has not implemented the awig awig Pakraman village each so it does not have binding force.

It is assessed based on the theory of the legal system of Lawrence M. Friedman, that the law consists of three components, namely the legal structure,

(11)

ix the substance of the law and legal culture, which of the three components of the law, customary law Bali gender ideology has not reflected well in its structure, substance and culture law. This means that the gender ideology has not been implicated to customary law Bali.

In conclusion, that the meaning of gender ideology is implies equality of men and women in other aspects of life. Implications of gender ideology in customary law has not materialized, it is caused by several factors, cultural factors laws of society, customary law Bali is still very strong binding.

The results of this study are expected to produce scientific publications in the form of articles published in scientific journals both locally and nationally.

(12)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PRAKATA ... ii

ABSTRACT dan ABSTRAK ... iii

RINGKASAN dan SUMMARY... v

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 10

BAB IV METODE PENELITIAN ... 11

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 22

LAMPIRAN ... 23

a. Biaya Penelitian ………... 23

b. Jadwal pelaksanaan ……… … ... 23

c. Instrumen Penelitian ………... 24

d. Surat Pernyataan Personalia Penelitian ………. 25

e. CV Peneliti ……….. 26

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari suku bangsa-suku bangsa, dan masing-masing suku bangsa tersebut mempunyai adat dan budaya sendiri-sendiri. Adat dan budaya dari masing-masing suku bangsa tersebut sebagai pedoman atau pengikat dalam bertingkah laku mejalani kehidupan. Masing-masing suku bangsa atau masyarakat mempunyai aturan-aturan tentu sebagai benteng untuk melindungi kelangsungan masyarakat yang bersangkutan, salah satunya adalah masyarakat Bali.

Masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka, walaupun demikian masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Artinya masuknya ideologi atau dari luar tidak serta merta ditolak melainkan tetap diterima tetapi penerimaan mana dilakukan secara selektif. Dengan cara demikian masyarakat Bali di satu sisi tetap mempertahankan adat dan budaya termasuk hukum adatnya tetapi menerima secara selektif ideologi atau budaya luar.

Masyarakat Bali yang dimaksudkan adalah masyarakat Bali Hindu yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal (patriarchaat), yang lebih dikenal dengan istilah ”purusa”. Pada sistem kekeluargaan ini keududukan laki-laki sangat tinggi dan pegang peran yang sangat kuat dalam segala aspek kehidupan baik dalam keluarga, maupun masyarakat, yang paling ditekankan disini adalah dalam hal membuat aturan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat. Aturan yang dimaksud adalah hukum adat itu sendiri. Dalam membuat aturan hukum perempuan sebagai warga adat tidak pernah dilibatkan, dengan demikian perempuan hanya melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh laki-laki.

Hukum adat sebagai hukum yang dikonstruksi oleh masyarakat (laki-laki) yang secara normatif masih sangat bias gender bahkan dapat dikatakan diskriminasi gender terutama dalam hukum keluarga dan hukum waris. Ini mencerminkan bahwa budaya patriarkhi masih sangat kuat mempengaruhinya

(14)

2 bahkan dapat dikatakan ideologi patriarkhi yang begitu kuat mengikat masyarakat Bali Hindu. Masyarakat Bali sangat taat pada hukum adatnya, walaupun demikian tidak berarti masyarakat Bali anti akan perubahan atau perkembangan. Masyarakat Bali sangat cepat mengalami perubahan dalam berbagai hal, akan tetapi dalam bidang hukum adat dapat dikatakan sangat sulit untuk melakukan perubahan bahkan dapat dikatakan dalam posisi stagnan. Terkait dengan hal itu, Pemerintah dengan Instruksi Presiden (Inpres) No.9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, mencanangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sehubungan dengan keluarnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tersebut, maka dapat diasumsikan akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat patrilineal di Bali yang memeluk agama Hindu. Masyarakat Bali Hindu menjunjung tinggi hukum adat yang begitu kuat mengikat. Hukum adat sebagai hukum lokal tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yang dalam hal ini adalah hukum negara. Terkait dengan hal itu maka disinilah letak persoalannya, disatu sisi hukum adat sebagai pedoman hidup dalam bersayarakat masyarakat bagi Bali Hindu demikian kuat mengikat yang masih diskriminatif gender, disisi lain ada aturan pemerintah yang bertujuan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat yang mesti dilakukan. Terkait dengan hal itulah maka penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat berlakunya dualisme hukum yang ideologinya tidak sejalan yakni hukum adat dengan idieologi patriarkhi dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki dan hukum negara dengan ideologi kesetaraan dan keadilan gender.

1.2. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut:

(15)

3 2. Bagaimana implikasi ideologi gender dalam Hukum Adat Bali dewasa

ini?

Terkait permasalahan pertama, akan diuraikan tentang makna dari ideologi gender tersebut. Apa makna dari pada ideologi gender tersebut. Makna ideologi gender adalah menyangkut kesetaraan dan keadilan gender dalam aspek-aspek kehidupan antara laki-laki dan perempuan, sementara itu dalam hukum adat Bali sangat kental dan kuat dipengaruhi oleh ideologi patriarkhi yang memposisikan laki-laki sangat tinggi atau superior.

Dalam permasalahan kedua, akan dibahas mengenai implikasi ideologi gender dalam hukum adat Bali. Adapun yang dimaksudkan disini adalah sudah atau belum adanya implikasi ideologi gender dalam hukum adat Bali dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya baik faktor-faktor yang mendukung maupun faktor yang menjadi penghambatnya.

(16)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hukum Adat Bali

Mengenai pengertian atau konsep hukum adat Bali, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian hukum adat Indonesia secara umum. Untuk lebih memudahan dalam memahami hukum adat Bali maka perlu terlebih dahulu diawali mengemukakan konsep hukum adat Indonesia secara umum. Pengertian atau konsep atau batasan yang paling terakhir dirumuskan oleh para ahli hukum di Indinesia dalam forum seminar nasional. Terkait dengan hal itu Hasil Seminar Nasional 17 Januari 1975 yang dilaksanakan di Yogyakarta, salah satu dalam simpulannya menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama1. Dalam kepustakaan hukum adat belum ditemukan satu definsi atau konsep yang final dari pemerhati hukum adat. Sehubungan dengan hal itu ada beberapa ahli yang memberikan batasan tentang hukum adat. Adapun para ahli tersebut yaitu Soerojo Wignjodipoero mengemukakan bahwa hukum adat adalah komplek norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum atau sanksi2. Sementara Soerjono Soekanto dalam Wiranata mengemukakan, hukum adat pada hakekatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (seinsollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka, merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang dalam bentuk yang sama yang menuju pada rechtsvardigeordening der samenleving3.

1

Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi & Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h.5

2

Soerojo Wigjodipoero, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni Bandung, h. 5.

3

I Gede A.B.Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke

(17)

5 Ter Haar dalam Suriyaman Mustari mengatakan hukum adat adalah seluruh peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya ”diterapkan begitu saja”, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali4

Hukum adat adalah merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan mati sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat pendukungnya. Hukum adat Bali adalah aturan-aturan hukum yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari bagi orang Bali Hindu yang bediam atau tinggal di wilayah Bali. Sementara, Windia mengemukakan bahwa hukum adat Bali adalah komplek norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnnya dan antara manusia dengan Tuhannya5. Oleh karena itu hukum adat Bali sudah barang tentu tidak sama atau berbeda dengan hukum adat di daerah lainnya, hal mana disebabkan karena masyarakat Indonesia terdiri beberapa suku bangsa. Sekalipun hukum adat Bali tidak sama dengan hukum adat daerah lainnya di Indonesia akan tetapi ada hal yang tidak berbeda dari hukum-hukum adat yang ada di Indonesia yakni nilai-nilai universal dari hukum-hukum adat itu sendiri. Adapun nilai-nilai yang dimaksud diuraikan oleh Soepomo yaitu asas gotong royong, fungsi sosial manusia, dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan6.

Masyarakat Indonesia adalah merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa suku bangsa dan masing-masing suku bangsa tersebut mempunyai tata aturan sendiri-sendiri sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat. Pada suku bangsa yang beraneka ragam itu berlaku sistem kekerabatan yang juga beraneka ragam.

4

A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Prenadamedia Group, Jakarta, h.4.

5

Wayan P. Windia, Ketut Sudantra, op. cit. h. 6.

6

(18)

6 Di Indonesia lazimnya dikenal tiga sistem kekerabatan atau sistem kekeluragaan dalam melihat garis keturunan sebagaimana dikemukakan oleh Bushar Muhammad sebagai berikut:7

1. Pertalian keturunan yang semata-mata hanya dilihat menurut garis laku-laki saja atau garis ayah, yang disebut keturunan patrilineal atau kekeluargaan patrilineal. Sistem ini dianut di daerah Batak, Lampung, Bali, Gayo, Ambon, Buru, Nias dan lain sebagainnya. 2. Pertalian keturunan yang semata-mata dilihat menurut garis

perempuan saja atau garis ibu, yang disebut keturunan matrilineal atau kekeluargaan matrilineal.

3. Pertalian keturunan yang dilihat baik dari garis laki-laki (ayah) maupun menurut garis perempuan (ibu), atau menurut garis dua sisi (ayah-ibu), dimana kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Sistem tersebut disebut keturunan parental atau kekeluargaan parental. Sistem kekeluargaan parental dianut di daerah Aceh, Bugis, Riau, Kalimantan dan Jawa.

Sehubungan dengan sistem kekeluargaan tersebut di atas dimana masyakakat Bali Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal kecuali di daerah Tenganan Pagrinsinga, Karangasem. Masyarakat Tenganan Pagrinsingan merupakan masyarakat Baliage atau Bali kuna menganut sistem kekeluargaan parental dan dipertahankan hingga sekarang. Sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali dikenal dengan istilah ”kapurusa atau purusa”8

. Pada sistem kekeluargaan ini dimana lak-laki mempunyai kedudukan yang sangat tinggi atau superior sementara perempuan berada pada tataran imperior. Kondisi ini berlaku dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Bali seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan tentunya yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum adat itu sendiri.

Dalam hukum keluarga dan hukum waris sangat kelihatan adanya ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan. Hukum adat dengan sifat luwes dan

7

Bushar Muhammad, 2003, Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 24.

8

V.E Korn, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali (diterjemahkan dan diberikan catatan oleh I Gde Wayan Pangkat), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana, Denpasar, h.1.

(19)

7 dinamis nya semestinya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan peraturan yang sedang berlaku.

Terkait dengan hal itu, pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, mencanangkan kesetaraan dan keadilan Gender dalam aspek kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan diberlakukannya Inpres No. 9 Tahun 2000 tersebuat, lantas bagimana dengan kehidupan masyarakat adat Bali yang begitu kuat menjunjung tinggi hukum adat sebagai pedoman bertingkah laku, tanpa mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum adat sebagai hukum yang hidup harus berjalan berdampingan dengan hukum negara.

2.2. Gender dalam Hukum Adat Bali

Untuk dapat mengetahui dan memahami gender dalam hukum adat Bali, dipandang perlu terlebih dahulu mengemukakan apa itu sex, kodrat, gender, karena terhadap ketiga konsep tersebut masih dirancukan oleh sebagian orang. Sex adalah perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara bilogis yang bersifat tetap dan berlaku universal. Sementara kodrat adalah ciri-ciri yang melekat pada manusia yang merupakan pemberian Tuhan yang bersifat tetap. Kedua hal tersebut dibawa sejak lahir dan tidak dapat diubah, berubah dan dipertukarkan. Kodrat dan sex sebagai ciptaan Tuhan adalah bersifat tetap atau statis dan juga berlaku universal. Contoh perempuan mempunyai 5 M yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusuai dan menufause sementara laki-laki hanya mempunai 1 M yaitu membuahi, kesemua ciri tersebut sama dimuka bumi ini, apa itu di Indonesia, Inggris, Perancis Amerika, di Australia dan lain-lainnya. Jadi berifat tetap dan berlaku universal. Dengan kemajuan teknologi ilmu kedokteran manusia dapat mengutak-atik ciptaan Tuhan, contoh dengan merubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan, akan tetapi hasilnya tidak dapat berfungsi secara kodrati, oleh karenanya sama saja dengan tidak terjadi perubahan secara kodrati. Terhadap hal tersebut ada kasusnya di Indonesia dan Pengadilan berani memberikan dan menetapkan yang bersangkutan berjenis kelamin

(20)

8 perempuan yang awalnya jenis berjenis kelamin laki-laki. Itu adalah suatu upaya penolakan dari segelintir manusia terhadap ciptaan Tuhan. Hal tersebut terjadi karena adanya kemajuan di bidang ilmu kedokteran. Sementara gender adalah suatu konsep laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi berdasarkan sosial budaya suatu masyarakat. Contoh perempuan tidak pantas keluar pada waktu malam hari karen perempuan keluar malam hari dikatakan atau biberi lebel perempuan yang tidak baik atau pencitraan negatif, sementara terhadap laki-laki tidak ada batasan tersebut. Dalam kaitan masyarakat yang memberi lebel seperti itu, akan tetapi hal itu sangat keras dijaman lampau. Pencitraan seperti itu sepertinya tidak berlaku mutlak dijaman kekinian mengingat masyarakat sudah jauh mengalami perkembangan karena beberapa faktor seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan jaman juga sudah mengalami perubahan. Jadi konstruksi sosial budaya masyarakat seperti itu sepertinya sudah tidak relevan lagi dijaman kekinian, karena dijaman sangat tipis perbedaan antara siang dan malam terutama di kota-kota besar. Sehubungan dengan konsep gender, Mansour Fakih mengkonsepkan gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural9. Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkap oleh Trisakti Handayani bahwa gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan10. Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pada angka I umum angka 2 mencantumkan konsep gender sebagai berikut; gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.

Mencermati konsep-konsep gender yang telah diuraikan di atas pada dasarnya tidak jauh berbeda, karena pada dasarnya gender itu adalah bentukan

9

Mansour Fakih, 1997, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

h. 8.

10

Trisakti Handayani, Sugiarti, 2002, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Editor Surya Dharma, UMM Press, Universitas Muhamadiyah, Malang, h. 5-6.

(21)

9 atau buatan masyarakat dan budaya yang mengelilinginya. Gender sebagai buatan masyarakat maka jelas dapat berubah dan diubah sesuai dengan tingkat perkembangan jaman dan masyarakat yang bersangkutan. Yang terpenting dalam konsep gender mengandung makna kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian maka tidak ada gender perempuan dan gender laki-laki sebagai mana sering diwacanakan oleh orang-orang yang buta makna gender.

Dalam kaitan adanya ideologi gender disatu sisi sementara disisi yang lain ada hukum adat dimana dua hal tersebut berjalan boleh dikata tidak searah karena memang ideologi yang melatarbelakanginya tidak sama. Terkait dua hal tersebut dimana hukum adat sebagai hukum lokal semestinya menyesuaikan diri dengan hukum yang lebih tinggi yakni hukum negara. Adanya dua hal yang ideologinya berbeda tersebut maka menjadi menarik untuk dikaji.

(22)

10 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji sejauh mana makna ideologi gender dalam realitanya diketahui oleh masyarakat Bali, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahuidan mengkaji makna ideologi gender dalam hukum adat Bali. Di samping itu tujuan penelitian ini juga untuk mengetahui sudah atau belum adanya implikasi ideologi gender dalam hukum adat Bali dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya baik yang menghambat maupun yang mendukungnya.

3.2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan konsep maupun asumsi dalam ilmu hukum yang berspektif gender khususnya studi hukum dan masyarakat. Di samping itu juga untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang ideologi gender yang mengandung makna kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek-aspek kehidupan. Ideologi gender tersebut sangat berbanding terbalik dalam hubungannya dengan hukum adat Bali yang patriarkhis.

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh teoritisi maupun praktisi dalam menerapkan hukum dalam masyarakat, terutama pada kasus-kasus konkrit dalam masyarakat. Di samping itu dapat juga sebagai informasi tentang perlunya pembaharuan hukum yang bewawasan gender di masa mendatang, dan juga sebagai informasi bagi masyarakat luas terkait hukum adat Bali yang berwawasan gender.

Dengan adanya hasil penelitian ini dapat diharapkan menghasilkan publikasi ilmiah dalam bentuk artikel dan buku ajar.

(23)

11 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dari kajian para sarjana belum ada kesamaan pandangan dalam penamaan tentang penelitian hukum, ada yang memberi sebutan penelitian hukum, penelitian hukum normatif dan penelitian hukum dalam praktek dan lain-lainnya. Dalam kaitan itu, Amirudin mengelompokan penelitian hukum dalam dua kelompok yaitu penelitian hukum noramtif (doktrinal) dan penelitian hukum yang sosiologis (sosio legal research)11

Penelitian tentang implikasi ideolgi gender dalam hukum adat Bali (Studi di Kota Denpasar) merupakan penelitian hukum empiris atau socio-legal. Penelitian ini dilakukan sehubungan dengan dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2000. Dalam penelitian empiris dimana data lapangan merupakan data primer. Penelitian ini tidak akan menguji hipotesis, akan tetapi menggali informasi sebanyak mungkin sehubungan implikasi gender dalam masyarakat adat Bali. Meskipun dalam penelitian ini memakai datang lapangan sebagai data primer akan tetapi tidak dapat lepas dari data sekunder, oleh karena itu setiap penelitian empiris pasti diawali dengan data sekunder atau data pustaka sebagai premis normatif.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum empiris, dimana data yang digali adalah tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan demikian maka penelitian ini mengutamakan data lapangan sebagai data primer dan data pustaka sebagai data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber data lapangan di wilayah Kota Denpasar tentunya dalam lingkup desa pakraman karena menyangkut hukum adat dalam kaitan ideologi gender. Sebagai lokasi penelitian ditentukan secara purposif dengan dasar pertimbangan bahwa di Kota Denpasar yang sekaligus sebagai pusat Pemerintahan Propinsi Bali, dimana kondisi masyarakatnya relatif lebih maju dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah

11

Amiruddin, Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.110.

(24)

12 lainya di Bali. Di samping itu warga masyarakatnya juga sangat hitrogen. Penentuan responden ditentukan dengan teknik snow ball (bola salju) dan responden yang dipilih adalah tokoh masyarakat, agama, dan beberapa warga masyarakat umum. Hal ini dilakukan mengingat faktor waktu, tenaga, dan tentunya juga biaya.

Data sekunder (bahan hukum) diperoleh dari penelusuran bahan-bahan tertulis atau dokumen-dokumen yang memuat informasi yang relevan dengan masalah yang dikaji. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur hukum yang dapat menjelaskan konsep-konsep hukum adat secara umum dan hukum adat Bali khususnya. Di samping itu juga dibutuhkan literatur non hukum karena penelitian ini berkaitan dengan implikasi ideologi gender dalam hukum adat Bali. Jadi literatur non hukum (literatur terkait gender) juga perlu dalam mengkaji implikasi ideologi gender dalam hukum adat

3.3. Teknik Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan data atau informasi yang diperlukan, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan memakai alat bantu, yang dalam hal ini berupa pedoman pertanyaan (interview guide).

4.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data yang sudah dikumpulan, dilakukan dengan menggunakan metode yang bersifat kualitatif dilengkapi dengan analisis situasional. Metode ini akan dapat menunjukan tentang implikasi ideologi gender dalam hukum adat pada masyarakat adat di Bali yang begitu kuat menghormati dan mempertahankan hukum adat dalam kehidupan bermasyarakat.

(25)

13 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Makna Ideologi Gender Dan Hukum Adat Bali.

Pada bab sebelumnya yakni pada pada bab tinjauan pustaka sudah diulas tentang konsep sex, kodrat dan gender dan juga konsep hukum adat. Pada bab ini dipandang perlu untuk mengemukakan kembali. Sebelum sampai pada pengertian gender, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian sex dan juga kodrat. Sex adalah mengacu pada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan atau perbedaan jenis kelamin secara biologis. Sementara kodrat adalah ciri-ciri yang melekat pada manusia sebagai pemberian atau ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai pemberian Tuhan maka bersifat tetap atau statis dan berlaku universal di seluruh dunia tampa kecuali. Oleh karenanya tidak dapat berubah, diubah dan dipertukarkan. Contoh si A pada saat lahir berjenis kelamin laki-laki dan sampai mati tetap berjenis kelamin laki-laki, demikian juga si B pada saat lahir berjenis kelamin perempuan dan sampai mati tetap berjenis kelamin perempuan. Terkait dengan hal itu, Tri Marhaeni Pudji Astuti mengemukakan bahwa kodrat itu ketetapan dari Tuhan yang tidak bisa diubah, misalnya jenis kelamin12.

Sementara gender adalah suatu konsep tentang laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi berdasarkan social budaya. Social budaya suatu masyarakat yang satu sudah tentu tidak sama dengan social budaya masyarakat yang lainnya. Apa yang cocok dimasa lampau belum tentu cocok dimasa kini, jadi bersifat dinamis. Suatu misal dimasa lampau dimana perempuan tidak cocok menyetir mobil, namun dijaman sekarang hal seperti itu sudah tidak relevan lagi, bahkan dijaman sekarang banyak perempuan yang menyetir mobil, menjadi nahkoda, menjadi pilot dan lain sebagainya. Contoh lain, misalnya di bidang pendidikan, dimana dimasa lampau, hanya laki-laki yang berpendidikan tinggi, namun sekarang masalah pendidikan hak setiap orang tanpa memandang latar belakang social. Contoh lain yang sangat mudah dijumpai misalnya, dijaman lampau urusan domestic adalah urusan

12

Tri Marhaeni Pudji Astuti, 2011, Konstruksi Gender dalam Realita Sosial, Edisi Revisi, UNNES PRESS, Semarang, h.5.

(26)

14 istri atau perempuan, sementara urusan public adalah urusan laki-laki, namun dijaman sekarang baik urusan domestic maupun public adalah urusan laki-laki dan perempuan. Hal-hal seperti itu adalah gender yakni suatu konsep yang dibentuk berdasarkan sosial budaya suatu masyarakat setempat. Oleh karenanya gender itu tidak bersifat tetap atau statis akan tetapi bersifat dinamis yaitu dapat berubah, diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan jaman.

Sementara masih banyak kalangan yang merancukan antara apa itu kodrat dan apa gender. Dalam praktik kehidupan sehari-hari sering orang bilang bahwa kodrat perempuan adalah memasak, mengurus rumah, mengasuh anak, hal demikian tidak saja diucapkan oleh orang yang tidak berpendidikan, akan tetapi orang berpendidikan tinggipun sering mengucapkan hal yang senada. Dengan demikian orang berpendidikan tinggi yang semestinya memberikan contoh kepada warga masyarakat tentang dua hal yang berdeda tersebut bahwa kodrat ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sedangkan gender bentukan masyarakat. Kodrat sebagai ciptaan Tuhan tidak dapat diubah oleh manusia sementara gender akan mengikuti situasi dan kondisi dari masyarakat yang bersangkutan. Tingginya pendidikan seseorang tidak merupakan jaminan tentang pemahaman tentang konsep kodrat dan gender.

Sehubungan dengan konsep gender maka muncul persoalan apa sebenarnya ideologi gender tersebut. Ideologi sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup atau paradigma dari seseorang atau suatu kelompok terhadap suatu hal . Ideologi adalah cara berfikir seseorang atau suatu golongan13. Ideologi gender adalah pandangan hidup atau cara berpikir laki-laki dan perempuan terhadap sesuatu hal. Adanya dua insan yakni laki-laki-laki-laki dan perempuan ini mencerminkan dua entitas yang saling membutuhkan dan melengkapi sebagai mitra kerja terhadap suatu hal. Dengan demikian maka adanya makna kesetaraan antara dua entitas tersebut. Makna setara tidak musti “sama” karena memang Tuhan menciptakan dua mahluk (manusia) laki-laki dan perempuan yang berbeda jenis kelamin dengan fungsinya

13

Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h. 417.

(27)

15 masing-masing. Tuhan menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi manusia atau kelompok yang membeda-bedakannya. Dalam menjalankan fungsinya tentu saling membutuhkan satu sama lainnya sebagai suatu system. Perlu ditegaskan bahwa dalam kaitan dengan konsep gender tidak ada gender laki-laki dan gender perempuan, karena gender adalah suatu konsep peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dapat berubah dan diubah karena keadaan social budaya suatu masyarakat. Kenyataan dalam masyarakat tidak sedikit orang yang merancukan konsep gender tersebut dan bahkan di kalangan akademisi masih ada beberapa orang belum paham apa itu gender. Jadi intinya ideologi gender adalah mencerminkan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek-aspek kehidupan. Terkait dengan ideologi gender ada beberapa prinsip dasar ideologi gender yaitu :

1) Laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang bebas dan mempunyai hak yang sama dalam kehidupan domestik maupun publik. Ini menghasilkan konsep kesetaraan gender.

2) Kesadaran dan pemahaman bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan (Bukan kekuasaan laki-laki) dengan demikian segala pengambilan keputusan menyangkut tubuhnya ada di tangan perempuan. Ini menimbulkan konsep otonomi perempuan

3) Setiap tindakan terhadap perempuan tanpa persetujuan (tidak

diingini) perempuan merupakan tindakan pemaksaan/ kekerasan/ketidak-adilan, hal mana patut mendapat perlawanan oleh perempuan.

Sementara di dalam hukum adat dalam hal ini hukum adat Bali adalah justru sebaliknya dimana hukum itu sangat dipengaruhi oleh budaya patriarkhi sehingga ideologi patriarkhi sangat kuat menjelma dalam hukum adat. Terkait dengan budaya patriarkhi, maka akan diuraikan tentang apa itu ideology patriarkhi. Secara umum ideologi patriarkhi adalah suatu paradigma dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki. Terkait dengan hal tersebut maka pada prinsipnya, ideologi patriarkhi menempatkan :

1. Laki-laki berada pada posisi superior terhadap perempuan. 2. Laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa atau menentukan

(28)

16 3. Laki-laki sebagai pengambil keputusan.

Mencermati beberapa hal prinsip di atas maka dapat diketahui secara nyata dalam autan hokum adat Bali. Dalam hokum waris secara tegas ditentukan bahwa ahli waris adalah keturunan lak-laki. Hal itu diatur hampir dalam setiap awig-awig yang merupakan hokum dalam kehidupan masyarakat Bali Hindu. Awig-awig merupakan pedoman hidup dan menjalani kehidupan dalam bermasyarakat. Contoh beberapa awig-awig yang mengatur hal tersebut. Awig-awig Desa Pakraman Tonja, Denpasar mengatur tentang ahli waris dalam Pawos 53 yang berbunyi ahli waris luire :

ha Pratisentana purusa

na Pratisentana (sentana rejeg) ca Sentana peperasan lanang/wadon

(artinya ahli waris adalah anak laki-laki, sentana rejeg dan anak angkat). Hal yang sama juga diatur dalam awig-awig Desa Pakraman Susut, Buahan, Payangan, Gianyar pada Pawos 64. Demikian juga dalam awig-awig Desa Adat Nusamara, Yehembang, Mendoyo, Jembrana yang diatur pada Pawos 53. Itulah beberapa contoh awig-awig yang mengatur bahwa anak atau keturunan laki-laki sebagai ahli waris. Ini mencerminkan bahwa hukum dibuat berdasarkan kepentingan laki-laki, karena memang dalam pembuatannya tidak melibat perempuan, sehingga hukum adat sangat seksis.

Anak perempuan ada kalanya bisa sebagai ahli waris tetapi harus memenuhi suatu persyaratan tertentu. Persyaratan yang dimaksudkan adalah dimana perempuan itu berstatus “sentana rajeg”. Untuk dapat seorang perempuan berstatus sentana rajeg adalah harus melakukan perkawinan “nyeburin”. Perkawinan nyeburin ini tidak dapat dilakukan oleh setiap perempuan Bali, melainkan hanya dapat dilakukan oleh perempuan yang anak tunggal atau hanya mempunyai anak perempuan. Salah satu dari anak perempuannya harus sebagai pelanjut keturunan dengan melakukan perkawinan “nyeburin”. Dengan perkawinan nyeburin, perempuan yang bersangkutan berstatus hukum laki-laki sehingga dapat sebagai ahli waris. Perempuan yang demikian disebut “sentana rajeg”. Perempuan berstatus

(29)

17 hukum laki-laki sifatnya terbatas yakni hanya dalam bidang keperdataan, sementara dalam bidang lainnya tetap sebagai perempuan pada umumnya.

6.2. Implikasi Ideologi Gender Dalam Hukum Adat Bali

Gender sebagai secara arfiah berarti jenis kelamin, akan tetapi jenis kelamin yang dimaksudkan adalah bukan sebagai ciptaan Tuhan melainkan sebagai konstruksi social budaya. Masyarakat yang membuat bahwa ini pantas untuk perempuan dan itu pantas untuk laki-laki, hal seperti ini sudah berlangsung sejak dahulu secara turun temurun hingga kini . Apa yang pantas untuk perempuan dan laki-laki pada masyarakat yang satu belum tentu pantas untuk masyarakat yang lainnya. Oleh karena demikian maka gender dapat berubah dan diubah sesuai kondisi suatu masyarakat setempat. Jadi gender adalah bersifat dinamis, sifat dinamis itu karena merupakan konstruksi social budaya masyarakat. Sebagai bentukan manusia gender tidak bersifat statis dan tidak berlaku universal. Sementara hokum adat adalah juga merupakan konstruksi kelompok manusia atau sebuah lembaga, oleh karenanya hukum juga dapat diubah mana kala sudah relevan lagi dengan perkembangan masyarakat tempat hukum itu bermuara. Hukum sebagai konstruksi masyarakat atau orang dalam hal ini difokuskan pada hukum adat dan secara khusus hukum adat Bali, juga tidak dapat berlaku universal. Hukum adat sangat kental dipengaruhi oleh budaya patriarkhi. Hukum adat Bali sangat kuat mengikat masyarakat Bali, dalam mana memposisikan laki-laki sangat tinggi, tiadanya keturunan laki-laki dalam suatu keluarga batih dapat menimbulkan pengangkatan anak, merubah status anak perempuan dengan perkawinan “nyeburin” dan bahkan sampai sang suami kawin lagi atau melakukan poligami. Yang terakhir dapat menimbulkan kekerasan psikologis bagi sang istri. Merubah status anak perempuan menjadi “sentana rajeg” itu diatur hampir disetiap awig-awig desa pakraman di Bali. Ini mencerminkan bahwa hukum adat sebagai konstruksi masyarakat laki-laki mempertahankan eksistensinya pada posisi yang superior dan berkuasa. Ini intinya merupakan pencerminan ideologi patriarkhi.

(30)

18 Sehubungan dengan implikasi ideologi gender dalam hukum adat Bali yang menjadi focus dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukan bahwa dapat digolongkan menjadi dua kelompok pandangan. Kelompok pertama, memberi alasan bahwa hukum adat Bali sudah baik dan mencerminkan keunikan masyarakat Bali, dimana perempuan dalam keluarga khususnya dalam pengambilan keputusan tidak diikutkan atau dilibatkan, semua keputusan dilakukan dan diambil atas kesepakatan laki-laki. Dalam bidang waris anak perempuan tidak diperhitungkan dan ini sudah berlaku sejak duhulu. Jadi padangan kelompok pertama tidak mencerminkan ideologi gender, sementara pandangan kelompok kedua, memberi alasan bahwa hukum adat sulit dirubah, untuk merubahnya membutuhkan kesadaran masyarakat. Kalau awig-awig belum mengatur hal-hal yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan peraturan perundang-undangan maka dapat dilakukan melalui perarem. Dari 20 orang responden, 18 orang menjelaskan pandangannya sesuai dengan kelompok yang pertama, dan hanya 2 orang menjelaskan pandangannya sesuai dengan kelompok kedua. Pandangan kelompok kedua ini sudah responsip gender dan sudah juga berpikiran progresif.

Jadi dapat dikatakan bahwa ideologi gender belum berimplikasi dalam hokum adat Bali. Factor-faktor yang menjadi penghambatnya yaitu budaya hukum masyarakat Bali, hukum adat yang patriarkhis masih kuat mengikat kehidupan masyarakat Bali. Terkait hal itu Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali melalui pesamuhan agung III No. 1/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tanggal 15 Oktober merumuskan dalam salah satu keputusannya mencerminkan ideologi gender yakni kesetaraan khususnya dalam bidang hokum waris. Hal itu dapat diketahui dalam salah satu keputusannya yaitu dalam angka 4 sebagai berikut: anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat ((laki-laki-(laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya. Keputusan MUDP tersebut sudah mencerminkan ideologi gender di

(31)

19 dalamnya, akan tetapi itu belum merupakan hukum karena belum diimplementasikan dalam awig-awig desa pakraman masing-masing sehingga belum mempunyai kekuatan mengikat .

Hal tersebut dikaji berdasarkan teori system hukum dari Lawrence M. Friedman14, bahwa hukum terdiri dari tiga komponen yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dimana dari ketiga komponen hokum tersebut, hukum adat Bali belum mencerminkan ideologi gender baik dalam strukturnya, substansinya maupun budaya hukumnya. Ini berarti ideologi gender belum berimplikasi terhadap hukum adat Bali.

14

Lawrence M Friedman, 1977, Law and Society: An Introduction, Printice, Hall New Jersey, h. 7

(32)

20 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana paparan di atas akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Gender adalah merupakan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi social budaya masyarakat. Sementara makna ideologi gender adalah mengandung prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai mahluk sama-sama ciptaan Tuhan. Setara dalam bidang domestik maupun publik atau setara dalam segala aspek kehidupan, hal itu sangat berbeda dengan ideologi patriarkhi yang mempengaruhi hukum adat Bali yang mencerminkan makna tidak setara yaitu ada posisi superior dan imperior.

2. Hukum adat sebagai hukum yang hidup sangat kental dan kuat mengikat kehidupan masyarakat Bali. Implikasi ideology gender dalam hukum adat Bali, Kelompok pertama, memberi alasan bahwa hukum adat Bali sudah baik dan mencerminkan keunikan masyarakat Bali, dimana perempuan dalam keluarga khususnya dalam pengambilan keputusan tidak diikutkan atau dilibatkan, semua keputusan dilakukan dan diambil atas kesepakatan laki-laki. Dalam bidang waris anak perempuan tidak diperhitungkan dan sudah berlaku sejak duhulu. Jadi padangan kelompok pertama tidak mencerminkan ideologi gender, sementara pandangan kelompok kedua, memberi alasan bahwa hukum adat sulit dirubah, untuk merubahnya membutuhkan kesadaran masyarakat. Kalau awig-awig belum mengatur hal-hal yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan peraturan perundang-undangan maka dapat dilakukan melalui perarem. Dari 20 orang responden, 18 orang menjelaskan pandangannya sesuai dengan kelompok yang pertama, dan hanya 2 orang menjelaskan pandangannya sesuai dengan kelompok kedua. Pandangan kelompok kedua ini sudah responsip gender dan sudah juga berpikiran progresif. Jadi ideologi gender ternyata belum bisa berpengaruh dalam hukum adat Bali baik dalam hukum keluarga dan dalam hukum waris.

(33)

21 6.2. Saran.

Dari beberapa pembahasan di atas dimana ideology gender belum bisa berpengaruh dalam hukum adat Bali, terkait dengan hal itu maka dapat direkomendasi kepada pemerintah agar lebih intensip memberikan sosialisasi Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengaharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional kepada masyarakat. Terkait dengan itu sangat minim masyarakat yang mengetahui adanya Inpres tersebut sehingga sangat minim juga pemahamannya tentang gender.

(34)

22 DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Fakih, Masour, 1997, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Handayani, Trisakti, Sugiarti, 2002, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Editor Surya Dharma, UMM Press, Universitas Muhammadiyah, Malang.

Korn, V.E, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, diterjemahkan dan diberikan catatan oleh I Gde Wayan Pangkat, Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana, Denpasar.

Muhammad, Bhusar, 2003, Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Pide, A. Suriyaman Mustari, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang,

Prenadamedia Group, Jakarta.

Soepomo,R., 1986, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Wignjodipuro, Surojo, 1973, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Windia, I Wayan P., Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Wiranata, I Gede A.B., 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

……..., Instruksi Presiden Republik Idonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

(35)

23 LAMPIRAN

a. Rincian Biaya Penelitian

Pembiayaan Penelitian ini bersumber dari Dana BLU Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Tahun 2016 sejumlah Rp. 12.000.000,-

Dengan Rincian :

- Uang Transportasi : Rp. 3.000.000,-

- Fotocopy dan Jilid : Rp. 3.000.000,-

- Konsumsi FGD : Rp. 1.400.000,- - Konsumsi Persiapan : Rp. 2.500.000,- - ATK : Rp. 2.100.000,- Rp. 12.000.000,- b. Jadwal Pelaksanaan No Bulan ke Kegiatan Mei 2016 Juni 2016 Juli 2016 Agust. 2016 Sept. 2016

1 Persiapan & Proposal Pengumpulan data 3 Pengolahan dan analisis

data

4 Penulisan Laporan 5 Pelaporan - FGD

(36)

24 c. Instrumen Penelitian (Interview Guide)

Identitas Informan dan responden Nama : Tempat, tgl, bln, th lahir : Pendidikan : Pekerjaan : Jabatan : Agama : Alamat : Pertanyaan-pertanyaaan

1. Apakah bapak/ibu/saudara mengenal istilah gender? Mohon penjelasannya! 2. Kalau ya,dari mana mengenalnya? Mohon penjelasannya!

3. Apakah bapak/ibu mengetahui istilah kodrat ? Mohon penjelasannya! 4. Dari mana bapak ibu mengetahuinya? Mohon penjelasannya!

5. Apa bapak/ibu membedakan anak laki-laki dalam kehidupan sehari-hari! 6. Kalau ya karena apa? Mohon penjelasannya!

7. Kalau tidak, apa pula alasannya, Mohon penjelasannya!

8. Hukum adat Bali sangat tidak memposisikan perempuan sebagai parner laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap kondisi hukum adat Bali yang demikian? Mohon penjelasannya.

8. Kedepannya bagaimana sebaiknya hukum adat yang diharapkan atau yang dicita-citakan?

(37)

25 d. Surat Penyataan Personalia Penelitian

SURAT PERNYATAAN PERSONALIA PENELITIAN Yang bertanda tangan di bawah ini kami :

1. Nama Lengkap : Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH.,MH.

NIP/NIDN : 19560807 198303 2 001/0007085602

Fakultas /PS : Hukum/Ilmu Hukum

Status dalam Penelitian : Ketua

2. Nama Lengkap : Prof. Dr. I G. A. Agung Ariani, SH.,MS

NIP/NIDN : 19441221 197503 2 001/0021124403

Fakultas/PS : Hukum/Ilmu Hukum

Status dalam Penelitian : Anggota

3. Nama Lengkap : I G. A. A. Ari Krisnawati, SH.,MH.

NIP/NIDN : 19810814 2003 12 2 001/0014088105

Fakultas/PS : Hukum/Ilmu Hukum

Status dalam Penelitian : Anggota

Menyatakan bahwa kami secara bersama-sama telah menyusun laporan penelitian yang berjudul ”Implikasi Ideologi Gender Dalam Hukum Adat Bali (Studi di Kota Denpasar)”, dengan jumlah dana sebesar Rp.12.000.000. Kami secara bersama-sama akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penelitian ini sampai tuntas sesuai dengan persyaratan yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian.

Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dan ditandatangani bersama sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Denpasar, 27 September 2016

(Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH.,MH.) (Prof. Dr. I G. A. A. Ariani, SH.,MS.)

(I G. A. A. Ari Krisnawati SH.,MH.)

(38)

26 e. CV PENELITI

BIO DATA A. Identitas Diri

1 Nama lengkap (dengan gelar) Dr. Ni Nyoman Sukerti,SH.MH. P

2 Jabatan Fungsional Lektor Kepala

3 Jabatan Struktural -

4 NIP 19560807 198303 2 001

5 NIDN 0007085602

6 Tempat dan Tanggal lahir Gianyar, 7 Agustus 1956

7 Alamat Rumah Br. Taruna Bhineka Blok C No.66

Pemogan-Denpasar

8 Nomor Telepon/Faks/HP (0361)722470/08123635729

9 Alamat Kantor Jln. Bali No. 1 Denpasar/

10 Nomor Telepon/Faks (0361)222666/Faks (0361)234888

11 Alamat e-mail nyomansukerti10@yahoo.com

12 Lulusan yang telah dihasilkan S-1= … orang, S-2= ... Orang, S-3= .. Orang

13 Mata kuliah yang diampu 1. Hukum Adat (S1)

2. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum(S1)

3. Gender dalam Hukum (S1) 4. Sosiologi Hukum (S1)

5. Hukum dan Kebudayaan (S1) 6. Dinamika Hukum Adat (S2) 7. Psikologi Hukum (S2) 8. Gender dalam Hukum (S2)

B. Riwayat Pendidikan Program S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana Pascasarjana Universitas Udayana Pascasarjana Universitas Diponegoro

Bidang Ilmu Hukum Hukum Hukum

Tahun Masuk 1976 2003 2008 Tahun Lulus 1982 2005 2013 Judul Skripsi/Tesis/Disertasi Pelaksanaan Gadai Tanah Setelah Berlakunya UUPA di Kabupaten Gianyar Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga: Kajian Dari Perspektif Hukum Dan Gender (Studi Kasus di Kota Denpasar) Dinamika dan Rekonstruksi Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Adat Waris Bali Dalam

Perspektif Gender

(39)

27 Nama Pembimbing/Promotor Tjok. Raka Dherana,SH dan T.I.P Astiti, SH. Prof. Dr. T.I.P. Astiti, SH.,MS. dan Purwati,SH.,MH. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH.MH. dan Prof. Dr. Suteki, SH.,M.Hum.

C. Pengalaman Penelitian 5 Tahun Terakhir

No

Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jml (Juta Rp) 1 2010 Status Perempuan Akibat

Pereceraian Pada Sistem

Kekerabatan Patrilineal (Studi di Kecamatan Denpasar Selatan)

DIPA UNUD 4.000.000

2 2011 Pola Hubungan Penduduk Pendatang Dengan Desa Dinas Dan Desa Adat

Dana Bagian Hukum & Masyarakat

2.000.000

3 2011 Efektifitas Penanggulangan Penduduk Pendatang di Kota Denpasar (Studi di Kecamatan Denpasar Selatan) Dana Bagian Hukum & Masyaraka 2.000.000 3 2013 Formulasi Prinsip-Prinsip Konvensi wanita Dalam Awig-Awig Desa Pakraman

Dana Bagian Hukum & Masyarakat

1.790.000

4 2013 Perkembangan Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Adat Waris Bali (Studi di Kota Denpasar) DIPA BLU Program Magister (S2) Ilmu Hukum PPS Unud 13.140.000,-

5 2013 Pengaturan Peradilan Adat dalam Awig-Awig Desa Pakraman: Studi Pendahuluan tentang

EksistensiPweradilan Adat dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman

DIPA BLU Program Magister (S2) Ilmu Hukum PPS Unud 13.140.000,-

6 2014 Penegakan Hukum Terhadap Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Dalam Praktik Peradilan di Bali

DIPA BLU Program Magister (S2) Ilmu Hukum PPS Unud 11.480.000,-

7 2014 Identifikasi Lingkup Batas-Batas Otonomi Desa Pakraman Dalam Hubungannya Dengan Kekuasaan Negara DIPA BLU Program Magister (S2) Ilmu Hukum PPS Unud 11.480.000,-

(40)

28 8 2015 Sikap Masyarakat HukumAdat

Bali Terhadap Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 Terkait Kedudukan Anak Luar Kawin

DIPA BLU Program Magister (S2) Ilmu Hukum PPS Unud 11.480.000,-

D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir No Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat

Pendanaan

Sumber Jml (juta Rp) 1 2012 Pembinaan Awig-Awig di Desa

Pakraman Padangtegal, Ubud, Gianyar

Dana Bagian Hukum & Masyarakat

2.000.000,-

2 2013 Penyuluhan Hukum Tentang Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali di Desa Belok, Sidan, Petang, Badung

Prodi

Kenotariatan

4. 000.000,-

3 2014 Sosialisasi U U No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Terhadap Siswa-Siswi SMP Darma Wiweka Denpasar

Dana BOPTN UNUD

5.000.000,-

4 2014 Sosialisasi Pemaknaan Sumpah Pemuda Sebagai Pemersatu Bangsa

Dana Fakultas Hukum

13.400.000,-

5 2014 Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Ubung, Denpasar

Dana Bagian Hukum & Masyarakat

?

6 2015 Sosialisasi Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali 2010 di Br. Penyaitan Denpasar

Dana PNBP UNUD

10.000.000,-

E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir

No Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Perkembangan Hak Perempuan di

Bidang Waris dalam Hukum Adat Bali

Jilid 49 Nomor 1, Maret 2011

Masalah-Masalah Hukum FH Undip 2 Kedudukan Perempuan Dalam

HukumAdat Waris Bali (Studi di Kota Denpasar)

Volume 6 Nomor 2 Tahun 2014

Jurnal Magister Hukum Udayana 3 Eksistensi Otonomi Desa

Pakraman di Bali Dalam Kerangka Otonomi Daerah Khususnya Khususnya Dalam Pengelolaan

Volume 6 Nomor 2 Tahun 2014

Jurnal Magister Hukum Udayana

(41)

29 Obyek Wisata

4 Penegakan Hukum Terhadap Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Dalam Praktik Peradilan di Bali

Volume 4 Nomor 1 Tahun 2014

Jurnal Magister Hukum Udayana 5 Identifikasi Lingkup Isi dan

Batas-Batas Otonomi Desa Pakraman dalam Hubungannya dengan Kekuasaan Negara

Volume 4 Nomor 1 Tahun 2014

Jurnal Magister Hukum Udayana

6 Sikap Masyarakat Hukum Adat Bali Terhadap Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Terkait Kedudukan Anak Luar Kawin

Volume 4 Nomor 2 Tahun 2015

Jurnal Magister Hukum Udayana

F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir. No Nama Pertemuan

Ilmiah/Seminar

Judul Artikel

Ilmiah Waktu dan Tempat

- - - -

G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir

No Judul Buku Tahun Jumlah

Halaman

Penerbit

1 Hak Mewaris Perempuan Dalam Hukum Adat Bali Sebuah Studi Kritis

2012 140 Udayana Press

2 Statistik Gender Kota Denpasar Tahun 2013

2014 157 Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Denpasar H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5 Tahun Terakhir

No Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID

- - - - -

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir

No. Judul/Tema/Jenis

Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah Diterapkan

Tahun Tempat

Penerapan

Respon Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA.. FAKULTAS

Kedudukan dan fungsi Pancasila jika dikaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara

peserta belajar belajar kapan saja, dimana saja dengan menggunakan berbagai konten (bahan belajar) yang dirancang khusus untuk belajar mandiri baik

Sehubungan dengan pengadaan Jasa Konsultansi paket Pengawasan Pengaspalan Jalan Ruas Potoro - Amasara (Tahun Jamak) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kab. Konawe Selatan,

Untuk setiap pekerjaan, gambar kerja, spesifikasi, dan perhitungan struktur harus diserahkan kepada yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan. Perhitungan harus berdasarkan

Bersamaan dengan pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla/ hari ini Front Mahasiswa Nasional menggelar aksi demonstrasi// Dalam pernyataan sikapnya/ mereka menuntut

 Diartrosis adalah hubungan antara tulang yang tidak dihubungkan oleh jaringan sehingga memungkinkan terjadinya gerakan secara lebih bebas.  Ligamen, merupakan suatu jaringan yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fitoremediasi Kromium dengan tanaman Vetiveria zizanioides pada sirkulasi sistem vertikal memiliki tingkat