• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menyimpan, menampung dan mengalirkan air curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke laut atau danau (Manan, 1978).

Menurut Budhiyono dan Murdhiyono (1982), DAS merupakan ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan iklim). Interaksi yang ada dinyatakan dalam bentuk keseimbangan input dan output air serta sedimen yang dikeluarkan.

DAS mempunyai ciri-ciri luas dan bentuk daerah, keadaan topografi, kepadatan drainase, geologi dan elevasi rata-rata DAS (Subarkah, 1980). Sedangkan keadaan fisik daerah aliran sungai dipengaruhi oleh tiga parameter yaitu tanah, vegetasi dan sungai.

Faktor tanah meliputi luas DAS, topografi, jenis tanah, penggunaan tanah, kadar air tanah dan kemampuan tanah menyerap air. Sedangkan vegetasi meliputi jenis tanaman, kapasitas pengambilan air oleh tanaman, luasan hutan dan kemampuan tanaman mengendalikan air. Sungai meliputi luas penampang sungai, debit air sungai dan kapasitas penampungan sungai.

(2)

Vegetasi menahan sebahagian hujan yang jatuh, sebahagiannya lagi jatuh di permukaan tanah. Jika kapasitas intersepsi, infiltrasi dan bagian yang cekung telah

terpenuhi, maka akan terjadi proses aliran permukaan yang menyebabkan erosi (Subarkah, 1980).

Menurut Sosrodarsono dan Tekeda (1982), bahwa bentuk daerah aliran sungai terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. DAS berbentuk bulu burung mempunyai debit banjir yang kecil, karena waktu tiba banjir berbeda-beda dan banjir berlangsung agak lama.

b. DAS yang berbentuk radial, mempunyai debit banjir yang besar di dekat pertemuan anak-anak sungainya.

c. DAS yang berbentuk paralel, banjir akan terjadi di daerah sebelah hilir titik pertemuan sungai.

2.2. Mekanisme Terjadi Erosi

Proses terjadinya erosi pada permukaan lahan, umumnya disebabkan oleh faktor-faktor iklim (intensitas curah hujan), tanah, topografi, vegetasi dan faktor pengolah tanah. Curah hujan yang jatuh langsung atau tidak langsung dapat mengikis permukaan tanah yang secara perlahan dengan pertambahan waktu dan akumulasi intensitas hujan akan mendatangkan erosi (Kironoto, 2003).

Erosi kulit/permukaan (sheet erosion) yang terjadi ketika lapis tipis permukaan tanah terkikis oleh kombinasi air hujan dan air larian (runoff), berawal dari adanya tenaga kinetik air hujan yang menyebabkan lepasnya partikel-partikel

(3)

tanah dan bersama-sama dengan pengendapan sedimen (hasil erosi) di atas permukaan tanah, menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori-pori tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah (Asdak, 1995).

Umumnya daerah-daerah di Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi dan fenomena ini akan mempengaruhi kondisi alam itu sendiri, seperti halnya hujan merupakan salah satu faktor terpenting menyebabkan terjadinya erosi (Dirjen Pengairan, 1997).

Adapun faktor-faktor penyebab erosi (Asdak, 1995) adalah: 1. Iklim : intensitas hujan dan lama angin

2. Tanah : erodibilitas (kemampuan dan ketahanan tanah) 3. Topografi : panjang dan kemiringan lereng

4. Vegetasi : macam dan kemampuan penutup lahan

Ditinjau dari mekanisme terjadi erosi yang berbeda antara satu dengan lainnya maka bentuk-bentuk erosi yang dipercepat (accelerated erosion) oleh faktor-faktor di atas faktor-faktor di atas bersama dengan faktor campur tangan manusia terhadap lahan, maka erosi ini dibedakan menjadi empat jenis, di samping adanya erosi yang terjadi secara alamiah (normal erosion), seperti yang terlihat dalam skema berikut ini:

(4)

Berdasarkan batasan masalah sebelumnya, penelitian ini hanya menguraikan sebatas masalah erosi kulit/permukaan (sheet erosion). Adapun proses terjadinya erosi permukaan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hujan menimpa permukaan lahan.

2. Energi jatuhnya titik hujan menyebabkan terlepasnya butir-butir tanah, dan energi ini tergantung pada ukuran dan kecepatan jatuhnya tetesan hujan. 3. Terlepasnya butiran tanah sangat tergantung pada stabilitas tanah tersebut

yang sangat dipengaruhi oleh tingkatan struktur tanah, kandungan bahan organik, persentase clay, silt, pasir dan sebagainya.

4. Air hujan yang jatuh akan meresap kedalam tanah (infiltrasi), sebagian lain akan mengalir sebagai aliran permukaan, yang sangat tergantung pada

EROSI (Erosion)

Erosi yang Dipercepat (Accelerated Erosion)

Erosi secara Alamiah (Normal Erosion) Erosi Permukaan (Sheet Erosion) Erosi Alur (Riil Erosion) Erosi Parit (Gully Erosion)

Erosi Tebing Sungai (Stream Bank Erosion)

(5)

kapasitas infiltrasi tanah, di mana kapasitas infiltrasi tergantung pada permeabilitas dan keadaan permukaan tanah tersebut.

5. Aliran permukaan akan membawa butiran-butiran tanah yang terlepas dan juga mengikis butiran-butiran tanah yang dilewatinya.

6. Akibatnya akan terjadi erosi permukaan, jika ketahanan tanah terhadap erosi (soil erosion) pada seluruh permukaan sama dan selanjutnya akan terjadi erosi alur (rill erosion) jika ketahanan tanah terhadap erosi pada permukaan tidak seragam.

2.3. Prediksi Laju Potensi Erosi

Untuk memprediksi laju potensi erosi adalah sangat diperlukan dan merupakan alat untuk menilai apakah suatu program atau tindakan konservasi tanah telah berhasil atau belum dalam mengurangi erosi yang terjadi pada suatu bidang tanah (lahan) atau pada suatu daerah aliran sungai (DAS).

Dalam penelitian ini, untuk memprediksi laju potensi erosi suatu luasan permukaan lahan dilakukan dengan metode pendekatan parametric “The Universal Soil Loss Equation” (USLE), yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965, 1978). USLE merupakan suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) dan erosi alur (gully erosion) pada suatu keadaan lahan tertentu (B.A. Kirono, 2003).

Parameter-parameter utama yang mempengaruhi laju erosi dalam metode pendekatan USLE sesuai dengan persamaan berikut:

(6)

A = R K L S C P ... (2.1) dengan : A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/thn)

R = faktor curah hujan (erosivitas hujan) K = faktor erodibilitas tanah

L = faktor panjang lereng S = faktor kecuraman lereng

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah 2.3.1. Erosivitas Hujan (R)

Pengaruh iklim terhadap erosi dinyatakan dengan faktor erosivitas hujan melalui intensitas dan distribusinya, yang pada analisis ini menggunakan data masukan hujan dari stasiun (cathment rainfall) yang berpengaruh pada Sub-DAS Batang Angkola. Besaran hujan diperoleh dengan merata-ratakan hujan titik (point rainfall), dengan cara analisis rata-rata aljabar (main arithmetic method), cara polygon Thiessen (Thiessen polygon) dan dengan cara Isohiet (Isohyet method).

Dalam kajian ini dipilih menggunakan cara polygon Thiessen, untuk memberikan bobot tertentu pada masing-masing hujan, sebagai fungsi jarak antar stasiun. Tata cara hitungan hujan rata-rata Sub-DAS Batang Angkola dengan polygon thiessen sebagai berikut:

a. Seluruh pos hujan dihubungkan dengan garis lurus, yang akan membentuk jaring-jaring segitiga.

b. Pada jaring segitiga yang terbentuk, masing-masing ditarik garis sumbunya dan semua garis sumbu akan membentuk polygon.

(7)

c. Luasan daerah dengan hujan yang mewakilinya oleh satu stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis polygon tersebut, atau dengan batas DAS.

d. Luasan daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksi.

Adapun hujan rata-rata DAS dari polygon Thiessen dapat menggunakan persamaan (Sri Harto Br, 2000):

Pd =  Pi ... (2.2)

 = Ai/A

dengan Pd = hujan rata-rata DAS (mm)

Pi = hujan masing-masing stasiun (mm)  = koefisien Thiessen

Ai = luas masing-masing polygon (km2 atau Ha) A = luas DAS (km2)

Persamaan USLE (2.1) menetapakan bahwa nilai R yang merupakan daya perusak hujan (erosivitas hujan) tahunan dapat dihitung dari data curah yang didapat dari stasiun curah hujan otomatik atau dari data penangkar curah hujan biasa. Erosivitas hujan merupakan fungsi dari energi kinetik (E) total hujan dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit dengan satuan (ton/ha/cm hujan), yang dihitung dengan persamaan:

E = 210 + 89 log i ... (2.3) dengan : E = energi kinetik (ton/ha/cm hujan)

i = intensitas hujan (cm/jam)

Menurut Wischmeier faktor R dapat juga ditentukan dengan persamaan:

(8)

dengan : E = energi kinetiK (ton/ha/cm hujan)

i = intensitas hujan maksimum selama 30 menit(cm/jam)

Metode pendekatan Bols (1978), menghitung EI30 dengan menggunakan data

hujan harian, hari hujan dan hujan bulanan yang terbatas pada daerah Pulau Jawa dan Madura, dengan formulasi sebagai persamaan berikut:

(a). Rd = 2,467 (Pd)2/0,02727Pd+0,725 ... (2.5) Di mana: Rd = erosivitas hujan harian

Pd = curah hujan harian (cm)

(b). Rm = 6,119 (Pm)1,21(HH)-0,47(Pmax)0.53 ... (2.6)

Di mana: Rm = erosivitas hujan bulanan Pm = curah hujan harian (cm)

HH = hari hujan dalam satu bulan (hari)

P max = hujan harian maximum bulan yang bersangkutan (cm)

(c). Apabila data hujan harian maksimum pada bulan yang akan dihitung erosivitasnya tidak ada, hanya tersedia data hujan bulanan maka dapat digunakan persamaan:

Rm = 2,21 (Pm)1.36(2.7) ... (2.7) 2.3.2. Erodibilitas Tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah ialah kemampuan/ketahanan partikel tanah terhadap pengelupasan dan pemindahan tanah akibat energi kinetik hujan. Nilai erodibilitas tanah tergantung pada topografi, kemiringan lereng dan akibat perlakuan manusia, juga ditentukan oleh pengaruh tekstur tanah, stabilitas agregat, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan non organik tanah. Nilai K dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

(9)

dengan : M = persentase fraksi pasir sangat halus dan debu (diameter 0,10-0,05 mm dan 0,05-0,02 mm) x (100-persentase fraksi lempung),

a = persentase bahan organic,

b = kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah c = kelas permeabilitas profil tanah

Tabel 2.1. Kode Struktur Tanah

Kelas Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Kode (b) Granular sangat halus ( 1mm)

Granuler halus (1-2mm) Granuler sedang sampai kasar

Berbentuk blok, blocky, plat dan massif

1 2 3 4 Sumber: B.A Kironoto, 2003

Tabel 2.2. Kode Permeabilitas Profil Tanah

Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode (c) Sangat lambat

Lambat

Lambat sampai sedang Sedang

Sedang sampai cepat Cepat  0,50 0,50 – 2,00 2,00 – 6,30 6,30 – 12,70 12,70 – 25,40  25,40 6 5 4 3 2 1 Sumber: B.A Kironoto, 2003

Untuk beberapa jenis tanah di Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas RLKT, Departemen Kehutunan, nilai K dapat diperoleh sesuai dengan Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3. Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K)

No Jenis Tanah Nilai K

1 2 3 4 5 6 7 8

Latosol coklat kemerahan dan litosol Latosol kuning kemerahan dan litosol Komplek mediteran dan litosol Latosol kuning kemerahan Grumusol Alluvial Regosol Latosol 0,43 0,36 0,46 0,56 0,20 0,47 0,40 0,31 Sumber: B.A Kironoto, 2003

(10)

2.3.3. Faktor Panjang Lereng (L)

Panjang lereng diukur dari suatu tempat pada permukaan tanah di mana erosi mulai terjadi sampai pada tempat di mana terjadi pengendapan (oleh karena

berkurangnya kecuraman lereng), atau sampai pada tempat di mana aliran air di permukaan tanah masuk ke dalam saluran. Nilai L dinyatakan seperti persamaan

berikut (Asdak, Hand Book, 1995):

L = (X/22,10)m ... (2.9) Di mana: L = faktor panjang kemiringan lereng tanah (m)

X = panjang lereng (m)

m = konstanta, tergantung dari kemiringan tanah dengan: m = 0,2; kemiringan lereng  1%

m = 0,3; kemiringan lereng  1% sampai dengan  3% m = 0,4; kemiringan lereng  3 % sampai dengan  5% m = 0,5; kemiringan lereng  5%

2.3.4. Faktor Kecuraman Lereng (S)

Apabila kecuraman lereng S bertambah, maka erosi akan meningkat lebih besar jika dibandingkan dengan aliran permukaan. Kecuraman lereng dinyatakan dengan sudut lereng atau persen, dan nilai faktor S menurut persamaan USLE adalah (Asdak, 1995):

S = 65,42 Sin2+4,56Sin+0,065 ... (2.10) dengan  adalah sudut lereng (derajat), dan jika dipergunakan kecuraman lereng dalam (persen), maka persamaan faktor S menjadi:

S = 0,43 + 0,30 s + 0,043 s2/6,613 ……….. (2.11) atau dengan:

(11)

S = 0,065 + 0,045 s + 0,0065 s2 ……… (2.12) dengan: s adalah kecuraman lereng dalam (persen).

Di dalam praktek lapangan nilai L dan S sering dihitung sekaligus berupa faktor LS dan untuk suatu bidang tanah dapat dihitung dengan persamaan:

LS = (X/22,10)m(0,065+4,56Sin+65,41 Sin2 ... (2.14) Atau

LS = (X/22,10)m(0,065+4,56 s + 65,41 s2 ……….. (2.15) dengan: m = konstanta seperti dalam persamaan (2.8)

 = sudut kemiringan lereng tanah (derajat) s = kemiringan lereng tanah (persen)

Untuk nilai s = 9 persen, digunakan nilai m=0.5, sehingga diperoleh persamaan: LS =  X (0,0138+0,00965 s + 0,00138 s2) ... (2.16) dengan X = panjang lereng (m),

s = kecuraman lereng (persen)

Departemen Kehutanan memberikan Nilai Faktor Kemiringan Lereng, yang ditetapkan berdasarkan kelas lereng, seperti dalam Tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4. Penilaian Kelas Lereng dan Faktor LS

Kelas Lereng Kemiringan Lereng Nilai LS

I II III IV V 0-8 8-15 15-25 25-40  40 0,40 1,40 3,10 6,80 9,50 Sumber: B.A. Kironoto, 2003

(12)

2.3.5. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

Faktor pengelolaan tanaman merupakan rasio tanah yang tererosi pada suatu jenis tanaman terhadap tanah yang tererosi pada kondisi permukaan lahan yang sama tetapi tanpa pengelohan tanaman. Besarnya faktor C dapat diperhitungkan dari jenis tata guna lahannya (Asdak, 1995). Untuk beberapa macam penggunaan lahan, nilai faktor C (pengelolaan tanaman) disesuaikan menurut Tabel 2.5.

2.3.6. Faktor Tindakan Khusus Konservasi Tanah (P)

Adanya tindakan pengendalian laju erosi (pengelolaan) secara mekanis, seperti penanaman mengikuti faktor C, strip cropping, dan pembuatan teras adalah merupakan nilai dari faktor P. Penentuan nilai faktor P seperti halnya faktor C. Faktor P adalah perbandingan antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu tindakan konservasi tertentu pada petak standar terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah menurut arah lereng.

(13)

Tabel 2.5. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (C)

No Macam Penggunaan Nilai Faktor C

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Tanah terbuka/tanpa tanaman Sawah Tegalan Ubikayu Jagung Kedelai Kentang Kacang tanah Padi Tebu Pisang

Akar wangi (sereh wangi) Rumput bede (tahun pertama) Rumput bede (tahun kedua) Kopi dengan penutup tanah buruk Talas

Kebun campuran: kerapatan tinggi Kerapatan sedang

Kerapatan rendah Perladangan

Hutan alam: serasah banyak Serasah kurang

Hutan produksi: tebang habis Tebang pilih

Semak belukar/padang rumput Ubi kayu + kedelai

Ubi kayu + kacang tanah Padi – sorgum

Padi – kedelai

Kacang tanah + gude (tanaman polongan) Kacang tanah + kacang tunggak

Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha Padi + mulsa jerami 4 ton/ha

Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha Kacang tanah + mulsa kacang tunggak Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ha Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman Alang-alang murni subur

1,00 0,01 0,70 0,80 0,70 0,399 0,40 0,20 0,561 0,20 0,60 0,40 0,287 0,002 0,20 0,85 0,10 0,20 0,50 0,40 0,001 0,005 0,50 0,20 0,30 0,181 0,195 0,345 0,417 0,495 0,571 0,049 0,096 0,128 0,259 0,377 0,079 0,357 0,001 Sumber: B.A. Kironoto, 2003

(14)

Adapun nilai P untuk beberapa tindakan konservasi sesuai pada Tabel 2.6. Menurut Abdurrachman (1984) penilaian faktor P lebih mudah bila digabungkan dengan faktor C menjadi CP, nilai faktor ini untuk beberapa jenis penggunaan lahan telah ditentukan berdasarkan penelitian di pulau Jawa, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Nilai-nilai Faktor Konservasi Tanah (P) No Tindakan Khusus Konservasi Tanah Nilai P 1

2 3

4 5

Teras bangku : Konstruksi baik Konstruksi sedang

Konstruksi kurang baik Teras tradisional baik

Teras guludan : kacang tanah+kedelai Strip tanaman rumput (padang rumput)

Pengolahan tanah & penanaman sesuai garis kontur:

Kemiringan 0-8% Kemiringan 9-20% Kemiringan  20%

Tanpa tidandakan konservasi

Reboisasi dengan penutup tanah pada tahun awal

0.040 0.150 0.350 0.400 0.105 0.400 0.500 0.750 0.900 1.000 0.300 Sumber: B.A. Kironoto, 2003

Dalam keadaan tanah terbuka tanpa tanaman dan tanpa tindakan konservasi khusus, persamaan USLE menjadi:

A = R K L S ………..(2.16)

Oleh karena pengaruh tanaman dan tindakan konservasi terhadap erosi tidak ada, maka nilai C dan P masing-masing sama dengan satu dan persamaan (2.16) memprediksi besarnya “erosi potensial” yang akan terjadi pada sebidang tanah.

(15)

Sedangkan “erosi actual” yaitu erosi yang sebenarnya terjadi untuk sebidang tanah yang mempunyai tanaman, baik dengan atau tanpa tindakan konservasi, dapat diperoleh dengan memasukkan semua faktor ke dalam persamaan (2.1).

Tabel 2.7. Perkiraan Nilai CP Berbagai Jenis Penggunaan Lahan

Konservasi dan Pengelolaan Tanaman Nilai CP

Hutan :

a. tak terganggu

b. tanpa tumbuhan bawah, dengan serasah c. tanpa tumbuhan bawah, tanpa serasah Semak/belukar: a. tak terganggu b. sebagian berumput Kebun: a. Kebun talon b. Kebun pekarangan Perkebunan:

a. penutupan tanah sempurna b. penutupan tanah sebagian Perumputan:

a. penutupan tanah sempurna

b. penutupan tanah sebahagian, ditumbuhi alang-alang c. alang-alang d. serai wangi Tanaman pertanian: a. umbi-umbian b. biji-bijian c. kacang-kacangan d. campuran e. padi irigasi Perladangan:

a. 1 tahun tanam, 1 tahun bera b. 1 tahun tanam, 2 tahun bera Pertanian dan konservasi: a. mulsa b. teras bangku c. contour cropping 0.01 0.05 0.50 0.01 0.10 0.02 0.20 0.01 0.07 0.01 0.02 0.06 0.65 0.51 0.51 0.36 0.43 0.02 0.28 0.19 0.14 0.04 0.14 Sumber: B.A. Kironoto, 2003

(16)

2.4. Toleransi dan Klasifikasi Bahaya Erosi 2.4.1. Toleransi Erosi

Untuk mencegah terjadinya erosi sampai batas maksimum yang diijinkan disebut dengan tolerasi erosi dan dimaksudkan untuk mengetahui besarnya erosi yang mungkin masih dapat diimbangi dengan tindakan atau perlakuan manusia yang dapat membantu lajunya pembentukan tanah, sehingga besarnya erosi selalu di bawah laju pembentukan tanah (B.A. Kironoto, 2003).

(17)

Erosi yang dipercepat (accelerated erosion) masih dapat dianggap aman, jika tidak melewati suatu batas toleransi kehilangan tanah (Rusdianto, 2002). Besarnya

Erosi

Berkurannya vegetasi Penutup atau pelindung tanah

Memperbesar aliran permukaan (surface runoff)

Mengurangi tingkat kesuburan tanah

Memperkecil infiltrasi (resapan air kedalam tanah)

Sedimen luruh dan Banjir Bandang

Memperbesar debit sungai Aliran Sedimen

Pendangkalan waduk, sungai, muara dan

saluran irigasi SEDIMENTASI

Memperkecil kapasitas

tampungan pengaliran alur sungai BANJIR Pengupasan lapisan

Tanah

Gambar 2.2. Bagan Alir Dampak dan Bencana Erosi

(18)

batas toleransi erosi untuk masing-masing jenis tanah yang berbeda, dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim dan lain-lain. Mengacu pada

kriteria yang digunakan Rusdianto (2002), batas toleransi erosi tanah-tanah di Indonesia sesuai dengan Tabel 2.8. Kriteria dalam penetapan batas toleransi erosi

adalah kedalaman efektif lapisan (solum) tanah dan laju permeabilitas.

Batas nilai toleransi erosi untuk tanah-tanah yang memiliki solum dangkal nilainya kecil bahkan nol, maka pada tanah tersebut tidak boleh terjadi erosi, sedangkan untuk tanah yang memiliki lapisan dalam dan permeabilitas cepat, nilai batas erosinya lebih tinggi. Kedalaman efektif lapisan tanah adalah kedalaman yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus akar.

Tabel 2.8. Pedoman Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) untuk Tanah- tanah di Indonesia

No Sifat Tanah dan Subtratum Nilai T

(mm/tahun)

1. Tanah sangat dangkal di atas batuan 0,0

2. Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk (tidak

terkonsolidasi) 0,4

3. Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 0,8 4. Tanah dengan kedalaman sedang diatas bahan telah

melapuk 1,2

5. Tanah dalam dengan lapisan bawah yang kedap air di atas

bahan yang telah melapuk 1,4

6. Tanah dalam dengan lapisan bawah memiliki

permeabilitas lambat, di atas bahan yang telah melapuk 1,6 7. Tanah dalam dengan lapisan bawah memiliki

permeabilitas sedang di atas bahan yang telah melapuk 2,0 8. Tanah dalam dengan lapisan bawah yang memiliki

permeabilitas cepat di atas bahan yang telah melapuk 2,5 Sumber: Rusdianto, 2002

(19)

Adapun kriteria kedalam tanah adalah, bila tanah mempunyai lapisan dengan kedalaman  90 cm dinyatakan tanah bersolum dalam, 50 -  90 cm tanah bersolum sedang, 25 -  50 cm tanah bersolum dangkal dan apabila  25 cm dinyatakan sebagai tanah bersolum sangat dangkal.

2.4.2. Klasifikasi Bahaya Erosi

Klasifikasi bahaya erosi ini dapat memberikan gambaran, apakah tingkat erosi yang terjadi pada suatu lahan ataupun DAS sudah termasuk dalam tingkatan yang membahayakan atau belum, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.9 berikut:

Tabel 2.9. Klasifikasi Bahaya Erosi Kelas Bahaya Erosi Tanah Hilang

(ton/ha/tahun) Keterangan I  15 Sangat Ringan II 15-60 Ringan III 60-180 Sedang IV 180-480 Berat V  480 Sangat Berat

Sumber: B.A. Kironoto, 2003

Jadi jika besarnya erosi yang terjadi dari hasil perhitungan USLE lebih besar dari nilai T, maka faktor C dan P atau keduanya harus diubah. Yaitu dengan mengubah jenis tanaman dan pola tanam dan/atau dengan tindakan konservasi tanah, dengan demikian sehingga nilai hasil erosi, A  T.

2.5. Dampak dan Bencana Erosi

Pada kenyataannya bahwa kerusakan akibat erosi yang ditimbulkan oleh pengaruh kegiatan manusia lebih besar dari pada kerusakan akibat erosi yang

(20)

disebabkan oleh kekuatan alam. Maka dapat dipastikan bahwa selama manusia belum mengetahui dan menyadari bahaya yang ditimbulkan erosi, seperti tidak akan ada artinya segala usaha yang dilakukan untuk menanggulangi erosi dengan cara-cara lain (PU. Pengairan, 1997).

Masalah erosi dan sedimentasi sangat erat hubungannya dan pengaruh masing-masing dapat saling memberatkan. Dalam skala khusus dampak yang ditimbulkan oleh erosi adalah terhadap kerusakan permukaan lahan (tanah) seperti menurunkan permeabilitas tanah, hilangnya unsur hara ataupun berkurangnya infiltrasi air permukaan kedalam tanah. Pada sisi lain secara umum dampak yang ditimbulkan oleh erosi permukaan merupakan awal dari proses terjadinya sedimen melalui aliran sedimen dari permukaan lahan yang telah terkikis. Hal ini akan berpengaruh pada kapasitas tampungan sungai, waduk akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian bagi manusia dan lingkungan jika terjadi banjir.

2.6. Pengendalian Erosi

Suatu tindakan dan kesadaran mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadinya dan meluasnya erosi permukaan. Menurut Chay Asdak (2002) berikut ini adalah beberapa tuntunan praktis tentang cara melakukan pencegahan erosi:

1. Menghindarkan praktek bercocok tanam yang bersifat menurunkan permeabilitas tanah.

(21)

2. Mengusahakan agar permukaan tanah sedapat mungkin dilindungi oleh vegetasi berumput atau semak selama dan serapat mungkin.

3. Menghindari pembalakan hutan dan penggembalaan ternak berlebihan di daerah dengan kemiringan lereng terjal.

4. Merencanakan dengan baik pembuatan jalan di daerah rawan erosi/tanah longsor sehingga aliran air permukaan tidak mengalir ke selokan-selokan di tempat rawan tersebut.

5. Menerapkan teknik-teknik pengendali erosi pada lahan pertanian, dan mengusahakan peningkatan laju infiltrasi.

Suatu tindakan pengendalian erosi dengan metode konservasi tanah dapat dilaksanakan dengan manfaat langsung dengan memahami proses dan mekanisme terjadinya erosi. Teknik-teknik konservasi bertujuan dan dirancang untuk:

1. Mencegah erosi percikan akibat curahan air hujan langsung atau melalui air lolos. 2. Meningkatkan kekasaran permukaan tanah untuk menurunkan kecepatan aliran

air permukaan.

3. Memperpendek panjang lereng dan mengurangi kemiringan lereng, dan dengan demikian, mereduksi kekuatan aliran air permukaan.

4. Memperbesar laju infiltrasi air hujan sehingga dapat memperkecil jumlah dan kecepatan air larian.

5. Mencegah terkonsentrasinya aliran air permukaan membentuk saluran-saluran air yang kondusif terhadap terbentuknya erosi parit.

(22)

Untuk mencegah dan mengendalikan erosi permukaan ini, harus sesuai dengan kondisi lahan yang ditinjau dan memakai ketetapan-ketetapan dalam persamaan USLE terutama dalam hal faktor C (pengelolaan tanaman) dan faktor P (tindakan khusus konservasi tanah).

Pengendalian erosi dapat dilakukan dengan menurunkan nilai C dan P. Pada prinsipnya harus diketahui keadaan tataguna lahan (eksisting) dan peruntukan lahan terhadap suatu kawasan fungsional. Adapun kriteria penentuan status kawasan menurut Departemen Kehutanan adalah sebagai berikut ini (Asdak, 2002)

a. Kawasan Lindung

Suatu lahan dengan faktor fisiknya memenuhi kriteria salah satu atau beberapa syarat di bawah ini:

1. Mempunyai kemiringan lereng > 45%.

2. Tanah dengan klasifikasi sangat peka terhadap erosi dan mempunyai kemiringan lereng > 15%.

3. Merupakan jalur pengaman aliran sungai, sekurang-kurangnya 100 m di kiri-kanan alur sungai.

4. Merupakan pelindung mata air, yaitu 200 m dari pusat mata air. 5. Berada pada ketinggian ≥ 2000 dpl.

(23)

b. Kawasan Penyangga

Suatu lahan dengan memenuhi kriteria umum sebagai berikut:

1. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara ekonomis.

2. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga.

3. Tidak merugikan dari segi ekologi/lingkungan hidup. c. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan

Suatu lahan yang sesuai untuk dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (tanaman perkebunan dan tanaman industri). Selain itu areal tersebut harus memenuhi kriteria umum untuk kawasan penyangga.

d. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim

Suatu lahan dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan serta terletak di tanah milik, tanah adat, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman semusim.

Dalam kajian ini dengan mengacu pada kriteria di atas, arahan penggunaan lahan didasarkan pada Arahan Penggunaan Lahan dari Balai DAS Serayu Opak Departemen Kehutanan Yogyakarta. Singkatan atau inisial kawasan untuk penggunaan lahan adalah sebagai berikut:

A = kawasan lindung B = kawasan penyangga

(24)

D = kawasan budidaya tanaman semusim.

T3 = penyempurnaan teras dengan penanaman kakao, kopi, atau rumput. L8 = pengaturan drainase, saluran, jalan dan halaman.

V2b = pola tanam tumpang gilir (crop rotation) tembakau dengan, jagung, kacang tanah + mulsa sisa tanaman.

V3 = hutan produksi terbatas.

V5a = hutan rakyat dengan jenis tanaman pokok albizia, mahoni, sengon, jati dan murbei.

V6a = kebun campuran dengan tanaman pokok kakao, kopi, kelapa, cengkeh. V6b = agroforestry dengan jenis tanaman pokok albizia, mahoni, sengon, dan

jati.

KC = kebun campuran, TG: tegalan, SB: semak belukar, HT: hutan, SI: sawah beririgasi, ST: sawah tadah hujan, PK: pemukiman/kampung, ke: kelapa, ch: cengkeh, kl: ketela, sgn: sengon, mli: melinjo, ps: pisang, dr: durian, jt: jati, ar: aren, km:kayu manis, kp: kapulaga, pan: panili, tb: tebu, rb: rambutan, jb: jambu, kle: kedele, bw: bawang, kk: kakao, kt:kentang, jg: jagung, jh:jahe, cb: cabai.

2.7. Sedimentasi

2.7.1. Pengertian Sedimentasi

Sedimentasi biasanya digambarkan sebagai partikel pada yang digerakkan oleh fluida (Chow, 1964), sedangkan menurut Manan (1979), sedimentasi adalah

(25)

proses pengendapan dari bahan organik dan nonorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air. Pada DAS, partikel dan unsur hara yang larut dalam aliran permukaan, akan mengalir ke sungai dan teluk sehingga terjadi pendangkalan.

Shen (1971), mengemukakan bahwa partikel sedimen diangkut oleh aliran air dengan salah satu atau kombinasi dari mekanisme pengangkutan yang terdiri atas:

1. Perayapan (surface creep), di mana partikel sedimen bergerak menggelinding (rolling) atau menggeser (slidding) di atas dasar sungai.

2. Saltasi (saltation), di mana partikel sedimen bergerak dengan melompat lompat (leaping) di atas dasar sungai dan ada kalanya berhenti (resting) kemudian melompat lagi.

3. Suspensi (suspended), di mana partikel sedimen selama bergerak didukung oleh fluida di sekitarnya (supported) sehingga tidak bersentuhan dengan dasar sungai.

Sedimen di mana partikelnya bergerak melayang dalam air yang dibawa oleh aliran air yang dibawa oleh aliran air disebut suspended load atau muatan melayang. Sedimen yang digerakkan partikel partikelnya dengan cara menggelinding, bergeser dan melompat disebut bed load atau muatan dasar.

Batas yang jelas antara keduanya sukar sekali, secara umum tinggi maksimum bed load dari dasar sungai berada 2 atau 3 kali diameter partikelnya. Menurut Linsley et al. (1988), berdasarkan asalnya sedimen terdiri dari atas dua bagian, yaitu:

1. Angkutan sedimen dasar (bed material transport), di mana asal materialnya dari saluran sendiri sehingga dapat terdiri dari bed load dan suspended load.

(26)

2. Muatan hanyutan (wash load), di mana materialnya didatangkan dari sumber sumber luar saluran (erosi) dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan keadaan setempat. Umumnya wash load sebagai suspended load.

2.7.2. Karakteristik Sedimen

Beberapa hal yang menunjukkan karakteristik sedimen, yaitu ukuran partikel dan kecepatan jatuh dari sedimen. Ukuran partikel dan pola penyebarannya adalah

penting dalam analisa sedimen. Penyebaran sedimen di sungai, apakah bergerak di dasar sungai atau merupakan suspense. Kecepatan jatuh partikel juga berperan

penting dalam menentukan ukuran maupun posisi partikel di sungai (Shen, 1979). Pergerakan partikel sedimen di sungai dipengaruhi oleh gaya gravitasi, gaya tahanan air dan gaya akibat pergerakan air.

Klasifikasi ukuran sedimen direkomendasikan oleh sub Komisi Teknologi Sedimen, Komisi Dinamika Sungai, Persatuan Ahli Geofisika Amerika Serikat, menjadi 6 kelas (Yuswadi, 1982) sebagai berikut:

1. Batu, diameter lebih besar dari 250 mm. 2. Kerakal, diameter 64 mm sampai 250 mm. 3. Kerikil, diameter 2 mm sampai 64 mm. 4. Pasir, diameter 62 µm sampai 200 µm. 5. Debu, diameter 62 µm sampai 200 µm. 6. Liat, diameter 62 µm sampai 200 µm.

Gambar

Gambar 2.1. Jenis-jenis Erosi
Gambar 2.2. Bagan Alir Dampak dan Bencana Erosi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan Penetapan Pembentukan, Kedudukan, Tugas, Fungsi, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan

Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia, Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Sistem Pengendalian Internal Terhadap Kualitas

Dalam masalah kenakalan remaja ini sasaran yang dituju pastilah remaja yang bertempat tinggal di Pekalongan. Remaja yang menjadi sasaran dalam penyuluhan ini

Peran ICCTF adalah untuk menggalang, mengelola dan menyalurkan pendanaan yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim serta mendukung program pemerintah untuk

Teknik merupakan suatu upaya pelaksanaan suatu gerak secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam setiap permainan, pengenalan teknik sangat penting.

menggunakan metode penelitian regresi linear berganda dan menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu, Cash Ratio dan Loan Deposit ratio tidak memiliki pengaruh

kejadian masa lalu akan bersfat statis kedepan sehinga sejarah emisi dari masa lalu akan diekstrapolasi.. Penentuan REL pada metode ini bahwa emisi masa lalu dapat digunakan

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang