STUDI PEMBANGUNAN PLTU KAMBANG 2x100 MW
dan PENGARUHNYA TERHADAP TARIF LISTRIK REGIONAL di SUMATERA BARAT
Hamid Paminto Nugroho
Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Gedung B dan C Sukolilo Surabaya 60111
Telp. (031)5947302, 5994251-54 Pes. 1206, 1239, Fax. (031)5931237
Abstrak - Untuk memenuhi kebutuhan energi
listrik di Pulau Sumatera, PLN telah membuat
jaringan interkoneksi dari seluruh pembangkit yang
ada di kepulauan Sumatera. Namun interkoneksi
yang telah terpadu di Sumatera belum sepenuhnya
menyelesaikan masalah defisit listrik yang terjadi. Hal
itu dikarenakan pasokan energi dari pembangkit yang
tersedia masih lebih kecil dari beban yang harus
dipenuhi.
Pembangunan PLTU Batubara Kambang 2x100
MW di daerah Sumatera Barat, termasuk ke dalam
proyek 10.000 MW. PLTU Kambang akan dibangun
dengan kapasitas 2x100 MW. Pembangunan PLTU
Kambang merupakan salah satu solusi untuk
memenuhi kebutuhan beban yang terus berkembang
di Sumatera, khususnya di daerah Sumatera Barat.
Adapun tinjauan pembangunan PLTU ini meliputi
aspek teknis, ekonomi, sosial, serta aspek lingkungan.
Kata Kunci : Interkoneksi Sumatera, PLTU Batubara,
Proyek 10.000 MW.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Sumatera merupakan wilayah Negara
Indonesia yang sangat potensial untuk berkembang.
Pertumbuhan ekonomi di Sumatera tercatat rata-rata 8 %
per propinsi pertahunnya. Pemerintah daerah tampaknya
juga semakin tanggap menyongsong peluang
pengembangan daerah mereka, namun pertumbuhan
ekonomi dan industri di Sumatera ini juga perlu dibarengi
dengan penyediaan infrastruktur yang baik. Rasanya sulit
untuk menyangkal bahwa ketersediaan listrik turut
mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah.
Kebutuhan listrik di Pulau Sumatera jauh lebih kecil
dibanding dengan kebutuhan listrik di Pulau Jawa, dengan
pangsa hanya sekitar 16% pada tahun 2003 dan menjadi
18% pada tahun 2025. Mengingat Pulau Sumatera akan
menjadi lumbung energi dan dapat dikatakan pemakaian
listrik di pulau ini masih tergolong rendah menyebabkan
peningkatan kebutuhan listrik di pulau ini diasumsikan
lebih tinggi dibanding Jamali, yaitu sebesar 8,6% per
tahun, dari 21,14 TWh pada tahun 2003 menjadi 128,91
TWh pada tahun 2025. Peningkatan pertumbuhan
kebutuhan listrik 8,6% per tahun tersebut juga dipicu oleh
membaiknya perekonomian di Sumatera dan adanya
program peningkatan rasio elektrifikasi di Sumatera.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi
listrik setiap tahunnya di Sumatera Barat, maka dirasakan
perlu untuk membangun pembangkit tenaga listrik yang
baru. PLTU Batubara kambang 2x100 MW merupakan
salah satu usaha pemanfaatan batubara yang berlimpah
dan mengurangi pemakaian solar untuk beberapa PLTD
di Sumatera Barat. Lokasi pembangunan PLTU Batubara
Kambang 2x100 MW berada di kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatera Barat.
1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam
penyusunan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi eksisting ketenaga listrikan di
Sumatera Barat.
2. Kebutuhan energi listrik di Sumatera dalam jangka
pendek dan berapa besar kapasitas daya yang
diperlukan pembangkit untuk mensuplai kebutuhan
energi listrik saat ini dan proyeksinya untuk masa
mendatang.
3. Bagaimana layout perencanaan serta komponen
peralatan yang sesuai untuk pembangunan PLTU
Kambang 2 x 100 MW.
4. Seberapa besar peranan pembangunan PLTU
Kambang 2x100 MW dalam mensuplai kebutuhan
listrik sistem kelistrikan Sumatera, khususnya
Sumatera Barat.
5. Dampak dari pembangunan PLTU Kambang 2x100
MW terhadap tarif listrik di Sumatera Barat, ditinjau
dari kemampuan daya beli masyarakat.
1.3 Batasan Masalah
Dalam penulisan Tugas Akhir ini permasalahan
diatas dibatasi sebagai berikut:
1. Kebutuhan energi listrik di Sumatera Barat dibatasi
hanya dalam kurun waktu antara 2009 sampai 2025.
2. Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam
pembangunan PLTU ini dibatasi hanya dalam aspek
teknik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah mempelajari dan
menganalisa pembangunan PLTU Kambang 2x100 MW
di Sumatera Barat dalam usaha pemenuhan kebutuhan
tenaga listrik di Sumatera Barat khususnya dan di
Sumatera pada umumnya melalui program 10.000 MW
dengan mempertimbangkan aspek teknik, ekonomi, sosial
dan lingkungan.
II. TEORI PENUNUJANG
2.1 Pembangkit Tenaga Listrik
Secara umum pembangkitan tenaga listrik dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Berdasarkan metode pembangkitannya, dapat
dibedakan menjadi:
a. Metode pembangitan dengan konversi langsung
(direct energy conversion), yaitu terbangkitnya
energi listrik (dari energi primer) terjadi secara
langsung, tanpa keterlibatan bentuk energi lain
sebagai perantara.
b. Metode pembangkitan dengan konversi tak
langsung (indirect energy conversion), yaitu
terbangkitnya energi listrik (dari energi primer)
berlangsung dengan cara melibatkan suatu bentuk
energi lain.
2. Berdasarkan proses pembangkitannya, dapat
dibedakan menjadi :
a. Pembangkit non thermal, yaitu pembangkit yang
dalam pengoperasiannya tanpa melalui proses
thermal atau pemanasan.
b. Pembangkit thermal, yaitu pembangkit yang dalam
pengoperasiannya melalui proses thermal atau
pembakaran.
2.2 Bahan Bakar Batubara
Batubara adalah sisa tumbuhan dari zaman prasejarah
yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa
dan lahan gambut. Penimbunan sisa tumbuhan dan
sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran kerak bumi
(dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur rawa dan
gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat
dalam. Dengan penimbunan, material tumbuhan tersebut
terkena suhu dan tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan
yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut
mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi dan
mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan
kemudian batubara.
Batubara diklasifikasikan dalam berbagai cara
menurut sifat-sifat kimia dan fisiknya. Sistem yang paling
umum diterima adalah yang digunakan oleh American
Society for Testing and Materials (ASTM, perhimpunan
pengujian dan bahan di Amerika Serikat), yang
membagi-bagi atas berbagai kualitas batubara atau berdasarkan
tingkat metamorphosis (perubahan bentuk dan struktur
dibawah pengaruh suhu, tekanan, dan air). Klasifikasi ini
mencakup batubara mulai dari keadaan metamorphosis
yang paling rendah yaitu lignit, subbitumin, bitumin dan
yang tertinggi yaitu antrasit.
2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pembakaran batubara akan menghasilkan uap dan gas
buang yang panas. Gas buang itu berfungsi juga untuk
memanaskan pipa boiler. Gas buang selanjutnya dialirkan
ke pembersih yang di dalamnya terdapat alat pengendap
abu, setelah gas itu bersih lalu dibuang ke udara melalui
cerobong. Uap itu kemudian dialirkan ke turbin yang akan
menyebabkan turbin bergerak, tapi karena poros turbin
dikopel / digandeng dengan poros generator akibatnya
gerakan turbin itu akan menyebabkan pula gerakan
generator sehingga menghasilkan energi listrik.
Sedangkan uap yang sudah dipakai dialirkan ke
kondensor untuk didinginkan sehingga berubah menjadi
air dan dengan bantuan pompa, air itu dialirkan ke boiler
sebagai air pengisi.
PLTU ini dilengkapi dengan presipitator elektro
static, yaitu suatu alat untuk mengendalikan partikel yang
akan keluar cerobong dan alat pengolah abu batubara.
Pada waktu PLTU batubara beroperasi suhu pada
kondensor naiknya begitu cepat, sehingga menyebabkan
kondensor menjadi panas. Sedangkan untuk mendingikan
kondensor bisa di gunakan air, tapi harus dalam jumlah
yang besar, hal inilah yang menyebabkan PLTU dibangun
dekat dengan sumber air yaitu di tepi sungai atau di tepi
pantai.
Gambar 2.1 Prinsip Kerja PLTU
2.4 Biaya Pembangkitan Tenaga Listrik
Beberapa faktor yang harus diperhitungkan dalam
usaha pemenuhan kebutuhan listrik akibat dari pola
pemakaian konsumen adalah faktor beban, faktor
kapasitas dan faktor kemampuan dari pembangkit tenaga
listrik. Biaya pembangkitan total tanpa biaya eksternal
merupakan penjumlahan dari biaya modal, biaya bahan
bakar, serta biaya operasional dan perawatan.
2.5 Aspek Lingkungan
Dalam pembangunan suatu pembangkit harus
memperhatikan aspek lingkungan sesuai dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh
pemerintah dan untuk memperkirakan dampak yang akan
terjadi, maka perlu dilakukan analisa mengenai dampak
lingkungan (AMDAL). Pembangunan pembangkit tenaga
listrik dikategorikan dalam beberapa tahapan, yaitu :
2.5.1 Tahap Pra Konstruksi
a. Persepsi Masyarakat
Dampak kegiatan pembangunan pembangkit listrik
tenaga uap pada tahap pra konstruksi antara lain ketika
diadakan survei awal, dapat menurunkan persepsi
masyarakat karena ketidaktahuan masyarakat terhadap
rencana kegiatan. Ini dapat diatasi dengan diadakannya
penyuluhan kepada masyarakat mengenai rencana
kegiatan yang akan dilaksanakan secara rutin, dengan
mengadakan pendekatan terhadap tokoh-tokoh
masyarakat setempat dan para pemuka agama di daerah
tersebut.
b. Interaksi Sosial
Jika pembangunan pembangkit terletak di lingkungan
permukiman penduduk, maka akan terjadi pemindahan
penduduk. Bentuk pengelolaan lingkungan yang dapat
dilakukan adalah mengadakan penyuluhan, menempatkan
penduduk di daerah yang baru dengan susunan sesuai
dengan daerah asal, memperhatikan keinginan penduduk
dan memberi penyuluhan kepada pendatang atau pekerja
untuk dapat membaur dengan penduduk setempat.
2.5.2 Tahap Konstruksi
a. Iklim, Flora, dan Fauna
Pada tahap konstruksi akan terjadi penurunan kualitas
udara berupa meningkatnya kandungan debu akibat
transportasi bahan bangunan, peralatan, dan pekerja di
sepanjang jalan yang dilewati sarana transportasi menuju
lokasi proyek. Jika lokasi pusat pembangkit tenaga listrik
dekat laut (untuk mempermudah transportasi bahan
bakar), maka dampak yang lain adalah terjadi perubahan
mendasar pada biota laut. Ini akibat dari kegiatan
reklamasi pantai.
b. Sosial Ekonomi Budaya
Dengan adanya pembangunan pembangkit tenaga
listrik, maka akan tercipta lapangan kerja (sementara)
selama pembangunan, serta terjadi peningkatan maupun
penurunan pendapatan masyarakat. Penurunan tingkat
pendapatan masyarakat terjadi akibat dari kegiatan
penguasaan lahan oleh PLN, sedangkan peningkatan
pendapatan merupakan dampak tidak langsung dari
kegiatan pengadaan tenaga kerja.
2.5.3 Tahap Operasi
a. Iklim
Pada tahap pengoperasian akan terjadi penurunan
kualitas udara yaitu berupa peningkatan konsentrasi
gas-gas SO2, NOx dan CO2. Kegiatan yang menimbulkan
dampak terhadap kualitas udara adalah pengoperasian
unit-unit pembangkit yaitu pembakaran bahan bakar
minyak, gas alam, dan batubara. Saat pengoperasian juga
akan terjadi peningkatan kebisingan yang disebabkan oleh
dioperasikannya unit-unit pembangkit dan boiler. Tingkat
kebisingan yang tinggi dapat mengganggu kesehatan
pendengaran penduduk setempat.
b. Dampak Terhadap Air
Pada saat pusat pembangkit tenaga listrik beroperasi
akan terjadi penurunan kualitas air permukaan yang
digunakan sebagai pendingin. Jika pembangkit dibangun
dekat laut dan menggunakan air laut sebagai
pendinginnya, maka kenaikan temperatur air laut disekitar
outlet akan mengganggu biota laut. Air laut juga akan
terjadi peningkatan logam Fe,Ni, akibat adanya rembesan
penimbunan logam padat.
c. Flora dan Fauna
Pada saat pembuangan air pendingin ke laut, maka
akan terjadi perubahan biota laut. Dampak tersebut berupa
kematian biota yang sensitif terhadap temperatur.
Sehingga dapat menurunkan keanekaragaman spesies
sebagai akibatnya komunitas biota laut akan didominasi
oleh spesies yang resisten terhadap temperatur yang
tinggi.
2.5.4 Tahap Pasca Operasi
Pada tahap ini dampak yang ditimbulkannya antara
lain adanya pemutusan hubungan kerja dan tanah atau
lahan bekas pembangkit menjadi tanah yang gersang
sehingga perlu untuk segera dilakukan pengolahan tanah
atau lahan tersebut.
2.6 Energi Terjual
Perkiraan energi terjual PLN diperoleh dengan
menjumlahkan energi terjual pada sektor rumah tangga,
sektor komersil, sektor publik dan sektor industri.
2.7 Metode Peramalan Kebutuhan Listrik
Peramalan kebutuhan listrik adalah untuk mengetahui
akan kebutuhan listrik di tahun yang akan datang dapat
dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan
metode regresi dan metode DKL 3.01 Metode regresi
adalah suatu peramalan dengna menggunakan metoda
kecenderungan. Sedangkan metode DKL 3.01 merupakan
metode menghitung peramalan kebutuhan listrik tiap
pelanggan dengan memperhitungkan rasio elektrifikasi
tiap pelanggan.
2.6.1 Model DKL 3.01
Salah satu model peramalan beban adalah model
DKL 3.01, digunakan untuk menyusun perkiraan dengan
model sektoral yaitu metode gabungan antara
kecenderungan ekonometris dan analitis. Perkiraan
kebutuhan tenaga listrik model sektoral digunakan untuk
menyusun perkiraan kebutuhan tenaga listrik pada tingkat
wilayah. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung
kebutuhan listrik adalah dengan mengelompokkan
pelanggan menjadi lima sektor yaitu:
1. Sektor rumah tangga.
2. Sektor bisnis.
3. Sektor publik.
4. Sektor industri.
Dari parameter-parameter tersebut dapat diperoleh
konsumsi energi per kelompok pelanggan, sehinggga
didapatkan energi konsumsi total. Dengan peramalan ini
diketahui energi konsumsi yang natinya dapat
memprediksi kapasitas pembangkit yang akan di bangun.
Metode DKL 3.01 ini menggunakan pendekatan analisa
data statistik penjualan tenaga listrik.
2.6.2 Model Regresi Linier
Metode Regresi Linier Berganda dapat digunakan
untuk menghitung proyeksi kebutuhan energi listrik
jangka panjang. Dalam ini diperlukan faktor / parameter
yang akan dijadikan acuan dalam perhitungan. Dalam
peramalan kebutuhan energi listrik parameter yang
dipakai adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan jumlah pelanggan rumah tangga (X1)
2. Pertumbuhan jumlah pelanggan bidang usaha (X2)
3. Pertumbuhan jumlah pelanggan bidang publik (X3)
4. Pertumbuhan jumlah pelanggan industri (X4)
5. Pertumbuhan jumlah penduduk (X5)
6. Peningkatan PDRB suatu wilayah (X6)
7. Energi listrik terjual (Y)
III. KONDISI KETENAGALISTRIKAN DI
SUMATERA BARAT
3.1 Kondisi Umum Ketenagalistrikan Sumatera Barat
Sekitar 95% beban di Propinsi Sumatera Barat
dipasok oleh PLN P3B Sumatera dan sisanya dipasok
pembangkit-pembangkit dalam sistem terisolasi di pulau
Mentawai dan Sungai Penuh yang dikelola oleh PLN
Wilayah Sumatera Barat sendiri.
Produksi energi listrik di Propinsi Summatera Barat
tahun 2008 sebesar 2.299,56
GWh, sedangkan penjualan
tenaga listrik untuk propinsi Sumatera Barat hingga akhir
2008 mencapai 2.127,09 GWh dengan komposisi
penjualan per sektor pelanggan untuk rumah tangga
adalah 918,05 GWh, bisnis 228,66 GWh, industri 171,25
GWh, dan publik 809,13 GWh.
3.2 Rasio Elektrifikasi Sumatera Barat
Rasio elektrifikasi merupakan perbandingan jumlah
rumah tangga yang sudah menikmati pasokan listrik
dengan jumlah total rumah tangga. Rasio elektrifikasi
propinsi Sumatera Barat sampai pada tahun 2008 yaitu
sebesar 68,72%. Di Propinsi Sumatera Barat terdapat 254
Desa / Kampung, 89 Nagari / Kelurahan yang belum
teraliri listrik.
3.3 Pelanggan Listrik dan Konsumsi Energi Listrik
Pelanggan listrik di Sumatera Barat bervariasi
diantaranya rumah tangga, komersil, industri, multiguna
dan sosial. Pada tahun 2008 sektor rumah tangga
merupakan jenis pelangan listrik terbanyak sebesar
815.431 pelanggan, komersil 51.507 pelanggan, umum
51.184 pelanggan, dan industri 332 pelanggan, dengan
total pelanggan keseluruhan yaitu sebesar 918.454
pelanggan.
3.4 Beban Puncak
Wilayah Sumatera Barat termasuk kedalam sistem
kelistrikan sumbagteng. Dari tahun-ketahun permintaan
kebutuhan listrik di Propinsi Sumatera Barat mengalami
peningkatan. Dengan bertambahnya pelanggan maka
secara otomatis beban puncak yang akan terjadi
peningkatan. Beban puncak harian di Sistem Sumatera
Bagian Tengah pada tahun 2008 terus bervariasi. Pola
beban harian pada hari-hari tertentu seperti hari kerja, hari
proklamasi 17 Agustus, hari minggu, Idul Fitri dan Idul
Adha pada tahun 2008 secara umum berbentuk sama,
tetapi terdapat perbedaan pada jumlah konsumsi daya.
Beban puncak tertinggi terjadi pada hari kerja yaitu
sebesar 1291,4 MW. Sedangkan untuk hari minggu beban
puncak berkisar 1238,6 MW.
Gambar 3.1 Kurva Beban Harian Sistem
SUMBAGTENG Tahun 2008
IV. ANALISA PEMBANGUNAN PLTU
4.1 Pembangunan PLTU Kambang
Untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik di
Provinsi Sumatera Barat, maka PT Inti Energi Abadi akan
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
dengan kapasitas terpasang 2 x 100 MW di daerah
Kambang, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera
Barat. Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap
dengan bahan bakar batu bara itu diperkirakan menelan
biaya mencapai 200 juta dolar. Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini akan dimulai
akhir tahun 2010.
Rencana PLTU ini dibangun di daerah
perbukitan berpasir / kerakal, di tepi Teluk Mentawai.
Gambar 4.1 Lokasi Pembangunan PLTU Kambang
2x100 MW
PLTU Kambang akan dibangun dengan kapasitas
2x100 MW diperkirakan beroperasi pada tahun 2012,
sehingga akan menambah kemampuan pembangkit pada
Propinsi Sumatera Barat termasuk sistem
SUMBAGTENG dan PLTU ini juga sebagai penyangga
beban dasar di Sumatera Barat.
4.2 Perhitungan Kebutuhan Batubara
Terdapat tiga parameter yang mempengaruhi jumlah
kebutuhan batubara :
1. Nilai kalor (caloric value) batubara yang dibakar.
2. Kebutuhan batubara tiap kWh.
3. Faktor kapasitas (capacity factor) pembangkit.
Lokasi PLTUmaka :
KB = P x CF x SFC x 8760 ... (4.1)
dimana :
KB = kebutuhan batubara perhari (kg/hari).
P = daya pembangkit (kWh).
CF = capacity factor (%).
SFC = kebutuhan batubara tiap kWh (kg/kWh).
Sebuah pembangkit batubara thermal, berbahan bakar
batubara dengan kapasitas pembangkit 2x100 MW,
batubara yang digunakan yaitu jenis lignit dengan nilai
kalor 4200 kcal/kg, capasity factor (CF) pembangkit
sebesar 85%, dan kebutuhan batubara tiap kWh sebesar
0,514 kg/kWh, maka nilai estimasi banyaknya batubara
yang dibutuhkan oleh pembangkit adalah sebagai berikut :
KB = 2 x 100 x 0,85 x 0,514 x 8760
= 765.448,8 ton per tahun
PLTU Kambang 2 x 100 MW, direncanakan akan
beroperasi selama kurun waktu 25 tahun, sehingga
kebutuhan batubara selama beroperasi :
KB = 765.448,8 x 25
= 19.136.220 ton
Dengan banyaknya batubara yang dibutuhkan yaitu
sebesar 19.136.220 ton selama beroperasi, dengan
mengasumsikan bahwa cadangan batubara jenis lignit di
Propinsi Sumatera Barat yaitu sebanyak ± 200 juta ton,
maka dapat dilhat bahwa kebutuhan akan batubara
sebagai bahan bakar pada PLTU Kambang yaitu sebesar
9,568% dari cadangan batubara propinsi Sumatera Barat.
4.3 Analisa Ekonomi Teknologi PLTU
Sedangkan untuk analisa mengenai aspek ekonomi
yaitu menyangkut teknologi yang akan diaplikasikan pada
pembangkit tersebut, seperti pada sistem pembangkitan,
investasi yang dibutuhkan, biaya bahan bakar, proyeksi
laba-rugi serta kelayakan investasi.
4.3.1 Estimasi Biaya Investasi Modal (Capital Cost)
Biaya modal ini sering disebut juga fixed charge rate,
yaitu suatu faktor yang biasa digunakan untuk
mengkonversikan pengeluaran-pengeluaran modal karena
pajak pendapatan, pajak milik, nilai asuransi dan
pengeluaran-pengeluaran tambahan dalam bentuk biaya
tahunan.
CC =
To m Ps CRF . .... (4.2)
CRF merupakan faktor pengembalian modal, yang
berarti nilai investasi yang ditanam untuk saat ini, yang
dihitung sampai dengan masa tahun pemanfaatan barang
yang dibeli.
CRF =
1 ) 1 ( ) 1 ( − + + n n i i i... (4.3)
dimana :
i
= bunga 12% dan 6% pertahun untuk pinjaman lunak.n
= masa pengoperasian pembangkit (PLTU).maka :
untuk i = 12%
CRF
=
1 ) 12 , 0 1 ( ) 12 , 0 1 ( 12 , 0 25 25 − + += 0,1275
untuk i = 6%
CRF
=
1 ) 06 , 0 1 ( ) 06 , 0 1 ( 06 , 0 25 25 − + += 0,0783
Sehingga untuk PLTU batubara konvensional, dengan :
m = faktor manfaat yaitu sebesar 85% (65% hingga 85%)
To = jumlah jam per tahun (24 jam x 365 hari = 8760 jam)
Ps = biaya pembangkitan (US$/kWh)
=
Kapasitas
Biaya
Total
Pembangkit
Investasi
...(4.4)
Ps =
kWh x x 3 6 10 200 10 200= 1000 US$/kWh
maka di dapat capital cost (CC) sebagai berikut :
untuk i = 12%
untuk i = 6%
CC =
To m Ps CRF . .CC =
To m Ps CRF . .=
8760
x
0,85
,
1275
x
1000
0
=
8760
x
0,85
,
0783
x
1000
0
= 0,017123 US$/kWh
= 0,010515 US$/kWh
4.3.2 Biaya Bahan Bakar (Fuel Cost)
Untuk perhitungan biaya bahan bakar (fuel cost),
sangat dipengaruhi oleh harga bahan bakar yang
digunakan yakni batubara. Untuk harga batubara dengan
4200 kcal yaitu sebesar 48.83 US$/ton atau 0,04883
US$/kg = Rp 537,13/kg dengan asumsi 1US$ = Rp
10.000.
Biaya bahan bakar, dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
FC
=
8
60
η.
Ui
/ kWh
...(4.5)
dimana :
1kWh =
860
kcal
FC
= harga bahan bakar (US$/satuan energi)
=
375 , 0)
-5
10
x
(1,16
x
60
8
= 0,026 US$/kWh
= 2,26 cent/kWh
Effisiensi
(η) dari pembangkit terdiri banyak faktor,
tetapi pada PLTU Kambang mempunyai effisiensi yang
berkisar antara 32% hingga 37,5%. Untuk perhitungan
biaya bahan bakar (fuel cost) diasumsikan effisiensi (η)
sebesar 37,5%, maka didapat sebesar 0,0266 US$/kWh.
4.3.3
Biaya Operasi dan Perawatan (Operation &
Maintenance)
Biaya operasi dan perawatan (O&M) dapat
ditentukan dengan persamaan berikut :
Gs =
To
.
Cost
M
&
O
m
...(4.6)
dimana :
Gs = biaya O&M (US$/kWh)
m = faktor manfaat (85%)
To = jam pertahun (8760 jam)
Biaya O&M tetap dan O&M variabel sudah termasuk
ke dalam biaya operasi dan perawatan (O&M) pertahun
tiap unit pembangkit listrik batubara yaitu sebesar
4.736380,5 US$/tahun, maka besarnya biaya O&M
adalah sebesar 0,318 cent/kWh
4.3.4 Analisa Biaya Pembangkitan Total PLTU
Biaya pembangkitan total merupakan penjumlahan
dari biaya modal (capital cost), biaya bahan bakar (fuel
cost), biaya operasi dan perawatan (O&M), untuk suku
bunga 6% didapat TC sebesar 0,0372 US$/kWh dan
untuk bunga 12% didapat TC sebesar 0,0418 US$/kWh
Tabel 4.1 Biaya Pembangkitan Energi Listrik PLTU
Suku Bunga Perhitungan
12% 6%
Biaya Pembangkitan (US$/kWh) 1000 1000
Umur Operasi (tahun) 25 25
Kapasitas (kW) 200.000 200.000
Biaya Bahan Bakar (US$/kWh) 0,02666 0,02666 Biaya O&M (US$/kWh) 0,00318 0,00318 Biaya Modal (US$/kWh) 0,011986 0,00736 Biaya Total (US$/kWh) 0,0469 0,0403 Investasi (million US$) 200 200
4.3.5 Daya Beli Masyarakat (DBM)
Daya beli masyarakat Sumatera Barat yaitu berkisar
Rp. 499/kWh, sedangkan harga pembangkitan total pada
suku bunga 6% sebesar Rp.403/kWh dan untuk suku
bunga 12% sebesar Rp.469/kWh, sehingga menunjukkan
bahwa harga jual listrik PLTU Kambang masih dibawah
daya beli masyarakat.
4.3.6 Net Present Value (NPV)
Metode ini menggunakan pertimbangan bahwa nilai
uang sekarang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai
uang pada waktu mendatang, karena adanya faktor bunga.
Dengan usia pembangkit 25 tahun, maka Net Present
Value untuk suku bunga 12% baik itu non subsidi maupun
subsidi bernilai negative. Sehingga usulan investasi
tersebut tidak dapat diterima atau dengan kata lain
ditolak. Sedangkan untuk suku bunga 6% investasi non
subsidi dan subsidi 50% menghasilkan nilai NPV
negative (tidak layak) dan untuk subsidi 85 %, pada tahun
ke 12 bernilai positif (layak). Maka dipilih investasi
dengan subsidi 85% dan suku bunga 6%. Jika pemerintah
mensubsidi pembangunan PLTU 80% dari biaya modal
maka keuntungan pertahun untuk suku bunga 6% yaitu
sebesar Rp 37.230.000.000/tahun dan untuk suku bunga
12% yaitu sebesar Rp 22.330.800.000/tahun.
4.3.7 Return On Investment (ROI)
Return On Investment adalah kemampuan
pembangkit untuk mengembalikan dana investasi dalam
menghasilan tingkat keuntungan yang digunakan untuk
menutup investasi yang dikeluarkan. Untuk investasi
dengan subsidi 85% dengan suku bunga 6% didapat nilai
ROI positif pada tahun ke 1 dengan keuntungan sebesar
37,23 milliar rupiah, kemudian untuk suku bunga 12%
didapat nilai ROI positif pada tahun ke 2 dengan
keuntungan sebesar 22,33 milliar rupiah.
4.3.8 Bennefit Cost Ratio (BCR)
Bennefit Cost Ratio adalah persentase pertumbuhan
keuntungan selama setahun, yang dapat dicari
berdasarkan keuntungan pada tahun tersebut (Bennefitt)
berbanding Investment Cost. Pada tahun pertama untuk
investasi dengan subsidi 85% dengan suku bunga 6%
didapat persentase pertumbuhan keuntungan sebesar
±1,24%, kemudian untuk suku bunga 12% didapat
persentase pertumbuhan keuntungan sebesar ± 0,74%.
4.3.9 Payback Periode (PP)
Payback Periode adalah lama waktu yang dibutuhkan
agar nilai investasi yang diinvestasikan dapat kembali
dengan utuh. Investasi awal PLTU yaitu sebesar
200.000.000 US$, karena nilai investasi terlalu mahal,
maka di subsidi oleh pemerintah sebesar 85%. Sehingga
investasi pembangunan PLTU menjadi 30.000.000 US$ .
untuk suku bunga 6%, dengan pendapatan pertahun (CIF)
sebesar 3,72 million US$ didapat nilai PP selama ± 1
tahun. Sedangkan untuk suku bunga 12% dengan
pendapatan pertahun (CIF) sebesar 2,23 million US$
didapat nilai PP selama ± 2 tahun.
4.4
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera
Barat
Selama periode tahun 2006 hingga 2007 angka IPM
di Propinsi Sumatera Barat cenderung menunjukkan
peningkatan sebesar 0,6 poin. Peningkatan angka IPM
Propinsi Sumatera Barat seiring dengan peningkatan IPM
Indonesia yaitu sebesar 0,5 point. Angka IPM Propinsi
Sumatera Barat berada di atas IPM Indonesia.
Tabel 4.2 IPM Sumatera Barat Tahun 2006-2007
IPM Peringkat Provinsi di Indonesia 2006 2007 Reduksi Shortfall 2005 2006 1. DKI Jakarta 76,3 76,9 1,11 1 1 9. Sumatera Barat 71,6 72,2 2,05 9 9 10. Jambi 71,3 71,4 0,61 10 10 33. Papua 62,8 63,6 1,76 33 33 INDONESIA 69,7 70,2 1,72
Pembangunan dan pengoperasian PLTU Kambang
dapat menambah pasokan listrik Sumatera Barat. Hal ini
menyebabkan pemadaman bergilir dapat terhindarkan
sehingga pekerjaan penduduk Sumatera Barat dapat
menggunakan energi listrik dengan lancar, siswa-siswi
dapat belajar dengan tenang pada malam hari, proses
penerimaan informasi, kesehatan makanan bergizi dan
sebagainya melalui alat elektronik dapat terjadi, Industri
bekerja tanpa gangguan pemadaman sehingga terjadi
peningkatan kesejahteraan penduduk dan peningkatan
PDRB.
4.5 Pertumbuhan Kebutuhan Energi Listrik di
Sumatera Barat
Pada umumnya pertumbuhan kebutuhan penduduk
akan energi listrik tentunya terkait dengan semakin
bertambahnya penduduk di suatu daerah. Dengan semakin
bertambahnya penduduk, secara langsung akan
mengakibatkan bertambahnya jumlah pelanggan listrik di
daerah tersebut dan juga menambah perkembangan
berbagai sektor industri yang tentunya diperlukan energi
listrik yang semakin besar. Pertumbuhan penduduk untuk
beberapa tahun ke depan diprediksikan dengan melihat
data pertumbuhan beberapa tahun sebelumnya (data
jumlah penduduk dari tahun 1998 sampai dengan tahun
2008). Rata-rata pertumbuhan penduduk Propinsi
Sumatera Barat dari tahun 1998 hingga tahun 2008 yaitu
sebesar 1,03%.
Tabel 4.3 Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Propinsi
Sumatera Barat
Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Pertumbuhan (%) Pertambahan Penduduk (jiwa) 2009 4.795.535 1,03 49.139 2010 4.845.184 1,03 49.649 2011 4.895.346 1,03 50.162 2012 4.946.027 1,03 50.681 2013 4.997.233 1,03 51.206 2014 5.048.970 1,03 51.737 2015 5.101.242 1,03 52.272 2016 5.154.055 1,03 52.813 2017 5.207.415 1,03 53.360 2018 5.261.327 1,03 53.912 2019 5.315.798 1,03 54.471 2020 5.370.832 1,03 55.034 2021 5.426.436 1,03 55.604 2022 5.482.616 1,03 56.180 2023 5.539.378 1,03 56.762 2024 5.596.727 1,03 57.349 2025 5.654.670 1,03 57.943
4.5.1 Peramalan Kebutuhan Energi Listrik di
Sumatera Barat
Proyeksi kebutuhan energi listrik pada suatu wilayah,
bertujuan untuk mendapatkan gambaran besarnya
kebutuhan energi listrik setiap tahunnya yang akan terjadi,
sehingga sedini mungkin bisa dilakukan antisipasi dan
upaya untuk pemenuhan kebutuhan energi tersebut.
Perhitungan kebutuhan energi ini dilakukan dengan 2
model metoda, yaitu model DKL 3.01 dan model regresi.
4.5.1.1 Model DKL 3.01
Dari perhitungan DKL 3.01 dapat dibuat tabel
tentang pertumbuhan jumlah pelanggan energi di
Sumatera Barat dan pertumbuhan konsumsi energi listrik
di Sumatera Barat dari tahun 2009 sampai 2025.
Tabel 4.4 Proyeksi Jumlah Pelanggan Listrik Total
per Kelompok Pelanggan Propinsi Sumatera Barat
Jumlah Pelanggan Tahun
(t) R.Tangga Komersil Publik Industri Total 2009 823873 52040 51714 369 927996 2010 832402 52579 52250 410 937641 2011 841020 53123 52790 455 947388 2012 849727 53673 53337 506 957243 2013 858525 54229 53889 562 967205 2014 867413 54790 54447 624 977274 2015 876393 55357 55011 693 987454 2016 885467 55930 55580 770 997747 2017 894634 56509 56156 856 1008155 2018 903896 57094 56737 951 1018678 2019 913254 57686 57324 105 1028369 2020 922709 58283 57918 1173 1040083 2021 932262 58887 58518 1304 1050971 2022 941913 59496 59123 1448 1061980 2023 951665 60112 59736 1609 1073122 2024 961518 60734 60354 1787 1084393 2025 971472 61363 60979 1985 1095799
Tabel 4.5 Proyeksi Konsumsi Energi Listrik per
Kelompok Pelanggan (GWh) Propinsi Sumatera Barat
Konsumsi Energi Pelanggan (GWh) Tahun
(t) R.Tangga Komersil Publik Industri Total (GWh) 2009 942,87 270,18 827,48 190,24 2230,77
Lanjutan Tabel 4.5... Konsumsi Energi Pelanggan (GWh)
Tahun
(t) R.Tangga Komersil Publik Industri Total 2010 968,22 319,24 846,25 211,34 2345,05 2011 994,11 377,21 865,45 234,78 2471,55 2012 1020,56 445,71 885,08 260,82 2612,17 2013 1047,56 526,64 905,16 289,75 2769,11 2014 1075,14 622,27 925,69 321,88 2944,98 2015 1103,3 735,27 946,69 357,58 3142,84 2016 1132,06 868,78 968,17 397,24 3366,25 2017 1161,42 1026,54 990,14 441,30 3619,40 2018 1191,41 1212,94 1012,59 490,25 3907,19 2019 1222,02 1433,2 1035,57 544,62 4235,41 2020 1253,28 1693,44 1059,06 605,02 4610,80 2021 1285,19 2000,95 1083,08 672,13 5041,35 2022 1317,77 2364,29 1107,66 746,67 5536,39 2023 1351,03 2793,61 1132,78 829,49 6106,91 2024 1384,99 3300,89 1158,48 921,49 6765,85 2025 1419,65 3900,29 1184,76 1023,69 7528,39
4.5.1.2 Metode Regresi
Adapun analisa ini akan membahas tentang
penghitungan perkiraan kebutuhan energi listrik di
Sumatera Barat sampai tahun 2025.
Tabel 4.6 Peramalan Kebutuhan Energi Listrik Tahun
2009 Sampai Dengan 2025 Dengan Metode Regresi
Pelanggan
Tahun Jumlah
Penduduk Rumah
Tangga Komersil Publik Industri
Konsumsi Energi (GWh) 2009 4.795.535 789380 53428 48967 316 1.918 2010 4.845.184 817482 57275 50411 324 1.975 2011 4.895.346 846584 61398 51899 333 2.031 2012 4.946.027 876723 65819 53430 342 2.087 2013 4.997.233 907934 70558 55006 352 2.143 2014 5.048.970 940256 75638 56629 361 2.200 2015 5.101.242 973729 81084 58299 371 2.256 2016 5.154.055 1008394 86922 60019 382 2.312 2017 5.207.415 1044293 93181 61789 392 2.368 2018 5.261.327 1081469 99890 63612 403 2.424 2019 5.315.798 1119970 107082 65489 414 2.481 2020 5.370.832 1159841 114792 67421 425 2.537 2021 5.426.436 1201131 123057 69410 437 2.593 2022 5.482.616 1243892 131917 71457 449 2.649 2023 5.539.378 1288174 141415 73565 461 2.706 2024 5.596.727 1334033 151597 75735 474 2.762 2025 5.654.670 1381525 162511 77970 487 2.818
4.5.2 Peramalan Pertumbuhan Beban Puncak Sistem
Sumatera Barat
Beban puncak merupakan salah satu ukuran besarnya
konsumsi energi listrik, sehingga dengan diketahui besar
beban puncak, maka akan dapat diperhitungkan produksi
atau kapasitas terpasang yang harus tersedia.
Tabel 4.7 Pertumbuhan Beban Puncak di Sumatera
Barat Tahun 2009 Sampai Dengan 2025
Tahun (t) Load Faktor (LF) Beban Puncak (MW) Konsumsi Energi Total (GWh) Daya Mampu (MW) Cadangan Sistem (MW) 2009 0,52 528,89 2.230,77 586,2 57,31 2010 0,52 554,17 2.345,05 586,2 32,03 2011 0,52 582,06 2.471,55 586,2 4,14 2012 0,52 612,98 2.612,17 586,2 -26,78 2013 0,53 647,39 2.769,11 586,2 -61,20 2014 0,53 685,89 2.944,98 586,2 -99,69 2015 0,53 729,12 3.142,84 586,2 -142,91 2016 0,53 777,86 3.366,25 586,2 -191,66 2017 0,54 833,04 3.619,40 586,2 -246,84 2018 0,54 895,72 3.907,19 586,2 -309,52
Lanjutan Tabel 4.7... Tahun (t) Load Faktor (LF) Beban Puncak (MW) Konsumsi Energi Total (GWh) Daya Mampu (MW) Cadangan Sistem (MW) 2019 0,54 967,18 4.235,41 586,2 -380,98 2020 0,54 1048,89 4.610,80 586,2 -462,69 2021 0,54 1142,61 5.041,35 586,2 -556,41 2022 0,55 1250,39 5.536,39 586,2 -664,19 2023 0,55 1374,66 6.106,91 586,2 -788,46 2024 0,55 1518,26 6.765,85 586,2 -932,06 2025 0,55 1684,53 7.528,39 586,2 -1098,33