• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), negara agraris adalah negara dengan sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Tabel 1 menjelaskan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi rata-rata sebesar 41,6 persen sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Selain sebagai penyedia lapangan kerja, pertanian juga memiliki peran dalam perolehan devisa, penyedia bahan pangan, pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto), serta perwujudan pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2000).

Tabel 1. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun

2007-2010

No. Lapangan Pekerjaan

Utama 2007 2008 2009 2010 1 Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 42.608.760 42.689.635 43.029.493 42.825.807 2 Pertambangan dan Penggalian 1.020.807 1.062.309 1.139.495 1.188.634 3 Industri Pengolahan 12.094.067 12.440.141 12.615.440 13.052.521 4 Listrik, Gas, dan Air 247.059 207.909 209.441 208.494

5 Bangunan 4.397 132 4.733.679 4.610.695 4.844.689

6 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel

19.425.270 20.684.041 21.836.768 22.212.885 7 Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 5.575.499 6.013.947 5.947.673 5.817.680 8 Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan

1.252.195 1.440.042 1.484.598 1.639.748 9 Jasa Kemasyarakatan,

Sosial dan Perorangan 10.962.352 12.778.154 13.611.841 15.615.114 Total 97.583.141 102.049.857 104.485.444 107.405.572

Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2011(diolah)1

1

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=2 (13 Juni 2011)

(2)

3 Pentingnya peran sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan tingginya tingkat kesejahteraan para pelaku pertanian. Pada umumnya, penduduk miskin berada di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani ( Tabel 2.). Keadaan tersebut menjadi sangat ironi karena Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, namun para pelaku penting dalam penopang pembangunan ekonomi tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Saragih (2000) menjelaskan bahwa pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan industri, yaitu dengan dijaganya harga produk pertanian (terutama pangan) agar tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Dengan demikian, sektor industri dapat memberi upah yang murah kepada tenaga kerjanya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing produknya.

Tabel 2. Rumah Tangga Penduduk Indonesia Menurut Mata Pencaharian Tahun

2008 Karakteristik Rumah Tangga Tidak Bekerja (%) Pertanian (%) Industri (%) Lainnya (%) Rumah Tangga Miskin :

1. perkotaan 2. pedesaan 3. perkotaan+pedesaan 14,71 8,67 10,62 30,02 68,99 58,35 10,55 5,09 6,86 44,72 17,26 26,16 Rumah Tangga Tidak

Miskin : 1. perkotaan 2. pedesaan 3. perkotaan+pedesaan 15,38 7,91 11,10 9,39 55,2 35,06 12,19 5,97 8,70 63,07 30,92 45,05 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 (diolah)2

Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem pertanian dengan pola HEIA (High External Input Agriculture). Suwantoro (2008) menyebutkan bahwa revolusi hijau dengan asumsi yang mendasarkan pada pertumbuhan produksi ternyata salah. Pertumbuhan produksi yang berhasil dicapai tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani. Revolusi hijau membuat petani menjadi tergantung pada perusahaan-perusahaan besar untuk menjalankan usaha pertanian mereka.

Wijaya (2002) menyebutkan beberapa ciri dari pola penerapan HEIA yaitu (1) penggunaan bahan kimiawi dan pengendalian hama dan penyakit seperti

2

(3)

4 pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh; (2) terjadinya perbaikan mutu faktor produksi seperti penggunan benih dari varietas unggul; (3) terjadinya mekanisasi pertanian seperti penggunaan mesin-mesin pertanian; dan (4) adanya perbaikan sarana dan prasarana pertanian seperti sistem pengairan dan alat-alat pertanian.

Berdasarkan penerapan pola HEIA tersebut, selain memarjinalkan petani, berdampak pula pada kerusakan lingkungan (Suwantoro, 2008). Tanah persawahan lambat laun menjadi semakin keras. Penggunaan pupuk kimia yang meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan serangan hama menjadi semakin eksplosif dan menuntut penggunaan pestisida yang semakin meningkat pula. Pestisida tidak hanya mematikan hama tanaman tetapi juga memusnahkan banyak kehidupan yang lain. Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang boros energi tersebut, maka berkembanglah konsep pertanian organik.

Organik identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan alami tanpa bahan kimia buatan atau sintetis. Bahan organik sebenarnya mengandung unsur atau senyawa kimia yang membangunnya, namun unsur atau senyawa kimia tersebut dapat diurai dengan baik oleh alam. Istilah “organik” berdasarkan SNI adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi.

Metode pertanian organik mulai digunakan dalam budidaya tanaman padi. Syam (2008) menjelaskan bahwa padi organik sebagaimana digunakan pada kebanyakan tanaman sawah memiliki arti: (1) Tidak ada pestisida dan pupuk dari bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan; (2) Kesuburan tanah dipelihara melalui proses “alami” seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau penggunaan pupuk kandang yang dikompos dan limbah tumbuhan; (3) Tanaman dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari tahun ke tahun di sawah yang sama; dan (4) Pergantian bentuk-bentuk bukan-kimia dari pengendalian hama digunakan untuk mengendalikan serangga, penyakit dan gulma, misalnya serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama, jerami setengah busuk untuk menekan gulma, dan lain-lain.

Atmojo (2003) menjelaskan bahwa kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat memperbaiki kondisi tanah. Struktur tanah menjadi lebih

(4)

5 kompak dengan adanya penambahan bahan-bahan organik dan lebih tahan menyimpan air dibanding dengan tanah yang tidak dipupuk bahan organik. Harga jual dari produk-produk organik juga lebih mahal. Hal tersebut dikarenakan produk organik memiliki cita rasa dan kandungan gizi yang lebih baik.

Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan sistem pertanian organik, salah satunya yaitu hasil pertanian organik lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian non organik yang menggunakan bahan kimia terutama pada awal penerapan pertanian organik. Lebih lanjut juga dijelaskan oleh Mapsary (2010) hasil percobaan yang dilakukan oleh PPL Kecamatan Kalibagor menunjukkan padi organik bisa berproduksi 4,9 kg/ ubin (7,84 ton/ha), sedangkan padi kimia menunjukkan 5 kg/ ubin (8 ton/ ha). Hal ini disebabkan karena sistem pertanian organik yang diterapkan pada umumnya menggunakan metode pertanian konvensional. Dengan demikian, perlu adanya metode lain guna menyelesaikan permasalahan rendahnya produksi padi organik di awal penanaman.

Saat ini muncul metode bertani padi dengan System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air. Metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metode ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive. Sedangkan, dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification atau SRI.

SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture, and

Development (CIIFAD)). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentasi SRI di

Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar (Wakid, 2010). Secara umum, dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Uphoff dan Fernandes (2003) menjelaskan SRI bukanlah suatu teknologi atau varietas, namun lebih dianggap sebagai suatu

(5)

6 sistem. SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI juga didasari pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobik selama masa pertumbuhan). Metode SRI memang sangat menganjurkan penggunaan pupuk organik sebagai langkah jangka panjang untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta hasil yang lebih baik (terutama segi kualitas beras yang dihasilkan). Akan tetapi, metode SRI tidak harus menggunakan pupuk organik untuk dapat menghasilkan produksi yang maksimal3.

Madagaskar merupakan lokasi percobaan pertama penanaman padi SRI. Diujicoba pada tanah tidak subur dengan produksi normal dua ton per hektar, petani padi SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton per hektar. Beberapa petani juga ada yang mencapai 10-15 ton/hektar. Berdasarkan penelitian Richardson (2010) petani di Jawa Timur memanen tujuh ton padi per hektar pada awal penerapan metode SRI. Dengan demikian, metode SRI dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian antara para praktisi yang berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan para penganut kelestarian lingkungan hidup.

Kegiatan partisipatif dalam menerapkan metode SRI juga telah dilakukan oleh petani di banyak propinsi di Indonesia. Lebih lanjut, Anugrah (2008) menyatakan bahwa penerapan SRI di Indonesia terus berkembang dan dipraktekkan para petani di beberapa Kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi, serta dibeberapa lokasi lainnya di tanah air. Apabila produksi padi dilihat menurut wilayah di Indonesia, maka Pulau jawa merupakan Pulau dengan tingkat produksi beras tertinggi. Dapat dilihat pada Tabel 3. pada setiap tahunnya produksi beras di Jawa lebih tinggi dari pulau lainnya, meskipun peningkatan produksi tersebut karena adanya penambahan luas panen. Karena Pulau Jawa memiliki peranan yang cukup penting dalam perberasan nasional, maka metode pertanian padi SRI ini sangat cocok untuk dikembangkan.

3

Ulliych M. 2010. Padi SRI Tidak Identik Dengan Padi Organik. http://sukatani-banguntani.blogspot.com/2010/03/padi-sri-tidak-identik-dengan-padi.html[16 April 2011]

(6)

7

Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah di Indonesia

Tahun 2007-2009

2007 2008 2009

Propinsi (a) (b) (c) (a) (b) (c) (a) (b) (c)

Jawa 5,6 318,10 30,5 5,7 328,16 32,3 6,1 336,73 34,9 Sumatera 3,1 382,39 12,8 3,1 387,74 13,6 3,3 395,73 14,7 Bali & Nusa Tenggara 0,5 134,21 2,9 0,7 137,79 3,2 0,7 139,72 3,4 Sulawesi 1,2 267,32 5,5 1,4 236,21 6,6 1,4 285,96 6,8 Maluku & Papua 0,6 140,02 0,2 0,7 143,91 0,3 0,1 148,70 0,3 Luar Jawa 1,3 130,26 4,3 1,3 132,38 4,4 1,3 135,97 4,4 Indonesia 12,1 1.372,30 57,2 12,3 1.366,19 60,32 12,9 1.442,81 64,4 Ket : (a) :Luas Panen (juta ha);

(b) :Produktivitas (Ku/ha); (c) :Produksi (juta ton). Sumber, BPS 2009 (diolah)4

Jawa Tengah sebagai salah satu propinsi di Pulau Jawa memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyediaan beras di Jawa. Berdasarkan data BPS dari tahun 2007-2009 Jawa Tengah berturut-turut memproduksi beras sebesar 8.616.855 ton, 9.136.405 ton, dan 9.600.415 ton. Desa Ringgit merupakan salah satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah menerapkan pertanian padi organik sejak tahun 1997, dan menjadi desa yang pertama kali menerapkan metode SRI organik sejak tahun 2003 di Kabupaten Purworejo.

1.2. Perumusan Masalah

Ringgit merupakan salah satu desa dari 57 desa lumbung padi di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sebagai desa penghasil beras, maka tanaman padi menjadi komoditas utama dalam kegiatan budidaya. Pada tahun 1997 beberapa petani Desa Ringgit sudah mulai menerapkan pertanian organik dengan metode konvensional. Akan tetapi, hasil panen yang diperoleh sebesar 4,3 ton per hektar lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional dengan jumlah 4,5 ton per hektar. Oleh sebab itu, hanya sedikit petani yang tetap mempertahankan penanaman padi dengan input organik

4

(7)

8 tersebut. Hingga saat ini terdapat dua metode yang diterapkan oleh petani Desa Ringgit dalam menanam padi yaitu metode konvensional dan SRI.

Metode SRI mulai dikenal oleh petani Desa Ringgit pada tahun 2003 melalui Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) yang diadakan oleh seorang biarawati yang berasal dari Magelang. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi pembelajaran untuk melihat kaitan unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk kehidupan di dalam tanah. Berkat adanya pembelajaran tersebut mulai banyak petani yang bersedia menerapkan metode SRI dengan input organik atau biasa disebut dengan SRI organik. Walaupun tidak sedikit pula petani yang masih skeptis akan adanya metode tersebut. Hal ini disebakan karena banyak perlakuan yang berbeda pada teknis budidaya SRI dengan budaya bertanam padi yang selama ini telah dilakukan petani. Sebagian kelompok tani yang telah menerapkan metode SRI mampu menghasilkan padi dengan warna lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya. Menurut petani pembudidaya padi metode SRI daerah setempat, apabila dirata-rata hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar.

Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, terdapat beberapa kondisi yang menjadi pertanyaan. Bagaimanakah keragaan usahatani padi SRI organik yang berada di Desa Ringgit, serta adakah perbedaan pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian dengan metode SRI organik dan konvensional.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit.

2. Menganalisis pendapatan, produktivitas, dan efisiensi antara pertanian padi konvensional dengan metode SRI organik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petani setempat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam memilih metode bertanam padi yang akan diterapkan, sehingga petani dapat lebih menerapkan keahlian dan

(8)

9 pengalamannya dengan baik. Serta penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana belajar dan berbagi ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan teknologi nano di Indonesia baru dimulai sejak tahun 2000-an dengan riset yang lebih banyak terfokus pada material maju terutama untuk penerapan pada

Hal ini sedikit berbeda pada Pantai Batu Nunggul, karena subtratnya didominasi pasir, maka makroalga menjadi tempat berlindung yang signifikan dari gastropoda,

Hal ini menunjukkan bahwa sirup ekstrak daun sendok ( Plantago mayor L.) memiliki daya mukolitik, dimana sirup ekstrak daun sendok ( Plantago mayor L.) ini mampu

Langkah-langkah dan teknik pengujian fungsi hasil lilitan ulang dipahami dengan penuh rasa ingin tahu. Langkah-langkah dan teknik menguji fungsi hasil liitan ulang dilaksanakan

diduga mempunyai hubungan erat dengan produktivitas tanaman padi adalah tanaman pada fase awal generatif (pinnacle initiation) yaitu pada saat tanaman padi sedang produksi,

Tempat Parkir adalah tempat pemberhetian kendaraan bermotor dan/atau tidak bermotor di lokasi yang ditentukan yaitu, di tepi jalan umum atau di badan jalan dan/atau di fasilitas

Pada Gambar 14. Terlihat besar delay untuk layanan Video memiliki tren yang sama dengan VoIP dan data. Peningkatan pesat ditunjukkan pada penambahan background traffic

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7