• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM GEOLOGI DI DISTRIK DEPAPRE DAN DISTRIK RAVENIRARA KABUPATEN JAYAPURA TAHUN ANGGARAN 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM GEOLOGI DI DISTRIK DEPAPRE DAN DISTRIK RAVENIRARA KABUPATEN JAYAPURA TAHUN ANGGARAN 2009"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

DRAFT LAPORAN

PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA ALAM GEOLOGI

DI DISTRIK DEPAPRE DAN DISTRIK RAVENIRARA

KABUPATEN JAYAPURA

TAHUN ANGGARAN 2009

KEGIATAN BIDANG GEOLOGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

PEMERINTAH KABUPATEN JAYAPURA

DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI

Jalan Raya Sentani – Abepura Telp/Fax (0967) 593 392

(2)

ii Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009

ISI HAL. KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL i ii iv v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Maksud dan Tujuan 1.3. Sasaran 1.4. Dasar Hukum 1.5. Ruang Lingkup 1.5.1. Pengertian 1.5.2. Lingkup Pekerjaan 1.6. Lokasi 1.7. Sistematika Laporan 1 1 2 2 2 3 3 4 5 6 II. TINJAUAN KEBENCANAAN

2.1. Bahaya dan Bencana Geologi 2.2. Menejemen Bencana 2.3. Menejemen Risiko 7 7 14 18 III. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENYELIDIKAN

3.1. Kabupaten Jayapura 3.1.1. Pemerintahan

3.1.2. Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan 3.1.3. Kependudukan

3.1.4. Perekonomian

3.1.5. Sarana dan Prasarana 3.2. Distrik Depapre 3.2.1. Administrasi 3.2.2. Keadaan Fisik 3.2.3. Sosial Budaya 3.3. Distrik Ravenirara 3.3.1. Administrasi 3.3.2. Keadaan Fisik 3.3.3. Sosial Budaya 21 21 22 23 26 27 28 30 31 32 32 32 32 33 33 IV. KONDISI GEOLOGI

4.1. Geologi Regional 4.1.1. Kondisi Litotektonik

4.1.2. Kondisi Stratigrafi Regional 4.2. Geologi Kabupaten Jayapura

4.2.1. Geomorfologi 4.2.2. Stratigrafi 4.2.3. Struktur Geologi 34 34 36 37 37 37 39 40

(3)

iii Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009

4.3. Geologi Daerah Penyelidikan 4.3.1. Morfologi 4.3.2. Litologi 4.3.3. Struktur 41 41 41 42 V. HASIL PENYELIDIKAN 5.1. Penyelidikan Terdahulu

5.2. Kegiatan Survei dan Pemetaan 5.2.1. Distrik Depapre 5.2.2. Disitrik Ravenirara 5.3. Analisis Risiko 5.4. Penanganan Bencana 44 44 45 45 50 54 56 VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan 6.2. Saran 6.3. Rekomendasi 57

(4)

iv Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HAL.

1.1. Lokasi daerah penyelidikan

2.1. Rangkaian kerentanan yang berpadu dengan bahaya yang menimbulkan bencana

2.2. Hubungan pembangunan dan bencana 2.3. Proses terjadinya gempa bumi

2.4. Mekanisme terjadinya tsunami

2.5. Pergerakan kecepatan gelombang tsunami ke arah pantai/daratan 2.6. Macam-macam tipe gerakan tanah

2.7. Siklus menejemen bencana menurut kecepatan datangnya bencana 2.8. Tahapan menejemen bencana

3.1. Peta adminitrasi Kabupaten Jayapura 3.2. Peta administrasi Distrik Depapre 3.3. Peta administrasi Distrik Ravenirara

4.1. Peta pulau Papua ibarat seekor burung dan litotektonik 4.2. Peta kondisi tektonik pulau Papua

4.3. Stratigrafi regional pulau Papua (Dow dkk, 1988)

4.4. Kolom strat igrafi w ilayah Kabupate n Jayapura (Suwa rna dan Noya, 1995)

4.5. Peta geologi daerah penyelidikan (Suwarna dan Noya, 1995) 5.1. Keadaan topografi. Lokasi Kampung Waiya, Distr. Depapre

5.2. Longsor tanah dan batuan. Lok.i Kampung Tablasupa, Distr. Depapre 5.3. Bekas banjir di Kampung Wambena, Distr. Depapre

5.4. Abrasi pantai tahun 2008, di Kamp. Dormena, Distr. Depapre 5.5. Longsor tanah yg menimbul jalan di Kamp. Yewena, Distr. Depapre 5.6. Keadaan topografi di Kamp. Yongsu Dosoyo, Distr. Ravenirara 5.7. Longsor tanah dan batuan di Kamp. Ormu, Distr. Ravenirara 5.8. Sisa banjir tahun 2005 di Kamp. Yongsu Sapari, Distr. Ravenirara 5.9. Morfologi sungai yg berpotensi banjir di Kamp. Yongsu Dosoyo 5.10. Abrasi pantai yang parah di Kamp. Ormu Tua, Distr. Ravenirara 5.11. Hubungan antara dampak dan probabilitas bahaya geologi 5.12. Siklus menejemen bencana

5 8 9 10 12 12 14 15 16 21 31 33 34 35 37 39 43 47 48 48 49 49 51 52 52 53 53 54 56

(5)

v Draft Laporan Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Geologi, 2009

DAFTAR TABEL

TABEL HAL.

2.1. Skala Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI) 3.1. Luas wilayah distrik di Kabupaten Jayapura

3.2. Pembagian distrik, desa/kelurahan di Kabupaten Jayapura 3.4. Rata-rata suhu udara minimum dan maksimum tahun 2006 3.5. Curah hujan dan hari hujan tahun 2006

3.6. Kelembaban udara, lama penyinaran dan tekanan udara periode 2004-2007

3.7. Frekuensi kegempaan tahun 2007

3.8. Perkembangan jumlah penduduk menurut jenis kelamin periode 2004-2007

3.9. Kepadatan penduduk tahun 2007 3.10 Pertumbuhan PDRB tahun 2000-2007

3.11. Laju pertumbuhan sektoral PDRB atas dasar harga konstan tahun 2002-2007

3.12. Sarana kesehatan tahun 2007 3.13. Tenaga kesehatan tahun 2007

3.14. Sarana dan tenaga pendidik tahun 2007

3.15. Sarana peribadahan dan jumlah penganut tahun 2007 3.16. Sarana jalan dan kondisi jalan tahun 2007

5.1. Hasil pengamatan faktor topografi, geologi dan penggunaan lahan di Distrik Depapre

5.2. Data bencana yang pernah terjadi di Distrik Depapre

5.3. Hasil pengamatan faktor topografi, geologi dan penggunaan lahan di Distrik Ravenirara

5.4. Data bencana yang pernah terjadi di Distrik Ravenirara 5.5. Penilaian bahaya geologi di Distr. Depapre dan Ravenirara 5.6. Tingkat kerentanan tiap distrik

12 22 23 24 24 25 26 26 27 28 28 29 29 29 30 30 46 47 50 51 54 55

(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia terus menerus dilanda berbagai bencana, baik bencana oleh sebab alamiah maupun bencana akibat ulah manusia. Bencana yang datang bagai sebuah estafet, dari pulau satu ke pulau yang lain, serta dari satu jenis bencana ke bencana yang lain. Sudah ratusan ribu nyawa manusia melayang, dan sudah milyaran rupiah nilai harta benda yang rusak dan hilang, serta juta tenaga manusia dikerahkan untuk menangani masalah bencana di negeri ini.

Sesungguhnya bencana tidak diinginkan oleh setiap orang atau masyarakat sebuah negeri. Namun faktor alamiah yang dimiliki oleh wilayah atau daerah tempat manusia bertempat tinggal itulah yang terus menerus melakukan proses untuk mencapai keseimbangan alamiahnya, baik secara internal maupun eksternal. Manusia sebagai penghuni yang menempati bagian permukaan dan terkadang dapat mengeksplorasi hingga sampai ke bagian bumi yang paling dalam, tidak dapat menyesuaikan dengan proses-proses keseimbangan alam tadi, sehingga berbagai bencana yang ditakutkan dapat terjadi secara sambung menyambung.

Sebenarnya proses keseimbangan alamiah bumi telah cukup banyak dipahami dan diketahui oleh manusia, baik secara tradisional maupun modern. Bukti-bukti kearifan lokal masyarakat mengenai memelihara alam sudah dikenal, serta hasil-hasil penelitian modern tentang proses keseimbangan alam juga sudah banyak dipublikasikan. Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana mengimplementasi budaya (kearifan lokal) dan hasil penelitian tersebut untuk mengenali lebih dalam proses keseimbangan yang dimiliki oleh setiap wilayah atau daerah sehingga dampak dari bencana yang dihadapi dapat dikurangi dan manusia yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dapat hidup selaras dengan alamnya.

Kabupaten Jayapura yang berada di bagian utara pulau Papua, secara topografis memiliki keragaman bentang alam, yaitu mulai dari pantai, dataran rendah maupun tinggi, sampai perbukitan dan pegunungan dengan tingkat kemiringan lereng yang sangat bervariasi (landai hingga terjal). Berdasarkan kondisi geologi, wilayah Kabupaten Jayapura tersusun oleh formasi batuan yang berumur sangat tua (pra-Tersier) hingga muda (Kuarter) dengan kondisi sudah lapuk menengah hingga lapuk lanjut dan memiliki kondisi geodinamika yang kompleks. Kondisi seperti ini merupakan kendala yang cukup berarti dalam pengembangan wilayah dan berpeluang menjadi bencana yang dapat mengancam keberadaan manusia dan segala infrastruktur yang ada. Keadaan iklim, terutama curah hujan yang terjadi di wilayah ini menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Di samping itu, pertumbuhan kota Sentani sebagai ibukota Kabupaten Jayapura juga semakin berkembang yang diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk dan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan saat ini berada pada poros Sentani – Depapre. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan wilayah-wilayah distrik dan/atau kampung yang berada pada jalan poros tersebut. Di samping memerlukan prasarana dan sarana fisik untuk menunjang pertumbuhan wilayah, diperlukan juga data dan informasi tentang faktor yang dapat menghambat peluang pertumbuhan wilayah tersebut. Salah satu,

(7)

komponen non fisik yang perlu dipersiapkan adalah ketersediaan data dan informasi tentang wilayah-wilayah yang rawan bencana.

Pemerintah kabupaten Jayapura, melalui Dinas Pertambangan telah membentuk tim yang bertugas memetakan daerah rawan bencana alam geologi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara tahun anggaran 2009. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana yang diharapkan dapat memberikan informasi yang memadai tentang ancaman bahaya dan potensi bencana, sehingga risiko dan dampak dari bencana yang dapat terjadi di tengah-tengah masyarakat dapat dikurangi.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dilaksanakan pekerjaan ini adalah melakukan survei dan pemetaan daerah rawan bencana alam (geologi) di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara Kabupaten Jayapura.

Tujuan yang ingin dicapai dari pekerjaan ini adalah :

1. Untuk mengumpulkan data dan mengetahui potensi bencana yang telah dan/atau memiliki peluang terjadi bencana di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara, sebagai bagian dari upaya melindungi masyarakat dari ancaman bahaya alam (geologi). 2. Untuk memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat dan instansi terkait di

bidang geologi, terutama geologi tata lingkungan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

1.3. Sasaran

Sasaran dari pekerjaan ini adalah :

1. Teridentifikasi bahaya dan bencana bencana geologi yang mengancam maupun telah terjadi serta yang berpeluang terjadi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara.

2. Tersedianya peta daerah rawan bencana pada tingkat distrik yang dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam bertindak menangani bencana alam. 3. Tergambarkan kondisi geologi, morfologi, penggunaan lahan, keadaan iklim,

kegempaan, hidrolog i, demografi dan sarana infrast ruktur yang tela h terbangun dalam peta skala 1 : 50. 000.

4. Tersusun rencana tindak (upaya) penanganan bencana pada tingkat distrik dan peningkatan peran serta masyarakat di kedua distrik.

1.4. Dasar Hukum

Peraturan perundang-undangan yang melandasi pekerjaan ini antara lain :

1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 te ntang Peme rintaha n Dae rah. 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pe nanggulangan

Bencana.

(8)

5. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan P ulau-pulau Kecil.

6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindunga n da n Pengelolaan Lingkungan Hidup.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2000 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Jayapura ke Kota Sentani.

8. Peraturan Peme rintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Penanggulangan Bencana.

10. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.

11. Peraturan Mente ri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tenta ng Pedoman Umum M it igasi Bencana.

12. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1452/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman teknis penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang ineventarisasi sumberdaya mineral dan energi, penyusunan peta geologi, dan pemetaan zona kerentanan gerakan tanah.

13. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 360/915/PUM tanggal 19 Juni 2007 tentang Panduan Pembuatan Peta Rawan Bencana.

14. Surat Keputusan Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.

15. Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kewenangan Pemerintah D aerah Kabupaten Jayapura (L emba r Dae rah Kabupaten Jayapura Tahun 2001 Nom or 12).

16. Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kewenangan dan Tata Kerja D inas – Dinas Daera h (Lembara n Daera h Kabupaten Jayapura Tahun 2001 Nom or 15).

17. Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 5 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Jayapura (Lembar Daerah Kabupaten Jayapura Tahun 2001 Nomor 15)

18. Keputusan Bupati Jayapura Nomor 347 Tahun 2002 tentang Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Jayapura.

19. Keputusan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Jayapura Nomor 546/16/SK/2009 tentang pembentukan tim survei, tim ahli, tim konsultasi publik (seminar) dan tim penyusun buku pemetaan daerah rawan bencana alam geologi di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara Kabupaten Jayapura.

1.5. Ruang Lingkup

1.5.1. Pengertian

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

(9)

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 tahun 2007).

Bahaya adalah situasi, kondisi, atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang berpotensi menimbulkan korban dan kerusakan (DMTP/UNDP, 1992) Kerentanan adalah seberapa besar suatu masyarakat, bangunan, pelayanan atau suatu daerah akan mendapat kerusakan atau terganggu oleh dampak suatu bahaya tertentu, yang bergantung pada kondisinya, jenis material bangunan dan infrastruktur, serta kedekatannya kepada suatu daerah yang berbahaya atau rawan bencana

Kemampuan adalah sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, masyarakat, atau negara yang memungkinkan mereka untuk menanggulangi, bertahan dari, mempe rsiapkan diri, me ncegah, dan memit igasi atau dengan cepat memulihkan diri dari bencana

Risiko Bencana adalah kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka, kerusakan harta dan gangguan kegiatan perekonomian) karena suatu bahaya terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu

Manajemen Bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan adminitrasi serta aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana, seperti kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan, serta pencegahan dan mitigasi (DMTP/UNDP, 1992)

Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan me ngurangi kemampua n untuk menanggapi dampak buruk bahaya te rtentu (UU No 24 tahun 2007). Peta daerah rawan bencana adalah gambaran yang menunjukkan kawasan yang sering terjadi bencana alam atau berpotensi terjadinya bencana, sehingga merupakan peristiwa yang rutin terjadi dan berpotensi terjadi bencana (SE Mendagri No 360 Tahun 2007).

Pemetaan daerah rawan bencana adalah suatu kegiatan identifikasi/menemukenali daerah-daerah yang sering terjadi bencana dan selalu berulang maupun yang berpotensi terjadi bencana yang disebabkan oleh alam, non alam ataupun gabungan dari keduanya (SE Mendagri No 360 Tahun 2007).

1.5.2. Lingkup Pekerjaan

Metode kerja terdiri dari :

1. Pemetaan secara tidak langsung, yaitu pembuatan peta dengan cara menghimpun dan menginventarisir data yang berasal dari peta tematik yang telah tersusun, penyelidikan terdahulu serta penafsiran peta topografi, dan foto udara atau citra satelit. 2. Pemetaan secara langsung yang dilakukan bersamaan dengan survei lapangan,

yaitu pemetaan geologi permukaan berupa peninjauan, pengamatan, pencataan pengukuran atau pengujian dan pendokumentasian.

(10)

3. Analisis studio yang dilakukan terhadap data dan informasi yang telah dikumpulkan dalam pemetaan secara tidak langsung maupun langsung.

Pemetaan daerah rawan bencana maupun yang berpotensi bencana disusun berdasarkan jenis-jenis bencana yang merupakan hasil identifikasi di tingkat kampung dan distrik. Tiap jenis bencana ditunjukkan oleh warna yang berbeda.

Pendokumentasian hasil identifikasi dibuat dalam bentuk peta dan narasi. Hasil pemetaan dicetak dalam bentuk buku yang berisi data dan informasi kejadian bencana, serta menyajikan petunjuk pelaksanaan upaya mitigasi bencana yang diperlukan oleh pemerintah Kabupaten Jayapura.

1.6. Lokasi

Lokasi penyelidikan berada di Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara, meliputi sebaran seluas 871,7 km2 (87.170 ha) atau mencakup 4,98% luas Kabupaten Jayapura.

Kesampaian lokasi penyelidikan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu 1) Jalan darat menggunakan kendaraan roda 2 atau 4 untuk menuju Distrik Depapre, dan 2) Jalan laut menggunakan speedboat untuk menuju Distrik Ravenirara.

(11)

1.7. Sistematika Laporan

Laporan akhir ini berisi uraian tentang keadaan umum dan keadaan geologi, tinjauan aspek kebencanaan, data dan informasi kebencanaan geologi, hingga petunjuk pelaksanaan upaya mitigasi bencana yang dapat dilaksanakan di Kabupaten Jayapura. Sistematika laporan adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang masalah dari pekerjaan ini; maksud dan tujuan yang ingin dicapai; sasaran pekerjaan; dasar hukum yang menjadi acuan pelaksanaan pekerjaan ini; ruang lingkup, mencakup pengertian dan lingkup pekerjaan; lokasi penyelidikan serta sistematika laporan akhir.

Bab II Tinjauan Kebencanaan

Berisi teori tentang pengertian bahaya dan bencana geologi, menejemen bencana dan menejemen risiko.

Bab III Keadaan Umum

Berisi tentang keadaan pemerintahaan, fisik dan pengunaan lahan, kependudukan, perekonomian, sarana dan prasarana di Kabupaten Jayapura; adminitratif, keadaan fisik, dan sosial budaya Distrik Depapre dan Distrik Ravenirara

Bab IV Keadaan Geologi

Berisi tentang informasi geologi regional, meliputi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi; dan pengetahuan kebencanaan geologi (Geo Hazard).

Bab V Hasil Kegiatan

Berisi tentang penyelidikan terdahulu yang diperoleh dari referensi geologi dan laporan banjir; hasil kegiatan survei lapangan yang membahas jenis bencana menurut kampung atau distrik; analisis risiko; dan penanganan bencana.

Bab VI Penutup

Berisi kesimpulan dari hasil identifikasi; saran dan rekomendasi yang perlu diperhatikan dari pekerjaan ini.

(12)

BAB II TINJAUAN KEBENCANAAN

Hampir setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia terancam oleh bencana, terutama oleh bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor dan lain-lain. Sebenarnya fenomena alam ini terlah terjadi sejak dahulu, namun sekarang dampak yang dirasakan oleh manusia menjadi sangat berarti (signifikan) akibat ketahanan atau kesiapsiagaan manusia semakin berkurang.

Dalam sejarah manusia dengan akal budinya selalu dapat belajar dari pengalaman menghadapi bencana dan mencari alternatif cara-cara untuk menghadapinya. Secara alamiah, kekuatan alam tidak dapat dilawan oleh manusia. Kekuatan alam akan ditunjukkan oleh hasil yang telah menimpa manusia maupun perubahan yang terjadi pada permukaan bumi. Termasuk di dalamnya, kekuatan alam berupa bencana.

Hal yang dapat dilakukan manusia adalah bersikap mencerdasi fenomena alam tersebut sehingga tidak membahayakan atau menimbulkan lebih banyak korban. Bencana menjadi kenyataan hidup manusia untuk membuka kesempatan manusia mengelola hidup dan lingkungannya. Sehingga bencana yang saat ini terjadi dapat menjadi bagian dari proses pencerdasan masyarakat untuk tidak menerima bencana sebagai takdir semata, tetapi berupaya untuk terus menerus meningkatkan kualitas hidup yang lebih sejahtera meskipun berada di bawah bayang-bayang bahaya dan bencana alam.

2.1. Bahaya dan Bencana Geologi

Bencana geologi berkembang dari bahaya geologi (geo-hazard) yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda. Geo-hazard merupakan potensi yang secara inheren terkandung di dalam fenomena geologi. Fenomena geologi merupakan proses alam yang sesungguhnya tidak memberikan ancaman yang serius terhadap manusia dan harta benda. Keberadaan manusia atau penduduk dengan perilaku dan harta benda yang dimilikinya merupakan faktor sebab akibat munculnya bahaya atau bencana geologi.

Faktor bahaya geologi yang dapat menjadi bencana, antara lain: a. Geologi, meliputi gempa bumi, tsunami, gerakan tanah.

b. Hidro-Meteorologi, meliputi banjir, angin topan, banjir bandang dan kekeringan.

c. Teknologi, meliputi kecelakan transportasi dan industri.

d. Lingkungan, seperti pencemaran akibat limbah, kebakaran hutan dan pengurunan

e. Biologi, seperti epidemi penyakit, hama.

f. Sosial, seperti konflik atau peperangan dan terorisme

Bahaya yang berpengaruh terhadap bencana sebagai tolak ukur penting untuk mengetahui kerentanan masyarakat. Kerentanan dipandang sebagai gerak maju dari 3 tahap, yaitu penyebab yang mendasari, tekanan-tekanan yang dinamis, dan kondisi-kondisi yang tidak aman (Gambar 2.1.)

(13)

Berkaitan antara bahaya dan kerentanan, bencana dapat didefinisikan sebagai akibat bertemunya bahaya yang menimpa dan kerentanan yang berada disekitar kehidupan masyarakat. Secara matematis diformulasikan sebagai:

Bencana = Bahaya + Kerentanan

Gambar 2.1. Rangkaian kerentanan yang berpadu dengan bahaya yang menimbulkan bencana.

Hubungan antara bencana dan pembangunan mulai mendapat perhatian khusus, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini dilatarbelakangi oleh akibat dari bencana yang telah merusak dan menghancurkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang telah dibangun bertahun-tahun. Bencana menyebabkan pemborosan sumber-sumber daya pembangunan yang berharga.

Saat ini konsep hubungan pembangunan dan bencana mempertimbangkan bencana sebagai bagian dari keadaan normal, artinya bencana beserta segenap potensinya harus dikelola. Konsep ini melibatkan hubungan yang lengkap antara bencana dan dana pembangunan. Secara ringkas hubungan pembangunan dan bencana digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.2).

Sebagai contoh kasus negatif positif (-+) adalah penataan ruang daerah pesisir dan pantai yang tidak mempertimbangkan potensi atau ancaman tsunami, maka akan menyebabkan banyak korban dan kerusakan infrastruktur. Untuk itu, bahaya yang telah diidentifikasi menjadi acuan penting dalam arahan pembangunan agar diperoleh hasil peningkatan aspek + pembangunan dan pengurangan aspek – bencananya.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007).

(14)

Gambar 2.2. Hubungan pembangunan dan bencana.

Suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri

(ISDR, 2004).

Jenis bencana menurut UU No 24 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

a. Bencana alam; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

b. Bencana non alam; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial; bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Kondisi geologi di Papua memang mengandung potensi bahaya geologi yang sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi bencana (disaster). Oleh sebab itu segala aspek bahaya atau bencana alam yang bersumber dari atau terjadi di bumi relevan diterangkan oleh geologi, meliputi segi komposisi dan struktur batuan penyusun, tempat terjadinya bencana, proses yang menimbulkan bencana dan sejarah kejadiannya di masa lalu. Bahaya atau bencana alam geologi yang umum dijumpai di Papua adalah gempa bumi, tsunami, serta gerakan tanah atau tanah longsor.

A. Gempa Bumi

Gempabumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat dari terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang mengalami deformasi. Gempabumi dapat didefinisikan sebagai rambatan gelombang pada masa batuan/tanah yang berasal dari hasil pelepasan energi kinetik yang berasal dari dalam

(15)

bumi. Sumber energi yang dilepaskan dapat berasal dari hasil tumbukan lempeng, letusan gunungapi, atau longsoran masa batuan / tanah. Hampir seluruh kejadian gempa berkaitan dengan suatu patahan, yaitu satu tahapan deformasi batuan atau aktivitas tektonik dan dikenal sebagai gempa tektonik (Gambar 2.3).

Sebaran pusat-pusat gempa (epicenter) di dunia tersebar di sepanjang batas-batas lempeng (divergent, convergent, maupun transform), oleh karena itu terjadinya gempabumi sangat berkaitan dengan teori Tektonik Lempeng. Penyebaran pusat-pusat gempabumi sangat erat kaitannya dengan batas-batas lempeng. Pola penyebaran pusat gempa di dunia yang berimpit dengan batas-batas lempeng. Disamping gempa tektonik, dikenal juga gempa minor yang disebabkan oleh longsoran tanah, letusan gunungapi, dan aktivitas manusia. Gempa minor umumnya hanya dirasakan secara lokal dan getarannya sendiri tidak menyebabkan kerusakan yang signifikan atau kerugian harta benda maupun jiwa manusia.

Gambar 2.3. Proses terjadinya gempa bumi.

Pusat gempa dapat diketahui dengan cara menghitung selisih waktu tiba dari gelombang P dan gelombang S, sedangkan untuk mengetahui lokasi dari epicenter gempa melalui perpotongan 3 lokasi alat seismograf yang mencatat getaran seismik tersebut. Untuk menetukan magnitute gempa didasarkan atas besarnya amplitudo gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf. Skala Richter adalah satuan yang dipakai untuk mengukur besarnya magnitute gempa. Satuan besaran gempa berdasarkan satuan skala Richter adalah 1 hingga 10. Satuan intensitas dan magnitute gempabumi dapat juga diukur berdasarkan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh getaran gelombang seismik dan satuan ini dikenal dengan satuan Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI), nilai satuan ini berkisar dari 1 s/d 12 (lihat Tabel 2.1).

(16)

Tabel 2.1 Skala Intensitas Modifikasi Mercalli (MMI)

Skala MMI DAMPAK KERUSAKAN

I Tidak dirasakan oleh kebanyakan orang, hanya beberapa orang dapat merasakan dalam situasi

tertentu.

II Dapat dirasakan oleh beberapa orang yang sedang diam/istirahat. Dapat memindahkan dan

menjatuhkan benda-benda.

III Dirasakan oleh sedikit orang, terutama yang berada di dalam rumah, seperti getaran yang berasal dari

kendaraan berat yang melintas di dekat rumah.

IV Dirasakan oleh banyak orang, beberapa orang terbangun disaat tidur, Piring dan jendela bergetar.

Dapat mendengar suara-suara yang berasal dari pecahan barang pecah belah..

V Dirasakan oleh setiap orang yang saling berdekatan. Banyak orang terbangun disaat tidur. Terjadi

retakan pada dinding tembok. Barang-barang terbalik dan pohon-pohon megalami kerusakan.

VI Dirasakan oleh satiap orang, terjadi runtuhan tembok dan terjadi kerusakan pada menara / tugu.

VII Setiap orang berlarian keluar rumah, Bangunan berstruktur buruk mengalami kerusakan. Dapat

dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam kendaraan.

VIII Runtuhnya bangunan yang berstruktur buruk, Tiang dan menara, dinding runtuh . Tersemburnya pasir

dan Lumpur dari dalam tanah.

IX Kerusakan pada bangunan berstruktur tertentu, sebagian runtuh Gedung-gedung tergeser dari

fondasinya,. Tanah mengalami retakan dan pipa –pipa mengalami pecah.

X Hampir semua bangunan berstruktur beton dan kayu rusak. Tanah retak retak, jalan kereta api

bengkok, pipa-pipa pecah.

XI Beberapa struktur bangunan beton tersisa. Terjadi retakan yang panjang di permukaan tanah. Pipa

terpotong dan terjadi longsoran tanah dan rel kereta api terputus.

XII Kerusakan total. Gelombang permukaan tanah dapat teramati dan benda-benda terlempar ke uadara.

Dampak bencana gempabumi.

Rambatan gelombang seismik berasal dari energi yang dilepaskan dari hasil pergerakan lempeng dapat menimbulkan bencana. Bencana yang disebabkan oleh gempabumi dapat berupa rekahan tanah (ground rupture), getaran tanah (ground

shaking), gerakan tanah (mass-movement), kebakaran (fire), perubahan aliran air

(drainage changes), gelombang pasang atau tsunami dan sebagainya. Gelombang gempa yang merambat pada masa batuan, tanah, ataupun air dapat menyebabkan bangunan gedung dan jaringan jalan, air minum, telepon, listrik, dan gas menjadi rusak. Tingkat kerusakan sangat ditentukan oleh besarnya magnitute dan intensitas serta waktu dan lokasi episenter gempa.

B. Tsunami

Tsunami adalah suatu pergeseran naik atau turun yang terjadi secara tiba-tiba pada dasar samudra pada saat terjadi gempabumi bawah laut, kondisi ini akan menimbulkan gelombang laut pasang yang sangat besar yang lazim disebut tidal waves. Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yang telah digunakan secara luas, baik untuk gelombang pasang (tidal waves) maupun gelombang yang disebabkan oleh gempabumi atau yang lebih dikenal dengan istilah seismic sea waves.

Mekanisme terjadinya tsunami (Gambar 2.4):

1) Diawali dengan terjadinya gempa yang disertai oleh pengangkatan sebagai akibat kompresi.

2) Gelombang bergerak keluar ke segala arah dari daerah yang terangkat

3) Panjang gelombang berkurang tetapi tingginya meningkat saat mencapai bagian yang dangkal, kemudian melaju ke arah darat dengan kecepatan +/-100 km/jam setelah sebelumnya surut dulu untuk beberapa saat (Gambar 2.5).

(17)

Gambar 2.4 Mekanisme terjadinya tsunami

Gambar 2.5 Pergerakan kecepatan gelombang tsunami ke arah pantai / daratan

C. Tanah Longsor

Longsoran Tanah atau gerakan tanah adalah proses perpindahan masa batuan / tanah akibat gaya berat (gravitasi). Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian ahli geologi karena dampaknya banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda. Tidak jarang pemukiman yang dibangun di sekitar perbukitan kurang memperhatikan masalah kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses proses geologi yang terjadi di kawasan tersebut sehingga secara tidak sadar potensi bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam jiwanya.

Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran tanah dapat terdiri dari berbagai faktor yang kompleks seperti kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, tutupan lahan serta pola pengolahan lahan, pengikisan oleh air yang mengalir (air permukaan), ulah manusia seperti penggalian dan lain sebagainya.

Berdasarkan tipenya, longsoran tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu (lihat Gambar 2.6):

(18)

(1). Gerakan tanah tipe aliran lambat (slow flowage ) terdiri dari:

a. Rayapan (Creep): perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng dengan pergerakan yang sangat lambat.

b. Rayapan tanah (Soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng c. Rayapan talus (Talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material

talus/scree.

d. Rayapan batuan (Rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-blok batuan.

e. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari limbah batuan.

f. Solifluction/Liquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air.

(2). Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage) terdiri dari :

a. Aliran lumpur (Mudflow) : perpindahan dari material lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai.

b. Aliran masa tanah dan batuan (Earthflow): perpindahan secara cepat dari material debris batuan yang jenuh air.

c. Aliran campuran masa tanah dan batuan (Debris avalanche): suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal. (3) Gerakan tanah tipe luncuran (landslides) terdiridari :

a. Nendatan (Slump): luncuran kebawah dari satu atau beberapa bagian debris batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional.

b. Luncuran dari campuran masa tanah dan batuan (Debris slide): luncuran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya.

c. Gerakan jatuh bebas dari campuran masa tanah dan batuan (Debris fall): adalah luncuran material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi. d. Luncuran masa batuan (Rock slide): luncuran dari masa batuan melalui

bidang perlapisan, joint (kekar), atau permukaan patahan/sesar.

e. Gerakan jatuh bebas masa batuan (Rock fall): adalah luncuran jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang sangat terjal.

f. Amblesan (Subsidence): penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pemadatan dan isostasi/gravitasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi longsoran tanah dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor yang bersifat pasif dan faktor yang bersifat aktif.

(1) Faktor yang bersifat pasif pada longsoran tanah adalah:

a. Litologi: material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah.

b. Susunan Batuan (stratigrafi): perlapisan batuan dan perselingan batuan antara batuan lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeable dan batuan impermeabel.

c. Struktur geologi: jarak antara rekahan/joint pada batuan, patahan, zona hancuran, bidang foliasi, dan kemiringan lapisan batuan yang besar.

d. Topografi: lereng yang terjal atau vertikal.

e. Iklim: perubahan temperatur tahunan yang ekstrim dengan frekuensi hujan yang intensif.

(19)

f. Material organik: lebat atau jarangnya vegetasi.

(2) Faktor yang bersifat aktif pada longsoran tanah adalah: a. Gangguan yang terjadi secara alamiah ataupun buatan. b. Kemiringan lereng yang menjadi terjal karena aliran air.

c. Pengisian air ke dalam tanah yang melebihi kapasitasnya, sehingga tanah menjadi jenuh air.

d. Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismisitas atau kendaran berat.

A B

C D

E F

Gambar 2.6. Macam-macam tipe gerakan tanah; A= rayapan (creep), B= aliran tanah (earthflow), C= nendatan (slump), D= luncuran (debrisslide), E= jatuhan (debrisfall) dan F=

luncuran massa batuan (rockslide)

2.2. Menejemen Bencana

Menejemen bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan administratif dan aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatanbencana.

Tahapan bencana dapat dibedakan menurut kecepatan datangnya bencana, yaitu; a) bencana datang secara cepat, dan b) bencana datang secara lambat. Jenis bencana

(20)

yang datang secara cepat meliputi bencana geologi, seperti letusan gunung api, gempa bumi, tsunami dan tanah longsor. Sedangkan bencana yang datang secara lambat, antara lain; kekeringan, kelaparan dan wabah penyakit.

Siklus menejemen bencana menyesuaikan dengan sifat serangan atau kecepatan datangnya bencana. Pada serangan yang cepat terdapat 5 tahapan menejemen, dengan satu tahap kejadian bencana. Kelima tahapan itu adalah tahap bantuan, tahap rehabilitasi, tahap rekonstruksi, tahap mitigasi dan tahap kesiapan. Dalam serangan yang cepat sangat sulit untuk melakukan peringatan dini dan tindakan darurat. Pada serangan yang lambat terdapat 6 tahapan menejemen, yaitu; tahap darurat (di tengah keadaan bencana), tahap bantuan, tahap rehabilitasi, tahap mitigasi, tahap kesiapan dan tahap peringatan dini.

A B

Gambar 2.7. Siklus menejemen bencana menurut kecepatan datangnya bencana, A= serangan bencana yang lambat, serta B= serangan serangan bencana yang cepat

(Sumber DMTP; http://www.undmtp.org/modules_i.htm).

Siklus menejemen bencana merupakan urutan melingkar atau berputar bergerak mulai dari keadaan yang paling kritis, yaitu keadaan tertimpa bencana sampai pada keadaan aman dan kesiapan. Dalam siklus menejemen bencana, upaya mitigasi dilakukan pada keadaan jauh dari bencana, yaitu sebelum atau sesudah datang bencana. Prinsip mitigasi yang berkembang saat ini adalah semua tahapan menejemen harus melibatkan upaya mitigasi, sebab tindakan mitigasi merupakan upaya mengurangi dampak bencana yang bisa datang kapan saja dan dimana saja.

Tahapan menejemen bencana yang dikembangkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, seperti Gambar 2.8.

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan aturan hukum yang mengatur aspek kebencanaan dalam Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Aspek penanggulangan mendapat perhatian serius dengan mempertimbangkan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum.

(21)

Gambar 2.8. Tahapan menejemen bencana menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia. Penanggulangan yang dimaksud berasaskan pada kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan, di mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihankembangkan dalam penanggulangan bencana di Indonesia antara lain:

a. cepat dan tepat; sesuai dengan tuntutan keadaan

b. prioritas; diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

c. koordinasi dan keterpaduan; koordinasi dan kerja sama yang baik serta saling mendukung.

d. berdaya guna dan berhasil guna; mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

e. transparansi dan akuntabilitas; terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

f. kemitraan; g. pemberdayaan;

h. nondiskriminatif; tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.

i. nonproletisi; dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: a. Prabencana;

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana meliputi: Dalam situasi tidak terjadi bencana; dan

Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi:

(22)

Pengurangan risiko bencana; Pencegahan;

Pemaduan dalam perencanaan pembangunan; Persyaratan analisis risiko bencana;

Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; Pendidikan dan pelatihan; dan

Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi:

Kesiapsiagaan; Peringatan dini; dan Mitigasi bencana. b. Saat tanggap darurat;

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;

Penentuan status keadaan darurat bencana;

Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; Pemenuhan kebutuhan dasar;

Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. c. Pascabencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana meliputi: Rehabilitasi; dan

Rekonstruksi.

Upaya penanggulangan bencana memiliki tujuan untuk:

a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;

c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;

d. menghargai budaya lokal;

e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;

f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Di dalam undang-undang dianamatkan bahwa indikator penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah, berdasarkan :

a. Jumlah korban;

b. Kerugian harta benda;

c. Kerusakan prasarana dan sarana;

d. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Menejemen bencana yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang merupakan unsur pelaksana dan operasional upaya tindakan penanggulangan bencana antara lain:

(23)

a. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;

b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;

c. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan

d. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.

Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;

b. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;

c. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;

d. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;

e. Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan

f. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.

2.3. Menejemen Risiko

Pengelolaan resiko bencana pada dasarnya adalah suatu upaya yang ditujukan untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi serta melakukan upaya-upaya pencegahan (mitigasi) di wilayah yang rentan terkena bencana. Pengelolaan resiko bencana merupakan istilah yang umum dipakai dalam penilaian resiko, pencegahan bencana, mitigasi bencana, dan persiapan menghadapi bencana.

Resiko Bencana (Disaster Risk) adalah tingkat kerusakan dan kerugian yang sudah diperhitungkan dari suatu kejadian atau peristiwa alam. Resiko Bencana ditentukan atas dasar perkalian antara faktor bahaya dan faktor kerentanannya. Yang termasuk bahaya disini adalah probabilitas dan besaran yang dapat diantisipasi pada peristiwa alam; sedangkan kerentanan/kerawanan dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, sosial budaya dan geografis. Berikut ini adalah rumusan yang dipakai secara luas untuk menghitung resiko bencana yang merupakan perkalian 2 faktor, yaitu :

Risiko (Risk) = Bahaya (Hazard) x Kerentanan (Vulnerability)

Pengelolaan resiko bencana (Disaster risk management) secara teknis terdiri dari tindakan (program, proyek dan atau prosedur) serta pengadaan peralatan yang dipersiapkan untuk menghadapi dampak atau akibat dari suatu bencana sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yaitu untuk mengurangi resiko bencana yang ditimbulkannya. Secara operasional, pengelolaan resiko bencana adalah kegiatan yang terdiri dari penilaian resiko, pencegahan bencana, mitigasi dan waspada bencana. Penilaian Resiko atau Analisa Resiko adalah survei yang dilakukan terhadap bahaya yang baru terjadi yang disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang ekstrim seperti yang

(24)

terjadi juga pada kerentanan lokal dari populasi yang didasari atas kehidupan untuk memastikan resiko tertentu di wilayah. Berdasarkan informasi ini resiko bencana dapat dikurangi.

Bencana alam yang disebabkan oleh gempabumi, angin topan, banjir, tanah longsor dan kekeringan seringkali mengingatkan pada kita tentang bencana akan benar-benar terjadi. Resiko bencana sebagai hasil dari frekuensi dan kondisi yang rentan dapat berubah menjadi suatu bencana. Resiko bencana adalah hasil dari tingkat kejadian, intensitas bahaya dan sistem kehidupan yang sangat rentan. Peran dari sistem sosial dalam arti kepedulian masyarakat dan sistem pengelolaan memungkinkan merubah sifat kerentanan terhadap bahaya dan mengurangi tingkat kerawanan melalui intervensi yang sistematik.

Kegiatan dalam rangka pengelolaan risiko bencana, antara lain : 1. Penilaian Resiko

a. Melakukan pendataan bencana yang pernah terjadi dimasa lalu termasuk pendataan terhadap kejadian/peristiwa bencana yang besar yang pernah terjadi

b. Mengkaji secara terukur bencana yang disebabkan oleh hidro-meteorologi dan geologi, termasuk penyebab bencana

c. Mendata jumlah penduduk (populasi penduduk) yang berada di areal yang beresiko tinggi terkena bencana atau areal yang paling bahaya.

d. Melakukan persiapan dan memperbaharui (updating) peta-peta bencana dan area yang sangat berbahaya.

2. Pencegahan dan Mitigasi Bencana

a. Menetapkan dan memperkuat pembangunan regional dan perencanaan tataguna lahan, perencanaan pengawasan bangunan yang sesuai dengan zonasi bahaya dan peraturan bangunan.

b. Melaksanakan pelatihan bagi masyarakat dan perwaklian kelembagaan

c. Membangun dan meningkatkan kemampuan pengelolaan resiko bencana di tingkat lokal dan nasional

d. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (seperti misalnya pengelolaan Daerah Aliran Sungai), meningkatkan infrastruktur (bendungan, saluran air, bangunan yang mampu menahan suatu bencana).

3. Kesiapan Menghadapi Bencana

a. Partisipasi dan kesadaran terhadap pentingnya rencana tanggap darurat b. Mempersiapkan infrastruktur (akomodasi saat kondisi darurat,

c. Melakukan latihan secara teratur dalam menghadapi situasi darurat

d. Membangun dan atau meningkatkan kemampuan dalam kesiapan menghadapi bencana, baik di tingkat lokal maupun nasional dan pelayanan penyelamatan e. Koordinasi dan perencanaan operasional

f. Sistem Peringatan Dini :

1) Menyiapkan dan meng-operasikan sistem komunikasi 2) Menempatkan peralatan teknis di tempat yang aman 3) Melakukan pelatihan tenaga penyelamat

4. Pengelolaan resiko bencana sebagai bagian dari rehabilitasi dan rekontruksi a. Melakukan penilaian resiko bencana

(25)

b. Melakukan penilaian infrastruktur, seperti kontruksi banguan tahan gempa, kontruksi bangunan tahan banjir, skema pembangunan, selter tempat pengungsian, dsb

c. Membentuk kelembagaan, seperti peran serta masyarakat dan meningkatkan kerjasama diantara individu-individu

d. Membentuk organisasi, untuk memperkuat kapabilitas lokal

e. Mengembangkan dan memperkenalkan ukuran-ukuran pencegahan dimasa mendatang (seperti pengelolaan DAS, konservasi sumberdaya alam, skema pencegahan banjir)

5. Peran pengelolaan resiko bencana dalam sektor kerjasama pembangunan

Kebutuhan pencegahan harus di-integrasikan kedalam sektor pembangunan, hal ini akan membantu pada peningkatan pengelolaan resiko bencana, terutama pada sektor-sektor yang terkait, termasuk desentralisasi dan atau pembangunan masyarakat, pembangunan desa, pencegahan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, perumahan, kesehatan dan pendidikan.

Efektifitas pengelolaan resiko bencana adalah memantapkan dan atau penguatan sistem di tingkat daerah/lokal yang berupa kegiatan seperti yang ada dalam daftar diatas dari keseluruhan sistem nasional, memobilisasi semua yang mungkin dilakukan oleh para relavan dibidang sosial dan politik, baik ditingkat lokal dan perkotaan serta bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.

(26)

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENYELIDIKAN

3.1. Kabupaten Jayapura

Wilayah Kabupaten Jayapura berada di bagian utara pulau Papua, berada pada posisi geografis 139o 15’ – 140o 45’ BT dan 2o 15’ – 3o 45’ LS. Jarak terjauh barat ke timur adalah 336 km dan utara ke selatan adalah 140 km. Luas wilayah Kabupaten Jayapura berdasarkan jumlah luas distrik adalah 17.516,6 km2. Distrik terluas adalah Kaureh (beribukota di Lapua) yaitu 4.357,9 km2 atau 24,88% luas kabupaten. Distrik tersempit adalah Sentani Barat (beribukota Dosay) yaitu 129,2 km2 atau 0,74% luas kabupaten. Batas wilayah Kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut:

- Sebelah utara : Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi - Sebelah Selatan : Kabupaten Pegunungan Bintang dan Tolikara - Sebelah Barat : Kabupaten Sarmi

- Sebelah Timur : Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom

(27)

Tabel 3.1. Luas wilayah distrik di Kabupaten Jayapura. No Nama Distrik Ibukota Luas Wilayah

(km2) Persentase

1 Kaureh Lapua 4.357,9 24,88

2 Kemtuk Sama 258,3 1,47

3 Kemtuk Gresi Klaisu 182,4 1,04

4 Nimboran Tabri 710,2 4,05

5 Nimbokrang Nembukrang 774,8 4,42

6 Unurum Guay Garusa 3.131,3 17,88

7 Demta Demta 497,5 2,84

8 Depapre Waiya 404,3 2,31

9 Sentani Barat Dosay 129,2 0,74

10 Sentani Hinekomber 225,9 1,29

11 Sentani Timur Nolokla 484,3 2,76

12 Waibu Doyo Lama 258,3 1,47

13 Ebungfauw Ebungfa 387,4 2,21

14 Namblong Karya Bumi 193,7 1,11

15 Yapsi Bumi Sahaja 1.291,3 7,37

16 Airu Hulu Atas 3.099 17,69

17 Yokari Meukisi 519,5 2,97

18 Ravenirara Necheibe 467,4 2,67

19 Gresi Selatan Bangai 143,9 0,82

Jumlah 17.516,6 100

Sumber: Pemerintah Kabupaten Jayapura

Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)

3.1.1. Pemerintahan

Struktur pemerintahan di Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil pemekaran wilayah terdiri dari 19 distrik, 137 desa dan 5 kelurahan (Tabel 3.2).

Dalam perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Jayapura, distrik-distrik di kelompokan berdasarkan potensi wilayahnya menjadi 4 wilayah pembangunan yaitu: WP I : Potensi wisata, perikanan darat, perdagangan, pemerintahan, pendidikan dan transportasi udara.

WP II : Pengembangan pelabuhan peti kemas dan container, perikanan laut, transportasi laut dan sumber daya mineral.

WP III: Pengembangan kawasan agropolitan yang meliputi pertanian, perkebunan dan peternakan skala rakyat.

WP IV : Pengembangan kawasan perkebunan skala besar, sumber daya hutan, serta sumber daya air dan energi.

(28)

Tabel 3.2. Pembagian distrik, desa, kelurahan di Kabupaten Jayapura.

NO Distrik Desa Kelurahan Wil.

Pembangunan 1 Sentani 7 3 I 2 Sentani Timur 7 0 3 Waibu 7 0 4 Ebungfauw 5 0 5 Demta 7 0 II 6 Yokari 5 0 7 Depapre 8 0 8 Raveni Rara 4 0 9 Sentani Barat 5 0 10 Kemtuk 12 0 III 11 Kemtuk Gresi 11 1 12 Namblong 9 0 13 Nimbokrang 9 0 14 Nimboran 13 1 15 Gresi Selatan 4 0 16 Unurum Guay 6 0 III 17 Yapsi 9 0 18 Kaureh 5 0 19 Airu 4 0 Jumlah 137 5

Sumber: Pemerintah Kabupaten Jayapura

3.1.2. Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan

A. Keadaan Iklim

Keadaan iklim wilayah Kabupaten Jayapura tercatat di 2 stasiun meteorologi, yaitu Sentani dan Genyem. Keadaan iklim yang diperolehterdiri dari parameter suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, lama penyinaran matahari dan tekanan udara.

Berdasarkan hasil pengukur suhu udara minimum dan maksimum diperoleh rata-rata pengukuran, seperti Tabel 3.3. Rata-rata suhu udara minimum tercatat antara (20,0 – 22,4)oC, sedangkan rata-rata suhu udara maksimum tercatat antara (26,3 – 28,9)oC. Rata-rata suhu udara minimum di stasiun Sentani tercatat pada bulan Agustus dan stasiun Genyem tercatat pada bulan November, sedangkan rata-rata suhu udara maksimum di stasiun Sentani tercatat pada bulan Desember dan stasiun Genyem tercatat pada bulan Juni.

Intensitas hujan yang terjadi di wilayah Kabupaten Jayapura tahun 2006 berdasarkan

curah hujan berkisar antara (38 – 681) mm/bulan dan hari hujan antara (8 – 28)hari/bulan. Menurut stasiun Sentani curah hujan terrendah terjadi pada bulan

Juni dengan jumlah hari hujan 10 hari, namun hari hujan terendah terjadi pada bulan Oktober. Stasiun Genyem mencatat curah hujan terrendah terjadi pada bulan September dengan jumlah hari hujan 14 hari, namun hari hujan terendah terjadi pada bulan Juni. Curah hujan tertinggi yang tercatat di stasiun Sentani dan Genyem adalah

(29)

pada bulan Februari dan hari hujan tertinggi di kedua stasiun terjadi pada bulan Januari. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2006 berkisar antara (2037 – 3386) mm/thn.

Tabel 3.4. Rata-rata suhu udara minimum dan maksimum Kabupaten Jayapura tahun 2006.

No Bulan

Rata-rata Suhu Udara Minimum (oC)

Rata-rata Suhu Udara Maksimum (oC) Sentani Genyem Sentani Genyem

1 Januari 21,7 22,4 27,1 26.5 2 Februari 22,1 22,3 26,9 26,3 3 Maret 21,2 22,1 27,1 26,5 4 April 21,8 22,4 27,3 26,7 5 Mei 21,2 22,0 27,3 27,0 6 Juni 21,8 22,0 27,9 27,4 7 Juli 21,6 22,0 26,9 26,5 8 Agustus 20,6 21,4 26,8 26,3 9 September 21,0 21,2 28,1 26,6 10 Oktober 21,8 22,0 27,1 27,1 11 November 21,7 20,0 27,6 26,6 12 Desember - 21,6 28,9 27,2

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)

Kelembaban udara, lama penyinaran matahari dan tenakan udara di wilayah Kabupaten Jayapura berdasarkan data 4 tahun terakhir seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.6. Kelembaban rata-rata di stasiun Sentani adalah 84% dan di stasiun Genyem adalah 88,25%. Lama penyinaran rata-rata yang dapat dihitung hanya berasal dari stasiun Genyem adalah 55,25%. Tekanan udara rata-rata di stasiun Sentani adalah 1008 hPa dan stasiun Genyem adalah 1011 hPa.

Tabel 3.5. Curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Jayapura tahun 2006.

No Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

Sentani Genyem Sentani Genyem

1 Januari 240 402 26 28 2 Februari 344 681 21 21 3 Maret 330 569 22 22 4 April 135 242 12 20 5 Mei 240 233 16 13 6 Juni 38 98 10 9 7 Juli 129 159 15 13 8 Agustus 148 107 15 12 9 September 63 85 16 14 10 Oktober 57 178 8 12 11 November 145 345 17 23 12 Desember 168 287 18 16

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)

(30)

Tabel 3.6. Kelembaban udara, lama penyinaran matahari dan tekanan udara di Kabupaten Jayapura periode 2004 – 2007.

Tahun Kelembaban Udara (%)

Rata-rata Penyinaran Matahari (%)

Rata-rata Tekanan Udara (hPa)

Sentani Genyem Sentani Genyem Sentani Genyem

2004 85 88 62 56 1008 1010

2005 88 89 - 56 1008 1010

2006 82 89 - 56 1008 1011

2007 81 87 - 53 1008 1012

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)

B. Keadaan Gempa bumi

Frekuensi gempa bumi yang terjadi di Wilayah Kabupaten Jayapura dan terekam di stasiun meteorologi, klimatologi dan geofisika Wilayah V Jayapura seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.7. Gempa-gempa lokal tercatat berkisar 201 – 797 kali setiap bulan atau total 6.042 getaran sepanjang tahun 2007. Gempa yang bersumber jauh dan dalam dicatat sebanyak 550 kali atau rata-rata terjadi 46 setiap bulan. Gempa bumi dengan kekuatan diatas 5 Skala Ritcher (SR) atau gempa yang dirasakan terjadi sebanyak 42 kali atau rata-rata terjadi 3,3 kali setiap bulan.

C. Penggunaan Lahan

Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal, 2005), tercatat penggunaan lahan di Kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut :

a. Hutan lahan kering primer seluas 9.980,62 km2 (70,51%) b. Hutan lahan kering sekunder seluas 1.876,84 km2 (13,26%) c. Savana seluas 0,20 km2 (0,001%)

Tutupan lahan untuk pemukiman terluas berada di Distrik Sentani yaitu 6,16 km2 dan luas kawasan transmigrasi terluas di Distrik Yapsi yaitu 16,58 km2.

Hutan lahan kering primer terluas berada di Distrik Yapsi, yaitu 3.387,89 km2 dan hutan lahan kering sekunder terluas berada di Distrik Unurum Guay yaitu 2.660,17 km2. Hutan rawa primer dan sekunder terluas berada di Distrik Kaureh, yaitu masing-masing 829,97 km2 dan 62,16 km2. Hutan mangrove primer hanya terdapat di Distrik Demta, yaitu 0,9 km2, dan rawa hanya terdapat di Distrik Kaureh seluas 6,77 km2.

Pertanian lahan kering campuran terluas di Distrik Kemtuk, yaitu 48,17 km2 dan pertanian lahan kering biasa terluas di Distrik Ebungfauw, yaitu 9,4 km2.

Perkebunan dan kebun campuran hanya terdapat di Distrik Yapsi dengan masing-masing luas 154,38 km2 dan 21,87 km2.

(31)

Tabel 3.7. Frekuensi kegempaan yang terjadi di Kabupaten Jayapura pada Tahun 2007

Bulan Gempa Lokal Gempa Tele Gempa Dirasakan

Januari 201 - 7 Februari 302 29 0 Maret 341 57 1 April 357 71 2 Mei 297 3 3 Juni 558 34 2 Juli 797 35 0 Agustus 515 41 9 September 500 89 5 Oktober 708 62 8 November 670 81 2 Desember 796 48 3 Jumlah 6.042 550 42

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Wilayah V Jayapura. Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)

Tutupan lahan sawah dan transmigrasi terdapat di Distrik Nimboran, Namblong dan Nimbokrang yaitu masing-masing luas 0,15 km2, 0,7 km2 dan 2,16 km2. Savana hanya terdapat di Distrik Demta seluas 0,2 km2. Semak belukar terdapat di Distrik Unurum Guay yaitu 22,48 km2, dan tanah atau lahan terbuka seluruhnya seluas 31,82 km2.

3.1.3. Kependudukan

Penduduk di wilayah Kabupaten Jayapura tersebar tidak merata dan proporsi jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Jayapura berdasarkan data BPS Kabupaten Jayapura seperti termuat dalam Kabupaten Jayapura Dalam Angka tahun 2008 sebanyak 117.942 jiwa. Berdasarkan Tabel 3.8 dapat diketahui tingkat pertumbuhan penduduk Kabuapaten Jayapura berada di sekitar angka 3,08% setiap tahunnya. Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi di Distrik Sentani. Di Distrik Sentani juga terjadi kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu 169,96 jiwa/km2, serta jauh di atas rata-rata kepadatan kabupaten yaitu 6,73 jiwa/km2 (Tabel 3.9). Tingkat kepadatan penduduk terendah berada di Distrik Airu, yaitu sebesar 0,45 jiwa/km2.

Tabel 3.8. Perkembangan Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kabupaten Jayapura periode 2004 - 2007

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah

2004 57.334 50.034 107.368

2005 59.158 51.628 110.786

2006 61.038 53.269 114.307

2007 62.979 54.963 117.942

Sumber: BPS Kabupaten Jayapura

(32)

Tabel 3.9. Kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Jayapura tahun 2007.

No Distrik Luas Wilayah

(km2) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan (jiwa/km2) 1 Kaureh 4.357,9 10.336 2,37 2 Airu 3.009,0 1.389 0,46 3 Yapsi 1.219,3 3.848 3,16 4 Kemtuk 258,3 3.567 13,81 5 Kemtuk Gresi 182,4 3.832 21,01 6 Gresi Selatan 143,9 1.329 9,24 7 Nimboran 710,2 4.752 6,69 8 Namblong 193,7 3.613 18,65 9 Nimbokrang 3.131,3 8.206 10,59 10 Unurum Guay 497,5 1.984 0,63 11 Demta 497,5 5.384 10,82 12 Yokari 519,5 1.806 3,48 13 Depapre 404,3 4.595 11,36 14 Ravenirara 467,4 1.704 3,64 15 Sentani Barat 129,2 5.242 40,57 16 Waibu 258,3 3.653 14,14 17 Sentani 225,9 38.394 169,96 18 Ebungfauw 387,4 4.432 11,44 19 Sentani Timur 484,3 9.876 20,39 Jumlah 17.516,6 117.942 6,73

Sumber: BPS Kabupaten Jayapura

Kabupaten Jayapura Dalam Angka (2008)

3.1.4. Perekonomian

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Jayapura tahun 2007 sebesar 9,03% atau meningkat dari semula 8,77% di tahun 2006 (Tabel 3.10). Pertumbuhan ekonomi memberikan indikasi tentang berkembangnya aktivitas ekonomi yang menghasilkan tambahan pendapatan bagi masyarakat sebagai pemilik faktor produksi.

Selain dicerminkan oleh pertumbuhan ekonomi meningkatnya aktivitas ekonomi di Kabupaten Jayapura juga dicerminkan oleh meningkatnya nilai tambah yang dihasilkan. Pada tahun 2007 nilai tambah Kabupaten Jayapura 1,16 trilyun rupiah meningkat sebesar 16,01 persen dari tahun 2006 senilai 996,48 milyar rupiah. Perkembangan nilai tambah PDRB tahun 2007 dibandingkan dengan tahun dasar 2000 meningkatnya 197,84 persen atau hampir dua kali lipat, karena nilai tambah PDRB tahun 2000 senilai 388,13 milyar rupiah.

Perningkatan ekonomi yang dialami oleh Kabupaten Jayapura pada tahun 2007 disebabkan oleh meningkatnya kegiatan-kegiatan ekonomi di beberapa sektor dan subsektor. Sektor Jasa-jasa dan subsektor Penggalian adalah kegiatan ekonomi yang paling mengalami peningkatan output. Sektor Jasa-jasa yang pada tahun 2006 tumbuh sebesar 6,60 persen pada tahun ini tumbuh 9,90 persen. Begitupun dengan subsektor Penggalian, setelah tumbuh 11,30 persen, pada 2007 ini subsektor Penggalian tumbuh 12,79 persen. Laju pertumbuhan sektoran PDRB di Kabupaten Jayapura selengkapnya seperti Tabel 3.11.

(33)

Tabel 3.10. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Jayapura Tahun 2000 - 2007

Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan Nilai Nominal (Jutaan Rupiah) Pertumbuhan (Persentase) Nilai Nominal (Jutaan Rupiah) Pertumbuhan (Persentase) (1) (2) (3) (4) (5) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 388.126,59 461.978,91 545.973,83 626.281,75 726.975,11 845.831,33 996.483,16 1.155.980,85 - 19,03 18,18 14,71 16,08 16,35 17,81 16,01 388.126,59 416.237,20 443.326,90 473.846,31 510.204,87 552.479,57 600.934,24 655.180,65 - 7,24 6,51 6,88 7,67 8,29 8,77 9,03 Sumber : PDRB Kabupaten Jayapura (2008)

Tabel 3.11. Laju Pertumbuhan Sektoral PDRB Kabupaten Jayapura Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002 – 2007 (dalam persen)

Sektor Pertumbuhan Ekonomi

2002 2003 2004 2005 2006 r) 2007 *)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Pertanian

2 Pertambangan & Penggalian 3 Industri Pengolahan

4 Listrik dan Air Bersih 5 Bangunan

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Angkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 9 Jasa – Jasa 7,86 7,67 1,01 3,60 6,20 2,85 6,08 6,45 10,02 3,66 7,89 0,80 6,07 6,52 15,33 18,12 4,03 8,15 2,79 9,21 4,04 8,95 10,11 14,37 22,21 10,84 6,91 4,24 10,86 4,64 9,21 13,97 10,99 19,66 7,43 7,37 4,37 11,30 6,08 5,07 14,27 10,27 13,58 67,68 6,60 4,22 12,79 3,74 2,43 10,62 10,79 12,10 59,88 9,90 PDRB 6,51 6,88 7,67 8,29 8,77 9,03

Sumber : PDRB Kabupaten Jayapura (2008)

3.1.5. Sarana dan Prasarana

A. Kesehatan

Sarana dan prasarana kesehatan di Kabupaten Jayapura tercermin dalam ketersediaan sarana kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, gudang farmasi dan apotek. Jumlah sarana kesehatan yang tercatat seperti ditunjukan pada Tabel 3.12. Sedangkan tenaga kesehatan yang melayani sektor kesehatan seperti tertuang dalam Tabel 3.13.

(34)

Tabel 3.12. Sarana Kesehatan di Kabupaten Jayapura tahun 2007. Sarana Kesehatan Jumlah (Org)

1. Rumah Sakit 2. Puskesmas

3. Puskesmas Pembantu 4. Poliklinik Desa

5. Puskesmas Keliling Air 6. Puskesm as Keliling Darat 7. Pos Pelayanan Terpadu 8. Gudang Farmasi 9. Apotek 1 15 36 32 3 17 182 1 8

Tabel 3.13. Tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura tahun 2007. Tenaga Kesehatan Jumlah (org)

1. Dokter Umum 2. Dokter Gigi 3. Perawat Umum 4. Bidan 25 4 110 91 B. Pendidikan

Pendidikan di Kabupaten Jayapura lebih di dominasi oleh pendidikan sekolah dasar dengan siswa mencapai 16.505 orang dan 1072 orang guru serta 116 unit sekolah (Tabel 3.14). Angka partisipasi sekolah untuk SD sangat tinggi yaitu 87,88% dan angka partisipasi kelulusan mencapai 97,85%. Angka Partisipasi Sekolah Terendah dialami oleh SLTA (SMK) sebesar 22,60% dan tingkat kelulusan mencapai 14,70% (Kab. Jayapura Dalam Angka, 2008).

Tabel 3.14. Sarana dan tenaga pendidik di Kabupaten Jayapura tahun 2007. Sarana Pendidikan Jumlah (unit) Guru (org) Murid (org) 1. SD 2. SLTP 3. SLTA (SMU) 4. SLTA (SMK) 5. Perguruan Tinggi 116 27 15 5 0 1072 513 305 109 0 16.505 5.873 4.248 1.340 0 C. Keagamaan

Kondisi keagamaan yang berkembang di Kabupaten Jayapura tercermin oleh keberadaan sarana ibadah dan penganut agamanya. Jumlah sarana ibadah dan penganut masing-masing agama seperti ditunjukkan pada Tabel 3.15.

(35)

Tabel 3.15. Sarana peribadahan dan jumlah penganut agama di Kabupaten Jayapura tahun 2007.

Sarana Ibadah Jumlah (unit) Jumlah Penganut (org) 1. Gereja Protestan 2. Gereja Katholik 3. Mesjid 4. Vihara 5. Pura 290 17 35 1 2 79.046 5.551 28.318 113 408 D. Listrik

Penyediaan listrik di Kabupaten Jayapura di layani oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memiliki 2 pembangkit listrik tenaga diesel yang berada di Kota Sentani dan Genyem. Produksi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit Sentani pada tahun 2007 adalah 2.357.380 kwh dan pembangkit Genyem sebesar 467.120 kwh. Jumlah produksi ini belum sepenuhnya dapat melayani kebutuhan energi listrik di Kabupaten Jayapura, sehingga diperlukan alternatif penyediaan energi listrik selain yang berasal dari diesel. Dibeberapa kampung telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro dengan kapasitas kurang dari 10.000 kwh.

E. Jalan

Sarana jalan yang dimiliki oleh Kabupaten Jayapura sepanjang 945,4 km yang terdiri dari jalan aspal sepanjang 266,73 km, jalan kerikil 414,38 km serta jalan tanah 264,29 km. Sarana jalan lain yang dimiliki adalah jembatan yang terdiri dari jembatan beton dan kayu yang berjumlah 122 buah. Kondisi jalan dan panjang jalan yang berada di Kabupaten Jayapura selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 3.16 berikut ini.

Tabel 3.16. Sarana jalan dan kondisi jalan di Kabupaten Jayapura tahun 2007. Jenis Jalan Panjang (km)

1. Aspal a. Baik b. Rusak 214,88 51,85 2. Kerikil a. Baik b. Rusak 86,63 327,75 3. Tanah a. Baik b. Rusak 81,36 182,93 Jumlah 945,4 km

3.2. Distrik Depapre

Distrik Depapre memiliki luas 404,3 km2 (2,31% luas Kabupaten Jayapura) dan berada dalam Wilayah Pembangunan II.

(36)

Batas wilayah Distrik Depapre adalah sebagai berikut: - Utara : Samudera Pasifik

- Timur : Distrik Ravenirara - Selatan : Distrik Sentani Barat

- Barat : Samudera Pasifik dan Distrik Yokari

Secara geografis, penduduk di wilayah Distrik Depapre sebagian besar menempati bagian tepi pantai yang berbatasan dengan Samudera Pasifik. Daerah yang mudah dikenali di Distrik ini antara lain Teluk Tanahmerah, Tanjung Tanahmerah, Tanjung Ensaweh, Tanjung Torare dan Tanjung Ormu.

3.2.1. Administrasi

Secara administrasi Distrik Depapre terdiri dari 8 Kampung, yaitu: 1. Kendate 2. Entiyebo 3. Waiya 4. Tablasupa 5. Yepase 6. Wambena 7. Yewena 8. Dormena Ibukota Distrik Depapre berada di Kampung Waiya.

Gambar

Gambar 1.1. Lokasi daerah penyelidikan.
Gambar 2.1.  Rangkaian kerentanan yang berpadu dengan bahaya yang menimbulkan  bencana
Gambar 2.2. Hubungan pembangunan dan bencana.
Gambar 2.3. Proses terjadinya gempa bumi.
+7

Referensi

Dokumen terkait