Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh: Nancy Hartono NIM: 043114013
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
Presented as Partial Fulfillment of the Requirements To Obtain the SARJANA SAINS Degree
In Mathematics
By: Nancy Hartono
Student Number: 043114013
MATHEMATICS STUDY PROGRAM MATHEMATICS DEPARTMENT SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
v
Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya;
dan Ia akan bertindak.
(Mzm 37:5)Segala sesuatu indah pada waktunya. (Pengkotbah 3:11)
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus, terima kasih Tuhan karena dengan berkatmu aku dapat menyelesaikan tugas terakhirku sebagai mahasiswa dan selalu setia mendengarkan semua isi hatiku…
Papa dan Mama tercinta… Terima kasih atas cinta dan kasih sayang
serta doa dan motivasi yang telah diberikan selama ini. Aku bersyukur dapat
membuat papa dan mama tersenyum dan kelak dapat membahagiakan papa dan
mama.
Ko Thomas, Ce Rina, Ko Joko, Dannys, Catherine, dan Daniel…
Aku sangat bersyukur memiliki kakak yang selalu mendukung dan menjagaku
dan aku senang memiliki adik dan keponakan-keponakan yang lucu…
Ko Rey…Kamu adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan buat Nancy dan
semangat dalam hidupku…
vii
viii
geometry presented in this thesis includes fuzzy point, fuzzy distance between two
fuzzy points, fuzzy line, area and perimeter of a fuzzy subset, height and width of a
fuzzy subset, fuzzy rectangle, and fuzzy triangle. To discuss fuzzy geometry, we need
to understand fuzzy sets and important notions of fuzzy sets such as support, cut,
x
sehingga karena kasih dan karunia-Nya skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membutuhkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, S.J., selaku dosen pembimbing yang dengan rendah
hati bersedia meluangkan banyak waktu luang dan dengan penuh kesabaran telah
membimbing selama penyusunan skripsi ini.
2. Papa dan mama tercinta untuk cinta, kasih sayang, pengorbanan, doa, motivasi
dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis.
3. Ibu Maria Vianney Any Herawati, S.Si., M.Si., selaku dosen penguji.
4. Bapak Herry Pribawanto Suryawan, S.Si., M.Si., selaku sdosen penguji dan telah
bersedia meminjamkan beberapa buku kepada penulis.
5. Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku Kaprodi Matematika
FST-USD dan Dosen Pembimbing Akademik angkatan 2004 yang telah memberikan
doa, saran, nasehat, dan dukungan kepada penulis.
6. Bapak Yosef Agung Cahyanta, S.T., M.T., selaku Dekan FST-USD.
7. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu kepada penulis.
8. Bapak Tukija dan Ibu Linda atas dukungan yang pernah diberikan dan telah
xi
besar yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.
11. Pasanganku, Rey, yang selalu menemaniku di saat senang maupun sedih, dan
memberikan semangat serta dukungan.
12. Sahabat terbaikku di Matematika’04, Lili, Teodora, Siska, Retno, Ratna, Eny,
Dwi, Lina dan Yohanes, yang telah memberikan dukungan serta terima kasih
untuk kesediaan menjadi teman curhatku dan kebersamaan kita selama ini.
13. Sahabat-sahabatku, Fitri, Nur, Ardian, Aris, Resti, Budi, Veronica, Eunike,
Yoshita, dan Peter, terima kasih atas dukungan dan kebersamaan kita selama ini.
14. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu saran dan kritik
sangat diharapkan dalam peningkatan kualitas skripsi ini, dan akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, Februari 2009
Penulis,
xii
HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS ……….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ……….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vi
HALAMAN ABSTRAK ………... vii
HALAMAN ABSTRACT ……… viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……… ix
KATA PENGANTAR ………. x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Batasan Masalah ... 5
D. Tujuan Penulisan ... 6
E. Manfaat Penulisan ... 6
F. Metode Penelitian ... 6
xiii
C. Segiempat ... 33
BAB III HIMPUNAN KABUR ... 49
A. Himpunan Kabur ... 49
B. Fungsi Keanggotaan ... 55
C. Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 56
D. Relasi Kabur ... 58
BAB IV GEOMETRI KABUR ... 70
A. Introduksi ... 70
B. Titik Kabur ... 73
C. Jarak Kabur antara Dua Titik Kabur ... 74
D. Garis Kabur ……… 83
E. Luas dan Keliling Himpunan Bagian Kabur ……...……… 86
F. Tinggi dan Lebar Himpunan Bagian Kabur ……… 90
G. Segiempat Kabur ……….. 93
H. Segitiga Kabur ……….………. 101
BAB V PENUTUP ... 105
A. Kesimpulan ... 105
B. Saran ... 107
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelopor geometri adalah orang Mesir kuno (sekitar 2500 tahun SM). Dengan
kemampuan persepsi dan abstraksinya, manusia memperoleh pemahaman mengenai
bangun (misalnya: lingkaran, segitiga, segiempat), sifat-sifat bangun, relasi antar
bangun dan ukuran bangun. Orang Mesir meneruskan pengetahuannya kepada orang
Yunani yang menciptakan istilah “Geometri” (ukuran bumi). Orang Yunani (sekitar
600 tahun SM) mengembangkan pengetahuan geometri menjadi pengetahuan yang
abstrak dan dilengkapi dengan metode pembuktian yang bersifat deduktif.
Perkembangan tersebut terjadi dalam dua perguruan yang terkenal, yaitu yang
didirikan oleh Thales (624-548 SM) dan oleh Pythagoras (580-500 SM), keduanya
memberi kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan sains, musik dan filsafat.
Metode deduktif Thales dan Pythagoras mencapai puncaknya dalam karya
“Euclides” berjudul “Elementa” (sekitar 300 tahun SM) yang menyusun geometri
secara aksiomatis.
Definisi dalam geometri Euclides:
a. Titik adalah sesuatu yang tidak mempunyai bagian.
c. Bidang adalah sesuatu yang mempunyai panjang dan lebar.
d. Sudut adalah inklinasi atau sela antara dua garis yang berpotongan.
e. Lingkaran adalah suatu bangun datar yang termuat dalam suatu kurva
sedemikian sehingga semua garis lurus yang melalui suatu titik dalam
bangun itu memotong kurva itu sama panjang.
Himpunan kabur diciptakan oleh Lotfi Asker Zadeh, seorang guru besar pada
University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Sejak tahun 1960 Profesor
Zadeh telah merasa bahwa sistem analisis matematik tradisional yang dikenal sampai
saat itu bersifat terlalu eksak sehingga tidak dapat berfungsi dalam banyak masalah
dunia nyata yang seringkali amat kompleks. Dan pada tahun 1965, Profesor Zadeh
mempublikasikan karangan ilmiahnya yang berjudul “Fuzzy Sets”, yang oleh para
pakar di kemudian hari dianggap sebagai karya monumental yang melahirkan bahasa
baru yang diimpikan itu. Terobosan baru yang diperkenalkan Zadeh dalam karangan
tersebut adalah memperluas konsep “himpunan klasik” menjadi “himpunan kabur”
(fuzzy set), dalam arti bahwa himpunan klasik (himpunan tegas, crisp set) merupakan
kejadian khusus dari himpunan yang kabur itu. Dalam teori himpunan klasik, yang
dikembangkan oleh Georg Cantor (1845-1918), himpunan didefinisikan sebagai suatu
koleksi obyek-obyek yang terdefinisi secara tegas, dalam arti dapat ditentukan secara
tegas apakah suatu obyek adalah anggota himpunan itu atau tidak. Dengan demikian,
suatu fungsi XA :X {0,1}, yang disebut fungsi karakteristik dari himpunan A, di
mana untuk setiap xX
) (x XA =
Dengan memperluas konsep fungsi karakteristik itu, Zadeh mendefinisikan
himpunan kabur dengan suatu fungsi yang disebut “fungsi keanggotaan”
(membership function) dan nilai fungsi itu disebut “derajat keanggotaan”, yang
selanjutnya disebut “himpunan kabur” (fuzzy set). Derajat keanggotaan dinyatakan
dengan suatu bilangan real dalam selang tertutp [0,1]. Dengan perkataan lain, fungsi
keanggotaan dari suatu himpunan kabur A~ dalam semesta X adalah pemetaan A~
dari X ke selang [0,1], yaitu ~ :X [0,1]
A
. Nilai fungsi ~(x)
A
menyatakan derajat
keanggotaan unsur xX dalam himpunan kabur A~. Nilai fungsi sama dengan 1
menyatakan keanggotaan penuh, dan nilai fungsi sama dengan 0 menyatakan
samasekali bukan anggota himpunan kabur tersebut.
Secara matematis suatu himpunan kabur A~ dalam semesta X dapat dinyatakan
sebagai himpunan pasangan terurut
} |
)) ( , {( ~
~ x x X
x A
A
1 untuk xA
di mana A~ adalah fungsi keanggotaan dari himpunan kabur A
~
, yang merupakan
suatu pemetaan dari himpunan semestaXke selang tertutup [0,1]. Apabila semesta X
adalah himpunan yang kontinu, maka himpunan kabur A~ seringkali dinyatakan
dengan
X x
A x x
A~ ~( )/
di mana lambang
di sini bukan lambang integral seperti yang dikenal dalamkalkulus, tetapi melambangkan keseluruhan unsur-unsur xX bersama dengan
derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~ . Apabila semesta X adalah
himpunan yang diskret, maka himpunan kabur A~ seringkali dinyatakan dengan
X x
A x x
A~ ~( )/
di mana lambang
di sini tidak melambangkan operasi penjumlahan seperti yangdikenal dalam aritmatika, tetapi melambangkan keseluruhan unsur-unsur xX
bersama dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~.
Atas dasar teori himpunan kabur itu, Zadeh kemudian membangun logika kabur
(fuzzy logic) yang mendasari penalaran yang melibatkan konsep-konsep kabur. Teori
himpunan dan logika kabur ternyata berkembang dengan amat pesat, yang
kabur adalah geometri dengan dasar himpunannya berupa himpunan kabur. Geometri
kabur dikembangkan oleh Rosenfeld, Buckley dan Eslami. Teori geometri kabur yang
dijelaskan oleh Rosenfeld, Buckley dan Eslami dapat diaplikasikan untuk mengenali
pola, komputer grafis, dan pemrosesan gambar. Dalam skripsi ini akan dibahas
teorinya saja mengenai geometri kabur.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang di atas, pokok
permasalahan dalam skripsi ini adalah
a. Apa yang dimaksud dengan titik dan garis kabur?
b. Apa yang dimaksud dengan jarak kabur antara titik-titik kabur?
c. Apa yang dimaksud dengan segitiga dan segiempat kabur?
d. Apa yang dimaksud dengan luas dan keliling himpunan bagian kabur?
e. Apa yang dimaksud dengan tinggi dan lebar himpunan bagian kabur?
C. Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini akan dibahas geometri kabur dengan lingkup
geometri Euclides. Tetapi tidak semua bagian geometri Euclides akan dibahas dalam
skripsi ini. Geometri Euclides yang akan dibahas adalah titik, garis, bidang (segitiga
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mempelajari teori himpunan kabur dan
logika kabur yang diaplikasikan dalam bidang matematika, khususnya geometri
kabur.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan skripsi ini adalah supaya untuk lebih memahami teori
himpunan kabur dan logika kabur yang diaplikasikan dalam bidang matematika,
khususnya geometri kabur.
F. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka,
yaitu mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan geometri kabur.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Batasan Masalah
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat Penulisan
F. Metode Penulisan
G. Sistematika Penulisan
BAB II Geometri Euclides
A. Titik, Garis, dan Sudut
B. Segitiga
C. Segiempat
BAB III Himpunan Kabur
A. Himpunan Kabur
B. Fungsi Keanggotaan
C. Operasi Baku pada Himpunan Kabur
D. Relasi Kabur
BAB IV Geometri Kabur
A. Introduksi
B. Titik Kabur
C. Jarak Kabur antara Dua Titik Kabur
E. Luas dan Keliling Himpunan Bagian Kabur
F. Tinggi dan Lebar Himpunan Bagian Kabur
G. Segiempat Kabur
H. Segitiga Kabur
BAB V Penutup
A. Kesimpulan
BAB II
GEOMETRI EUCLIDES
A. Titik, Garis, dan Sudut
Bangun yang sederhana dalam geometri meliputi titik, garis, dan sudut. Titik
adalah sesuatu yang tidak mempunyai bagian. Garis adalah sekumpulan titik yang
saling berhubungan.
Definisi 2.1.1
Suatu ruas garis AB adalah himpunan yang terdiri dari titik Adan B dan semua
titik Cyang terletak pada garis melalui Adan Bdan terletak di antara Adan B.
Definisi 2.1.2
Panjangruas garis AB adalah bilangan real positif yang menyatakan jarak antara
titik Adan titik B, dan dinotasikan dengan AB.
Definisi 2.1.3
Dua ruas garis dikatakan kongruenjika dan hanya jika kedua ruas garis tersebut
memiliki panjang yang sama.
Definisi 2.1.4
Titik bagi ruas garis AB adalah suatu titik Cpada ruas garis tersebut sedemikian
sehingga AC kongruen dengan CB.
Definisi 2.1.5
Suatu sinar garis AB adalah himpunan yang terdiri dari ruas garis AB dan
semua titik C yang terletak pada garis melalui A dan B sedemikian sehingga B
terletak di antara Adan C.
A B
C
Definisi 2.1.6
Sudut dengan titik sudut Aterdiri dari titik Asendiri dan dua sinar garis AB dan
AC (yang disebut sisi-sisi sudut) dan dilambangkan dengan BAC atau A.
Definisi 2.1.7
Ukuran derajat suatu sudut adalah suatu bilangan real antara 0 dan 180. Ukuran
derajat A dinotasikan dengan mA. Dua buah sudut dikatakan kongruen jika
kedua sudut itu mempunyai ukuran sudut yang sama.
Definisi 2.1.8
Garis bagi BAC adalah suatu sinar garis AD sedemikian sehingga BAD
kongruen dengan DAC.
A B
C
A B
C
Definisi 2.1.9
Dua buah sudut dikatakan bertolak belakangbila titik sudutnya berimpit dan
sisi-sisinya membentuk dua buah garis.
Definisi 2.1.10
Dua buah sudut dikatakan pelurus bila satu sisinya berimpit dan sisi-sisi lainnya
terletak pada garis yang sama dengan arah yang berlawanan.
Definisi 2.1.11
Suatu sudut disebut siku-siku jika sudut itu kongruen dengan sudut pelurusnya.
Ukuran sudut siku-siku adalah 90 . Jika dua buah sudut adalah pelurus, maka jumlah
ukuran kedua sudut itu adalah 180 .
D A B
Definisi 2.1.12
Dua garis berpotongan dikatakan tegak lurusbila salah satu sudut yang terbentuk
pada perpotongan kedua garis itu adalah sudut siku-siku.
Definisi 2.1.13
Dua garis dikatakan sejajarjika kedua garis itu tidak berpotongan.
Teorema 2.1.1
Jika dua garis lurus berpotongan, maka sudut-sudut bertolak belakang yang
terbentuk adalah kongruen.
Bukti
Menurut Definisi 2.1.9 dan 2.1.11, maka
a m b 180
m … (1)
dan
1
l
2
l a
a b
a m b 180
m … (2)
Dari persamaan (1) dan (2) diperoleh
b m a m b m a
m . Jadi
.
a m a
m Demikian pula mbmb. ∎
B. Segitiga
Segitiga ABC (ABC) adalah suatu bangun yang terdiri dari tiga buah titik A, B,
dan Cyang tidak segaris (yang disebut titik sudut) dan tiga buah ruas garis AB, BC,
dan CA (disebut sisi). Jumlah ukuran sudut suatu segitiga adalah 180 .
Definisi 2.2.1
Garis tinggi dalam suatu segitiga adalah garis yang melalui sebuah titik sudut
segitiga itu dan tegak lurus sisi depannya atau perpanjangan sisi di depannya.
A
B C
Definisi 2.2.2
Garis bagi dalam suatu segitiga adalah garis yang membagi dua sama besar
sebuah sudut segitiga itu.
Definisi 2.2.3
Garis berat dalam suatu segitiga adalah garis yang melalui sebuah titik sudut
segitiga itu dan titik tengah sisi di depannya.
Definisi 2.2.4
Suatu segitiga disebut siku-sikujika salah satu sudutnya adalah siku-siku. Sisi-sisi
pada sudut siku-sikunya disebut kakidan sisi yang lainnya disebut sisi miring.
A
C B
D
A
C B
Teorema 2.2.1
Jika A dan B adalah sudut-sudut dalam segitiga siku-siku dan sudut yang
lainnya adalah sudut siku-sikunya, maka mAmB90.
Bukti
A m B m C 180
m
Menurut Definisi 2.1.11, mC 90, maka mAmB90180.
Jadi, mAmB90. ∎
Teorema 2.2.2
Misalkan l1 dan l2 dua buah garis dan misalkan ksuatu garis yang memotong l1
pada P1 dan l2 pada P2, dengan P1 P2. Misalkan P1 dan P2 adalah sudut-sudut
antara k, l1 dan k, l2, pada sisi yang sama l1, l2. Jika mP1 mP2 , maka l1 dan l2
adalah sejajar.
A
Bukti
Andaikan l1 dan l2 berpotongan pada titik M.
Misalkan Q titik pada k. Karena mP1 mP2 dan mP1QM mP2QM dan
P1QM m P1 m QMP1 180
m
P2QM m P2 m QMP2 180
m
1
l
2
l
1
P
2
P
k
M
k
Q
1
l
2
l
1
P
2
maka diperoleh QMP1 = QMP2.
Jadi mP1MP2 mQMP2 mQMP1 0, yang berarti P1 P2. Kontradiksi
dengan asumsi P1 P2. Jadi l1 dan l2 tidak berpotongan, yaitu l1 dan l2 sejajar. ∎
Definisi 2.2.5
Misalkan tsuatu garis yang melewati garis-garisldan mdan mempertemukan l
pada A dan mpada A, dengan A A. Pilih titik Bdan Cpada garis ldan B dan
C pada garis m, dengan Cdan C pada sisi yang sama dari t.
Maka CAA dan BAA disebut sudut-sudut dalam berseberangan, demikian
pula CAA dan BAA. Sedangkan BAD dan BAA disebut sudut-sudut
sehadap, demikian pula CAD dan CAA.
A
B
B
t
l
m
C
A
D
Teorema 2.2.3
Jika sebuah garis memotong dua buah garis yang sejajar, maka sudut-sudut dalam
berseberangannya kongruen.
Bukti
Misalkan garis l4 memotong tegak lurus garis l1 dan l2 yang sejajar dan
memotong l3 di titik P.
Menurut Teorema 2.2.1, mPQRmQPR 90
dan mPSTmSPT 90.
3
l
1
l
2
l
3
l
1
l
2
l
4
l P
U Q
R
Jadi mPQRmQPR mPST mSPT .
Karena mQPR mSPT, maka mPQR mPST.
Menurut Teorema 2.1.1, mPQR mSQU .
Jadi, mSQU mPST . ∎
Akibat 2.2.4
Jika sebuah garis memotong dua buah garis yang sejajar, maka sudut-sudut
sehadapnya kongruen.
Bukti
Menurut Teorema 2.1.1 dan Teorema 2.2.3, maka mamcmb. ∎
a
b
3
l
1
l
2
Definisi 2.2.6
Misalkan ABC adalah segitiga siku-siku di C, dengan panjang sisi-sisi kakinya
a dan b, dan panjang sisi miringnya c.
Didefinisikan
c b B
)
sin( dan
c a B
)
cos( .
Aturan Sinus
Misalkan ABC dengan panjang sisi-sisinya a, b, dan c, dengan a sebagai
panjang sisi di depan sudut A, bsebagai panjang sisi di depan sudut B, dan csebagai
panjang sisi di depan sudut C, maka
) sin( ) sin( )
sin( C
c B
b A
a
.
A
B C
a
Bukti
Dengan AD adalah garis tinggi, maka
c
Dengan BE adalah garis tinggi, maka
Jadi,
Aturan Cosinus
Misalkan ABC dengan panjang sisi-sisinya a, b, dan c, dengan a sebagai
panjang sisi di depan sudut A, bsebagai panjang sisi di depan sudut B, dan csebagai
panjang sisi di depan sudut C, maka
CD
Kalikan kedua ruas dengan a, maka diperoleh
)
Kalikan kedua ruas dengan b, maka diperoleh
)
Kalikan kedua ruas dengan c, maka diperoleh
2 cos( )
2
C ab
c
) cos( 2
2 2 2
C ab
b a
c . ∎
Definisi 2.2.7
Dua segitiga dikatakan kongruen jika titik-titik sudut kedua segitiga itu dapat
dipasangkan sedemikian sehingga sisi-sisi dan sudut-sudut bersesuaian adalah
kongruen. Jika ABC kongruen dengan DEF, maka ditulis ABCDEF.
Teorema 2.2.5
Dua buah segitiga adalah kongruen jika dua sisi dan sudut yang diapit oleh kedua
sisi itu kongruen (SAS: Side-Angle-Side).
A
B
C
X
Y
Bukti
Misalkan diberikan ABC dan XYZ dengan AB XY , AC XZ dan
X A
. Maka dengan Aturan Cosinus:
A AC
AB AC
AB
BC2 2 2 2( )( )cos
= XY2 XZ2 2(XY)(XZ)cosX
= YZ2.
Jadi BCYZ.
Dan dengan Aturan Sinus:
A BC B
AC
sin
sin
BC A AC
B ( )(sin )
sin
YZ X XZ)(sin )
(
= sinY .
Dan dengan aturan Sinus:
A BC C
AB
sin
BC A AB
C ( )(sin )
sin
YZ X XY)(sin )
(
= sinZ .
Maka BC = YZ, BY , dan CZ . Jadi, dengan Definisi 2.2.8
XYZ ABC
. ∎
Teorema 2.2.6
Dua buah segitiga adalah kongruen jika dua sudut dan sisi yang diapit kedua
sudut itu kongruen (ASA: Angle-Side-Angle)
Bukti
Misalkan diberikan ABC dan XYZ dengan AB XY , AX , dan
Y B
.
A
B
C
X
Y
Maka dengan Aturan Sinus:
C AB A
BC
sin
sin
C A AB
BC
sin
) )(sin (
=
Z X XY
sin
) )(sin (
= YZ.
Jadi, dengan Teorema 2.2.5 (SAS) ABCXYZ.∎
Teorema 2.2.7
Dua buah segitiga adalah kongruen jika dua sudut dan sisi di hadapan salah satu
sudut itu kongruen (AAS: Angle-Angle-Side).
A
B
C
X
Y
Bukti
Misalkan diberikan ABC dan XYZ dengan BC YZ , AX , dan
Y B
.
Maka dengan Aturan Sinus:
A BC C
AB
sin
sin
A C BC
AB
sin
) )(sin (
=
X Z YZ
sin
) )(sin (
= XY.
Jadi, dengan Teorema 2.2.5 (SAS) ABCXYZ.∎
Teorema 2.2.8
Dua buah segitiga adalah kongruen jika ketiga sisinya yang bersesuaian adalah
kongruen (SSS: Side-Side-Side).
A
B
C
X
Y
Bukti
Misalkan diberikan ABC dan XYZ dengan AB XY , BC YZ , dan
XZ AC .
Maka dengan Aturan Cosinus:
)
Definisi 2.2.8
Suatu segitiga disebut samakaki jika segitiga itu mempunyai dua buah sisi yang
kongruen. Kedua sisi yang kongruen itu disebut kaki dan sisi yang ketiga disebut
alas. Sudut yang diapit oleh kedua kaki segitiga samakaki disebut disebut sudut
Teorema 2.2.9
Kedua sudut alas segitiga samakaki adalah kongruen.
Bukti
Diketahui ABC samakaki dengan AC= CB.
Misalnya CDadalah garis berat.
Maka AC= CB, CD= CD, dan AD= DB.
Jadi, dengan Teorema 2.2.8 (SSS) ACDBCD.
Akibatnya: mAmB.
Jadi, terbukti bahwa kedua sudut alas segitiga samakaki adalah kongruen.∎
A B
C
C. Segiempat
Definisi 2.3.1
Segiempat ABCD adalah suatu bangun yang terdiri dari empat buah titik A, B, C,
dan Ddan empat buah ruas garis AB, BC, CD, dan DA sedemikian sehingga tidak
ada tiga titik darinya yang terletak pada sebuah garis dan tidak ada sepasang ruas
garis darinya yang berpotongan kecuali di titik-titik ujungnya. Ruas-ruas garis AB ,
BC, CD, dan DA disebut sisi dan AC, dan BD disebut diagonal dari segiempat
itu.
Definisi 2.3.2
Suatu segiempat disebut persegi jika semua sisinya adalah kongruen dan semua
sudutnya adalah siku-siku. Luas persegi didefinisikan sebagai kuadrat panjang
sisi-sisinya.
Definisi 2.3.3
Suatu segiempat disebut persegi panjang jika semua sudutnya adalah siku-siku.
panjang sisi yang lainnya disebut tinggi. Luas persegi panjang didefinisikan sebagai
hasil kali alas dan tingginya.
Definisi 2.3.4
Suatu segiempat disebut jajaran genjang jika sisi-sisi yang berhadapan adalah
sejajar.
Definisi 2.3.5
Jika salah satu sisi suatu jajaran genjang kita sebut sisi alas, maka tinggijajaran
genjang itu relatif terhadap alas tersebut adalah jarak tegak lurus antara sisi alas itu
dan sisi di hadapannya.
Definisi 2.3.6
Dua buah bangun geometri dikatakan ekivalen jika masing-masing bangun itu
terdiri dari berhingga banyak segi-banyak sedemikian sehingga semua segi-banyak
Contoh 2.3.1
Jajaran genjang ABCDdan EBCFadalah ekivalen, karena jajaran genjang ABCD
terdiri dari segiempat EBCDdan AEB, sedangkan jajaran genjang EBCFterdiri dari
segiempat EBCD dan DFC. Segiempat EBCD kongruen dengan dirinya sendiri,
sedangkan AEB dan DFC adalah kongruen, karena ABDC , EBFC, dan
C B
.
Definisi 2.3.7
Dua buah bangun geometri yang ekivalen dikatakan mempunyai luas yang sama.
Teorema 2.3.1
Luas suatu segitiga siku adalah setengah hasil kali panjang sisi-sisi
siku-sikunya.
A
B C
D
Bukti
Diberikan segitiga siku-siku ABC dengan b dan h adalah panjang sisi-sisi
siku-sikunya.
Dibuat persegi panjang ABCD dengan CD sejajar dengan AB dan AD sejajar
dengan BC.
Dengan Teorema 2.2.5 (SAS), ABCACD, dan dengan Definisi 2.3.6 dan
Definisi 2.3.7, ABC dan ACD mempunyai luas yang sama. Menurut Definisi
2.3.3, Luas ABCD= bh. Luas ABCD= luas ABC + luas ACD = 2 luas ABC.
Jadi, luas ABC =
2 1
luas ABCD= .
2 1
bh ∎
A B
C
b h
b h
D
A B
Teorema 2.3.2
Luas segitiga adalah setengah hasil kali panjang sisi alas dan tingginya.
Bukti
Kasus 1
Diberikan segitiga ABC dengan b sebagai panjang sisi alas dan h sebagai tinggi
(panjang garis tinggi CD).
Jika panjang AD adalah b1 dan panjang DB adalah b2, maka luas segitiga
siku-siku ADCadalah b1h
2 1
dan luas segitiga siku-siku CDBadalah .
2 1
2h
b
Luas segitiga ABC= luas ADC + luas CDB
= b1h
2 1
+ b2h
2 1
= (b b )h
2 1
2 1
= .
2 1
bh ∎
h
b1 b2
A B
C
Kasus 2
Diberikan segitiga ABCdengan bsebagai panjang sisi alas dan hsebagai tinggi.
Untuk menghitung luas segitiga ABC tersebut, dibentuk persegi panjang DBEC
sebagai berikut:
Luas persegi panjang DBEC = luas DAC + luas ABC + luas BEC
h b b )
( 1 = b1h
2 1
+ luas ABC + (b b)h
2 1
1
h b
bh 1 = b1h
2 1
+ luas ABC + bh
2 1
+ b1h
2 1
h b
bh 1 = luas ABC + bh
2 1
+ b1h
Luas ABC = .
2 1
bh ∎
A B
C
b
1
b h
D
Teorema 2.3.3
Sisi-sisi yang berhadapan pada suatu jajaran genjang mempunyai panjang yang
sama.
Bukti
Diberikan jajaran genjang ABCD dengan diagonal AC. Menurut Teorema 2.2.3,
karena AB sejajar dengan CD, maka m2m3, dan karena AD sejajar dengan
BC , maka m1m4. AC berimpit pada kedua segitiga ACD dan CAB.
Menurut Teorema 2.2.6 (ASA), maka ACD CAB. Jadi AB = CD dan AD =
CB.∎
Teorema 2.3.4
Luas suatu jajaran genjang adalah hasil kali panjang sisi alas dan tingginya.
Bukti
Diberikan jajaran genjang dengan bsebagai panjang sisi alas dan hsebagai tinggi.
A B
C D
1 2
Menurut Teorema 2.3.3, salah satu diagonalnya membagi jajaran genjang itu
menjadi dua segitiga yang kongruen. Menurut Teorema 2.3.2, luas segitiga adalah
setengah hasil kali panjang sisi alas dan tingginya, yaitu bh
2 1
.
Maka luas jajaran genjang adalah ) .
2 1 (
2 bh bh ∎
Teorema 2.3.5
Jika sebuah garis sejajar dengan salah satu sisi suatu segitiga dan memotong
sisi-sisi yang lain pada dua titik yang berbeda, maka garis ini membagi sisi-sisi-sisi-sisi yang
dipotong itu menjadi bagian-bagian yang sebanding.
Bukti
h
A
B C
D E
G
l
Misalkan garis l sejajar dengan BC dalam ABC, dan memotong sisi-sisi AB
Kemudian, dibuat garis dari titik Dyang tegak lurus pada AC dan memotong AC di
BED
dan CED mempunyai luas yang sama karena mempunyai alas dan tinggi
yang sama, sehingga
Akibat 2.3.6
Diberikan asumsi seperti pada Teorema 2.3.5, maka
Teorema 2.3.7
Jika sebuah garis memotong dua sisi pada suatu segitiga sehingga bagian-bagian
yang dipotong oleh garis tersebut adalah sebanding, maka garis tersebut sejajar
dengan sisi yang ketiga.
Bukti
Misalkan garis l memotong sisi-sisi AB dan AC dari ABC di titik-titik D dan
Esedemikian sehingga
AE AC AD AB
.
Tarik garis m sejajar dengan BC melalui D. Garis m memotong AC di titik F.
Dengan Akibat 2.3.6 diperoleh
AF AC AD AB
.
B C
A
D
F
E l
m >
Maka
AF AC AE AC
sehingga
AE= AF.
Hal ini mengakibatkan bahwa E = Fdan l= m.
Jadi, lsejajar dengan BC. ∎
Definisi 2.3.8
Dua buah segitiga dikatakan sebangun (dengan lambang ) jika titik-titik sudut
kedua segitiga itu dapat dipasangkan sedemikian sehingga sisi-sisi yang bersesuaian
sebanding dan sudut-sudut yang bersesuaian kongruen.
XYZ ABC
jika dan hanya jika
YZ BC XZ AC XY
AB
dan
Z C Y B X
A
Teorema 2.3.8
Dua buah segitiga adalah sebangun jika ketiga sudut segitiga yang satu kongruen
dengan ketiga sudut bersesuaian segitiga lainnya.
Bukti
Misalkan diberikan ABC dan DEF dengan AD , BE , dan
F C
. Jika AB kongruen dengan DE, maka kedua segitiga tersebut kongruen
dengan Teorema 2.2.7 (AAS) dan karenanya juga sebangun.
Misalkan AB dan DE tidak kongruen, dengan DE AB. Maka ada titik G di
antara D dan E sedemikian sehingga DG AB. Dan misalkan AC dan DF tidak
kongruen, dengan DFAC , maka ada titik H pada DF sedemikian sehingga
A
B C
D
E F
G H
X
Y Z
A
AC
DH . Karena, mAmD, ABCDGH(SAS), sehingga mGmB.
Karena B dan E kongruen, maka mGmE. Maka menurut Teorema 2.2.2,
GH sejajar dengan EF . Dengan Akibat 2.3.6 diperoleh:
.
DF DH DE
DG
Karena DG AB dan DH AC, maka diperoleh:
.
DF AC DE AB
Misalkan AB dan DE tidak kongruen, dengan DE AB. Maka ada titik K di
antara D dan E sedemikian sehingga EK AB. Dan misalkan BC dan EF tidak
kongruen, dengan EFBC , maka ada titik L pada EF sedemikian sehingga
BC
EL . Karena, mE mB , ABCDGH (SAS), sehingga mCmL.
Karena C dan F kongruen, maka mF mL. Maka menurut Teorema 2.2.2,
KL sejajar dengan DF . Dengan Akibat 2.3.6 diperoleh:
.
EF EL DE EK
A
B C
D
E F
K
Karena EK AB dan EL BC, maka diperoleh:
.
EF BC DE
AB
Jadi diperoleh:
EF BC DF AC DE AB
.
Jadi, menurut Definisi 2.3.8 ABCDEF. ∎
Teorema 2.3.9
Dua buah segitiga adalah sebangun jika dua sisi segitiga yang satu sebanding
dengan dua sisi yang bersesuaian segitiga lainnya dan sudut yang diapit oleh kedua
sisi itu adalah kongruen.
A
B C
G H
D
Bukti
Misalkan ABC dan DEF diberikan dengan asumsi seperti dalam Teorema,
yaitu
DF AC DE
AB
dan mAmD.
Jika AB dan AC kongruen dengan pasangannya dalam DEF , maka kedua segitiga
tersebut adalah kongruen dengan Teorema 2.2.5 (SAS) dan karenanya juga sebangun.
Misalkan ABDE, maka ada titik G pada AB sedemikian sehingga AG= DE. Dan
misalkan ACDF , maka ada titik H pada AC sedeimikian sehingga AH = DF.
Maka menurut Teorema 2.2.5 (SAS) AGHDEF.
Karena AG= DEdan AH= DF, maka
AH AC AG AB
sehingga menurut Teorema 2.3.7 GH sejajar dengan BC. Dan menurut Akibat 2.2.4,
B m G
m dan mH mC. Karena AGHDEF, maka mBmE dan
F m C
m .
BAB III
HIMPUNAN KABUR
A. Himpunan Kabur
Himpunan kabur merupakan perluasan dari konsep himpunan tegas, yaitu
himpunan yang terdefinisi secara tegas dalam arti bahwa untuk setiap elemen dalam
semestanya selalu dapat ditentukan secara tegas apakah ia merupakan anggota dari
himpunan itu atau tidak. Dalam kenyataannya tidak semua himpunan yang kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari terdefinisi secara demikian itu, misalnya
himpunan orang yang tinggi, himpunan mahasiswa pandai, dan sebagainya. Pada
himpunan orang yang tinggi, misalnya, kita tidak dapat menentukan secara tegas
apakah seseorang adalah tinggi atau tidak. Jika misalnya kita definisikan bahwa
“orang tinggi” adalah orang yang tingginya lebih besar atau sama dengan 1.75 meter,
maka orang yang tingginya 1.74 meter menurut definisi tersebut termasuk orang yang
tidak tinggi. Sulit bagi kita untuk menerima bahwa orang yang tingginya 1.74 meter
itu tidak termasuk orang yang tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan himpunan dengan batas yang tidak tegas itu,
Zadeh mengaitkan himpunan semacam itu dengan suatu fungsi yang menyatakan
derajat kesesuaian unsur-unsur dalam semestanya dengan konsep yang merupakan
nilai fungsi itu disebut derajat keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu, yang
selanjutnya disebut himpunan kabur. Derajat keanggotaan dinyatakan dengan suatu
bilangan real dalam selang tertutup [0, 1]. Dengan perkataan lain, fungsi keanggotaan
dari suatu himpunan kabur A~ dalam semesta Xadalah pemetaan
A~
dari Xke selang
[0, 1], yaitu ~:X [0,1] A
. Nilai fungsi
A
~
(x) menyatakan derajat keanggotaan
unsur x Xdalam himpunan kabur A~.
Secara matematis suatu himpunan kabur A~ dalam semesta X dapat dinyatakan
sebagai himpunan pasangan terurut
} |
)) ( , {( ~
~ x x X
x
A A
di mana A~ adalah fungsi keanggotaan dari himpunan kabur A~, yang merupakan
suatu pemetaan dari himpunan semestaX ke selang tertutup [0, 1]. Apabila semesta
Xadalah himpunan yang kontinu, maka himpunan kabur A~ seringkali dinyatakan
dengan
X x
A x x
A~ ~( )/
di mana lambang
di sini bukan lambang integral seperti yang dikenal dalamderajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~ . Apabila semesta X adalah
himpunan yang diskret, maka himpunan kabur A~ seringkali dinyatakan dengan
X x
A x x
A~ ~( )/
di mana lambang
di sini tidak melambangkan operasi penjumlahan seperti yangdikenal dalam aritmatika, tetapi melambangkan keseluruhan unsur-unsur xX
bersama dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~.
Contoh 3.1.1
Dalam semesta X = {-5, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5}, misalkan himpunan kabur
A~ adalah himpunan bilangan real yang dekat dengan nol. Maka
X x
A x x
A~ ~( )/
= 0.1 / -4 + 0.3 / -3 + 0.5 / -2 + 0.7 / -1 + 1 / 0 + 0.7 / 1 + 0.5 / 2 + 0.3 / 3 + 0.1
/ 4.
Dua buah himpunan kabur A~ dan B~ dalam semesta X dikatakan sama, dengan
) ( )
( ~
~ x x
B
A
untuk setiap x X. Himpunan kabur A~ dikatakan merupakan himpunan bagiandari
himpunan kabur B~, dengan lambang A~ B~, bila dan hanya bila
) ( )
( ~
~ x x
B
A
untuk setiap x X. Jadi A~ = B~ bila dan hanya bila A~ B~ dan B~ A~.
Pendukung (support) dari suatu himpunan kabur A~, yang dilambangkan
Pend( A~ ) adalah himpunan tegas yang memuat semua unsur dari semesta yang
mempunyai derajat keanggotaan taknol dalam A~, yaitu
Pend(A~) = {x X| ~(x)
A
> 0}.
Tinggi (height) dari suatu himpunan kabur A~ , yang dilambangkan dengan
Tinggi(A~), didefinisikan sebagai
Tinggi(A~) = sup{ ~(x)}.
A X x
Himpunan kabur yang tingginya sama dengan 1 disebut himpunan kabur normal,
sedangkan himpunan kabur yang tingginya kurang dari 1 disebut himpunan kabur
subnormal.
Untuk suatu bilangan [0,1], potongan- dari suatu himpunan kabur A~, yang
dilambangkan dengan A, adalah himpunan tegas yang memuat semua elemen dari
semesta dengan derajat keanggotaan dalam A~ yang lebih besar atau sama dengan ,
yaitu
}. ) ( |
{ ~
xX x
A
A
Sedangkan potongan- kuatdari himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas
}. ) ( |
{ ~
xX x
A A
Suatu himpunan kabur dalam semesta ℝndisebut konveksbila untuk setiap (0,1]
potongan- dari himpunan kabur itu adalah himpunan (tegas) yang konveks.
Teorema 3.1.1
B. Fungsi Keanggotaan
Setiap himpunan kabur dapat dinyatakan dengan suatu fungsi keanggotaan. Ada
beberapa cara untuk menyatakan himpunan kabur dengan fungsi keanggotaannya.
Untuk semesta hingga diskret biasanya dipakai cara daftar, yaitu daftar
angota-anggota semesta bersama derajat keangota-anggotaannya, seperti misalnya diberikan dalam
Contoh 3.1.1.
Untuk semesta takhingga yang kontinu, cara yang paling sering digunakan adalah
cara analitik untuk menyatakan fungsi keanggotaan himpunan kabur yang
bersangkutan dalam bentuk suatu formula matematis yang dapat disajikan dalam
bentuk grafik.
Contoh 3.2.1
Himpunan kabur A~ adalah bilangan real yang dekat dengan 2 dapat dinyatakan
dengan menggunakan fungsi keanggotaan sebagai berikut:
x– 1 untuk 1 x 2
3 –xuntuk 2 x 3
0 untuk lainnya
) (
~ x
yang grafiknya adalah sebagai berikut
Gambar 3.2.1
C. Operasi Baku pada Himpunan Kabur
Operasi baku pada himpunan kabur yang akan didefinisikan adalah operasi uner
“komplemen” dan operasi-operasi biner “gabungan” dan “irisan”. Komplemen dari
suatu himpunan kabur A~ adalah himpunan kabur A~ dengan fungsi keanggotaan
) ( 1 )
( ~
~ x x
A
A
untuk setiap x X. Gabungandua buah himpunan kabur A~ dan B~ adalah himpunan
kabur A~B~ dengan fungsi keanggotaan
~( ) ~ x
B A
max { ~(x), ~(x)} B
A
0
0.5 1
untuk setiap x X. Sedangkan irisan dua buah himpunan kabur A~ dan B~ adalah
himpunan kabur A~B~ dengan fungsi keanggotaan
~( ) ~ x
B A
min { ~(x), ~(x)} B
A
untuk setiap x X.
Suatu pemetaan t:[0,1][0,1][0,1] disebut irisan kabur (norma-t) jika
memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:
a. t(x,1)t(1,x)x dan t(0, 0) = 0 (syarat batas)
b. t(x,y)t(y,x) (syarat komutatif)
c. Jika xx dan y y, maka t(x,y)t(x,y) (syarat takturun)
d. t(t(x,y),z)t(x,t(y,z)) (syarat asosiatif)
Operasi min{x, y} untuk x,y[0,1] merupakan suatu contoh dari norma-t:
a. min{x, 1} = min{1, x} = x dan min{0, 0} = 0 (syarat batas)
b. min{x, y} = min{y, x} (syarat komutatif)
c. Jika xx dan y y, maka min{x, y} min{x,y} (syarat takturun)
d. min{min{x, y}, z} = min{x, min{y, z}} (syarat asosiatif)
Contoh 3.3.1
Misalkan dalam semesta X = {-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6} diketahui
himpunan-himpunan kabur A~ = 0.3 / -3 + 0.5 / -2 + 0.7 / -1 + 1 / 0 + 0.7 / 1 + 0.5 / 2
+ 0.3 / 3 dan B~ = 0.1 / -1 + 0.3 / 0 + 0.8 / 1 + 1 / 2 + 0. 7 / 3 + 0.4 / 4 + 0.2 / 5, maka
A~ = 1 / -4 + 0.7 / -3 + 0.5 / -2 + 0.3 / -1 + 0.3 / 1 + 0.5 / 2 + 0.7 / 3 + 1 / 4 + 1
/ 5 + 1 / 6
B
A~ ~ = 0.3 / -3 + 0.5 / -2 + 0.7 / -1 + 1 / 0 + 0.8 / 1 + 1 / 2 + 0.7 / 3 + 0.4 / 4 +
0.2 / 5
B
A~ ~ = 0.1 / -1 + 0.3 / 0 + 0.7 / 1 + 0.5 / 2 + 0.3 / 3.
D. Relasi Kabur
Relasi kabur R~ antara elemen-elemen dalam himpunan X dengan elemen-elemen
dalam himpunanYdidefinisikan sebagai himpunan bagian kabur dari darab Cartesius
X Y, yaitu himpunan kabur
}. )
, ( | )) , ( ), , {(( ~
~ x y x y X Y
y x
R R
Relasi kabur R~ itu juga disebut relasi kabur pada himpunan (semesta) X Y. jika
Contoh 3.4.1
Misalkan X = {31, 78, 205}, Y = {1, 27, 119}, dan R~ adalah relasi kabur “jauh
lebih besar” antara elemen-elemen dalam X dengan elemen-elemen dalam Y. Maka
relasi R~ tersebut dapat disajikan sebagai
R~ = 0.3 / (31, 1) + 0.1 / (31, 27) + 0.5 / (78, 1) + 0.3 / (78, 27) + 0.9 / (205, 1) +
dengan elemen-elemen dalam himpunan Y dapat dinyatakan dalam bentuk suatu
matriks berukuran mn sebagai berikut
Contoh 3.4.2
Relasi kabur “jauh lebih besar” antara elemen-elemen dalam X dengan
elemen-elemen dalam Y dalam Contoh 3.4.1 di atas dapat disajikan dalam bentuk matriks
bujur-sangkar sebagai berikut:
1. Komposisi Relasi Kabur
Jika R~1 adalah relasi kabur pada XY dan R~2 adalah relasi kabur pada
R adalah relasi kabur pada XZ dengan fungsi keanggotaan
Setiap norma-t menghasilkan suatu komposisi tertentu. Misalnya, jika diambil
operator “min” sebagai norma-t, maka diperoleh relasi komposit R~1R~2 dengan
fungsi keanggotaan
)}.
Komposisi ini sering disebut komposisi sup-min. Kalau sebagai norma-t diambil
operator “darab aljabar”, maka diperoleh relasi komposit R~1R~2 dengan fungsi
Komposisi ini sering disebut komposisi sup-darab.
Contoh 3.4.3
Misalnya X = {31, 78, 205}, Y = {1, 27, 119} dan Z = {10, 225, 94}, dan relasi
kabur R~1 adalah relasi “jauh lebih besar” antara elemen-elemen dalam X dengan
elemen-elemen dalam Yyang disajikan dalam bentuk matriks sebagai berikut:
Misalkan R~2 adalah relasi kabur “jauh lebih kecil” antara elemen-elemen dalam
penjumlahan diganti operasi “max” sebagai berikut:
dikerjakan seperti komputasi perkalian matriks, di mana operasi perkalian seperti
komputasi perkalian matriks dan operasi penjumlahan diganti operasi “max sebagai
2. Relasi Kabur Khusus
untuk setiap xX. Relasi kabur R~ dikatakan bersifat simetrikbila dan hanya bila
)
untuk setiap x,yX. Relasi kabur R~ dikatakan bersifat antisimetrik bila dan hanya
simetrik dari R~ terlihat dari corak simetrik matriks tersebut terhadap diagonal
utamanya, yaitu aij = aji. Relasi kabur R~ bersifat antisimetrik apabila aij = 0 atau
ji
a = 0 untuk i j. Relasi kabur R~ adalah transitif bila R~R~R~.
Suatu relasi kabur R~ pada semesta X yang bersifat refleksif, simetrik, dan
transitif disebut relasi ekivalensi kabur, sedangkan relasi kabur R~ yang bersifat
refleksif dan simetrik disebut relasi kompatibilitas kabur. Relasi kabur R~ pada
semesta X yang bersifat refleksif, transitif, dan antisimetrik disebut relasi urutan
parsial kabur. Ketiga relasi kabur khusus tersebut bersifat layak-potongan, yaitu
setiap potongan- dari relasi ekivalensi kabur adalah relasi ekivalensi tegas, setiap
potongan- dari relasi kompatibilitas kabur adalah relasi kompatibilitas tegas, dan
setiap potongan- dari relasi urutan parsial kabur adalah relasi urutan parsial tegas.
Contoh 3.4.3
Jika R~ adalah relasi kabur pada semesta X= {a, b, c, d, e} yang disajikan dengan
matriks berikut:
Maka R~ adalah relasi kabur yang refleksif dan antisimetrik (sebab ~(x,y)0 R
atau ~(y,x)0 R
untuk x y). Selanjutnya dengan komposisi sup-min diperoleh:
yang berarti R~ bersifat transitif. Jadi R~ adalah relasi urutan parsial kabur. Untuk
= 0.5, potongan- dari R~ adalah
yang merupakan relasi urutan parsial tegas pada X.
Definisi 3.4.1
Himpunan semua himpunan bagian dari A disebut himpunan kuasa dari A, dan
Definisi 3.4.2
Suatu fungsi tegas f :X Y dikatakan dikaburkanbila fungsi tersebut diperluas
menjadi fungsi f :F(X) F(Y), di mana F(X) dan F(Y) berturut-turut adalah
himpunan kuasa kaburdari semesta Xdan Y, yaitu himpunan semua himpunan kabur
dalam Xdan dalam Y.
Prinsip Perluasan
Suatu fungsi tegas f :X Y dikaburkan dengan memperluas fungsi tersebut
Definisi 3.4.3
Bilangan kabur didefinisikan sebagai himpunan kabur dalam semesta himpunan
semua bilangan real ℝyang memenuhi empat sifat berikut ini:
b. Mempunyai pendukung yang terbatas
c. Semua potongan- -nya adalah selang tertutup dalam ℝ.
d. Konveks.
Bilangan kabur yang paling banyak dipakai dalam aplikasi adalah bilangan kabur
dengan fungsi keanggotaan segitiga, yang disebut bilangan kabur segitiga. Jelas
bahwa jenis bilangan kabur tersebut memenuhi keempat sifat bilangan kabur seperti
didefinisikan di atas.
Contoh 3.4.1
Bilangan kabur “kurang lebih 6” dapat dinyatakan sebagai himpunan kabur 6~
dengan fungsi keanggotaan segitiga sebagai berikut:
Gambar 3.4.1. Bilangan kabur 6~
0 1
` Definisi 3.4.4
Misalkan A~ dan B~ adalah dua buah bilangan kabur dalam ℝ. Dengan Prinsip
Perluasan dapat didefinisikan penjumlahan A~ dan B~, yaitu A~B~, sebagai bilangan
kabur dalam ℝdengan fungsi keanggotaan
)
bilangan kabur dalam ℝdengan fungsi keanggotaan
)}
Teorema 3.4.1
Bukti
Ambil sebarang z(AB). Maka ~~(z).
B
A Andaikan
BAB IV
GEOMETRI KABUR
A. Introduksi
Definisi 4.1.1
Suatu himpunan tegas A dalam semesta X dapat didefinisikan dengan
menggunakan suatu fungsi A :X {0,1}, yang disebut fungsi karakteristik dari
himpunan A, di mana untuk setiap xX
. untuk 0
untuk 1 ) (
A x
A x x
A
Definisi 4.1.2
Misalkan X adalah himpunan takkosong dan misalkan T P(X) . Maka T
disebut topologipada Xjika
a. ,X T.
b. Gabungan anggota-anggota Tadalah anggota T.
Anggota dari Tdisebut himpunan terbuka. Pasangan (X, T) disebut ruang topologi.
Definisi 4.1.3
Suatu topologi kabur pada X adalah keluarga FT dari himpunan bagian kabur
dalam Xyang memenuhi kondisi berikut:
a. ,X FT .
b. Jika A~,B~FT, maka A~B~FT.
c. Jika A~iFT untuk setiap iI, maka iI A~iFT, di mana I adalah suatu
himpunan indeks.
Jika FT adalah suatu topologi kabur pada X, maka pasangan (X, FT) disebut ruang
topologi kabur. Setiap anggota dari FTdisebut himpunan bagian kabur terbuka.
Definisi 4.1.4
Sebuah fungsi f dari ℝ ke ℝ dikatakan semikontinu atas pada yℝ jika untuk
setiap 0, ada 0 sedemikian sehingga f(y) f(x) untuk setiap x ℝ
Definisi 4.1.5
Misalkan (X, FT) adalah ruang topologi kabur. Barisan himpunan bagian kabur
} , 2 , 1 | ~
{An n dikatakan akhirnya termuat dalam himpunan bagian kabur A~ jika
ada bilangan bulat positif m sedemikian sehingga A~n A untuk semua nm, dan
dikatakan sering termuat dalam A~ jika untuk setiap bilangan bulat positif m, ada
bilangan bulat nsedemikian sehingga A~n A untuk nm.
Definisi 4.1.8
Misalkan (X, FT) adalah ruang topologi kabur. Suatu selimut dari himpunan
bagian kabur B~ adalah keluarga A dari himpunan bagian kabur X sedemikian
sehingga B~{A~|A~A}. Selimut A dari B~ disebut selimut terbuka dari B~ jika
setiap anggotaAadalah himpunan bagian kabur terbuka dari X. Suatu subselimutdari
Aadalah subkeluargadari Ayang juga merupakan selimut.
Definisi 4.1.9
Suatu ruang topologi kabur (X, FT) dikatakan kompakjika setiap selimut terbuka
B. Titik Kabur
Definisi 4.2.1
Misalkan (a, b) ℝ2. Himpunan bagian kabur P~ dalam ℝ2 disebut titik kabur
pada (a, b), ditulis P~(a,b), jika
a. P~ adalah semikontinu atas.
b. Untuk setiap (x,y) ℝ2, ~(x,y) P
= 1 jika dan hanya jika (x, y) = (a, b).
c. Untuk setiap [0,1], P adalah himpunan bagian konveks dan kompak
dalam ℝ2.
Konsep titik kabur didasarkan pada konsep vektor kabur dalam ℝn. Jika (a, b) ℝ2
dan P~ titik kabur pada (a, b), maka P~ dapat divisualisasikan sebagai permukaan
dalam ℝ3dengan persamaan z ~(x,y)
P
, untuk (x,y) ℝ2.
Contoh 4.2.1
Misalkan A~ dan B~ adalah dua buah bilangan kabur, dengan ~(x)
A
= 1 jika dan
hanya jika x = a dan ~(y)
B
kabur P~ dalam ℝ2 yang didefinisikan dengan ~(x,y) min{ ~(x), ~(y)) B A
P
untuk
setiap (x,y)ℝ2adalah titik kabur pada (a, b).
C. Jarak Kabur antara Dua Titik Kabur
Definisi 4.3.1
Misalkan X adalah himpunan takkosong dan d sebuah fungsi dari XX ke ℝ.
Maka ddisebut metrik pada X jika untuk setiap x,y,zX,
a. d(x,y) 0 dan d(x,x)0;
b. d(x,y)d(y,x);
c. d(x,z)d(x,y)d(y,z);
d. Jika x y, maka d(x,y)0.
Bilangan real d(x, y) disebut jarak antara x dan y. Kondisi (b) pada definisi di atas
disebut sifat simetri, dan kondisi (c) disebut sifat ketaksamaan segitiga. Jika Xadalah
himpunan takkosong dan d adalah fungsi dari X X ke ℝ yang memenuhi kondisi