• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena bullying banyak disorot dan merebak di media massa akhir-akhir ini dan memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan bisa terjadi pada anak-anak, remaja dan bahkan orang dewasa. Bullying bisa terjadi di dalam keluarga, sekolah (school bullying), tempat kerja (workplace bullying), di masyarakat bahkan sesuai dengan perkembangan teknologi dapat juga terjadi di dunia maya (cyberbullying).

Fenomena bullying ini secara langsung maupun tidak langsung cukup berpengaruh terhadap aspek psikologis individu, terutama bagi remaja. Dalam kurun waktu kurang dari dasawarsa terakhir, bullying semakin disadari sebagai masalah yang sangat memprihatinkan. Bullying yang diberitakan dalam berbagai forum dan media dianggap semakin membahayakan. Berbagai macam bullying yang ditunjukkan akhir-akhir ini bahkan dapat berdampak pada usaha bunuh diri.

Sebuah sekolah di Skandinavia tidak menganggap serius perilaku bullying sampai sebuah koran melaporkan bahwa pada tahun 1982, tiga orang remaja putra dari Norwegia melakukan bunuh diri karena kelompok yang melakukan bullying kepada mereka secara parah. Semenjak saat itu, Olweus mulai meneliti fenomena bullying dan penelitian Olweus pada tahun 1991 yang melibatkan 140.000 orang siswa dari 715 sekolah menunjukkan bahwa

(2)

2 15% dari mereka terlibat perilaku bullying dari waktu ke waktu. 94% dari mereka diklasifikasikan sebagai korban, dan 6% sebagai pelaku (Beaty & Alexeyev, 2008). Sedangkan di Indonesia, Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan SEJIWA menunjukkan bahwa 30 kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak dan remaja pada tahun 2002-2005, umumnya memiliki kesamaan, yaitu sering diejek, disiksa, atau ditindas oleh teman-teman sekolahnya.

Bullying diartikan sebagai serangan atau intimidasi baik secara fisik, verbal atau psikologis yang disertai keinginan untuk melukai, menekan, atau menakut-nakuti orang lain (Farrington, 1993). Pandangan lain menyatakan bahwa bullying merupakan bentuk perilaku yang melibatkan adanya pemaksaan secara psikologis atau fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih „lemah‟ oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih „kuat‟ (Rigby, 1999; Ma, Stein & Mah, 2001; Olweus, 1991). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bullying berbeda dengan kekerasan (violence) karena bullying terjadi saat ada ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying (bully) dengan korban atau target.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying banyak terjadi pada tahapan usia remaja, bahkan pada tahun-tahun terakhir ini di sekolah-sekolah makin sering terdengar adanya perilaku kekerasan baik fisik maupun secara non fisik, pengucilan terhadap siswa tertentu dan sebagainya. Tahap perkembangan remaja merupakan masa yang penuh krisis, karena pada masa ini pada umumnya remaja mengalami kesulitan dalam usahanya menyelesaikan masalah yang dihadapinya, karena belum berpengalaman menghadapi hidup (Hurlock, 2004). Masa remaja adalah masa

(3)

3 dimana individu mencari identitas. Grenville Stanley Hall menyebut masa ini sebagai masa “storm & stress”, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralienasi dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (dalam Mappiare, 1982). Remaja mengalami fase emosional puncak, disertai oleh pertumbuhan fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan baru yang dialami sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, membuat remaja lebih mudah merasakan emosi yang negatif dan hal ini menjadikan mereka temperamental (mudah tersinggung atau marah), mudah murung atau sedih.

Penelitian yang dilakukan oleh Royanto & Djuwita (2008) yang menunjukkan bahwa bullying memang terjadi baik di tingkat SMP dan SMA dengan frekuensi ringan, sedang dan tinggi dan terjadi di sekolah swasta maupun negeri. Bullying biasanya dirasakan oleh siswa kelas 10 dan 11, atau kelas 1 SMA dan kelas 2 SMA. Bentuk perilaku bullying yang muncul adalah verbal, dengan mengejek, menyindir, mengancam, menegur secara kasar, memarahi. Sedangkan bullying fisik oleh siswa adalah memukul, menendang dan oleh guru menyuruh anak berlari keliling lapangan.

Bullying terjadi di kebanyakan sekolah, dan dilaporkan telah mempengaruhi 70% dari siswa. Siswa dari segala usia dan tingkatan pendidikan kemungkinan besar telah mengalami masalah yang diciptakan oleh perilaku bullying ini. Kemungkinan besar hal ini merupakan cara anak muda berinteraksi dalam lingkungan, namun dengan cara yang agresif, seperti perilaku penghinaan, pengucilan, gangguan, ancaman, perusakan properti,

(4)

4 pemukulan, dan lainnya (Beaty & Alexeyev, 2008). Bahkan dengan kemajuan teknologi, bullying semakin menjadi kreatif dimana remaja telah menjadikan teknologi sebagai sarana untuk menyiksa. Sepertiga dari remaja mengatakan bahwa mereka telah melakukan tindakan jahat terhadap orang lain melalui internet, 25% dari kelas 9-12 mengetahui seseorang yang bermaksud jahat di internet, dan 32% telah menjadi korban bullying melalui internet dari gosip, rumor, dan atau komentar yang negatif dan menyakitkan (McNamee, 2008).

Survei oleh Plan Indonesia dan SEJIWA pada tahun 2008 yang melibatkan 1500 pelajar SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di 3 kota besar yaitu Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta memperoleh hasil bahwa 67% pelajar SMP, SMA dan mahasiswa Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa tindak bullying pernah terjadi di sekolah mereka. Pelakunya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman yang berada di sekitar sekolah.

Hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan peneliti yang melibatkan 82 siswa kelas 7 SMP 08 Malang yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa pernah menjadi korban bullying di sekolah. Bullying fisik yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 43,3 %, sedangkan pada siswa perempuan 38,5%. Bullying verbal yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 46,7 %, sedangkan pada siswa perempuan 44,2%. Bullying non verbal yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 36,7 %, sedangkan pada siswa perempuan 44,2 %. Selain itu bullying berupa perusakan barang atau properti yang terjadi di sekolah

(5)

5 pada siswa laki-laki mencapai 33,3 %, sedangkan pada siswa perempuan 11,5%.

Bapak penemu fenomena bullying, Olweus (1993) mengatakan bahwa sebagian besar korban bullying dapat dinyatakan sebagai korban yang “passive” atau “submissive”. Mereka umumnya merasa tidak aman (insecure)

dan non-asertif, dan bereaksi dengan menarik diri dan menangis ketika diserang oleh orang lain. Hal ini diukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa karakteristik yang sering ditemukan pada anak yang sering menjadi korban bullying antara lain: secara fisik lebih lemah dari orang lain, kaku atau non asertif, tertutup, harga diri yang rendah, serta memiliki teman yang sedikit (Rigby, 2007).

Selanjutnya, Coloroso (2007) menyatakan bahwa hampir semua orang pernah mengalami bullying dan bahwa para pelaku bullying belajar melakukan bullying dari perlakuan yang mereka terima dari orang-orang yang lebih besar dan berkuasa dalam hidup mereka. Sehingga, dapat disimpulkan mereka yang pernah menjadi korban bisa menjadi pelaku juga (bully victim).

Kasus-kasus Penelitian lain menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran dan pemahaman akan tindak bullying yaitu sebagian besar siswa dan guru belum memahami mengenai perilaku bullying, lebih familiar dengan kekerasan di sekolah, yang mengarah pada kekerasan fisik. Perilaku yang termasuk social bullying dianggap sebagai candaan yang wajar. Bullying psikis dan fisik terjadi, dengan frekuensi bullying psikis yang lebih besar (Indira, 2010).

(6)

6 Kurangnya kesadaran dan pemahaman akan tindak bullying dipengaruhi oleh mitos bullying yaitu perilaku bullying hanya perilaku menggoda atau bermain-main; beberapa anak yang lemah pantas untuk diganggu dan mereka memang memintanya; bahwa hanya pria yang menjadi pelaku bullying;bahwa orang yang mengadu adalah bayi, yang mencari pertolongan adalah perengek, dan siswa harus belajar untuk mengatasi permasalahan mereka sendiri; bahwa bullying itu normal dan merupakan bagian bertambah dewasa;bahwa orang yang suka mengganggu itu akan pergi jika didiamkan; bahwa pelaku memiliki self esteem yang rendah; bahwa cara yang paling baik untuk menghadapi pelaku adalah dengan berkelahi; dan bahwa korban bullying harus ikhlas karena situasi tidak mungkin diubah (McNamee, 2008).

Dr. Jorge Sebastian mengatakan bahwa baik korban maupun pelaku bullying memiliki resiko tinggi untuk medapat resiko kesehatan, keamanan dan pendidikan. Resiko lainnya termasuk kecenderungan perilaku bunuh diri, luka serius, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, melarikan diri dari rumah, membolos dan nilai yang buruk (Bailey, 2008).

Bullying sangat berbahaya terutama bagi korban karena bisa menggiring pada kurangnya kepercayaan diri, perasaan ragu-ragu, harga diri yang rendah, kecemasan, Dampak fisik bullying dapat diobati, namun luka psikologis membutuhkan banyak waktu untuk sembuh, atau bahkan membekas selamanya. Ada korban bullying yang dapat tetap bertahan menghadapi perilaku bullying, ada yang lolos dengan luka psikologis yang dapat diabaikan, ada yang melewatinya dengan luka psikologis yang dalam

(7)

7 namun terus melanjutkan kehidupan, dan ada juga yang merasa begitu tidak berdaya, depresi dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa ahli antara lain p enelitian Rigby (2003) yang menunjukkan bahwa anak-anak korban bullying memiliki kesejahtraan psikologis yang rendah.

Berdasarkan gambaran tersebut, promosi kesehatan mental sangat penting dilakukan dimana seseorang menyadari kemampuannya, dapat menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari, produktif, dan dapat memberi kontribusi pada komunitas (World Health Organization, 2004). Sejalan dengan pemikiran tersebut, Royanto & Djuwita (2008) menyarankan adanya tindakan preventif dan kuratif dalam menghadapi bullying. Remaja perlu untuk meningkatkan ketrampilan sosial yang dimiliki. Berdasarkan asumsi tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu pemecahan yang bersifat preventif untuk mengurangi kecenderungan remaja menjadi korban bullying adalah dengan meningkatkan asertivitas. Hal ini didukung oleh Studi Fox & Boulton (2003) menyatakan bahwa korban bullying yang kurang memiliki ketrampilan asertif, secara umum terlihat takut dan tidak bahagia.

Ellis (dalam Lange dan Jakuboski, 1976) melihat bahwa cara untuk membantu individu untuk dapat mempertahankan dirinya dalam dunia yang sulit namun dalam bentuk yang lebih rileks, lebih menyenangkan dan lebih sehat adalah dengan tingkah laku asertif. Secara umum, tingkah laku asertif diartikan oleh Lange dan Jakubowski (1976) sebagai usaha untuk mengemukakan pendapat, keyakinan, kebutuhan atau perasaan secara langsung, jujur dengan cara yang sesuai, yaitu tidak menyakiti atau merugikan

(8)

8 diri sendiri maupun orang lain. Oleh karenanya, dalam tingkah laku asertif ini terdapat adanya unsur penghargaan, yaitu mengggambarkan usaha individu untuk menghargai kebutuhan dirinya namun sekaligus juga adanya penghargaan terhadap kebutuhan orang lain.

Perilaku asertif memang perlu dipelajari karena seperti yang dikemukakan Willis dan Daiisley (1995), asertif merupakan suatu bentuk perilaku dan bukan sifat dari kepribadian (trait personality). Karena merupakan perilaku, maka dapat dipelajari dengan tidak mempedulikan bentuk kebiasaan yang telah dimiliki individu. Oleh karena itu, pemberian pelatihan asertivitas ini diberikan berdasarkan anggapan bahwa individu berada dalam 'masa belajar' dan bukan sebagai klien yang membutuhkan terapi dan bahwa yang dihadapi adalah seorang yang kekurangan dan kemampuan yang lemah, padahal kemampuan ini dibutuhkan untuk dapat hidup secara efektif dan memuaskan.

Bower dan Bower (1976) juga mengatakan bahwa perilaku asertif merupakan hal dari serangkaian komunikasi dan sikap yang dipelajari, yang dapat diubah untuk menjadi lebih baik. Para psikolog meyakini bahwa perilaku dapat diubah, oleh karenanya, individu dapat mempelajari perilaku baru untuk menggantikan perilaku lama yang dianggap kurang produktif.

Kemampuan dalam berbagai bentuk tingkah laku asertif akan dapat memberikan banyak manfaat positif pada hubungan interpersonal. Hal ini menurut Lange & Jakubowski (1976) karena tingkah laku asertif akan meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun dari orang lain, sehingga akan mempermudah individu dalam menyelesaikan

(9)

9 konflik dengan orang lain secara terbuka dan adil. Selain itu juga akan menghasilkan hubungan yang lebih memuaskan dengan orang lain, karena memperbesar kemungkinan kedua pihak setidaknya dapat mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan mereka.

Perilaku asertif akan membantu remaja untuk bersikap tepat dalam menghadapi situasi dimana hak-hak remaja dilanggar. Tetapi hal ini kurang disadari oleh remaja sehingga mereka takut untuk bersikap asertif atau tidak mau bersikap asertif. Banyak individu yang tidak berani bersikap asertif karena takut akan tidak disukai atau menyakiti perasaan orang lain. Remaja biasanya menghindari situasi tidak nyaman dengan berperilaku tidak asertif, jika remaja tidak berani mengemukakan keinginan dan pendapatnya sendiri yang mungkin terjadi adalah remaja tersebut akan dimanfaatkan atau dieksploitasi oleh orang lain.

Van deer Meer pada tahun 1988 (dalam Tattum dkk, 1993) melakukan studi kasus pada anak yang menjadi korban bullying dan memberikan saran bagaimana mengelola masalah yang sama bagi guru, orang tua, pihak sekolah, konselor sekolah dan kebijakan pendidikan. Pertanyaan studi kasus yang muncul adalah bagaimana menangani bullies dan korban bullying dan bagaimana mengurangi perilaku bullying. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam studi tersebut adalah menyelenggarakan program pelatihan asertivitas untuk korban bullying agar bisa membantu korban bullying menghindari dan keluar dari situasi bullying.

Tonge (dalam Rigby 2007) yang mengevaluasi pelatihan asertivitas pada korban bullying melaporkan bahwa ada peningkatan perilaku asertif dan

(10)

10 peningkatan kepercayaan diri pada siswa serta menurunnya pengalaman menjadi korban bullying. Siswa juga cenderung menunjukkan peningkatan dalam memberikan respon konstruktif dalam situasi bullying dan respon agresif menurun. Senada dengan itu penelitian yang dilakukan oleh Arora (dalam Rigby, 2007) yang memberikan pelatihan asertivitas pada korban bullying di SD menunjukkan bahwa pendekatan ini efektif, dimana korban menjadi lebih asertif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa, mereka juga merasakan peningkatan harga diri (self esteem) dan kepercayaan diri dan laporan mengalami bullying menurun.

Hasil penelitian Arora ini didukung oleh hasil penelitian „Assertiveness Training ProgrammeDFE Sheffield Bullying Project (Sharp & Cowie, 1994) yang meneliti efektifitas pelatihan perilaku pada korban bullying, menunjukkan bahwa korban bullying lebih asertif dalam merespon situasi bullying dan melaporkan pengurangan dalam mengalami bullying. Program ini didasarkan kesadaran bahwa perilaku korban bullying berkontribusi terhadap pengalaman menjadi korban bullying (misalnya: kurangnya ketrampilan sosial). Beberapa studi lain juga melaporkan hal yang sama (Fox and Boulton, 2003; Hodges et al., 1999; Hodges and Perry, 1999; Schwartz et al., 1999).

Berdasarkan berbagai hasil penelitian pelatihan asertivitas yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa pelatihan asertivitas dapat digunakan untuk meningkatkan asertivitas korban bullying yang cenderung non asertif sehingga rentan mengalami tindakan bullying bahkan melakukan bullying.

Pelatihan asertivitas dapat memberikan ketrampilan komunikasi yang baru dan penting serta merupakan satu cara yang lain untuk melihat diri kita

(11)

11 sendiri dan hubungan kita dengan orang lain (Galassi & Galassi, 1977). Pelatihan asertivitas juga dapat meningkatkan kesadaran diri, mengurangi kecemasan, memperbaiki dialog internal diri yang cacat serta meningkatkan pesan verbal dan non verbal (dalam Spence, 1983). Galassi & Galassi (1977) melaporkan bahwa individu yang mengikuti program pelatihan asertivitas mengalami peningkatan kepercayaan diri, bereaksi positif terhadap orang lain, mereduksi kecemasan pada situasi sosial, meningkatkan komunikasi interpersonal dan mengurangi keluhan somatik.

Tujuan pelatihan asertif adalah untuk menyeimbangkan antara dua belah pihak dalam menyelesaikan konflik. Pelatihan asertif banyak menitikberatkan pada penyelesaian konflik interpersonal dan banyak digunakan dalam menyelesaikan masalah. Orang yang asertif dapat mengekspresikan perasaan dengan cara dimana kedua belah pihak terpuaskan dan secara sosial efektif (Bower & Bower, 1991).

Willis dan Daiisley (1995) menyatakan bahwa kebanyakan individu cukup mengalami kesulitan untuk dapat berperilaku asertif. Walaupun secara umum setiap orang dapat melakukan perilaku asertif, namun biasanya harus dipelajari dengan penuh kesadaran. Bloom dkk (1975) mengemukakan bahwa pelatihan asertivitas memang didasarkan atas teori bahwa perilaku sosial adalah sesuatu yang dipelajari sehingga dapat pula dihilangkan dan digantikan oleh perilaku baru yang lebih menguntungkan. Pelatihan asertivitas sendiri merupakan usaha untuk membantu individu menghilangkan perilaku non asertif atau cara-cara agresif yang merugikan, dan menggantikannya dengan

(12)

12 bentuk perilaku asertif yang lebih sehat dan lebih meningkatkan harga diri individu.

Sikap asertif merupakan salah satu bentuk social skill, yang pada dasarnya dapat dikembangkan melalui pelatihan asertivitas yang sengaja dirancang melalui prosedur yang sistematis. Cawood (1987) mengemukakan bahwa ketrampilan bertingkah laku asertif akan meningkatkan harga diri dan tingkat kepercayaan diri, serta meminimalkan sikap defensif dan reaksi agresif yang akan menghambat komunikasi dengan orang lain. Selain itu juga dapat memperkaya hubungan (enriched relationship) karena individu dapat membangun dasar adanya kepercayaan dan saling menghargai dengan siapa dirinya berhubungan. Hal ini sangat penting karena kepercayaan adalah bagian yang mendasar pada individu dalam bekerjasama dengan orang lain dan dalam kemampuan mengelola konflik.

Berdasarkan penelitian Nota dan Soresi (2003) menemukan bahwa pelatihan asertivitas dapat meningkatkan kemampuan asertivitas pada kelompok siswa yang pasif. Intervensi pelatihan asertivitas ini juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menentukan pilihan dan dapat mengurangi pengalaman sosial yang tidak menyenangkan karena partisipan dapat bersikap asertif pada situasi kritis.

Penelitian mengenai pelatihan asertivitas juga dilakukan oleh Stewart dan Lewin (1986). Penelitian ini menemukan bahwa siswa yang mengikuti pelatihan asertivitas lebih mempunyai kemampuan asertivitas dibandingkan siswa yang tidak mengikuti pelatihan asertivitas. Asertivitas yang dimiliki oleh anggota kelompok eksperimen menjadi modeling bagi anggota kelompok

(13)

13 kontrol, sehingga beberapa anggota kelompok terpengaruh oleh asertivitas anggota kelompok eksperimen. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Pramadi & Setiono (2005) tentang efektifitas pelatihan asertivitas dan peningkatan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP yang menunjukkan bahwa pelatihan asertivitasmemiliki pengaruh dalam meningkatkan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP.

Ahli yang telah mengembangkan suatu bentuk pelatihan asertif antara lain Arthur J.Lange dan Patricia Jakubowski, dengan konsepnya Responsible Assertive Behavior. Secara umum mereka menyatakan bahwa perilaku asertif seharusnya dilakukan secara bertanggung jawab. Secara umum, Lange dan Jakubowski (1976) mengatakan karena kebanyakan masalah psikologi yang melibatkan assertion memiliki komponen kognitif, afektif, dan perilaku, maka kombinasi pendekatan kognitif, afektif dan perilaku dalam pelatihan asertif dianggap tepat. Oleh karena itu, mereka kemudian mengembangkan suatu bentuk pelatihan asertif dengan menggunakan pendekatan perilaku-kognitif (cognitive-behavioral procedures). Pendekatan utama dalam pelatihan ini terutama ada dua yaitu prosedur restrukturisasi kognitif (cognitive restructuring procedures) dan prosedur pelatihan perilaku dan modeling (modeling and behavior rehearsal procedures).

Dasar utama dari prosedur restrukturisasi kognitif adalah bahwa individu sering membuat asumsi mengenai diri mereka sendiri dan orang lain yang kadang tidak rasional sehingga mengarah pada kecemasan, kemarahan, rasa bersalah, menghindar, atau perilaku non asertif lainnya. Komponen restrukturisasi kognitif dalam pelatihan asertif dapat membantu partisipan

(14)

14 mengembangkan suatu kerangka kerja untuk menilai pemikiran mereka dan hubungannya dengan perasaan dan perilaku mereka. Adapun prosedur pelatihan perilaku berusaha mengembangkan ketrampilan berperilaku asertif melalui metode-metode praktik secara aktif, misalnya melalui modeling, role-play, coaching, relaksasi dan sebagainya, sehingga terjadi perubahan perilaku yang diharapkan.

Pelatihan asertivitas Laressa dikembangkan dari pelatihan asertivitas Lange dan Jakubowski (1976) dengan menambahkan aspek-aspek atau unsur-unsur bullying. Pemberian pelatihan asertivitas Laressa, tidak hanya melatih korban bullying (bullied) dan individu yang rentan mengalami tindakan bullying untuk lebih asertif saat dihadapkan dengan perilaku bullying, namun juga dapat memberi pemahaman agar tidak menjadi bully-victim yaitu korban yang akhirnya juga menjadi pelaku bullying. Selain itu, pelatihan asertivitas Laressa diharapkan juga akan membentuk perilaku asertif peserta pelatihan sebagai bystander (saksi bullying) yang asertif untuk mencegah perilaku bullying di sekitar mereka. Pada akhirnya, diharapkan perilaku bullying dapat diturunkan.

Berdasarkan pertimbangan beberapa alasan inilah dan banyaknya penelitian yang membuktikan keefektifan pelatihan asertivitas yang mendasari peneliti memandang perlu adanya penelitian mengenai “Model Pelatihan Asertivitas Laressa untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Korban Bullying “

(15)

15 B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model pelatihan asertivitas Laressa dapat meningkatkan perilaku asertif korban bullying?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelatihan asertivitas Laressa dapat meningkatkan perilaku asertif pada korban bullying.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam psikologi sosial terkait dengan bullying, psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan terkait dengan perkembangan remaja serta psikologi klinis khususnya yang berkaitan dengan masalah tingkah laku asertif dan pelatihan asertivitas dengan pendekatan kognitif-behavioral.

b. Pengembangan pelatihan asertivitas Laressa ini diharapkan dapat melengkapi pelatihan asertivutas yang telah ada sebelumnya.

2. Manfaat praktis

a. Dapat memberikan ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.

(16)

16 b. Dapat memberikan kontribusi positif bagi sekolah, yaitu dengan cara

meningkatkan kesadaran tentang bullying di sekolah.

c. Dapat meminimalisir remaja yang mengalami dan melakukan bullying dengan cara meningkatkan pemahaman tentang bullying dan meningkatkan ketrampilan mereka dalam bertingkah laku asertif dalam menghadapi situasi bullying.

Referensi

Dokumen terkait

energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui Baku Mutu Lingkungan hidup yang telah ditetapkan, sedangkan pengertian

Terdapat 9 orang pekerja dengan beberapa elemen kerja, yaitu: (1) Pemeriksaan hasil pengemasan tepung ke dalam kantong plastik, (2) Pembentukan lipatan kardus menjadi kotak

Jumlah koloni bakteri Listeria monocytogenes yang diberikan paparan medan listrik berpulsa dan suhu lingkungan 30 ˚C, mengalami penurunan yang signifikan, ditunjukkan pada Gambar

perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk

KET URUT SK KD INDIKATOR KOMPLEK SITAS DUKUNG DAYA INTAKE SISWA KATOR INDI- KD SK SMT MAPEL.. 1.6.2 Menentukan hasil operasi hitung melalui transaksi jual beli yang

Sedangkan untuk perlakuan ZPT dan interaksi kedua faktor memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah akar yang terbentuk..Perlakuan bahan organik ekstrak jagung

Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki

Pada proses pengambilan data, jumlah data yang diambil untuk setiap wajah adalah dari 2 pemilik rumah diambil sebanyak masing-masing 5 kali, dengan posisi yang