• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

DEPIK

Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan

(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)

(2)

(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)

ISSN: 2089-7790

Penerbit : Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala Penanggung Jawab : Prof. Dr. Adlim, M.Sc - Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan,

Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan)

Ketua Dewan Editor : Prof. Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc - Universitas Syiah Kuala (Manajemen SDP & Budidaya Perairan)

Editor Pelaksana : Ichsan Setiawan, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi) Asisten Editor Pelaksana 1 : Drs. Muhammad, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Hidrodinamika) Asisten Editor Pelaksana 2 : Yopi Ilhamsyah, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Meteorologi) Anggota Dewan Editor : Prof. Dr. Syamsul Rizal - Universitas Syiah Kuala (Oseanografi Fisik)

Dr. Musri Musman, M.Sc - Universitas Syiah Kuala (Kimia Perairan) Dr. M. Ali Sarong, M.Si - Universitas Syiah Kuala (Ekologi Perairan) Dr. Indra, MP - Universitas Syiah Kuala (Manajemen Sumberdaya Pesisir) Dr. Abrar Muslim, M.Eng - Universitas Syiah Kuala (Kimia Lingkungan) Dr. Muhammadar, ST, MP - Universitas Syiah Kuala (Akuakultur) Farok Afero, Ph.D - DKP Aceh (Biometrik & Sosek Perikanan)

Dr. Indra Suharman, S.Pi, M.Sc - Universitas Riau (Pakan & Nutrisi Ikan) Teknisi IT/Web Master : Achmad Muhadjier, S.Kel

Sirkulasi dan Dokumentasi : Muhammad Saumi, A.Md

Jurnal Depik Diindek Oleh:

Alamat Redaksi:

Fakultas Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala Kopelma Darussalam - Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.

Email : jurnaldepik@yahoo.co.id Website : http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/depik Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084

(3)

Kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Perairan Ujong Pancu, Kecamatan

Peukan Bada, Aceh Besar

Samsul Bahri, Edi Rudi, Irma Dewiyanti

01 - 07

Perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra (tubificidae) dengan memanfaatkan

limbah budidaya ikan lele (clarias sp) sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan

produksi cacing sutra.

Eddy Supriyono, Dedi Pardiansyah, Diana Sriwisuda Putri, Daniel Djokosetianto.

08 - 14

Analisa ekonomi usaha pendederan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan

kerapu lumpur (Epinephelus coioides) dalam tambak di Kabupaten Bireuen Provinsi

Aceh.

Farok Afero, Safrita AM.

15 - 23

Identifikasi komponen harmonik di Selat Lombok berdasarkan data arus time series.

Rizal Fadlan Abida, Widodo Setiyo Pranowo, Yogo Pratomo, Engki Andri

Kisnarti.

24 - 32

Pertumbuhan dan konsumsi pakan ikan lele (Clarias sp.) yang diberi pakan berbahan baku

lokal.

Zaenal Abidin, Muhammad Junaidi, Paryono, Nunik Cokrowati, Salnida Yuniarti.

33 - 39

Studi penentuan lokasi budidaya kerapu menggunakan keramba jaring apung di perairan

Timur Simeulue.

Syahrul Purnawan, Muhammad Zaki, T.M. Asnawi,

Ichsan Setiawan.

40 - 48

Pengaruh penggorengan belut sawah (Monopterus albus) terhadap komposisi asam

amino, asam lemak, kolesterol dan mineral.

Ika Astiana, Nurjanah, Ruddy Suwandi, Anggraeni Ashory Suryani, Taufik

(4)

1

Kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Perairan Ujong Pancu,

Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar

Coral reefs and macro invertebrates condition in Ujong Pancu, Peukan

Bada District, Aceh Besar

Samsul Bahri

1*

, Edi Rudi

2

, Irma Dewiyanti

3

1Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Putro Phang No.1

Darussalam, Banda Aceh 23111, *Email korespodensi: samsulbahri.jik2008@gmail.com

2Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syech Abdurrauf No.3 Darussalam, Banda Aceh 23111. 3Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Putro Phang No.1

Darussalam Banda Aceh 23111.

Abstract. The aimof this study was to evaluate the condition of coral reefs and macro invertebrates at Ujong Pancu, Aceh Besar District The study was carried out from April to May 152012. Coral coverage was observed by using Point Intercept Trancect method and Visual census technique for macro invertebrates. There was 50% of hard coral coverage recorded in three observation locations. The predominant genus was Acropora with a percentage of more than 50% at all locations. The abundance of macro invertebrateswas ranged from 3.75 to 7.75 ind/transect. The most abundant macro invertebrates was Diadema setosum with percentage of more than 40% at each location. The diversity index (H’) of coral reefs and macro invertebrates were ranged from 0.74 - 1.36 and 0.98 – 1.5, respectively. In general, the condition of coral reefs and macro invertebrates in Ujong Pancu was in good condition.

Keywords: Coral reefs; Macro invertebrates; Ujong Pancu.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Ujong Pancu. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2012. Tutupan karang diamati dengan

menggunakan Metode Point Intercept Transect (PIT) dan makro invertebrata diamati dengan menggunakan

metode TeknikVisual Sensus. Hasil penelitian ditemukan bahwa lebih dari 50% tutupan karang keras pada

ketiga stasiun pengamatan. Genus yang paling mendominasi pada ketiga stasiun adalah Acropora dengan

persentase lebih dari 20% pada setiap stasiun pengamatan. Kelimpahan makro avertebrata berkisar antara 3,75 hingga 7,75 ind/transek. Kelimpahan makro invertebrata terbesar adalah Diadema setosum dengan persentase lebih dari 40% pada setiap stasiun pengamatan. Indeks keanekaragaman (H’) karang dan makro investebrata berkisar antara 0,74 - 1.36 dan 0,98 – 1,5 secara berurutan. Secara umum berdasarkan indeks yang digunakan, kondisi terumbu karang dan makro invertebrata di Ujong Pancu tergolong baik. Kata kunci : Terumbu Karang; Makro avertebrata; Ujong Pancu.

Pendahuluan

Ekosistim terumbu terumbu karang dewasa ini mengalami kemunduran dan ancaman serius yang terjadi secara alami maupun akibat aktifitas manusia (Wilkinson, 2004; Uneputty dan Evans, 1997). Aktifitas manusia yang sering merusak terumbu karang antara lain; pengeboman, penurunan jangkar kapal di sembarang tempat, siltasi dan sedimentasi, serta faktor alami seperti kenaikan suhu secara drastis dan predasi oleh biota-biota laut lainnya (Dahuri, 2000).Terumbu karang berasosiasi dengan invertebrata dari filum protozoa, molluska, ekhinodermata, porifera, dan arthropoda (Cox dan Moore, 2005). Jenis biota yang berasosiasi merupakan kelompok biota yang khas menghuni daerah terumbu karang (Mawardi, 2002). Keanekaragaman makro invertebrata laut Indonesia diperkirakan mencapai 1.800 spesies (Hutomo dan Moosa, 2005). Jumlah filum ekhinodermata yang ada di Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 745 spesies, krustasea 1.512 spesies, sponge 830 spesies, bivalvia 1.000 spesies, dan gastropoda 1.500 spesies (Hutomo and Moosa 2005).

(5)

2

Ujong Pancu terletak di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar.Wilayah ini mengalami kerusakan parah akibat gelombang Tsunami pada tahun 2004 silam. Penduduk di wilayah Ujong Pancu sangat menggantungkan pada sumberdaya alam laut yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (AIPRD-LOGICA, 2006). Keberadaan makro invertebrata sangat berkaitan dengan kondisi terumbu karang sekitarnya, pada wilayah dengan kondisi terumbu karang yang sehat akan mengindikasi keberadaan dan makro invertebrata di ekosistem tersebut (Marsuki et al., 2013). Ujong Pancu telah direkomendasikan sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat oleh DKP Aceh Besar. Namun realisasinya belum dapat dilaksanakan dengan baik, salah satu sebabnya adalah terbatasnya informasi ekologi dan biodiveritas kawasan laut ini. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk menginventarisasi potensi ekosistem khususnya kondisi terumbu karang dan makro invertebrata yang ada di wilayah Ujung Pancu, Kabupaten Aceh Besar, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar bagi penetapan kebijakan pengelolaan ekosistim pesisir khususnya terumbu karang yang ada di wilayah ini.

Bahan dan Metode

Lokasi dan waktu penelitian

Penelitianini dilakukan di Desa Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar,

mulai tanggal 1 sampai 30 Juni 2012.Pengambilan data dilakukan pada tiga lokasi, yaitu Pulau Tuan (05°

34' 17.7 N, 95° 13'31.6" E), Lhok Mata Ie (05° 34' 17.9" N, 95° 13' 31.1" E), dan Lhok Keutapang (05° 33'

11.6" N, 95° 12' 43.4" E) (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Bulatan merah adalah lokasi sampling

Pengambilan data karang menggunakan metode transek poin (point intercept transect) sepanjang 100 meter. Setiap segmen sepanjang 20 meter sebanyak 4 kali pengulangan dengan interval 5 meter. Pencatatan tipe substrat dasar terumbu karang pada setiap interval 0,5 meter. Sedangkan pengambilan data invertebrate menggunakan metode teknik visual sensus dengan menggunakan transek yang sama dengan transek pengamatan karang. Luas area 100 m2 pada setiap segmen sepanjang 20 meter dengan

lebar 2,5 meter pada sisi kanan dan kiri transek sebanyak 4 kali pengulangan dengan interval 5 meter, berdasarkan English et al.(1997).

(6)

3

Persentase tutupan bentik

Perhitungan persentase penutupan (percent of cover) bagi masing-masing kategori pertumbuhan karang dihitung dengan cara membandingkan panjang total setiap kategori dengan panjang transek total dengan menggunakan persamaan English et al. (1997):

I

ndeks keragaman

Untuk mengetahui indeks keragaman (H’) karang dan makro invertebratamenggunaan persamaan:

Kelimpahan dan komposisi jenis

Untuk mengetahui kelimpahan dari biota makro invertebrata yang terdapat pada masing-masing stasiun dengan persamaan sebagai berikut:

Sedangkan untuk menghitung komposisi karang dan makro invertebrata digunakan persamaan sebagai berikut:

Hasil dan Pembahasan

Persentase tutupan bentik

Persentase tutupan bentik bervariasi, namun pada ketiga lokasi tutupan, jenis karang keras atau

Hard Coral(HC) adalah yang paling dominan dan sering ditemukan dibandingkan dengan jenis-jenis karang yang lain. Tutupan karang keras (HC) di Pulau Tuan sebesar 53,75%, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang berturut-turut adalah 58,13% dan 51, 25% (Gambar 2).

Gambar 2.Persentase tutupan bentik di perairan Ujong Pancu, Aceh Besar

Penelitian ini senada dengan hasil penelitian Fadli (2012) yang menemukan bahwa karang keras sangat dominan keberadaannya di perairan Pulau Rubiah, Kota Sabang. Jenis karang keras yang umumnya

(7)

4

terdapat di Aceh adalah karang massive dan bercabang (Rudi, 2010). Pada setiap lokasi pengamatan, jumlah persentase karang keras yang ditemukan masing-masing melebihi 50%. Hal ini menunjukan bahwa tutupan karang keras yang tumbuh di lokasi ini tergolong tinggi dibandingkan dengan kategori bentik yang lain. Johan (2003) berpendapat bahwa ada dua hal penting yang paling berperan dalam jumlah persentase karang, yakni aktifitas sekitar ekosistem dan pengelolaan wilayah. Diduga aktifitas masyarakat di Ujong Pancu khususnya para nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan serta tidak menggunakan bom dan racun dalam menangkap ikan, sehingga tidak merusak ekologi yang ada diperairan tersebut. Pengelolaan pesisir diwilayah ini juga mulai terbenahi pasca musibah gelombang Tsunami, hal ini ditandai dengan adanya pembagian zonasi penagkapan bagi nelayan jaring pantai, nelayan pancing, dan nelayan jaring yang ditempelkan pada papan-papan pengumuman desa untuk mengatur

wilayah tangkap untuk masing-masing para nelayan. Jika mengacu pada kriteria kondisi tutupan terumbu

karang hidup berdasarkan Gomez et al. (1998) maka kondisi tutupan karang di Ujong pancu tergolong baik karena persentase tutupannya melebihi 50%. Hal ini menunjukan bahwa suatu wilayah dengan aktifitas lingkungan yang baik serta didukung dengan pengelolaan yang baik akan meningkatkan kesehatan dan produktifitas ekosistem terumbu karang dilingkungan tersebut, karena secara tidak langsung terumbu karang akan terjaga dari ancaman lingkungan sekitar seperti limbah keluarga, pengeboman, serta racun ikan yang mempengaruhi terumbu karang.

Komposisi genus karang

Secara umum dapat dilihat bahwa persentase keberadaan karang berdasarkan genus yang paling banyak ditemukan adalah Acropora. Genus ini ditemukan pada ketiga lokasi penelitian dengan jumlah yang lebih dominan dibandingkan dengan genus-genus yang lain (Gambar 3).

Gambar 3.Persentase komposisigenus karang di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang Tingginya tutupan karang Acropora pada ketiga lokasi pengamatan diperkirakan karena kondisi perairan yang berarus, kondisi arus di Ujong Pancu cenderung cepat karena dipengaruhi oleh kedua musim, yakni musim timur dan barat. Hal ini juga dinyatakan oleh nelayan lokal bahwa pada musim timur dan barat, Ujong Pancu selalu selalu berangin yang menyebabkan gelombang tinggi, dengan kondisi fisik perairan yang berarus dan dipegaruhi oleh kedua musim timur dan barat, menyebabkan wilayah ini lebih didominasi oleh jenis karang keras. Hal ini sesuai dengan pendapat Rudi (2013) bahwa jenis karang yang hidup pada kondisi perairan berarus biasanya adalah jenis karang bercabang Acropora dan Pocilopora.

(8)

5

sering ditemukan pada perairan pantai dengan perairan yang berombak.Karang bercabang biasanya tumbuh dan berkembang pada kedalaman 5 – 15 meter di bawah permukaan laut (Richmond, 1997).

Komposisi dan kelimpahan makro invertebrata

Lokasi dengan kelimpahan makro invertebrate terbesar terdapat di Lhok Mata Ie dengan kelimpahan 7,75 individu/transek. Sedangkan di Lhok Keutapang sebanyak 5 individu/transek. Lokasi yang paling rendah jumlah kelimpahan makro invertebratadibandingkan kedua lokasi lainnya adalah Pulau Tuan, dengan total kelimpahan adalah 3,75 individu/transek. Perbedaan kelimpahan makro invertebratapada suatu wilayah pada umumnya sangat dipengaruhi oleh aktifitas penangkapan dan kecepatan arus(Hawkes, 1978). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dilapangan bahwa arus di Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang relatif cepat. Arus merupakan sarana transportasi makanan dan oksigen terlarut bagi suatu organisme (Sumich, 1992). Hasil pengamatan yang telah dilakukan, makro invertebrate yang paling dominan ditemukan adalah Ekhinoderata (Holothuroid, Echinoid, Asteroid dan Ophiuroid). Hasil perhitungan pada setiap stasiun penelitian jumlah jenis antara 10 - 17 jenis dan jumlah individu antara 23 – 48, jika dibandingkan dengan Tapak Tuan, potensi makro invertebrate yang terdapat di Ujong Pancu lebih sedikit, hal ini dikarenakan aktifitas penangkapan jenis makro invertebrate ini yang telah lama dilakukan di Ujong Pancu untuk dikonsumsi. Komposisi makro avertebrata pada masing-masing wilayah dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Komposisi makro invertebrate di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang

Indeks keragaman karang serta makro invertebrata

Tingkat kisaran keragaman(H') karang dan makro invertebrata pada tiga lokasi pengamatan berturut-turut adalah 0,74 hingga 1,36 dan 0,98 hingga 1,5. Lhok Mata Ie adalah lokasi dengan tingkat keragaman tertinggi, hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya jumlah genus karang yang ditemukan dilokasi ini juga tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marsuki (2013) bahwa keberadaan suatu biota asosiasi sangat dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang itu sendiri.

(9)

6

Tabel 1. Indeks keanekaragaman dan keseragaman

Nama Lokasi

Indek Keragaman

Karang Makro Invertebrata

Pulau Tuan 0,74 1,39

Lhok Mata Ie 1,36 1,5

Lhok Keutapang 1,01 0,98

Rerata 1,04 1,29

Banyaknya genus yang ditemukan diperkirakan karena kondisi fisik perairan yang bagus, hal ini dirasakan saat pengambilan data dengan kondisi arus yang cepat sehingga selalu membawa nutrien-nutrien baru dikolom perairan serta kecerahan jarak pandang yang mencapai hingga 15 meter. Wallace (1998) berpendapat bahwa terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, kondisi fisik yang stabil seperti transportasi nutrient dan sedimentasi yang rendah dapat mengurangi tingkat kematian karang.

Kesimpulan

Kondisi tutupan karang hidup pada tiga lokasi pengamatan tergolong baik karena tingkat tutupan rata-rata adalah 54,38%. Bentik (tutupan karang) yang paling dominan ditemukan pada ketiga lokasi adalah karang keras (HC) dengan persentase lebih dari 50% pada setiap lokasi dengan genus yang paling dominan ditemukan adalah Acropora dengan persentase lebih dari 20%. Keanekaragaman karang dan makro avertebrata pada ketiga lokasi pengamatan tergolong sedang.

Daftar Pustaka

AIPRD-LOGICA. 2006. Profil desa lam pageu kecamatan peukan bada. Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa, Banda Aceh.

Cox, C.B., P.D. Moore. 2005. An ecological and evolutionary approach. Blackwell Publishing Ltd, Australia.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan masyarakat. LIPI, Jakarta. Rudi, E. 2010. Tutupan karang keras dan distribusi karang indikator di perairan Aceh bagian Utara,

Biospecies Research, 2(2): 1 – 7.

Rudi, E. 2013. Penilaian sumberdaya terumbu karang dan persepsi masyarakat tentang daerah perlindungan laut di Ujong Pancu Aceh Besar. Biospecies Research, 6(2): 30-45.

English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survei manual for tropical marine resource. Australian Institute of Marine Science, Townsville.

Hawkes, H.A. 1978. Invertebrate as indicator of river water quality. University of Newcastle. Upon Tyae, Newcastle.

Hutomo, M., M.K. Moosa. 2005. Indonesian marine and coastal biodiversity: Present status. Indian Journal of Marine Science, (34):88-97.

Johan, O. 2003. Metode survei terumbu karang Indonesia. Yayasan Terangi, Jakarta.

Marsuki, I.D., B. Sadarun, R.D. Palupi. 2013. Kondisi terumbu karang dan kelimpahan kima di perairan Pulau Indo. Jurnal Mina Laut Indonesia, (1): 61-72.

Fadli, N. 2012. Komposisi ikan karang di lokasi transplantasi karang di Pulau Rubiah, Kota Sabang, Aceh. Depik, 1(3): 196-199.

Richmond. 1997. Reproduction and recruitment in corals: critical links in the persistence of reefs in life and death of coral reefs. Chapman and Hall 115 Fifth Avenue, New York.

(10)

7

Sumich, J.L. 1992. An introduction to the biology of marine life. Edisi ke-5. Dubuque, WmC Brown, California.

Uneputty, P.A., S.M. Evans. 1997. Accumulation of beach litter on islands of the Pulau Seribu archipelago, Indonesia. Marine Pollution Bulletin, (34): 652-655.

Wallace, D. 1998. Coral reef and their management. www.cep.unep.org. Akses tanggal 18 Maret 2013. Wilkinson, C.R. 2004. Status of coral reefs of the world: 2004. Global Coral Reef Monitoring Network

(11)

8

Perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra (

tubificidae

) dengan

memanfaatkan limbah budidaya ikan lele (

clarias

sp) sistem intensif terhadap

kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra

The comparison of cultivation of tubs silk worms (tubificidae) by utilizing waste

cultivation of catfish (clarias sp) intensive systems on the quality of water catfish

and production of silk worms

Eddy Supriyono

1

, Dedi Pardiansyah

1,2*

, Diana Sriwisuda Putri

1

, Daniel Djokosetianto

1

1Laboratorium lingkungan, Akuakultur Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor

Jl. Agatis, Kampus IPB Dramaga Bogor, Telp. 0251-8628755,

2Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu, .Jl. Jendral Sudirman Np. 185

Kota Bengkulu.Telp. 0736-344918, *Email korespondensi :dedi.pardiansyah@yahoo.co.id

Abstract. This objective of the research was to compare the number of blood worm production using catfish cultivation waste, while the water from catfish cultivation flowed to blood worm cultivation with recirculate system. This research were used 3 treatments and 2 replications, the treatment was 2, 4 and 6 containers of blood worm. The results showed that the highest water quality and biomass was 6 containers treatment with 1.4 kg m-2 weight gain.

Keywords: Catfish; silk worm; waste intensive farming.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya lele sistem intensif terhadap kualitas air ikan lele dan produksi cacing sutra, dimana air dari media budidaya ikan dialirkan ke media pemeliharaan cacing sutra dengan sistem resirkulasi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 2 ulangan, perlakuan yaitu Pemanfaatan 2 bak, 4 bak dan 6 bak cacing sutra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kualitas air budidaya lele dan produksi bobot biomassa tertinggi pada perlakuan 6 bak dengan pertumbuhan berat sebesar 1,4 Kg m-2.

Kata kunci: ikan lele; cacing sutra; limbah lele.

Pendahuluan

Budidaya sistem intensif menerapkan kepadatan yang tinggi, penambahan aerasi dan penggunaan pakan buatan dalam jumlah yang besar, tingginya penggunaan pakan buatan pada budidaya secara intensif akan mengakibatkan semakin tinggi pula akumulasi limbah N dalam media budidaya yang dapat mengganggu pertumbuhan ikan (Avnimelech, 1999). Limbah budidaya secara intensif berasal dari akumulasi residu organik yang berasal dari pakan yang tidak dimanfaatkan, ekskresi amoniak, feses, dan partikel-partikel pakan (Avnimelechet et al., 1995).

Produksi ikan lele secara nasional menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, sebagai gambaran antara tahun 2007 sampai 2011 kenaikan produksi berkisar 39,03% sampai 39,50% (KKP, 2012) dan ditargetkan produksi ikan lele secara nasional pada tahun 2014 akan terus meningkat. Untuk memenuhi target tersebut maka teknologi pembenihan khususnya pakan alami bagi larva perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Salah satu pakan alami yang sangat popular bagi larva atau benih ikan lele adalah cacing sutra, sebagai ilustrasi untuk menghasilkan 200.000-250.000 ekor benih ikan lele memerlukan 2 liter cacing sutra setiap hari. Oleh karena itu kebutuhan cacing sutera pada pembenihan lele juga meningkat seiring bertambahnya umur benih lele (Adlan, 2014).

Cacing sutra memiliki kandungan nutrien yang cukup tinggi yaitu protein (57%), lemak (13,3%), serat kasar (2,04%), kadar abu(3,6%) (Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013), oleh karena itu cacing sutra sangat baik untuk benih ikan (Priyadi et al., 2010). Marian dan Pandian (1989) menyatakan bahwa cacing sutra dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang memiliki kandungan bahan-bahan organik tinggi dan dapat beradaptasi pada perairan dengan oksigen terlarut rendah.

(12)

9

Pasokan cacing sutra saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan di alam sehingga tidak dapat dipastikan kualitas dan kuatitasnya karena sangat tergantung pada musim serta dikhawatirkan dapat menjadi agen pembawa penyakit dan bahan pencemar lainnya. Santoso dan Hernayanti (2004) melaporkan bahwa ada hubungan yang kuat antara kandungan logam berat di perairan dengan kadar logam berat dalam tubuh cacing sutra. Hal ini menunjukkan bahwa caing sutra yang diperoleh dari alam berpotensi membawa zat pencemar berbahaya dan selanjutnya akan terakumulasi pada ikan. Penelitian tentang budidaya cacing sutra di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti namun sampai saat ini belum diperoleh hasil yang maksimal untuk sampai taraf komersial karena produktivitasnya masih rendah atau dibawah 2,5 kg/m2(Findy, 2011) (Febriyani, 2012; Pardiansyah, 2014), sedangkan produksi

secara alami dapat mencapai 2,5 kg/m2. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk mengetahui efisiensi

perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya ikan lele sistem intensif terhadap kualitas lingkungan budidaya lele dan pertumbuhan cacing sutra.

Bahan dan Metode

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Variabel bebas adalah perbedaan jumlah bak budidaya cacing, sedangkan variabel terikat adalah nilai kualitas air media pemeliharaan dan produksi cacing sutra. Pengamatan kualitas air di wadah budidaya lele dilakukan setiap 10 hari sekali, pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005). Parameter kualitas air yang diukur adalah; Suhu diukur dengan thermometer air raksa, Dissolved Oxigen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter, pH diukur dengan menggunakan pH-meter, Total Solid Suspended (TSS), Volatile Suspended Solid (VSS), Amoniak, Total Ammonia Nitrogen (TAN), Nitrit dan Nitrat.

Unit percobaannya adalah bak plastik berukuran 0,5 m x 1 m sebanyak 9 unit dan masing-masing perlakuan dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diuji adalah:

Perlakuan A = Penggunaan 2 bak budidaya cacing sutra Perlakuan B = Penggunaan 4 bak budidaya cacing sutra Perlakuan C = Penggunaan 6 bak budidaya cacing sutra

Budidaya ikan lele

Budidaya ikan dilakukan pada bak plastik berukuran 2 m x 1m x 0,6 m dengan volume 800 L. Padat

tebar 100 ekor/m2 dengan rata-rata biomass ± 5 g/ekor. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali berdasarkan

pada biomassa dengan jumlah ransum harian 3 % dari bobot ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersil dengan kandungan protein 30-32%.

Budidaya cacing sutra

Budidaya cacing sutra dilakukan dengan menggunakan wadah berupa bak plastik dengan ukuran panjang 100 cm dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Lapisan dasar wadah diberi lumpur kolam sedalam 3 cm dengan ketinggian air 2 cm. Cacing sutra diperoleh dari para pengumpul, kemudian bibit dibersihkan dan ditimbang sesuai dengan perlakuan sebelum ditebar secara merata ke media budidaya. Padat tebar yang digunakan adalah 2 mg/cm2.

Alian air yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem resirkulasi dengan debit air 0,05 l/detik. Air yang berasal dari wadah budidaya lele dialirkan ke wadah budidaya cacing dan kemudian kembali lagi kedalam wadah budidaya lele. Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara memasukkan pipa paralon berdiameter 3 cm ke dalam substrat sampai ke dasar wadah pada bagian inlet, tengah, dan outlet wadah. Cacing dipisahkan dari subtrat dengan cara mengambil sedikit demi sedikit substrat kemudian ditaruh pada kaca arlogi untuk mempermudah mengambil cacing yang berada di substrat tersebut.Cacing yang diperoleh dihitung, kemudian dibilas dengan air yang telah disiapkan, setelah semua cacing diambil kemudian di keringkan dengan tisu dan ditimbang.

Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra

Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra dilihat dari nilai VSS (Volatile Suspended Solid) pada bagian

inlet dan outlet pada bak budidaya cacing sutra, persentase pemanfaatan diukur beradasrkan selisih nilai inlet dan outlet

terhadap nilai inlet pada bak budidaya cacing sutra. Bobot biomasa dihitung dengan cara mencari selisih antar berat biomasa akhir dikurangi dengan berat biomassa awal.

(13)

10

Analisa data

Penambahan bobot biomasa dan pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan One way analysis of variance (uji sidik ragam satu arah) dengan selang kepercayaan 95%. Untuk melihat perbedaan perlakuan maka dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Sedangkan Kualitas air dianalisa secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Kualitas air media budidaya lele

Hasil pengukuran TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia pada setiap perlakuan yang diukur selama penelitian masih dalam kisaran yang optimal untuk budidaya ikan lele sistem intensif. Pengukuran kualitasair dilakukan pada pagi hari dan sore hari untuk parameter DO, pH dan suhu, sedangkan TAN, Nitrit, Nitrat dan ammonia diukur setiap 10 hari sekali. Adapun hasil pengamatan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.

Nilai kualitas air ikan lele berupa TAN, Nitrit, Nitran, Amonia, suhu, DO dan pH juga masih dalam kisaran yang optimal untuk pertumbuhan. Ikan lele masih dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan nilai pH air berkisar 6,5-7,11; suhu air berkisar 27,73-29,63 °C; amonia 0,0001-0,0256 mg/l; Nitrit 0,01-0,46 mg/l; Nitrat 0,16-1,65 mg/l; TAN 0,02-3,65 mg/l dan DO 2,61-6,92 mg/l (Gunadi, 2012). Kualitas air dengan nilai pH air berkisar 6,1-7,7; suhu air berkisar 27-30 °C; amonia 0-0,023mg/l; Nitrit 0,003-0,726 mg/l; Nitrat 0,128-0,860 mg/l; TAN 0-0,81 mg/l dan DO 2,24-8,14 mg/l baik untuk pertumbuhan ikan lele (Rohmana, 2009). Sedangkan nilai nitrat dan nitrit yang baik untuk lingkungan budidaya adalah nitrat 0-400 mg L-1 dan nitrit < 1 mg L-1 (Ebeling et al., 2006).

Hasil dari pengukuran TSS diperoleh bahwa nilai TSS pada perlakuan 2 bak dab 4 bak semakin meningkat pada hari ke-30 hingga akhir pemeliharaan.pada perlakuan 6 bak nilai TSS cendrung stabil dari awal hingga akhir penelitian. Hasil pengukuran TSS (Total Suspended Solid) pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil dari pengukuran VSS pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai VSS yang diperoleh selama masa pemeliharaan menunjukkan nilai konsentrasi fluktuatif dan cendrung stabil hingga akhir pemeliharaan. Pada Gambar 2 terllihat dari nilai VSS pada perlakuan 4 bak dan 6 bak dimana kenaikan terus stabil hingga akhir penelitian. Hal ini karena cacing sutra mampu memanfaatkan bahan organik dengan baik. VSS (bakteri) dan fitoplankton merupakan sumberpakan bagi organisme lain, terutama golongan filter feeder (Gunadi, 2012). Pada budidaya systemintensif yang tidak memanfaatkan organisme filter feeder biomassa mikroba (bakteri dan alga) akan terus meningkat (Azhar, 2013; Gunadi, 2012). Nilai TSS dan VSS pada sistem intensif akan terus meningkat hingga akhir penelitian (Azhar, 2013).

Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air ikan lele berupa DO, pH, Suhu TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia Perlakuan

Kualitas air DO

(mg/l) pH Suhu (0C)

TAN

(mg/l) Nitrit (mg/l) Nitrat (mg/l) Amonia (mg/l)

2 Bak 4,7-7,1 7,2-7,8 27-28,3 1,4-2,0 0,71-0,82 0,2-0,73 0,02-0,11

4 Bak 4,8-6,7 7,3-7,8 27,1-28,3 1,7-2,6 0,37-0,52 0,2-0,42 0,02-0,07

(14)

11

Gambar 1. Total Suspended Solid (TSS) pada air media pemeliharaan ikan lele

Gambar 2. Volatile Suspended Solid (VSS)pada media pemeliharaan ikan lele

Pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra dan hasil produksi

Hasil dari pengukuran bobot biomasa pada media pemeliharaan cacing sutra yang dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 3. Terdapat selisih nilai VSS pada air masuk dan keluar di setiap perlakuan dan ulangan (Tabel 2), ini menandakan adanya pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra. Selisih nilai VSS ini adalah bahan organik yang dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen sehingga nilai VSS sedimen pada perlakuan meningkat. Jika dipersentasekan maka nilai pemanfaatn VSS dapat dilihat pada Tabel 3 yang memperlihatkan adanya pemanfaatan bahan organik olah cacing sutra terbaik pada perlakuan 6 bak, diikuti oleh perlakuan 4 bakdan terendah pada perlakuan 2 bak. Ketersediaan bahan organik dalam air media pemeliharaan ikan lele sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti, 2004; Findy, 2011; Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013).), bahan organik ini berasal dari limbah pakan yang diberikan untuk ikan lele.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa tiadak ada perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra antar perlakuan (Gambar 3). Bobot biomassa cacing sutra turun pada hari ke-10 dan mulai naik sejak hari ke-20 hingga hari ke-50. Gambar 3 memperlihatkan adanya peningkatan biomassa cacing sutra pada setiap perlakuan, dikarenakan adanya penambahan jumlah individu baru. Adanya kelahiran individu baru pada saat puncak populasi mengakibatkan peningkatan jumlah individu dan bobot biomassa (Shafrudin et al., 2005). Pertumbuhan terjadi karena media manpu mencukupi kebutuhan makan cacing sutra (Pursetyo, 2011).

Tabel 2. Pengukuran nilai VSS pada bagian Inlet dan Outlet

Perlakuan Saluran air 0 10 Nilai VSS hari ke -20 30 40

2 bak InOut 164,706167,143 108,571125,954 138,444101,200 115,000122,989 223,529233,491

(15)

12

Out 132,432 120,077 87,5560 104,839 140,485

6 bak InOut 121,189111,686 68,293069,1290 58,235087,5000 69,620077,8710 71,341069,1290

Tabel 3. Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra

Perlakuan 0 Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra (%) hari

ke-10 20 30 40

2 bak 17.970 a 17.338 a 15.179 a 16.710 a 13.738 a

4 bak 20.216 ab 21.843 ab 21.817ab 20.840 ab 21.874 ab

6 bak 35.919 b 33.224 b 35.155 b 36.418 b 35.929 b

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji beda nyata terkecil).

Gambar 3. Pertumbuhan Berat cacing sutra

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwa penggunaan limbah lele sistem intensif oleh cacing sutra akan lebih baik untuk perbaikan kualitas air ikan lele dan pertumbuhan cacing sutra dengan memanfaatkan 6 bak pemeliharaan cacing sutra.

Daftar Pustaka

Adlan, M.A. 2014. Pertumbuhan biomassa cacing sutra (tubifex sp.) pada media kombinasi pupuk kotoran ayam dan

ampas tahu [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard methods for examination of water and wastewater. 14thed. APHA. Washington DC: APHA. AWWA (American Water Works Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation).

Avnimelech, Y., N. Mozes, S. Diab. 1995. Rates of organic carbon and nitrogen degradation in intensive fish ponds. Aquaculture, 134:211-216.

Avnimelech, Y. 1999. Carbon/nitrogen ratioasacontrolelementin aquaculture system. Aquaculture,176:227-235.

Azhar, M.H. 2013. Peranan sumber karbon eksternal yang berbeda dalam pembentukan biflok dan pengaruhnya terhadap kualitas air serta produksi pada sistem budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Bintaryanto, B.W., T. Taufikurohmah. 2013. Pemanfaatan campuran limbah padat (Sludge) pabrik kertas dan kompos

sebagai media budidaya cacing sutra (Tubifex sp). UNESA Journal of Chemistry 2(1). 1-8.

Ebeling, J.M., M.B. Timmons, J.J. Bisogni. 2006. Engineering analysis of stoichiometry of photoautotrophic. Autotrophic and heterotrophic removal of amoniak-nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture,

(16)

13

257:346-358.

Febrianti, D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutera (Limnodrilus) [Skipsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Febriyani, M. 2012. Budidaya cacing oligochaeta pada sistem terbuka [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Findy, S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubificidae). IPB. Bogor.

Gunadi, B. 2012. Minimalisasi limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele (clarias gariepinus) dengan system akuakultur berbasis jenjang rantai makanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Statistik kelautan dan perikanan. Jakarta (ID). 302 hal.

Marian, M.P., T.J. Pandian. 1989. Culture and harvesting technique for Tubifex tubifex. Aquaculture, 42:303-315. Pardiansyah, D. 2014. Pemanfaatan limbah budidaya lele (Clarias sp) sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra

(Tubificidae). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priyadi, A., E. Kusrini, T. Megawati. 2010. Perlakuan berbagai jenis pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan sintasan larva ikan upside down catfish (Synodontis nigiventris). Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Depok Jakarta.

Pursetyo. 2011. Pengaruh pemupukan ulang kotoran ayam kering terhadap populasi cacing sutra (Tubifex sp). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Surabaya, 3(2):117-182.

Rohmana, D. 2009. Konversi limbah budidaya ikan lele (clarias sp) menjadi biomassa bakteri heterotrof untuk perbaikan kualitas air dan makanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santoso, S., Hernayanti. 2004. Cacing sutra sebagai bio monitor pencemaran logam berat kadmium dan seng dalam leachate TPA sampah Gunung Tugel Purwokerto. Program Studi Biologi. ITS. Surabaya.

Shafrudin, D., W. Efianti, Widanarni. 2005. Pemanfaatan ulang limbah organik dari substrak tubifex sp di alam. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2):97-102.

(17)

15

Analisa ekonomi usaha pendederan kerapu macan (

Epinephelus fuscoguttatus

)

dan kerapu lumpur (

Epinephelus coioides

) dalam tambak di Kabupaten

Bireuen Provinsi Aceh

Economic analysis of pond nursery for tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus

and green grouper Epinephelus coioides in Bireuen District of Aceh Province

Farok Afero

1

*, Safrita AM

2

1Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh; 2Jurusan Budidaya Perairan Universitas Al Muslim Bireuen. Email

korespondensi: farokafero@yahoo.com

Abstract. This study presented an economic analysis of nursery operation for tiger and green grouper with different production scales. The result highlighted small scale nursery of tiger grouper with a 3 year projected both positive cumulative cash flows and NPV. Small scale of green grouper highlighted both positive cumulative cash flow and NPV, also IRR and B/C higher than the medium and large scale. Medium scale of tiger grouper generated both positive cumulative cash flow and NPV. In addition, medium scale of tiger grouper generated IRR and B/C higher than small and large scale. Medium scale of green grouper generated IRR and B/C higher than large scale. The results of the financial analysis indicated the income of large scale of tiger grouper higher than medium scale, but the ratio benefit of medium scale higher than large scale. Small scale of green grouper indicated ratio benefit higher than medium and large scale. The sensitivity analysis showed decreased survival rate to 60% affects a negative contribution to the NPV, IRR and B/C on a large scale of green grouper. On the other side, small scale of green grouper obtained higher profit ratio despite a decline in survival rate, an increase in seed costs and falling seed prices. This suggests that small scale of green grouper not affected to volatility of the main variable costs.

Keywords: Nursery; tiger grouper; green grouper; production scale

Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi pendederan kerapu macan dan lumpur dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 3 tahun menghasilkan arus kas kumulatif dan NPV positif. Sedangkan pendederan kerapu lumpur skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV positif, IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendederan skala menengah dan besar. Pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan aliran kas dan NPV positif. Selain itu, pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan IRR dan B/C yang lebih tinggi dari kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur skala menengah menghasilkan IRR dan B/C lebih tinggi dari skala besar. Hasil analisis keuangan menunjukkan bahwa pendapatan pendederan kerapu macan pada skala besar lebih tinggi daripada skala menengah, tetapi rasio keuntungan skala menengah lebih tinggi dibandingkan skala besar, sedangkan pada pendederan kerapu lumpur menunjukkan bahwa rasio keuntungan skala kecil lebih lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penurunan sintasan kehidupan sampai 60% memberikan kontribusi negatif pada NPV, IRR dan B/C pada pendederan kerapu lumpur skala besar. Sebaliknya pendederan kerapu lumpur skala kecil memperoleh rasio keuntungan yang lebih tinggi meskipun terjadi penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak berpengaruh dengan volatilitas biaya variable utama.

Kata kunci: Pendederan; kerapu macan; kerapu lumpur; skala produksi

Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu produsen ikankerapu, dimana produksi ikan kerapu budidaya pada tahun 2011 sebesar 8.112 ton, meningkat menjadi 8.787 ton pada tahun 2012 dengan nilai total sekitar Rp 1.354 milyar. Budidaya kerapu di Indonesia tersebar dari Sumatera ke Papua dan terkonsentrasi di beberapa provinsi seperti Sumatera Utara (2.686 ton), Kepulauan Riau (1.202 ton), Lampung (1.776 ton), Sulawesi Tenggara (656 ton), Maluku (255 ton), Papua Barat (393 ton) (KKP, 2014).

Ketersediaan benih merupakan komponen penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan telah dibangun, baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu. Jumlah benih yang ditebar selama tahun 2012 adalah 12,9 juta benih dan 67% atau 8,7 juta benih kerapu di tebar di Sumatera (KKP, 2014). Salah satu sentra produksi benih kerapu adalah di Bali Utara yang telah

(18)

16

memproduksi 200.000-1.000.000 ekor/bulan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) juga memproduksi kerapu

tikus (Cromileptes altivelis) serta kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (Ismi et al., 2012). Namun terdapat kendala dalam keberhasilan pemeliharaan benih kerapu, yaitu kelangsungan hidup atau kematian benih (Rimmer, 2003). Keberhasilan pembenihan juga ditunjang ukuran benih, kepadatan, dan volume media (Minjoyo et al., 2004). Kerapu macan merupakan ikan karnivora, sehingga membutuhkan volume media dan kepadatan yang sesuai dengan ukuran tubuhnya agar tidak menimbulkan kematian (Resmiyati et al., 1993). Balai benih umumnya memelihara benih sampai ukuran berkisar 2-3 cm, sedangkan budidaya dalam keramba jaring apung membutuhkan benih kerapu dengan ukuran kisaran 5-10 cm. Untuk memenuhi kebutuhan kerapu ukuran layak tebar, pendeder kerapu memelihara kerapu dari ukuran 2-3 cm menjadi 5-10 cm atau lebih besar, kemudian menjual ke pembudidaya keramba jaring apung.

Pendederan kerapu di Provinsi Aceh dilakukan dalam tambak yaitu benih ikan dipelihara dalam keramba jaring tancap kecil yang terpancang pada substrat dengan tiang kayu. Pendederan dibagi menjadi dua tahap: tahap awal menggunakan kelambu‘hijau’ dan membutuhkan waktu 10–15 hari. Kerapu ditebar sekitar 500–2.000 ekor per keramba (tergantung pada ukuran keramba), dan diberi pakan utama udang dan ikan liar kecil yang ditangkap dari tambak. Setelah 10–15 hari, ikan dipindahkan ke kelambu ‘hitam’ yang lebih besar dan kepadatan tebar dikurangi menjadi 300–1.000 ikan per keramba. Ikan dipanen ketika sudah mencapai panjang total (TL) 7–10 cm yang umumnya diperoleh setelah dipelihara 30–50 hari dari saat penebaran awal. Pendederan biasanya dilakukan 7–8 siklus produksi per tahun (Komarudin et al., 2010).

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan usaha pendederan kerapu macan dan lumpur sehingga dapat memberikan informasi untuk pelaku usaha tentang skala ekonomi usaha pendederan kerapu. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pendeder kerapu serta pemerintah daerah dalam mengembangkan sub-sektor pendederan ikan di Provinsi Aceh.

Bahan dan Metode

Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada bulan November 2014. Semua data untuk penelitian ini dikumpulkan dari sentra pendederan kerapu di Kabupaten Bireuen (Kecamatan Samalanga dan Jangka). Untuk menilai dan membandingkan dampak dari skala ekonomi pendederan kerapu, usaha pendederan kerapu dikategorikan berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 200 juta, antara 200 dan 400 juta dan lebih dari 400 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masing-masing skala kecil, menengah dan besar.

Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari pendeder kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Kuesioner terdiri dari tiga variable yaitu variable biologi (jumlah keramba, padat tebar, ukuran tebar, ukuran panen, sintasan kehidupan, konversi pakan, periode produksi, siklus produksi dan produksi), variable biaya (sewa lahan, biaya keramba, peralatan, benih, pakan, pupuk, bahan bakar dan gaji pekerja, pemeliharaan) dan variable pendapatan (pendapatan kotor dan bersih, rasio keuntungan). Sebanyak 36 pendeder ikan diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan, 34 sampel digunakan untuk analisa lebih lanjut sedangkan 2 sampel lagi tidak bisa dianalisa lanjut karena kurangnya data dari tiga variabel diatas. Sampel pendeder kerapu macan yang dianalisis dibagi menjadi berdasarkan skala, yaitu: skala kecil (7 pendeder), menengah (7 pendeder) dan besar (3 pendeder ). Sementara sampel untuk usaha kerapu

lumpur adalah skala kecil (9 pendeder) menengah (5 pendeder) dan besar (3 pendeder). Data yang diperoleh

disajikan dalam bentuk tabel selanjutnya dianalisis secara deskriptif, sedangkan analisa sensitifitas berdasarkan asumsi penurunan sintasan kehidupan benih, kenaikan biaya benih dan penurunan harga jual.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi pendederan ikan kerapu macan dan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda. Padat tebar pendederan kerapu macan skala kecil (99 ekor/m3), skala menengah (152,7

ekor/m3) dan skala besar (114 ekor/m3). Ukuran panen benih berkisar 6,7-7,6 cm. Rasio konversi pakan adalah

14,3 untuk skala kecil dan 14,5 untuk skala besar (Tabel 1). Pada pendederan kerapu lumpur kepadatan tebar untuk skala kecil (189,1 ekor/m3) skala menengah (208,4 ekor/m3) dan skala besar (171 ekor/m3). Konversi

pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 28,5, 24,1 dan 29,4. Periode produksi 1,5-1,9 bulan per siklus dan siklus produksi per tahun berkisar 4,3-6,8 siklus. Produksi benih kerapu lumpur pada skala kecil, menengah dan besar adalah 56.656 ekor, 109.376 ekor dan 203.000 ekor (Table 2).

(19)

17

Tabel 1.Ringkasan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda

Kecil Menengah Besar

Jumlah keramba 7,0 16,7 51,7

Padat tebar (m3) 99,0 152,7 114,0

Ukuran benih awal (cm) 2,9 2,3 2,3

Ukuran benih panen (cm) 7,1 7,6 6,7

Sintasan kehidupan (%) 80,0 80,0 80,0

Konversi pakan 14,3 11,3 14,5

Periode produksi (bulan) 1,5 1,7 1,9

Siklus produksi per tahun 6,7 6,6 4,3

Produksi (ekor) 34.766 76.571 159.200

Tabel 2. Ringkasan pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda

Kecil Menengah Besar

Jumlah keramba 6,9 18,4 75,0

Padat tebar (m3) 189,1 208,4 171,0

Ukuran benih awal (cm) 1,3 1,4 1,2

Ukuran benih panen (cm) 3,5 3,3 3,3

Sintasan kehidupan (%) 78,9 78,0 76,7

Konversi pakan 28,5 24,1 29,4

Periode produksi (bulan) 1,5 1,6 1,9

Siklus produksi per tahun 6,6 6,8 4,3

Produksi (ekor) 56.656 109.376 203.000

Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran pendederan kerapu macan dan lumpur. Biaya tetap pada budidaya kerapu macan berkisar antara 2% sampai 3%. Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih adalah komponen pengeluaran terbesar yaitu skala kecil (83%) menengah (82%) dan besar (77%). Pakan adalah biaya terbesar berkisar 8-10% dan komponen biaya tenaga kerja kisaran 7-9%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pendederan skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala menengah dan kecil (Tabel 3). Dalam budidaya kerapu lumpur, biaya tetap berkisar antara 2-3%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh biaya pakan dan biaya tenaga kerja (Tabel 4).

Tabel 3. Ringkasan pengeluaran pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda

Variabel Kecil Menengah Besar

1. Biaya modal Keramba 1.400.000 3.342.857 10.333.333 Peralatan 162.286 324.857 5.602.667 Sub Total 1.562.286 3.667.714 15.936.000 2. Biaya Operasional Biaya tetap Sewa lahan 1.750.000 2.285.714 6.833.333 Depresiasi 520.762 1.222.571 5.312.000 Pemeliharaan 500.000 750.000 2.000.000 Sub Total 2.770.762 2% 4.258.286 2% 14.145.333 3% Biaya Produksi Benih 103.842.857 83% 207.914.286 82% 359.050.000 77%

(20)

18 Pakan rucah 9.505.714 8% 23.691.429 9% 47.200.000 10% Pupuk 11.429 0,01% 49.143 0,02% 340.000 0,01% Buruh 8.554.286 7% 19.142.857 8% 43.190.000 9% Biaya lain-lain 2.953.333 1% Sub Total 121.914.286 98% 250.797.714 98% 452.733.333 97% Total Biaya Produksi 124.685.048 255.056.000 466.878.667

3. Keuntungan

Harga 5.000 5.143 4.833

Pendapatan 173.828.571 393.142.857 673.000.000

Tabel 4. Ringkasan pengeluaran pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda

Variabel Kecil Menengah Besar

1. Biaya modal Keramba 1.377.778 3.680.000 15.000.000 Peralatan 258.000 251.200 302.667 Sub Total 1.635.778 3.931.200 15.302.667 2. Biaya Operasional Biaya tetap Sewa lahan 1.583.333 2.900.000 6.833.333 Depresiasi 258.000 251.200 302.667 Pemeliharaan 500.000 750.000 2.000.000 Sub Total 2.341.333 3% 3.901.200 2% 9.136.000 2% Biaya Produksi Benih 62.966.667 72% 138.720.000 72% 255.000.000 69% Pakan rucah 15.254.444 18% 33.300.000 17% 64.400.000 18% Pupuk 19.556 0,02% 44.000 0,02% 326.667 0,01% Buruh 6.275.556 7% 16.256.000 8% 36.080.000 10% Biaya lain-lain 2.303.333 1% Sub Total 84.516.222 97% 188.320.000 98% 358.110.000 98%

Total Biaya Produksi 86.857.556 192.221.200 367.246.000

3. Keuntungan

Harga 2.778 3.000 2.833

Pendapatan 163.594.444 328.128.000 566.000.000

Analisis indikator keuangan pendederan kerapu macan dan lumpur pada skala produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan usaha skala kecil pendederan kerapu macan memiliki arus kas positif baik untuk proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang. Pendederan kerapu macan skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar Rp 410.592.857 dan NPV sebesar Rp 239.341.411. Nilai IRR sebesar 37,65 % dan rasio manfaat-biaya (B/C) sebesar 1,54 menunjukkan kelayakan usaha pendederan kerapu macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif positif dengan nilai IRR 12,93%, rasio manfaat-biaya sebesar 1,44 menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi menghasilkan kinerja ekonomi yang positif (Tabel 5).

Analisis keuangan pendederan kerapu lumpur pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan proyeksi arus kas kumulatif selama 3 tahun. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp 133.340.881) menengah (Rp 235.294.965) dan skala besar (Rp 336.140.795). Analisis

(21)

19

keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari 1,5 untuk semua skala produksi dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu bulan.

Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda

Perhitungan Profitabilitas Kecil Menengah Besar

Cash Flows 49.143.523 138.086.857 206.121.333

Cumulative cash flow 145.868.284 410.592.857 602.428.000

NPV 84.964.697 239.341.411 348.545.643

IRR 31,46 37,65 12,93

B/C Ratio 1,39 1,54 1,44

Payback Period 0,03 0,03 0,08

Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda

Perhitungan Profitabilitas Kecil Menengah Besar

Cash Flows 76.736.889 135.906.800 198.754.000

Cumulative cash flow 228.574.889 403.789.200 580.959.333

NPV 133.340.881 235.294.965 336.140.795

IRR 46.91 34.57 12.98

B/C Ratio 1,88 1,71 1,54

Payback Period 0,02 0,03 0,08

Hasil analisa sensitivitas pendederan kerapu macan menunjukkan bahwa sintasan hidup 60% tidak mengakibatkan efek negatif terhadap arus kas kumulatif untuk semua skala produksi. Peningkatan biaya benih sampai 20% masih menghasilkan rasio keuntungan diatas 20% untuk semua skala produksi. Sedangkan penurunan harga benih menghasilkan keuntungan yang minim untuk pendederan skala kecil (Tabel 7).

Hasil analisa sensitivitas pendederan kerapu lumpur menunjukkan sintasan kehidupan 60% mengakibatkan arus kas kumulatif negatif untuk pendederan skala besar. Kenaikan harga benih dan penurunan harga jual tidak memiliki berpengaruh pada penurunan NPV dan rasio keuntungan pada pendederan kerapu lumpur skala kecil (Tabel 8).

(22)

20

Tabel 7. Ringkasan analisa sensitivitas pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda

Net Present Value Internal Rate of Return (%) B/C Ratio

Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar

SR 60% 23.936.919 101.316.720 200.740.859 9,19 16,21 7,64 1,12 1,23 1,26

Biaya benih + 20% 48.507.521 166.346.812 222.490.280 18,16 26,31 8,42 1,20 1,33 1,25

Harga - 20% 23.936.919 101.316.720 200.740.859 9,19 16,21 7,64 1,12 1,23 1,26

Table 8. Ringkasan analisa sensitivitas pendederan kerapu lumpur dengan skala produksi berbeda

Net Present Value Internal Rate of Return (%) B/C Ratio

Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar

SR 60% 29.958,281 27.936.298 -21.539.761 10,90 4,50 - 1,21 1,09 -

Biaya benih + 20% 111.234.528 186.593.113 246.615.332 39,21 27,51 9,65 1,64 1,49 1,35

(23)

21

Pembahasan

Sintasan kehidupan pada usaha pendederan kerapu macan sebesar 80% sedangkan kerapu lumpur sebesar 78%. Padat tebar pendederan kerapu macan dan lumpur pada kisaran yang optimum untuk pertumbuhan. Ditjen Perikanan Budidaya (2002) merekomendasikan kepadatan optimum untuk pendederan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) di keramba jaring apung adalah 150-200 ekor/m3 dan setelah

dibesarkan selama 1-1,5 bulan kepadatannya dikurangi menjadi 100 ekor/m3. Kepadatan benih ditingkatkan

diatas 1,000 ekor/m3 pada pendederan dengan sistem sirkulasi air (APEC/SEAFDAC, 2001). Salinitas air

tambak yang tinggi (25-30 ppt) salah satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup benih kerapu di tambak. Kisaran salinitas 20-32 ppt adalah kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu (Yoshimitsu et al.,1986; DKP, 2001; Anonymous, 2001) Selain itu benih kerapu yang dideder ditambak memiliki toleransi lingkungan yang lebih baik sehingga mudah beradaptasi untuk hidup di keramba jaring apung.

Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya pendederan kedua kerapu sangat tinggi, konversi pakan kerapu lumpur berkisar 24,1-29,4, lebih tinggi dibandingkan kerapu macan berkisar 11,3-14,5. Hal ini menunjukkan pemakaian ikan rucah untuk pendederan ikan kerapu sangat tinggi sehingga rasio konversi pakan sangat buruk. Hampir semua pendeder kerapu di Kabupaten Bireuen menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan dalam pendederan kerapu karena harganya lebih murah daripada pakan buatan. Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan diberikan ke ikan sampai kenyang (ad libitum) dan diberikan 4 kali sehari. Liao et al. (1995) melaporkan konversi pakan pendederan Epinephelus marabaricus

berkisar 2,2:1 sampai 3,6:1 dengan menggunakan pakan basah, sedangkan dengan penggunaan pakan kering konversi pakannya 0,8:1 dan membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk mencapai ukuran benih 6 cm. Sim et al. (2005) mengungkapkan pemberikan pakan rucah mengakibatkan pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali lebih banyak dibandingkan pemberian pellet. Manajemen pemberian pakan pada pendederan kerapu macan dan lumpur harus ditingkatkan sehingga bisa meningkatkan efisiensi pemberian pakan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan lumpur adalah benih yaitu berkisar 77-83% pada pendederan kerapu macan dan 69-72% pada pendederan kerapu lumpur. Sedangkan pakan rucah menyumbang 8-10% pada kerapu macan dan 17-18% pada kerapu lumpur. Variabel tenaga kerja menyumbang kisaran 7-10% pada pendederan dua kerapu tersebut. Biaya benih masih merupakan komponen pengeluaran dominan pada pendederan kerapu, khususnya kerapu macan. Pendeder kerapu macan masih mengimpor benih dari Bali, Situbondo dan Lampung karena belum ada balai benih di Aceh yang berhasil memproduksi benih kerapu macan secara komersil. Sedangkan kerapu lumpur di beli dari pengumpul lokal yang menangkap dari wilayah pantai utara dan timur Provinsi Aceh. Penelitian ini juga menunjukkan peningkatan skala produksi berpengaruh terhadap peningkatan persentase biaya buruh pada pendederan skala besar. Pendederan kerapu memerlukan tenaga kerja intensif untuk pemberian makan dan pemilahan ikan dan peningkatan skala pendederan mengakibatkan tingginya input tenaga kerja

Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan pendederan kerapu macan dan lumpur. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha pendederan kerapu macan skala kecil masih layak secara ekonomi. Proyeksi ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu macan skala kecil masih menguntungkan, meskipun demikian harus ada peningkatan pengelolaan pakan agar skala ini lebih menguntungkan. Pemberian pakan dengan menggunakan pellet kering atau pellet basah bisa meningkatkan effisiensi pemanfaatan pakan dan menurunkan komponen biaya pakan. Sedangkan analisis keuangan budidaya kerapu lumpur skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV positif dan IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendederan skala menengah dan besar (Tabel 7). Pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan aliran kas dan NPV positif. Selain itu, pendederan kerapu macan skala menengah menghasilkan IRR dan B/C serta yang lebih tinggi dari kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur skala menengah menghasilkan IRR dan B/C lebih tinggi dari skala besar. Hasil analisis keuangan berdasarkan skala menunjukkan bahwa meskipun pendapatan pendederan kerapu macan pada skala besar lebih tinggi daripada skala menengah, tetapi rasio keuntungan skala menengah lebih tinggi baik dibandingkan skala kecil dan besar. Sedangkan pada pendederan kerapu lumpur menunjukkan bahwa rasio keuntungan skala kecil lebih lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar. Pendederan kerapu skala kecil lebih fleksibel dalam usaha pendederan karena suplai benih didapatkan dari lokal dibandingkan benih kerapu macan yang harus diimpor dari luar daerah. Pendederan kerapu macan sangat tergantung pada pemasok benih atau pemodal karena kurangnya modal yang dimiliki pendeder skala kecil untuk mengimpor benih langsung dari luar daerah. Sedangkan benih kerapu lumpur bisa langsung dibeli pada pengumpul setiap saat dengan harga murah.

(24)

22

Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa tingkat sintasan kehidupan, biaya benih dan harga adalah variabel utama yang berpengaruh pada profitabilitas pendederan kerapu macan dan kerapu lumpur. Penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh oleh pendeder kerapu macan skala kecil. Pendeder kerapu macan skala besar tetap memperoleh keuntungan yang layak meskipun penurunan sintasan kehidupan dan harga benih. Penurunan sintasan kehidupan sampai 60% memberikan kontribusi negatif pada NPV, IRR dan B/C pada pendederan kerapu lumpur skala besar. Sebaliknya pendederan kerapu lumpur skala kecil memperoleh rasio keuntungan yang lebih tinggi meskipun terjadi penurunan sintasan kehidupan, peningkatan biaya benih dan penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak terpengaruh dengan volatilitas biaya variable utama (benih, pakan dan buruh). Temuan ini sama dengan analisis ekonomi

oleh Ismi et al.(2012) bahwa pada sintasan kehidupan 60% usaha pendederan masih menguntungkan dengan

rasio keuntungan 16% dari total biaya produksi.

Menurut Komarudin et al. (2010) ada tiga model sistem bisnis yang diterapkan dalam pendederan kerapu di provinsi Aceh yaitu: investasi pemodal, investasi individu dan investasi kelompok. Pada model investasi pemodal, pemiliki modal menyediakan biaya operasional (benih, rucah dan jaring), laba hasil penjualan dibagi dua (50:50) antara pemodal dan pendeder. Investasi individu yaitu pendeder melakukan pendederan benih kerapu dengan menggunakan 1 sampai 3 tambak dan mempekerjakan orang untuk membantu kegiatan operasional harian. Sedangkan investasi kelompok melakukan pendederan lebih 200 keramba dan pembagian keuntungan adalah 70% untuk anggota kelompok dan 30% untuk investasi masa depan. Berdasarkan analisa ekonomi diatas, model kelompok dengan skala usaha kecil bisa menjadi model yang cocok di terapkan, selain tidak rentan terhadap perubahan input produksi, adanya pembagian resiko (risk share), juga meningkatkan daya tawar kelompok sehingga harga benih bisa dijual pada harga optimal.

Kesimpulan

Suplai benih berperan besar pada kerentanan input produksi, ketergantungan benih dari luar daerah mengakibatkan usaha pendederan rentan terhadap kenaikan harga benih. Usaha kerapu macan skala kecil layak secara ekonomi sedangkan usaha pendederan kerapu lumpur skala kecil tidak berpengaruh terhadap fluktuasi input produksi. Pendederan kerapu macan dan lumpur skala menengah dan besar menghasilkan keuntungan yang memadai tetapi pendederan kerapu lumpur skala besar sangat rentan terhadap fluktuasi input produksi, penurunan sintasan kehidupan mengakibatkan usaha pendederan menjadi tidak ekonomis.

Daftar Pustaka

Anonymous. 2001. Pembudidayaan dan Manajemen Kesehatan Ikan Kerapu. SEAFDEC Aquaculture Department. Kelompok Kerja Perikanan APEC, Aquaculture Department. Southeast Asian Fisheries Development Center.

APEC/SEAFDEC. 2001. Husbandry and health management of grouper. APEC: Singapore and SEAFDEC: Iloilo, Philippines.

Ditjen Perikanan Budidaya. 2002. Buku petunjuk teknis budidaya laut ikan. Kumpulan SNI Bidang Pembudidayaan. Jakarta.

DKP. 2001. Pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) dan kerapu tikus (Cromileptes

altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.

Ismi, S., T. Sutarmat, N.A. Giri, M.A. Rimmer, R.M.J. Knuckey, A.C. Berding, K. Sugama. 2012. Nursery management of grouper: a best-practice manual. ACIAR Monograph No. 150. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra. 44 pp.

KKP. 2014. Statistik perikanan budidaya 2013. Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.

Komarudin, U., M.A. Rimmer, I. Zaifuddin, S. Bahrawi. 2010. Grouper nursing in Aceh, Indonesia. Aquaculture Asia–Pacific Magazine 6(2), 21–25.

Liao, I.C., M.S. Su, S.L. Chang. 1995. A review of the nursery and grow-out techniques of high value marine finfishes in Taiwan. In: Main, K.L.and Rosenfeld, C. Culture of High-Value Marine Fishes in Asia and the United States. The Oceanic Institute, Honolulu, Hawaii, USA. 121-137.

Minjoyo, H., Evalawati, Sudjiharno. 2004. Budidaya ikan kerapu bebek (cromileptes altivelis) di bak terkendali (Land-Based Mari-culture) merupakan suatu alternatif. Buletin Budidaya Laut, 17:17-21.

(25)

23

Resmiyati, P., Waspada, Mustahal, D. Susanti. 1993. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umur sampai 35 hari dengan padat tebar berbeda. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 9(5):12-17.

Rimmer, M. 2003. Review of grouper hatchery technology. Queensland Department of Primary Industries.

Northern Fisheries Centre. Cairns, Queensland, Australia.

Sim, S.Y., M.A. Rimmer, J.D. Toledo, K. Sugama, I. Rumengan, K.C. William, M.J. Phillips. 2005. A practical guide to feeds and feed management for cultured grouper. NACA, Bangkok, Thailand.

Yoshimitsu, T.H. Eda, K. Hiramatsu. 1986. Groupers final report marineculture research and development in Indonesia. ATA 192, JICA. p. 103-129.

(26)

ISSN 2089-7790

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.1.1.2361

24

Identifikasi komponen harmonik di Selat Lombok berdasarkan data arus

time

series

The identification of harmonic component in Lombok Strait based on ocean

current time-series data

Rizal Fadlan Abida

1*

, Widodo Setiyo Pranowo

2

, Yogo Pratomo

3

, Engki Andri Kisnarti

1

1Program Studi Oseanografi, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman

Hakim 150 - Surabaya 60111.*Email Korespondensi : rizal.abida@gmail.com

2Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir,

Kementrian Kelautan Perikanan, Jalan Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta 14430.

3JurusanTeknik Hidro-Oseanografi, Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut, Jl. Pantai Kuta V Ancol Timur,

Jakarta 14430

Abstract. Lombok Strait is one part of Indonesia Through Flow (ITF), important for national and international maritime economic. The strait is passed by ITF, i.e., a displacement water from the Pacific Ocean into the Indian Ocean caused by a difference in the sea water level. ITF flows across the Makassar Strait to south direction and passes through the smaller straits along Bali to Flores. ITF pattern is influenced by its local area condition which creates unique characteristics in each place. ITF passes through the Lombok Strait in part directly related to the Indian Ocean, as well as a very diverse state bathymetry of shallow ocean to ocean trenches. Various oceanographic phenomena affect ITF in the Lombok Strait: tides and waves are formed due to the interaction between the ocean currents from the Indian Ocean to the Lombok Strait, met with ITF flowing from the Lombok Strait into the Indian Ocean. As tides, currents are influenced by the tides that have harmonic components, but there are differences in the frequency and phase are formed. Harmonic component is one of indicators in determining the characteristics of a body of water. The purpose of this study is to obtain the derived harmonic components by analysing currents data in the Lombok Strait acquired from The International Nusantara Stratification and Transport (INSTANT) Expedition Mooring Deployment 1 conducted in 2004 to 2005. Based on the analysis it is known that the characteristic harmonic currents in the Lombok Strait is influenced by significant harmonic components such as Solar Semi Annual (SSA) and Solar Annual (SA)constituents be used, as the result of harmonic analyses of tidal data at ports all over the world reveal that they are dominated by the seasonal variations of sun.

Keywords : ITF; Sea Current; Harmonic Component; INSTANT Expedition

Abstrak. Selat Lombok merupakan salah satu alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) yang penting bagi perekonomian maritim nasional dan internasional, sekaligus sebagai alur dari arus lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo merupakan peristiwa perpindahan masa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian air laut. Jalur Arlindo melintasi Selat Makasar menuju selatan, kemudian terbagi melewati selat-selat yang lebih kecil diperairan Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Pola Arlindo dipengaruhi keadaan perairan setempat yang dilewatinya, sehingga Arlindo memiliki karakteristik yang unik pada masing-masing tempat. Pada Selat Lombok yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia, fenomena

oseanografi mempengaruhi ARLINDO di Selat Lombok diantaranya adalah pasang surut dan internal wave yang

terbentuk karena interaksi antara arus laut dalam yang berasal dari Samudera Hindia menuju Selat Lombok. Arus pasut memiliki komponen harmonik seperti gaya pembangkitnya, namun terdapat perbedaan pada frekuensi dan fasa yang terbentuk. Komponen harmonik pasut dan arus pasut merupakan salah satu indikator dalam penentuan karakteristik suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh besaran komponen harmonik yang diturunkan dari arus di Selat Lombok dari Ekspedisi INSTANT Mooring Deployment 1 yang dilaksanakan pada tahun 2004 hingga 2005. Berdasarkan analisis harmonik diketahui bahwa

karakteristik arus di Selat Lombok dipengaruhi oleh komponen harmonik signifikan seperti Solar Semi Annual

dan Solar Annual yang merupakan komponen yang dipengaruhi oleh pergerakan matahari secara paruh tahun maupun tahunan.

Gambar

Gambar 4. Komposisi makro invertebrate di Pulau Tuan, Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang
Tabel 1. Kisaran parameter kualitas air ikan lele berupa DO, pH, Suhu TAN, Nitrit, Nitrat dan Amonia  Perlakuan
Tabel 2. Pengukuran nilai VSS pada bagian Inlet dan Outlet
Tabel 1.Ringkasan pendederan kerapu macan dengan skala produksi berbeda
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada pertengahan abad ke-19, istilah “tema” memiliki tiga hal penting yang tetap dipertahankan: tidak lagi dibatasi hanya pada permulaan suatu karya namun dapat

Namun, penerapan citizen journalism pada akun Twitter GNFI peneliti anggap tidak diterapkan secara maksimal karena sumber berita dari portal berita, yang adalah karya seseorang

Qur’an(Studi Komparatif Pada MIN Demangan dan Griya Al Qur’an Madiun). Ponorogo: Pendidikan Agama Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2017. Penelitian

Penelitian dari Artana (2013) tentang perbedaan keefektivan Brief Repetition Isometric Maximum Exercises (BRIME) satu set dan tiga set terhadap.. pencegahan disuse atrofi

8 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja petugas promosi kesehatan puskesmas dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petugas promosi kesehatan

Penelitian ini bertujuan menganalisa bagaimana pengaruh E-CRM dan kualitas pelayanan elektronik pada Hotel Aryaduta Jakarta terhadap kepuasan pelanggan dan memiliki dampak

Saat ini, saya sedang melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Antara Keseimbangan Tubuh Sebelum dan Sesudah Senam Pilates pada Wanita Usia Muda”.. Oleh sebab itu,

Data yang diperoleh dari hasil survey MWD pemboran berarah sumur X selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap trajectory pelaksanaan pemboran menggunakan persamaan