• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSESI ADAT RUWATAN RAMBUT GIMBAL DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH DI SEMBUNGAN, KEJAJAR, WONOSOBO, JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROSESI ADAT RUWATAN RAMBUT GIMBAL DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH DI SEMBUNGAN, KEJAJAR, WONOSOBO, JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PROSESI ADAT RUWATAN RAMBUT GIMBAL

DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH

DI SEMBUNGAN, KEJAJAR, WONOSOBO,

JAWA TENGAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

Irinna Ika Wulandari

NIM: 21111034

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALAT IGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Jika setiap cerita hidup kita selalu indah,

Kita tidak akan pernah bisa belajar tentang

ikhlas dan sabar

Ketika kehidupan tidak

kamu jalani dengan penuh kesungguhan,

maka kamu akan menjalaninya dengan penuh

kelemahan

Jika kita telah melakukan yang terbaik,

kita tidak akan memiliki waktu

(7)

PERSEMBAHAN

Atas rahmat dan ridho Allah SWT, karya skripsi ini

penulis persembahkan untuk:

Orang tua ku tersayang Bapak Muh Isom dan Ibu

Siti Munawaroh yang selalu memberikan do’a, kasih

sayang, semangat kepada ku, hormat dan baktiku

kan selalu tertuju untukmu. Mereka adalah

malaikat ku di dunia.

Adikku tersayang Dian Vera Rahmawati

terimakasih untuk do’anya semoga semua cita-cita

mu terwujud.

Kakek dan nenekku, Ngatemin dan Siti Fatimah

serta seluruh keluarga yang telah mendukungku.

Untuk keponakan ku tersayang Esa Bhakti Illahi

teruslah belajar yang rajin.

Sahabatku Nurul, Aini, Rosa terimakasih untuk

kebersamaan kita selama empat tahun ini semoga

persahabatan kita akan terus terjalin sampai

kapanpun.

Untuk Muhlasin terimakasih telah memberikan

motivasi dan dukungan.

Teman-teman ku seperjuangan AS angkatan 2011.

Teman-teman Pondok Salafiah Pulutan yang telah

(8)

terbaik. Terutama untuk mbk Imah, Nuril, dan Erni

terimakasih

Untuk mbk Nina, mbk Lita, ijah terimakasih untuk

kebersamaan kita.

Keluarga besar PMII Joko Tingkir kota Salatiga

terimaksih untuk kebersamaannya sahabat-sahabati.

Keluarga besar LPM Dinamika.

Semua Kyai Pondok Pesantren Salafiyah Pulutan

terimakasih atas bimbingan dan petuah-petuahnya.

Bapak H.Agus Ahmad Suaidi, M.A. yang telah

memberikan inspirasi dan bimbingan bagi penulis.

Bapak Sukron Ma’mun,S.HI.,M.Si sebagai dosen

pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

Gus Faid dan Gus Niam yang telah membantu

memberikan kritik dan saran bagi penulis.

Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga

Almamater tercinta Kampus INSTITUT AGAMA

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah

SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam

semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut

setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh

gelar kesarjanaan dalam Ilmu Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Sukron Ma‟mun,S.HI.,M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah

(AS).

3. Sukron Ma‟mun, S.HI.,M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah

dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan

waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini.

4. Heni Satar N,S.H.,M.Si selaku pembimbing akademik

5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak

(10)

6. Bapak dan ibu serta saudara-sadaraku di rumah yang telah mendoakan dan

mendukung penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh

kasih sayang dan kesabaran.

7. Masyarakat Desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo yang telah memberikan

penulis tempat dalam mengadakan penelitian, sehingga terselesainya skripsi

ini.

8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung

dalam penyelesaian skripsi ini.

Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang

setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya dengan tulisan ini semoga

bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb

Salatiga, 9 September 2015 Penulis,

(11)

ABSTRAK

Wulandari, Irinna Ika. 2016. PROSESI ADAT RUWATAN RAMBUT

GIMBAL DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH DI SEMBUNGAN, KEJAJAR, WONOSOBO. Skripsi. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri

Salatiga. Dosen Pembimbing: Sukron Ma’mun,S.HI., M.Si.

Kata Kunci: Fiqh Imam Abu Hanifah, Adat ruwatan rambut Gimbal

Perkembangan Islam di Indonesia mengalami proses yang berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan lainnya yang bermacam-macam. Salah satunya termasuk bersinggungan langsung dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka perlu ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat menjadi sumber hukum Islam ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Agama sebagai sistem nilai pasti akan mengalami proses akulturasi, terhadap kemajemukan budaya. Oleh karena itu, bagaimana hukum Islam menghadapinya dan mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul di masyarakat dengan baik serta mendatangkan kemaslahatan dari penetapan hukum dan menghindarkan dari kemudharatan.

Kemudian peneliti merumuskan sebagai berikut untuk mengetahui penyebab munculnya ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan, Kejajar,Wonosobo, untuk mengetahui prosesi ruwatan rambut gimbal, Untuk mengetahui bagaimana pandangan Fiqh Imam Abu Hanifah terhadap prosesi ruwatan rambut gimbal. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen.

Ruwatan rambut gimbal merupakan prosesi pemotongan pada anak

rambut gimbal yang bertujuan untuk menghilangkan bala‟/bencana rambut

gimbal, agar si anak memiliki rambut yang normal, pemotongan rambut

gimbal bersifat simbolis dari Tafa‟ul dengan maksud untuk memperoleh

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN LOGO ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

(13)

E. Rangkaian Prosesi Ruwatan... 44

1. Pra Acara ... 44

2. Prosesi Ruwatan... ... 44

3. Petugas Pencukur rambut gimbal... ... 47

4. Urutan Kirab Budaya ... 48

5. Daftar nama anak yang diruwat tgl 1 Agustus 2015 ... 51

F.Sejarah Mitos Kepercayaan ruwatan rambut gimbal ... 52

BAB IV : TRADISI RUWATAN RAMBUT GIMBAL DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH A. Tradisi dan Keyakinan ... 55

B. Prosesi dan Makna Ruwatan Rambut Gimbal ... 58

C. Prosesi Ruwatan Rambut Gimbal dalam Perspektif Fiqh Imam Abu Hanifah ... 64

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran-saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan sebagian besar penduduknya

beragama Islam. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami proses yang

berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan lainnya yang bermacam-macam.

Salah satunya termasuk bersinggungan langsung dengan tradisi dan budaya

masyarakat Indonesia. Namun bukan berarti tradisi dan budaya yang telah ada

hilang begitu saja. Berkenaan dengan itu, maka perlu ditegaskan bahwa

unsur-unsur budaya lokal yang dapat menjadi sumber hukum Islam ialah

yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Yaitu tidak ada unsur yang bertentangan dengan dalil syara‟ yang dilarang.

Agama sebagai sistem nilai pasti akan mengalami proses akulturasi

(KBBI,1989:18) dan kolaborasi terhadap kemajemukan budaya sebagai hasil

tindakan manusia maupun kemajemukan budaya yang masih berada pada

pemikiran dan sikap manusia. Oleh karena itu, bagaimana hukum Islam

menghadapinya dan mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul di

masyarakat dengan baik serta mendatangkan kemaslahatan dari penetapan

hukum dan menghindarkan dari kemudharatan. Tradisi dan budaya

merupakan warisan bangsa yang tidak ternilai harganya, karena itu menjadi

kewajiban dan tanggung jawab bangsa Indonesia untuk melestarikan

keberadaannya sehingga tidak punah begitu saja. Ruwatan merupakan prosesi

adat rambut gimbal (gembel) yang dilakukan masyarakat Sembungan,

(15)

rambut gembel agar si anak memiliki rambut yang normal, selain itu si anak

yang dicukur rambutnya agar memperoleh keberkahan dan kesehatan serta

untuk menjalankan ajaran leluhur mereka. Upacara ruwatan cukur rambut

gimbal di Sembungan ini sudah menjadi agenda tahunan yang dilaksanakan

oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Dan kegiatan ini selalu mengundang

ribuan orang untuk mengunjunginya. Setiap anak yang berambut gimbal

harus melewati prosesi “ruwatan”.

Ruwatan menurut bahasa Jawa berarti “lepas” yang bermakna lepas dari

karakteristik sebagai anak gimbal, dengan cara mencukur rambut gimbalnya.

Supaya rambut gimbal nya tidak akan tumbuh gimbal lagi. Anak-anak

gembel tersebut sering disebut anak sukerta (diganggu). Anak sukerta adalah

anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari Bathara kala. Agar kembali

menjadi anak yang wajar maka harus disucikan dan dibersihkan gimbalnya.

Proses menghilangkan sesuker rambut gimbalnya itulah yang dinamakan

Ruwatan. Rambut ini muncul pertama kali disertai demam tinggi dan

menggigau (ngrumil) merupakan bahasa Dieng saat tidur. Gejala ini baru

berhenti dengan sendirinya ketika rambut sang anak menjadi kusut (gimbal)

dan menyatu antara yang satu dengan lainnya, menyerupai rambut

orang-orang rastafara Jamaica. Menurut kepercayaan setempat anak berambut

gimbal ini merupakan keturunan orang pertama yang hidup di dataran tinggi

Dieng yaitu Kyai Kolodete, bagi mereka anak gimbal adalah anak titipan

leluhur yang harus mereka jaga.

(16)

merupakan manusia pertama yang melakukan babat alas Dieng. Kyai

Kolodete diyakini memiliki rambut panjang dan gembel (gimbal) yang

kemudian sebelum beliau meninggal mewasiatkan rambut gembelnya akan

dititipkan pada anak cucu dan keturunannya. Kyai Kolodete memang

menyukai anak-anak dan akan menurunkan gimbalnya pada anak-anak,

namun tidak semua anak Dieng berambut gimbal. Hanya mereka yang terpilih

atau nasib anak itu masing-masing.

Ada juga yang percaya rambut gimbal merupakan bala‟/ bencana sehingga

anak yang telah dipotong rambut gimbalnya dipercayai akan tumbuh menjadi

anak baik panjang umur, dan banyak rezeki. Sebaliknya jika tidak dicukur,

dia akan tumbuh menjadi anak nakal dan selalu mengalami masalah, oleh

karena itu ruwatan pemotongan rambut gimbal menjadi tradisi yang sejak

dulu terus dipertahankan sampai sekarang. Kepercayaan secara turun temurun

dan terus diyakini seseorang yang dianggap diluar kewajaran memang

terkadang aneh dan tidak masuk akal (irasional), akan tetapi bagaimanapun

juga hal ini merupakan hak asasi kepercayaan setiap orang. Anak yang

berambut gimbal cenderung lebih aktif bahkan nakal di bandingkan pada

anak umumnya. Anak-anak berambut gimbal di Dieng biasanya diperlakukan

istimewa oleh keluarga dan masyarakat sekitar karena memiliki kelebihan

dibanding dengan anak lain sebayanya. Dan biasanya memiliki permintaan

yang sering diluar dugaan, anak-anak gimbal ini belum akan dipotong

rambutnya sampai anak tersebut meminta dengan sendirinya atau atas inisiatif

(17)

Kemudian sang anak akan mengatakan permintaannya, dan permintaan ini

pun sering diluar dugaan orang tuanya seperti minta telur satu keranjang,

minta tikus, minta gethuk, dan sebagainya. Dan permintaan ini tidak akan

berubah dari sejak pertama dia bicara sampai ketika akan dilakukan ruwatan

pemotongan. Hal ini nampaknya aneh tapi itulah kenyataan yang ada. Anak

gimbal tidak terlahir gimbal namun tumbuh pada usia 2-5 tahun, gejala awal

yang muncul anak panas antara 1-2 minggu tidak kunjung sembuh, setelah

beberapa hari kemudian akan tumbuh gimbal pada bagian rambut kepalanya.

Dan jika rambut itu dipotong sewaktu-waktu tanpa melalui prosesi ruwatan

anak itu bisa sakit.

Prosesi yang dilakukan selama ruwatan di desa Sembungan

menggunakan cara islam yang sedikit digabung dengan adat jawa dengan

adanya ingkung, tumpeng rombyong, (nasi tumpeng diberi tusukan-tusukan

jajanan pasar) yang nantinya semua itu akan dimakan bersama oleh

pengunjung. Iringan solawat atau rebana, pengajian dan doa-doa tolak bala

(bencana) dikumandangkan saat prosesi cukur rambut gimbal. Setelah

sholawat atau rebana kemudian dibuka dengan sambutan oleh salah satu

pelaksana upacara. Kemudian setelah sambutan-sambutan selesai maka

prosesi upacara pun dimulai. Prosesi cukur rambut gimbal di Sembungan

dilaksanakan di sekitar Telaga Cebong, permintaan anak dipenuhi dan rambut

siap dipotong. Doa-doa Islam dikumandangkan oleh Kyai setempat prosesi

ruwatan dilanjutkan dengan larungan dimana rambut yang sudah dipotong

(18)

sholawat Nabi dan musik rebana. Kegiatan Terakhir adalah makan tumpeng

Robyong (berbentuk tumpeng nasi putih di atasnya ditancapkan jajan pasar)

dan jajanan pasar dari warga sekitar secara bersama-sama. Kemudiaan

dimeriahkan oleh pawai budaya. Dengan urut-urutan Kesenian Thek-thek

(angklung), pembawa song-song agung (pembawa payung besar), pembawa

jajanan pasar, pembawa bucu robyong (nasi tumpeng di tusuki jajanan pasar),

pembawa bebana (permintaan anak gimbal), pasukan tombak, anak berambut

gimbal, rebana, kesenian kuda kepang, kelompok anak-anak (terdiri dari

kelomok anak-anak sekolah), kesenian angguk (syair-syair Islam), kelompok

masyarakat dan keluarga anak yang diruwat, kesenian liong (naga), dan

terakhir masyarakat desa.

Fenomena anak gimbal ini memang sudah lazim di kalangan

masyarakat Sembungan. Namun bagi orang luar, peristiwa ini adalah sesuatu

yang aneh, unik, dan mungkin sulit diterima dengan logika. Yang jelas,

anak-anak gimbal ini ibarat menjadi “raja” yang akan dikabulkan semua

keinginannya hingga masa ketika tiba waktu untuk dipotong mahkota “

rambut gimbalnya”.

Ruwatan merupakan tradisi yang sebenarnya sudah mengadopsi ajaran

Islam, ruwatan yang dilakukan masyarakat Sembungan merupakan prosesi

pemotongan rambut anak Gimbal dengan tujuan untuk keselamatan dari anak

yang akan diruwat, di dalam Islam sendiri Slametan (doa, ucapan pernyataan

dan sebagainya yang mengandung harapan supaya sejahtera, beruntung tidak

(19)

inginkan atau dengan kata lain untuk meminta keselamatan dan kesehatan

kepada Allah untuk seseorang dengan mengundang orang untuk melakukan

makan bersama maupun melakukan doa bersama.Makanan yang dihidangkan

dalam suatu acara selametan (doa, ucapan pernyataan dan sebagainya yang

mengandung harapan supaya sejahtera,beruntung tidak kurang satu apapun)

merupakan sedekah/Sodakoh untuk keselamatan, yang artinya secara

langsung bermakna keberuntungan bagi orang-orang yang diundang, karena

ketika masyarakat datang mendapatkan rezeki bisa makan bersama. Selain

selametan ada juga pembacaan sholawat, sholawat yang berarti memuji

mengagungkan Rosullullah, dan membuat wasilah dengan membaca

sholawat. Barang siapa yang membaca sholawat untuk nabi, maka akan

menjadi cahaya nanti di hari akhir.

Para ulama ushul fiqh memberikan definisi adat sebagai berikut

ََكَتُلمْاُرْمَلأا

َْنِمُرِّر

َ

ٍَةَّيِلْقَعٍةَقَلاَعِْيَْغ

“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”

Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan

secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi

ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas,

yang menyangkut masalah pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,

makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang

menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil

(20)

seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis, disamping itu

adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi,

sebagaimana adat juga bisa muncul dari kasusu-kasus tertentu, seperti

perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing. Adapun

„urf menurut ulama ushul fiqh Mushtafa Ahmad al-Zarqa dalam buku Haroen

(1996:138) adalah:

َ ٍلْعِفَْوَأَ ٍلٍْوَ قَِْفٍَْمْوَ قَِرْوُهُْجَُُةَدَاع

َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ

Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan

Di dalam Al Qur‟an jugs telah dijelaskan jika meminta perlindungan memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik).” (QS. Yunus: 106).

ََو

(21)

Dasar kaidah yang lain adalah adalah Firman Allah, Surat Al-A‟raf: 199).

ََيِلِىاَْلْاَِنَعَْضِرْعَأَوَ ِفْرُعْلاِبَْرُمْأَوََوْفَعْلاَِذُخ

َََََََََََََ

ََََََََََََََََََََََ

ََََ

“Berikanlah maaf dan perintahkanlah mengerjakan ma‟ruf dan

berpalinglah dari orang-orang jahil / bodoh” (QS. Al-A‟raf: 199)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana praktek ruwatan terhadap anak gimbal di Sembungan bisa

muncul?

2. Bagaimana prosesi ruwatan rambut gimbal di Sembungan berlangsung?

3. Bagaimana pandangan Fiqh Imam Abu Hanifah terhadap prosesi ruwatan

rambut gimbal di Sembungan?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui penyebab munculnya praktek ruwatan rambut gimbal

masyarakat Sembungan, Kejajar, Wonosobo.

2. Untuk mengetahui prosesi ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan,

Kejajar, Wonosobo.

3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan fiqh Imam Abu Hanifah

terhadap prosesi ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan, Kejajar,

(22)

D. MANFAAT

1. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti , untuk mengetahui bagaimana dan apa saja yang ada

dalam prosesi ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan, Kejajar,

Wonosobo.

b. Bagi ilmu hukum untuk mengetahui adakah hal-hal yang tidak sesuai

dalam prosesi ruwatan dengan hukum Islam.

c. Bagi masyarakat agar masyarakat paham mengenai aturan-aturan hukum

yang berlaku dalam syariat Islam dan melestarikan kebudayaan yang telah

ada.

2. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis ini berdasarkan teori-teori yang dapat digunakan

sebagai salah satu cara untuk memahami bagaimana pandangan hukum

Islam terhadap prosesi ruwatan rambut gimbal.

E. PENEGASAN ISTILAH

1. Pandangan : Sesuatu yang dapat dipandang (dalam arti kiasan juga)

(Kamus Besar Bahasa Indonesia,1976:704).

2. Hukum : Peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan/ adat yang dianggap

berlaku oleh dan untuk orang banyak( Kamus besar bahasa Indonesia,

1976:363)

3. Islam : Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW( kamus besar

(23)

4. Prosesi : Pawai atau perarakan dengan upacara( kamus besar bahasa

indonesia,1976:769)

5. Adat : aturan (peraturan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak

dahulu kala (kamus besar bahasa indonesia,1976:15).

6. Ruwatan : adalah upacara membebaskan orang dari nasib buruk yang

akan menimpa (kamus besar bahasa indonesia,1976:842)

7. Rambut : adalah bulu yang berutas-utas halus yang tumbuh di kepala/

tubuh ( kamus besar bahasa indonesia,1976:795)

8. Gimbal : adalah lebat dan tidak teratur (kamus besar bahasa indonesia

http://ebsoft.web.id)

F. TINJAUAN PUSTAKA

Adat memanglah sesuatu yang sudah ada dan tidak dapat dihilangkan.

Yang lahir secara turun-temurun dari para leluhur. Seperti dalam kaidah adat

kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum.

Pada penelitian Sebelumnya Tradisi Ruwatan Laut dalam Perspektif

Hukum Islam (di kelurahan kangkung kecamatan Teluk Betung selatan kota

bandar lampung) skripsi yang ditulis oleh Riki Dian Saputra UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta menerangkan Ruwatan laut merupakan akulturasi antara

budaya dan agama, karena dengan melaksanakan ruwatan laut tersebut ada

pelestarian nilai-nilai sosial keagamaannya. Terlepas dari tradisi ruwatan laut

masyarakat muslim kelurahan kangkung bahwa pada dasarnya untuk

(24)

beragama di dalam masyarakat disana, maka tradisi tersebut masih tetap

dilaksanakan.

Kemudian, Tradisi Upacara Ruwatan Ruwah Desa (Studi Kasus di Desa

Gemurung Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo) skripsi yang ditulis

oleh saudari Khoirotun Nasifah 2012 (digilib.uinsby.ac.id/1/240/4/bab1/pdf)

menyimpulkan bahwa upacara Ruwah Desa merupakan suatu tradisi

masyarakat Gemurung yang biasa diadakan setahun sekali dalam bulan ruwah

yang telah menjadi tradisi sejak lama di desa tersebut. Pada dasarnya upacara

Ruwah Desa yang diadakan di Desa Gemurung merupakan realisasi tradisi

nenek moyang yang dikenal secara mandalam dikalangan masyarakat dengan

istilah mengikuti orang terdahulu. Masyarakat Gemurung menganggap

dengan mengadakan upacara Ruwah Desa tersebut merupakan upacara ibadah

dalam ajaran Islam karena sabagian dapat lebih mendekatkan diri kepada

Allah karena telah diberi rizki dan menjadikan desanya sejahtera tentram

serta penghasilan desa sangat baik. Di dalam pandangan hukum Islam,

tindakan masyarakat Gemurung yang tergolong santri mereka menyebutkan

bahwa upacara Ruwah Desa yang mereka lakukan hanyalah niat untuk

sedekah kepada Allah agar desanya terhindar dari bahaya dan tidak terdapat

unsur syirik, khurafat ataupun tahayul. Karena dalam upacara tersebut diisi

dengan nilai-nilai keislaman seperti khataman. Dilanjutkan Shalat Ashar

berjamaah, Istighosah dan pembacaan Yasiin dan tahlil, pengajian dan

(25)

Dengan demikian, upacara Ruwatan Desa di desa Gemurung tidak

bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak ada unsur penyembahan

ataupun yang lainnya.

Penelitian-penelitian terkait dengan anak gembel di Dieng diantaranya

adalah skripsi Heri Cahyono,mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

yang berjudul ”Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kecamatan

Kejajar Kabupaten Wonosobo” (2008,Perpustakaan Digital UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta). Dalam penelitian ini Cahyono menerangkan

bagaimana asal mula tradisi ruwatan cukur anak gimbal di Desa Dieng.

Dijelaskan juga bagaimana prosesi ruwatan serta makna upacara ruwatan bagi

masyarakat. Dalam penelitian ini, Cahyono hanya menjelaskan asal-usul,

prosesi dan makna ritual secara umum.

Sedangkan fokus penelitian skripsi yang akan dilakukan oleh penulis

adalah untuk memberikan penjelasan dan gambaran tentang Prosesi Ruwatan

Rambut Gimbal (di desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo) dalam Perspektif

Fiqh Imam Abu Hanifah.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian,

peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan

menggunakannya sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi.

(26)

penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan

prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi

pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut Taylor dalam (Moleong,

2002:3) penelitian kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dari pengertian tersebut, sudah

tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan berada pada

latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan

melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan

dokumen.

Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang menghasilkan

data tertulis. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan oleh penulis

adalah diskripsi. Penelitian diskripsi menurut (Suryabrata, 1998:19) adalah

penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan uraian, paparan

mengenai situasi kejadian-kejadian.

2. Kehadiran Peneliti

Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan

melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian

sehingga sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara

sumber yang ada. Penelitian akan dilaksanakan di Desa Sembungan

Kecamatan Kejajar Wonosobo, Jawa Tengah. Sembungan sendiri

merupakan tempat yang terdapat rambut Gimbal sejak dari dahulu,

(27)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo

Jawa Tengah pada tahun 2015.

4. Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari

informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi

yang menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang

terkait dengan judul yang diteliti.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting

dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk

mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan

diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data:

a. Observasi Langsung

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara

sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. di

dalam penelitian peneliti mengobservasi prosesi ruwatan atau

pemotongan rambut gimbal. Menurut (Nawawi,1990:100)

observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan

secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek

penelitian. Dalam observasi ini penulis mengamati prosesi

rangkaian acara Ruwatan rambut gimbal dari Awal sampai akhir

(28)

b. Wawancara

Yakni percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011:186) nara

sumber yang diwawancara meliputi Kadus desa Sembungan, tokoh

agama, ketua kelompok sadar wisata (Pokdarwis), anak yang

berambut gimbal, orang tua anak berambut gimbal, serta

masyarakat.

c. Dokumen

Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah

direkam tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut

tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar

(Daymon,2008:3) metode ini digunakan untuk memperluas

pengamatan dan pengumpulan data. Data yang diambil berasal dari

catatan hasil wawancara, dan foto-foto dokumentasi.

6. Analisis Data

Menurut (Muhadjir,1994:104) menyatakan, analisis data

merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis

catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan

pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya

sebagai temuan bagi orang lain. Penulis akan menunjukkan laporan

(29)

penyajian laporan. Data yang penulis sajikan seperti naskah

wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya.

7. Keabsahan Data

Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam

kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa

yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam

penelitian. Metode yang digunakan dalam pengecekan keabsahan

data:

a. Triangulasi Sumber

Yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan

alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek

informan satu dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini

dapat diukur benar tidaknya kenyataan yang ada.

b. Triangulasi metode

Yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil

penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan sumber data

dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam metode

ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil

observasi yang dilakukan .

8. Tahap-tahap Penelitian

Menurut (Moloeng,2002:84-105) tahap-tahap penelitian yang

(30)

a. Tahap Pra lapangan

1. Mengajukan judul penelitian

2. menyusun proposal skripsi

3. Konsultasi penelitian kepada pembimbing

b. Tahap pekerjaan lapangan

1. Persiapan diri untuk memasuki lapangan

2. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus

penelitian

3. Pencatatan data yang telah dikumpulkan

c. Tahap analisis data

1. Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian

2. pengecekan keabsahan data

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini,

peneliti menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika

penulisan ini ada lima macam bab, yang masing-masing membahas

masalah yang berbeda. Akan tetapi, hal itu merupakan satu kesatuan

yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab tersebut adalah

sebagai beriku:

Bab pertama, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk

memberikan gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan

memuat pembahasan yang meliputi latar belakang yang berisi

(31)

Bab kedua, bab ini membahas landasan teori yang menyangkut

pandangan fiqh Imam Abu Hanifah mengenai adat, kepercayaan,

serta ruwatan itu sendiri dan peneliti-peneliti sebelumnya yang telah

melakukan penelitian tentang ruwatan. Bab ini dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang masyarakat dan lingkungan yang

menjadi latar belakang ritual adat ruwatan rambut gimbal serta fiqh

Imam Abu Hanifah yang menjadikan landasan teori.

Bab ketiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data

penelitian yang mencakup setting penelitian yang telah dinarasikan

oleh penulis agar mudah dipahami oleh pembaca. Setting penelitian

tersebut berisi letak geografis, demografis, dan aspek keadaan

penduduk sekitar. Kedua: asal-usul ruwatan yang tidak patut untuk

dilupakan, karena sejarahlah yang membuat semua itu ada. Ketiga,

pelaksanaan prosesi adat ruwatan rambut gimbal yang kemudian

dilanjutkan dengan deskripsi prosesi ini yang dapat dibuktikan

dengan adanya waktu dan tempat yang telah ditentukan, pelaku,

perlengkapan dan mekanisme ruwatan rambut gimbal. Dari semua

deskripsi yang ada pada bab tiga, tidak lain merupakan hasil dari

observasi, wawancara dan dokumentasi dari penelitian prosesi adat

ruwatan rambut gimbal.

Bab keempat, analisa terhadap prosesi adat ruwatan rambut

gimbal di Sembungan, Kejajar, Wonosobo menurut tinjauan fiqh

(32)

Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil

pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran,

(33)

BAB II

Ruwatan menurut Fiqh A. Adat Istiadat (Al-‘urf)

Secara etimologi „Urf

فرعلا

berarti “yang baik”. Para ulama ushul

fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya

sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟.„Urf menurut

ulama ushul fiqh Mushtafa Ahmad al-Zarqa dalam buku Haroen (1996:138)

adalah:

َ ٍلْعِفَْوَأَ ٍلٍْوَ قَِْفٍَْمْوَ قَِرْوُهُْجَُُةَدَاع

َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ

َ

َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ

Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan

Beliau mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat, karena

adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf, menurutnya harus berlaku pada

kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok

tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam

kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman,

seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang

menetapkan bahwa harus diadakannya ruwatan pemotongan rambut gimbal

pada anak berambut gimbal di Dieng. Macam-macam „urf menurut

pemaparan Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku Haroen (1996:139)

(34)

1. Dari segi obyeknya

a. Al-„urf al-lafzhi

يظفللاَ فرعلا

adalah kebiasaan masyarakat dalam

mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan

sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas

dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” mencakup

seluruh daging yang ada.

b. Al-„urf al-„amali

يلمعلاَ فرعلا

adalah kebiasaan masyarakat yang

berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan. Yang

dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah

kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.

Seperti kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam

acara-acara khusus.

2. Dari segi cakupannya‟urf terbagi dua

a. Al-„urf al-„am

ماعلاَ فرعلا

adalah kebiasaan tertentu yang berlaku

secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.

b. Al-„urf al-khash

صاخاَفرعلا

adalah kebiasaan yang berlaku di daerah

dan masyarakat tertentu. „Urf al-khash seperti ini menurut Mushthafa

Ahmad al-Zarqa‟ tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang

(35)

a. Al-„urf al-shahih

حيحصلاَفرعلا

adalah kebiasaan yang berlaku di

tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash(ayat atau

hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, tidak pula membawa

mudarat kepada mereka.

b. Al-„urf al-fasid

دسافلاَ فرعلا

adalah kebiasaan yang bertentangan

dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟.

Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai para ulama ushul fiqh

merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan „urf, diantaranya

yang paling mendasar

1.

ٌَةَمَّكََمََُةَّداَعلا

Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum

2.

َِةَنِكْمَلأْاَوَِةَنِمْزَلأْاُِّيَْغَ تِبَِمَاكَحَلأْاُرُّ يَغَ تَُرَكْنُ يَلٍ

Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

3.

ًَاطْرَشَِطْوُرْشْمْل

ََاكًافْرُعَُفْوُرْعَلما

Yang baik itu menjadi „urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat

4.

َِّصَّنلَِابَ ِتِباَّشلَاَكَ ِفْرُعْلِابَُتِباَّشلا

Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat atau hadis)

Syarat-syarat ‘Urf

„urf dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum

(36)

1. „Urf itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat

perbuatan dan ucapan berlaku secara umum. Artinya, „urf itu berlaku

dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan

keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.

2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan

hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum

itu lebih dahulu ada, sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

3. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam

suatu transaksi. Artinya dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak

telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.

4. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum

yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. „urf seperti ini tidak bisa

dijadikan dalil syara‟, karena kehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak

ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

Legalitas Al-‘Urf

Jumhur fuqaha‟ mengatakan bahwa al-„urf merupakan hujjah dan

dianggap sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada

dalil-dalil sebagai berikut.

1. Firman Allah Saw :

ََيِلِىاَْلْاَِنَعَْضِرْعَأَوَ ِفْرُعْلاِبَْرُمْأَوََوْفَعْلاَِذُخ

(37)

Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika

tidak wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT.

2. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia

juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang

dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah dan

jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.

3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab

dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan

kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda

kepada pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah

membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti

mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta

warisan Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.

4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan

memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan

sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya

dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Agar mereka

tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus mengakui adat kebiasaan mereka

(38)

B. Ruwatan merupakan bagian dari Tafa’ul

Tafa‟ul adalah mengharapkan kebaikan dari suatu tindakan dan

lawan dari Tafa‟ul adalah Tafaum yang artinya pesimis, dan Tafaum

dilarang dalam Islam. Tafa‟ul telah dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.

Dalam sebuah hadis Rasululullah saw bersabda:

َُلََاقَ.َُلْاَفلَْاَِنىُبِجْعُ يََوََةَرَ يِطََلٍَوَىَوَْدَعََلٍ

َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََُةبِّيَطًَةَمِلَكَ:ََلٍََاقََ؟ُلَْاَفلَْاََامَوَ:َْاْو

َ

“Tiada jangkitan penyakit (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada

kesialan sesuatu, akan tetapi aku menyukai al-fa‟l”. Para sahabat bertanya:

“Apa itu al-Fa‟l, ya Rasulullah?” Baginda menjawab: “Kalimah/ucapan yang

baik”. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Anas ra)

Al-Fa‟l menurut ulama bermaksud seseorang mendengar atau terdengar

suatu ucapan yang baik. Contohnya ada seorang yang sakit, lalu kawannya

datang dan menziarahinya. Ketika hendak masuk, kawan itu berkata: “Ya

Salim (yang bermaksud: “Wahai orang yang sehat/selamat”). Dengan

panggilan itu ia menaruh keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan sehat atau

selamat. Menaruh keyakinan atau harapan seperti ini disebut al-Fa‟l atau at

-Tafa‟ul.

Rasulullah membenarkan al-Fa‟l atau at-Tafa‟ul karena ia berprasangka

baik (husnudzan) kepada Allah atau menaruh harapan kepadaNya, dimana

setiap mukmin diperintahkan supaya senantiasa berprasangka baik kepada

Allah setiap saat.Contoh hadis Nabi tentang Tafa‟ul yaitu Hadis riwayat Abu

Qatadah:

(39)

menyenangkan hendaklah dia meludah ke samping kiri sebanyak tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatannya sehingga mimpi itu tidak akan membahayakannya. (Shahih Muslim No.4195) dan harapannya setan yang mengganggunya pergi.

Sama hal nya dengan ruwatan, orang-orang yang melakukan ruwatan

mengharap kebaikan dari tindakan itu dengan meminta kepada Allah.

Seperti dengan memotong rambut gimbal, dan membuang rambut

gimbalnya yang hanya bersifat simbolis, mengharap yang baik untuk masa

yang akan datang. Namun jika beranggapan dengan niat memotong rambut

gimbal akan membuang bala‟ bencana atau sial maka termasuk musyrik.

contohnya bala hilang dan tersingkir dari si anak. Sial ataupun beruntung

itu datangnya hanya dari Allah Ta‟ala, maka mestinya meminta hanya

kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.

Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal

nasib buruk karena melihat burung, binatang dan lainnya, atau apa saja. ( http://www.arrahmah.com/news/2014/10/24/ruwatan-dan-bahayanya-bagi-aqidah-islam.html)

Dalam Mashlahah Mursalah, yaitu kebaikan (mashlahah) yang tidak

disinggung-singgung syara‟, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya.

Sedang kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari

keburukan. Dalam prakteknya mashlahah tidak banyak berbeda dengan

istihsan. Perbedaannya, istihsan ialah mengecualikan suatu hukum dari

peraturan umum yang ditetapkan qiyas, sedang mashlahah murshalah tidak

(40)

1. hanya berlaku dalam masalah muamalat

2. tidak berlawanan dengan maksud syar‟iat atau salah satu dalilnya yang

sudah dikenal.

3. mashlahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh

masyarakat.(Hanafie,1993:144)

Mashlahah yang terdapat dalm ruwatan diantaranya seperti:

1. menguatkan tali Silaturahmi

Pada saat hari pelaksanaaan ruwatan pemotongan rambut gimbal

masyarakat berkumpul di telaga Cebong ikut menghadiri acara ruwatan

dan dijadikan sebagai ajang silaturrahmi antar masyarakat. Sebagaimana

dijelaskan dalam hadis berikut:

“Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya maka

hendaknya menyambung hubungan keluarga (silaturrahmi)” (HR.

Bukhari Muslim).

2. Membaca Sholawat

Sholawat yang berarti memuji mengagungkan Rosullullah, dan

membuat wasilah dengan membaca sholawat. Barang siapa yang

membaca sholawat untuk nabi, maka akan menjadi cahaya nanti di hari

akhir.

3. Bersedekah

Sedekah/Sodakoh untuk keselamatan, yang artinya secara langsung

(41)

masyarakat datang mendapatkan rezeki bisa makan bersama. Sedekah ini

berasal dari orang-orang yang akan melakukan ruwatan kemudian

disedekahkan kepada masyarakat yang datang.

اَذَىَ َلََاقَ.َِءْوُسلاََةَتْيمَُعَفَْدَتَوَِّبَّرلاََبَظَغَُءِىفْطُتَلََةَقََدَّصلاٌَنِا

َ

ٌَثْيِدَح

َِوْجَوْلاَاَذَىَْنِمٌَبْيِرَغ

َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ

Artinya : “Sungguh shadaqah itu dapat menghilangkan amarah Tuhan dan dapat menolak (cara) mati yang buruk.”

4. Membaca doa-doa

Dengan menyebut nama Allah saya bertawakkal kepada Allah. Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung diri kepadaMu dari sesuatu yang menyesatkan, dari suatu yang menggelincirkan atau digelincirkan dari suatu yang menganiaya atau teraniaya, atau dari sesuatu yang membodohkan atau diperbodohkan (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Dalam kitab Fiqhul Akbar karangan Imam Abu Hanifah menjelaskan

تناكَنإوَبونذلاَنمَبنذبَاملسمَرفكنَلٍو

َ

َاهلحتسيَلمَاذإَ,ةيْبك

ََََََََََََََََ

َ

ََََََََ

ََََََََََََََََََََََََََََََََ

َََََََ

ََ

kita tidak mengkafirkan orang muslim, meskipun melakukan dosa. Meskipun dosa besar, selama tidak menghalalkan dosa itu”.(Alkidah Wal ilmu Kalam:621).

(42)

menjelaskan haramnya berkata kepada orang muslim: Hai orang kafir.

Sebagai berikut(Zakariya:565)

Dari Abu Dzarr ra. Bahwasanya ia mendengar Rasullullah saw

bersabda “Barang siapa yang memanggil orang lain dengan sebutan kafir

(musuh allah) “padahal orang yang dipanggilnya itu tidak demikian

kenyataannya maka hal itu, akan kembali kepada seseorang yang

mengucapkannya sendiri(HR Bukhari dan Muslim).

Metode Istinbath yang digunakan Abu Hanifah:

“Saya berpegang pada kitab Allah, jika tidak saya mengambil sunah rasulullah SAW, jika tidak aku dapati juga dikitab Allah dan sunnah rasulnya, saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan

meninggalkan pendapat yang tidak aku kehendaki pula”.

Abu hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum

berpegang kepada beberapa dalil syara‟ yaitu alqur‟an, sunnah, ijma‟,

sahabat, qiyas, istihsan dan „Urf.

Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu

selain Allah dan disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan

uluhiyyah. Umumnya, menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah yaitu

hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain

Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih

(kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya. Berbuat

syirik berarti mendasarkan sesuatu yang tidak berhak kepada yang

berhak, yakni Allah, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar.

(43)

saw. : saw. dosa apakah yang lebih besar menurut Allah ? Beliau menjawab : “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dial ah yang menciptakanmu” (HR. Bukhari dan Muslim )

Ciri-ciri syirik diantaranya menyembah selain Allah,

menyekutukan Allah, dan mengharap kepada selain Allah. Secara umum,

syirik dimasukkan ke dalam tiga kelompok, yaitu Syirik besar dan Syirik

kecil dan syirik tersembunyi. Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya

dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia

meninggal dunia dan belum bertaubat kepada Allah. Syirik besar adalah

memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a

kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan

penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk

kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang

tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat.

Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan

dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama

selain Allah. "Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka

ia telah berbuat kufur atau syirik." HR. At-Tirmidzi (No.1535)

(44)

kehendak hati, ucapan lisan, berupa penyerupaan antara Allah dengan

"Sesungguhnya, terkadang seseorang mungkin mengucapkan suatu perkataan yang membuat Allah murka, yang ia tidak melihatnya itu berbahaya, padahal perkataannya itu mengantarkannya ke neraka selama tujuh puluh musim semi." (HR. Ibnu Majah)

Syirik Tersembunyi sebenarnya dapat digolongkan ke dalam

syirik kecil. Sehingga syirik dapat dibagi menjadi dua jenis syirik besar

yang terkait dengan keyakinan hati, dan syirik kecil yang terkait dengan

perbuatan, perkataan lisan dan motivasi hati yang tersembunyi.

( http://abufathirabbani.blogspot.co.id/2012/11/syirik-pengertian-sebab-sebab-dan-jenis.html)

Mengenai larangan seseorang merasa sial telah di jelaskan dalam

hadis yang ditulis oleh Drs. Muslich Shabir adalah sebagai berikut sial dengan sesuatu apapun” ( Riwayat Abu Daud).

(45)

“Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasullullah Saw bersabda:

“ Tidak ada sakit menular dan tidak ada kesialan karena sesuatu dan seandainya hal itu terjadi maka hanya terbatas dalam rumah, istri, dan kuda( binatang)”. ( Riwayat Bukhari- Muslim)

Sebagaimana juga dalam ayat Alqur‟an telah dijelaskan larangan

berbuat syirik sebagai berikut :

َِوَّللاِبَ ْكِرْشُيَْنَمَوَُءاَشَيَْنَمِلَ َكِلَذََنوُدَاَمَُرِفْغَ يَوَِوِبَ َكَرْشُيَْنَأَُرِفْغَ يَلٍََوَّللاََّنِإ

“Sesungguhnya Allah tiada mengampuni, jika Dia dipersekutukan dengan lainNya dan Dia akan mengampuni (dosa) yang kurang itu,bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa mempersekutukan Allah, sesungguhnya ia telah memperbuat dosa yang besar”. ( An nisa‟48)

ََنوُرَأَْتََِوْيَلِإَفَُّرُّضلاَُمُكَّسَمَاَذِإََُّثَُِوَّللاََنِمَفٍَةَمْعِنَْنِمَْمُكِبََمَو

"Apa-apa nikmat yang ada padamu, maka ia dari pada Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kemudlaratan, maka kepada Nya kamu minta pertolongan")Surat An- Nahl 53)

(46)

C. Harmoni Islam dan Budaya Jawa

Menurut pemaparan John M. Echols dan Hassan Shadily dalam

Kamus Bahasa Inggris Indonesia yang dikutip oleh Roqib kata harmoni

berasal dari bahasa Inggris harmonius yang berarti rukun, seia sekata.

Harmonize yang berarti perpadanan, seimbang, cocok, berpadu yang

berarti keselarasan keserasian. Harmoni yang sebenarnya ialah, jika

semua interaksi sosial berjalan secara wajar dan tanpa adanya

tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya

kebebasan. Keharmonisan sosial menjadi harapan setiap individu.

Semua agama mengajarkan agar pemeluknya hidup damai dan

harmonis, baik secara internal maupun eksternal. Dalam Islam,

kerukunan dan keharmonisan sosial ditemukan diantaranya dalam

konsep ukhuwwah atau persaudaraan. (Roqib, 2007:21-22)

Menurut pemaparan Kuntowijoyo interaksi antara agama dan

kebudayaan dapat terjadi dengan: (1) Agama mempengaruhi

kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tapi

simbolnya adalah kebudayaan. (2) Kebudayaan dapat mempengaruhi

simbol agama (3) Kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan

simbol agama. (Roqib,2007:6) Masyarakat Jawa adalah masyarakat

yang menjunjung tinggi budaya unggah-ungguh atau tatakrama. Ada

sebutan mikul duwur mendem jero (mengangkat tinggi dan mengubur

dalam-dalam) digunakan untuk memberikan pesan agar orang berkenan

(47)

begitu tidak baik), tidak baik dinyatakan dengan ora ilok, menunjukkan

bahwa ada kesan sakral, dan masih banyak istilah yang dipakai oleh

orang jawa (Roqib,2007:7).

Hubungan selamatan dengan keharmonisan seperti dengan

membuat nasi golong (nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola

tennis) yang dimaksudkan untuk melambangkan kebulatan tekad yang

manunggal atau golong gilig (Giri,2009:23) beserta lauknya yang

berupa ikan, itu berarti kita harus terus menerus melestarikan tumbuhan

yang berdaun lebar untuk membungkus nasinya, juga harus

melestarikan laut dan sungai agar tetap menjadi sumber kehidupan bagi

ikan. Inilah yang membuat sumber kehidupan semakin harmonis

(Roqib, 2007:54). Dalam Serat Wurwakala yang dikutip oleh Roqib,

selain selametan di Jawa ada istilah ruwatan, yaitu upacara pembebasan

bagi anak atau orang yang kehadirannya di dunia ini dianggap tidak

menguntungkan atau karena melakukan perbuatan-perbuatan terlarang.

Apabila hal itu terjadi atau dilakukan, anak atau orang itu diancam akan

dimakan Batara Kala. Hal lain yang perlu diruwat adalah jika seseorang

melakukan perbuatan-perbuatan yang ora ilok atau tercela. Selametan

dan ruwatan memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama meminta

kepada Tuhan agar selamat dari bahaya dan sehat (waras) dari segala

penyakit. Tujuan lain adalah untuk menjaga keserasian manusia

manusia dengan alam, baik alam fisik maupun alam nonfisik. Terkait

(48)

proses islamisasi tradisi semisal tradisi selametan 1,3,7,40,100,1000

hari bagi orang yang telah meninggal dunia (Roqib,2007:56).

Menurut Achmad Chodim yang dikutip oleh Roqib, tradisi dan

budaya akomodatif terhadap budaya lokal ini merupakan upaya dakwah

yang merespons budaya lokal untuk menciptakan harmonitas sosial

sehingga ajaran Islam bisa diaplikasikan tanpa ada penggusuran

terhadap tradisi lama yang baik. Keserasian dengan tradisi lokal ini

memiliki posisi penting bagi orang Jawa. Hal ini juga ditunjukkan oleh

para wali, Meski Sunan Kalijaga menjadi anggota Wali Songo, tetapi

dia tetap berpakaian ala Jawa. Sunan tidak menggunakan jubah atau

surban. Sunan tetap menggunakan blangkon (semacam ikat kepala yang

tinggal dipakai). Sunan tidak menggunakan jubah, tetapi menggunakan

bajunya sendiri yang disebut baju takwa (yaitu baju pas model Jawa

dengan kerah tegak dan panjang). Dengan kreasi seperti inilah Sunan

Kalijaga mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat

(Roqib, 2007:56-57). Islam yang dibawa diantaranya oleh “Walisongo”

telah berkolaborasi dengan budaya Jawa dan menjadi Islam Jawa yang

memiliki karakteristik khas Jawa. Kepercayaan pra-Islam pada

masyarakat Jawa yang animis, dinamis, Hindu dan Budha tetap

dipandang oleh Tohari dalam pandangan adat dan tradisi kebudayaan

yang memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang tidak akan dibongkar

dan dibersihkan jika tidak bertentangan dengan ajaran Islam (akhlaq

(49)

BAB III

Desa Sembungan dan Munculnya Tradisi Ruwatan Rambut Gimbal A. Gambaran Umum Desa Sembungan

Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “di” yang artinya tempat

yang tinggi dan “hyang” yang berarti kahyangan. Maka Dieng bisa berarti

daerah pegunungan tempat dimana para Dewa dan Dewi bersemayam.

Terletak diatas ketinggian 2.093 DPL, mempunyai udara yang sejuk dengan

suhu antara 10-15º C. Dieng juga dapat diartikan dalam bahasa Jawa “adi tur

Aeng‟‟ yang artinya indah dan unik, dimana Dieng mempunyai kelebihan dan

perbedaan tersendiri dibanding kabupaten/kota lain, salah satunya desa

Sembungan.

Desa Sembungan tepatnya berada di kecamatan Kejajar, kabupaten

Wonosobo Jawa Tengah. Sembungan terkenal dengan sebutan desa tertinggi

di Pulau Jawa. Sembungan merupakan daerah yang cukup potensial secara

ekonomis, karena penghasilan warganya disamping bersumber dari pertanian

kentang juga bersumber dari hasil pariwisata di Desa Sembungan. Desa

Sembungan terkenal dengan hasil tanaman buahnya seperti Carica, dan

Terong belanda. Selain hasil pertanian, wisata Sunrise Sikunir juga menjadi

salah satu daya tarik sendiri bagi wisatawan. Disana kita dapat melihat

indahnya matahari terbit dari bukit Sikunir secara langsung. Selain itu, juga

terdapat ritual cukur rambut Gimbal yang merupakan ikon kabupaten

Wonosobo dan sudah menjadi tradisi turun temurun warga kabupaten

(50)

tahunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam

rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Wonosobo. Untuk tahun 2015 ini

merupakan HUT yang ke 190 dengan mengambil tema damai dalam

perbedaan “Dukung Wonosobo Kabupaten Ramah HAM”. Ritual ini

dilakukan terhadap anak-anak yang memiliki rambut gembel atau gimbal

yang tidak akan dapat ditemukan dikabupaten lain. Gambaran Secara

Geografis desa Sembungan :

Luas dan Batas Wilayah

Luas desa/ kelurahan : 291.730 Ha

Batas Wilayah

Sebelah utara : Desa Parikesit Kecamatan Kejajar

Sebelah Selatan : Desa Menjer Kecamatan Garung

Sebelah Barat : Desa Sikunang Kecamatan Kejajar

Sebelah Timur : Desa Tieng Kecamatan Kejajar

Kondisi Geografis

Ketinggian tanah : 2300 Mdpl

Suhu udara rata-rata : 10-15º C

Orbitasi (jarak dari pusat Pemerintahan)

Jarak dari pusat Ibu kota Kecamatan : 17 km

Jarak dari Ibu kota Kabupaten : 31 km

Jarak dari Ibu Kota Propinsi : 146 km

Jarak dari Ibu Kota Negara : 440 km

(51)

Jumlah Penduduk : 1354 jiwa

Sumber daya Alam ( obyek wisata)

1. Golden Sunrise Bukit Sikunir

2. Telaga Cebong

3. Air Terjun Sikarim

4. Telaga Warna

5. Religi Makam Mbah Adam Sari

6. Kawah Sikidang

7. Gunung Prau

8. Telaga Menjer

9. Dieng Plateau Theater

(52)

B. Struktur Organisasi RT/RW

Desa Sembungan Kecamatan Kejajar, Wonosobo

(53)

C. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

Sembungan adalah desa tertinggi yang ada di Jawa Tengah dengan

keadaan wilayah selalu tertutup kabut dan bersuhu dingin. Keadaan

geografis yang demikian menjadikan menjadikan masyarakat Sembungan

sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani kentang dan Carica.

Selain pertanian karena wilayah sembungan terdapat potensi wisata,

masyarakat Sembungan juga bekerja sebagai pemandu wisata dan

mendirikan home stay atau penginapan bagi para wisatawan. Bahkan juga

terdapat PLTU (pembangkit Listrik tenaga uap) yang memanfaatkan dari

uap kawah yang ada. Desa Sembungan juga mempunyai kebudayaan khas

yaitu Ruwatan anak Rambut Gimbal yang banyak menarik banyak

wisatawan untuk mengunjunginya.

Kondisi sosial perilaku masyarakat antara satu warga dengan warga

satunya terjalin sangat erat dan masih bersifat kekeluargaan. Mereka masih

mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan dalam bermasyarakat.

Dalam hal pertanian yang dahulu mereka hanya jalan kaki dan

menggunakan grobak sebagai pembantu hasil pertanian sayuran dan

kentang mereka, namun sekarang mereka sudah menggunkan mobil

maupun pick up sebagai alat transportasi mereka.

Sedangkan dalam bidang pendidikan masyarakat desa Sembungan

sudah banyak yang mengenyam pendidikan 9 tahun. Di desa Sembungan

(54)

Sembungan sendiri masyarakatnya lebih mengepentingkan masalah

agamanya. Walaupun ada sebagian yang sudah masuk keperguruan tinggi

namun bagi mereka beranggapan pada akhirnya mereka juga akan menjadi

petani juga. Masyarakat Sembungan juga sudah mengenal bagaimana

tentang cara berorganisasi seperti adanya POKDARWIS (kelompok sadar

wisata) dan kelompok tani. Meskipun kemajuan Zaman semakin

berkembang namun tidak mempengaruhi dalam nilai-nilai kemasyarakatan

di masyarakat Sembungan.

Dalam segi kebudayaan Sembungan memiliki banyak kebudayaan

seperti mitos, kesenian, dan tradisi. Masyarakat Sembungan masih

mempercayai tentang adanya mitos yaitu beranggapan adanya makhluk

lain yang hidup diantara mereka meskipun pemikiran mereka sudah

rasional. Salah satu ritual yang masih dipegang masyarakat seperti ruwatan

anak Gimbal. Mitos anak gimbal sampai sekarang masih dipercayai

masyarakat Sembungan. Apabila tidak melakukan ruwatan mereka

khawatir akan terjadi sesuatu di Sembungan. Pengaruh budaya lain seperti

adanya potensi wisata di Sembungan menyebabkan sering dikunjungi

wisatawan asing maupun lokal dan kondisi ini membuat mereka

(55)

D. Sejarah Ruwatan di Sembungan

Sembungan berasal dari kata Sembung mendapat akhiran an,

Sembungan sendiri berasal dari nama pendiri desa Sembungan yaitu Mbah

Adam Sari atau lebih populer dengan sebutan Mbah Sembung, sehingga

nama beliau dijadikan nama Desa Sembungan. Awal mula ruwatan tidak

lepas dari salah satu dari tiga orang kyai yaitu Kyai Walik, Kyai Karim,

dan Kyai Kolodete yang dipercaya masyarakat Wonosobo sebagai pendiri

Kabupaten Wonosobo dalam penyebaran agama Islam. Kyai Kolodete

dipercaya masyarakat Dieng sebagai tokoh spiritual, selain itu ia dikenal

sebagai seorang yang sakti dan mempunyai ciri khas rambutnya yang

gimbal atau gembel. Di daerah Tinggi Dieng ini banyak anak kecil yang

berambut gimbal, dan mereka beranggapan bahwa anak-anak gimbal

tersebut merupakan titipan Kyai Kolodete. Anak berambut gimbal di

dataran tinggi Dieng dan sekitarnya hingga lereng barat gunung Sindoro

dan gunung Sumbing diyakini keturunan Kyai Kolodete yang konon

berambut gimbal. Anak-anak gembel tersebut sering disebut anak sukerta

(diganggu).

Anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari

Bathara kala. Agar kembali menjadi anak yang wajar maka harus

disucikan dan dibersihkan Gimbalnya. Proses menghilangkan sesuker

rambut Gimbalnya itulah yang dinamakan Ruwatan. Ruwatan berasal dari

bahasa Jawa yang berarti “lepas” yaitu lepas dari karakter anak gimbal

(56)

Ruwatan di Jawa merupakan pembebasan bagi anak atau orang

yang kelahirannya di dunia ini tidak menguntungkan atau melakukan

perbuatan-perbuatan didunia yang dianggap terlarang dan diancam akan

dimakan oleh Bathara kala. Upacara Ruwatan rambut gimbal di Dieng ini

bertujuan memohon kepada Allah untuk menghilangkan bala atau

bencana.

Dalam prosesi upacara ruwatan ini terdapat akulturasi budaya

seperti nilai-nilai tradisi kejawen atau lokal dengan nilai-nilai Islam.

Seperti dalam upacara ini terdapat jajan pasar, bucu, dan ingkung sebagai

perlengkapan ruwatan yang menggambarkan sebagai tradisi lokal dan

nilai-nilai Islam nya terdapat pada pembacaan doa-doa yang digunakan

dalam prosesi ruwatan.

Bagi masyarakat Dieng upacara ruwatan ini memiliki makna yang

sangat sakral bagi mereka. Mereka beranggapan jika anaknya yang

berambut gimbal diruwat dan dipotong rambut gimbalnya maka si anak

akan terbebas dari sesuker yang dititipkan oleh Kyai Kolodete. Dan

upacara ruwatan rambut gimbal sampai sekarang masih dilaksankan

(57)

E. Rangkaian Prosesi Ruwatan

1. Pra Acara

Kirab Budaya Kelompok kesenian dan anak yang akan diruwat start dari

Kantor kepala desa Sembungan menuju lapangan telaga Cebong lokasi

melakukan ruwatan.

Telaga cebong tempat melakukan ruwatan pemotongan rambut gimbal.

2. Prosesi Ruwatan

(58)

Sesampainya di telaga cebong tempat melakukan prosesi

ruwatan disambut dengan sholawat rebana, setelah sholawat dan rebana

kemudian dibuka dengan sambutan oleh salah satu ketua pelaksana

upacara sekaligus membuka acara ruwatan pemotongan rambut gimbal.

Dilanjutkan dengan pembacaan doa-doa tokoh agama setempat dan

tokoh masyarakat.

2. Pemberian permintaan anak rambut gimbal

Sebelum prosesi pemotongan dilakukan anak berambut gimbal

dipenuhi permintaannya oleh salah seorang tokoh masyarakat sebagai

penitia pelaksana.

2. Prosesi Cukur Rambut Gimbal

Setelah permintaan anak rambut gimbal dipenuhi, maka

(59)

prosesi pemotongan rambut gimbal.

5. Larungan

Prosesi terakhir dari pemotongan rambut gimbal yaitu larungan

(pembuangan rambut) dimana rambut yang sudah dipotong

dikumpulkan kemudian dilarung (dibuang) ditengah telaga cebong

dengan iringan Sholawat nabi dan musik rebana yang kemudian

dilanjutkan dengan selametan Bucu Robyong (nasi tumpeng yang

ditusuki jajan pasar).

7. Pentas Kesenian

Acara terakhir dari ruwatan pemotongan rambut gimbal

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan dosis pemberian pupuk kompos TKKS pada bibit gaharu ternyata selalu diikuti dengan pertambahan tinggi bibit gaharu yang lebih baik karena semakin banyak

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Pegawai yang tidak masuk kerja, terlambat masuk bekerja, dan atau.. pulang sebelum waktunya tanpa alasan yang sah dianggap tidak

variabel terikat atau bila F tabel < dari F hitung maka semua variabel bebas. secara simultan mempengaruhi

Hasil penelitian Ayem dan Nugroho (2016) yang menguji tentang pengaruh profitabilitas, struktur modal, kebijakan dividen, dan keputusan investasi terhadap nilai

Pada tahap persiapan, praktikan menyiapkan seluruh kebutuhan dan administrasi yang diperlukan untuk mencari tempat PKL. Dimulai dengan pengajuan surat permohonan PKL

Adanya gas yang terlarut, oksigen dan karbon dioksida pada air umpan boiler adalah penyebab utama general corrosion dan pitting corrosion (tipe oksigen elektro kimia dan