PROSESI ADAT RUWATAN RAMBUT GIMBAL
DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH
DI SEMBUNGAN, KEJAJAR, WONOSOBO,
JAWA TENGAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
Irinna Ika Wulandari
NIM: 21111034
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALAT IGA
MOTTO
Jika setiap cerita hidup kita selalu indah,
Kita tidak akan pernah bisa belajar tentang
ikhlas dan sabar
Ketika kehidupan tidak
kamu jalani dengan penuh kesungguhan,
maka kamu akan menjalaninya dengan penuh
kelemahan
Jika kita telah melakukan yang terbaik,
kita tidak akan memiliki waktu
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah SWT, karya skripsi ini
penulis persembahkan untuk:
Orang tua ku tersayang Bapak Muh Isom dan Ibu
Siti Munawaroh yang selalu memberikan do’a, kasih
sayang, semangat kepada ku, hormat dan baktiku
kan selalu tertuju untukmu. Mereka adalah
malaikat ku di dunia.
Adikku tersayang Dian Vera Rahmawati
terimakasih untuk do’anya semoga semua cita-cita
mu terwujud.
Kakek dan nenekku, Ngatemin dan Siti Fatimah
serta seluruh keluarga yang telah mendukungku.
Untuk keponakan ku tersayang Esa Bhakti Illahi
teruslah belajar yang rajin.
Sahabatku Nurul, Aini, Rosa terimakasih untuk
kebersamaan kita selama empat tahun ini semoga
persahabatan kita akan terus terjalin sampai
kapanpun.
Untuk Muhlasin terimakasih telah memberikan
motivasi dan dukungan.
Teman-teman ku seperjuangan AS angkatan 2011.
Teman-teman Pondok Salafiah Pulutan yang telah
terbaik. Terutama untuk mbk Imah, Nuril, dan Erni
terimakasih
Untuk mbk Nina, mbk Lita, ijah terimakasih untuk
kebersamaan kita.
Keluarga besar PMII Joko Tingkir kota Salatiga
terimaksih untuk kebersamaannya sahabat-sahabati.
Keluarga besar LPM Dinamika.
Semua Kyai Pondok Pesantren Salafiyah Pulutan
terimakasih atas bimbingan dan petuah-petuahnya.
Bapak H.Agus Ahmad Suaidi, M.A. yang telah
memberikan inspirasi dan bimbingan bagi penulis.
Bapak Sukron Ma’mun,S.HI.,M.Si sebagai dosen
pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi.
Gus Faid dan Gus Niam yang telah membantu
memberikan kritik dan saran bagi penulis.
Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga
Almamater tercinta Kampus INSTITUT AGAMA
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah
SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut
setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Sukron Ma‟mun,S.HI.,M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah
(AS).
3. Sukron Ma‟mun, S.HI.,M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan
waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini.
4. Heni Satar N,S.H.,M.Si selaku pembimbing akademik
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
6. Bapak dan ibu serta saudara-sadaraku di rumah yang telah mendoakan dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh
kasih sayang dan kesabaran.
7. Masyarakat Desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo yang telah memberikan
penulis tempat dalam mengadakan penelitian, sehingga terselesainya skripsi
ini.
8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyelesaian skripsi ini.
Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang
setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya dengan tulisan ini semoga
bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 9 September 2015 Penulis,
ABSTRAK
Wulandari, Irinna Ika. 2016. PROSESI ADAT RUWATAN RAMBUT
GIMBAL DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH DI SEMBUNGAN, KEJAJAR, WONOSOBO. Skripsi. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri
Salatiga. Dosen Pembimbing: Sukron Ma’mun,S.HI., M.Si.
Kata Kunci: Fiqh Imam Abu Hanifah, Adat ruwatan rambut Gimbal
Perkembangan Islam di Indonesia mengalami proses yang berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan lainnya yang bermacam-macam. Salah satunya termasuk bersinggungan langsung dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka perlu ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat menjadi sumber hukum Islam ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Agama sebagai sistem nilai pasti akan mengalami proses akulturasi, terhadap kemajemukan budaya. Oleh karena itu, bagaimana hukum Islam menghadapinya dan mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul di masyarakat dengan baik serta mendatangkan kemaslahatan dari penetapan hukum dan menghindarkan dari kemudharatan.
Kemudian peneliti merumuskan sebagai berikut untuk mengetahui penyebab munculnya ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan, Kejajar,Wonosobo, untuk mengetahui prosesi ruwatan rambut gimbal, Untuk mengetahui bagaimana pandangan Fiqh Imam Abu Hanifah terhadap prosesi ruwatan rambut gimbal. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen.
Ruwatan rambut gimbal merupakan prosesi pemotongan pada anak
rambut gimbal yang bertujuan untuk menghilangkan bala‟/bencana rambut
gimbal, agar si anak memiliki rambut yang normal, pemotongan rambut
gimbal bersifat simbolis dari Tafa‟ul dengan maksud untuk memperoleh
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN LOGO ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
E. Rangkaian Prosesi Ruwatan... 44
1. Pra Acara ... 44
2. Prosesi Ruwatan... ... 44
3. Petugas Pencukur rambut gimbal... ... 47
4. Urutan Kirab Budaya ... 48
5. Daftar nama anak yang diruwat tgl 1 Agustus 2015 ... 51
F.Sejarah Mitos Kepercayaan ruwatan rambut gimbal ... 52
BAB IV : TRADISI RUWATAN RAMBUT GIMBAL DALAM PERSPEKTIF FIQH IMAM ABU HANIFAH A. Tradisi dan Keyakinan ... 55
B. Prosesi dan Makna Ruwatan Rambut Gimbal ... 58
C. Prosesi Ruwatan Rambut Gimbal dalam Perspektif Fiqh Imam Abu Hanifah ... 64
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 74
B. Saran-saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan sebagian besar penduduknya
beragama Islam. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami proses yang
berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan lainnya yang bermacam-macam.
Salah satunya termasuk bersinggungan langsung dengan tradisi dan budaya
masyarakat Indonesia. Namun bukan berarti tradisi dan budaya yang telah ada
hilang begitu saja. Berkenaan dengan itu, maka perlu ditegaskan bahwa
unsur-unsur budaya lokal yang dapat menjadi sumber hukum Islam ialah
yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Yaitu tidak ada unsur yang bertentangan dengan dalil syara‟ yang dilarang.
Agama sebagai sistem nilai pasti akan mengalami proses akulturasi
(KBBI,1989:18) dan kolaborasi terhadap kemajemukan budaya sebagai hasil
tindakan manusia maupun kemajemukan budaya yang masih berada pada
pemikiran dan sikap manusia. Oleh karena itu, bagaimana hukum Islam
menghadapinya dan mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul di
masyarakat dengan baik serta mendatangkan kemaslahatan dari penetapan
hukum dan menghindarkan dari kemudharatan. Tradisi dan budaya
merupakan warisan bangsa yang tidak ternilai harganya, karena itu menjadi
kewajiban dan tanggung jawab bangsa Indonesia untuk melestarikan
keberadaannya sehingga tidak punah begitu saja. Ruwatan merupakan prosesi
adat rambut gimbal (gembel) yang dilakukan masyarakat Sembungan,
rambut gembel agar si anak memiliki rambut yang normal, selain itu si anak
yang dicukur rambutnya agar memperoleh keberkahan dan kesehatan serta
untuk menjalankan ajaran leluhur mereka. Upacara ruwatan cukur rambut
gimbal di Sembungan ini sudah menjadi agenda tahunan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Dan kegiatan ini selalu mengundang
ribuan orang untuk mengunjunginya. Setiap anak yang berambut gimbal
harus melewati prosesi “ruwatan”.
Ruwatan menurut bahasa Jawa berarti “lepas” yang bermakna lepas dari
karakteristik sebagai anak gimbal, dengan cara mencukur rambut gimbalnya.
Supaya rambut gimbal nya tidak akan tumbuh gimbal lagi. Anak-anak
gembel tersebut sering disebut anak sukerta (diganggu). Anak sukerta adalah
anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari Bathara kala. Agar kembali
menjadi anak yang wajar maka harus disucikan dan dibersihkan gimbalnya.
Proses menghilangkan sesuker rambut gimbalnya itulah yang dinamakan
Ruwatan. Rambut ini muncul pertama kali disertai demam tinggi dan
menggigau (ngrumil) merupakan bahasa Dieng saat tidur. Gejala ini baru
berhenti dengan sendirinya ketika rambut sang anak menjadi kusut (gimbal)
dan menyatu antara yang satu dengan lainnya, menyerupai rambut
orang-orang rastafara Jamaica. Menurut kepercayaan setempat anak berambut
gimbal ini merupakan keturunan orang pertama yang hidup di dataran tinggi
Dieng yaitu Kyai Kolodete, bagi mereka anak gimbal adalah anak titipan
leluhur yang harus mereka jaga.
merupakan manusia pertama yang melakukan babat alas Dieng. Kyai
Kolodete diyakini memiliki rambut panjang dan gembel (gimbal) yang
kemudian sebelum beliau meninggal mewasiatkan rambut gembelnya akan
dititipkan pada anak cucu dan keturunannya. Kyai Kolodete memang
menyukai anak-anak dan akan menurunkan gimbalnya pada anak-anak,
namun tidak semua anak Dieng berambut gimbal. Hanya mereka yang terpilih
atau nasib anak itu masing-masing.
Ada juga yang percaya rambut gimbal merupakan bala‟/ bencana sehingga
anak yang telah dipotong rambut gimbalnya dipercayai akan tumbuh menjadi
anak baik panjang umur, dan banyak rezeki. Sebaliknya jika tidak dicukur,
dia akan tumbuh menjadi anak nakal dan selalu mengalami masalah, oleh
karena itu ruwatan pemotongan rambut gimbal menjadi tradisi yang sejak
dulu terus dipertahankan sampai sekarang. Kepercayaan secara turun temurun
dan terus diyakini seseorang yang dianggap diluar kewajaran memang
terkadang aneh dan tidak masuk akal (irasional), akan tetapi bagaimanapun
juga hal ini merupakan hak asasi kepercayaan setiap orang. Anak yang
berambut gimbal cenderung lebih aktif bahkan nakal di bandingkan pada
anak umumnya. Anak-anak berambut gimbal di Dieng biasanya diperlakukan
istimewa oleh keluarga dan masyarakat sekitar karena memiliki kelebihan
dibanding dengan anak lain sebayanya. Dan biasanya memiliki permintaan
yang sering diluar dugaan, anak-anak gimbal ini belum akan dipotong
rambutnya sampai anak tersebut meminta dengan sendirinya atau atas inisiatif
Kemudian sang anak akan mengatakan permintaannya, dan permintaan ini
pun sering diluar dugaan orang tuanya seperti minta telur satu keranjang,
minta tikus, minta gethuk, dan sebagainya. Dan permintaan ini tidak akan
berubah dari sejak pertama dia bicara sampai ketika akan dilakukan ruwatan
pemotongan. Hal ini nampaknya aneh tapi itulah kenyataan yang ada. Anak
gimbal tidak terlahir gimbal namun tumbuh pada usia 2-5 tahun, gejala awal
yang muncul anak panas antara 1-2 minggu tidak kunjung sembuh, setelah
beberapa hari kemudian akan tumbuh gimbal pada bagian rambut kepalanya.
Dan jika rambut itu dipotong sewaktu-waktu tanpa melalui prosesi ruwatan
anak itu bisa sakit.
Prosesi yang dilakukan selama ruwatan di desa Sembungan
menggunakan cara islam yang sedikit digabung dengan adat jawa dengan
adanya ingkung, tumpeng rombyong, (nasi tumpeng diberi tusukan-tusukan
jajanan pasar) yang nantinya semua itu akan dimakan bersama oleh
pengunjung. Iringan solawat atau rebana, pengajian dan doa-doa tolak bala
(bencana) dikumandangkan saat prosesi cukur rambut gimbal. Setelah
sholawat atau rebana kemudian dibuka dengan sambutan oleh salah satu
pelaksana upacara. Kemudian setelah sambutan-sambutan selesai maka
prosesi upacara pun dimulai. Prosesi cukur rambut gimbal di Sembungan
dilaksanakan di sekitar Telaga Cebong, permintaan anak dipenuhi dan rambut
siap dipotong. Doa-doa Islam dikumandangkan oleh Kyai setempat prosesi
ruwatan dilanjutkan dengan larungan dimana rambut yang sudah dipotong
sholawat Nabi dan musik rebana. Kegiatan Terakhir adalah makan tumpeng
Robyong (berbentuk tumpeng nasi putih di atasnya ditancapkan jajan pasar)
dan jajanan pasar dari warga sekitar secara bersama-sama. Kemudiaan
dimeriahkan oleh pawai budaya. Dengan urut-urutan Kesenian Thek-thek
(angklung), pembawa song-song agung (pembawa payung besar), pembawa
jajanan pasar, pembawa bucu robyong (nasi tumpeng di tusuki jajanan pasar),
pembawa bebana (permintaan anak gimbal), pasukan tombak, anak berambut
gimbal, rebana, kesenian kuda kepang, kelompok anak-anak (terdiri dari
kelomok anak-anak sekolah), kesenian angguk (syair-syair Islam), kelompok
masyarakat dan keluarga anak yang diruwat, kesenian liong (naga), dan
terakhir masyarakat desa.
Fenomena anak gimbal ini memang sudah lazim di kalangan
masyarakat Sembungan. Namun bagi orang luar, peristiwa ini adalah sesuatu
yang aneh, unik, dan mungkin sulit diterima dengan logika. Yang jelas,
anak-anak gimbal ini ibarat menjadi “raja” yang akan dikabulkan semua
keinginannya hingga masa ketika tiba waktu untuk dipotong mahkota “
rambut gimbalnya”.
Ruwatan merupakan tradisi yang sebenarnya sudah mengadopsi ajaran
Islam, ruwatan yang dilakukan masyarakat Sembungan merupakan prosesi
pemotongan rambut anak Gimbal dengan tujuan untuk keselamatan dari anak
yang akan diruwat, di dalam Islam sendiri Slametan (doa, ucapan pernyataan
dan sebagainya yang mengandung harapan supaya sejahtera, beruntung tidak
inginkan atau dengan kata lain untuk meminta keselamatan dan kesehatan
kepada Allah untuk seseorang dengan mengundang orang untuk melakukan
makan bersama maupun melakukan doa bersama.Makanan yang dihidangkan
dalam suatu acara selametan (doa, ucapan pernyataan dan sebagainya yang
mengandung harapan supaya sejahtera,beruntung tidak kurang satu apapun)
merupakan sedekah/Sodakoh untuk keselamatan, yang artinya secara
langsung bermakna keberuntungan bagi orang-orang yang diundang, karena
ketika masyarakat datang mendapatkan rezeki bisa makan bersama. Selain
selametan ada juga pembacaan sholawat, sholawat yang berarti memuji
mengagungkan Rosullullah, dan membuat wasilah dengan membaca
sholawat. Barang siapa yang membaca sholawat untuk nabi, maka akan
menjadi cahaya nanti di hari akhir.
Para ulama ushul fiqh memberikan definisi adat sebagai berikut
ََكَتُلمْاُرْمَلأا
َْنِمُرِّر
َ
ٍَةَّيِلْقَعٍةَقَلاَعِْيَْغ
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”
Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan
secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi
ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas,
yang menyangkut masalah pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,
makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang
menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil
seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis, disamping itu
adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi,
sebagaimana adat juga bisa muncul dari kasusu-kasus tertentu, seperti
perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing. Adapun
„urf menurut ulama ushul fiqh Mushtafa Ahmad al-Zarqa dalam buku Haroen
(1996:138) adalah:
َ ٍلْعِفَْوَأَ ٍلٍْوَ قَِْفٍَْمْوَ قَِرْوُهُْجَُُةَدَاع
َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ
Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan
Di dalam Al Qur‟an jugs telah dijelaskan jika meminta perlindungan memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik).” (QS. Yunus: 106).
ََو
Dasar kaidah yang lain adalah adalah Firman Allah, Surat Al-A‟raf: 199).
ََيِلِىاَْلْاَِنَعَْضِرْعَأَوَ ِفْرُعْلاِبَْرُمْأَوََوْفَعْلاَِذُخ
َََََََََََََ
ََََََََََََََََََََََ
ََََ
“Berikanlah maaf dan perintahkanlah mengerjakan ma‟ruf danberpalinglah dari orang-orang jahil / bodoh” (QS. Al-A‟raf: 199)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana praktek ruwatan terhadap anak gimbal di Sembungan bisa
muncul?
2. Bagaimana prosesi ruwatan rambut gimbal di Sembungan berlangsung?
3. Bagaimana pandangan Fiqh Imam Abu Hanifah terhadap prosesi ruwatan
rambut gimbal di Sembungan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui penyebab munculnya praktek ruwatan rambut gimbal
masyarakat Sembungan, Kejajar, Wonosobo.
2. Untuk mengetahui prosesi ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan,
Kejajar, Wonosobo.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan fiqh Imam Abu Hanifah
terhadap prosesi ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan, Kejajar,
D. MANFAAT
1. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti , untuk mengetahui bagaimana dan apa saja yang ada
dalam prosesi ruwatan rambut gimbal masyarakat Sembungan, Kejajar,
Wonosobo.
b. Bagi ilmu hukum untuk mengetahui adakah hal-hal yang tidak sesuai
dalam prosesi ruwatan dengan hukum Islam.
c. Bagi masyarakat agar masyarakat paham mengenai aturan-aturan hukum
yang berlaku dalam syariat Islam dan melestarikan kebudayaan yang telah
ada.
2. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis ini berdasarkan teori-teori yang dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk memahami bagaimana pandangan hukum
Islam terhadap prosesi ruwatan rambut gimbal.
E. PENEGASAN ISTILAH
1. Pandangan : Sesuatu yang dapat dipandang (dalam arti kiasan juga)
(Kamus Besar Bahasa Indonesia,1976:704).
2. Hukum : Peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan/ adat yang dianggap
berlaku oleh dan untuk orang banyak( Kamus besar bahasa Indonesia,
1976:363)
3. Islam : Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW( kamus besar
4. Prosesi : Pawai atau perarakan dengan upacara( kamus besar bahasa
indonesia,1976:769)
5. Adat : aturan (peraturan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala (kamus besar bahasa indonesia,1976:15).
6. Ruwatan : adalah upacara membebaskan orang dari nasib buruk yang
akan menimpa (kamus besar bahasa indonesia,1976:842)
7. Rambut : adalah bulu yang berutas-utas halus yang tumbuh di kepala/
tubuh ( kamus besar bahasa indonesia,1976:795)
8. Gimbal : adalah lebat dan tidak teratur (kamus besar bahasa indonesia
http://ebsoft.web.id)
F. TINJAUAN PUSTAKA
Adat memanglah sesuatu yang sudah ada dan tidak dapat dihilangkan.
Yang lahir secara turun-temurun dari para leluhur. Seperti dalam kaidah adat
kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum.
Pada penelitian Sebelumnya Tradisi Ruwatan Laut dalam Perspektif
Hukum Islam (di kelurahan kangkung kecamatan Teluk Betung selatan kota
bandar lampung) skripsi yang ditulis oleh Riki Dian Saputra UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta menerangkan Ruwatan laut merupakan akulturasi antara
budaya dan agama, karena dengan melaksanakan ruwatan laut tersebut ada
pelestarian nilai-nilai sosial keagamaannya. Terlepas dari tradisi ruwatan laut
masyarakat muslim kelurahan kangkung bahwa pada dasarnya untuk
beragama di dalam masyarakat disana, maka tradisi tersebut masih tetap
dilaksanakan.
Kemudian, Tradisi Upacara Ruwatan Ruwah Desa (Studi Kasus di Desa
Gemurung Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo) skripsi yang ditulis
oleh saudari Khoirotun Nasifah 2012 (digilib.uinsby.ac.id/1/240/4/bab1/pdf)
menyimpulkan bahwa upacara Ruwah Desa merupakan suatu tradisi
masyarakat Gemurung yang biasa diadakan setahun sekali dalam bulan ruwah
yang telah menjadi tradisi sejak lama di desa tersebut. Pada dasarnya upacara
Ruwah Desa yang diadakan di Desa Gemurung merupakan realisasi tradisi
nenek moyang yang dikenal secara mandalam dikalangan masyarakat dengan
istilah mengikuti orang terdahulu. Masyarakat Gemurung menganggap
dengan mengadakan upacara Ruwah Desa tersebut merupakan upacara ibadah
dalam ajaran Islam karena sabagian dapat lebih mendekatkan diri kepada
Allah karena telah diberi rizki dan menjadikan desanya sejahtera tentram
serta penghasilan desa sangat baik. Di dalam pandangan hukum Islam,
tindakan masyarakat Gemurung yang tergolong santri mereka menyebutkan
bahwa upacara Ruwah Desa yang mereka lakukan hanyalah niat untuk
sedekah kepada Allah agar desanya terhindar dari bahaya dan tidak terdapat
unsur syirik, khurafat ataupun tahayul. Karena dalam upacara tersebut diisi
dengan nilai-nilai keislaman seperti khataman. Dilanjutkan Shalat Ashar
berjamaah, Istighosah dan pembacaan Yasiin dan tahlil, pengajian dan
Dengan demikian, upacara Ruwatan Desa di desa Gemurung tidak
bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak ada unsur penyembahan
ataupun yang lainnya.
Penelitian-penelitian terkait dengan anak gembel di Dieng diantaranya
adalah skripsi Heri Cahyono,mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang berjudul ”Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kecamatan
Kejajar Kabupaten Wonosobo” (2008,Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta). Dalam penelitian ini Cahyono menerangkan
bagaimana asal mula tradisi ruwatan cukur anak gimbal di Desa Dieng.
Dijelaskan juga bagaimana prosesi ruwatan serta makna upacara ruwatan bagi
masyarakat. Dalam penelitian ini, Cahyono hanya menjelaskan asal-usul,
prosesi dan makna ritual secara umum.
Sedangkan fokus penelitian skripsi yang akan dilakukan oleh penulis
adalah untuk memberikan penjelasan dan gambaran tentang Prosesi Ruwatan
Rambut Gimbal (di desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo) dalam Perspektif
Fiqh Imam Abu Hanifah.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian,
peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan
menggunakannya sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi.
penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi
pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut Taylor dalam (Moleong,
2002:3) penelitian kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dari pengertian tersebut, sudah
tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan berada pada
latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan
melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan
dokumen.
Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang menghasilkan
data tertulis. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan oleh penulis
adalah diskripsi. Penelitian diskripsi menurut (Suryabrata, 1998:19) adalah
penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan uraian, paparan
mengenai situasi kejadian-kejadian.
2. Kehadiran Peneliti
Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan
melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian
sehingga sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara
sumber yang ada. Penelitian akan dilaksanakan di Desa Sembungan
Kecamatan Kejajar Wonosobo, Jawa Tengah. Sembungan sendiri
merupakan tempat yang terdapat rambut Gimbal sejak dari dahulu,
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di desa Sembungan, Kejajar, Wonosobo
Jawa Tengah pada tahun 2015.
4. Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari
informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi
yang menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang
terkait dengan judul yang diteliti.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting
dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk
mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan
diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data:
a. Observasi Langsung
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. di
dalam penelitian peneliti mengobservasi prosesi ruwatan atau
pemotongan rambut gimbal. Menurut (Nawawi,1990:100)
observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek
penelitian. Dalam observasi ini penulis mengamati prosesi
rangkaian acara Ruwatan rambut gimbal dari Awal sampai akhir
b. Wawancara
Yakni percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2011:186) nara
sumber yang diwawancara meliputi Kadus desa Sembungan, tokoh
agama, ketua kelompok sadar wisata (Pokdarwis), anak yang
berambut gimbal, orang tua anak berambut gimbal, serta
masyarakat.
c. Dokumen
Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah
direkam tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut
tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar
(Daymon,2008:3) metode ini digunakan untuk memperluas
pengamatan dan pengumpulan data. Data yang diambil berasal dari
catatan hasil wawancara, dan foto-foto dokumentasi.
6. Analisis Data
Menurut (Muhadjir,1994:104) menyatakan, analisis data
merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis
catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan
pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya
sebagai temuan bagi orang lain. Penulis akan menunjukkan laporan
penyajian laporan. Data yang penulis sajikan seperti naskah
wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya.
7. Keabsahan Data
Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam
kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa
yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
penelitian. Metode yang digunakan dalam pengecekan keabsahan
data:
a. Triangulasi Sumber
Yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek
informan satu dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini
dapat diukur benar tidaknya kenyataan yang ada.
b. Triangulasi metode
Yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil
penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan sumber data
dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam metode
ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil
observasi yang dilakukan .
8. Tahap-tahap Penelitian
Menurut (Moloeng,2002:84-105) tahap-tahap penelitian yang
a. Tahap Pra lapangan
1. Mengajukan judul penelitian
2. menyusun proposal skripsi
3. Konsultasi penelitian kepada pembimbing
b. Tahap pekerjaan lapangan
1. Persiapan diri untuk memasuki lapangan
2. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus
penelitian
3. Pencatatan data yang telah dikumpulkan
c. Tahap analisis data
1. Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian
2. pengecekan keabsahan data
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini,
peneliti menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika
penulisan ini ada lima macam bab, yang masing-masing membahas
masalah yang berbeda. Akan tetapi, hal itu merupakan satu kesatuan
yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab tersebut adalah
sebagai beriku:
Bab pertama, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk
memberikan gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan
memuat pembahasan yang meliputi latar belakang yang berisi
Bab kedua, bab ini membahas landasan teori yang menyangkut
pandangan fiqh Imam Abu Hanifah mengenai adat, kepercayaan,
serta ruwatan itu sendiri dan peneliti-peneliti sebelumnya yang telah
melakukan penelitian tentang ruwatan. Bab ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang masyarakat dan lingkungan yang
menjadi latar belakang ritual adat ruwatan rambut gimbal serta fiqh
Imam Abu Hanifah yang menjadikan landasan teori.
Bab ketiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data
penelitian yang mencakup setting penelitian yang telah dinarasikan
oleh penulis agar mudah dipahami oleh pembaca. Setting penelitian
tersebut berisi letak geografis, demografis, dan aspek keadaan
penduduk sekitar. Kedua: asal-usul ruwatan yang tidak patut untuk
dilupakan, karena sejarahlah yang membuat semua itu ada. Ketiga,
pelaksanaan prosesi adat ruwatan rambut gimbal yang kemudian
dilanjutkan dengan deskripsi prosesi ini yang dapat dibuktikan
dengan adanya waktu dan tempat yang telah ditentukan, pelaku,
perlengkapan dan mekanisme ruwatan rambut gimbal. Dari semua
deskripsi yang ada pada bab tiga, tidak lain merupakan hasil dari
observasi, wawancara dan dokumentasi dari penelitian prosesi adat
ruwatan rambut gimbal.
Bab keempat, analisa terhadap prosesi adat ruwatan rambut
gimbal di Sembungan, Kejajar, Wonosobo menurut tinjauan fiqh
Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran,
BAB II
Ruwatan menurut Fiqh A. Adat Istiadat (Al-‘urf)
Secara etimologi „Urf
فرعلا
berarti “yang baik”. Para ulama ushulfiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya
sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟.„Urf menurut
ulama ushul fiqh Mushtafa Ahmad al-Zarqa dalam buku Haroen (1996:138)
adalah:
َ ٍلْعِفَْوَأَ ٍلٍْوَ قَِْفٍَْمْوَ قَِرْوُهُْجَُُةَدَاع
َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ
َ
َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ
Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan
Beliau mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat, karena
adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf, menurutnya harus berlaku pada
kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok
tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam
kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman,
seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang
menetapkan bahwa harus diadakannya ruwatan pemotongan rambut gimbal
pada anak berambut gimbal di Dieng. Macam-macam „urf menurut
pemaparan Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku Haroen (1996:139)
1. Dari segi obyeknya
a. Al-„urf al-lafzhi
يظفللاَ فرعلا
adalah kebiasaan masyarakat dalammempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas
dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” mencakup
seluruh daging yang ada.
b. Al-„urf al-„amali
يلمعلاَ فرعلا
adalah kebiasaan masyarakat yangberkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan. Yang
dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.
Seperti kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam
acara-acara khusus.
2. Dari segi cakupannya‟urf terbagi dua
a. Al-„urf al-„am
ماعلاَ فرعلا
adalah kebiasaan tertentu yang berlakusecara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.
b. Al-„urf al-khash
صاخاَفرعلا
adalah kebiasaan yang berlaku di daerahdan masyarakat tertentu. „Urf al-khash seperti ini menurut Mushthafa
Ahmad al-Zarqa‟ tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang
a. Al-„urf al-shahih
حيحصلاَفرعلا
adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash(ayat atau
hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, tidak pula membawa
mudarat kepada mereka.
b. Al-„urf al-fasid
دسافلاَ فرعلا
adalah kebiasaan yang bertentangandengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟.
Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai para ulama ushul fiqh
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan „urf, diantaranya
yang paling mendasar
1.
ٌَةَمَّكََمََُةَّداَعلا
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
2.
َِةَنِكْمَلأْاَوَِةَنِمْزَلأْاُِّيَْغَ تِبَِمَاكَحَلأْاُرُّ يَغَ تَُرَكْنُ يَلٍ
Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3.
ًَاطْرَشَِطْوُرْشْمْل
ََاكًافْرُعَُفْوُرْعَلما
Yang baik itu menjadi „urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat
4.
َِّصَّنلَِابَ ِتِباَّشلَاَكَ ِفْرُعْلِابَُتِباَّشلا
Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat atau hadis)
Syarat-syarat ‘Urf
„urf dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
1. „Urf itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat
perbuatan dan ucapan berlaku secara umum. Artinya, „urf itu berlaku
dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2. „Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum
itu lebih dahulu ada, sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi. Artinya dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak
telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.
4. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. „urf seperti ini tidak bisa
dijadikan dalil syara‟, karena kehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak
ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
Legalitas Al-‘Urf
Jumhur fuqaha‟ mengatakan bahwa al-„urf merupakan hujjah dan
dianggap sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada
dalil-dalil sebagai berikut.
1. Firman Allah Saw :
ََيِلِىاَْلْاَِنَعَْضِرْعَأَوَ ِفْرُعْلاِبَْرُمْأَوََوْفَعْلاَِذُخ
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika
tidak wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT.
2. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia
juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang
dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah dan
jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.
3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab
dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan
kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda
kepada pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah
membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti
mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta
warisan Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.
4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan
memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan
sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya
dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Agar mereka
tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus mengakui adat kebiasaan mereka
B. Ruwatan merupakan bagian dari Tafa’ul
Tafa‟ul adalah mengharapkan kebaikan dari suatu tindakan dan
lawan dari Tafa‟ul adalah Tafaum yang artinya pesimis, dan Tafaum
dilarang dalam Islam. Tafa‟ul telah dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.
Dalam sebuah hadis Rasululullah saw bersabda:
َُلََاقَ.َُلْاَفلَْاَِنىُبِجْعُ يََوََةَرَ يِطََلٍَوَىَوَْدَعََلٍ
َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََُةبِّيَطًَةَمِلَكَ:ََلٍََاقََ؟ُلَْاَفلَْاََامَوَ:َْاْو
َ
“Tiada jangkitan penyakit (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada
kesialan sesuatu, akan tetapi aku menyukai al-fa‟l”. Para sahabat bertanya:
“Apa itu al-Fa‟l, ya Rasulullah?” Baginda menjawab: “Kalimah/ucapan yang
baik”. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Anas ra)
Al-Fa‟l menurut ulama bermaksud seseorang mendengar atau terdengar
suatu ucapan yang baik. Contohnya ada seorang yang sakit, lalu kawannya
datang dan menziarahinya. Ketika hendak masuk, kawan itu berkata: “Ya
Salim (yang bermaksud: “Wahai orang yang sehat/selamat”). Dengan
panggilan itu ia menaruh keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan sehat atau
selamat. Menaruh keyakinan atau harapan seperti ini disebut al-Fa‟l atau at
-Tafa‟ul.
Rasulullah membenarkan al-Fa‟l atau at-Tafa‟ul karena ia berprasangka
baik (husnudzan) kepada Allah atau menaruh harapan kepadaNya, dimana
setiap mukmin diperintahkan supaya senantiasa berprasangka baik kepada
Allah setiap saat.Contoh hadis Nabi tentang Tafa‟ul yaitu Hadis riwayat Abu
Qatadah:
menyenangkan hendaklah dia meludah ke samping kiri sebanyak tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatannya sehingga mimpi itu tidak akan membahayakannya. (Shahih Muslim No.4195) dan harapannya setan yang mengganggunya pergi.
Sama hal nya dengan ruwatan, orang-orang yang melakukan ruwatan
mengharap kebaikan dari tindakan itu dengan meminta kepada Allah.
Seperti dengan memotong rambut gimbal, dan membuang rambut
gimbalnya yang hanya bersifat simbolis, mengharap yang baik untuk masa
yang akan datang. Namun jika beranggapan dengan niat memotong rambut
gimbal akan membuang bala‟ bencana atau sial maka termasuk musyrik.
contohnya bala hilang dan tersingkir dari si anak. Sial ataupun beruntung
itu datangnya hanya dari Allah Ta‟ala, maka mestinya meminta hanya
kepada Allah, bukan kepada selain-Nya.
Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal
nasib buruk karena melihat burung, binatang dan lainnya, atau apa saja. ( http://www.arrahmah.com/news/2014/10/24/ruwatan-dan-bahayanya-bagi-aqidah-islam.html)
Dalam Mashlahah Mursalah, yaitu kebaikan (mashlahah) yang tidak
disinggung-singgung syara‟, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya.
Sedang kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari
keburukan. Dalam prakteknya mashlahah tidak banyak berbeda dengan
istihsan. Perbedaannya, istihsan ialah mengecualikan suatu hukum dari
peraturan umum yang ditetapkan qiyas, sedang mashlahah murshalah tidak
1. hanya berlaku dalam masalah muamalat
2. tidak berlawanan dengan maksud syar‟iat atau salah satu dalilnya yang
sudah dikenal.
3. mashlahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh
masyarakat.(Hanafie,1993:144)
Mashlahah yang terdapat dalm ruwatan diantaranya seperti:
1. menguatkan tali Silaturahmi
Pada saat hari pelaksanaaan ruwatan pemotongan rambut gimbal
masyarakat berkumpul di telaga Cebong ikut menghadiri acara ruwatan
dan dijadikan sebagai ajang silaturrahmi antar masyarakat. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis berikut:
“Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya maka
hendaknya menyambung hubungan keluarga (silaturrahmi)” (HR.
Bukhari Muslim).
2. Membaca Sholawat
Sholawat yang berarti memuji mengagungkan Rosullullah, dan
membuat wasilah dengan membaca sholawat. Barang siapa yang
membaca sholawat untuk nabi, maka akan menjadi cahaya nanti di hari
akhir.
3. Bersedekah
Sedekah/Sodakoh untuk keselamatan, yang artinya secara langsung
masyarakat datang mendapatkan rezeki bisa makan bersama. Sedekah ini
berasal dari orang-orang yang akan melakukan ruwatan kemudian
disedekahkan kepada masyarakat yang datang.
اَذَىَ َلََاقَ.َِءْوُسلاََةَتْيمَُعَفَْدَتَوَِّبَّرلاََبَظَغَُءِىفْطُتَلََةَقََدَّصلاٌَنِا
َ
ٌَثْيِدَح
َِوْجَوْلاَاَذَىَْنِمٌَبْيِرَغ
َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََ
Artinya : “Sungguh shadaqah itu dapat menghilangkan amarah Tuhan dan dapat menolak (cara) mati yang buruk.”
4. Membaca doa-doa
Dengan menyebut nama Allah saya bertawakkal kepada Allah. Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung diri kepadaMu dari sesuatu yang menyesatkan, dari suatu yang menggelincirkan atau digelincirkan dari suatu yang menganiaya atau teraniaya, atau dari sesuatu yang membodohkan atau diperbodohkan (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Dalam kitab Fiqhul Akbar karangan Imam Abu Hanifah menjelaskan
تناكَنإوَبونذلاَنمَبنذبَاملسمَرفكنَلٍو
َ
َاهلحتسيَلمَاذإَ,ةيْبك
ََََََََََََََََ
َ
ََََََََ
ََََََََََََََََََََََََََََََََ
َََََََ
ََ
“kita tidak mengkafirkan orang muslim, meskipun melakukan dosa. Meskipun dosa besar, selama tidak menghalalkan dosa itu”.(Alkidah Wal ilmu Kalam:621).
menjelaskan haramnya berkata kepada orang muslim: Hai orang kafir.
Sebagai berikut(Zakariya:565)
Dari Abu Dzarr ra. Bahwasanya ia mendengar Rasullullah saw
bersabda “Barang siapa yang memanggil orang lain dengan sebutan kafir
(musuh allah) “padahal orang yang dipanggilnya itu tidak demikian
kenyataannya maka hal itu, akan kembali kepada seseorang yang
mengucapkannya sendiri(HR Bukhari dan Muslim).
Metode Istinbath yang digunakan Abu Hanifah:
“Saya berpegang pada kitab Allah, jika tidak saya mengambil sunah rasulullah SAW, jika tidak aku dapati juga dikitab Allah dan sunnah rasulnya, saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan
meninggalkan pendapat yang tidak aku kehendaki pula”.
Abu hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum
berpegang kepada beberapa dalil syara‟ yaitu alqur‟an, sunnah, ijma‟,
sahabat, qiyas, istihsan dan „Urf.
Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu
selain Allah dan disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan
uluhiyyah. Umumnya, menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah yaitu
hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain
Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih
(kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya. Berbuat
syirik berarti mendasarkan sesuatu yang tidak berhak kepada yang
berhak, yakni Allah, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar.
saw. : saw. dosa apakah yang lebih besar menurut Allah ? Beliau menjawab : “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dial ah yang menciptakanmu” (HR. Bukhari dan Muslim )
Ciri-ciri syirik diantaranya menyembah selain Allah,
menyekutukan Allah, dan mengharap kepada selain Allah. Secara umum,
syirik dimasukkan ke dalam tiga kelompok, yaitu Syirik besar dan Syirik
kecil dan syirik tersembunyi. Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia
meninggal dunia dan belum bertaubat kepada Allah. Syirik besar adalah
memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a
kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan
penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk
kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang
tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat.
Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan
dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama
selain Allah. "Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka
ia telah berbuat kufur atau syirik." HR. At-Tirmidzi (No.1535)
kehendak hati, ucapan lisan, berupa penyerupaan antara Allah dengan
"Sesungguhnya, terkadang seseorang mungkin mengucapkan suatu perkataan yang membuat Allah murka, yang ia tidak melihatnya itu berbahaya, padahal perkataannya itu mengantarkannya ke neraka selama tujuh puluh musim semi." (HR. Ibnu Majah)
Syirik Tersembunyi sebenarnya dapat digolongkan ke dalam
syirik kecil. Sehingga syirik dapat dibagi menjadi dua jenis syirik besar
yang terkait dengan keyakinan hati, dan syirik kecil yang terkait dengan
perbuatan, perkataan lisan dan motivasi hati yang tersembunyi.
( http://abufathirabbani.blogspot.co.id/2012/11/syirik-pengertian-sebab-sebab-dan-jenis.html)
Mengenai larangan seseorang merasa sial telah di jelaskan dalam
hadis yang ditulis oleh Drs. Muslich Shabir adalah sebagai berikut sial dengan sesuatu apapun” ( Riwayat Abu Daud).
“Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasullullah Saw bersabda:
“ Tidak ada sakit menular dan tidak ada kesialan karena sesuatu dan seandainya hal itu terjadi maka hanya terbatas dalam rumah, istri, dan kuda( binatang)”. ( Riwayat Bukhari- Muslim)
Sebagaimana juga dalam ayat Alqur‟an telah dijelaskan larangan
berbuat syirik sebagai berikut :
َِوَّللاِبَ ْكِرْشُيَْنَمَوَُءاَشَيَْنَمِلَ َكِلَذََنوُدَاَمَُرِفْغَ يَوَِوِبَ َكَرْشُيَْنَأَُرِفْغَ يَلٍََوَّللاََّنِإ
“Sesungguhnya Allah tiada mengampuni, jika Dia dipersekutukan dengan lainNya dan Dia akan mengampuni (dosa) yang kurang itu,bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa mempersekutukan Allah, sesungguhnya ia telah memperbuat dosa yang besar”. ( An nisa‟48)
ََنوُرَأَْتََِوْيَلِإَفَُّرُّضلاَُمُكَّسَمَاَذِإََُّثَُِوَّللاََنِمَفٍَةَمْعِنَْنِمَْمُكِبََمَو
"Apa-apa nikmat yang ada padamu, maka ia dari pada Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kemudlaratan, maka kepada Nya kamu minta pertolongan")Surat An- Nahl 53)
C. Harmoni Islam dan Budaya Jawa
Menurut pemaparan John M. Echols dan Hassan Shadily dalam
Kamus Bahasa Inggris Indonesia yang dikutip oleh Roqib kata harmoni
berasal dari bahasa Inggris harmonius yang berarti rukun, seia sekata.
Harmonize yang berarti perpadanan, seimbang, cocok, berpadu yang
berarti keselarasan keserasian. Harmoni yang sebenarnya ialah, jika
semua interaksi sosial berjalan secara wajar dan tanpa adanya
tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya
kebebasan. Keharmonisan sosial menjadi harapan setiap individu.
Semua agama mengajarkan agar pemeluknya hidup damai dan
harmonis, baik secara internal maupun eksternal. Dalam Islam,
kerukunan dan keharmonisan sosial ditemukan diantaranya dalam
konsep ukhuwwah atau persaudaraan. (Roqib, 2007:21-22)
Menurut pemaparan Kuntowijoyo interaksi antara agama dan
kebudayaan dapat terjadi dengan: (1) Agama mempengaruhi
kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tapi
simbolnya adalah kebudayaan. (2) Kebudayaan dapat mempengaruhi
simbol agama (3) Kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan
simbol agama. (Roqib,2007:6) Masyarakat Jawa adalah masyarakat
yang menjunjung tinggi budaya unggah-ungguh atau tatakrama. Ada
sebutan mikul duwur mendem jero (mengangkat tinggi dan mengubur
dalam-dalam) digunakan untuk memberikan pesan agar orang berkenan
begitu tidak baik), tidak baik dinyatakan dengan ora ilok, menunjukkan
bahwa ada kesan sakral, dan masih banyak istilah yang dipakai oleh
orang jawa (Roqib,2007:7).
Hubungan selamatan dengan keharmonisan seperti dengan
membuat nasi golong (nasi putih yang dibentuk bulatan seukuran bola
tennis) yang dimaksudkan untuk melambangkan kebulatan tekad yang
manunggal atau golong gilig (Giri,2009:23) beserta lauknya yang
berupa ikan, itu berarti kita harus terus menerus melestarikan tumbuhan
yang berdaun lebar untuk membungkus nasinya, juga harus
melestarikan laut dan sungai agar tetap menjadi sumber kehidupan bagi
ikan. Inilah yang membuat sumber kehidupan semakin harmonis
(Roqib, 2007:54). Dalam Serat Wurwakala yang dikutip oleh Roqib,
selain selametan di Jawa ada istilah ruwatan, yaitu upacara pembebasan
bagi anak atau orang yang kehadirannya di dunia ini dianggap tidak
menguntungkan atau karena melakukan perbuatan-perbuatan terlarang.
Apabila hal itu terjadi atau dilakukan, anak atau orang itu diancam akan
dimakan Batara Kala. Hal lain yang perlu diruwat adalah jika seseorang
melakukan perbuatan-perbuatan yang ora ilok atau tercela. Selametan
dan ruwatan memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama meminta
kepada Tuhan agar selamat dari bahaya dan sehat (waras) dari segala
penyakit. Tujuan lain adalah untuk menjaga keserasian manusia
manusia dengan alam, baik alam fisik maupun alam nonfisik. Terkait
proses islamisasi tradisi semisal tradisi selametan 1,3,7,40,100,1000
hari bagi orang yang telah meninggal dunia (Roqib,2007:56).
Menurut Achmad Chodim yang dikutip oleh Roqib, tradisi dan
budaya akomodatif terhadap budaya lokal ini merupakan upaya dakwah
yang merespons budaya lokal untuk menciptakan harmonitas sosial
sehingga ajaran Islam bisa diaplikasikan tanpa ada penggusuran
terhadap tradisi lama yang baik. Keserasian dengan tradisi lokal ini
memiliki posisi penting bagi orang Jawa. Hal ini juga ditunjukkan oleh
para wali, Meski Sunan Kalijaga menjadi anggota Wali Songo, tetapi
dia tetap berpakaian ala Jawa. Sunan tidak menggunakan jubah atau
surban. Sunan tetap menggunakan blangkon (semacam ikat kepala yang
tinggal dipakai). Sunan tidak menggunakan jubah, tetapi menggunakan
bajunya sendiri yang disebut baju takwa (yaitu baju pas model Jawa
dengan kerah tegak dan panjang). Dengan kreasi seperti inilah Sunan
Kalijaga mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat
(Roqib, 2007:56-57). Islam yang dibawa diantaranya oleh “Walisongo”
telah berkolaborasi dengan budaya Jawa dan menjadi Islam Jawa yang
memiliki karakteristik khas Jawa. Kepercayaan pra-Islam pada
masyarakat Jawa yang animis, dinamis, Hindu dan Budha tetap
dipandang oleh Tohari dalam pandangan adat dan tradisi kebudayaan
yang memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang tidak akan dibongkar
dan dibersihkan jika tidak bertentangan dengan ajaran Islam (akhlaq
BAB III
Desa Sembungan dan Munculnya Tradisi Ruwatan Rambut Gimbal A. Gambaran Umum Desa Sembungan
Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “di” yang artinya tempat
yang tinggi dan “hyang” yang berarti kahyangan. Maka Dieng bisa berarti
daerah pegunungan tempat dimana para Dewa dan Dewi bersemayam.
Terletak diatas ketinggian 2.093 DPL, mempunyai udara yang sejuk dengan
suhu antara 10-15º C. Dieng juga dapat diartikan dalam bahasa Jawa “adi tur
Aeng‟‟ yang artinya indah dan unik, dimana Dieng mempunyai kelebihan dan
perbedaan tersendiri dibanding kabupaten/kota lain, salah satunya desa
Sembungan.
Desa Sembungan tepatnya berada di kecamatan Kejajar, kabupaten
Wonosobo Jawa Tengah. Sembungan terkenal dengan sebutan desa tertinggi
di Pulau Jawa. Sembungan merupakan daerah yang cukup potensial secara
ekonomis, karena penghasilan warganya disamping bersumber dari pertanian
kentang juga bersumber dari hasil pariwisata di Desa Sembungan. Desa
Sembungan terkenal dengan hasil tanaman buahnya seperti Carica, dan
Terong belanda. Selain hasil pertanian, wisata Sunrise Sikunir juga menjadi
salah satu daya tarik sendiri bagi wisatawan. Disana kita dapat melihat
indahnya matahari terbit dari bukit Sikunir secara langsung. Selain itu, juga
terdapat ritual cukur rambut Gimbal yang merupakan ikon kabupaten
Wonosobo dan sudah menjadi tradisi turun temurun warga kabupaten
tahunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam
rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Wonosobo. Untuk tahun 2015 ini
merupakan HUT yang ke 190 dengan mengambil tema damai dalam
perbedaan “Dukung Wonosobo Kabupaten Ramah HAM”. Ritual ini
dilakukan terhadap anak-anak yang memiliki rambut gembel atau gimbal
yang tidak akan dapat ditemukan dikabupaten lain. Gambaran Secara
Geografis desa Sembungan :
Luas dan Batas Wilayah
Luas desa/ kelurahan : 291.730 Ha
Batas Wilayah
Sebelah utara : Desa Parikesit Kecamatan Kejajar
Sebelah Selatan : Desa Menjer Kecamatan Garung
Sebelah Barat : Desa Sikunang Kecamatan Kejajar
Sebelah Timur : Desa Tieng Kecamatan Kejajar
Kondisi Geografis
Ketinggian tanah : 2300 Mdpl
Suhu udara rata-rata : 10-15º C
Orbitasi (jarak dari pusat Pemerintahan)
Jarak dari pusat Ibu kota Kecamatan : 17 km
Jarak dari Ibu kota Kabupaten : 31 km
Jarak dari Ibu Kota Propinsi : 146 km
Jarak dari Ibu Kota Negara : 440 km
Jumlah Penduduk : 1354 jiwa
Sumber daya Alam ( obyek wisata)
1. Golden Sunrise Bukit Sikunir
2. Telaga Cebong
3. Air Terjun Sikarim
4. Telaga Warna
5. Religi Makam Mbah Adam Sari
6. Kawah Sikidang
7. Gunung Prau
8. Telaga Menjer
9. Dieng Plateau Theater
B. Struktur Organisasi RT/RW
Desa Sembungan Kecamatan Kejajar, Wonosobo
C. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Sembungan adalah desa tertinggi yang ada di Jawa Tengah dengan
keadaan wilayah selalu tertutup kabut dan bersuhu dingin. Keadaan
geografis yang demikian menjadikan menjadikan masyarakat Sembungan
sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani kentang dan Carica.
Selain pertanian karena wilayah sembungan terdapat potensi wisata,
masyarakat Sembungan juga bekerja sebagai pemandu wisata dan
mendirikan home stay atau penginapan bagi para wisatawan. Bahkan juga
terdapat PLTU (pembangkit Listrik tenaga uap) yang memanfaatkan dari
uap kawah yang ada. Desa Sembungan juga mempunyai kebudayaan khas
yaitu Ruwatan anak Rambut Gimbal yang banyak menarik banyak
wisatawan untuk mengunjunginya.
Kondisi sosial perilaku masyarakat antara satu warga dengan warga
satunya terjalin sangat erat dan masih bersifat kekeluargaan. Mereka masih
mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan dalam bermasyarakat.
Dalam hal pertanian yang dahulu mereka hanya jalan kaki dan
menggunakan grobak sebagai pembantu hasil pertanian sayuran dan
kentang mereka, namun sekarang mereka sudah menggunkan mobil
maupun pick up sebagai alat transportasi mereka.
Sedangkan dalam bidang pendidikan masyarakat desa Sembungan
sudah banyak yang mengenyam pendidikan 9 tahun. Di desa Sembungan
Sembungan sendiri masyarakatnya lebih mengepentingkan masalah
agamanya. Walaupun ada sebagian yang sudah masuk keperguruan tinggi
namun bagi mereka beranggapan pada akhirnya mereka juga akan menjadi
petani juga. Masyarakat Sembungan juga sudah mengenal bagaimana
tentang cara berorganisasi seperti adanya POKDARWIS (kelompok sadar
wisata) dan kelompok tani. Meskipun kemajuan Zaman semakin
berkembang namun tidak mempengaruhi dalam nilai-nilai kemasyarakatan
di masyarakat Sembungan.
Dalam segi kebudayaan Sembungan memiliki banyak kebudayaan
seperti mitos, kesenian, dan tradisi. Masyarakat Sembungan masih
mempercayai tentang adanya mitos yaitu beranggapan adanya makhluk
lain yang hidup diantara mereka meskipun pemikiran mereka sudah
rasional. Salah satu ritual yang masih dipegang masyarakat seperti ruwatan
anak Gimbal. Mitos anak gimbal sampai sekarang masih dipercayai
masyarakat Sembungan. Apabila tidak melakukan ruwatan mereka
khawatir akan terjadi sesuatu di Sembungan. Pengaruh budaya lain seperti
adanya potensi wisata di Sembungan menyebabkan sering dikunjungi
wisatawan asing maupun lokal dan kondisi ini membuat mereka
D. Sejarah Ruwatan di Sembungan
Sembungan berasal dari kata Sembung mendapat akhiran an,
Sembungan sendiri berasal dari nama pendiri desa Sembungan yaitu Mbah
Adam Sari atau lebih populer dengan sebutan Mbah Sembung, sehingga
nama beliau dijadikan nama Desa Sembungan. Awal mula ruwatan tidak
lepas dari salah satu dari tiga orang kyai yaitu Kyai Walik, Kyai Karim,
dan Kyai Kolodete yang dipercaya masyarakat Wonosobo sebagai pendiri
Kabupaten Wonosobo dalam penyebaran agama Islam. Kyai Kolodete
dipercaya masyarakat Dieng sebagai tokoh spiritual, selain itu ia dikenal
sebagai seorang yang sakti dan mempunyai ciri khas rambutnya yang
gimbal atau gembel. Di daerah Tinggi Dieng ini banyak anak kecil yang
berambut gimbal, dan mereka beranggapan bahwa anak-anak gimbal
tersebut merupakan titipan Kyai Kolodete. Anak berambut gimbal di
dataran tinggi Dieng dan sekitarnya hingga lereng barat gunung Sindoro
dan gunung Sumbing diyakini keturunan Kyai Kolodete yang konon
berambut gimbal. Anak-anak gembel tersebut sering disebut anak sukerta
(diganggu).
Anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari
Bathara kala. Agar kembali menjadi anak yang wajar maka harus
disucikan dan dibersihkan Gimbalnya. Proses menghilangkan sesuker
rambut Gimbalnya itulah yang dinamakan Ruwatan. Ruwatan berasal dari
bahasa Jawa yang berarti “lepas” yaitu lepas dari karakter anak gimbal
Ruwatan di Jawa merupakan pembebasan bagi anak atau orang
yang kelahirannya di dunia ini tidak menguntungkan atau melakukan
perbuatan-perbuatan didunia yang dianggap terlarang dan diancam akan
dimakan oleh Bathara kala. Upacara Ruwatan rambut gimbal di Dieng ini
bertujuan memohon kepada Allah untuk menghilangkan bala atau
bencana.
Dalam prosesi upacara ruwatan ini terdapat akulturasi budaya
seperti nilai-nilai tradisi kejawen atau lokal dengan nilai-nilai Islam.
Seperti dalam upacara ini terdapat jajan pasar, bucu, dan ingkung sebagai
perlengkapan ruwatan yang menggambarkan sebagai tradisi lokal dan
nilai-nilai Islam nya terdapat pada pembacaan doa-doa yang digunakan
dalam prosesi ruwatan.
Bagi masyarakat Dieng upacara ruwatan ini memiliki makna yang
sangat sakral bagi mereka. Mereka beranggapan jika anaknya yang
berambut gimbal diruwat dan dipotong rambut gimbalnya maka si anak
akan terbebas dari sesuker yang dititipkan oleh Kyai Kolodete. Dan
upacara ruwatan rambut gimbal sampai sekarang masih dilaksankan
E. Rangkaian Prosesi Ruwatan
1. Pra Acara
Kirab Budaya Kelompok kesenian dan anak yang akan diruwat start dari
Kantor kepala desa Sembungan menuju lapangan telaga Cebong lokasi
melakukan ruwatan.
Telaga cebong tempat melakukan ruwatan pemotongan rambut gimbal.
2. Prosesi Ruwatan
Sesampainya di telaga cebong tempat melakukan prosesi
ruwatan disambut dengan sholawat rebana, setelah sholawat dan rebana
kemudian dibuka dengan sambutan oleh salah satu ketua pelaksana
upacara sekaligus membuka acara ruwatan pemotongan rambut gimbal.
Dilanjutkan dengan pembacaan doa-doa tokoh agama setempat dan
tokoh masyarakat.
2. Pemberian permintaan anak rambut gimbal
Sebelum prosesi pemotongan dilakukan anak berambut gimbal
dipenuhi permintaannya oleh salah seorang tokoh masyarakat sebagai
penitia pelaksana.
2. Prosesi Cukur Rambut Gimbal
Setelah permintaan anak rambut gimbal dipenuhi, maka
prosesi pemotongan rambut gimbal.
5. Larungan
Prosesi terakhir dari pemotongan rambut gimbal yaitu larungan
(pembuangan rambut) dimana rambut yang sudah dipotong
dikumpulkan kemudian dilarung (dibuang) ditengah telaga cebong
dengan iringan Sholawat nabi dan musik rebana yang kemudian
dilanjutkan dengan selametan Bucu Robyong (nasi tumpeng yang
ditusuki jajan pasar).
7. Pentas Kesenian
Acara terakhir dari ruwatan pemotongan rambut gimbal