• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN SCHOOL WELL-BEING DENGAN PRESTASI AKADEMIK PADA SISWA BERBAKAT AKADEMIK KELAS XI PROGRAM AKSELERASI DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN SCHOOL WELL-BEING DENGAN PRESTASI AKADEMIK PADA SISWA BERBAKAT AKADEMIK KELAS XI PROGRAM AKSELERASI DI JAKARTA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 Universitas Indonesia

HUBUNGAN

SCHOOL WELL-BEING

DENGAN PRESTASI AKADEMIK

PADA SISWA BERBAKAT AKADEMIK KELAS XI PROGRAM

AKSELERASI DI JAKARTA

Haniva Az Zahra Widayatri Sekka Udaranti

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Prestasi akademik sebagai salah satu prediktor kesuksesan siswa di sekolah dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Konstruk yang menjelaskan faktor internal dan eksternal yang memengaruhi prestasi akademik ini adalah school well being, dikembangkan oleh Konu & Rimpelä (2002). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara school well-being

dengan prestasi akademik bagi siswa berbakat akademik. Penelitian dilakukan pada siswa kelas XI SMA program akselerasi di Jakarta. Sebanyak 52 siswa menjadi sampel penelitian ini. Penelitian dilakukan menggunakan kuisioner untuk mengukur school well-being siswa dan tes prestasi akademik yang menggunakan soal Ujian Akhir Nasional pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa school well-being

memiliki hubungan positif yang signifikan dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik. Hasil analisis tambahan, menunjukkan bahwa dimensi having memiliki hubungan positif yang signifikan dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik. Selain itu, dalam penelitian ini ditemukan perbedaan yang signifikan pada prestasi akademik siswa berdasarkan latar belakang pendidikan ibu. Ditemukan pula perbedaan yang tidak signifikan antara school well-being dengan jenis kelamin, school well-being dengan latar belakang pendidikan orang tua, prestasi akademik berdasarkan jenis kelamin, dan prestasi akademik berdasarkan latar belakang pendidikan ayah.

Academic achievement is predictor of student success in school, affected by internal and external factor. One construct that describes internal and external factor that affects academic achievement is a school well being by Konu & Rimpelä (2002). This research was conducted to examine the relationship between school well-being of academic achievement for students with academic gifted. The research was conducted on the students of class XI Acceleration Program in high school. Total sample comprised 52 students. Result indicated that school well-being has a significant positive correlation with academic achievement in academic gifted students. In comparison, it was found thas just only having dimension of school well-being that has a significant positive correlation with academic achievement in academic gifted students. In addition, there was a significant difference in the academic achievement of students based on maternal education. Moreover, there are no significant differences between the school well-being by gender, school well-being based on parental education, academic achievement by gender, and academic achievement based on father's education.

Key words : Academic achievement; academic gifted; high school student; school well-being.

(2)

Universitas Indonesia LATAR BELAKANG

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini dijamin oleh negara sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 amandemen keempat Bab XIII, yakni setiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengatur bentuk pendidikan di Indonesia. Salah satu bagian warga negara yang berhak ini termasuk di antaranya warga negara yang memiliki kecerdasan istimewa sebagaimana terdapat pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, pasal 5 ayat 4 yaitu “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Istilah potensi kecerdasan dan bakat istimewa seringkali disebut dengan istilah gifted atau berbakat.

Salah satu perwujudan dari peraturan perundang-undangan Sisdiknas No.20 tahun 2003, pasal 5 ayat 4 tersebut adalah dibentuknya kelas akselerasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2000. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa mereka yang tergolong memiliki kecerdasan dan bakat istimewa diharapkan mampu mengoptimalkan dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Menurut hasil Seminar Nasional Program Alternatif Pendidikan Anak Berbakat pada 12-14 November 1981 (Hawadi, 2005), tidak tersedianya pelayanan pendidikan bagi anak-anak berbakat sesuai dengan kebutuhannya yang khas akan berakibat pada kurang maksimalnya potensi yang mereka miliki. Jika kondisi ini terjadi, selain Indonesia akan kehilangan bibit-bibit unggul bagi perkembangan negara dan bangsa, anak-anak tersebut dirugikan dan bahkan dapat menjadi anak bermasalah seperti anak dengan underachievevement atau drop-out (Hawadi, 2005)..

Pembentukan kelas akselerasi bagi siswa berbakat akademik belum cukup untuk menyelenggarakan pendidikan khusus guna memaksimalkan potensi yang dimiliki dan menghindarkan anak dari underachievement. Pendapat ini diperkuat dengan wawancara peneliti dengan tiga orang siswa berbakat akademik kelas XI di SMA. Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan fakta bahwa ada siswa berbakat akademik di kelas akselerasi yang memunculkan ciri-ciri dari underachievement. Hal ini menjadi bukti bahwa kelas akselerasi tidak mampu langsung menjadi solusi penyelenggaraan pendidikan khusus guna memaksimalkan potensi dan menghindarkan anak dari underachievement. Arifin (1991) menjelaskan bahwa perlu adanya indikator yang mampu melihat apakah pendidikan yang terselenggara di sekolah sudah mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa. Indikator tersebut adalah prestasi akademik. Prestasi akademik adalah perwujudan dari potensi dan apa yang telah dipelajari atau kemampuan yang terinternalisasi pada diri siswa

(3)

Universitas Indonesia (Winkel, 1991). Hal ini menurut Winkel (1991) dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal.

Siswa berbakat akademik sesuai dengan karakteristik keberbakatannya memiliki faktor internal yang baik untuk memunculkan prestasi akademik yang baik. Selain itu, faktor eksternal yang ada di sekitar siswa berbakat akademik pun tentunya baik untuk memunculkan prestasi akademik yang baik pula. Akan tetapi, hasil wawancara peneliti dengan siswa berbakat akademik mendapatkan fakta bahwa ada beberapa siswa yang potensi akademiknya tidak dapat dioptimalkan di dalam kelas akselerasi, siswa ini bisa masuk dalah kategori

underachievement. Seorang siswa yang memiliki bakat dan potensi yang besar, apabila tidak didukung dengan tempat aktualisasi bakat dan potensi yang baik, yaitu sekolah, tidak akan mampu untuk mewujudkan bakat dan potensi yang dimiliki. Oleh karena itulah, dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkungan sekolah menjadi sangat memengaruhi muncul atau tidaknya prestasi akademik.

Berdasarkan informasi di atas, peneliti berpendapat bahwa sangat penting bagi pendidik untuk mengetahui penilaian subjektif siswa terhadap keadaan sekolahnya. Salah satu konstruk psikologi yang membahas penilaian subjektif siswa terhadap keadaan sekolahnya adalah school well-being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä (2002). School well-being adalah penilaian subjektif siswa terhadap keadaan sekolahnya sebagai sebuah keadaan yang memungkinkan siswa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, meliputi dimensi having,

loving, being, dan health (Konu & Rimpelä, 2002).

Penelitian ini melihat hubungan antara school well-being dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik. Subjek dari penelitian ini adalah siswa SMA program akselerasi. Gambaran school well-being akan diukur menggunakan alat ukur school well-being yang sudah diadaptasi oleh Ahmad (2011) untuk digunakan pada siswa SMA di Indonesia. Prestasi belajar akan diukur menggunakan tes tertulis yang sifatnya obyektif dan sudah terstandarisasi yaitu soal Ujian Akhir Nasional pada tahun 2011 pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia.

Peneliti berharap hasil penelitian ini mampu memberikan manfaat dalam upaya membantu keberhasilan siswa berbakat akademik di sekolah, khususnya dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki dan menghindarkan siswa dari underachievement.

(4)

TINJAUAN TEORITIS School well-being

School well-being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä (2002) merujuk pada konsep well-being menurut Allardt. Allardt sendiri mendefinisikan well-being sebagai keadaan yang memungkinkan individu untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan material dan non-material (Konu & Rimpelä, 2002). Kebutuhan material dan non-material tersebut dibagi menjadi dimensi having, loving, dan being. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan, Konu dan Rimpelä (2002) melakukan kajian dari berbagai literatur sosiologis, pendidikan, psikologis, dan peningkatan kesehatan untuk merumuskan konsep

school well-being yang lebih menyeluruh. Perumusan konsep ini menghasilkan model school well-being yang didalamnya aspek health dikeluarkan dari dimensi having, dan berdiri sendiri menjadi satu dimensi, sehingga dimensi school well-being menjadi having, loving, being, dan

health.

Keempat dimensi school-well being sudah menyeluruh untuk menggambarkan well-being siswa selama di sekolah. Dimensi having merujuk pada kondisi material dan kebutuhan personal dalam perspektif yang luas. Loving merujuk pada kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain dan membentuk identitas sosial. Selanjutnya, being merujuk pada pemenuhan kebutuhan dasar diri, seperti kemungkinan untuk berkreativitas, penghargaan, serta bimbingan dan dorongan. Dimensi health merujuk pada status kesehatan seseorang, apakah seseorang bebas dari suatu penyakit atau simtom. (Konu & Rimpelä, 2002).

Merujuk pada perumusan konsep tersebut, Konu dan Rimpelä (2002) mendefinisikan

school well-being sebagai sebuah keadaan sekolah yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan dasarnya, yang meliputi dimensi having, loving, being, dan health. Dalam penelitian ini, definisi school well-being yang digunakan adalah penilaian individu terhadap diri mereka sendiri dan hubungannya dengan lingkungan sekolah dalam memuaskan kebutuhan dasarnya yang meliputi dimensi having, loving, being, dan health.

Prestasi Akademik

Prestasi akademik dapat didefinisikan sebagai suatu perwujudan dari potensi dan apa yang telah dipelajari atau kemampuan yang terinternalisasi pada diri siswa terkait dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan pada mereka (Winkel, 1991). Menurut Arifin (1991) prestasi akademik merupakan hasil dari suatu usaha, kemampuan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal di bidang pendidikan.

(5)

Ada banyak faktor yang dapat memengaruhi prestasi akademik, antara lain yang bersifat internal dan eksternal (Winkel, 1991). Zarfiel (2000) menyatakan bahwa prestasi belajar siswa ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang sudah ada pada diri siswa seperti taraf inteligensi, minat, bakat, sikap, motivasi, konsep diri, kondisi fisik dan psikis, kepribadian, dan taraf kemampuan berbahasa. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar diri siswa yang bisa memengaruhi prestasi akademik, yaitu faktor yang ada di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pada lingkungan sosial yang lebih luas.

Anak Berbakat Akademik

Istilah potensi kecerdasan dan bakat istimewa seringkali disebut dengan istilah gifted

atau berbakat. Penelitian Renzulli dan Reis (1991) menunjukkan bahwa orang yang dianggap berbakat setidaknya memiliki karakteristik sebagai berikut, pertama mereka yang memiliki kemampuan yang tinggi dibandingkan dengan rata-rata orang, termasuk kemampuan inteligensi. Kemudian mereka juga memiliki daya kreativitas yang tinggi, atau kemampuan untuk memformulasikan ide baru dan mengaplikasikannya untuk menyelesaikan masalah. Terakhir, orang yang dianggap berbakat memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap tugas, atau level motivasi yang tinggi, dan kemampuan untuk melihat suatu tugas untuk menyelesaikannya. Karakteristik anak berbakat secara lebih mendalam akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

Tokoh pendidikan anak berbakat di Indonesia memiliki definisinya sendiri tentang anak berbakat, ialah Munandar (1992) yang mendefinisikan anak berbakat sebagai mereka yang mampu memberikan prestasi yang tinggi karena memiliki kemampuan yang unggul. Sebelumnya, Seminar Nasional Program Pendidikan Alternatif bagi Anak Berbakat yang diselenggarakan pada tahun 1981 (Hawadi, 2010) merumuskan pula apa definisi anak berbakat, yaitu mereka yang oleh orang profesional (kompeten di bidang penentuan hal tersebut, contoh: psikolog) diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang telah nyata (terwujud), meliputi kemampuan berpikir kreatif, psikososial, seni, psikomotorik/kinestetik. Menurut hasil Seminar Nasional tersebut, anak-anak berbakat akademik seperti ini membutuhkan program pendidikan yang terdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah yang biasa agar dapat mewujudkan sumbangannya untuk diri sendiri dan masyarakat.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2012) siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata disebut sebagai Cerdas Berbakat Istimewa. Siswa Cerdas

(6)

Istimewa-Berbakat Istimewa ini difasilitasi dengan program siswa berbakat akademik dimana siswa mampu menyelesaikan masa studi lebih cepat daripada yang lainnya (program akselerasi).

Dengan demikian, berdasarkan definisi anak berbakat akademik yang sudah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak berbakat akademik adalah anak-anak dengan kemampuan inteligensi di atas rata-rata anak serta kemampuan tersebut dapat terwujud salah satunya melalui prestasi akademik. Indonesia sendiri menggunakan istilah Cerdas Istimewa-Berbakat Istimewa untuk anak berbakat akademik ini. Akan tetapi dalam penelitian ini digunakan istilah siswa berbakat akademik untuk menjelaskan berbakat akademik yang menjadi peserta program kelas akselerasi.

Program Akselerasi di Indonesia

Departemen Pendidikan Nasional menyelenggarakan program akselerasi untuk memenuhi hak belajar dari siswa berbakat akademik. Akselerasi secara definisi berarti bergerak lebih cepat. Dalam setting pendidikan maksudnya bergerak lebih cepat melalui konten akademik, biasanya menyediakan kurikulum standar untuk siswa yang lebih muda dari siswa biasa. Jadi, anak usia yang lebih muda dengan kemampuan yang lebih unggul mampu belajar kurikulum yang sama dengan siswa yang biasa. Akselerasi adalah salah satu program pelayanan bagi anak berbakat. Akselerasi didefinisikan sebagai program yang dipercepat dalam penempatan ataupun kredit pelajaran. Program ini dapat mengakomodasi kemampuan yang tinggi dari anak berbakat. Akselerasi atau Program Percepatan Belajar (PPB) memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan waktu belajar dari enam tahun menjadi lima tahun pada jenjang SD dan tiga tahun menjadi dua tahun pada jenjang SMP dan SMA. Tujuan program akselerasi adalah untuk memaksimalkan potensi peserta didik agar terlayani dengan baik dan tidak mengalami underachievement.

Guru akselerasi adalah guru yang terbaik berdasarkan kriteria tertentu, seperti pengalaman mengajar, prestasi, tingkat pendidikan yang dipersyaratkan, dan telah dipersiapkan untuk mengajar siswa akselerasi. Semiawan (1997) berpendapat, proses pembelajaran anak berbakat memerlukan pendampingan dan pembelajaran yang baik sehingga akan tercipta suasana belajar yang kooperatif antara guru dan siswa.

Departemen Pendidikan Nasional (2012) menjelaskan bahwa sekolah yang menyelenggarakan program akselerasi adalah sekolah yang memiliki sarana dan pra-sarana yang baik sehingga mampu menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan baik. Sejumlah sekolah yang memiliki program akselerasi di Indonesia memberikan fasilitas yang lebih baik kepada siswa program akselerasi. Sekolah yang menjadi partisipan penelitian kali

(7)

ini adalah SMA Negeri yang berada di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Kedua sekolah ini memiliki program akselerasi untuk menyelenggarakan pendidikan bagi siswa berbakat akademik. SMA yang menjadi partisipan penelitian kali ini merupakan Rancangan Sekolah Berstandar Internasional yang memiliki fasilitas sekolah yang cukup baik. Kedua SMA memiliki bangunan yang modern serta memiliki fasilitas dan sarana yang lengkap seperti perpustakaan, laboratorium, ruang UKS, kantin, dan fasilitas lain yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Selain itu, kedua sekolah ini juga menerapkan disiplin yang ketat pada siswa-siswanya. Penerapan disiplin dalam sekolah tersebut menggunakan hukuman yang diterapkan dalam kegiatan selama di sekolah. Menurut pengakuan guru dan murid, penerapan hukuman cukup baik karena diterapkan sesuai pada tempatnya. Hanya anak-anak yang melanggar peraturan sajalah yang akan mendapatkan hukuman.

Selain itu, kondisi lingkungan sekolah pun bersih, ditambah dengan prinsip sekolah untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. Ruang UKS sebagai tempat pertolongan pertama bagi siswa dengan masalah kesehatan pun berfungsi dengan baik. Kedua sekolah yang menjadi partisipan penelitian menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada sekolahnya. Sebagai akibat dari penerapan kurikulum tersebut, penilaian yang diberikan kepada siswa tidak hanya dalam aspek kognitif, tetapi juga afektif, dan psikomotor. Kedua sekolah ini memiliki satu orang penanggung jawab kelas Akselerasi. Penanggung jawab inilah yang berusaha mengakomodir setiap kebutuhan belajar mengajar yang diperlukan oleh siswa selama di sekolah. Selama penelitian berlangsung, penanggung jawab kelas Akselerasi inilah yang mendampingi peneliti melakukan pengambilan data selama di kelas.

Hubungan antara School Well-being dengan Prestasi Akademik

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa jika kebutuhan akan pemenuhan diri siswa tercapai karena lingkungan sekolah yang sehat, siswa akan terpacu untuk lebih terlibat dalam kegiatan belajar dan tugas-tugas sekolahnya serta memiliki kebiasaan belajar yang baik dan berakibat pada prestasi akademik yang baik (Ainley; Epstein & McPartland; Fine, dalam Huebner & McCullough, 2000). Dalam hal ini well-being siswa di sekolah merupakan konstruk dari school well-being. Hal tersebut dapat terjadi karena dimensi-dimensi dalam

school well-being memengaruhi prestasi akademik siswa secara keseluruhan. Konstruk

school well-being merupakan konstruk yang cukup menyeluruh untuk memengaruhi prestasi akademik siswa. Dimensi having dan loving merupakan dimensi yang memengaruhi prestasi akademik siswa secara eksternal, yaitu pada faktor yang ada pada lingkungan sekolah.

(8)

Dimensi being dan health merupakan dimensi yang memengaruhi prestasi akademik siswa secara internal, yaitu pada keadaan diri siswa itu sendiri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi akademik siswa dipengaruhi oleh kondisi bangunan sekolah dan lingkungan baik fisik maupun lingkungan non fisik yang ada dalam sekolah (Duran & Narucki, 2008). School well-being membahas relasi tersebut dalam dimensi having. Kondisi bangunan sekolah dan lingkungan yang baik akan mendukung kegiatan belajar mengajar yang dilakukan siswa selama berada di sekolah. Fasilitas yang serba ada memberikan dukungan positif sehingga mampu mengoptimalkan prestasi akademik yang mampu dicapai oleh siswa. Penelitian Ly, dkk. (2012) menemukan hubungan positif yang signifikan antara kualitas hubungan antara guru dan siswa terhadap prestasi akademik yang mampu dicapai siswa. Secara spesifik school well-being juga membahas hal tersebut dalam dimensi loving. Hubungan guru dan siswa yang semakin baik juga akan mampu membantu siswa mengoptimalkan prestasi akademik yang mampu dicapainya. Siswa mendapatkan banyak pengajaran dan pendidikan dari guru selama di sekolah. Hubungan yang baik antara guru dan siswa dapat membuat siswa nyaman berada di sekolah dan pada akhirnya juga nyaman belajar di sekolah.

Selanjutnya, penelitian Harter (dalam Santrock, 2009) yang menemukan bahwa rendahnya self esteem berhubungan dengan rendahnya prestasi akademik, depresi, kelainan pola makan, dan kenakalan siswa juga dibahas dalam konsep school well-being dalam dimensi being. Rendahnya self-esteem seseorang memang berakibat pada ketidakpercayaan diri sendiri akan kemampuan yang sebenarnya dimiliki. Siswa yang tidak percaya dengan kemampuan dirinya tidak akan mampu menghasilkan prestasi akademik yang optimal. Oleh karena itulah sangat penting bagi siswa untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya selama di sekolah terkait dengan kebutuhan dirinya untuk akhirnya mempercayai dirinya sendiri memiliki kemampuan yang baik selama belajar di sekolah. Selain itu, Irmawan (2008) menyatakan bahwa kesehatan siswa menjadi sangat penting karena siswa akan dapat belajar dan menerima materi pelajaran dengan baik jika kondisi kesehatan siswa baik fisik maupun mental dalam keadaan baik. Kondisi kesehatan ini akan dibahas dalam konsep school well-being dimensi health. Siswa yang sehat tentu mampu belajar di sekolah dengan baik, seperti mengikuti kegiatan belajar mengajar sesuai dengan waktunya dan juga dapat beraktivitas di sekolah secara normal. Kesehatan siswa sangat memengaruhi keterlibatan siswa selama di sekolah. Hal ini pun pada akhirnya akan memengaruhi prestasi akademik bagi siswa tersebut. Pemaparan di atas memberikan penjelasan bahwa setiap dimensi dari school well-being secara teoretis memberikan pengaruh pada prestasi akademik yang dapat dicapai siswa

(9)

baik secara internal dan secara eksternal. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara school well-being dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik. Peneliti berharap hasil penelitian mampu menjadi referensi pihak sekolah untuk mengoptimalkan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik.

METODE PENELITIAN Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian ex post facto field studies, yaitu penelitian yang berada dalam setting natural (alami) dan tidak dilakukan manipulasi independent variabel. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian korelasional, yaitu penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara dua atau lebih aspek dari situasi. Berdasarkan tipe informasi yang diperoleh, penelitian ini tergolong kuantitatif karena data yang diperoleh berupa angka yang akan dioleh dengan perhitungan statistik yang selanjutnya dapat diinterpretasikan sehingga dapat diketahui hubungan antara kedua variabel. Penelitian ini tergolong penelitian noneksperimental dimana peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel bebas karena manipulasi telah terjadi. Partisipan penelitian

Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 52 orang siswa kelas XI Program Akselerasi Sekolah Menengah Atas Negeri di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur dengan rentang usia 14 sampai 17 tahun yang terdiri dari 52% perempuan dan 48% laki-laki. Siswa kelas XI SMA Program Akselerasi dipilih karena merupakan tahapan kelas yang membutuhkan perwujudan prestasi akademik yang baik agar mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan peneliti memilih SMA di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur peneliti mendapatkan kemudahan akses ke sekolah tersebut.

Teknik pengambilan sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling dimana tidak semua elemen dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dapat digunakan sebagai sampel dalam penelitian (Kumar, 2005). Adapun jenis

nonprobability sampling yang digunakan adalah convenience sampling dimana peneliti menggunakan partisipan yang mudah didapat. Partisipan dipilih berdasarkan pada ketersediaan dan kemauan untuk merespon penelitian (Grevetter & Forzano, 2009).

(10)

Instrument penelitian

School well-being. Pada penelitian kali ini alat ukur dari school well-being yang digunakan adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Ahmad (2011) berdasarkan alat ukur

school well-being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä (2002).

Alat ukur ini terdiri dari empat dimensi, yaitu having, loving, being dan health dengan total aitem sebanyak 46 aitem. Alat ukur ini telah melalui dua kali uji coba sehingga memenuhi kualifikasi sebagai alat ukur yang baik, seperti koefisien validitas dan reliabilitas yang sesuai standar.

Tabel 1.1 Indikator Alat Ukur School well-being

Dimensi Indikator Contoh Aitem

Having  Lingkungan fisik

 Mata Pelajaran dan Jadwal

 Hukuman

 Pelayanan

 Gedung sekolah saya terasa cukup luas

 Jadwal Pelajaran di sekolah saya padat

Loving  Iklim sekolah

 Dinamika kelompok

 Hubungan guru-murid

 Hubungan dengan teman sebaya

 Hubungan sekolah-rumah

 Saya merasa senang belajar di sekolah ini

 Di sekolah saya tidak memiliki teman dekat

Being  Penghargaan tehadap hasil kerja siswa

 Bimbingan dan Dorongan

 Peningkatan self esteem

 Penggunaan kreativitas

 Teman-teman menghargai hasil kerja saya

 Saya mampu meraih prestasi di sekolah ini Health  Gejala fisik

 Gejala mental

 Selama 6 bulan terakhir, kepala saya sering sakit

 Dalam 6 bulan terakhir, kadang-kadang saya takut datang ke sekolah

Setelah dilakukan uji coba terhadap alat ukur school well-being ini, didapat nilai reliabilitas 0.906 dan setiap dimensi dari school well-being memiliki koefisien reliabilitas lebih dari 0.60. Alat ukur ini menggunakan skala likert yang terdiri dari 6 skala dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 6 (sangat setuju).

Ringkasan uji coba alat ukur school well-being hingga yang akhirnya digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1.2 berikut :

(11)

Tabel 1.2 Ringkasan Uji Coba Alat Ukur Kedua School well-being

Dimensi

Sebelum Uji Coba

Setelah Uji Coba

Jml Aitem Jml Aitem Reliabilitas Validitas

Having 19 18 0.820 ≥ 0.2

Being 12 8 0.621 ≥ 0.2

Loving 16 14 0.847 ≥ 0.2

Health 8 6 0.883 ≥ 0.2

Total 55 46 0.906 ≥ 0.2

Prestasi Akademik. Alat ukur prestasi akademik terbagi menjadi dua, yaitu prestasi akademik pada Mata Pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Kedua alat ukur prestasi akademik ini dikembangkan dari Ujian Akhir Nasional tahun 2011 dari Departemen Pendidikan Nasional. Peneliti tidak menggunakan keseluruhan soal, tetapi hanya mengambil 30 dari 60 soal Bahasa Indonesia dan 25 dari 40 soal Matematika. Dalam memilih soal-soal tersebut, peneliti meminta bantuan dari dua orang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika untuk memilih soal-soal yang dianggap mampu menjadi representasi untuk mengukur prestasi akademik siswa berbakat akademik. Jadi, alat ukur prestasi akademik ini terdiri dari 30 soal Bahasa Indonesia dan 25 soal Matematika. Peneliti tidak mendapatkan kisi-kisi dan indikator dari alat ukur prestasi akademik ini karena peneliti langsung menyerahkan kepada ahli untuk mengkonstruk alat ukur prestasi akademik. Alat ukur ini, menurut ahli, sudah merupakan alat ukur yang baik untuk mengukur prestasi akademik. Alat ukur prestasi akademik ini dalam satu aitem memiliki lima pilihan jawaban, tetapi hanya ada satu pilihan jawaban yang benar. Setiap soal yang dijawab dengan benar diberi nilai 1 dan soal yang dijawab salah mendapat nilai 0.

Dalam penelitian ini dilakukan pengacakan aitem pada alat ukur prestasi akademik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi partisipan penelitian dalam mengerjakan agar tidak bertemu dengan soal yang sulit pada awal-awal waktu pengerjaan. Peneliti sertakan tabel ringkasan uji coba alat ukur prestasi akademik. Berikut adalah tabel ringkasan uji coba alat ukur prestasi akademik:

(12)

Tabel 1.3 Ringkasan Uji Coba Alat Ukur Prestasi Akademik

Dimensi

Sebelum Uji Coba

Setelah Uji Coba

Jml Aitem

Jml Aitem

Reliabilitas Validitas Derajat Kesulitan

Matematika 25 12 0.752 ≥ 0.2 0.2-0.8

Bahasa 30 16 0.726 ≥ 0.2 0.2-0.8

Total 55 28 0.762 ≥ 0.2 0.2-0.8

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Metode atau teknik statistik yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Statistik Deskriptif: digunakan untuk mengetahui tendensi sentral (mean, median, dan modus), frekuensi, variabilitas, standar deviasi (SD), jangkauan, nilai minimum dan maksimum dari masing-masing variabel. Teknik ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum school well-being, prestasi akademik, jenis kelamin, dan usia. Skor yang didapat dari gambaran school well-being dan prestasi akademik akan dibuat norma berdasarkan z-score atau standar deviasi dan nilai mean yang diketahui. Pembagiannya dibuat menjadi tiga kategori yaitu “rendah” untuk nilai yang berada di bawah -1 SD dari mean, “sedang” untuk nilai yang berada di antara -1 SD dan +1 SD dari mean, dan “tinggi” untuk nilai yang berada di atas +1 SD dari mean.

b. Pearson Correlation: digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara dua variabel. Teknik ini digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara variabel school well-being terhadap variabel prestasi akademik.

c. Independent Sample t-test: digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean

antara dua kelompok sebagai satu variabel terhadap variabel lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean jenis kelamin terhadap penilaian school well-being.

d. One-Way Analysis of Variance (ANOVA): digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih sebagai satu variabel terhadap variabel lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean school

(13)

well-being pada siswa dengan tingkat pendidikan orang tua yang berbeda dan perbedaan nilai

school well-being beserta dimensi-dimensinya antara siswa laki-laki dan perempuan. HASIL PENELITIAN

Deskripsi Statistik

Sebelum memaparkan hubungan antara school well-being dan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik, peneliti terlebih dahulu ingin memaparkan gambaran umum partisipan.

Tabel 1.4 Gambaran Umum Partisipan Berdasar Jenis Kelamin, Usia, dan Asal Sekolah

Karakteristik Data Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin Perempuan 27 52%

Laki-laki 25 48%

Usia 17 tahun 3 6%

16 tahun 27 71%

15 tahun 10 19%

14 tahun 2 4%

Gambaran umum school well-being partisipan penelitian berdasarkan total skor akan dijelaskan dengan tabel berikut:

Tabel 1.5 Gambaran Umum School well-being Partisipan Penelitian

Total Partisipan Rata-rata Skor Skor Terendah Skor Tertinggi Standar Deviasi 52 184.33 96 234 23.498

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor school well-being partisipan adalah sebesar 184.33. Gambaran umum school well-being partisipan akan dilihat berdasarkan tiga penggolongan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Norma yang akan digunakan adalah norma dalam kelompok dengan memakai nilai standari deviasi (SD). Oleh karena itu, total skor kelompok sedang berada di bawah -1SD dari skor rata-rata (<161), total skor kelompok sedang berada pada rentang -1SD sampai +1SD dari skor rata-rata (161-208), sedangkan total skor kelompok tinggi berada di atas +1SD dari skor rata-rata (>208). Dari perhitungan tersebut, gambaran school well-being partisipan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

(14)

Tabel 1.6 Gambaran Kelompok School well-being Partisipan Penelitian

Kelompok Skor N Persentase

Rendah <161 6 11.5%

Sedang 161-208 40 77%

Tinggi >208 6 11.5%

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat school well-being sedang (77%). Jumlah partisipan yang memiliki tingkat school well-being yang tinggi dan rendah berjumlah sama yaitu sebesar 11.5%.

Gambaran umum prestasi akademik partisipan penelitian berdasarkan total skor akan dijelaskan dengan tabel berikut:

Tabel 1.7 Gambaran Umum Prestasi Akademik Partisipan Penelitian Total Partisipan Rata-rata Skor Skor Terendah Skor Tertinggi Standar Deviasi 52 19 13 25 2.7

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor prestasi akademik partisipan adalah sebesar 19. Gambaran umum prestasi akademik partisipan akan dilihat berdasarkan tiga penggolongan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Norma yang akan digunakan adalah norma dalam kelompok dengan memakai nilai standard deviasi (SD). Oleh karena itu, total skor kelompok sedang berada di bawah -1SD dari skor rata-rata (<16), total skor kelompok sedang berada pada rentang -1SD sampai +1SD dari skor rata-rata (16-21), sedangkan total skor kelompok tinggi berada di atas +1SD dari skor rata-rata (>21). Dari perhitungan tersebut, gambaran prestasi akademik partisipan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.8 Gambaran Umum Prestasi Akademik Partisipan Penelitian

Kelompok Skor N Persentase

Rendah <16 3 6%

Sedang 16-21 39 75%

Tinggi >21 10 19%

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat prestasi akademik sedang (77%). Jumlah partisipan yang memiliki tingkat prestasi akademik yang tinggi berjumlah 19% dan yang rendah berjumlah 6%.

(15)

Analisis Korelasi

Dari hasil penghitungan korelasi, ditemukan hubungan positif yang signifikan antara

school well-being dan prestasi akademik. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara school well-being dengan prestasi akademik, dengan koefisien korelasi sebesar 0.308 (LoS ≤ 0,05). Nilai tersebut merefleksikan derajat dan arah hubungan antara school well-being dan prestasi akademiknya, dimana semakin well-being siswa di sekolah, maka semakin baik presatsi akademik-nya. Tabel 1.9 menjelaskan hubungan school well-being dengan prestasi akademiksecara terperinci.

Tabel 1.9 Hubungan School well-being dan Prestasi Akademik

School well-being Prestasi Akademik

School well-being 1 0.308*

Prestasi Akademik 0.308* 1

*Korelasi signifikan pada LoS 0.05 (2 tailed)

Selain itu, peneliti juga ingin melihat hubungan antara dimensi-dimensi school well-being dengan prestasi akademik. Berdasarkan data penelitian, diperoleh korelasi antara dimensi-dimensi school well-being dengan prestasi akademik. Berikut tabel korelasinya yang menujukkan hubungan antara dimensi school well-being dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik.

Tabel 1.10 Hubungan antara Dimensi-dimensi School well-being dengan Prestasi

Akademik

Having Loving Being Health Prestasi Akademik Having 1 - - - 0.357** Loving - 1 - - 0.035 Being - - 1 - 0.200 Health - - - 1 0.033 Prestasi Akademik 0.357** 0.035 0.200 0.033 1

*Korelasi signifikan pada LoS 0.01 PEMBAHASAN

Hasil penelitian menujukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara

school well-being dan prestasi akademik. Selanjutnya dilakukan pengujian untuk melihat seberapa besar variabilitas prestasi akademik yang dapat diprediksi dari hubungannya dengan

school well-being menggunakan koefisien determinasi, yaitu hasil perkalian pangkat dua dari koefisien korelasi (Gravetter & Wallnau, 2007). Koefisien korelasi 0.308 (LoS ≤ 0.05) mengindikasikan bahwa variabilitas prestasi akademik yang dapat diprediksi melalui school

(16)

well-being adalah sebesar 0.094 atau 9.4%. Nilai tersebut signifikan di 0.026 (≤ 0,05), sehingga korelasi tersebut signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam populasi memang terdapat hubungan antara school well-being dan prestasi akademik dan hubungan tersebut bukan terjadi karena suatu kebetulan. Dengan demikian, H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara school well-being dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik, ditolak.

Koefisien korelasi having-prestasi akademik sebesar 0.357 menunjukkan bahwa semakin terpenuhi dimensi having disekolah maka prestasi akademik siswa akan semakin baik. Selain itu koefisien korelasi tersebut juga mengindikasikan bahwa variabilitas prestasi akademik yang dapat diprediksi melalui dimensi having adalah sebesar 0.127 (LoS ≤ 0.01) atau 12.7%. Nilai tersebut signifikan di 0.009 (≤ 0.01), sehingga korelasi tersebut signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam populasi memang terdapat korelasi antara dimensi having

dan prestasi akademik. Hubungan tersebut bukan terjadi karena suatu kebetulan. Dengan demikian, H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi having dengan prestasi akademikpada siswa berbakat akademik, ditolak.

Selanjutnya korelasi loving-prestasi akademik 0.035. Hal ini menunjukkan bahwa dalam populasi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi loving dan prestasi akademik. Dengan demikian, H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi loving dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik, diterima.

Kemudian korelasi being-prestasi akademik0.200. Hal ini menunjukkan bahwa dalam populasi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi being dan prestasi akademik. Dengan demikian, H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi being dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik, diterima.

Terakhir, korelasi health-prestasi akademik 0.033. Hal ini menunjukkan bahwa dalam populasi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi health dan prestasi akademik. Dengan demikian, H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi health dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik, diterima.

(17)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yang dapat menjawab masalah penelitian, yaitu:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara school well-being dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi having dari school well-being

dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik.

3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi loving dari school well-being

dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi being dari school well-being

dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik.

5. Tidah terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi health dari school well-being

dengan prestasi akademik pada siswa berbakat akademik. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang ada, peneliti mengajukan beberapa saran praktis bagi pihak konselor dan kepala sekolah, yaitu:

1. Hasil penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

school well-being dengan prestasi akademikmemberikan informasi bagi pihak sekolah untuk terus menerus meningkatkan school well-being siswa berbakat akademik untuk memunculkan prestasi akademik yang baik dan optimal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menciptakan lingkungan fisik yang kondusif, menjaga agar mata pelajaran tidak terlalu banyak sehingga jadwal pelajaran tidak terlalu padat, membuat sistem peraturan yang jelas serta meningkatkan pelayanan sekolah. Kondisi material dan non-material sekolah menjadi perhatian utama dari pihak sekolah agar siswa berbakat akademik merasa proses belajarnya difasilitasi dengan baik sehingga dapat memaksimalkan kemampuan dan menghindarkan anak dari underachievement.

2. Hasil penelitian menyatakan bahwa dimensi loving, being, dan health tidak memiliki hubungan positif yang signifikan. Oleh karena itu pihak sekolah sebaiknya memperhatikan kebutuhan siswa akan iklim sekolah yang kondusif, hubungan antar siswa dan siswa dengan guru yang baik, kebutuhan akan penghormatan terhadap siswa yang cukup, dan kondisi kesehatan di sekolah agar siswa merasa nyaman berada di sekolah agar kebutuhan dasar siswa pada dimensi loving, being, dan health dapat terpenuhi.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, J. N. (2010). “Penggunaan school well-being pada sekolah menengah atas : SMA bertaraf internasional sebagai barometer evaluasi sekolah” Jurnal UI untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora1, 100-112

Ahmad, J. N. (2011). Perbedaan school well being pada siswa kelas XI SMA dan SMK di Bekasi. Skrispi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing: Seventh edition. India: Pearson Education, Inc.

Arifin, Z. (1991). Evaluasi instruksional : Prinsip-teknik-prosedur. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pedoman pelaksanaan pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2012). Pedoman program siswa berbakat

Duran, V. & Narucki. (2008). School building condition, school attendance, and academic achievement in New York City public schools: A mediation model. Journal of Environmental Psychology 28, 278–286

Eggen, P. & Kauchak, D. (2007). Educational Psychology : Windows on classroom. New Jersey : Pearson Education

Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Coak, J. L., Travers, J. F. (2000). Educational psychology : Effective learning 3rd ed. Singapore : McGraw-Hill Company

Fauzia, R. (2010). Hubungan antara school well being dengan study habits pada siswa kelas XI di Jakarta. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Friedenberg, L. (1995). Psychological testing: Desain, analysis, and use. Massachusets: Allyn & Bacon.

Gilman, R., & Huebner, S. (2003). A review of life satisfaction research with children and adolescents. School Psychology Quarterly, Vol 18 (2), 192-205

Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2007). Statistics for the behavioral science (7th ed.). USA : Thomson Learning, Inc

Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental statistics in psychology and education. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.

Hawadi, R. A. (2004). Identifikasi siswa berbakat intelektual sebagai akseleran. In R. A. Hawadi (Eds.) Akselerasi : A-Z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual (43-55). Jakarta : Grasindo

(19)

Hawadi, R. A. (2005). Identifikasi keberbakatan melalui metode non tes dengan pendekatan konsep keberbakatan Renzulli. Jakarta : Grasindo.

Hawadi, R. A. (2010). Menguatkan bakat anak. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Huebner, S. E., & McCullough, G. (2000). Correlates of school satisfaction among adolescents. The Journal of Educational Research, Vol. 93(5), 331-335.

Irmawan, D. (2008). Hubungan antara dimensi-dimensi school well-being dengan motivasi berprestasi pada siswa kelas XI SMA unggulan. Skripsi. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Foundation on behavioral research (4th Ed). New York: International Thomson Publications.

Konu, AI, & Rimpelä, T. P. (2002). Well-being in school: A conceptual model. Health Promotion International, Vol 17(1), 79-87

Konu, A.I, & Lintonen, T.P. (2006). School well-being grades 4-12. Health Education Research, Vol 21, 633-642.

Kumar , R. (2005). Research methodology : A step-by-step guide for beginners. London : SAGE Publications.

Ly, J., Zhou, Q., Chu, K., & Chen, S. H. (2012). Teacher–child relationship quality and academic achievement of Chinese American children in immigrant families. Journal of School Psychology50, 535–553

Munandar, Utami. (1992). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta : Grasindo

Munandar, Utami (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta : Rineka Cipta Mok, M, & Flynn, M. (1997). Does school size affect quality of school life? Issues in

Educational Research Vol. 7 (1), 69-86

Morisano, D., & Shore, B. M. (2010). Can personal goal setting tap the potential of the gifted underachiever? Roeper Review, 32(4), 249-258.

Nunnally, J. C., & Bernstein, I.H. (1994). Psychometrics theory. New York: McGraw-Hill. Nurhayati, A. (2003). Faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar siswa. Skripsi.

Bandung : PPB FIP UPI

Ormrod, J. E. (2006). Educational psychology-Developing learners (5th edition). New Jersey : Pearson Education Inc

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R., D. (2009). Human development Edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika

(20)

Page, R. M., & Tana, S. P. (2007). Promoting health and emotional well being in your classroom (4th edition). New York : Jones & Barlett Publishers.

Parson, R. D., Hinson, S. L., dan Brown, D. S. (2001). Educational psychology : A practitioner-researcher model of teaching. China : Wardsworth/Thomson Learning Reis, S. M. (1998). Underachievement for some—dropping out with dignity for others.

Communicator: The Journal of the California Association for the Gifted, 29(1), 19-24

Renzulli, J. S., & Reis, S. M. (1991). The schoolwide enrichment model: A comprehensive plan for the development of creative productivity. In N. Colangelo & G. A. Davis (Eds.), Handbook of gifted education (111-141). Boston: Allyn and Bacon.

Rinderman, H & Neubauer, A.C. (2004). Processing speed, intelligence, creativity, and school performance: Testing of causal hypotheses using structural equation models.

Intelligence, 32, 573−589

Samdal, O., Nutbeam, D., Wold, B., Kannas, L. (1998). Achieving health and educational goals through schools—a study of the importance of the school climate and the students' satisfaction with school. Health Education Research, Vol 13, 383-397. Santrock, J.W. (1999). Life span development. Boston : McGraw-Hill College

Santrock, J.W. (2009). Educational psychology (4rd edition). New York : McGraw-Hill Inc. Semiawan, C. (1997). Perspektif pendidikan anak berbakat. Jakarta : Grasindo.

Simões, C., Matos, M. G., Tomé, G., Ferreira, M., & Chaínho, H. (2010). School satisfaction and academic achievement: the effect of school and internal assets as moderators of this relation in adolescents with special needs. Procedia Social and Behavioral Sciences9, 1177–1181

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen IV

Undang-Undang Negara Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Winkel, W. S. (1991). Psikologi pengajaran. Jakarta : Grasindo

Zarfiel, M. D. (2004). Prestasi Akademik dan Keberbakatan Akademik. In R. A. Hawadi (Eds.) Akselerasi : A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual (68-74). Jakarta : Grasindo

Gambar

Tabel 1.1 Indikator Alat Ukur School well-being
Tabel 1.2 Ringkasan Uji Coba Alat Ukur Kedua School well-being
Tabel 1.4 Gambaran Umum Partisipan Berdasar Jenis Kelamin, Usia, dan Asal Sekolah
Tabel 1.7 Gambaran Umum Prestasi Akademik Partisipan Penelitian  Total  Partisipan  Rata-rata Skor  Skor  Terendah  Skor  Tertinggi  Standar Deviasi  52  19  13  25  2.7
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil penyebaran angket kinerja, skor terendah didapat oleh item nomor 2 dan 3 yaitu yang menyatakan bahwa pegawai tidak kesulitan menangani volume

Telling , Gaya Kepemimpinan Selling , Gaya Kepemimpinan Partisipating dan Gaya Kepemimpinan Delegating merupakan variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan

Hasil pengukuran waktu operasional aspirin dalam dapar fosfat pH 7.4 memperkuat dugaan serapan pada 265nm merupakan serapan aspirin dan asam salisilat karena

Karena kondisinya yang sudah tidak bisa lagi ditangani, makin banyak telepon, akhirnya kami membuat Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan, TRKP.. Kemudian

Nilai fitness adalah nilai yang menyatakan baik tidaknya suatu solusi (individu). Nilai fitness ini yang dijadikan acuan dalam mencapai nilai optimal dalam Algoritma

Konsentrasi EDTA yang digunakan dapat mempengaruhi penentuan kadar Mg, karena besar konsentrasi tersebut sama dengan berat larutan logam tersebut yang nantinya akan

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf f dan Pasal 8 huruf b dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 11 Tahun 2011

Što se tiče prašine drvenog ugljena i krhotina (otprilike 10-15% proizvedenog drvenog ugljena), oni se tretiraju kao nusproizvod/otpad drvenog ugljena i